BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A.
Kajian Pustaka
1. Tinjauan Tentang Belajar a. Pengertian Belajar Belajar adalah suatu proses yang dapat memberikan pengalaman nyata dan melibatkan perubahan tingkah laku pada mahasiswa sehingga mereka dapat bekerja sama, berinisiatif, menyelesaikan masalah, mengambil keputusan dan memperoleh ketrampilan. Belajar pada dasarnya tidak memandang siapa yang belajar dan di mana tempatnya, dapat dikatakan bahwa setiap orang dapat melakukannya. Mengenai pengertian belajar, berikut dikutip dari beberapa pakar pendidikan: Rusyan, et al. (1989: 8) mengemukakan bahwa “Belajar dalam arti luas adalah proses perubahan tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan dan penilaian terhadap sikap nilai, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan”. Menurut Gagne (1977) yang dikutip oleh Ngalim Purwanto (1990: 84) menyebutkan bahwa “Belajar terjadi apabila situasi stimulus bersama isi ingatan mempengaruhi mahasiswa sedemikian sehingga perbuatannya (performancenya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu kewaktu sesudah ia mengalami situasi tadi”. Dengan kata lain Gagne berpendapat bahwa belajar terjadi apabila mahasiswa mengalami perubahan perilaku yang lebih baik setelah ia mengalami proses belajar tersebut. Menurut Hilgrad dan Bower yang dikutip oleh Ngalim Purwanto (1990: 84) menyebutkan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respons pembawaan, 9
10
kematangan atau keadaan-keadaan sesaat seseorang. Berdasarkan pendapat Hilgrad dan Bower tersebut dapat diartikan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh pengalaman yang berulangulang dan bukan karena kecenderungan respons bawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang. Pengertian belajar menurut pendapat Roestiyah N.K (1989: 141) yaitu “Belajar adalah suatu proses dimana guru terutama melihat apa yang terjadi selama murid menjalani pengalaman edukatif, untuk mencapai sesuatu tujuan“. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa belajar adalah suatu proses aktivitas, yang membawa pola perubahan pada pengetahuan selama pengalaman belajar itu berlangsung. Pendapat Morgan yang dikutip oleh Ngalim Purwanto (1990: 84) menyebutkan bahwa “Belajar adalah setiap perubahan relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman”. Berdasarkan pendapat Morgan di atas dapat diartikan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari latihan atau pengalaman. Timbulnya keaneragaman pendapat para ahli merupakan fenomena yang wajar karena adanya perbedaan sudut pandang. Sesungguhnya pendapat mereka saling melengkapi. Secara garis besar dari definisi belajar yang telah diutaakan, secara umum belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku seseorang yang relatif menetap sebagai akibat dari pengalaman atau latihan. Perubahan tersebut meliputi pengetahuan, penguasaan, penggunaan dan penilaian terhadap suatu nilai, kecakapan dasar, keterampilan, sikap, dan tingkah laku. Belajar sejatinya adalah suatu proses yang berkaitan dengan perkembangan seseorang dan bukanlah suatu hasil, sehingga proses belajar dapat dilakukan dengan berbagai cara. b. Teori Belajar Konstruktivisme Menurut Trianto (2007: 13), teori belajar konstruktivisme merupakan teori yang
menyatakan
bahwa
siswa
harus
menemukan
sendiri
dan
mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan
11
aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan itu tidak lagi sesuai. Agar siswa dapat benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget dan Vyogtsky, teori-teori pemrosesan seperti teori Bruner (Slavin dalam Nur, 2002: 8) Menurut teori ini, hal yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan sendiri dalam benaknya. Salah satu cara untuk membantu siswa membangun pengetahuan dalam benak mereka adalah dengan memberikan sumber belajar yang menarik dan dapat memudahkan siswa untuk memahami materi tersebut. Sumber belajar yang dapat membantu siswa dalam membangun pengetahuan mereka diantaranya: buku, media audio, visual, dan media audio-visual. Teori-teori belajar yang umum digunakan dalam pembelajaran Fisika antara lain: 1) Teori Belajar Ausubel Ausubel, menyatakan bahwa: Belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau penyajian materi pelajaran pada mahasiswa, melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut bagaimana mahasiswa dapat menguraikan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh mahasiswa (Dahar, R. W., 1989). Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada mahasiswa dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final, maupun dalam bentuk penemuan yang mengharuskan mahasiswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Pada tingkat kedua, mahasiswa menghubungkan atau mengaitkan informasi tersebut pada pengetahuan (berupa konsep-konsep atau lain-lain) yang telah dimilikinya. Disini terjadi belajar bermakna, yaitu suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep yang relevan dengan struktur kognitif
12
seseorang. Namun mahasiswa dapat pula menghafalkan informasi baru tersebut tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada pada struktur kognitifnya (dalam hal ini terjadi belajar hafalan) atau biasa disebut sebagai proses asimilasi. Bentuk-bentuk belajar di atas dapat dinyatakan dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1. Bentuk-bentuk Belajar Belajar dapat Berupa Belajar Hafalan Belajar Bermakna Secara Secara Secara Penerimaan Secara Penerimaan Penemuan Penemuan Materi disajikan Materi Materi disajikan Materi dalam bentuk ditemukan oleh dalam bentuk ditemukan oleh final mahasiswa final mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa menghafal menghafal memasukkan memasukkan materi yang Materi materi ke dalam materi ke dalam disajikan struktur kognitifnya struktur kognitifnya 2) Teori Belajar Bruner Ratna Wilis Dahar (1989: 103) mengemukakan bahwa “Salah satu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah model dari Jerome Bruner (1966) yang dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery learning)”. Dalam teori belajarnya, Jerome Bruner berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan baik dan kreatif jika mahasiswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu. Dengan kata lain mahasiswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum. Untuk memahami suatu konsep, mahasiswa pertama-tama tidak menghafal definisi dari konsep tersebut tetapi langsung mempelajari contohcontoh konkret dari konsep tersebut baru kemudian dibimbing untuk memahami definisi dari konsep tersebut. Hal ini merupakan kebalikan dari “belajar ekspositori” (belajar dengan cara menjelaskan), yang berjalan secara deduktif. Menurut Bruner, proses belajar mahasiswa tersebut melibatkan tiga hal yang berlangsung hampir bersamaan, yaitu: a) memperoleh informasi baru,
13
b) transformasi informasi, c) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Mahasiswa diberi kebebasan untuk menuangkan pikiran dan kreatifitasnya dalam pembelajaran melalui metode eksperimen dan demonstrasi, sehingga konsep momentum dan impuls dapat dipahami oleh mahasiswa secara lebih mendalam. Dengan mengunakan metode eksperimen dan demonstrasi diskusi, mahasiswa diajak berpikir secara induktif dan deduktif hingga ditemukan suatu kesimpulan yang tidak lain merupakan konsep atau pengetahuan baru. 3) Teori Perkembangan Kognitif Piaget Jean Piaget adalah seorang pakar yang banyak melakukan penelitian tentang
perkembangan
kemampuan
kognitif
manusia.
Jean
Peaget
menyatakan bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yaitu: asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi. Asimilasi adalah proses penyatuan (pengitegrasian) informasi baru ke stuktur kognitif yang sudah ada dalam benak mahasiswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru. Equilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dengan akomodasi (penyeimbangan). Menurut J. Piaget (dalam Nur, 2004), proses belajar harus disesuaikan dengan taraf perkembangan kognitif yang dilalui mahasiswa. Piaget membagi perkembangan kognitif manusia dalam empat tahap yang berurutan. Untuk setiap manusia urutan tahap-tahap itu sama,tetapi usia untuk masuk ketahap yang lebih tinggi berbeda-beda tergantung dari lingkungan dan keturunan. Empat tahap yang dimaksud Piaget adalah: a) Tahap Sensorimotor (0-2 tahun), selama periode ini anak bergerak dan bertindak dengan indraindranya (sensori) dan dengan tindakan-tindakan (motor); b) Tahap pra Operasional (2-7 tahun), pada tahap ini anak belum mampu melakukan operasi matematika seperti menambah, mengurangi, dan lain sebagainya; c) Tahap operasional (7-11 tahun), tahap ini merupakan permulaan anak mulai berpikir secara rasional, tetapi belum dapat berurusan dengan materimateri abstrak seperti hipotesis. Pada periode ini sifat egosentris dalam berkomunikasi berubah menjadi sosiosentris; d) Tahap Operasional Formal (11 tahun keatas), anak pada periode ini tidak perlu berpikir dengan
14
pertolongan benda-benda atau peristiwa-peristiwa konkret. Anak sudah mempunyai kemampuan untuk berpikir secara abstrak. Mahasiswa sudah memiliki kemampuan untuk berpikir secara abstrak, sehingga dengan pendekatan kontekstual melaui metode eksperimen dan demonstrasi diskusi menggunakan multimedia interaktif, mahasiswa dapat memiliki kemampuan dalam mengungkapkan ide, gagasan, pendapat, dan pikiran yang dituangkan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tulisan dalam pembelajaran momentum dan impuls. Pada bahasan ini peneliti menyebutnya sebagai kemampuan verbal mahasiswa. 4) Prinsip-prinsip Belajar Proses belajar sangatlah kompleks tetapi dapat dianalisis dan dirinci dalam bentuk prinsip-prinsip belajar. Prinsip-prinsip belajar menurut Oemar Hamalik (1983: 28) antara lain:
Belajar adalah suatu proses aktif yang
memungkinkan terjadi hubungan saling mempengaruhi secara dinamis antara mahasiswa dan lingkungannya; Belajar senantiasa harus bertujuan, terarah, dan jelas bagi mahasiswa; Belajar paling efektif apabila didasari oleh dorongan motivasi murni dan bersumber dari dalam dirinya sendiri; Belajar memerlukan bimbingan. Bimbingan baik dari dosen atau tuntunan dari buku pelajaran sendiri. Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip belajar merupakan dasar-dasar dalam proses pembelajaran. Faktor-faktor yang ada di dalam mahasiswa
harus
diperhatikan
agar
dapat
memelihara
dan
mengembangkannya guna memperoleh hasil yang optimal di dalam proses pembelajaran. Pendapat lain mengenai prinsip-prinsip belajar dikemukakan oleh Slameto (2003: 27-28) adalah: a) Berdasarkan prasyarat yang diperlukan untuk belajar: (1) Dalam belajar setiap mahasiswa harus diusahakan partisipasi aktif, meningkatkan minat, dan membimbing untuk mencapai tujuan instruksional; (2) Belajar harus dapat menimbulkan reinforcement dan motivasi yang kuat pada mahasiswa untuk mencapai tujuan instruksional; (3) Belajar perlu lingkungan yang menantang sehingga anak dapat mengembangkan kemampuannya bereksplorasi dan belajar dengan efektif;
15
(4) Belajar perlu ada interaksi mahasiswa dengan lingkungannya. b) Sesuai hakikat belajar: (1) Belajar merupakan proses kontinyu maka harus tahap demi tahap menurut perkembangannya; (2) Belajar adalah proses organisasi, adaptasi, eksplorasi, dan discovery; (3) Belajar adalah proses kontinguitas (hubungan antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain) sehingga mendapatkan pengertian yang diharapkan. Stimulus yang diberikan menimbulkan respons yang diharapkan. c) Sesuai materi atau bahan yang harus dipelajari: (1) Belajar bersifat keseluruhan dan materi itu harus memiliki struktur, penyajian yang sederhana sehingga mahasiswa mudah menangkap pengertiannya; (2) Belajar harus dapat mengembangkan kemampuan tertentu sesuai dengan tujuan instruksional yang harus dicapainya. d) Syarat keberhasilan belajar: (1) Belajar memerlukan sarana yang cukup sehingga mahasiswa dapat belajar dengan tenang; (2) Repetisi, dalam
proses
belajar
perlu
ulangan
berkali-kali
agar
pengertian/keterampilan/sikap itu mendalam pada mahasiswa. Dengan Demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa dosen sebagai praktisi pendidikan harus memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran kaena prinsip tersebut merupakan komponen penting dalam pembelajaran. Hal ini bertujuan agar dosen dapat mempersiapkan rancangan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi, mahasiswa, dan kebutuhan mahasiswa. Dengan demikian, tujuan pembelajaran dapat tercapai dan hasil belajar yang diperoleh mahasiswa dapat lebih bermakna dan sesuai dengan konsep yang benar. 2. Media Pembelajaran a. Pengertian Media Pembelajaran Dalam memahami media pembelajaran paling tidak harus ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek bahasa dan terminologi. Dari aspek bahasa, dalam bahasa Latin media berasal dari kata media dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti ‘perantara’ atau ‘pengantar’. Dalam bahasa Arab, media berasal dari kata wasail yang juga berarti perantara atau
16
pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan (Arsyad dalam Musfiqon, 2012: 26). Sedangkan dari aspek terminologi, media dapat diartikan sebagai perantara atau pengantar pesan dari pengirim pesan ke penerima pesan (Sadiman dalam Musfiqon, 2012: 26). Sementara itu, Gagne dalam Soeharto (2003: 98) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan mahasiswa yang dapat merangsang mahasiswa untuk belajar. Oemar Hamalik dalam Syukur (2005: 125) mendefinisikan media sebagai teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi antara dosen dan mahasiswa dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Sedangkan Yusufhadi Miarso dalam Musfiqon (2012: 26) mengartikan media sebagai wadah dari pesan yang oleh sumber atau penyalurnya ingin diteruskan kepada sasaran atau penerima pesan tersebut, materi yang ingin disampaikan adalah pesan pembelajaran, dan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah tercapainya proses belajar. Secara lebih utuh media pembelajaran dapat didefinisikan sebagai alat bantu peraga fisik maupun nonfisik yang sengaja digunakan sebagai perantara antara dosen dan mahasiswa dalam memahami materi pembelajaran agar lebih efektif dan lebih efisien (Musfiqon, 2012: 28). Dari beberapa definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa media pembelajaran
merupakan
sarana
pengantar
informasi/pesan
dalam
pembelajaran dari dosen kepada mahasiswa untuk mewujudkan proses belajar dan pembelajaran menjadi lebih efektif dan lebih efisien. b. Fungsi Media Pembelajaran Media pembelajaran merupakan alat bantu yang berfungsi untuk menjelaskan sebagian atau keseluruhan program pembelajaran yang sulit dijelaskan secara verbal. Materi pembelajaran akan lebih mudah dan jelas jika dalam pembelajaran menggunakan media pembelajaran. Maka media pembelajaran tidak untuk menjelaskan keseluruhan materi pembelajaran,
17
tetapi sebagian yang belum jelas saja. Ini sesuai dengan fungsi media yaitu sebagai penjelas pesan (Musfiqon, 2012: 28). Angkowo dan Kosasih dalam Musfiqon (2012: 32) berpendapat bahwa salah satu fungsi media pembelajaran adalah sebagai alat bantu pembelajaran yang ikut mempengaruhi situasi, kondisi, dan lingkungan belajar dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah diciptakan dan didesain oleh dosen. Pemakaian media dalam proses pembelajaran akan dapat membangkitkan keinginan dan minat baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, serta membawa pengaruh psikologis terhadap mahasiswa. Media juga dapat berguna untuk membangkitkan gairah belajar, memungkinkan mahasiswa untuk belajar mandiri sesuai dengan minat dan kemampuannya. Secara teknis, media pembelajaran juga berfungsi sebagai sumber belajar (Munadi, 2012: 37). Dalam kalimat “sumber belajar” ini pun sesuai dengan makna dari media itu sendiri yakni sebagai penyalur, penyampai, penghubung, dan lain-lain. Dalam pengertian ini, media pembelajaran tidak sekadar berfungsi sebagai alat tetapi sumber belajar. Posisi media disetarakan dengan metode dan sumber belajar. Menurut Benni Agus Pribadi dalam Syukur (2005: 125), media pembelajaran berfungsi sebagai berikut: 1) Membantu memudahkan belajar bagi mahasiswa dan juga memudahkan proses pembelajaran bagi dosen. 2) Memberikan pengalaman lebih nyata (abstrak menjadi konkret). 3) Menarik perhatian mahasiswa lebih besar (jalannya pembelajaran tidak membosankan). 4) Semua indera dapat diaktifkan. 5) Dapat membangkitkan dunia teori dengan teorinya. Berbagai paparan di atas menunjukkan bahwa fungsi media pembelajaran cukup luas dan banyak. Namun dapat peneliti kerucutkan bahwa fungsi media pembelajaran antara lain:
18
1) Sebagai penjelas pesan Dalam hal ini media pembelajaran berfungsi untuk menjelaskan bagianbagian yang dirasa belum jelas bagi mahasiswa. 2) Sebagai alat bantu mengajar Diharapkan media pembelajaran dapat memperjelas dan mempermudah konsep yang kompleks dan abstrak menjadi lebih sederhana, konkret, dan mudah dipahami. 3) Sebagai sumber belajar Dalam hal ini menjadikan mahasiswa berinteraksi langsung dengan objek secara nyata. 4) Sebagai pemotivasi mahasiswa Dalam hal ini media pembelajaran dapat menarik dan mengarahkan mahasiswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan maksud visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran. c. Kedudukan Media dalam Pembelajaran Kedudukan media dalam pembelajaran sangat penting. Sebab media dapat menunjang keberhasilan pembelajaran. Bahkan kalau dikaji lebih jauh, media tidak hanya sebagai penyalur pesan yang harus dikendalikan sepenuhnya oleh sumber berupa orang, tetapi dapat juga menggantikan sebagian tugas dosen dalam penyajian materi pelajaran (Musfiqon, 2012: 36). Beliau melanjutkan bahwa kedudukan media yang telah menjadi bagian integral dalam pembelajaran ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan dosen dalam memilih dan mendesain media yang sesuai. Semakin profesional dosen maka semakin kecil peranan media dalam pembelajaran. Sebab dosen yang profesional akan bisa mengkreasi sumber belajar dan media agar materi lebih cepat dipahami mahasiswa. Tuntutan ini tentu mengharuskan dosen untuk memahami berbagai jenis dan karakteristik media serta belajar untuk mengoperasionalkan media yang akan digunakan dalam proses pembelajaran. Sebab media pembelajaran sebenarnya hanya merupakan alat bantu yang
19
mempermudah mahasiswa dan dosen dalam menggali informasi atau menguasai materi pembelajaran. Secara lebih jelas, kedudukan media dalam pembelajaran dapat digambarkan dalam Gambar 2.1. Materi Pelajaran
Dosen
Strategi & Media
Mahasiswa
Proses Pembelajaran
Gambar 2.1. Kedudukan Media dalam Proses Pembelajaran dimodifikasi dari (Musfiqon, 2012: 37) Dalam proses pembelajaran antara materi, dosen, strategi dan media, serta mahasiswa menjadi rangkaian mutual yang saling mempengaruhi sesuai kedudukan masing-masing. Dosen berkedudukan sebagai penyalur pesan dan mahasiswa berkedudukan sebagai penerima pesan. Sedangkan media beredudukan sebagai perantara dalam pembelajaran. Media pembelajaran yang dapat digunakan ada bermacam-macam. Media sebagai alat bantu dalam pembelajaran digunakan dengan harapan proses dan hasil pembelajaran dapat efektif, efisien, dan maksimal. Edgar Dale mengklasifikasikan media menurut tingkatannya dari yang paling konkrit ke yang paling abstrak (Susilana, Rudi, & Riyana, 2007: 7). Klasifikasi tersebut dikenal sebagai kerucut pengalaman (cone of experience) yang dapat dilihat pada Gambar 2.2.
20
Abstrak
Verbal Simbol Visual Radio Film Televisi Pameran Karyawisata Demonstrasi Pengalaman Dramatisasi Pengalaman Tiruan
Konkret
Pengalaman Langsung Gambar 2.2. Kerucut Pengalaman Edgar Dale Multimedia
interaktif
yang
dikembangkan,
menurut
kerucut
perkembangan tersebut termasuk dalam tingkatan visual, simbol, dan termasuk di dalamnya pengalaman langsung, dikarenakan mahasiswa melakukan percobaan virtual dan melakukan interaksi dengan media terebut. 3. Multimedia Interaktif a. Multimedia Interaktif Definisi multimedia beragam bergantung pada lingkup aplikasi serta perkembangan teknologi multimedia itu sendiri. Pada awal tahun 1990, multimedia berarti kombinasi dari teks dengan document image. Pada saat sekarang ini multimedia mempunyai arti tidak hanya integrasi antara teks dan grafik sederhana saja, tetapi dilengkapi dengan suara, animasi, video, dan interaksi. Multimedia dibagi menjadi dua bagian yaitu multimedia presentasi dan multimedia interaktif (Munandi, 2013: 150).
21
Multimedia presentasi, digunakan untuk menjelaskan materi-materi yang sifatnya teoritis digunakan dalam pembelajaran klasikal, baik untuk kelompok kecil maupun besar. Pemanfaatan multimedia dalam presentasi ini bisanya menggunakan perangkat lunak tersohor yakni, PowerPoint yang dikembangkan oleh Microsoft Inc (Munandi 2013: 150). Multimedia interaktif adalah suatu multimedia yang dilengkapi dengan alat pengontrol (link) yang dapat dioperasikan oleh pengguna, sehingga pengguna dapat memilih apa yang dikehendaki untuk proses selanjutnya. b. Pembelajaran Berbasis Multimedia Interaktif Menurut Munandi (2013: 152) kedudukan media sepenuhnya melayani kebutuhan belajar mahasiswa (pola bermedia). Artinya, untuk beberapa hal media pembelajaran dapat menggantikan fungsi dosen terutama sebagai sumber belajar. Salah satu media yang dapat menjalankan fungsi demikian tersebut adalah program multimedia interaktif yang selanjutnya disebut multimedia interaktif. Multimedia interaktif dapat digunakan dalam proses pembelajaran sebab cukup efektif meningkatkan hasil belajar peserta didik. Karena penggunaan multimedia interaktif cocok untuk mengajarkan suatu proses atau tahapan. Seperti yang di ungkapkan oleh Munandi (2013: 152) multimedia interaktif memiliki kelebihan sebagai media pembelajaran antaralain: 1) Interaktif. Saat mahasiswa menggunakan multimedia interaktif, ia diajak untuk terlibat secara auditif, visual, dan kinetik, sehingga dengan pelibatan ini dimungkinkan informasi atau pesannya mudah dimengerti. 2) Memberikan iklim afeksi secara individual. Multimedia interaktif mampu memberikan iklim yang lebih bersifat afektif dengan cara yang lebih individual, tidak pernah lupa, tidak pernah bosan, dan sangat sabar dalam menjalankan intruksi seperti yang diisayaratkan. 3) Meningkatkan motivasi belajar. Dengan terakomodasinya kebutuhan mahasiswa, mahasiswa pun akan termotivasi untuk terus belajar.
22
4) Memberikan umpan balik. Multimedia interaktif dapat menyediakan umpan balik (respons) yang segera terhadap hasil belajar yang dilakukan oleh peserta didik. Kontrol multimedia interaktif sepenuhnya berada pada penggunanya. Untuk merancang dan memproduksi program multimedia interaktif Munandi (2013: 153) memberikan kriteria-kriteria yang harus diperhatikan dalam pembuatan multimedia interaktif, diantaranya sebagai berikut: a. Kriteria kemudahan navigasi. Sebuah program multimedia harus dirancang sesederhana mungkin sehingga mahasiswa tidak perlu belajar komputer terlebih dahulu. b. Kriteria kandungan kognisi. Kandungan program multimedia harus memberikan pengalaman kognitif (pengetahuan) yang dibutuhkan mahasiswa. c. Kriteria integrasi media, di mana media harus mengintegrasikan beberapa aspek dan keterampilan lainnya yang harus dipelajari. Pembelajaran integratif memberi penekanan pada pengintegrasian berbagai ketrampilan berbahasa, mendengarkan, berbicara, menulis dan membaca. d. Untuk menarik minat belajar, program multimedia harus mempunyai tampilan yang artistik maka estetika juga merupakan sebuah kriteria. e. Kriteria penilaian yang terakhir adalah fungsi secara keseluruhan. Program yang dikembangkan harus memberikan pembelajaran yang diinginkan mahasiswa secara utuh. Sehingga pada waktu mahasiswa selesai menjalankan sebuah program, mereka akan merasa telah belajar sesuatu. c. Model Pembelajaran Berbasis Multimedia Interaktif Menurut Nandi (2006), terdapat beberapa format sajian pembelajaran berbasis multimedia Interaktif seperti berikut: 1) Model Tutorial Model tutorial merupakan salah satu model pembelajaran interaktif yang digunakan dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan
23
perangkat lunak atau software berupa program komputer berisi materi pelajaran. Tutorial dalam program multimedia interaktif ditujukan sebagai pengganti manusia sebagai instruktur pada kenyataannya. 2) Model Drills Model Drills merupakan salah satu bentuk model pembelajaran interaktif berbasis komputer (CBI) yang bertujuan memberikan pengalaman belajar yang lebih kongkret melalui penyediaan latihan-latihan soal untuk menguji penampilan mahasiswa melalui kecepatan menyelesaikan soal yang diberikan program. 3) Model Simulasi Model
simulasi
pada
dasarnya
merupakan
salah
satu
strategi
pembelajaran yang bertujuan memberikan pengalaman secara kongkret melalui penciptaan tiruan-tiruan bentuk pengalaman yang mendekati suasana sebenarnya dan berlangsung dalam suasana yang tanpa resiko. 4) Model Instructional Games Model instructional games merupakan salah satu model dalam pembelajaran dengan multimedia interaktif yang berbasis komputer. Tujuan model instructional games adalah untuk menyediakan suasana atau lingkungan yang memberikan fasilitas belajar yang menambah kemampuan mahasiswa. Model instructional game tidak perlu menirukan realita namun dapat memiliki karakter yang menyediakan tantangan yang menyenangkan bagi mahasiswa. Dalam penelitian ini model pembelajaran berbasis multimedia interaktif yang digunakan adalah penggabungan dari model tutorial, drills, dan simulasi. Alasan dari penggabungan ketiga model tersebut karena dalam pengembangan media pembelajaran, peneliti ingin memberikan satu alat pembelajaran yang memiliki multifungsi guna mengurangi berbagai kendalakendala dalam proses pembelajaran seperti yang peneliti temukan dalam latar belakang masalah penelitian ini.
24
4. Model Predict, Observe, Explain (POE) Model pembelajaran Predict, Observe, Explain (POE) merupakan model pembelajaran yang dikembangkan untuk mengetahui pemahaman mahasiswa mengenai suatu konsep dengan pendekatan konstruktivis. Model POE membangun pengetahuan dengan urutan memprediksi solusi dari permasalahan, melakukan eksperimen untuk membuktikan prediksi, kemudian menjelaskan hasil eksperimen yang diperoleh. Model ini memberikan kesempatan pada siswa untuk menkonstruksi
pengetahuannya
sendiri,
melakukan pengamatan terhadap
fenomena serta mengkomunikasikan pemikiran dan hasil diskusi sehingga siswa akan lebih mudah menguasai konsep yang diajarkan (Permatasari, 2011: 1). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Carin dan Sund eit. (dalam Wenno, 2010: 177), menjelaskan bahwa cara menguji teori dalam sains ada tiga cara, yaitu kemampuan
untuk
menjelaskan
sesuatu
yang
diobservasi,
kemampuan
memprediksi sesuatu yang belum diobservasi, dan kemampuan untuk menguji melalui eksperimen serta memodifikasi data-data yang diperlukan. Menurut Suparno (2013: 112), Model pembelajaran POE menggunakan tiga langkah utama dari metode illmiah yaitu (1) prediction atau membuat prediksi, membuat dugaan/prediksi terhadap suatu peristiwa fisika; (2) observation atau observasi, yaitu melakukan penelitian, pengamatan apa yang terjadi. Pada langkah observasi dianalisis terjadi tidaknya prediksi pada langkah sebelumnya; (3) explanation atau penjelasan, yaitu memberikan penjelasan. Penjelasan terutama mengenai kesesuaian antara dugaan dengan temuan dari proses observasi yang sungguh terjadi. Menurut
Suparno,
(2007:
102),
POE
adalah
singkatan
dari
prediction, observation, dan explanation. Pembelajaran dengan model POE menggunakan 3 langkah utama, yaitu: a. Prediction (prediksi) adalah merupakan suatu proses membuat dugaan terhadap suatu peristiwa fisika. Dalam membuat dugaan siswa sudah memikirkan alasan mengapa ia membuat dugaan seperti itu. Dalam proses ini siswa diberi kebebasan seluas-luasanya menyusun dugaan dengan alasannya, sebaiknya guru tidak membatasi pemikiran siswa sehingga banyak gagasan
25
dan konsep fisika muncul dari pikiran siswa. Semakin banyaknya muncul dugaan dari siswa, guru akan dapat mengerti bagaimana konsep dan pemikiran fisika siswa tentang persoalan yang diajukan. Pada proses prediksi ini guru juga dapat mengerti miskonsepsi apa yang banyak terjadi pada diri siswa. Hal ini penting bagi guru dalam membantu siswa untuk membangun konsep yang benar. b. Observation (observasi) yaitu melakukan penelitian, pengamatan apa yang terjadi. Dengan kata lain siswa diajak untuk melakukan percobaan, untuk menguji kebenaran prediksi yang mereka sampaikan. Pada tahap ini siswa membuat eksperimen, untuk menguji prediksi yang mereka ungkapkan. Siswa mengamati apa yang terjadi, yang terpenting dalam langkah ini adalah konfirmasi atas prediksi mereka. c. Explanation (eksplanasi) yaitu pemberian penjelasan terutama tentang kesesuaian antara dugaan dengan hasil eksperimen dari tahap observasi. Apabila hasil prediksi tersebut sesuai dengan hasil observasi dan setelah mereka memperoleh penjelasan tentang kebenaran prediksinya, maka siswa semakin yakin akan konsepnya. Akan tetapi, jika dugaannya tidak tepat maka siswa
dapat
mencari
penjelasan
tentang
ketidaktepatan
prediksinya. Mahasiswa akan mengalami perubahan konsep dari konsep yang tidak benar menjadi benar. Dalam hal ini, masiswa dapat belajar dari kesalahan, dan biasanya belajar dari kesalahan tidak akan mudah dilupakan. 5. High Order Thinking Skills (HOTS) Kemampuan berpikir merupakan suatu bekal yang dimiliki manusia untuk dapat melakukan aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemampuan berpikir pada setiap diri manusia terus berkembang dan menjadi pembeda antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Perbedaan kemampuan berpikir akan menyebabkan perbedaan kemampuan pemecahan masalah. Berpikir merupakan aktivitas memahami sesuatu atau memecahkan suatu masalah melalui proses pemahaman terhadap sesuatu atau inti masalah yang sedang dihadapi dan faktor-faktor lainnya (Irham dan Wiyani, 2013: 42-43).
26
Santrock
(2009)
mengemukakan
bahwa
berpikir
melibatkan
kegiatan
memanipulasi dan mentransformasi informasi dalam memori sebagai upaya membentuk konsep, menalar, berpikir secara kritis, berpikir secara kreatif, dan memecahkan masalah. Kemampuan berpikir merupakan bagian dari perkembangan kognitif yang berkaitan erat dengan proses pembelajaran di sekolah. Proses berkembangnya pemikiran peserta didik selama kegiatan pembelajaran berkaitan dengan proses perkembangan kognitif berupa perubahan-perubahan dalam pemikiran dan penalaran. Proses berpikir pada siswa dalam proses belajar mengajar bertujuan untuk membangun dan membentuk kebiasaan siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan baik, benar, efektif, dan efisien (Irham & Wiyani, 2013: 48). Oleh karena itu, upaya menumbuhkan kemampuan berpikir menjadi sesuatu yang penting dalam proses pembelajaran. Hal ini seperti pendapat yang dikemukakan oleh Heong et al. (2011: 121), kemampuan berpikir merupakan hal pokok dalam proses pembelajaran. Pikiran seseorang dapat mempengaruhi kemampuan belajar, kecepatan, dan keefektifan pembelajaran. Oleh karena itu, kemampuan berpikir berhubungan dengan proses pembelajaran. Siswa yang dilatih untuk berpikir menunjukkan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan pendidikan mereka. Kemampuan berpikir yang dimaksud yaitu kemampuan berpikir pada tingkat yang lebih tinggi yang tidak dapat diperoleh secara langsung sehingga perlu dilatihkan. Peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi akan mampu belajar dan mengimprovisasi kinerjanya serta mengurangi kelemahannya. Terdapat beberapa ahli serta lembaga pendidikan yang mengemukakan pendapatnya mengenai definisi kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking skill). Heong, et al. (2011: 121) mengemukakan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi didefinisikan sebagai penggunaan pikiran secara lebih luas untuk menemukan tantangan baru. Kemampuan berpikir tingkat tinggi ini menghendaki seseorang untuk menerapkan informasi baru atau pengetahuan sebelumnya dan memanipulasi informasi untuk menjangkau kemungkinan jawaban dalam situasi baru.
27
Thomas and Thorne dari lembaga Center for Development and Learning di Los Angeles menyatakan bahwa berpikir tingkat tinggi adalah berpikir yang tidak sekedar menghafalkan fakta atau mengatakan sesuatu kepada seseorang persis seperti sesuatu itu disampaikan kepada
orang lain. Ketika seseorang
menghafalkan dan menyampaikan kembali informasi tersebut tanpa harus memikirkannya, artinya orang tersebut sedang menggunakan memori hafalan (rote memory). Berpikir tingkat tinggi, atau disingkat HOT, merupakan pencapaian berpikir kepada pemikiran tingkat tinggi daripada sekedar pengulangan fakta-fakta. HOT mengharuskan seseorang melakukan sesuatu berdasarkan fakta-fakta. Orang tersebut harus memahaminya, menghubungkannya satu sama lain, mengkategorikan, memanipulasi, menempatkannya bersama-sama dengan cara-cara baru, dan menerapkannya dalam mencari solusi baru terhadap persoalan-persoalan baru. Menurut taksonomi Bloom yang telah direvisi (dalam Istiyono, 2014) proses kognitif terbagi menjadi kemampuan berpikir tingkat rendah (Lower Order Thinking) dan kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking). Kemampuan yang termasuk LOT adalah kemampuan mengingat (remember), memahami (understand), dan menerapkan (apply), sedangkan HOT meliputi kemampuan menganalisis (analyze), mengevaluasi (evaluate), dan menciptakan (create) (Anderson & Krathwohl, 2001: 30). Taksonomi Bloom sudah lama diterapkan dalam bidang pendidikan dan sudah lama digunakan. Taksonomi Bloom masih digunakan dalam banyak kurikulum dan bahan pengajaran (Brookhart, 2010, p.39, Schraw & Robinson, 2011, pp.158-159). Dalam kemampuan
berpikir
tingkat
tinggi
(HOTS)
yang
digunakan
meliputi
menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan. 6. Materi Kalor dan Hukum Pertama Termodinamika Berdasarkan Standar Kompetensi dalam kurikulum berorientasi KKNI, mata kuliah Fisika Dasar II untuk mahasiswa semester genap khususnya pokok bahasan kalor dan hukum pertama termodinamika memiliki kompetensi dasar sebagai
28
berikut: “Menjelaskan dan menganalisis besaran kalor dan hukum pertama termodinamika.”
a. Kalor dan Energi Dalam Energi dalam adalah semua energi dari sistem yang berhubungan dengan komponen mikroskopisnya (atom dan molekul) ketika dipandang dari kerangka acuan diam yang mengacu pada pusat massa sistem. Pada bagian akhir dari kalimat tersebut ditekankan bahwa beberapa energi kinetik dari sistem yang bergantung pada gerakannya dalam ruang tidak termasuk sebagai energi dalam. Energi dalam meliputi energi kinetik acak traslasi, rotasi, dan getaran molekul; energi potensial dalam molekul; serta energi potensial antar molekul. (Serway, 2010: 18) Kalor adalah bentuk energi yang berpindah dari benda satu ke benda lainnya karena perbedaan suhu. Kalor atau nilai kuantitas panas erat kaitannya dengan suhu suatu benda, meskipun pengertian suhu dan kalor sangatlah berbeda. Kalor yang diberikan pada suatu benda pada umumnya akan menaikkan suhu benda. Akan tetapi, pada kasus tertentu kalor yang diberikan pada suatu benda hanya digunakan untuk mengubah wujud benda tanpa menaikkan suhunya (Hewitt, 2009: 409). Secara spontan kalor mengalir dari satu benda yang bersuhu tinggi ke benda yang bersuhu lebih rendah. Pada abad ke-18, model kalor menggambarkan aliran kalor sebagai gerakan zat fluida disebut kalori (caloric). Namun fluida kalori tidak pernah dapat dideteksi, dan pada abad
ke-19
ditemukan
bahwa
berbagai
fenomena yang berhubungan dengan kalor dapat diterangkan secara konsisten tanpa butuh penggunaan model fluida. Count Rumford (1753-1814) dan James Prescolt Joule (1818-1889) melakukan sejumlah eksperimen melakukan gagasan bahwa kalor
Gambar 2.3. Percobaan Joule Sumber: Giancoli, 2001
29
digambarkan sebagai aliran energi (transfer energi). Eksperimen Joule ditunjukkan (secara sederhana) pada Gambar 2.3. Beban yang jatuh menyebabkan roda pedal berputar. Gesekan antara air dan roda pedal menyebabkan suhu air naik sedikit (yang sebenarnya hampir tidak terukur oleh Joule). Kenaikan suhu yang sama juga bisa diperoleh dengan memanaskan air di atas kompor. Joule menentukan bahwa sejumlah kerja tertentu yang dilakukan selaku ekivalen dengan sejumlah masukan kalor tertentu. Secara kuantitatif, kerja 4,186 joule (J) ternyata ekivalen dengan 1 kalori (kal) kalor. Nilai ini dikenal dengan tara kalor mekanik 4,186 J
= 1 kal
4,186 x 103 J = 1 kkal (Giancoli, 2001: 490) Berdasarkan hasil percobaan ini dan percobaan lainnya, para ilmuwan kemudian menginterpretasikan kalor bukan sebagai zat, dan bahkan bukan sebagai bentuk energi melainkan kalor merupakan transfer energi. 1) Hubungan Kalor dan Suhu Benda Apabila sejumlah kalor diberikan pada suatu benda, maka suhu benda itu akan naik. Misalkan sewaktu memasak air, energi panas dibutuhkan untuk menaikkan suhu air hingga mendidih. Secara induktif, makin besar kenaikan suhu suatu benda, makin besar pula kalor yang diserapnya. Selain itu, kalor yang diserap benda juga bergantung massa benda dan bahan penyusun benda. Pada abad ke-18 sejumlah ilmuwan melakukan percobaan dan menemukan bahwa besar kalor Q yang diperlukan untuk mengubah suhu suatu benda yang besarnya ∆T sebanding dengan massa m zat tersebut. Pernyataan ini dapat dinyatakan dalam persamaan: Q = mc ∆T
(2.1) (Giancoli, 2001: 492)
30
Dengan kalor Q dalam satuan J, massa suatu zat (m) dalam satuan kg, kalor jenis zat (c) dalam J/kg°C, dan perubahan suhu (∆T) dalam °C. Dari persamaan (1.1) tersebut, c adalah karakteristik dari zat yang disebut kalor spesifik. Kalor jenis suatu zat dinyatakan dalam satuan J/kg°C (satuan SI yang sesuai). Untuk air pada suhu 15°C dan tekanan tetap 1 atm, cair =1 kkal/kg°C atau setara dengan 4,19 x 103J/kg°C. Tabel 2.6. memperlihatkan besar kalor spesifik atau kalor jenis untuk beberapa zat pada suhu 20°C. Sampai batas tertentu, nilai kalor jenis atau kalor spesifik bergantung pada suhu (sebagaimana bergantung sedikit pada tekanan), tetapi untuk perubahan suhu yang tidak terlalu besar, c seringkali dianggap konstan. Tabel 2.2. Nilai Kalor Jenis Zat Zat Alumunium Kuningan Gelas Besi atau baja Timah Marmer
Kalor Jenis (c) kkal/kg°C J/kg°C 0,22 900 0,093 390 0,20 840 0,11 450 0,031 0,21
130 860
Perak
0,056
230
Kayu
0,4
1700
Zat
Kalor jenis (c) kkal/kg°C J/kg°C 0,58 2400 0,033 140
Alkohol (ethil) Air raksa Air Es (-5°C) 0,50 2100 Cairan 1,00 4186 (15°C) Uap 0,48 2010 (110°C) Tubuh 0,83 3470 manusia (ratarata) Protein 0,4 1700 (Giancoli, 2001: 492)
2) Kapasitas Kalor Air dalam satu panci ketika dimasak hingga mendidih memerlukan kalor tertentu. Kalor yang dibutuhkan satu panci air agar suhunya naik 1°C disebut kapasitas kalor. Kapasitas kalor sebenarnya banyaknya energi yang diberikan dalam bentuk kalor untuk menaikkan suhu benda sebesar satu derajat. Pada sistem SI, satuan kapasitas kalor adalah J/K. Namun suhu biasa dinyatakan dalam skala celsius, maka satuan kapasitas
31
kalor yang dipakai adalah J/°C. Kapasitas kalor (C) dapat dituliskan sebagai berikut: C = m.c atau C
Q T
(2.2) (Halliday dan Resnick, 1985: 725)
Dari persamaan (2.1) dan (2.2) besar kalor yang diperlukan untuk menaikkan suhu suatu zat adalah: Q = C T
(2.3)
3) Hukum Kekekalan Energi Kalor (Asas Black) Bila suatu bagian dari suatu sistem yang terisolasi berada pada suhu yang berbeda, kalor akan mengalir dari bagian yang bersuhu tinggi ke bagian yang bersuhu lebih rendah. Jika sistem benar-benar terisolasi seluruhnya, tidak ada energi yang dapat mengalir ke dalam atau ke luar sistem, hukum kekekalan energi memainkan peran yang penting pada hal tersebut. Kalor yang dilepaskan oleh sebagian sistem sama dengan kalor yang diterima oleh bagian yang lain; Kalor yang hilang = kalor yang diterima QL = QT
(2.4)
Pertukaran energi kalor merupakan teknik dasar yang dikenal dengan nama kalorimetri, yang merupakan pengukuran kuantitatif dari pertukaran kalor.
Untuk
melakukan
pengukuran
pertukaran kalor digunakan kalorimeter. Gambar 2.4. menunjukkan skema kalorimetri air sederhana. Salah satu kegunaan yang penting dari kalorimeter adalah dalam penentuan kalor jenis suatu zat. Pada teknik yang dikenal sebagai ”metode campuaran”, satu sampel zat
Sumber: (Giancoli, 2001:495).
Gambar 2.4. Kalorimeter Air Sederhana dipanaskan sampai temperatur tinggi yang
32
diukur dengan akurat, dan dengan cepat ditempatkan pada air dingin kalorimeter. Kalor yang hilang pada sampel tersebut akan diterima oleh air dan kalorimeter. Dengan mengukur suhu akhir campuran tersebut, maka dapat dihitung kalor jenis zat tersebut (Giancoli, 2001: 495). 4) Kalor Laten dan Perubahan Wujud Benda Joseph Black (1728-1799) adalah seorang ilmuwan dari Skotlandia. Dia menyatakan bahwa es dapat mencair tanpa berubah suhunya. Hal ini berarti bahwa es dapat menyerap panas dan menggunakan energi panas tersebut untuk mengubah bentuknya menjadi cair. Ia juga menemukan bahwa kejadian yang sama akan terjadi saat air berubah menjadi uap air. Energi yang diserap oleh suatu bahan untuk berubah dari padatan menjadi cair disebut kalor laten peleburan, sedangkan saat benda cair berubah menjadi gas disebut kalor laten penguapan. Black juga menyatakan bahwa sejumlah substansi yang berbeda akan membutuhkan sejumlah energi panas yang berbeda pula untuk menentukan suhunya dengan kenaikan yang sama (Zemansky, 1985: 383). T°C
IV
QU = m U
100°C
II
0°C
V Q3 = m c ∆T
III Q = m c ∆T 2
QL = m L
IQ = m c ∆T 1
Q (J)
-T°C
Gambar 2.5. Grafik Hubungan Suhu dan Kalor yang Ditambahkan pada Air (Zemansky,1985:383) Kuantitas panas per satuan massa yang harus diberikan kepada suatu bahan pada titik leburnya supaya menjadi zat cair seluruhnya pada
33
suhu titik lebur disebut panas peleburan atau kalor lebur (L), sedangkan kuantitas panas per satuan massa yang diberikan kepada suatu bahan pada titik didihnya supaya menjadi gas seluruhnya pada titik didih tersebut disebut panas penguapan bahan atau kalor uap (U). Kalor uap dan kalor lebur dinyatakan dalam satuan kalori per gram atau Btu per pound. Kalor lebur es kira-kira 80 kal g-1 atau 144 Btu lb-1, kalor uap air ialah 539 kal g-1 atau 970 Btu lb-1. Analisis Grafik 2.1 perubahan wujud es yang dipanaskan sampai menjadi uap yakni sebagai berikut: Pada proses I, es mendapat kalor (Q1) dan digunakan menaikkkan suhu es, setelah suhu mencapai pada 0°C es tetap menerima kalor, kalor yang diterima (QL)
digunakan untuk
melebur (merubah wujud dari es menjadi air) pada fase II, setelah semua menjadi air, dan air tersebut tetap menerima kalor (Q2) terjadi kenaikan suhu air (hingga 100°C) pada fase III, air tetap menerima kalor sebesar QU digunakan untuk merubah wujud menjadi uap air pada fase IV, dan seterusnya hingga suhu uap menjadi naik pada fase V dikarenakan menerima kalor sebesar Q3. Menurut Asas Black apabila ada dua benda yang suhunya berbeda kemudian disatukan atau dicampur maka akan terjadi aliran kalor dari benda yang bersuhu tinggi menuju benda yang bersuhu rendah. Aliran ini akan berhenti sampai terjadi kesetimbangan termal (suhu kedua benda sama yakni ta). Secara matematis dapat dituliskan: Qlepas = Qterima
(2.5) (Giancoli, 2001: 495)
Benda yang melepas kalor adalah benda yang bersuhu tinggi (T1)dan yang menerima kalor adalah benda yang bersuhu rendah (T2). Bila persamaan tersebut dijabarkan maka akan memperoleh; Qlepas = Qterima m1.c1.(T1-Ta) = m2. c2. (Ta-T2)
(2.6) (Giancoli, 2001: 495)
34
b. Usaha dan Kalor dalam Proses-proses Termodinamika Dengan
pendekatan
makroskopis
dalam
termodinamika
digambarkan dengan berbagai variabel, seperti tekanan, volume, suhu, dan energi dalam. Besaran-besaran tersebut dikategorian sebagai variabel keadaan. Keadaan makroskopis suatu sistem yang terinsulasi dapat ditentukan hanya jika sistem dalam keseimbangan termal secara internal. Pada kasus gas dalam wadah,keseimbangan termal internal mengharuskan bahwa setiap bagian gas memiliki tekanan dan suhu yang sama. Kategori kedua untuk variabel-variabel dalam situasi yang melibatkan energi adalah variabel transfer. Variabel-variabel ini bernilai nol kecuali jika terjadi perpindahan energi melewati batas sistem. Variabel transfer tidak berkaitan dengan keadaan sistem tertentu, melainkan berkaitan dengan perubahan dalam keadaan sistemnya. Anggap suatu silinder mempunyai piston yang dapat bergerak bebas. Silinder ini diisi dengan gas yang menempati volume V. Gas akan menekan ke semua bagian silinder termasuk piston dengan tekanan 𝑃. Gaya yang bekerja pada piston akibat tekanan gas adalah 𝐹 = 𝑃𝐴 dengan 𝐴 menyatakan luas penampang piston. Sekarang jika diasumsikan piston ditekan ke arah dalam dan memampatkan gas secara kuasi statis yang berarti cukup lambat untuk menjaga
sistemnya
tetap berada
Gambar 2.6. Usaha Dilakukan pada Gas yang Berada dalam Silinder
pada
keseimbangan termal sepanjang waktu. Pada saat piston ditekan kea rah bawah oleh gaya eksternal 𝐅 = −𝑓𝐣̂ sejauh perpindahan 𝑑𝐫 = 𝑑𝑦𝐣̂ (Gambar 2.5.), maka usaha yang dilakukan pada gas adalah: 𝑑𝑊 = 𝐅 ∙ 𝑑𝐫 = −𝐹𝐣̂ ∙ 𝑑𝑦𝐣̂ = −𝐹 𝑑𝑦 = −𝑃𝐴 𝑑𝑦
(2.7)
Karena 𝐴 𝑑𝑦 adalah perubahan volume gas 𝑑𝑉, maka usaha yang dilakukan pada gas pada persamaan 2.7 akan menjadi
35
dW PdV (usaha sistem)
(2.8)
Pada persamaan 2.8 usaha yang dilakukan oleh lingkungan menyebabkan 𝑉𝑓 < 𝑉𝑖 sehingga 𝛥𝑉 akan bernilai negatif. ketika 𝑉 = 0 (tidak terjadi perubahan volume) maka 𝑊 = 0. Dalam hal ini gas tidak menerima atau melakukan usaha. Usaha total yang dilakukan pada gas untuk merubah volumenya dari 𝑉𝑖 menjadi 𝑉𝑓 adalah: Vf
W P.dV
(2.9)
Vi
c. Hukum Pertama Termodinamika Semisal suatu sistem mengalami perubahan dari keadaan awal ke keadaan akhir. Terjadi perpindahan kalor memasuki sistem, dan usaha dilakukan pada sistem. Misal, sistemnya berupa gas, dengan tekanan dan volume berubah dari 𝑃𝑖 dan 𝑉𝑖 menjadi 𝑃𝑓 dan 𝑉𝑓 . Jika jumlah ditentukan oleh keadaan awal dan akhir dari sistem, dan besaran ini disebut sebagai perubahan energi dalam pada sistem. Maka perubahan energi dalam ∆𝑈 dapat ditunjukkan oleh U Q W
(2.10)
Dan seluruh besarannya harus memiliki satuan yang sama untuk energi yaitu Joule (dalam SI) Persamaan 2.10 dikenal sebagai hukum pertama termodinamika yang mana apabila sistem menerima kalor dari lingkungan ( Q bernilai positif) dan sistem menerima usaha dari lingkugan (W bernilai positif).
Salah
satu
konsekuensi
penting
dari
hukum
pertama
termodinamika adalah adanya nilai energi dalam yang nilainya ditentukan oleh keadaan sistem. Energi dalam adalah variabel keadaan seperti tekanan, volume, dan suhu. Ketika mengalami perubahan perubahan teramat kecil maka sejumlah kecil energi dQ dipindahkan oleh kalor dan usaha 𝑑𝑊 yang kecil dilakukan padanya, energi dalam berubah dalam jumlah 𝑑𝑈 yang kecil.
36
Untuk nilai yang sangat kecil hukum pertama termodinamika dinyatakan dalam persamaan 2.11 sebagai berikut dU dQ dW
Hukum
pertama
(2.11) termodinamika
adalah
sebuah
persamaan
kekekalan energi yang menyatakan bahwa satu-satunya jenis energi yang berubah dalam sistem adalah energi dalam. 𝑈. Untuk mencari energi dalam sistem menggunakan hukum termodinamika I, dapat dinyatakan sebagai berikut. d. Proses-proses Termodinamika Pada pembahasan Teori Kinetik Gas, Boyle, Charles, dan Gay Lussac menyelidiki perilaku gas jika salah satu variabel dibuat tetap. Boyle menyelidiki perilaku gas jika suhunya dibuat tetap. Charles menyelidiki perilaku gas jika tekanan dibuat tetap. Sementara Gay Lussac menyelidiki perilaku gas jika volume dibuat tetap. Keadaan-keadaan yang dibuat oleh oleh Boyle, Charles, dan Gay Lussac tersebut dapat terjadi dalam proses termodinamika. Secara garis besar, proses-proses termodinamika dibagi menjadi 4 macam, yaitu 1) Proses Adiabatik Proses Adiabatik merupakan proses ketika tidak ada energi berupa kalor yang masuk ke atau keluar dari sistem, dengan kata lain Q = 0. Sebuah proses adiabatik dapat dicapai dengan menginsulasi dinding sistem secara termal, seperti pada ilustrasi, atau menjalankan sistem secara cepat sehingga
waktu
perpindahan
kalornya
dapat
diabaikan.
Dengan
mengaplikasikan hukum pertama termodinamika untuk proses adiabatik maka diperoleh bahwa dU dW
(2.12)
Persamaan 2.12 menunjukkan bahwa pada proses adiabatik, perubahan energi dalam hanya dipengaruhi oleh perubahan usaha saja.
37
2) Proses Isobarik Proses yang terjadi pada tekanan tetap disebut proses isobarik. Seperti pada gambar ilustrasi, pada proses isobarik dapat dihasilkan dengan membuat piston dapat bergerak dengan bebas, sehingga tekanan selalu dalam keadaaan seimbang antara gaya netto dar gas yang mendorong keatas dan berat piston ditambah dengan gaya dari tekanan atmosfer yang mendorong kebawah. Dalam proses ini usaha yang dilakukan adalah
W P V f Vi
(2.13)
Sebagaimana telah dituliskan pada persamaan 2.9 menghasilkan persamaan 2.13 dengan 𝑃 merupakan tekanan tetap. 3) Proses Isokhorik Proses dalam tekanan tetap adalah isovolumetrik atau biasa disebut isokhorik. Pada ilustrasi terlihat bahwa dengan menjepit piston pada posisi yang telah ditentukan,
kan
membuat
volumenya
tetap.
Dengan
Gambar 2.7. Proses Isobarik
demikian dari hukum pertama termodinamika pada proses isokhorik nilai 𝑊 = 0 karena volume 𝑉 nya konstan. Sehingga diperoleh
dU dQ Persamaan
(2.14) 2.14
menyatakan
bahwa
jika
energi
kalor
ditambahkan pada sistem yang volumenya dijaga tetap, maka seluruh kalor yang ditambahkan tetap berada dalam sistem sebagai suatu peningkatan energi dalamnya. 4) Proses Isotermal Proses isotermal merupakan proses ketiaka suhu dipertahankan tetap. Seperti tampak pada ilustrasi gas dihubungkan dengan reservoir
38
panas (tandon) sehingga suhu gas senantiasa sama dengan suhu tandon ini. Perubahan volume gas dari 𝑉1 ke 𝑉2 ini dinamakan isotermal karena suhu gas dipertahankan konstan. Menurut persamaan gas ideal
P
nRT V
(2.15)
Dikarenakan suhu T dipertahankan konstan
Gambar 2.8. nilai 𝑛𝑅𝑇 pada persamaan 2.15 bernilai konstan pula, Proses Isotermal sehingga proses isotermal ini dapat digambarkan dalam suau diagram PV yang merupakan grafik tekanan P dan fungsi volume V dengan bentuk grafiknya berupa grafik asimtot. Usaha yang dilakukan oleh gas pada proses isotermal ini dapat dihitung dengan persamaan 2.16 sebagai beriut Vf
Vf
W P dV Vi
Vi
nRT dV V
(2.16)
Karena 𝑇 konstan maka Vf
W nRT Vi
dV V nRT ln V V f i V
V W nRT ln i Vf
(2.17)
Secara numerik, besarnya usaha yang dilakukan oleh gas sama dengan luas daerah yang diarsir pada diagram PV. Diagram tersebut menunjukkan bahwa 𝑉𝑓 > 𝑉𝑖 dan nilai usaha pada gas adalah negatif, sebaliknya jika gas dimampatkan maka usaha gas positif. e. Perpindahan Kalor 1) Konduksi Konduksi kalor pada banyak materi dapat digambarkan sebagai hasil tumbukan molekul-molekul. Ketika satu ujung dipanaskan, molekulmolekul benda itu bergetar lebih cepat dan lebih cepat. Sementara bertumbukan dengan molekul lain yang bergerak lebih lambat, mereka
39
mentransfer sebagian energi ke molekul-molekul lain yang lajunya kemudian bertambah. Dengan demikian energi termal ditransfer oleh tumbukan molekul sepanjang benda.
Konduksi terjadi jika ada perbedaan temperatur. Kecepatan aliran kalor juga bergantung pada ukuran dan bentuk benda. Untuk menyelidiki hal ini secara kuantitatif, dapat dilihat pada Gambar 2.9. Berdasarkan percobaan diketahui bahwa aliran kalor ΔQ per selang waktu Δt Gambar 2.9. Konduksi Kalor antara Daerah Temperatur T1 T T dan T2. Jika T1 Lebih besar Q kA 1 2 dari T2. Kalor Mengalir ke t l Kanan (Giancoli, 2001: 501) (Giancoli, 2001) . dengan A adalah luas penampang lintang dinyatakan oleh hubungan
benda, l adalah jarak antara kedua ujung, yang mempunyai temperatur 𝑇1 dan 𝑇2, dan k adalah konstanta pembanding yang disebut konduktivitas termal, yang merupakan karakteristik materi tersebut. Kecepatan aliran kalor(satuan J/s) berbanding lurus dengan luas penampang lintang dan dengan gradien temperatur (𝑇1 − 𝑇2 )/𝑙 (Giancoli, 2001: 502). 2) Konveksi Zat cair dan gas umumnya bukan merupakan penghantar kalor yang sangat baik, namun dapat mentransfer kalor cukup cepat dengan konveksi. Konveksi adalah proses ketika kalor ditransfer dengan pergerakan molekul dari satu tempat ke tempat yang lain. Sementara konduksi melibatkan molekul (dan/atau elektron) yang hanya bergerak dalam jarak yang kecil dan bertumbukan, konveksi melibatkan pergerakan molekul dalam jarak yang besar. Tungku dengan udara yang dipaksa, dalam hal ini udara dipanaskan dan kemudian ditiup oleh kipas angin ke dalam ruangan, merupakan satu contoh konveksi yang dipaksakan. Konveksi alami juga terjadi, dan satu
40
contoh yang banyak dikenal adalah bahwa udara panas akan naik (Giancoli, 2001: 504). 3) Radiasi Konveksi dan konduksi memerlukan adanya materi sebagai medium untuk membawa kalor dari daerah yang lebih panas ke yang lebih dingin. Tetapi jenis ketiga dari transfer kalor tanpa melalui medium apapun. Semua kehidupan di dunia ini bergantung pada transfer energi dari Matahari, dan energi ini ditransfer ke Bumi melalui ruang yang hampa (hampir hampa). Bentuk transfer energi ini dalam kalor karena temperatur Matahari jauh lebih besar (6000 K) dari Bumi dinamakan radiasi. Kecepatan sebuah benda meradiasikan energi telah ditemukan sebanding dengan pangkat empat temperatur Kelvin, T. Yaitu, sebuah benda pada 2000 K jika dibandingkan dengan benda lain pada 1000 K meradiasikan energi dengan 24 = 16 kali lipat lebih besar. Kecepatan radiasi juga sebanding dengan luas A dari benda yang memancarkannya, sehingga kecepatan energi meninggalkan benda, ∆Q/∆t, adalah ∆𝑄 = 𝑒𝜎𝐴𝑇 4 ∆𝑡 Persamaan ini disebut persamaan Stefan-Boltzmann, dan σ merupakan konstanta
universal
yang
disebut
konstanta
Stefan-
Boltzmann yang memiliki nilai 𝜎 = 5,67 × 10−8 W/m2 ∙ K 4 Faktor e, disebut emisivitas, merupakan bilangan antara 0 dan 1 yang merupakan karakteristik materi. Permukaan yang sangat hitam, seperti arang, mempunyai emisivitas yang mendekati 1, sementara permukaan yang mengkilat mempunyai emisivitas yang mendekati nol dan dengan demikian memancarkan radiasi yang lebih kecil. Nilai e bergantung sampai batas tertentu terhadap temperatur benda.
41
B.
Penelitian yang Relevan
1. Baser M., (2006) menjelaskan bahwa hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa pembelajaran yang berbasis pada konflik kognitif untuk memfasilitasi perubahan konsep, membuat pemahaman konsep yang lebih baik pada materi kalor dan temperatur. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa untuk memberikan pemahaan konsep yang lebih baik dapat dilakukan dengan pembelajaran berbasis konflik kognitif. 2. Tanahoung, C., et al. (2008) mengungkapkan bahwa penelitiannya yang dilakukan di Thailand menunjukkan adanya miskonsepsi yang signifikan pada konsep yang berkaitan dengan kalor dan temperatur, laju kalor, kapasitas kalor jenis, dan perubahan wujud zat. Penelitian tersebut merupakan satu bukti bahwa ada miskonsepsi yang terjadi pada materi kalor dan temperatur. 3. Nottis, K. E. K. et al. (2009) menyimpulkan bahwa berdasarkan penelitian mengenai pemhaman mahasiswa pada materi kalor, temperatur, dan radiasi menunjukkan bahwa, pembelajaran konvensional dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa, walaupun skornya masih rendah. Perubahan yang tidak terlalu signifikan pada hasil pretest ke posttest terjadi pada materi energi dan temperatur, subtes mengindikasikan miskonsepsi susah untuk diubah. Penelitian ini menunjukkan bahwa miskonsepsi susah diubah, hal ini menunjukkan perlunya solusi dan inovasi dalam pembelajaran pada materi tersebut.. 4. Jailani Md., et al. (2010) mengidentifikasi level HOTS siswa sekolah menengah bawah dan menyimpulkan bahwa penggunaan modul sebagai strategi belajar dan mengajar dalam pendidikan teknik dapat menjadi pendekatan alternatif untuk membuat kontribusi yang signifikan terhadap perolehan hasil belajar berdasarkan level HOTS. Penelitian tersebut menyarankan pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran dalam hal ini modul yang dapat memberikan konstribusi terhadap hasil belajar berdasarkan level HOTS.
42
5. Aksoy, Gokhan (2012) menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan kemampuan awal untuk hasil pretest untuk kelas kontrol dan kelas animasi. Hal tersebut diungkapkan karena kedua kelas mendapat kurikulum yang sama pada masa lalu. Setelah mendapat perlakuan yang berbeda untuk kelas kontrol dan kelas animasi diperoleh data posttest, kelas animasi menunjukan data lebih berhasil dibandingkan dengan kelas kontrol. Penyediaan informasi tambahan yang disediakan bersama-sama dengan animasi terkait, merupakan salah satu alasan mengapa mahasiswa pada kelas animasi mencapai tingkat prestasi akademik yang lebih tinggi daripada mahasiswa dari kelas kontrol. Penelitian tersebut memberikan satu alternatif solusi untuk meningkatkan prestasi akademik bisa menggunakan animasi. 6. Ramos, J. L. S., et al. (2013) menjelaskan bahwa berdasarkan penelitiannya di Benguet State University menunjukkan bahwa 49,5% mahasiswa perempuan memiliki level rata-rata HOTS pada analisis dan 54,4% mahasiswa laki-laki memiliki level dibawah rata-rata, pada perbandingan, hampir 50% keduanya laki-laki dan perempuan memiliki level dibawah ratarata sedangkan lebih dari separuhnya memiliki level rata-rata pada interferensi. Hampir separuh mahasiswa laki-laki dan perempuan memiliki level rata-rata pada evaluasi. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa secara garis besar level HOTS mahasiswa masih berada di bawah rata-rata level HOTS. 7. Wattanakasiwich, P., et al. (2013) menjelaskan bahwa berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, Thermodynamics Concept Survey (TCS) yang memiliki dua versi bahasa Thailand dan bahasa Inggris telah reliabel dan valid berdasarkan analisis statistik yang telah dilakukan. Penelitian tersebut memberikan jenis soal tes untuk mengevaluasi pemahaman mahasiswa terhadap materi termodinamika. 8. Nugraha, D. A. dan Wasis (2014) menyatakan bahwa berdasarkan penilaian yang telah dilakukan, media e-Book interaktif bilingual pada materi pokok kalor yang dikembangkan telah layak digunakan sebagai media penunjang pembelajaran untuk SMA kelas X dari kriteria materi, penyajian, dan bahasa
43
dengan kategori sangat layak serta dari hasil uji respons siswa diperoleh respons positif dengan persentase rata-rata sebesar 97,66% dengan kategori sangat layak. Berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa media berupa e-Book interaktif bilingual telah layak dan mendapat respons positif, dengan kata lain media berbasis ICT dapat dijadikan media penunjang pembelajaran pada materi kalor. 9. Rohmani (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa media pembelajaran fisika berbasis multimedia interaktif terintegrasi dengan lembar kerja mahasiswa yang dikembangkan layak digunakan dengan kategori baik dan pencapaian hasil belajar peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran menggunakan media pembelajaran fisika berbasis multimedia interaktif terintegrasi dengan lembar kerja siswa mengalami peningkatan. Berdasarkan peneltian tersebut multimedia interaktif dapat dijadikan sebagai suatu alternatif media yang dapat meningkatkan hasil belajar. 10. Resurreccion, R. D. (2014) menyimpulkan bahwa kelas eksperimen yang menggunakan
videotape
dalam
proses
pembelajaran
menunjukkan
kemampuan analisis dan evaluasi yang lebih baik dari kelas kontrol. Penelitian tersebut menunjukkan dengan menggunakan videotape dapat digunakan untuk meningkatkan HOTS mahasiswa. 11. Widyaningrum, R., et al. (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa Modul berorientasi POE yang dikembangkan dapat meningkatkan hasil belajar kognitif siswa. Diharapkan dengan menggunakan model pembelajaran POE, multimedia yang dikembangkan dapat meningkatkan prestasi belajar mahasiswa pada level HOTS. 12. Septian, D. (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa multimedia yang dikembangkan telah layak dengan dengan kategori sangat baik dan berdasarkan hasil belajar siswa yang diperoleh dengan menggunakan multimedia interaktif 80,77% siswa mencapai KKM. 13. Nugraha, D. A., et al. (2016) mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya bahwa mahasiswa S1 fisika Universitas Sebelas Maret secara garis besar belum memahami konsep pada materi kalor dan temperatur
44
dengan baik dan menunjukkan adanya miskonsepsi yang perlu diperbaiki. Penelitian tersebut menujukkan perlunya inovasi dalam perkuliahan yang dilakukan untuk mahasiswa Fisika UNS utamanya pada materi kalor. 14. Kearney, M., et al., (2001) dalam penelitiannya menyatakan bahwa model pembelajaran POE disarankan untuk pengembangan multimedia dalam pendidikan sains. Hal ini menguatkan pemilihan pendekatan model pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan yang dilakukan seperti yang telah dilakukan oleh Widyaningrum, R. Dengan demikian berdasarkan penelitian yang relevan di atas, maka peneliti berharap keberhasilan penelitian pengembangan multimedia interaktif berbasis Predict, Observe, Explain (POE) efektif untuk digunakan dalam perkuliahan dan dapat meningkatkan hasil belajar berdasarkan HOTS.
C.
Kerangka Berpikir
Pembelajaran fisika masih belum banyak yang menggunakan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Beberapa penelitian yang telah dilakukan di berbagai negara misalnya penelitian yang dilakukan oleh Ramos, et al. (2013) di Benguet State University mengenai HOTS; penelitian oleh Jailani Md., et al. (2010) mengenai HOTS di Malaysia; penelitian oleh Tanahoung, et al. (2008) mengenai pemahaman mahasiswa pada materi kalor dan temperatur di Thailand; penelitian oleh Nottis, et al. (2009) mengenai pemahaman mahasiswa pada materi kalor dan temperatur; serta penelitian oleh Nugraha, D. A., et al. (2016) mengenai pemahaman konsep mahasiswa Fisika UNS pada materi kalor dan temperatur. Berdasarkan penelitian tersebut sebagian besar responden masih belum paham konsep dan memiliki level HOTS dibawah rata-rata. Fakta di lapangan menunjukkan belum adanya multimedia interaktif yang berbasis POE untuk meningkatkan HOTS. Berdasarkan angket, menunjukkan bahwa dosen tidak menggunakan media pembelajaran yang berupa multimedia interaktif. Selain itu dosen juga belum menggunakan HOTS dalam pembelajaran meskipun satu dosen telah menggunakan evaluasi hasil belajar dengan soal yang
45
bertipe HOTS. Dengan demikian belum ada media IT yang berbasis POE untuk meningkatkan HOTS. Multimedia interaktif dikembangkan dengan menggunakan model 4-D (four-D Models) yang dikemukakan oleh Thiagarajan. Multimedia dikembangkan menggunakan program macromedia flash 8 yang disertai animasi penggambaran materi kalor dan temperatur. Materi yang disusun di dalam multimedia interaktif menggunakan kurikulum berorientasi KKNI yang sesuai dengan standar isi dan standar kompetensi lulusan. Multimedia yang dikembangkan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikr tingkat tinggi. Dalam pembuatan multimedia interaktif peneliti memperhatikan beberapa aspek penting. Aspek yang pertama ialah kesesuaian materi dengan kurikulum fisika berorientasi KKNI yang digunakan. Selain memperhatiakan materi peneliti harus menyesuaikan tes evaluasi agar sesuai dengan kriteria soal HOTS. Model pembelajaran predict, observe, explain (POE) digunakan sebagai basis model pembelajaran dalam multimedia interaktif. Selain materi, tes evaluasi, dan model pembelajaran, peneliti juga memperhatikan aspek tampilan, animasi visual, interaktif dan kesesuaian dari segi desain dengan kebutuhan dalam multimedia interaktif. Berdasarkan
penjelasan
sebelumnya,
maka
perlu
dikembangkan
multimedia interaktif berbasis Predict, Observe, Explain (POE) pada materi kalor untuk mahasiswa fisika Universitas Sebelas Maret yang diharapkan dapat meningkatkan kemmpuan berikir tingkat tinggi Mahasiswa, sehingga pada akhirnya siswa dapat memahami konsep materi yang disampaikan dengan baik.