BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Kajian Pustaka Anak Tunarungu a. Pengertian Tunarungu Anak tunarungu merupakan anak dengan gangguan pendengaran dikarenakan beberapa hal tertentu yang mengakibatkan anak tersebut memiliki hambatan dalam aktivitas sehari – harinya karena ketunarunguan tersebut. Berkenaan dengan pengertian tunarungu, terdapat beberapa pengertian yang dikemukakan oleh beberapa pihak menurut kepentingan dan pandangan masing – masing. IDEA 04 (2009) menyatakan bahwa: Deafness means a hearing impairment that is so severe the child is impaired in processing linguistic information through hearing, with or without amplification, and that adversely affects a child’s educational performance. Hearing impairment means an impairment in hearing, whether permanent or fluctuating, that adversely affects a child’s educational performance but that is not included under the definition of deafness. (Taylor, Smiley, Richards, 2009: 258) Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa tunarungu berarti gangguan pendengaran yang sangat parah, anak mengalami gangguan dalam memproses informasi linguistik dengan mengggunakan pendengaran mereka, baik dengan menggunakan alat bantu pendengaran ataupun tidak yang berdampak pada prestasi akademik anak. Ganguan pendengaran berarti gangguan pada pendengaran yang bersifat permanen atau temporer, yang berdampak pada prestasi akademik anak. Selain IDEA 04, Uden (Haenudin 2013: 54) berpendapat bahwa : A deaf person is one whose hearing is disabled to an extent (usually 70 dB ISO or greater) that precludes the understanding of speech through the ear alone without or with the use of hearing aid. A hard hearing person is whose hearing is disabled to an extent (usually 35 to 69 dB ISO) that makes difficult, but does not precludes the understanding of speech through the ear alone without or with the use of hearing aid. 7
8
Pedapat di atas dapat diartikan bahwa anak tunarungu adalah apabila seseorang kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB ISO atau lebih, sehingga tidak mampu mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri tanpa ataupun menggunakan alat bantu dengar. Sedangkan seseorang yang dikatakan kurang dengar jika kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 35 hingga 69 dB ISO yang menyebabkan kesulitan untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri tanpa ataupun menggunakan alat bantu dengar. Pendapat lain dikemukakan oleh Efendi (2006:57), bahwa tunarungu adalah jika seseorang dalam proses mendengar tersebut terdapat satu atau lebih organ telinga bagian luar, organ telinga bagian tengah dan organ telinga bagian dalam mengalami gangguan atau kerusakan disebabkan penyakit, kecelakaan, atau sebab lain yang tidak diketahui sehingga organ tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Sedangkan PL-94142 mengemukakan bahwa Gangguan pendengaran (hearing impairment) adalah gangguan pendengaran yang bersifat permanen maupun sementara, yang jelas berpengaruh pada prestasi pembelejaran anak, namun tidak termasuk definisi tunarungu pada bagian ini. Sedangkan tunarungu adalah suatu gangguan pendengaran yang sangat berat sehingga anak tidak bisa melakukan proses informasi bahasa melalui pendengaran, dengan ataupun tanpa pengeras suara, yang dengan jelas mempengaruhi prestasi pembelajaran akademis (Smith, 2013: 270). Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa tunarungu adalah seseorang yang mengalami gangguan pendengaran baik dalam derajat rendah hingga tinggi, dikarenakan beberapa faktor penyebab ketunarunguan, sehingga memerlukan bantuan untuk dapat memaksimalkan pendengarannya dalam mendukung kegiatan yang dilakukannya. b. Penyebab Tunarungu Faktor yang menyebabkan anak mengalami tunarungu pada dasarnya karena banyak hal. Hal ini bisa terjadi ketika sedang di kandungan ibu (pre ntal), ketika kelahiran maupun setelah kelahiran (post natal). Berikut faktor-faktor penyebab anak menjadi tunarungu :
9
Menurut Nonthernand Down, 1974 ( Smith, 2013 : 279 ) penyebab ketunarunguan adalah : 1) Faktor-faktor genetik Secara genetik faktor lingkungan dapat ditularkan oleh orang tua kepada anak-anaknya, baik dari gen–gen resesif maupun dari gen yang dominan. 2) Faktor lingkungan / pengalaman Faktor lingkungan ini dapat terjadi jika : a) Anak lahir premature b) Terkena campak, rubella c) Virus yang menyerang otak d) Ketidaksesuaian Rh darah e) Infeksi telinga f) Pemaikain obat-obatan Menurut Smith, (2013:278) terdapat dua penyebab gangguan pendengaran
yaitu
penyebab
genetik
dan
penyebab
dari
lingkungan/pengalaman (environtmental/experlental). Faktor-faktor ini mempunyai efek pada pendengaran selama pra-kelahiran, selama periode kelahiran, dan setelah kelahiran. 1) Faktor-Faktor genetik Secara genetik gangguan pendengaran dapat ditularkan oleh orangtua kepada anak-anaknya, baik itu gen-gen resesif (orang tua mempunyai pendengaran normal) maupun gen-gen dominan (salah satu atau keduanya mempunyai dasar gangguan pendengaran secara genetik). 2) Faktor-faktor lingkungan/pengalaman a) Lahir premature (premature birh). Bayi yang lahir prematurnampak berada paxda resiko tinggu untuk mengalami gangguan pendengaran. b) Campak (viral infection). Rubella merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus yang sering dihubungkan dengan hearing loss. Bila seorang wanita tertular oleh rubella selama trismetr pertama kehamilan. Efeknya mungkin dapat menjafdi gangguan pendengaran selama masa pembentukan janin
10
c) Virus-virus lain yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran antara lain adalah radang selaput otak atau sumsum tulang belakang (meningitis), radang otak (encephalitis, beguk, penyakit gondok (mumps) dan influenza. Dari pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tentang penyebab ketunarunguan
dapat
disimpulkan
bahwa
penyebab
ketunarunguan
/gangguan pendengaran adalah faktor yang berasal dari dalam anak yaitu saat anak masih dalam kandungan ibu atau sebelum kelahiran yaitu faktor genetik/ keturunan, dan faktor dari luar yaitu pada saat kelahiran atau setelah kelahiran anak yaitu faktor yang berasal dari lingkungan seperti anak terinfeksi virus saat dilahirkan atau mengalami kecelakaan setelah dilahirkan. c. Klasifikasi Tunarungu Berdasarkan kesimpulan dari pengertian anak tunarungu yang menyebutkan
bahwa
ketunarunguan
memiliki
derajat
gangguan
pendengaran berbeda – beda, maka tunarungu diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok. Streng Dijelaskan
mengemukakan
pula
bahwa
masing
tentang –
klasifikasi
masing
derajat
ketunarunguan. ketunarunguan
menyebabkan anak tunarungu memiliki ciri – ciri yang berbeda, seperti: 1) Kehilangan kemampuan mendengar 20 – 30 dB (Mild Losses) memiliki ciri-ciri kehilangan kemampuan mendengar percakapan yang lemah, percakapan melalui pendengaran, tidak mendapat kesulitan mendengar dalam seuasana kelas biasa asalkan tempat duduk diperhatikan, menuntut sedikit perhatian khusus dari sistem sekolah dan kesadaran pihak guru tentang kesulitannya, tidak mengalami kelainan bicara, kebutuhan dalam pendidikan memerlukan latihan membaca ujaran, perlu diperhatikan mengenai perkembangan penguasaan perbendahaannya, jika kehilangan pendengaran melebihi 20 dB dan mendekati 30 dB perlu alat bantu dengar.
11
2) Kehilangan kemampuan mendengar 30 – 40 dB (Marginal Loses) memiliki ciri-ciri mereka mengerti percakapan biasa pada jarak satu meter, mereka sulit menangkap percakapan dengan jarak normal dan kadang-kadang
mereka
mendapat
kesulitan
dalam
percakapan
berkelompok, mereka akan mengalami sedikit kelainan dalam bicara dan perbendaharaan terbatas, mebutuhan dalam program pendidikan antara lain belajar membaca ujaran, latihan mendengar, penggunaan alat bantu dengar,
latihan
bicara, latihan
artikulasi
dan
perhatian
dalam
perkembangan perbendaharaan kata dan bila kecerdasan diatas rata-rata maka dapat ditematkan di kelas biasa asalkan tempat duduk di perhatikan. Bai yang kecerdasannya kurang memerlukan kelas khusus. 3) Kehilangan kemampuan mendengar 50 – 60 dB (Moderat Loses) memiliki ciri-ciri memiliki pendengaran yang cukup untuk mempelajari bahasa dan percakapan , memerlukan alat bantu dengar, mengerti percakapan yang keras pada jarak satu meter, sering salah faham, mengalami kesukaran di sekolah umum, mengalami kelainan bicara, perbendaharaan kata terbatas, untuk program pendidikan mereka membutuhkan alat bantu dengar untuk menguatkan sisa pendengaran dan penambahan alat bantu pengajaran yang sifatnya visual, perlu latihan artikulasi dan membaca ujaran, serta perly pertolongan khusus dalam bahasa, perlu masuk sekolah luar biasa 4) Kehilangan kemampuan mendengar 60 – 70 dB (Severe Loses) memiliki ciri-ciri mempunyaisisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu dengar, dan dengan cara khusus, karena mereka tidak belajar bahasa dan percakapan secara spontan pada usia muda, mereka kadang-kadang disebut “tunarungu secara pendidikan yang berarti mereka dididik seperti orang sungguh-sungguh tunarungu, mereka diajar pada suatu kelas khusus untuk anak-anak tunarungu karena mereka tidak cukup sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara melalui pendengaran, kadang-kadang mereka dapat dilatih untuk dapat mendengar dengan alat bantu mendengar, dan selanjutnya dapat
12
digolongkan ke dalam kelompok kurang dengar, masih dapat mendengar suara keras pada jarak yang dekat, misalnya suara pesawat terbang, klakson mobil, dan lolongan anjing, diperlukan latihan membaca ujaran dan pelajaran yang dapat mengembangkan bahasa dan bicara dari guru khusus, karena itu mereka harus dimasukkan Sekolah Luar Biasa bagian B, kecuali bagi anak genius dapat mengikuti kelas normal. 5) Kehilangan kemampuan mendengar diatas 75 dB (Profound Loses) memiliki ciri-ciri dapat mendengar suara yang keras dari jarak satu inchi atau sama sekali tidak dapat mendengar, tidak sadar akan bunyi-bunyi keras, teapi mungkin ada reaksi kalau dekat dengan telinga, meskipun menggunakan
pengeras
suara
mereka
tidak
dapat
menggukan
pendengarannya dan memahami bahasa, mereka tidak belajar bahasa dan bicara melalui pendengaran, walaupun menggunakan alat bantu mendengar, memerlukan pengajaran khusus yang intensif di segala bidang tanpa menggunakan mayoritas indra pendengaran, dalam pendidikannya memerlukan perhatian khusus adalah: membeca ujaran, latihan mendengar, yang berfungsi untuk memepertahankan sisa pendengaran yang masih ada, meskipun hanya sedikit, diperlukan teknik khusus untuk mengembangkan bicara dengan metode visual, taktil, kinestetik serta semua hal yang dapat membantu terhadap perkembangan bicara dan bahasanya (Haenudin, 2013: 58). Hal ini senada dengan pendapat Kirk dan Moores (Efendi, 2006: 59) yang menyatakan bahwa berdasarkan kriteria ISO (International Standard Organization) klasifikasi anak tunarungu atau kehilangan pendengaran dapat dikelompokkan menjadi kelompok tunarungu (deafness) / tunarungu berat yaitu seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar 70dB atau lebih menurut ISO sehingga ia akan mengalami kesulitan untuk mengerti atau memahami pembicaraan orang lain walaupun menggunakan alat bantu dengar (hearing aid), dan kelompok lemah pendengaran yaitu orang yang kehilangan kemampuan mendengar antara 35 – 69 dB menurut ISO sehingga mengalami kesulitan mendengar suara orang lain secara
13
wajar, namun tidak terhalang untuk mengerti atau mencoba memahami bicara orang lain dengan menggunakan alat bantu dengar. Selain beberapa ahli diatas, Efendi, (2006:61) merinci klasifikasi anak tunarungu menjadi beberapa kelompok sesuia dengan kepentingan tujuan pendidikan sebagi berikut: a) Anak tunarungu dengan kehilangan pendengaran antara 20-30 dB (slight loses). b) Anak tunarungu dengan kehilangan pendengaran antara 30-40 dB (mild loses) c) Anak tunarungu dengan kehilangan pendengaran antara 40 – 60 dB (moderate loses) d) Anak tunarungu dengan kehilangan pendengaran antara 60-75 dB (severe loses) e) Anak tunarungu dengan kehilangan pendengaran 75 dB ke atas (profoundly loses) Dari pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu dapat diklasifikasikan menjadi anak tunarungu sight loses (kehilangan pendengaran 20-30 dB), anak tunarungu mild loses (kehilangan pendengaran 30-40 dB), anak tunarungu moderate loses (kehilangan pendengaran 40-60 dB), anak tunarungu severe loses (kehilangan pendengaran 60-75 dB) dan anak tunarungu profoundly loses (kehilangan pendengaran 75db keatas). d. Karakteristik Tunarungu Karakteristik anak tunarungu dapat dilihat dari segi akademik, intelektual, bicara dan bahasa serta sosial dan emosi 1) Karakteristik dalam segi intelegensi Simeonsson et. al (2001) berpendapat studies have indicated that children who are deaf or hard of hearing who are tested on performance IQ scales and are given directions both verbally and through manual language score better those who received instructions verbally, through pantomime, and visual aids (Taylor, Smiley, Richards, 2009: 263) Pendapat di atas dapat diartikan telah dipelajari bahwa anak tunarungu atau anak yang memiliki kesulitan dalam pendengaran yang
14
telah diuji dalam skala IQ prestasi dan diberikan petunjuk baik secara verbal melalui bahasa manual, nilainya lebih baik daripada mereka (anak tunarungu dan sulit mendengar) yang menerima instruksi secara verbal melalui pantomime dan alat bergambar. Moores (2001) juga berpendapat A majority of studies have indicated that in terms of perception learning, and memory, the are no significant differences between hearing children and those who are deaf” rely more heavily in their own experiences and insights than on the reports of scientist who assess a limited range of behavior “It is cleary that, as a group, students who are deaf are not intellectually deficient (Taylor, Smiley, Richards, 2009: 263) Pendapat Moores dapat diartikan bahwa mayoritas dari hasil yang telah dipelajari menunjukkan bahwa dalam kriteria persepsi pembelajaran dan ingatan, tidak ada perbedaan yang signifikan antara anak yang mendengar dan anak tunarungu. Pengalaman dan wawasan mereka sendiri lebih luas daripada laporan dari peneliti yang mengasesmen sebuah keterbatasan dari perilakunya. Ini sangat jelas bahwa sebagai sebuah kelompok, mereka yang tunarungu tidak memiliki kekurangan dalam hal intelektual. Dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik intelektual anak tunarungu tidak banyak berbeda dari anak normal apabila penyampaian dalam pembelajarannya dapat dimengerti oleh anak tunarungu tersebut. 2) Karakteristik dalam segi bahasa dan bicara Secara umum karakteristik bicara dan bahasa anak tunarungu
dapat
bervariasi antara anak tunarungu. Ini dipengaruhi oleh faktor – faktor seperti usia terjadinya gangguan pendengaran, jenis dan derajat gangguan pendengaran serta pengalaman bahasa di rumah dan di sekolah. Hal di atas didukung dengan pendapat Blamey (2003) concluded that the spoken language of some students who are deaf or hard of hearing may be delayed in comparison to that of hearing students. Overall through early intervention, direct
15
instruction, and the use of listening aids, many students who are deaf or hard of hearing can and do achieve intelligible and ageappropriate speech (Taylor, Smiley, Richards, 2009: 264) Pendapat di atas dapat diartikan bahwa bahasa lisan dari beberapa siswa yang tunarungu mungkin terlambat bila dibandingkan dengan siswa mendengar. Secara keseluruhan melalui intervensi dini, instruksi langsung, dan penggunaan alat bantu dengar, banyak siswa tunarungu dapat mengerti pidato yang sesuai dengan usianya. Pendapat pendukung lain disampaikan oleh Marscharck et. al (2002) pointed out that language development is influenced by the early home/language environment. If not exposed to a fully accessible language during the early critical developmental period, children who are deaf or hard of hearing may develop language delays and be less well prepared for learning to read and write upon entering school (Taylor, Smiley, Richards, 2009: 264) Pendapat di atas dapat diartikan bahwa perkembangan bahasa dipengaruhi oleh lingkungan rumah / bahasa awal. Jika tidak mendapat bahasa pada awal perkembangan, anak-anak yang tunarungu akan mengalami keterlambatan dalam mengembangkan bahasa dan kurang siap untuk belajar membaca dan menulis saat memasuki sekolah. Dari pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik bahasa
dan
bicara
anak
tunarungu
tergantung
pada
derajat
pendengarannya, usianya, dan juga lingkungan di sekitarnya. 3) Karakteristik dalam segi emosi dan sosial Efendi, (2006:87) mengatakan, beberapa penelitian dalam mengukur perkembangan kematangan sosial anak tunarungu menggunakan The Veneland Social Maturity Test menunjukkan bahwa: a) Anak tunarungu tingkat kematangan sosialnya berada di bawah tingkatan kematangan sosial anak normal. b) Anak tunarungu dari orang tua yang tunarungu juga menunjukkan relative matang daripada anak tunarungu dari orang tua normal. c) Anak tunarungu yang berasal dari sekolah berasrama menunjukkan social immaturity.
16
Pendapat lain disampaikan oleh Calderon and Greenberg 2003 noted some children who are deaf may demonstrate deficits in the mastery of social-emotional skill development, which can lead to poor outcomes including low academic achievement, underemployment, and higher rates of problems with drug and alcohol abuse, as well as psychological issues. (Taylor, Smiley, Richards, 2009: 265). Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa beberapa anak tunarungu
mungkin
memiliki
kekurangan
dalam
menguasi
perkembangan keterampilan sosial-emosi yang dapat menyebabkan hasil yang buruk termasuk prestasi akademik yang rendah, pengangguran terselubung, dan tingkat yang lebih tinggi dari masalah dengan narkoba dan alkohol, serta masalah psikologis. Uden (Haenudin, 2013: 68) mengemukakan beberapa ciri atau sifat yang sering ditemukan pada anak tunarungu antara lain: 1) Sifat egosentris yang lebih besar daripada anak mendengar. Sifat ini membuat mereka sukar menempatkan pada cara berfikir dan perasaan orang lain serta kurang menyadari/peduli tentang efek perilakunya terhadap orang lain. Dalam tindakannya dikuasai perasaan dan pikiran secara berlebihan. Sehingga mereka sulit menyesuaikan diri. Kemampuan bahasa yang terbatas akan membatasi pula kemampuan untuk mengintegrasikan pengalaman dan akan makin memperkuat sifat egosentris ini. 2) Memiliki sifat impulsive,yaitu tindakannya tidak didasarkan pada perencanaan yang hati-hati dan jeans serta tanpa mengantisipasi akibat yang mungkin timbul akibat perbuatannya. Apa yang mereka ingikan biasanya perlu segera dipenuhi. Adalah sulit bagi mereka untuk merencanakan atau menunda suatu pemuasan kebutuhan dalam jangka panjang. 3) Sifat kaku, menunjuk pada sikap kurang luwes dalam memandang dunia dan tugas-tugas dalam kesehariannya. 4) Sifat lekas marah dan mudah tersinggung.
17
5) Perasaan ragu-ragu dan khawatir seiring dengan pengalaman yang dialami secara terus-menerus mereka juga memiliki keinginan untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar sebagai upayanya untuk dapat tetap survived. Oleh karena itu untuk mengatasi hambatan ini, diperlukan upaya latihan artikulasi dan bicara yang komunikatif, serta membaurkan anak tunarungu ke dalam komunitas anak yang mendengar, agar termotivasi untuk berkomunikasi sehingga rasa rendah diri, terisolasi, dapat diatasi dan berkembang menjadi rasa percaya diri. e. Hambatan Tunarungu Berdasarkan karakteristik di atas, dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu memiliki hambatan dalam kehidupannya dikarenakan gangguan pendengarannya. Efendi (2006:72) menyatakan bahwa “disebabkan rentetan yang muncul akibat gangguan pendengaran ini, anak tunarungu akan mengalami hambatan dalam meniti perkembangannya, terutama pada aspek bahasa, kecerdasan, dan penyesuaian sosial”. Efendi (2006:72) melanjutkan bahwa ada dua hal penting mengikuti dampak terjadinya hambatan, yaitu: 1) Konsekuensi akibat gangguan pendengaran atau tunarungu tersebut bahwa penderitanya akan mengalami kesulitan dalam menerima segala macam rangsang atau peristiwa bunyi yang ada di sekitarnya. 2) Akibat kesulitan menerima rangsang bunyi tersebut konsekuensinya penderita tunarungu akan mengalami kesulitan pula dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang terdapat disekitarnya. Pendapat lain dinyatakan oleh Smith, (2013:212) bahwa hambatan utama anak tunarungu adalah kemampuan berbahasa anak yang kurang karena ketidakmampuan anak tunarungu dalam mendengar. Berdasarkan pendapat – pendapat ahli di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hambatan anak tunarungu pada dasarnya dikarenakan ketidakmampuan anak tunarungu dalam mendengar yang berpengaruh pada aspek akademis, bahasa, dan penyesuaian sosial.
18
f. Kebutuhan Anak Tunarungu Berdasarkan uraian karakteristik, hambatan dan kebutuhan anak tunarungu, maka dapat diketahui bahwa anak tunarungu memiliki kebutuhan – kebutuhan tertentu dalam beraktivitas dan berinteraksi dengan orang lain. Menurut Smith (2013), kebutuhan – kebutuhan tersebut antara lain: 1) Alat bantu dengar Suatu alat bantu dengar pada dasarnya adalah miniatur dari sistem alat pengeras suara, yang tersusun dari tiga komponen utama yaitu sebuah mikropon untuk mengambil suara, sebuah amplifier untuk memperkeras volume suara dan satu receiver untuk mengirimkan suara yang sudah diintensifkan tersebut ke dalam telinga. Meskipun alat – alat tersebut cukup membantu tetapi tidak berarti bahwa penggunaan alat bantu dengar ini akan menjadikan pendengaran normal. Alat bantu sesungguhnya membuat suara menjadi lebih keras, bahkan suara yang tidak diinginkan dan bunyi yang dihasilkan pun akan berbeda dengan suara yang diterima oleh pendengaran yang normal. 2) Bantuan di dalam kelas Hal – hal berikut mungkin dapat memberikan petunjuk bagi guru yang baru pertama kali menghadapi anak tunrungu yang menggunakan alat bantu dengar di dalam kelas. a) Ingatlah bahwa alat bantu dengar bukan sebagai pengganti pendengaran yang normal, alat ini hanya membuat suara lebih keras, bahkan suara – suara tak diinginkan dan mengganggu sekalipun. b) Jika ada pengajaran khusus, siswa harus memakai alat bantu dengar sepanjang hari. c) Tempat duduk siswa sangat penting. Walaupun agak sulit, aturlah agar siswa bisa duduk di tempat di mana dia bisa mendengarkan secara optimal dan tidak terganggu. d) Siswa lain mungkin ingin tahu tentang alat bantu tersebut. Cara terbaik untuk menjawab pertanyaan mereka adalah dengan menjelaskan cara kerja alat bantu dengar tersebut di depan kelas.
19
e) Bicarakan dengan siswa agar membawa baterai cadangan ke sekolah. f) Pandanglah siswa tersebut seperti memandang anak tunanetra yang menggunakan alat bantu penglihatan. g) Ingatlah bahwa reaksi guru kepada anak tunarungu akan mempengaruhi reaksi siswa lain. 3) Mengubah cara – cara berkomunikasi Ada tiga dasar pendekatan pengajaran alternatif bagi siswa dengan
gangguan
pendengaran
yang
tidak
dapat
mengembangkan dan/atau memakai alat komunikasi standar yaitu: a) Metode manual Metode manual memiliki dua komponen dasar yaitu bahasa isyarat dan finger spelling. Bahasa isyarat menggunakan bahasa isyarat standar yaitu American Sign Language (ASL) untuk menjelaskan kata dan konsep. Finger Spelling ini menggambarkan alfabet secara manual. Posisi tangan menggambarkan masing – masing huruf latin. Finger Spelling biasanya digunakan untuk pelengkap bahasa isyarat. b) Metode oral Metode oral merupakan metode dengan menekankan pada pembimbingan ucapan dan membaca ucapan. Metode oral difokuskan pada pemanfaatan pendengaran yang tersisa (residual hearing) yang mungkin masih dimiliki siswa melalui pertolongan alat bantu dengar dan pelatihan khusus. c) Metode komunikasi total Definisi komunikasi total ditawarkan bagi pendekatan – pendekatan konsep pengajaran anak – anak hearing impairment: Dengan komunikasi total berarti hak setiap anak yang tunawicara untuk bisa belajar menggunakan segala bentuk komunikasi agar dia memiliki kesempatan penuh mengembangkan kemampuan bahasa pada usia sedini mungkin. Konsep ini meliputi pengenalan suatu symbol sistem ekspresif
20
yang dapat diterima pada usia prasekolah antara 1-5. Komunikasi total memuat spectrum model bahasa yang lengkap. Membedakan gerakan / mimik tubuh anak, bahasa isyarat yang formal, belajar berbicara, membaca ucapan, isyarat jari tangan, serta belajar membaca dan menulis. Dengan komunikasi total setiap anak yang tunarungu memiliki kesempatan mengembangkan setiap sisa pendengarannya dengan alat bantu dengar dan/atau sistem terpercaa untuk memperbesar kemampuan mendengarnya (Denton dalam Smith, (2013 :290). Metode komunikasi total ini banyak mendapat sambutan baik, dan akan menjadi lebih baik bila pendidik ikut berusaha memenuhi kebutuhan anak tunarungu (hlm. 280-290) 2. Menyusun Kalimat Berbasis EYD pada Anak Tunarungu a. Pengertian Kalimat Kalimat adalah rangkaian kata-kata menurut aturan tertentu. Menurut Lamuddin Finoza (1993:111) menjelaskan bahwa kalimat adalah bagian ujaran yang mempunyai struktur minimal subjek (S) dan predikat (P) dan intonasinya menunjukkan bagian ujaran itu sudah lengkap dengan makna. Unsur yang lain objek (O), pelengkap (Pel) dan keterangan (Ket) dalam suatu kalimat dapat wajib hadir ataupun tidak. Sedangkan menurut Bambang Tjiptadi (1984:63) kalimat adalah “ Satu bagian ujaran yang berintonasi selesi dan menunjukkan pikiran lengkap”. Kelengkapan pikiran disini maksudnya di dukung oleh pemikiran yang utuh, sekurang-kurangnya kalimat memiliki subyek atau pokok kalimat dan subyek atau sebutan, dan disertai intonasi selesai. Jika kalimat itu tidak didukung oleh pikiran lengkap dan intonasi selesai maka itu bukan kalimat atau bukan kalimat sempurna. Dari pendapat kedua ahli diatas dpat disimpulkan bahwa kalimat adalah rangkaian kata yang menunjukkan gagasan atau pikiran lengkap yang disusun kedalam subjek, predikat, objek, dan keterangan secara utuh
21
Dalam wujud lisan kalimat diiringi oleh alun titinada, disela oleh jeda, diakhiri oleh intonasi selesai, dan diikuti oleh kesenyapan yang memustahilkan adanya perpaduan atau asimilasi bunyi. Dalam wujud tulisan, kalimat dimulai dari huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru; dan sementara itu disertakan didalamnya berbagi macam pula di dalamnya berbagai tanda baca yang berupa spasi atau ruang kosong, koma titik koma, titik dua dan atau sepasang garis pendek yang mengapit bentuk tertentu. Struktur kalimat dapat dibentuk dari kata, frase, klausa, atau gabungan dari semua unsur itu. Konteks atau situasi yang dimasuki akan memperjelas makna sebuah amanat. Karena itu amanat atau kalimat seseorang mencakup beberapa segi, antara lain : (1) bentuk ekspresi (unsur – unsur segmental) terdiri atas kata, frase, klausa, atau gabungan, (2) intonasi (unsure suprasegmental) meliputi bidang suprasegmental atau ciri – ciri prosodi, (3) situasi yang dimasukinya, dan (4) makna atau arti yang didukung. Kemudian Permanarian Somad (1996:146) menerangkan bahwa kalimat yang lengkap yang ada hubungannya dengan situasi yang terjadi mudah dimengerti anak kecil yang mengalami ketunarunguan daripada kata-kata yang tidak ada kaitannya dengan situasi. Karena anak tunarungu miskin bahasa, kalimat menggunakan kaedah yang sederhanayaitu dengan menerapkan kata benda, kata kerja dan kata sifat, dengan pola kalimat yang baik dan benar. Lamuddin Finoza (1993:118) mengemukakan bahwa pola kalimat dasar sebagai berikut: 1) S – P ,contoh: Isful menulis 2) S – P – O ,contoh: Iman menonton televisi 3) S – P – Pel ,contoh: Pancasila sebagai dasar negara 4) S – P – Ket ,contoh: Kami bersekolah di Dharma Wanita 5) S – P – O – Pel ,contoh: Petani menanami sawahnya palawija 6) S – P – O – Ket ,contoh: Oni membuang sampah di tempat sampah
22
b. Menyusun Struktur Kalimat Berbasis EYD 1) Menyusun struktur kalimat Kata-kata yang digunakan untuk menyusun struktur kaliamat berasal dari kata benda, kata kerja, kata sifat dan kata tugas. Model terkecil dari struktur kalimat disebut pola kalimat. Menurut Bambang Tjiptadi (1984: 65) Pola kalimat adalah “Pola yang terdiri dari unsure-unsur jabatan kalimat untuk membentuk sebuah kalimat.” Jabatan kalimat itu meliputi subyek (pokok kalimat), predikat (sebutan), obyek (pelengkap), dan keterangan. Secara singkat ciri–ciri unsur kaimat itu dapat diperjelas sebagai berikut : a) Subyek. Subyek adalah unsur yang diperkatakan dalam sebuah kalimat atau bagian kalimat yang diterangkan. Contoh : (1) Toni duduk di kelas 5. Toni menduduki unsur subyek karena merupakan bagian kalimat yang diterangkan. Unsur subyek dapat diketahui dari jawaban atas pertanyaan siapa atau apa. b) Predikat. Predikat adalah kata dalam kalimat yang berfungsi memberitahukan apa, mengapa, atau bagaimana subyek itu. Contoh : (2) Gadis itu cantik (3) Makanan itu tidak kusukai c) Obyek. Obyek merupakan unsur kalimat yang kehadirannya tidak dapat dihilangkan dan hanya terdapat dalam kalimat yang predikatnya kata kerja. Contoh : (4) Ayah sedang membaca Koran d) Pelengkap. Seperti halnya obyek unsur pelengkap kehadirannya juga tidak dapat dihilangkan. Perbedaanya adalah bahwa pelengkap tidak dapat menduduki subyek karena kalimatnya tidak dapat dipastikan, sedangkan objek dapat menduduki fungsi subyek dalam kalimat pasif.
23
Contoh : (5) Kacang panjang bergizi tinggi. (6) Sila kesatu dalam Pacasila berlambang bintang. e) Keterangan. Keterangan merupakan kalimat yang kehadirannya dapat dihilangkan tanpa mempengaruhi keberterimaan struktur kalimatnya. Posisi unsur keterangan dapat dipindah – pindah : di tengah, di akhir, / di depan. Contoh (7) Ayah membaca koran Jawa Pos c. Menyusun Kalimat pada Anak Tunarungu Kemampuan berbahasa dan bicara anak tunarungu berbeda dengan anak yang mendengar. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan mendengar. Kesulitan berbahasa adalah masalah pokok bagi anak tunarungu, sehingga memiliki prestasi ketinggalan bila dibandingkan dengan anak normal seusianya. Sadjaah E, (2003:1) berpendapat, “Sebagai akibat hilangnya sebagian atau keseluruhan fungsi
pendengaran maka
pendengaran akan sulit atau kurang berfungsi sebagaimana mestinya, dan menyebabkan terhambatnya komunikasi baik secara lisan maupun tulisan”. Bahasa merupakan alat untuk mengetahui makna kata, aturan, atau kaedah bahasa serta penerapannya. Sedangkan kemampuan membaca, menulis, berbicara dan mendengar sebagai alat komunikasi bahasa. Anak yang mendengar umumnya memperoleh kemampuan berbahasa dengan sendirinya bila dibesarkan dalam lingkungan berbahasa dan selanjutnya anak akan Mengetahui makna kata atau aturan atau kaedah bahasanya. Kalimat yang diungkapkan anak tunarungu baik lisan maupun tulisan adalah berbelit-belit relatif kaku, kesatuan bahasanya kurang atau tidak menunjukkan hubungan untuk mengikuti kesatuan yang lain dan sedikit tumpan tindih. Hal ini sesuai dengan pendapat Kathryn P. Meadow dalam Edja Sadjaah, (2003:48) yang berpendapat bahwa: Dalam berkomunikasi melalui tulisan, anak tunarungu cenderung menggunakan kalimat pendek dan menggunakan kalimat yang lebih sederhana, karena keterbatasan kata yang dimengertinya, akhirnya anak hanya menggunakan kata yang bisa diingatnya, ia lupa dalam menyusun kalimat dengan benar, dan juga sering membuat kalimat yang tidak menggunakan kata-kata yang terlalu
24
banyak dan juga mengalami kesulitan dalam menyusun bentuk dan struktur kalimat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli tentang jenis dan banyaknya kesalahan yang diperbuat oleh anak tunarungu dalam tulisan atau karangan mereka.“ Maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan anak tunarungu tertinggal bila dibanding anak mendengar. Sejalan dengan hal itu, Myklebust dalam Lani Bunawan, (2000:54) menyimpulkan bahwa karangan anak tunarungu usia 7-15 tahun lebih banyak menggunakan kata benda dibandingkan dengan jenis kata lainnya. Terkait hasil observasi yang telah dilakukan pada siswa tunarungu kelas VIb di SLB-B YRTRW Surakarta, ditemukan permasalahan bahwa sebagian anak tunarungu umumnya mengalami kesulitan dalam hal menyusun atau menulis kalimat, sering melakukan banyak kesalahan yaitu anak sulit untuk menulis kalimat dengan struktur yang benar, dan susunan kata yang digunakan masih cenderung terbolak- balik. Contoh kalimat pertama: “Rani buku membeli”. Pada kalimat tersebut, penempatan, letak dan pemilihan kata kurang tepat sehingga kalimat menjadi sulit dipahami. Dan contoh pada kalimat kedua: “Ibu mengantar sedang adik ke sekolah”. Kata-kata yang disusun dalam kalimat tersebut tidak sesuai dengan struktur kalimat S-P-O-K sehingga alur kalimat menjadi tidak jelas dan sulit dipahami. Seringya penggunaan kalimat tidak berstruktur dan berpola tersebut, mengakibatkan pesan yang disampaikan oleh anak tunarungu saat melakukan komunikasi tidak dapat dipahami dan kurang dimengerti oleh orang yang mendengar, jika hal tersebut terus terjadi maka komunikasi yang terjalin antara anak tunarungu di dalam masyarakat akan terputus dan mereka tersisihkan dari lingkungannya. Berpijak dari permasalahan tersebut perlu adanya solusi yang dapat membantu menyelesaikan permasalahan anak tunarungu dalam kemampuan menyusun kalimat.
25
3. Metode Picture Exchange Communication System (PECS) a. Pengertian PECS PECS (Picture Exchange Communication System) adalah suatu pendekatan melalui gambar yang dikembangkan untuk anak-anak yang mengalami kekurangan dalam komunikasi visual. Bondy dan Frost dalam Meimulyani dan Caryoto, (2013:101). Tien menerangkan bahwa PECS dikembangkan pertama kali pada tahun 1985 oleh Bondy dan Frost, PECS awalnya digunakan oleh anak pra sekolah dengan gangguan ASD dan gangguan komunikasi lainnya (Frost & Bondy, 2002, pp, 46). Hal yang sama diungkapkan Meimulyani dan Caryoto (2013:101) bahwa : Awalnya PECS ini digunakan unruk siswa-siswa pra sekolah yang mengalami autis dan kelainan lainnya yang berkaitan dengan gangguan komunikasi. Siswa yang menggunakan PECS ini adalah mereka yang perkembangan bahasanya tidak mengembirakan dan mereka tidak memiliki kemauan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan PECS telah meluas dapat digunakan untuk berbagai usia dan lebih diperdalam lagi. Dari pengertian PECS yang diungkapkan beberapa ahli diatas dapat diambil kesimpulan bahwa PECS adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk menangani anak yang mengalami gangguan komunikasi. b. Langkah-Langkah Pengajaran Menggunakan Metode PECS Dalam manual yang disusun oleh Frost dan Bondy (Meimulyani dan Caryoto. 2013:109-113) Langkah-langkah PECS terdiri dari enam fase yang setiap fase merupakan jenjang hirarkis , saling berurutan dan harus berurut. Adapun fase tersebut sebagai berikut 1) Fase I Mengajarkan anak untuk pertukaran satu gambar yang diinginkan 2) Fase II Komunikator atau guru mengajarkan anak untuk menjadi gigih dan aktif dalam mencari gambar sertadatang kepada seseorang untuk
26
meminta gambar 3) Fase III Mengajarkan anak untuk memilih gambar sesuai keinginan mereka 4) Fase IV Mengajarkan anak untuk membuat struktur kalimat dengan kata ”saya ingin…” 5) Fase V Mengajarkan anak untuk menjawab pertanyaan “apa yang kamu inginkan?” 6) Fase VI Mengajarkan anak untuk berkomentar secara spontan apa yang ada di lingkungan sekitar dan menjawab pertanyaan Bondy dan Frost (Meimulyani dan Caryoto, 2013:108) juga menerangkan bahwa dalam pelaksanaan PECS ini, “anak dibimbing oleh dua orang guru atau pembimbing. Salah satunya sebagai pembimbing/guru utama, salah satunya lagi sebagai asisten. Posisi guru utama berhadapan dengan anak, sedangkan asisten berada dibelakang dekat anak “. Material yang digunakan dalam PECS cukup murah. Simbol atau gambar dapat diperoleh dengan cara menggambar sendiri, dari majalah atau koran, foto, atau gambar dari komputer (clip art atau dari internet). Bisa juga menggunakan material resmi PECS yang diterbitkan oleh Pyramid Educational Consultants. Inc. Gambar-gambar atau simbol itu dibentuk kartu kemudian dilaminating agar awet dan di belakang gambar itu dipasang pengait (velcro) atau double tape agar bisa dipasang atau digantung pada berbagai media. Dalam Meimulyani dan Caryoto (2013:104-105) menyebutkan sebagian contoh gambar yang dapat di gunakan seperti berikut: Gambar-gambar dan simbol dikelompokkan dan disusun dari yang paling mudah sampai yang paling sulit. Gambar dan simbol dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori, misalnya: 1) Orang dan jenis kelamin 2) Profesi
27
3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13)
Kata benda, kata kerja, kata siifat, kata depan Binatang Bagian tubuh Pakaian dan perlengkapannya Jenis pekerjaan Rumah dan perlengkapannya Makanan Perlengkapan masak Transportasi Tempat-tempat umum Waktu dan cuaca
Berdasarkan pengalaman Wallin (Meimulyani dan Caryoto. 2013:102-103). ada beberapa keunggulan yang dimiliki oleh PECS ini, diantaranya: 1) Setiap pertukaran menunjukkan tujuan yang jelas dan mudah dipahami. Pada saat tangan anak menunjuk gambar atau kalimat, maka dapat dengan cepat dan mudah permintaan atau pendapatnya itu dipahami. Melalui PECS, anak telah diberikan jalan yang lancar dan mudah untuk menemukan kebutuhannya. 2) Sejak dari awal, tujuan komunikasi ditentukan oleh anak. Anakanak tidak diarahkan untuk merespon kata-kata tertentu atau pengajaran yang ditentukan oleh orang dewasa, akan tetapi anak-anak didorong untuk secara mandiri memperoleh “jembatan” komunikasinya dan terjadi secara alamiah. Guru atau pembimbing mencari apa yang anak inginkan untuk dijadikan penguatan dan jembatan komunikasi dengan anak. 3) Material (bahan-bahan) yang digunakan cukup murah, mudah disiapkan, dan bisa dipakai kapan saja dan dimana saja. Simbol PECS dapat dibuat dengan digambar sendiri atau dengan foto. 4) PECS tidak membatasi anak untuk berkomunikasi dengan siapapun. Setiap orang dapat dengan mudah memahami simbol PECS sehingga anak autis dapat berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya dengan keluarganya sendiri. Demikian cara penerapan PECS dimulai dari fase I sampai VI selalu diawali dengan apa yang anak inginkan. Jika pembelajaran dimulai dari yang anak suka atau inginkan maka tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pun akan mudah dikuasai oleh anak, serta adanya dua guru yaitu guru utama dan asisten akan menambah penguasaan anak karena dengan adanya asisten maka dapat tercipta lingkungan belajar yang kondusif.
28
c. Metode PECS Untuk Meningkatkan Kemampuan Menyusun Kalimat Berbasis EYD Anak Tunarungu Untuk mengatasi permasalahan siswa kelas VIb di SLB B YRTRW Surakarta tentang penguasaan menyusun kalimat bisa diajarkan kepada anak melalui kartu gambar bernama, hal ini bertujuan karena anak tunarungu sangat sulit untuk berfikir tentang hal yang abstrak, dengan demikian, anak dapat memvisualisasikan apa yang diajarkan guru. Kartu gambar bernama salah satunya adalah melalui PECS (Picture Exchange Communication System).
Sejalan dengan ini Azhar Arsyad, (2014:89)
“Media berbasis visual memegang peran yang sangat penting dalam proses belajar”. Media visual dapat memperlancar pemahaman ingatan. Visual dapat pula menumbuhkan minat siswa dan dapat memberikan hubungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata. Dengan menggunakan kartu bergambar dalam PECS ini dapat merangsang anak untuk mengucapkan atau menuliskan kata-kata baru atau dengan kartu ini akan merangrang anak untuk mmemunculkan kembali kosakata yang pernah mereka pelajari dengan dipadu dengan kata kerja, subyek, serta keterangan sehingga tersusun kalimat yang baik dan benar menurut EYD bahasa Indonesia. Demikian pembelajaran ini diulang ulang sehingga menjadi kebiasaan karena seseorang dapat berbahasa karena terbiasa. Pembelajaran menyusun kalimat melalui PECS ini harus dimulai dari objek atau tema yang benar benar anak inginkan . Oleh karena itu menurut Bondy dan Frost, (2002:11) dalam penerapan PECS ini perlu adanya penggunaan modifikasi perilaku. Melalui modifikasi perilaku tersebut akan diketahui apa yang anak inginkan . Objek yang diinginkan tersebut akan menjadi penguatan bagi anak untuk melakukan komunikasi melalui pertukaran gambar. Demikian cara penerapan PECS untuk meningkatkan kemampuan menyusun siswa kelas VIb di SLB B YRTRW Surakarta. Dengan memanfaatkan media visual untuk menyampaikan
29
pembelajaran yang berupa gambar yang disertai keterangan gambar lalu dikemas ke dalam tema yang anak suka atau inginkan maka tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pun akan mudah dikuasai oleh anak. Berkaitan dengan hal tersebut pembelajaran menggunakan PECS pernah dilakukan untuk meningkatkan ketrampilan komunikasi anak autis. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Charlop-Christy, Carpenter, Le, LeBlanc & Kellet (2002) dengan judul “Using Picture Exchange Communication System (PECS)With Children Autism: Assesment Of PECS Acquisition, Speech, Social-Communicative Behavior, And Problem Behavior” yang menyimpulkan bahwa penelitian mnggunakan PECS dinyatakan efektif pada 3 anak autis dengan munculnya percakapan dan perilaku komunikatif yang baik dan masalah perilaku yang menurun. Temuan ini didukung oleh data empiris pertama. Begitu juga dengan penelitian dilakukan oleh Karyanti (2011) dengan judul “Penggunaan Picture Exchange Communication System (PECS) Untuk Membantu Mengurangi Perilaku Agresif: Penelitian Single Subject Research Pada Anak Tunarungu Kelas D3 di SLB Negeri Cicendo” yang hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa dalam penggunaan Picture
Exchange Communication System (PECS) pada anak tunarungu yang mempunyai gangguan perilaku agresif dapat terjadi penurunan skor pada intervensi akhir sehingga perilaku agresif anak tunarungu menurun. Berkaitan dengan penggunaan metode pembelajaran menggunakan Picture Exchange Communication System (PECS) untuk meningkatkan kemampuan menyusun kalimat berbasis EYD, hasil penelitian Penelitian yang dilakukan oleh Tien (2008) yang berjudul “Effectiveness Of The Picture Exchange Communication System As A Functional Communication Intervention For Individuals With Autism Spectrum Disorder:A Practice-Based Research Synthesis” yang hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa PECS (Picture Exchange Communication System) efektif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi anak autis. Karenanya penggunaan Picture Exchange Communication System (PECS) untuk meningkatkan kemampuan
30
berkomunikasi terutama untuk anak tunarungu seperti meningkatkan kemampuan menyusun kalimat berbasis EYD sangat dianjurkan. B. Kerangka Berpikir Di dalam sebuah penelitian dibutuhkan kerangka pemikiran untuk menghubungkan variabel-variabel. Menurut Darmawan, (2013:117) ”kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang akan diidentifikasi sebagai masalah yang penting”. Menurut Iskandar, (2008:173) “kerangka pemikiran adalah analisis secara teoritis mengenai hubungan antara variabel-variabel yang hendak di teliti”. Dapat disimpulkan bahwa kerangka berpikir merupakan analisis konseptual tentang hubungan antar variabel yang di teliti. Somantri, (2007:93) mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya, sehingga hal ini berdampak pada pencapaian prestasi yang tertinggal bila dibandingkan dengan anak normal seusianya. Sejalan dengan hal tersebut, Sadjaah E, (2003:1) berpendapat, “sebagai akibat hilangnya sebagian atau keseluruhan fungsi pendengaran maka pendengaran akan sulit atau kurang berfungsi sebagaimana mestinya, dan menyebabkan terhambatnya komunikasi baik secara lisan maupun tulisan”. Kemudian Myklebust (Lani Bunawan, 2000:54) menyimpulkan bahwa karangan anak tunarungu usia 7-15 tahun lebih banyak menggunakan kata benda dibandingkan dengan jenis kata lainnya. Pendapat tersebut sesuai dengan hasil observasi yang telah dilakukan pada siswa tunarungu kelas VIb di SLB-B YRTRW Surakarta, bahwa di kelas VIb ditemukan permasalahan bahwa anak tunarungu umumnya mengalami kesulitan dalam hal menyusun atau menulis kalimat,mereka lebih banyak menggunakan kata benda tanpa ada kata sambung atau hubng sehingga kalimat kurang tersusun dengan stuktur yang rapi, cenderung terbolak- balik dan sulit untuk di pahami.
31
Untuk mengatasi permasalahan siswa kelas VIb di SLB B YRTRW Surakarta tentang penguasaan menyusun kalimat tersebut akan dilakukan pengajaran dengan kartu gambar bernama yang disebut PECS (Picture Exchange Communication System). menyebutkan bahwa
Sejalan dengan ini Azhar Arsyad, (2014:89)
“Media berbasis visual memegang peran yang sangat
penting dalam proses belajar”. Media visual dapat memperlancar pemahaman ingatan,media visual dapat pula menumbuhkan minat siswa dan dapat memberikan hubungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata. Sehingga diharapkan dengan menerapkan metode PECS yang memaksimalkan indra visual ini dapat meningkatkan kemampuan menyusun kalimat berbasis EYD seperti yang telah diterapkan oleh Bondy dan Frost tahun 1994 di Amerika bahwa PECS telah berhasil digunakan untuk memperbaiki gangguan komunikasi anak autis. Dari judul penggunaan metode Picture Exchange Communication System (PECS) dalam meningkatkan kemampuan menyusun kalimat berbasis EYD anak tunarungu kelas VIb di SLB-B YRTRW Surakarta tahun ajaran 2015/2016 dapat dibuat kerangka berpikir seperti dibawah ini: Kemampuan Menyusun Kalimat Anak Tunarungu kelas VIb di SLB-B
YRTRW Surakarta tahun ajaran 2015/2016 Pembelajaran belum menerapkan Metode Picture Exchange Communication System (PECS)
Kemampuan Menyusun Kalimat berbasis EYD Anak Tunarungu masih rendah
Pembelajaran sudah menerapkan Metode Picture Exchange Communication System (PECS)
Kemampuan Menyusun Kalimat berbasis EYD Anak Tunarungu meningkat Gambar 2.1. Kerangka berfikir
32
C. Hipotesis Suatu penelitian ilmiah memiliki hipotesis, Sugiono menyebutkan hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian (2013:64). Sehubungan dengan itu Noor, (2012:81) menyatakan bahwa ‘Hipotesis adalah pernyataan yang dapat diuji mengenai hubungan antar variable”. Hipotesis dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan oleh fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Berdasarkan kajian teori, penelitian yang relevan, dan kerangka berfikir di atas, maka dalam penelitian ini dapat diajukan hipotesis bahwa penggunaan metode Picture Exchange Communication System (PECS) Efektif dalam meningkatkan kemampuan menyusun kalimat berbasis EYD anak tunarungu kelas VIb Di SLB-B YRTRW Surakarta tahun ajaran 2015/2016”.