BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR Pada bab II ini, peneliti menguraikan mengenai: (a) tinjauan pustaka yang memuat; (1) hakikat novel; (2) psikologi sastra; (3) nilai pendidikan; (4) materi ajar; dan (b) kerangka berpikir. A. Kajian Pustaka 1. Hakikat Novel a. Pengertian Novel Menurut Abrams (Nurgiyantoro, 2005: 9) secara harfiah novella berarti “sebuah barang baru yang kecil” dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa”. Senada dengan penjelasan Abrams (Nurgiantoro, 2005: 9) menyatakan bahwa istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris: novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Permasalahan dalam novel mempunyai ruang lingkup yang luas dan mendalam. Sehandi berpendapat, “Novel dapat mengungkapkan seluruh episode perjalanan hidup tokoh-tokoh ceritanya. Itulah sebabnya novel dapat dibagi ke dalam sejumlah fragmen (babak atau bagian), namun fragmen-fragmen itu tetap dalam satu-kesatuan novel yang utuh dan lengkap” (2014: 59). Novel lebih kompleks jika dibandingkan dengan cerita pendek yang menceritakan satu babak cerita. Hal ini sesuai dengan pendapat Nurgiyantoro (2005: 11) bahwa novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Novel merupakan sastra yang cukup tua dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, jika dibandingkan dengan bentuk-bentuk karya sastra lainnya seperti cerpen, esai, kritik, dan drama. Menurut Jassin (Purba, 2012: 64) novel dibatasi dengan pengertian “suatu cerita yang bermain 8
9
dalam dunia manusia dan benda di sekitar kita, yang tidak mendalam, lebih banyak melukiskan satu saat dari kehidupan seseorang dan lebih mengenai suatu periode”. Istilah novel ada yang menyamakan dan membedakannya dengan istilah roman. Kedua istilah itu ada di dalam kesusastraan Indonesia. Demikian juga dijumpai dalam kesastraan di Eropa. Hal ini dijelaskan oleh Abrams (Purba, 2012: 63) di dalam sastra Jerman misalnya ada istilah bildungsroman dan erziehungroman yang masing-masing berarti novel of information, dan novel of education. Menurut Semi (1993: 32) novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang, pemusatan kehidupan yang tegas dan mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Waluyo (2011: 6) berpendapat bahwa novel dari segi panjang cerita berada di antara cerita pendek dan roman. Jadi, novel memiliki cerita yang lebih panjang dan lebih kompleks dari cerita pendek. Dikategorikan novel apabila panjangnya sesuai dengan kriteria tertentu. Seperti
yang
diungkapkan Tarigan (Waluyo, 2011: 4) bahwa panjang cerpen kurang lebih sekitar 10.000 kata, sedangkan novel kurang lebih 35.000 kata. Sedangkan menurut Priyatni (2012: 125), novel adalah cerita dalam bentuk prosa yang cukup panjang. Panjangnya tidak kurang dari 50.000 kata dan jumlah kata dalam novel adalah relatif. Keragaman novel mencerminkan keanekaragaman tema maupun hasil kreativitas seorang pengarang novel. Nurgiyantoro (2005: 16) membedakan novel menjadi dua jenis, yaitu novel serius dan novel populer. Novel serius adalah novel yang membutuhkan keseriusan dalam membacanya serta pembaca dituntut untuk mengoperasikan daya intelektualnya. Sedangkan Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan biasanya sangat digemari oleh remaja. Novel populer atau yang biasa disebut novel pop, menyuguhkan permasalahan yang sederhana dan tidak begitu rumit.
10
Permasalahan yang diangkat merupakan masalah-masalah yang aktual namun tidak terlalu intens membahasnya. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah salah satu jenis karya sastra hasil kreativitas seorang pengarang, menceritakan perjalanan hidup tokoh-tokoh dengan permasalahan yang kompleks dengan pengungkapan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam. b. Struktur Novel Unsur dalam sebuah novel dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik ialah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Adapun unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun karya satra dari luar karya sastra. Menurut Nurgiyantoro (2005: 23–24), unsur intrinsik meliputi peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lainlain. Sedangkan unsur ekstrinsik meliputi keyakinan, pandangan hidup, psikologi, lingkungan, dan sebagainya. Selain itu, Waluyo (2011: 6) memaparkan unsur pembangun cerita fiksi meliputi tema cerita, plot, penokohan, sudut pandang, latar, dialog/percakapan, gaya bercerita, dan amanat. Adapun unsur intrinsik yang ada di dalam sebuah cerita yaitu sebagai berikut: 1) Tema Tema adalah suatu hal penting yang terdapat di dalam suatu cerita. Seperti yang dikemukakan oleh Stanton dan Kenny (Nurgiyantoro, 2005: 67), tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Selain itu Stanton (Semi 1993: 42) juga memaparkan “Theme” as that meaning of a story which specially accounts of the largest of its elements in the simplest way. Dengan arti lain, tema adalah arti dari sebuah cerita yang sederhana dari berbagai aspek yang lain.
11
Tema adalah arti cerita, tema adalah arti penyiaran cerita, tema menjadi penemuan cerita. Dengan demikian tema adalah implikasi yang perlu dari cerita keseluruhan, bukan bagian terpisah dari cerita, Kenney (Pujiharto 2010: 76). Tema membuat cerita lebih berfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Tema ialah kesimpulan dari seluruh analisis fakta-fakta dalam cerita yang telah dicerna (Rahmanto 1998: 75). Sedangkan menurut Semi (1993: 42) tema ialah suatu gagasan sentral yang menjadi dasar atau pokok pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai oleh pengarang dengan topiknya. Tema tercermin dari masalah-masalah yang terdapat dalam cerita. Hartoko dan Rahmanto (Nurgiyantoro, 2005: 68) berpendapat bahwa tema adalah gagasan umum yang menopang sebuah karya satra dan terkandung dalam teks sebagai struktur sistematis yang menyangkut persamaan, kemudian persamaan atau perbedaan, dan perbedaan. Cara menentukan tema itu sendiri dengan mencari masalah-masalah yang terkandung dalam karya sastra dari setiap babnya. Tema juga memiliki fungsi, Stanton (2013: 37) berpendapat bahwa, “tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak sehingga relevan dengan setiap peristiwa dan detail sebuah cerita.” Dengan demikian, untuk mengetahui tema cerita harus membaca secara
keseluruhan
novel
dan
memahami
permasalahan
yang
diungkapkan sehingga dapat mengetahui gagasan umumnya. 2) Penokohan dan Perwatakan Watak dan tokoh mempunyai pengertian yang sama sama, namun ada juga yang membedakannya. Pujiharto menjelaskan watak dan tokoh memiliki arti yang berbeda. Penokohan adalah cara pengarang dalam melukiskan tokoh, sedangkan perwatakan adalah cara pengarang dalam menggambarkan watak dan kepribadian tokoh (2010: 44). Daya tarik sebuah novel terpancar melalui imajinasi kreatif si pengarang, sehingga
12
pembaca dapat berkenalan dengan sejumlah jenis manusia beserta masalahnya. Rahmanto (1998: 71) memaparkan, unsur perwatakan sebagai dramatik pesona yang menunjuk pada pribadi yang mengambil bagian di dalamnya, selain itu kualitas khas perwatakan tersebut pada pribadi tertentu. Penggambaran tokoh dalam cerita diceritakan secara jelas dan ada pula yang tersirat. Sementara itu, Jones (Nurgiyantoro, 2005: 165) mengatakan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang dalam sebuah cerita.
Penokohan dan perwatakan
saling berkaitan dan saling melengkapi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Semi (1993: 34), bahwa kedudukan perwatakan dan jalan cerita dalam novel berada dalam satu keseimbangan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Perwatakan tokoh yang diciptakan pengarang akan mengikuti alur cerita sehingga terjadi keseimbangan antara keduanya. Tokoh dalam novel menempati posisi srategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Mendukung pendapat Semi, (Waluyo, 2011: 18) menjelaskan bahwa dalam cerita fiksi, penokohan dan perwatakan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya memiliki hubungan yang erat. Tokoh dalam cerita fiksi memiliki watak masing-masing yang kemudian dari perbedaan perbedaan watak-watak tersebut menyebabkan terjadinya konflik, dan konflik itulah yang kemudian menghasilkan cerita. Penokohan dan perwatakan merupakan salah satu hal yang kehadirannya dalam sebuah fiksi sangat penting dan bahkan menentukan, karena tidak akan mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang diceritakan dan tanpa adanya tokoh yang bergerak sehingga membentuk alur cerita. Semi (1993: 37) memaparkan bahwa Perwatakan dapat diperoleh dengan memberikan gambaran mengenai tindak-tanduk,
13
ucapan atau sejalan tidaknya antara sesuatu yang dikatakan dengan yang dilakukan. Penokohan dan karakterisasi sering disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, yang menunjuk pada penempatan tertentu dalam sebuah cerita. Jalan cerita yang dibawakan oleh tokoh akan mudah dipahami jika tokoh itu memiliki sifat alami. Seperti yang dikemukakan Nurgiyantoro (2005: 168), tokoh cerita hendaknya bersifat alami, memiliki sifat lifelikeness “kesepertikehidupan”. Dengan demikian istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya dari pada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan, dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. a) Macam-macam Tokoh Ada beberapa macam tokoh di dalam suatu cerita. Berdasarkan fungsi tokoh dalam sebuah cerita tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh Protagonis selalu menjadi tokoh sentral dalam cerita. Ia bahkan menjadi pusat sorotan dalam cerita. Altenberg & Lewis (Nurgiyantoro 2005: 178) memaparkan, protagonis dapat juga ditentukan dengan memperhatikan hubungan antar tokoh. Protagonis berhubungan dengan tokoh-tokoh yang lain, sedangkan tokoh-tokoh itu sendiri tidak semua berhubungan dengan yang lain. Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi, yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero. Tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma dan nilai-nilai yang ideal. Tokoh yang bersifat baik seringkali disebut dengan tokoh protagonis. Menurut Waluyo (2011: 19), tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik. Dalam sebuah fiksi terdapat
14
konflik, berupa ketegangan yang diciptakan oleh tokoh penentang. Adapun tokoh penentang dari protagonis disebut antagonis atau tokoh lawan. Waluyo (2011: 19) menambahkan, “Tokoh antagonis merupakan kebalikan dari tokoh protagonis yang menentang arus cerita atau yang menimbulkan perasaan antipati dan benci pada diri pembaca.” Sementara itu, Sudjiman (1988: 6) berpendapat bahwa dalam suatu cerita rekaan terdapat tokoh bawahan yang menjadi kepercayaan protagonis. Tokoh semacam ini disebut tokoh andalan. Berdasarkan keutamaan tokoh, dibagi menjadi dua yakni tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaanya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Nurgiyantoro (2005: 176177)
menjelaskan
bahwa
tokoh
utama
sangat
menentukan
perkembangan plot secara keseluruhan. Tokoh utama selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik penting yang mempengaruhi perkembangan plot. Tokoh utama adalah yang dibuat sinopsisnya,
sedangkan
tokoh
tambahan
biasanya
diabaikan.
Perbedaaan tokoh utama dan tokoh tambahan bersifat gradasi, kadar keutamaannya bertingkat, tokoh utama (yang) utama, tokoh utama tambahan, tokoh tambahan utama, tambaha (yang memang) tambahan. 3) Alur/Plot Alur merupakan urutan kejadian dalam sebuah peristiwa. Pujiharto (2010: 32) menjelaskan bahwa alur adalah peristiwa-peristiwa dalam cerita yang tidak semata-mata dijajarkan begitu saja, tetapi memiliki hubungan kausalitas antara satu dengan yang lainnya. Dalam sebuah alur ada bagian cerita penyebab, supaya terjadi peristiwa selanjutnya. Stanton (2013: 26) memaparkan bahwa peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan
15
tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan karakter, kilasan-kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam dirinya. Alur berisi peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita. Hal ini sesuai dengan paparan Semi (1993: 43) alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Sama seperti pendapat Semi, Stanton (Nurgiyantoro, 2005: 113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Pengertian plot juga dikemukakan oleh Liu (2009: 143) dalam penelitiannya yang berjudul “The Significance of Structure in Analyzing Short Stories”. The plot is the carrier of the structure. The plot is the sequence of unfolding action, and structure is the design or form of the completed action. Structure satisfies our need for order, proportion, and arrangement. A story’s symmetry or balance of details may please us, as may its alternating of moments of tension and relaxation. Maksud dari pernyataan di atas yaitu plot adalah pembawa struktur. Plot adalah urutan berlangsung aksi, dan struktur adalah desain atau bentuk aksi selesai. Struktur memenuhi kebutuhan kita untuk pesanan, proporsi, dan pengaturan. Sebuah jalannya cerita atau keseimbangan rincian yang dapat menyenangkan kita, seperti adanya saat-saat tegang dan relaksasi.
16
Alur berusaha mengurai jalannya cerita dari awal sampai akhir. Rangkaian kejadian yang menjalin plot secara lebih rinci yaitu: (1) eksposisi, paparan awal cerita; (2) mulainya problem cerita itu muncul (inciting moment); (3) konflik dalam cerita meningkat (rising action); (4) konflik semakin ruwet (complication); (5) puncak penggawatan (climax); (6) peleraian (falling action); dan (7) penyelesaian (denouement) (Waluyo, 2011: 10). Menurut Semi (1993: 44) alur terdiri atas: a) Alur buka, yaitu situasi mulai terbentang sebagai suatu kondisi permulaan yang akan dilanjutkan dengan kondisi berikutnya. b) Alur tengah, yaitu kondisi mulai bergerak ke arah kondisi yang mulai memuncak. c) Alur puncak, yaitu kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks peristiwa. d) Alur tutup, yaitu kondisi memuncak sebelumnya mulai menampakan pemecahan atau penyesalan. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa alur adalah jalan cerita dari awal sampai akhir yang berisi urutan kejadian yang mempunyai hubungan sebab akibat antara peristiwa satu dengan peristiwa yang lainnya. 4) Latar/Setting Latar adalah elemen fiksi yang menyatakan pada pembaca dan kapan terjadinya peristiwa. Abrams (Pujiharto, 2010: 48) latar cerita adalah lingkungan yang secara umum berkenaan dengan tempat, waktu, sejarah, dan sosial yang di dalamnya terjadi aksi. Unsur cerita yang disebut latar menyangkut tentang lingkungan geografi, sejarah, sosial, dan bahka kadang-kadang lingkungan politik atau latar belakang tempat kisah berlangsung. Latar pada sebuah novel kadang-kadang tidak berubah sepanjang ceritanya, meski kadangkala dalam beberapa novel
17
lain berubah-ubah dan bahkan kontras satu sama lain (Rahmanto, 1998: 71). Latar dalam sebuah cerita menggambarkan tempat terjadinya sebuah peristiwa yang dialami oleh tokoh. Sesuai dengan pendapat Abrams (Nurgiyantoro, 2005: 216) bahwa setting adalah tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita dapat berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologis, dan aspek psikis. Namun setting juga dapat dikaitkan dengan tempat dan waktu. Setting dapat dikaitkan dengan lingkungan sosial dimana ada suatu kegiatan seperti percakapan dan keadaan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Latar atau setting sering juga disebut sebagai landasan atau tumpuan yang menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan. Latar merupakan petunjuk yang digunakan oleh pengarang untuk menggambarkan kejelasan dan mengangkat imajinasi pembaca agar lebih mudah untuk memahami isi cerita. Hal ini juga disampaikan oleh Sudjiman (1988: 44) yang menyatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun latar cerita. Pengertian setting juga dikemukakan oleh Ibnian (2010: 182) bahwa setting: the time and place in which the story happens. Authors often use descriptions of landscape, scenery, buildings, seasons or weather to provide a strong sense of setting. Maksud dari pernyataan tersebut, setting ialah waktu dan tempat di mana cerita terjadi. Ibnian sendiri sering menggunakan deskripsi dari landscape, pemandangan, bangunan, musim atau cuaca untuk memberikan setting yang kuat. Latar terdiri atas 3 jenis, seperti yang disampaikan oleh Nurgiyantoro (2005: 227) bahwa ada tiga unsur pokok yang meliputi latar tempat, waktu dan sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi
18
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial yaitu menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Berbeda dengan pendapat di atas, Hudson (Sudjiman, 1988: 44) membedakan latar menjadi dua yaitu latar sosial dan latar fisik atau material. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain yang melatari peristiwa. Adapun yang dimaksud dengan latar fisik atau material adalah tempat dalam wujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa latar atau setting ialah tempat terjadinya suatu peristiwa dalam suatu karya sastra yang mencakup latar tempat, sosial, dan waktu. 5) Sudut Pandang/Point of view Dalam menulis cerita, seorang pengarang pasti berada pada posisi pusat kesadaran tertentu. Posisi pusat kesadaran pengarang dalam menyampaikan ceritanya disebut sudut pandang. Sudut pandang, point of view, viewpoint, merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh Stanton (Nurgiyantoro, 2005: 246) digolongkan sebagai sarana cerita, literary device. Walau demikian, hal itu tidak berarti bahwa perannya dalam fiksi tidak penting. Sudut pandang harus diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilihan sudut pandang akan berpengaruh terhadap penyajiannya cerita. Reaksi afektif pembaca terhadap sebuah karya fiksi pun dalam banyak hal akan dipengaruhi oleh bentuk sudut pandang. Pengertian sudut pandang juga dikemukakan oleh Abrams (Nurgiyantoro, 2005:248), sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang dapat digunakan pengarang sebagai sarana untuk
19
menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembacanya. Ada dua pengelompokan sudut pandang menurut Pujiharto (2010: 66), yang pertama dikelompokan menjadi sudut pandang: 1) orang pertama utama, dan 2) orang pertama sampingan. Yang kedua dapat dikelompokan menjadi: 1) orang ketiga terbatas dan 2) orang ketiga tidak terbatas. Sudut pandang dalam suatu cerita mempunyai peran penting bagi pengarang dalam memposisikan diri dan dari sisi mana para tokohnya diceritakan. Seperti yang dikemukakan Nurgiyantoro (2005: 246) sudut pandang dalam karya fiksi (cerita pendek) mempersoalkan siapa yang menceritakan atau dari posisi mana peristiwa atau tindakan itu dilihat. Sudut pandang memiliki pengertian yang berbeda-beda. Menurut Shipley (Waluyo, 2011: 25) menyebutkan adanya dua jenis point of view, yaitu internal point of view dan external point of view. Internal point of view ada empat macam, yaitu: (1) tokoh yang bercerita (2) pencerita menjadi salah seorang pelaku; (3) sudut pandang akuan; dan (4) pencerita sebagai tokoh sampingan dan bukan tokoh hero. Sementara untuk gaya eksternal, dikemukakan ada dua jenis, yaitu: (1) gaya dia-an; dan (2) penampilan gagasan dari luar tokoh-tokohnya. 6) Amanat Sebuah cerita dalam suatu karya sastra yang baik hendaknya dapat memberikan pengaruh yang baik pula bagi pembacanya. Sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembacanya disebut amanat. Sudjiman (1988: 57–58) menjelaskan bahwa amanat pada sebuah karya sastra secara disampaikan secara implisit ataupun eksplisit. Implisit jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang akhir cerita dan eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan, dan sebagainya.
20
7) Dialog atau percakapan Dalam sebuah novel tidak hanya berisi deskripsi, pengarang juga menggunakan dialog untuk memperjelas kehadiran tokoh. Semua cerita fiksi menggunakan dialog untuk memperkuat watak tokoh-tokoh. Kenney (Waluyo, 2011: 25) menyatakan 2 jenis fungsi dialog, yaitu: (1) memperkongkret watak dan kehadiran pelaku; dan (2) memperhidup karakter tokoh. 8) Gaya bercerita Setiap pengarang mempunyai gaya bercerita yang khas. Pengarang selalu berusaha menciptakan bahasa yang khas, yang lebih hidup, ekspresif, dan estetis. Ada pengarang yang menggunakan gaya bercerita santai, ada yang menggurui, ada yang bersikap memberi berita seperti wartawan, namun ada yang mengetengahkan adegan-adengan yang bersifat dramatis (Waluyo, 2011: 25). Selain unsur intrinsik yang membangun sebuah novel, ada pula unsur ekstrinsik. Menurut Nurgiyantoro (2005: 23) unsur ekstrinsik adalah unsurunsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Sedangkan menurut Semi (1993: 35) struktur luar (ekstrinsik) adalah segala unsur yang berada di luar suatu karya tersebut, misalnya faktor sosial, ekonomi, politik, agama dan tata nilai yang dianut masyarakat. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya itu. 2. Hakikat Psikologi Sastra a. Pengertian Psikologi Sastra Atkinson menjelaskan bahwa psikologi berasal dari kata Yunani psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi psikologi berarti
21
ilmu jiwa atau ilmu yang menyelidiki dan mempelajari tingkah laku manusia (Minderop, 2013: 3). Wallek dan Warren (Suaka, 2014: 225) menyebutkan bahwa psikologi memasuki bidang analisis sastra melalui beberapa jalan, yaitu: 1) pembahasan tentang proses penciptaan; 2) pembahasan psikologi terhadap pengarangnya; 3) pembicaraan tentang ajaran dan kaidah psikologi yang dapat ditimba dari karya sastra; dan 4) pengaruh karya sastra terhadap pembacanya. Karya sastra tidak terlepas dari pengarangnya, karena dalam menulis dibutuhkan penjiwaan. Setiap karya terdapat sikap kejiwaan manusia dan kejiwaan tersebut dapat ditemukan dalam tokoh yang dibuat oleh pengarangnya. Psikologi sastra pada dasarnya sebuah pendekatan dalam menelaah karya sastra dengan memfokuskan pada kerilaku atau kejiwaan tokoh-tokoh di dalamnya. Sehandi (2014: 48) menjelaskan bahwa psikologi sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis. Dengan memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh maka akan dapat dianalisis konflik-konflik batin para tokoh yang mungkin saja bertentangan dengan teori psikologi. Pendekatan
psikologi
pada
karya
sastra
berusaha
untuk
mengidentifikasi berbagai karakter dan konflik batin tokoh yang berhubungan dengan kejiwaan tokoh. Eagleton (Koseli, 2013: 211) menjelaskan psychoanalytic approach is a method of analysis that reveals the deepest spiritual happenings, personal concerns, fears, repressed aspirations and pains. Artinya pendekatan psikoanalitik adalah metode analisis yang mengungkapkan keadaan batin, kekhawatiran pribadi, ketakutan, keadaan yang tertindas dan rasa sakit. Psikologi dengan sastra, keduanya terdapat hubungan yang cukup erat, keduanya sama-sama mempunyai objek manusia. Psikologi mempelajari tingkah laku dan jiwa manusia, sedangkan sastra berbicara tentang kehidupan manusia. Karena memiliki persamaan objek, maka keduanya
22
memungkinkan untuk saling membantu. Kaitan psikologi dan sastra yaitu ilmu bantu yang sangat relevan, karena dari proses pemahaman karya sastra dapat ditimbang mengenai ajaran dan kaidah psikologi (Marsanti, 2012: 171). Psikologi sastra mengkaji suatu karya sastra dengan ilmu psikologi. Minderop (2011:54) menyatakan bahwa psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan proses dan aktivitas kejiwaan. Senada dengan penjelasan Minderop, Rokhmansyah (2014: 159) menyatakan bahwa psikologi sastra adalah kajian sastra yng memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Dengan demikian, dalam sebuah karya sastra terdapat proses dan aktivitas kejiwaan. Psikologi sastra merupakan telaah untuk memahami aspek kejiwaan dalam sebuah karya sastra. Karya sastra mempunyai peran yang penting dalam dunia pendidikan, begitu pula dengan psikologi. Psikologi mempunyai pengaruh yang besar terhadap kemajuan dan perkembangan pendidikan (pedagogy). Oleh karena itu, pedagogi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk membimbing manusia sepanjang hayatnya tidak akan mencapai sukses jika tidak berpedoman kepada psikologi yang bertugas menunjukkan perkembangan hidup manusia sekaligus ciri-ciri, watak, dan kepribadiannya (Baharuddin, 2007: 22). Berdasarkan pendapat tersebut dapat disintesiskan bahwa psikologi sastra adalah sebuah ilmu dalam menelaah karya sastra dengan memusatkan pada aspek-aspek kejiwaan yang terdapat dalam karya sastra. Aspek kejiwaan tersebut meliputi aspek kejiwaan dari segi pengarang, teks sastra itu sendiri, dan aspek kejiwaan pembaca sebagai dampak dari karya sastra. b. Biografi Carl Jung Carl Gustav Jung lahir 26 Juli 1875 di desa Kesswyl, Swiss. Namun Ia dibesarkan di kota tempat Universitas Basel berada. Agama merupakan tema kuat yang mendominasi usia-usia awal Jung. Ayahnya, Paul Jung
23
adalah pendeta di Gereja Reformasi Swiss dan ibunya, Emilie Preiswerk Jung putri seorang teolog. Jung mendapat gelar kedokteran dari Universitas Basel. Ia adalah seorang psikiater termuda di Zurich. Menurut Olson (2013: 158-159), Jung adalah teorisi modern pertama yang mendiskusikan proses realisasi diri, yang begitu popular di teori kepribadian. Teori Jung sangat optimis tentang takdir manusia, berbeda dengan teori Freud yang pesimis. Teori psikologi analitis milik Jung sudah menjadi internasional sudah tersebar di Eropa Barat dan Amerika Serikat pada tahun 1960-an dan 1970 di Amerika Latin, Australia, dan Selandia Baru, Afrika Selatan, Jepang, Korea. Tahun 1989 tersebar di Eropa Barat dan bekas Uni Soviet, hingga kini di Cina. Tulisan-tulisan Jung sangat banyak dan pengaruhnya tidak dapat diukur. Jung terkenal tidak hanya di kalangan psikologis dan para psikiater tetapi juga di kalangan orang-orang terdidik di semua bidang kehidupan. Banyak tanda jasa dianugerahnkan kepadanya, antara lain gelar-gelar kehormantan dari Universitas Harvard dan Oxford. Ia sering memberi kuliah di Amerika serikat dan di Negara ini ia memiliki banyak pengikut dan pengagum. Hall & Lindzey (1993: 180) menambahkan bahwa seluruh tulisan Jung sekarang tersedia dalam 20 jilid, terbitan dalam bahasa Inggris yang diterbitkan mulai dari tahun 1953-1978. Carl Jung diakui sebagai salah seorang alhli diantara ahli-ahli psikologi yang terkemukan abad XX. Ketika membaca Interpretation of Dream karya Freud pada tahun 1900, ia sangat terkesan oleh ide-ide Freud dan diuji dalam praktiknya sendiri. Jung mengirim salinan dari tulisantulisannya kepada Freud terkait dengan hasil ujinya, yang mendukung pandangan Freud. Pada tahun 1906 mulailah hubungan surat-menyurat yang teratur antara keduanya, dua tahun berikutnya Jung mengunjungi Freud di Wina untuk pertama kalinya mereka bercakap-cakap tanpa putus selama 13 Jam. Freud memutuskan bahwa Junglah yang akan menjadi penggantinya,
24
“putra mahkotanya” seperti ditulisnya kepada Jung. Jung pun menjadi ketua pertama Asosiasi Psikoanalitik Internasional pada tahun 1910. Riset Jung menggunakan tes asosiasi kata, riset ini merupakan produk ilmiah paling ortodoks. Riset empiris yang digunakan untuk mengetes teori Jung, yakni diukur dengan MMPI (Minetosa Multiphasic Personality Inventory) yang digunakan di seluruh dunia. Riset yang lain berfokus ke teori tentang tipe-tipe psikologis adalah MBTI atau Myers-Briggs. c. Teori Kepribadian Carl Jung Struktur kejiwaan pada manusia disebut juga sebagai kepribadian. Kepribadian (personality) oleh Yusuf (2008: 1) dinyatakan sebagai salah satu kajian psikologi yang lahir berdasarkan pemikiran, kajian atau temuantemuan para ahli. Kepribadian seseorang dapat terbentuk dari peristiwaperistiwa yang dialami sebelumnya. Konflik juga dapat menjadikan pemicu munculnya kepribadian seseorang. Pengertian kepribadian dalam psikologi berbeda dengan pengertian kepribadian sehari-hari. Kepribadian menurut pengertian sehari-hari adalah penampilan individu yang dapat menimbulkan kesan bagi individu lainnya. Pengertian ini lebih menekankan pada penilaian yang dapat diamati saja. Menurut teori Carl Jung, komponen-komponen keribadian manusia terdiri atas ego, bawah-sadar pribadi, dan bawah-sadar kolektif. Penjelasan dari tiga komponen tersebut adalah sebagai berikut: 1) Ego Ego merupakan bagian kejiwaan seseorang yang berisi kesadaran. Menurut Olson (2013: 129) ego adalah tempat seseorang dalam kesadarannya. Kesadaran berpusat pada berpikir, merasa, mengingat, dan mencerap. Ego bertangungjawab untuk memastikan semua fungsi yang terjadi kehidupan sehari-hari serta bertanggungjawab bagi rasa indentitas dan rasa keberlanjutan tepat pada waktunya. Ego berbeda dengan psikhe (kepribadian), jika ego hanya dapat merepresentasikan sebagian kecil
25
dari kepribadian. Namun psikhe sebaliknya, mengacu semua aspek kepribadian baik sadar maupun bawah-sadar, aspek yang lebih substansial bagi kepribadian. Kesadaran merupakan hal yang dapat dirasakan oleh ego, sementara elemen ketidaksadaran tidak berkaitan dengan ego. Ego bukan keselururuhan dari kepribadian dan harus dipenuhi dengan diri (self). Diri inilah yang merupakan pusat dari kepribadian yang kebanyakan diantaranya berupa ketidaksadaran. Pada orang yang sehat secara psikologis, ego merupakan aspek kedua dari ketidaksadaran diri (Feist & Feist, 2014: 121). Ego adalah jiwa sadar yang terdiri dari persepsi-persepsi, ingataningatan, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaan sadar. Ego melahirkan perasaan identitas dan kontinuitas seseorang dan dari segi pandangan sang pribadi ego dipandang berada pada kesadaran (Hall & Lindzey, 1993: 182-183). 2) Bawah-Sadar Pribadi Bawah-sadar pribadi dalam kejiwaan seseorang memuat sesuatu yang disadari pada alam bawah sadar. Menurut Olson (2013: 129-130) bawah-sadar pribadi terdiri atas bahan-bahan yang awalnya disadari, namun kemudian direpresi atau dilupakan, atau sejak awal memang tidak jelas untuk bisa dicerap kesadaran. Bawah-sadar pribadi mengandung kluster-kluster pikiran bermuatan emosi (dinilai tinggi) atau komplekskompleks. Kompleks adalah konstelasi ide-ide yang secara pribadi mengganggu yang dikaitkan oleh nada perasaan umum. Sebuah kompleks memiliki pengaruh yang tidak proporsional bagi perilaku manusia, dengan artian tema yang di
sekelilingnya kompleks
diorganisasikan, muncul kembali dan kembali di hidupnya. Contohnya seseorang dengan kompleks ibu, ia akan menghabiskan banyak waktu untuk aktivitas berkaitan dengan ide ibu. Hal yang sama juga dilakukan
26
seseorang jika mengalami kompleks ayah, sex, uang, atau jenis kompleks lainnya. Ketidaksadaran personal merangkum seluruh pengalaman yang terlupakan, ditekan, atau dipersepsikan secara subliminal pada seseorang. Ketidaksadaran tersebut mengandung ingatan dan impuls masa silam, kejadian yang terlupakan serta berbagai pengalaman yang disimpan di alam bawah sadar. Ketidaksadaran dibentuk oleh pengalaman individual. Gambaran ketidaksadaran personal ada yang dapat diingat secara mudah atau sulit, namun ada juga beberapa bagian yang jauh dari jangkauan kesadaran manusia (Feist & Feist, 2014: 123). Ketidaksadaran pribadi adalah daerah yang berdekatan dengan ego. Ketidaksadaran pribadi terdiri atas pengalaman-pengalaman yang pernah sadar tetapi kemudian direpresikan, disupresikan, dilupakan atau diabaikan serta pengalaman-pengalaman yang terlalu lemah untuk menciptakan kesan sadar pada pribadi (Hall & Lindzey, 1993: 183). 3) Bawah-Sadar Kolektif Bawah-sadar kolektif merupakan bagian kejiwaan seseorang yang berisi kesadaran yang sama bagi semua orang. Menurut Olson (2013: 132-133) bawah-sadar kolektif mencerminkan pengalaman-pengalaman kolektif yang dimiliki manusia di masa lalu evolusinya. Bukan hanya fragmen-fragmen semua sejarah manusia dapat ditemukan di bawahsadar kolektif ini, tetapi juga jejak-jejak moyang pra-manusia atau hewani bisa ditemukan di dalamnya. Karena bawah-sadar kolektif dihasilkan dari pengalaman umum semua manusia atau yang pernah dimiliki, isi bawah-sadar kolektif esensinya sama untuk semua orang. Bawah-sadar kolektif adalah bagian yang paling penting dan perpengaruh dari psikhe dan kecenderungan yang diwariskan selalu mencari manifestasi keluar. Ketika isi bawah-sadar kolektif tidak diakui dalam kesadaran, mereka bermanifestasi dalam mimpi, fantasi, gambaran-
27
mental dan simbol. Bawah-sadar kolektif mengetahui lebih banyak dari yang diketahui oleh seorang manusia atau satu generasi manusia. Ketidaksadaran kolektif bertanggungjawab terhadap kepercayaan terhadap agama, mitos, serta legenda. Hal tersebut juga memunculkan “impian besar” yaitu mimpi yang memiliki arti di luar jangkauan impian seseorang dan dipenuhi dengan kepentingan manusia pada setiap waktu dan tempat. Ketidaksadaran kolektif tidak merujuk pada ide yang diturunkan, tetapi lebih kepada kecenderungan kuat manusia untuk bereaksi
dengan
cara
tertentu
pada
saat
pengalaman
mereka
menstimulasikan kecenderungan turunan secara biologis. Sebagai contoh, seorang ibu muda akan secara langsung merasakan cinta dan sayang terhadap anaknya yang baru lahir walaupun sebelumnya ia pernah merasakan perasaan negatif atau biasa saja terhadap bayi semasa di kandungan (Feist & Feist, 2014:124). Konsep ketidaksadaran kolektif atau transpersonal merupakan salah satu di antara segi-segi teori kepribadian Jung yang paling original dan kontroversial. Ia merupakan sistem psikhe yang paling kuat dan paling berpengaruh dan pada kasus-kasus patologis ia mengungguli ego setra ketidaksadaran pribadi. Ketidaksadaran kolektif adalah gudang bekasbekas ingatan laten yang diwariskan dari masa lampau leluhur seseorang, masa lampau yang tidak hanya sejarah ras manusia sebagai spesies tersendiri tetapi juga leluhur pramanusiawi atau nenek moyang binatangnya. Ketidaksadaran kolektif adalah sisa psikis perkembangan evolusi manusia, sisa yang menumpuk sebagai akibat dari pengalamanpengalaman yang berulang selama banyak generasi (Hall & Lindzey, 1993: 184). Ketidaksadaran kolektif adalah gudang bekas ingatan-ingatan laten yang diwariskan dari masa lampau leluhur seseorang, masa lampau yang meliputi tidak hanya sejarah ras manusia sebagai spesies tersendiri tetapi
28
juga
leluhur
pramanusiawi
atau
nenek
moyang
binatangnya.
Ketidaksadaran kolektif hampir sepenuhnya terlepas dari segala segi pribadi dalam kehidupan seseorang individu dan nampaknya bersifat universal ketidaksadaran kolektif itu dengan kesamaan struktur otak pada semua ras mausia dan kesamaan ini sendiri disebabkan oleh evolusi umum. Ketidaksadaran kolektif merupakan fondasi ras yang diwariskan dalam struktur kepribadian. Apa yang dipelajari seseorang sebagai hasil dari pengalaman secara substansial dipengaruhi oleh keidaksadaran kolektif yang melakukan peran mengarahkan atau menyeleksi tingkah laku sang pribadi sejak awal kehidupan (Hall & Lindzey, 1993: 184185). Jung (Olson, 2013: 140-143) memaparkan 8 tipe kepribadian, yakni berpikir-ekstrover, merasa-ekstrover, mengindra-ekstrover, mengintuisiekstrover, berpikir-intover, merasa-introver, mengindra-introver, dan mengintuisi-introver. Berikut penjelasan masing-masing tipe kepribadian. Pertama, berpikir-ekstrover. Realitas objektif mendominasi, begitu pula fungsi berpikirnya. Analisis intelektual terhadap pengalaman objektif dianggap paling penting. Aktvitasnya tergantung pada perasaan seperti estetika, persahabatan, introspeksi religious dan pengalaman filosofi diminimalkan. Mereka bisa menjadi sangat dogmatis dan dingin, urusan-urusan pribadi seperti kesehatan, posisi social, minat berkeluarga dan keuangan diabaikan. Kedua, merasa-ekstrover. Tipe ini merespon secara emosional realitas objektif, karena perasaan-perasaan yang dialami ditentukan secara eksternal dan memosisikan diri dengan situasi yang tepat. Individu yang seperti ini akan menghormati tradisi dan otoritas. Individu akan bersikap sesuai dengan perasaan orang lain pada dirinya di setiap situasi. Ketiga, mengindra-ekstrover. Tipe ini mengonsumsi semua hal yang bisa diperoleh lewat pengalaman indrawinya. Ia seorang realis dan
29
hanya peduli fakta-fakta objektif. Ia menolak pemikiran atau perasaan subjektif sebagai panduan hidup bagi dirinya dan orang lain. Keempat, mengintuisi-ekstrover. Tipe ini melihat ke luar realitas ribuan kemungkinan. Pengalaman baru dicari dengan antusias, dikejar terus hingga implikasinya dimengerti, lalu ditinggalkan. Sedikit saja perhatian kepada masalah kepercayaan dan moralitas terhadap orang lain sehingga dianggap tidak bermoral dan serampangan. Kelima, berpikir-intover. Tipe ini terlihat tidak fleksibel, dingin, arbitrer, dan kejam. Hidupnya ditentukan oleh realitas subjektif daripada objektif. Selalu mengikuti pemikirannya sendiri dan tidak peduli kontroversionalnya bagi orang lain. Untuk tipe ini, kebenaran subjektif satu-satunya keberanaran dan kritik tak peduli validitasnya ditolak. Pikiran logis digunakan untuk menganalisis pengalaman subjektifnya sendiri. Keenam, merasa-introver. Berfokus pada perasaan yang didapatkan dari pengalaman. Tipe ini sulit dipahami sehingga terkesan dingin dan menjarakkan diri. Sulit berkomunikasi dengan orang lain, kecuali samasama mempunyai realitas subjektif perasaan dengannya. Komunikasi dengan orang lain agak sulit kecuali sama-sama memiliki realitas subjektif dan perasaan-perasaan yang terkait dengannya. Ia sering terlihat egois dan tidak simpatik. Ketujuh, mengindra-introver. Tipe ini banyak dimiliki seniman yang jelas mengandalkan kemampuan indrawi untuk memberi makna subjektif. Karena tipe ini mengejar pengalaman indrawi dengan evaluasi yang sifatnya subjektif, interaksinya dengan realitas objektif sulit diduga. Tipe ini sulit diduga dan mampu menghasilkan gambaran-gambaran mental yang subjektif. Kedelapan, mengintuisi-introver. Tipe ini biasanya mistikus dan peramal. Kepribadian yang paling menutup diri, menjaga jarak, dan
30
disalahpahami. Individu seperti ini sering terlihat sebagai genius eksentrik, sering menghasilkan konsep filosofi dan religious penting. 3. Nilai-Nilai Pendidikan a. Pengertian Nilai Nilai merupakan sesuatu yang berharga dan dicari oleh manusia. Bertens (Sehandi, 2014: 132) menyatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya sesuatu yang baik. Sedangkan, menurut Ismawati (2014: 18) nilai ialah sesuatu yang penting dan mendasar dalam kehidupan manusia, menyangkut segala sesuatu yang baik atau buruk sebagai abstraksi, pandangan atau maksud dari beragam pengalaman dedan seleksi perilaku yang ketat. Nilai yang tercernakan menyebabkan individu menghayati dan menjiwai sesuatu nilai sehingga akan memandang keliru perilaku yang tidak sesuai. Nilai sebagai hakikat suatu hal yang menyebabkan pantas untuk dikejar oleh manusia, agar manusia dapat berkembang. Nilai sangat berkaitan dengan kebaikan yang ada dalam inti sesuatu. Ada nilai yang dikejar sebagai sarana (media values). Selain itu, ada pula yang melakukan pembagian nilai yang bersifat universal (yang berlaku bagi seluruh umat manusia dimanapun berada), dan nilai yang bersifat partikular (nilai yang berlaku bagi sekelompok manusia dalam kesempatan tertentu) (Sehandi, 2014: 135). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai adalah sesuatu yang baik dan diperlukan oleh manusia agar dapat berkembang dengan baik dalam kehidupan. b. Pengertian Pendidikan Menurut Hadi (2003: 17) secara etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani “paedogogike” yang terdiri atas kata “pais” yang
31
berarti “anak” dan kata “ago”yang berarti “Aku membimbing”. Jadi, Hadi menyimpulkan paedogogike berarti aku membimbing anak. Pendidikan merupakan suatu wadah yang dijadikan seseorang dalam berproses. Winkel (2009: 27) memaparkan pendidikan ialah bantuan yang diberikan oleh orang dewasa kepada orang yang belum dewasa, agar ia mencapai kedewasaan. Bantuan yang diberikan oleh pendidik itu berupa pendampingan, yang menjaga agar anak didik belajar hal-hal yang positif, sehingga sungguh-sungguh dan menunjang perkembangannya. Jadi, pendidikan adalah wadah yang dijadikan untuk berproses agar seseorang mencapai kedewasaan. Proses tersebut dibimbing oleh seseorang yang sudah dewasa. Berdasarkan dari paparan di atas, jadi nilai pendidikan merupakan batasan segala sesuatu yang mendidik ke arah kedewasaan, bersifat baik maupun buruk sehingga berguna untuk kehidupan yang diperoleh melalui proses pendidikan. c. Macam-macam Nilai Pendidikan 1) Nilai Pendidikan Religius Agama merupakan ajaran yang mengatur kepercayaan dengan pencipta-Nya serta dengan manusia di sekitarnya. Nilai-nilai religius yang terkandung dalam karya sastra tersebut mendapatkan renunganrenungan batin dalam kehidupan yang bersumber pada nilai-nilai agama. Kehadiran unsur religi dalam sastra adalah sebuah keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius (Nurgiyantoro, 2005: 326). Religius adalah akar dari suatu karya sastra, sesuai dengan tuturan Mangunwijaya (Nurgiyantoro, 2005: 326), bahwa pada awal mula segala sastra adalah religius. Nilai agama yang terkandung dalam karya sastra merupakan sesuatu yang dapat diambil untuk dijadikan pedoman hidup. Menurut Nurgiyantoro (2005: 326), nilai religius atau nilai keagamaan merupakan nilai kerohanian yang tinggi dan mutlak bersumber dan keyakinan dan
32
kepercayaan
manusia
terhadap
Tuhannya.
Semantara
itu,
Purwaningtyastuti (2014: 6) mengemukakan bahwa nilai religius bersifat edukatif. Agama merupakan pedoman untuk manusia supaya menjalani kehidupan di jalan yang benar. Nilai pendidikan religius juga disampaikan oleh Semi (1993: 21) yakni, agama merupakan kunci sejarah. Suatu masyarakat dapat dipahami melalui agamanya. Dalam hal ini dikemukakan bahwa agama merupakan hal pokok yang harus dimiliki oleh seseorang di dalam masyarakat. Dengan demikian, nilai pendidikan religius adalah hal pokok bersifat edukatif yang dijadikan pedoman bagi manusia dalam menjalani kehidupannya. 2) Nilai Pendidikan Moral atau Etika Dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, tentunya banyak pelajaran-pelajaran
yang
dapat
dipetik.
Salah
satunya
adalah
pembelajaran tentang etika. Etika tercipta dari kebiasaan dalam suatu masyarakat yang berupa hak dan kewajiban serta penilain baik dan buruk. Hal ini sesuai dengan pendapat Purwaningstyastuti (2014: 7) bahwa moral merupakan perilaku atau perbuatan manusia dipandang dari nilai-nilai baik dan buruk, benar dan salah, dan berdasarkan adat kebiasaan di mana individu berada. Nilai moral dalam karya sastra adalah sesuatu yang dapat diambil oleh pembaca untuk dijadikan tuntunan. Kenney (Nurgiyantoro, 2005: 320) menuturkan, moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam karya sastra. Makna yang diisyaratkan lewat cerita. Moral dapat dipandang sebagai tema dalam bentuk yang sederhana, tetapi tidak semua tema merupakan moral.
33
Jadi, nilai moral adalah sesuatu yang dapat dijadikan pedoman bagi manusia tentang sesuatu yang dianggap baik dan buruk serta tentang hak dan kewajiban. 3) Nilai Pendidikan Sosial Nilai sosial berkaitan dengan kepedulian terhadap masyarakat pada umumnya. Purwaningstyastuti (2014: 8) menjelaskan bahwa nilai pendidikan sosial adalah nilai
yang diperoleh manusia dalam
pergaulannya dengan manusia lain di masyarakat. Nilai tersebut berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan tingkah laku untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama. Nilai sosial merupakan nilai sikap dan perasaan yang diterima secara luas oleh masyarakat dan merupakan dasar untuk merumuskan apa yang benar dan apa yang penting. Nilai pendidikan sosial menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan berkelompok dalam ikatan kekeluargaan antara satu individu dengan individu lainnya. Jadi, nilai pendidikan sosial dapat disimpulkan sebagai sikap dan perasaan yang diwujudkan melalui perilaku yang dilakukan untuk kepentingan bersama. 4) Nilai Pendidikan Estetika Nilai estetika membahas tentang indah atau tidaknya sesuatu. Tujuan estetika adalah untuk menemukan ukuran yang berlaku umum tentang apa yang indah dan tidak. Dalam hal ini adalah karya seni manusia atau mengenai alam semesta ini. Karya sastra sebagai ciptaan manusia mempunyai nilai keindahan tersendiri. Setiap individu yang menciptakan karya sastra ingin menampilkan suatu keindahan yang ia ciptakan, baik berupa bentuk, bahasa maupun dari segi isi. Semi (1993: 56) menyatakan bahwa fungsi estetika sastra adalah penampilan karya sastra yang dapat memberikan kenikmatan dan keindahan bagi pembacanya. Nilai estetika membahas tentang indah atau tidaknya sesuatu. Tujuan estetika adalah untuk menemukan ukuran yang berlaku
34
umum tentang apa yang dinilai sebagai sesuatu yang indah dan tidak indah. Variasi dan gaya bahasa yang diciptakan pengarang akan menambah keindahan suatu karya. Kecemerlangan dalam karya yang dimaksud adalah kepandaian penulis dalam mengambil tema dan penceritaan tidak hanya diwujudkan dalam alur yang disajikan dengan sangat baik, tetapi juga tujuan penulisan yang mampu diterima pembaca dengan baik. Sementara itu, Purwaningstyastuti (2014: 9) memaparkan bahwa nilai keindahan dalam karya sastra tercermin dalam penggunaan diksi, gaya bahasa dan lain-lain. Batas keindahan bersifat abstrak, identik dengan kebenaran. 5) Nilai Pendidikan Adat/Budaya Budaya yang berasal dari kata budi dan daya, setelah itu mengalami beberapa pemaknaan sehingga memperoleh pengertian baru sebagai kekuatan batin dalam upayanya menuju kebaikan atau kesadaran batin menuju kebaikan. Budaya juga dimaknai sebagai sesuatu yang membuat kehidupan menjadi lebih baik dan lebih bernilai untuk ditempuh, pendapat tersebut dikemukakan oleh Herustoto (Ismawati 2013: 149). Nilai-nilai budaya menurut Koentcaraningrat (Ismawati 2013: 150) sebenarnya merupakan kristalisasi dari lima masalah pokok dalam kehidupan manusia, yakni: (1) hakikat dari hidup manusia; (2) hakikat dari karya manusia; (3) hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu; (4) hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitar; dan (5) hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya. Sementara itu, Purwaningstyastuti (2014: 30) menjelaskan bahwa nilai pendidikan adat/budaya mengungkapkan perbuatan yang terpuji atau tercela, pandangan hidup manusia yang dianut atau yang dijauhi dan hal-hal yang dijunjung tinggi.
35
Dapat disimpulkan bahwa sistem nilai budaya menempatkan posisi sentral dan penting dalam kerangka suatu kebudayaan yang sifatnya abstrak dan hanya dapat diungkapkan melalui pengamatan pada gejalagejala yang lebih nyata seperti tingkah laku dan benda-benda material sebagai hasil penuangan konsep-konsep nilai melalui tindakan berpola. 4. Hakikat Bahan Ajar a. Pengertian Bahan Ajar Bahan atau materi ajar adalah sesuatu yang dapat memberikan petunjuk serta ilmu yang berguna bagi siswa. Ismawati (2013: 35) mengemukakan bahwa materi ajar atau bahan ajar adalah sesuatu yang mengandung pesan yang akan disampaikan dalam proses belajar-mengajar. Bahan ajar dikembangkan berdasarkan tujuan pembelajaran. Bahan ajar sastra yang ideal adalah bahan yang autentik, artinya benar-benar berupa karya cipta sastra. Karya sastra tersebut dapat berupa puisi, cerpen, novel, drama yang ditulis oleh sastrawan atau tulisan sendiri oleh guru. Penggunaan bahan ajar hendaknya harus disesuaikan dengan pedoman pembelajaran, dalam hal ini adalah kurikulum. Lestari (2013: 2) bahan ajar adalah seperangkat materi pelajaran yang mengacu pada kurikulum yang digunakan (dalam hal ini adalah silabus perkuliahan, silabus mata pelajaran, dan/atau
mata
diklat
tergantung
pada
jenis
diselenggarakan) dalam rangka mencapai
pendidikan
standar kompetensi
yang dan
kompetensi dasar yang telah ditentukan. Bahan ajar yang baik tentunya berdasarkan kriteria atau aspek tertentu. Lestari (2013: 2) memaparkan sesuai dengan pedoman penulisan modul yang dikeluarkan oleh Direktorat
Guruan Menegah Kejuruan,
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2003, bahan ajar memiliki beberapa
36
karakteristik, yaitu self instructional, self contained, stand alone, adaptive, dan user friendly. Pertama, self instructional yaitu bahan ajar dapat membuat siswa mampu membelajarkan diri sendiri dengan bahan ajar yang dikembangkan. Selain itu, dengan bahan ajar akan memudahkan siswa belajar secara tuntas dengan memberikan materi pembelajaran yang dikemas ke dalam unit-unit atau kegiatan yang lebih spesifik. Kedua, self contained yaitu seluruh materi pelajaran dari satu unit kompetensi atau subkompetensi yang dipelajari terdapat di dalam satu bahan ajar secara utuh. Ketiga, stand alone (berdiri sendiri) yaitu bahan ajar yang dikembangkan tidak tergantung pada bahan ajar lain atau tidak harus digunakan bersama-sama dengan bahan ajar lain. Keempat, adaptive yaitu bahan ajar hendaknya memiliki daya beradaptasi yang tinggi terhadap perkembangan imlu dan teknologi. Kelima, user friendly yaitu setiap instruksi dan paparan informasi yang tampil bersifat membantu dan bersahabat dengan pemakainya, termasuk kemudahan pemakai dalam merespons dan mengakses sesuai dengan keinginan. Menurut
Prastowo
(Lestari,
2013
7-8),
berdasarkan
strategi
pembelajaran yang digunakan, fungsi bahan ajar dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu fungsi dalam pembelajaran klasikal, individual, dan kelompok. 1. Fungsi bahan ajar dalam pembelajaran klasikal, antara lain: a. Sebagai
satu-satunya
sumber
informasi
serta
pengawas
dan
pengendali proses pembelajaran (dalam hal ini, siswa bersifat pasif dan belajar sesuai kecepatan siswa dalam belajar). b. Sebagai bahan pendukung proses pembelajaran yang diselenggarakan. 2. Fungsi bahan ajar dalam pembelajaran individual, antara lain:
37
a. Sebagai media utama dalam proses pembelajran. b. Sebagai alat yang digunakan untuk menyusun dan mengawasi proses peserta didik dalam memperoleh informasi. c. Sebagai penunjang media pembelajaran individual lainnya. 3. Fungsi bahan ajar dalam pembelajaran kelompok, antara lain: a. Sebagai bahan yang terintegrasi dengan proses belajar kelompok, dengan cara memberikan informasi tentang latar belakang materi, informasi tentang peran orang-orang yang terlibat dalam belajar kelompok, serta petunjuk tentang proses pembelajaran kelompoknya sendiri. b. Sebagai bahan pendukung bahan belajar utama, dan apabila dirancang sedemikian rupa, maka dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. b. Kriteria Materi Pembelajaran yang Baik Bahan ajar yang baik hendaknya mempermudah siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran harus mencakup 3 aspek, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ismawati (2013: 35) memaparkan beberapa hal terkait dengan pemilihan materi ajar, diantaranya: (1) materi harus spesifik, jelas, akurat, mutakhir. (2) materi harus bermakna, otentik, terpadu, berfungsi, kontekstual, komunikatif. (3) materi harus mencerminkan kebhinekaan dan kebersamaan, pengembangan budaya, ipteks, dan pengembangan kecerdasan berpikir, kehalusan berperasaan, kesantunan sosial. Semi (Sarumpaet, 2002: 138) memaparkan kriteria bahan ajar sastra yang baik untuk digunakan di SMA. Pertama, bahan ajar dan bahan belajar itu valid untuk mencapai tujuan pengajaran. Dalam hal ini guru harus menyadari dan memahami konsepsi pengajaran dan tujuan pengajaran sastra, yaitu membina kemampuan mengapresiasi sastra secara kreatif sehingga para peserta didik memperoleh
38
nilai-nilai manusia dan kemanusiaan, dapat mengembangkan imajinasi, ekspresi seni, kreativitas, dan kepekaan sosial. Kedua, bahan ajar dan bahan belajar itu bermakna dan bermanfaat ditinjau dari kebutuhan peserta didik. Artinya, bahan ajar atau bahan belajar hendaknya dapat memenuhi kebutuhan pengembangan insting etis dan estetis, pengembangan imajinasi dan daya kritis. Ketiga, bahan ajar dan bahan belajar menarik serta merangsang minat peserta didik. Artinya, bahan itu sesuai dengan minat, perhatian, dan gelora batiniah mereka sehingga dapat memancing timbulnya daya tanggap, daya bayang, daya rasa dan daya pikir. Dengan demikian pengalaman batiniah dan pengalaman intelektual mereka menjadi kaya yang akhirnya berdampak pada kemampuan memahami makna kehidupan dengan baik. Selain itu, mereka akan menjadi pecinta sastra yang baik, yang dapat mereka kembangkan sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, bahan ajar dan belajar berada dalam batas keterbacaan dan intelektual peserta didik. Artinya, bahan itu, baik berupa teks sastra maupun teori sastra, dapat ditanggapi dan direspons peserta didik sehingga mereka merasa pengajaran sastra merupakan pengajaran yang menarik bukan pengajaran yang berat. Kelima, bahan ajar dan bahan belajar, khususnya yang berupa bacaan satra, harus berupa karya sastra utuh, bukan karya sastra sinopsis yang berupa cerita kehidupan tanpa nilai estetik. Artinya, dengan karya sastra yang utuh para peserta didik memang berhadapan dengan karya sastra, bukan karya sastra “jadi-jadian” hasil rakitan seseorang. Pengajaran sastra sebenarnya tidak mudah bagi pendidik untuk menentukan dan memilah materi pelajaran yang sesuai untuk siswanya. Menurut Winkel (2009: 331–332), pemilihan bahan atau materi pengajaran harus sesuai dengan beberapa kriteria sebagai berikut:
39
1) Materi atau bahan pelajaran harus relevan terhadap tujuan instruksional yang harus dicapai, yaitu dari segi isi maupun jenis perilaku yang dituntut siswa untuk mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. 2) Materi atau bahan pelajaran harus sesuai dalam taraf kesulitannya dengan kemampuan siswa untuk menerima dan mengolah materi itu. 3) Materi atau bahan pelajaran harus dapat menunjang motivasi siswa, antara lain karena relevan dengan pengalaman hidup sehari-hari siswa, sejauh hal itu masih memungkinkan. 4) Materi atau bahan pelajaran harus membantu untuk melibatkan diri secara aktif, baik dengan berpikir sendiri maupun dengan melakukan berbagai kegiatan. 5) Materi atau bahan pelajaran harus sesuai dengan prosedur didaktis yang diikuti. Misalnya, materi pelajaran akan lain bila guru menggunakan bentuk ceramah, dibandingkan dengan pelajaran bentuk diskusi kelompok. 6) Materi atau bahan pelajaran harus sesuai dengan media pengajaran yang tersedia, misalnya perangkat lunak seperti videocassete dan film hanya dapat digunakan bila tersedia alat perangkat keras yang sesuai. Kriteria materi ajar sastra yang baik menurut Rahmanto (1988: 27-32) ada 3, yakni: 1) Bahasa Aspek kebahasan dalam sastra tidak hanya ditentukan oleh masalah-masalah yang dibahas, tetapi juga faktor-faktor lain seperti cara penulisan yang dipakai si pengarang, ciri-ciri karya sastra pada waktu penulisan karya itu, dan kelompok pembaca yang dijangkau pengarang. Dengan demikian, agar pengajaran sastra dapat berhasil, guru harus memilih materi yang sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa siswanya. Dari segi kebahasaan guru memilih materi ajar berdasarkan wawasan ilmiah, misalnya memperhitungkan kosa kata baru dan segi
40
ketatabahasaannya.
Sedangkan
dari
segi
ketepatan,
guru
mempertimbangkan situasi dan pengertian isi wacana termasuk ungkapan dan referensi yang ada. 2) Psikologi Tahap perkembangan psikologis sangat berpengaruh terhadap daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama, dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan problem yang dihadapi.
Pengelompokan berdasarkan tahap-tahap perkembangan
psikologis untuk memudahkan guru memahami tingkatan perkembangan psikologis anak ada 4 tahap, yakni: Pertama, tahap pengkhayal (8 sampai 9 tahun). Pada tahap ini imajinasi anak belum banyak diisi hal-hal nyata tetapi masih penuh dengan berbagai macam fantasi kekanakan. Kedua, tahap romantik (10 sampai 12 tahun). Pada tahap ini anak akan meninggalkan fantasi-fantasi dan mengarah ke realitas. Meski pandangan terhadap dunia masih sangat sederhana, tetapi anak menyukai cerita kepahlawanan, petualangan, dan bahkan kejahatan. Ketiga, tahap realistik (13 sampai 16 tahun). Pada tahap ini, anak sudah terlepas dari dunia fantasi dan sangat tertarik dengan realitas. Mereka terus berusaha mencari fakta-fakta untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata. Keempat, tahap generalisasi (16 tahun dan selanjutnya). Pada tahap ini anak tidak hanya berminat pada hal praktis saja, tetapi juga berminat menemukan
konsep-konsep
abstrak
dengan
menganalisis
suatu
fenomena. Dari analisis fenomena, mereka berusaha menemukan penyebabnya yang mengarah ke pemikiran filsafati untuk menentukan keputusan-keputusan moral. Karya sastra yang dipilih untuk diajarkan hendaknya sesuai dengan tahap psikologis pada umumnya dalam suatu kelas. Walaupun dalam
41
suatu kelas tidak semua siswa mempunyai tahap psikologis yang sama tetapi hendaknya guru menyajikan karya sastra yang dapat menarik minat sebagian besar siswa dalam kelas. 3) Latar belakang budaya Siswa mudah tertarik dengan karya sastra dengan latar belakang yang erat hubungannya dengan kehidupannya, terutama bila karya sastra menghadirkan tokoh yang berasal dari lingkungan mereka dan mempunyai kesamaan dengan mereka atau orang-orang di sekitarnya. Guru sastra hendaknya memahami apa yang diminati oleh siswanya, sehingga dapat menyajikan karya sastra yang tidak terlalu menuntut gambaran di luar jangkauan kemampuan pembayangan siswa. Pembelajaran dengan karya sastra yang berasal dari budaya sendiri harus diutamakan karena siswa hendaknya memahami budayanya sebelum mencoba mengetahui budaya lain. Setelah siswa memiliki rasa percaya diri untuk memahami karya sastra dengan latar belakang budaya yang dikenal, mereka akan siap untuk memahami sastra dengan latar belakang budaya asing di bawah pengarahan guru yang berpengetahuan luas. Karya sastra yang dipilih sebagai bahan ajar bukan asal “comot” atau semaunya saja. Melainkan ada kriteria bahwa hanya karya sastra yang berkualitas saja yang diambil, yakni karya sastra yang baik dalam konstruksi struktur sastranya, serta mengandung nilai-nilai karakter yang dapat membimbing anak didik menjadi manusia utama (Wibowo, 2013: 131). Sementara itu, Saryono (Wibowo: 2013: 131-133) mengemukakan bahwa hanya genre sastra tertentu yang bisa menjadi media membentuk karakter anak didik. Paling tidak mengandung mengandung aspek yang relevan dengan pendidikan karakter, yaitu: (1) literer-estetis, (2) humanis, (3) etis
42
dan moral, dan (4) religious-sufistis-profetis. Secara lengkap uraian-uraian genre sastra adalah sebagai berikut: a. Genre sastra yang mengandung nilai literer-estetis adalah genre sastra yang mengandung nilai keindahan, keelokan, kebagusan, kenikmatan, dan keterpanaan, yang dimungkinkan oleh segala unsur dalam karya sastra. b. Genre sastra yang mengandung nilai humanistis adalah genre sastra yang mengandung nilai kemanusiaan, menjunjung harkat dan martababat manusia, serta menggambarkan situasi dan kondisi dalam menghadapi aneka masalah kehidupan. Misalnya kisah klasik Ramayana dan Mahabarata. Kedua karya klasi itu mampu menyuguhkan aneka pengalaman hidup manusia, seperti tragedi, maut, cinta, harapan, loyalitas, kekuasaan, makna dan tujuan hidup serta hal yang trasendental. Nilai kemanusiaan yang begitu tinggi dalam karya sastra klasik tersebut, sering ditulis ulang oleh para penulis selanjutnya. Misalnya, novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata (1983) dan Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Aji Darma (2004). c. Genre sastra yang mengandung nilai etis dan moral dalam karya sastra, mengacu pada pengalaman manusia dalam bersikap dan bertindak, melaksanakan yang benar dan salah, serta bagaimana seharusnya kewajiban dan tanggung jawab manusia dilakukan. Sejak dahulu karya sastra diperlakukan sebagai wahana penyimpanan dan perawat nilai etis dan moral. Misalnya Ramayana, Mahabarata, Wulangreh (Pakubuwono IV),
Wedhatama
(Mangkunegara
IV)
dan
Kalitidha
(R.
Ng.
Ranggawarsito). Karya-karya sastra sebagaimana disebutkan dianggap sebagai penyimpanan dan perawat norma etis dan moral yang ideal bagi masyarakat. Simpanan dan rawatan norma etis dan moral tersebut dijadikan wahana pembentukan karakter anak didik yang lebih mengutamakan etika dan moral dalam bersikap dan bertindak sehari-hari.
43
d. Genre
sastra
religious-sufistis-profetis,
yaitu
genre
sastra
yang
menyajikan pengalaman spriritual dan transcendental. Genre sastra yang demikian itu telah lama ada sehingga Mangunwijawa (1982) menyatakan bahwa pada awalnya semua karya sastra adalah religius. Semua sastra pada awalnya digunakan sebagai sarana berpikir dan berzikir manusia akan kekuasaan, keagungan, kebijaksanaan, dan keadilan Tuhan yang Maha Esa. Kerinduan manusia kepada Tuhan, bahkan hubungan kedekatan manusia dengan Tuhan, telah lama ditulis dalam karya sastra para sufi, seperti Hamzah Fansuru, Nuruddin Ar Raniri, Al Hajaj, Amir Hamzah, Abdul Hadi W.M., Sutarji Calzoum Bachri, dan Danarto. Dari beberapa pendapat di atas, sebagai pedoman penelitian, peneliti mengunakan teori sintesis dari Rahmanto dan Semi, meliputi: (1) bahasa; (2) psikologi; (3) latar belakang budaya; (4) bahan ajar dan bahan belajar itu valid untuk mencapai tujuan pengajaran; (5) bahan ajar dan bahan belajar itu bermakna dan bermanfaat ditinjau dari kebutuhan peserta didik; (6) bahan ajar dan bahan belajar menarik serta merangsang minat peserta didik; (7) bahan ajar dan belajar berada dalam batas keterbacaan dan intelektual peserta didik; (8) bahan ajar dan bahan belajar, khususnya yang berupa bacaan satra, harus berupa karya sastra utuh. c. Pengertian Pembelajaran Sastra Pembelajaran merupakan suatu proses seseorang dalam memperoleh ilmu pengetahuan, tanpa mengesampingkan aspek afektif dan psikomotorik. Wibowo (2013: 136) pembelajaran sastra diarahkan pada tumbuhnya sikap apresiatif terhadap karya sastra, yaitu sikap menghargai karya sastra. Dalam pembelajaran sastra ditanamkan tentang pengetahuan karya sastra (kognitif), ditumbuhkan kecintaan terhadap karya sastra (afektif), dan dilatih keterampilan menghasilkan karya sastra (psikomotorik). Kegiatan apresiatif sastra dilakukan melalui kegiatan (1) reseprif seperti membaca dan mendengarkan karya sastra, (2) produktif, seperti mengarang, bercerita, dan
44
mementaskan karya sastra, (3) dokumentatif, misalnya mengumpulkan puisi, cerpen, membuat kliping tentang informasi kegiatan sastra. Pembelajaran menjadikan seseorang mengerti tentang suatu ilmu. Menurut Degeng (Uno, 2012: 2) pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan siswa. Secara implisit dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk mencapai hasil pengajaran yang diinginkan. Sedangkan menurut Ismawati (2013: 3) pengajaran sastra atau pembelajaran adalah pelajaran yang menyangkut seluruh aspek sastra, yang meliputi teori sastra, sejarah sastra, kritik sastra, sastra bandingan dan apresiasi sastra. Pengajaran sastra dapat dikatakan sebagai wahana untuk belajar menemukan nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra yang dibelajarkan dalam suasana yang kondusif. Tujuan pengajaran sastra ialah agar siswa mengenal cipta sastra, menjawab
pertanyaan-pertanyaan
yang
terkait
dengan
sastra,
dan
membentuk sikap positif terhadap sastra. Menurut Ismawati (2013:30-31) dalam pengajaran sastra, kegiatan dikaitkan dengan fungsi sastra, yaitu (1) mengenalkan beragam denyut kehidupan kepada pembacanya antara lain keindahan, cinta kasih, penderitaan, kegelisahan, harapan, tanggung jawab, pengabdian, pandangan hidup serta keadilan, dan karenanya; (2) menyadarkan pembaca akan manfaatnya. Pengajaran sastra harus mampu membina perasaan yang lebih tajam dibandingkan dengan pelajaran lainnya. Karena sastra menghantar kita mengenal hidup manusia, seperti: kebahagiaan, kebebasan, kesetiaan, kebanggan diri sampai pada kelemahan, kekalahan, keputusasaan, kebencian, perceraian dan kematian. Selain itu Rahmanto (1988: 16) juga memaparkan manfaat pengajaran sastra, yakni: membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak. Ismawati, (2013: 33) juga memaparkan hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengajaran sastra, meliputi: (1) guru harus menguasai
45
tujuan pengajaran sastra; (2) siswa didorong untuk menikmati cipta sastra secara langsung, bukan sinopsisnya; (3) teori dan sejarah sastra disajikan sebagai dasar untuk menanamkan apresiasi; (4) tuntunan ke arah apresiasi diberikan secara teratur dan terencana dengan evaluasinya; (5) disediakan sarana dan prasarana yang memadai, misalnya novel-novel dan teks drama yang harus dibaca; dan (6) penilaian pengajaran sastra berbasis kinerja, mengutamakan aspek afektif tanpa mengesampingkan aspek kognitif dan psikomotorik. Pada kurikulum 2013, pembelajaran sastra di SMA mendapatkan porsi yang cukup. Pembelajaran sastra di SMA diarahkan pada aktivitas mental yang lebih tinggi, sikap kritis dalam membaca karya sastra, menganalisis karya sastra seperti menemukan tema, mencari kaitan antar peristiwa, konflik, gaya bahasa, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2001: 319-232). Hakikat pembelajaran sastra adalah membawa siswa ke arah pengalaman sastra (literary experience). Siswa menghayati dan menelusuri sendiri setiap karya secara total dan utuh. Dengan begitu sikap responsif dan sensitif dalam mengapresiasi maupun mengkaji karya sastra diharapkan dapat meningkat. Hal ini sesuai dengan titik berat tujuan pembelajaran sastra, yaitu membina kepekaan berapresiasi. Pembelajaran sastra menggunakan novel sebagai genre mempunyai fungsi yang dapat menumbuhkan rasa kepedulian terhadap karya-karya yang dihasilkan oleh para pengarang. Novel ini dapat membantu dan menunjang sebagai sarana pendukung untuk memperkaya bacaan siswa. Pengajaran sastra meliputi teori sastra, apresiasi, dan kritik sastra. Pengajaran sastra di sekolah menengah biasanya mengenal kritik sastra dalam bentuk resensi karya sastra. Karya sastra digunakan sebagai bahan ajar di sekolah menengah atas biasanya berbentuk puisi, cerpen, roman, dan novel. Pengajaran sastra di sekolah menengah pertama dilakukan dengan
46
berpatokan pada kurikulum yang berlaku. Adapun kurikulum 2013 yang membahas tentang pembelajaran novel dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 1. Kompetensi Inti dan Kompetensi Bahasa Indonesia Dasar SMA Kelas XII KOMPETENSI INTI 3.
Memahami,
menganalisis
menerapkan, 3.1 Memahami struktur dan kaidah
dan
mengevaluasi teks cerita sejarah, berita, iklan,
pengetahuan
faktual,
prosedural,
dan
berdasarkan
rasa
KOMPETENSI DASAR
konseptual, editorial/opini,
dan
novel
baik
metakognitif melalui lisan maupun tulisan ingin
tahunya 3.2 Membandingkan teks cerita tentang ilmu pengetahuan, teknologi, sejarah, berita, iklan, editorial/opini, seni, budaya, dan humaniora dengan dan novel baik melalui lisan maupun wawasan kemanusiaan, kebangsaan, tulisan kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta
menerapkan
pengetahuan
prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya masalah
untuk
3.3 Menganalisis teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel baik melalui lisan maupun tulisan
memecahkan 3.4 Mengevaluasi teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel berdasarkan kaidahkaidah baik melalui lisan maupun tulisan
B. Kerangka Berpikir Berdasarkan kajian teori tentang hakikat novel, pendekatan psikologi sastra, dan nilai pendidikan dapat dibuat sebuah kerangka berpikir. Dalam penelitian ini, peneliti menganalisis novel Ayah Menyayangi Tanpa Akhir karya Kirana Kejora
47
meliputi unsur struktural, aspek kejiwaan tokoh utama, nilai pendidikan dan relevansi (unsur struktural, aspek kejiwaan tokoh utama, dan nilai pendidikan) sebagai materi ajar sastra di SMA khususnya kelas XII. Novel tersebut dikaji menggunakan pendekatan psikologi sastra. Pendekatan psikologi sastra sangat tepat untuk memahami perwatakan para tokoh dan aspek kejiwaan yang terjadi dalam diri tokoh tersebut. Selain itu, melalui peristiwa yang terjadi dalam novel dapat ditemukan nilai-nilai pendidikan. Berikut gambaran kerangka berpikir dalam penelitian ini.
Novel Ayah Menyayangi Tanpa Akhir karyaKarya Kirana Kirana Kejora Kejora
Analisis unsur struktural
Analisis aspek kejiwaan tokoh utama
Analisis nilai pendidikan
Relevansi unsur struktural, psikologi sastra, dan nilai pendidikan sebagai materi ajar novel pada pembelajaran sastra di SMA kelas XII
Gambar 1. Kerangka Berpikir