BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kemandirian dalam pengambilan keputusan 2.1.1. Pengertian kemandirian dalam pengambilan keputusan Kemandirian menurut Elkind dan Weiner (Nuryoto, 1993) mencakup pengertian kebebasan untuk bertindak, tidak tergantung pada orang lain, tidak terpengaruh lingkungan dan bebas mengatur kebutuhan sendiri. Pendapat yag senada dari Monks dkk, (1992) mengatakan bahwa kemandirian
adalah
kemampuan
seseorang
dalam
menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi tanpa menggantungkan diri kepada orang lain. Seseorang yang mandiri akan menunjukan perilaku yang eksploratif, mampu
mengambil
keputusan,
percaya
diri
dan
kreatif
dalam
memecahkan maslah. Kemandirian menurut Bathia (Nashori, 1999) adalah perilaku yang aktivitasnya diarahkan kepada diri sendiri tidak mengharapkan pengarahan dari orang lain dan mencoba untuk memecahkan dan menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa meminta bantuan orang lain Salah satu bentuk kemandirian adalah mandiri dalam pengambilan keputusan. Setiap saat orang melakukan pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidupnya maupun hidup orang lain. Atmosudirjo (1986) mengatakan bahwa mengambil atau membuat keputusan berati melakukan pemilihan dari berbagai kemungkinan atau alternatif-alternatif pemecahan masalah yang ada untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Menurtut Supranto (1998) mengambil atau membuat keputusan berati memilih satu dari sekian banyak alternatif (minimal 2 alternatif). Pada umumnya suatu keputusan dibuat dalam rangka untuk memecahkan permasalahan atau persoalan, dimana setiap keputusn yang dibuat pasti mengandung tujuan yang akan dicapai. Inti dari pengambilan keputusan terletak dalam perumusan berbagai alternatif tindakan sesuai dengan hal yang diperhatikan dan dalam pemilihan alternatif yang tepat setelah menilai efektifitas dan mencapai tujuan yang dikehendaki pengambilan keputusan (decision maker). Moesono (2001) mengatakan bahwa pengambilan keputusan adalah suatu proses pilihan alternatif tindakan seseorang dalam cara yang adekuat dan efisien dalam situsi tertentu. Kartono (2002) mengemukakan bahwa dalam pengambilan keputusan, tercakup kemahiran menyeleksi dan menentukan keputusan yang paling tepat dari sekian banyak alternatif.Merupakan tugas yang cukup berat, karena dibebani tanggung jawab etis untuk memutuskan suatu ketentuan di tengah peristiwa-peristiwa yang majemuk atau bervariasi, tidak pasti, belum dikenal dan sering muncul dengan tiba-tiba.
2.1.2. Aspek-Aspek kemandirian dalam pengambilan keputusan Menurut Marsun dkk (1986) aspek-aspek dalam kemandirian adalah sebagai berikut: a. Kebebasan Kebebasan merupakan keadaan yang lepas, tidak terhalang, tidak terganggu, tidak terikat atau terbatas pada aturan-aturan tertentu, merdeka dalam arti tidak diperintah atau diatur oleh pihak lain, dan jauh dari rasa takut, sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat dengan leluasa, dapat bertindak sesuai keinginan atau kehendak sendiri serta tidak tergantung pada orang lain tetapi tetap penuh tanggung jawab (Tim Penyusunan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002). b. Keuletan Keuletan dapat diartikan sebagai suatu kekuatan yang dimiliki oleh individu dimana yang bersangkutan memiliki sifat tidak mudah putus asa yang disertai dengan kemauan yang keras dalam berusaha mencapai tujuan dan cita-cita (Tim Penyusun Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002).Aspek ini ditandai dengan adanya usaha dalam pencapaian suatu prestasi dengan penuh perncanaan, ketekunan dan tanggungjawab dalam meraih tujuan. c. Inisiatif Inisiatif adalah tindakan individu dalam memulai serangkaian kejadian dan kemampuan untuk mengambil langkah atau tindakan
yang mandiri (Dreve, 1986). Aspek ini tampak dalam kemampuan untuk berfikir dan bertindak secara original, kreatif, penuh inisiatif , sistematis dan bersifat eksploratif. d. Pengendalian diri Pengendalian diri ditunjakan dengan adanya perasaan mampu untuk mengatasi masalah yang dihadapi, kemampuan mengendalikan tindakannya atau memiliki kontrol diri yaitu kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, mampu untuk menekan atau merintangi sumber-sumber atau tingkah laku yang emosional serta mempengaruhi lingkungan atas usahanya sendiri (Chaplin, 1999) e. Kemantapan diri Budiharjo merupakan
(1991)
mengemukakan
suatu
kejujuraan
bahwa
perilaku
kemantapan individu
diri yang
bersangkutan.Kemantapan diri ditunjukan dengan adanya rasa percaya terhadap kemampuan diri sendiri, mampu mengenal dirinya, menerima dirinya dan memperoleh kepuasan dari usahanya.
2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian dalam pengambilan keputusan Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan menurut Gunarsa (1993) yaitu: a. Faktor dari dalam, berupa kemampuan kognitif atau intelegensi, emosi, kesanggupan dan minat.
b. Faktor dari luar, berupa desakan serta gambaran dari orang tua, teman, bacaan-bacaan tentang pengalaman dengan orang lain dan pengalaman pendidikan yang diperoleh.
Menurut Basri (1996) terdapat faktor yang mempengaruhi kemandirian yaitu : a. Faktor Internal Meliputi semua hal yang bersumber dari dalam diri, seperti keadaan keturunan dan konstitusi tubuhnya yang sejak dengan segala kelengkapanya melekat pada tubuhnya. b. Faktor Eksternal Meliputi semua hal yang bersumber dari luar diri atau yang sering disebut faktor lingkungan.Dalam hal ini, yang sering mempengaruhi
individu
adalah
orang
tua,
teman
sebaya,
lingkungan sosial, serta pengalaman yang diperoleh individu sebelum berinteraksi dengan lingkungannya. 2.2. Konformitas 2.2.1. Definisi konformitas Menurut Cialdini dan Goldstein ( dalam taylor, Peplau& Sears,2006) Konformita sadalah: “the tendency to change one beliefs or behaviours to match the behavior of others”
Definisi tersebut mengatakan bahwa konformitas adalah kecenderungan seseorang untuk mengubah tingkahlaku atau kepercayaan agar sesuai dengan tingkahlaku orang lain. Definisi tersebut sejalan dengan definisi menurut Baron dan Byrne (2003) yang menyatakan bahwa konformitas adalah suatu jenis pengaruh social dimana individu mengubah sikap dan tingkahlaku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada. Sedangkan Myers (1996) memiliki definisi yang sedikit berbeda, yaitu: A change in behavior or belief as a result of real or imagined group pressure” (p.233). Konformitas diartikan sebagai perubahan tingkahlaku atau keyakinan individu sesuai dengan kelompoknya yang merupakan hasil dari tekanan yang nyata atau tidak nyata dari kelompok. Adanya tekanan tersebut dinyatakan oleh Middlebrook (1980). “conformity pressure is the pressure to modify what you are say or do to make it correspond with what others say and do” Definisi diatas menyatakan tekanan untuk conform adalah tekanan untuk memodifikasi apa yang dikatakan atau dilakukan untuk membuatnya sama dengan yang dikatakan atau dilakukan orang lain.
2.2.2 Jenis Konformitas Menurut Myers (2005) konformitas dibagi atas dua jenis yaitu: compliance dan acceptance. 1. Compliance Konformitas compliance adalah bentuk konformitas dimana individu bertingkah laku sesuai dengan tekanan yang diberikan oleh kelompok sementara secara pribadi tidak menyetujui perilaku tersebut. Hal ini karena adanya pengaruh sosial normatif (normative social influence) yang didasarkan pada keinginan individu untuk diterima atau disukai orang lain (Baron,2005). 2. Acceptance Konformitas acceptance adalah suatu bentuk konformitas dimana tingkahlaku maupu keyakinan individu sesuai dengan tekanan kelompok yang diterima. Konformitas bentuk acceptance terjadi karena adanya pengaruh sosial informasional (informational social influence) didasarkan pada keinginan individu untuk memiliki persepsi yang tepat mengenai dunia sosial (Baron,2005). Individu melakukan konformitas dikarenakan mereka berfikir bahwa orang lain dalam kelompok memiliki lebih banyak informasi yang tidak diketahuinya menurut (Feldman:1985). Sementara Shaw (dalam
Feldman:1985) menyatakan konformitas akan meningkat jika seseorang berada dalam situasi yang membingungkan.
2.2.3. Faktor-faktor Terbentuknya Konformitas Ada beberapa pendapat terbentuknya konformitas, diantaranya: menurut Searst, dkk dalam Rofi’ah (2006) faktor-faktor terbentuknya konformitas compliance, diantaranya : 1. Rasa takut terhadap penyimpangan Rasa takut dipandang sebagai orang yang menyimpang merupakan faktor dasar hampir dalam semua situasi sosial. Individu
ingin
agar
kelompok
tempat
individu
berada
menyukainya, menerimanya, dan memperlakukan kita dengan baik.Individu cenderung menyesuaikan diri dengan kelompoknya untuk menghindari perselisihan paham. Rasa takut dipandang sebagai orang yang menyimpang. Individu yang tidak maumeng ikuti apa yang berlaku didalam kelompok akan menanggung resiko mengalami akibat yang tidak menyenangkan seperti ditolak oleh kelompok atau dikucilkan atau ditolak oleh kelompok. 2. Kekompakan kelompok. Konformitas juga dipengaruhi oleh eratnya hubungan antara individu dengan kelompoknya. Yang dimaksud dengan kekompakan itu sendiri adalah jumlah total kekuatan yang
menyebabkan orang tertarik pada suatu kelompok dan yang membuat mereka ingin tetap menjadi anggotanya. Kekompakan yang tinggi menimbulkan konformitas yang semakin tinggi. Jika seseorang merasa dekat dengan anggota kelompok yang lain, akan semakin menyenangkan bagi kelompok untuk mengakuinya dan semakin menyakitkan bila kelompok mencelanya. Konformitas akan semakin meningkat ketika melakukan sesuatu yang berharga. Peningkatkan konformitas ini terjadi karena anggotanya tidak ingin disebut sebagai orang yang menyimpang.seperti
yang
telah
dijelaskan
diatas,
karena
penyimpangan menimbulkan penolakan dari kelompok. 3. Kesepakatan kelompok Faktor yang sangat penting terjadinya konformitas adalah kesepakatan pendapat kelompok. Individu yang dihadapkan pada keputusan kelompok yang sudah
bulatakan
mendapatkan
tekanan
yang
kuat
untuk
menyesuaikan pendapatnya. Morris & Miller dalam Sears, dkk:1985) menunjukkan bahwa saat terjadinya perbedaan pendapat bisa menimbulkan perbedaan.Sehingga akan tampak adanya penurunan tingkat konformitas. Penurunan konformitas yang drastis karena hancurnya kesepakatan yang disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
:pertama, tingkat kepercayaan terhadap mayoritas akan menurun bila terjadi perbedaan pendapat, meskipun orang yang berbeda pendapat itu kurang ahli bila dibandingkan dengan anggota lain. Kedua, bila anggota kelompok yang lain mempunyai pendapat yang sama, keyakin an individu terhadap pendapatnya sendiri akan semakin kuat akan menurunkan konformitas. 4. Ukuran kelompok Beberapa eksperimen menunjukkan bahwa konformitas akan meningkat bila ukuran mayoritas yang sependapat juga meningkat. Didalam eksperimen yang dilakukan oleh Asch pada tahun 1951 ( dalam Sears,dkk:1985) disimpulkan bahwa untuk menghasilkan tingkat konformitas yang paling tinggi, ukuran kelompok yang paling optimal adalah tiga atau empat orang. Pernyataan ini juga didukung oleh beberapa ahli (dalam Feldman:1985) yang menyatakan bahwa tekanan untuk melakukan konformitas pada kelompok meningkat pada saat kelompok terdiri dari tiga atau empat orang. Menurut Sears, Fredmen dan Peplau (1985) faktor-faktor terbentuknya konformitas acceptance diantaranya : 1. Kepercayaan terhadap kelompok Faktor utama kepercayaan terhadap kelompok adalah individu percaya kepada informasi yang diberikan oleh kelompoknya. Oleh
karena itu, semakin besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar semakin besar sebagai sumber informasi yang benar semakin besar pula kemungkinan untuk menyesuaikan diriterhadap kelompok.Salah satu factor penentu kepercayaan terhadap kelompok adalah tingkat keahlian anggotanya. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat keahlian kelompok dalam hubungannya dengan individu, semakin tinggi tingkat kepercayaanya dan penghargaan individu terhdap pendapat mereka. 2. Kepercayaan yang lemah terhadap penilaian sendiri Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan orang tersebut pada kemampuanya sendiri untuk menampilkan suatu reaksi.Salah
satu
faktor yang mempengaruhi keyakinan individu terhadap kemampuanya adalah tingkat kesulitan penilaian yang dibuat. Semakin sulit penilaian tersebut, semakin rendah rasa percayadiri yang dimiliki individu dan semakin besar kemungkinan bahwa dia akan mengikuti penilaian orang lain.
2.2.4. Alasan Melakukan Konformitas Ketika individu conform terhadap suatu hal, para psikologi sepakat mengatakan bahwa ada dua alasan yang menyebabkan individu konform terhadap suatu hal, yaitu:
1. Pengaruh sosial normatif Pengaruh sosial yang bersifat normatif menekan individu untuk konform agar terhindar dari hukuman, mendapatkan penerimaan kelompok, atau terhindar dari rasa malu karena berbeda dari yang lainya. Menurut Baron & Byrne (2003), yang mendasari konformitas ini adalah keinginan untuk disukai, rasa takut akan penolakan dan penyimpangan. 2. Pengaruh sosial informatif Pengaruh sosial yang bersifat informatif terjadi saat kita bergantung pada orang lain untuk informasi yang berhubungan dengan realita, sehingga kita conform terhadap pendapat mayoritas karena menurut kita pendapat atau penilaian mayoritas tersebut benar. Hal yang mendasari konformitas ini adalah keinginan untuk merasa benar. Menurut Taylor, Peplau, dan Sears (2006), kecenderungan untuk melakukan konformitas berdasarkan pengaruh sosial informatif tergantung pada dua aspek, yaitu seberapa besar kepercayaan individu terhadap informasi yang dimiliki kelompok dan seberapa besar kepercayaan dari individu terhadap keputusannya sendiri. 2.2.5. Alasantidak melakukan konformitas Menurut Baron & Byrne (2003) ada dua alas an mengapa seseorang memilih untuk conform pada suatu hal, yaitu :
1. KebutuhanakanIndividu Setiap individu memiliki kebutuhan untuk mempertahankan individualitasnya, keinginan untutk memiliki jati diri sehingga dapat dibedakan oleh orang lain dalam beberapa hal. Dengan mengikuti suatu kehilangan jati dirinya sendiri. Penelitian menemukan bahwa individu dengan tingkat individualis yang tinggi (high-individuation) cenderung tidak mengikuti pandangan mayoritas (Sears, Peplau& Taylor, 1991). 2. Kebutuhan untuk mempertahankan kontrol atas hidup Sebagian besar orang memiliki kebutuhan untuk mempertahankan control terhadap hal-hal yang terjadi dalam hidupnya. Dengan mengikuti suatu kelompok, yang sebenernya tidak sesuai dengan dirinya sendiri secara tidak langsung menghambat kebebasan diri dan kontrol pribadi pada individu. Hasil penelitian menunjukan bahwa semakin kuat kebutuhan individu akan kontrol pribadi maka semakin rendah kecenderungan mereka untuk konform terhadap tekanan sosial. 2.3. Pemilih Pemula 2.3.1. Definisi Pemilih Pemula Pemilih pemula adalah warga negara Indonesia yang pada hari pemilihan atau pemungutan suara adalah warga negara Indonesia yang sudah genap berusia 17 tahun dan atau lebih, atau sudah/pernah kawin yang mempunyai hak pilih, dan sebelumnya belum termasuk pemilih
karena ketentuan Undang-undang pemilu. Perilaku pemilih umumnya didasarkan atas sikap atau image dari masing-masing kandidat yang akan dipilih (menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 10 Tahun 2008 Pasal 19 dan 20 Bab IV). 2.3.2. Karakteristik Pemilih Pemula Pemilih pemula memiliki karakteristik yaitu : belum pernah memilih, belum memiliki pengalaman, memiliki antusias yang tinggi, kurang rasional, memiliki
gejolak dan semangat, apabila tidak
dikendalikan akan memiliki efek penyebab konflik, menjadi sasaran setiap pemilu, serta memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (Roni, 2013). 2.4.Hipotesis Ha : Ada hubungan yang signifikan antara hubungan konformitas dengan kemandirian pengambilan keputusan pada pemilih pemula dalam pemilihan umum legislatif 2014. Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara hubungan konformitas dengan kemandirian pengambilan keputusan pada pemilih pemula dalam pemilihan umum legislatif 2014. 2.5.Kerangka Pemikiran Konformitas
Kemandirian pengambilan keputusan