BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Pustaka 1. Hakikat Novel a. Pengertian Novel Novel merupakan suatu bentuk karya sastra yang berbentuk prosa yang mempunyai unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik. Kata novel berasal dari bahasa Itali Novella yang secara harfiah berarti, sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa Abrams (Nurgiyantoro, 2012: 9). Kata novel dalam bahasa Latin berasal dari kata novellus yang diturunkan pula dari kata noveis yang berarti baru. Robert Lindell (Waluyo 2011: 5) menyatakan bahwa karya sastra yang berupa novel, pertama kali lahir di Inggris dengan judul Pamella yang terbit pada tahun 1740. Tadinya novel (Pamella) merupakan bentuk catatan harian seorang pembantu rumah tangga. Novel merupakan karya sastra yang bersifat realistis dan mengandung nilai psikologi
yang mendalam, sehingga novel
dapat
berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi misalnya surat-surat, biografi, dokumen-dokumen, dan sejarah sedangkan roman (romansa) lebih bersifat puitis dan epik (Nurgiyantoro, 2012: 15). Pengertian novel dilihat dari sudut pandang seni, novel adalah lambang kesenian yang baru yang berdasarkan fakta dan pengalaman pengarangnya. Susunan yang digambarkan novel adalah suatu yang realistis dan masuk akal. Kehidupan yang dilukiskan bukan hanya kehebatan dan kelebihan tokoh (untuk tokoh
yang dikagumi), tetapi
cacat
dan
kekurangannya. Pengarang
menuangkan seluruh kekurangan dan kelebihan tokoh dalam karyanya, pengarang memang mempunyai kuasa untuk membentuk kepribadian tokoh dalam cerita yang dibuatnya Waluyo (Akbar dkk, 2013: 57). Pengertian yang lebih rinci dikemukakan oleh Sumardjo (Akbar dkk, 2013: 57) yang
8
9
menyatakan bahwa novel dalam kesusastraan merupakan sebuah sistem bentuk. Dalam sistem ini terdapat unsur-unsur pembentuknya dan fungsi dari masing-masing unsur. Masing-masing unsur saling berkaitan membentuk sebuah cerita yang disampaikan melalui bahasa. Bahasa digunakan sebagai media oleh pengarang dalam menuangkan ide kreatif dan imajinasinya dalam bentuk tulisan. Novel dan daya imajinatif pengarang memang tidak bisa dipisahkan, menurut Kosasih (2012: 60) novel merupakan karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh. Dalam dunia novel tokoh merupakan aspek yang mengalami permasalahan. Permasalahan sebagai langkah utama bagi pengarang dalam menuliskan karyanya. Permasalahan tersebut bisa berupa permasalahan sosial, ekonomi, agama, percintaan, dan lain sebagainya tergantung dari selera pengarang. Pengarang mempunyai kuasa untuk menentukan permasalahan apa yang diangkat dari karyanya. Daya imajinatif pengarang sangat diperlukan dalam penciptaan karya sastra karena tanpa unsur tersebut penyajian cerita cenderung monoton dan tidak menarik. Forster (Wardani, 2009: 15) menyatakan bahwa novel adalah cerita dalam bentuk prosa yang agak panjang tidak kurang dari 50.000 kata, menceritakan kehidupan beserta nilainya dengan cara tertentu. Novel juga diartikan sebagai suatu karangan atau karya sastra yang lebih pendek daripada roman, tetapi jauh lebih panjang daripada cerita pendek Novel mengungkapkan suatu kejadian yang penting, menarik dari kehidupan seseorang (dari suatu episode kehidupan seseorang) secara singkat dan yang pokok-pokok saja. Juga perwatakan para pelaku-pelakunya digambarkan secara garis besar, tidak sampai pada masalah yang sekecil-kecilnya, dan kejadian yang digambarkan tersebut mengandung suatu konflik jiwa sehingga mengakibatkan adanya perubahan nasib (Santosa & Wahyuningtyas, 2010: 46). Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa novel merupakan kisah atau cerita fiksi dalam bentuk tulisan/kata-kata dan memiliki unsur instrinsik dan juga unsur ekstrinsik.
10
Sebuah novel mengisahkan/menceritakan tentang kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan dan juga sesamanya. Pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada berbagai macam gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung di dalam novel. b. Struktur Novel Karya sastra adalah sebagai sebuah struktur merupakan sebuah bangunan yang terdiri atas berbagai unsur yang satu dengan lainnya saling berkaitan. Teori struktural adalah suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan antara yang satu dan yang lainnya. Teori struktural menekankan pada unsurunsur yang membangun karya sastra. Karya sastra dapat dinilai secara menyeluruh jika terbangun atas unsur-unsur yang membangun karya sastra (Sangidu, 2004: 16). Hal tersebut sesuai dengan pernyatan Nurhayati (2015: 10) yaitu berpangkal dari pembahasan terhadap aspek penokohan yang terdapat dalam analisis struktural, sehingga dapat dikatakan bahwa analisis psikologi merupakan tindak lanjut dari analisis struktural. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada objek dan masalah yang diajukan. Objek penelitian yang akan dilakukan adalah Novel Ayat-Ayat Cinta 2. Unsur-unsur pembangun karya sastra dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik Nurgiyantoro (2005: 23). Nurgiyantoro mengemukakan bahwa unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur secara aktual dijumpai saat orang membaca karya sastra. Unsur tersebut adalah peristiwa cerita atau plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya bahasa. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari luar karya itu sendiri seperti keadaan sosial ekonomi, biografi pengarang dan lain sebagainya. Metode analisis struktural karya sastra bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur karya sastra yang secara
11
bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1994: 135). Berikut ini merupakan penjelasan unsur intrinsik novel: 1) Tema Tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar suatu karya sastra. Tema menjadi dasar pengembangan suatu cerita, berangkat dari suatu ide pokok yang diangkat kemudian dikembangkan melalui keterlibatan unsur-unsur lain pembentuk cerita seperti tokoh dan konflik yang disajikan beriringan dengan tema yang diangkat (Ismawati, 2013: 72). Tema merupakan pokok permasalahan yang mewakili struktur isi cerita, tema suatu cerita menyangkut segala persoalan, baik berupa masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kekeluargaan, kecemburuan, dan sebagainya. Sementara menurut Kasnadi & Sutejo (2010: 40) tema adalah masalah, sebuah prosa fiksi adalah masalah. Pengarang menuliskannya dari masalah dalam kehidupannya, masalah yang sudah dialami berdasarkan pengalaman maupun mengangkat masalah-masalah yang sedang terjadi. Masalah tersebut bisa berupa masalah sosial, agama, budaya, cinta dan sebagainya. Tema dapat diketahui setelah membaca karya sastra tersebut. Masalah sebagai langkah awal seorang pengarang dalam menuliskan karyanya dengan tokoh dan konflik sebagai pelaku dan yang dikenai masalah. Tema cerita biasanya bersifat tersirat (tersembunyi) dan dapat dipahami setelah membaca keseluruhan cerita. Tema bersifat objektif, lugas, dan khusus (Waluyo, 2011: 7). Shipley (Nurgiyantoro 2005: 80 – 82) membedakan tema menjadi lima:
a) Tema jasmaniah merupakan tema yang cenderung berkaitan dengan keadaan jasmani seorang manusia. Tema jenis ini terfokus pada kenyataan diri manusia sebagai molekul, zat, dan jasad. Oleh karena itu, tema percintaan termasuk ke dalam kelompok tema ini. b) Tema organik diterjemahkan sebagai tema tentang "moral" karena kelompok tema ini mencakup hal-hal yang berhubungan dengan moral
12
manusia yang wujudnya tentang hubungan antarmanusia, antarpriawanita. c) Tema sosial meliputi hal-hal yang berada di luar masalah pribadi, misalnya politik, pendidikan, dan propaganda. d) Tema egoik merupakan tema yang menyangkut reaksi-reaksi pribadi yang pada umumnya menentang pengaruh sosial. e) Tema ketuhanan merupakan tema yang berkaitan dengan kondisi dan situasi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tema merupakan gagasan dasar dalam cerita yang dipaparkan dari awal sampai akhir yang mengacu pada aspek-aspek kehidupan manusia, pandangan pengarang, ide, atau keinginan pengarang dalam menyiasati persoalan yang muncul. 2) Alur atau Plot Alur merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab akibat. Secara umum jalan cerita terbagi ke dalam bagianbagian berikut. Pengenalan situasi cerita (exposition) dalam bagian ini, pengarang memperkenalkan para tokoh, menata adegan dan hubungan antar tokoh. Pengungkapan peristiwa (complication), dalam bagian ini disajikan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai masalah, pertentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokohnya. Menuju pada adanya konflik (rising action), terjadi peningkatan perhatian kegembiraan, kehebohan, ataupun keterlibatan, berbagai situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh. Puncak konflik (turning point), bagian ini disebut pula sebagai klimaks. Inilah bagian cerita yang paling besar dan mendebarkan, pada bagian ini pula ditentukan perubahan nasib beberapa tokoh. Penyelesaian (ending) sebagai akhir cerita, pada bagian ini berisi penjelasan tentang nasib-nasib yang dialami tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak (Kosasih, 2012: 63). Pada dasarnya alur dibedakan menjadi tiga kriteria. Pertama berdasarkan urutan waktu yang dibedakan menjadi tiga jenis yaitu, alur garis lurus atau alur progresif atau alur maju, alur flashback atau sorot balik,
13
dan alur campuran. Kriteria kedua berdasarkan jumlah dibedakan menjadi dua jenis yaitu, plot tunggal dan plot-subplot. Kriteria ketiga berdasarkan kepadatan dibedakan menjadi dua jenis yaitu, plot padat, rapat dan plot longgar, renggang (Nurgiyantoro, 2012: 159 – 161). Alur atau plot dalam cerita biasanya mempunyai kaidah-kaidahnya sendiri. Alur dalam cerita itu meliputi: (1) Kemasukakalan (plausibility); bahwa cerita memiliki kemasukakalan jika memiliki kebenaran, yakni benar bagi diri cerita itu sendiri, tetapi tidak menutup kemungkinan jika benar juga sesuai dengan kehidupan faktual, sekalipun pada bagian ini tidak mutlak. (2) Rasa ingin tahu (suspense); merupakan perasaan semacam kurang pasti terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, khususnya yang menimpa tokoh yang diberi simpati oleh pembaca. Keberadaan suspense akan mendorong, menggelitik, dan memotivasi pembaca untuk setia mengikuti cerita, dan mencari jawaban rasa ingin tahu terhadap kelanjutan cerita. (3) Adanya kejutan (surprise); merupakan peristiwa-peristiwa yang berisi kejutan dalam cerita, yang peristiwanya bisa saja di luar dugaan pembaca. Kejutan ini hadir sebagai warna untuk membuat pembaca semakin menyukai cerita. Dengan kejutan-kejutan, maka cerita menjadi tidak monoton dan membosankan. Oleh karenanya, kejutan merupakan hal yang penting keberadaannya dalam sebuah cerita, dan biasanya dinanti-nanti pembaca. (4) Kepaduan (unity); menyarankan bahwa berbagai unsur yang ditampilkan dalam alur haruslah memiliki kepaduan. Artinya, mempunyai hubungan antara satu dan yang lainnya sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh, sehingga keberadaan antarunsurnya menentukan keberadaan unsur-unsur yang lainnya (Nurgiyantoro, 2012: 138 – 139). Alur sebagai rangkaian peristiwa dalam cerita yang terhubung secara kausal, yaitu peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya (Stanton, 2012: 26). Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa plot atau alur merupakan rangkaian peristiwa
14
yang saling berkaitan dan menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa yang lain yang berpengaruh pada keseluruhan cerita. 3) Setting atau Latar Latar atau setting meliputi tempat, waktu, dan budaya yang digunakan dalam suatu cerita. Latar dalam karya sastra bisa berupa fakta atau imajiner (Kosasih, 2012: 67). Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada) pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan Abrams (Nurgiyantoro, 2012: 216). Kadang-kadang dalam sebuah cerita ditemukan latar yang banyak memengaruhi penokohan dan kadang membentuk tema. Pada banyak novel, latar membentuk suasana emosional tokoh cerita, misalnya cuaca yang ada di lingkungan tokoh memberi pengaruh terhadap perasaan tokoh cerita tersebut. Unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur ini walaupun berbeda tetapi saling berkaitan dan memengaruhi satu dengan lainnya. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misalnya Surabaya, Surakarta, Semarang, dan lain-lain. Tempat dengan inisial tertentu, misalnya kota B, S, D. Latar tempat tanpa nama jelas biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu, misalnya desa, sungai, hutan, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2012: 227 – 234). Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Masalah waktu dalam karya fiksi juga sering dihubungkan dengan lamanya waktu yang dipergunakan dalam cerita. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang
15
berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial menyangkut status sosial seorang tokoh, penggambaran keadaan masyarakat, adat-istiadat dan cara hidup. Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung (Stanton, 2012: 35). Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Waluyo (2011: 29) yang berpendapat bahwa setting atau latar adalah tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita dapat berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologis, dan aspek psikis. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa latar adalah tempat terjadinya peristiwa berupa waktu dan ruang serta suasana. 4) Tokoh dan Penokohan Tokoh berkaitan dengan orang atau seseorang sehingga perlu diketahui mengenai posisi tokoh tersebut. Jenis-jenis tokoh dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu berdasarkan segi peranan atau tingkat pentingnya; berdasarkan segi fungsi penampilan tokoh; berdasarkan segi perwatakan; berdasarkan segi berkembang atau tidaknya perwatakan; berdasarkan segi kemungkinan pencerminan tokoh. Berdasarkan segi peranan atau tingkat pentingnya dibedakan menjadi tokoh sentral dan tokoh tambahan. Tokoh sentral atau tokoh utama adalah tokoh yang dipentingkan atau ditonjolkan atau menjadi pusat penceritaan, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang dianggap tidak terlalu penting dalam sebuah cerita. Berdasarkan segi fungsi penampilan tokoh dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis (Nurgiyantoro, 2012: 176 – 190). Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita atau tokoh yang memiliki sifat baik, sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang menentang jalannya cerita atau memiliki sifat buruk yang menimbulkan benci dari pembaca. Berdasarkan segi perwatakan, dibedakan menjadi tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang memiliki satu watak atau sifat pribadi, sedangkan tokoh bulat adalah
16
tokoh yang ditampilkan berbagai sifat atau watak yang mengungkapkan jati dirinya. Penggambaran tokoh oleh pengarang mempertimbangkan tiga dimensi watak, yaitu dimensi psikis (kejiwaan), dimensi fisik (jasmaniah), dan dimensi sosiologis (latar belakang kekayaan, pangkat, dan jabatan). Dimensi psikis (kejiwaan) adalah faktor terpenting dalam penggambaran watak tokoh, sehingga dapat diketahui apakah tokoh tersebut baik hati, sabar, jahat, pemarah dan sebagainya. Dimensi fisik atau fisiologis merupakan penggambaran tokoh berdasarkan umur, ciri fisik maupun keadaan diri tokoh. Dimensi sosiologis merupakan penggambaran kepribadian yang dikaitkan dengan suku, jenis kelamin, kekayaan, kelas sosial, profesi atau pekerjaan (Waluyo, 2011: 21). Strukturalisme telah didefinisikan sebagai ilmu yang digunakan sebagai landasan untuk memahami secara sistematis semua pengalaman manusia, termasuk
tingkah
lakunya.
Secara
tersirat
pendapat
tersebut
menggambarkan tentang penokohan yang ada di dalam karya sastra. Penokohan sebagai bagian dari karya sastra merupakan bagian dari cipta pengarang termasuk tingkah laku dan pengalaman yang ada di dalam cerita (Abbasi, 2011: 51). Penokohan adalah gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh merujuk pada pelaku cerita yang diceritakan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2012: 165). Lebih lanjut, tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan Abrams (Nurgiyantoro, 2012: 165). Tokoh dalam cerita berkembang seiring jalannya alur. Alur sebagai tolok ukur perkembangan kepribadian tokoh. Lebih lanjut, teknik penggambaran tokoh (Santoso & Wahyuningtyas, 2010: 4) adalah sebagai berikut. Secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkan tentang watak atau karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut
17
keras hati, keras kepala, penyayang dan sebagainya. Secara dramatic, yaitu penggambaran perwatakan yang tidak diceritakan langsung, tetapi hal itu disampaikan melalui: (a) Teknik cakapan (percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
cerita
untuk
menggambarkan
sifat-sifat
tokoh
yang
bersangkutan). (b) Teknik tingkah laku (teknik untuk menunjukkan tingkah laku verbal yang berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku yang menyaran pada tindakan nonverbal atau fisik). (c) Teknik pikiran dan perasaan (teknik penuturan untuk menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh). (d) Teknik arus kesadaran (teknik yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh dimana tanggapan indera bercampur dengan kesadaran dan ketidaksadaran pikiran, perasaan, ingatan, harapan, serta asosiasi-asosiasi acak). (e) Teknik reaksi tokoh (teknik sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata dan sikap (tingkah laku) orang lain, dan sebagainya berupa rangsang dari luar diri tokoh yang bersangkutan). (f) Teknik reaksi tokoh lain (teknik sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama). (g) Teknik pelukisan latar (suasana latar dapat dipakai untuk melukiskan kedirian seorang tokoh). (h) Teknik pelukisan fisik (teknik melukiskan keadaan fisik tokoh). Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kehadiran tokoh sangat penting dalam sebuah karya sastra. Setiap cerita fiksi (novel) pasti memiliki tokoh untuk menjalankan peristiwa dalam cerita. 5) Sudut Pandang Unsur lain yang tidak kalah penting dalam analisis karya sastra adalah sudut pandang untuk mengetahui posisi pengarang dalam cerita. Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa yang menceritakan atau dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Pemilihan bentuk persona dapat memengaruhi perkembangan cerita dan masalah yang diceritakan. Sudut pandang merupakan sarana pengarang untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita (Nurgiyantoro, 2012: 246).
18
Sudut pandang dibagi menjadi tiga antara lain sudut pandang orang ketiga, sudut pandang orang pertama, dan sudut pandang campuran. Sudut pandang orang ketiga menggambarkan posisi pengarang yang berada di luar cerita, sudut pandang orang pertama menggambarkan pengarang yang ikut terlibat dalam cerita, dan sudut pandang campuran menggambarkan pengarang bisa bertindak sebagai campuran persona pertama dan ketiga. Sudut pandang merupakan posisi atau pusat kesadaran untuk memahami setiap peristiwa dalam cerita. Sudut pandang memungkinkan kita untuk membayangkan dan memahami pengalaman manusia. Terkadang sudut pandang digambarkan melalui dua cara yaitu subjektif dan objektif. Dikatakan subjektif ketika pengarang langsung menilai sebuah karakter sedangkan bersifat objektif ketika pengarang menghindari usaha untuk menampakkan gagasan-gagasan (Stanton, 2012: 53). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sudut pandang pengarang adalah cara pandang pengarang dalam menyampaikan cerita. Sudut pandang menggunakan metode narasi yang menentukan posisi atau sudut pandang dari mana cerita disampaikan. 6) Gaya Bahasa Kekayaan sebuah karya atau tulisan kreatif terletak pada unsur-unsur bahasa dan bentuk yang menimbulkan keragaman dan kompleksitas, serta interaksi yang baik antara unsur-unsur tersebut sesamanya serta dengan dunia nyata yang berada di lingkungan karya itu sendiri. Masalah penggunaan
bahasa
dihadapkan
pada
usaha
sepenuhnya
untuk
mengungkapkan isi hati, perasaan, dan daya khayal seorang pengarang. Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang mengungkapkan suatu pengertian dalam kata (frasa), kelompok kata, dan kalimat. Kecenderungan gaya bahasa cipta sastra modern adalah baru, hidup, dan segar. Ungkapanungkapan yang klise (sudah seringkali digunakan) dihindari. Gaya bahasa sesungguhnya berasal dari dalam batin seseorang. Seseorang yang melankolis (pemurung) memiliki gaya bahasa romantis beralun-alun.
19
Gaya bahasa, atau style adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa. Dalam wacana sastra pengarang akan menggunakan kata yang bermakna padat, reflektif, asosiatif, dan bersifat konotatif (Aminuddin, 2004: 22). Oleh karena itulah, masalah gaya berkaitan dengan masalah gaya dalam bahasa itu sendiri. Menurut Siswanto (2008: 162) gaya penceritaan mencakup teknik penulisan dan teknik penceritaan. Teknik penulisan adalah teknik yang digunakan pengarang dalam menulis karya sastranya. Teknik penceritaan adalah cara yang digunakan pengarang untuk menyajikan karya sastranya seperti teknik pemandangan, teknik adegan, teknik montase, teknik kolase, dan teknik asosiasi. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan teknik pengarang dalam bercerita dengan menggunakan media bahasa. 7) Amanat Amanat adalah pesan yang akan disampaikan melalui cerita. Pesan yang disampaikan pengarang baik tersurat maupun tersirat
yang
disampaikan melalui karyanya. Pesan tersebut lebih merujuk pada ajaran moral sehingga kita bisa belajar tentang ajaran moral yang baik dalam karya sastra (Ismawati, 2013: 73). Bentuk penyampaian amanat sebagai berikut. Penyampaian secara langsung, bentuk penyampaian pesan moral bersifat langsung, boleh dikatakan identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian. Artinya, moral yang ingin disampaikan atau diajarkan kepada pembaca dilakukan secara langsung. Penyampaian secara tidak langsung, bentuk penyampaian pesan moral bersifat tidak langsung, artinya pesan itu hanya tersirat dalam cerita (Nurgiyantoro, 2012: 335). Sehingga dapat disimpulkan amanat merupakan ajaran moral atau pesan yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui Karya yang diciptakan itu. Tidak terlalu berbeda dengan bentuk cerita yang Iainnya, amanat dalam novel akan disimpan rapi dan disembunyikan pengarangnya dalam keseluruhan isi cerita. Oleh karena itu, untuk mendapatkannya, tidak
20
cukup hanya membaca dua atau tiga paragraf, melainkan membaca cerita tersebut sampai tuntas.
2. Hakikat Psikologi Sastra a. Pengertian Psikologi Sastra Psikologi sastra merupakan cabang ilmu sastra dengan menggunakan pendekatan psikologi. Pendekatan psikologi pada karya sastra berusaha untuk mengidentifikasi berbagai karakter tokoh serta konflik batin yang dialami tokoh yang berhubungan dengan kejiwaan tokoh. Minderop (2011: 54) menyatakan bahwa psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan proses dan aktivitas kejiwaan. Karya sastra sebagai hasil dari aktivitas penulis sering dikaitkan dengan gejala-gejala kejiwaan sebab karya sastra merupakan hasil dari penciptaan seorang pengarang yang secara sadar atau tidak sadar menggunakan teori psikologi. Seperti yang dikemukakan oleh Al Ghraibeh (2012: 106), yaitu: “The statement of the problem is defined by revealing the dominant hemisphere of the brain and its relation with the multiple intelligences. This relation adds a significant change to the field of the psychology. The way of learning and thinking that is attributed to the hemispheres of the brain and its relation with mental talented children’s personality. Psikologi ditafsirkan sebagai lingkup gerak jiwa, konflik batin tokohtokoh dalam sebuah karya sastra secara tuntas. Pengetahuan psikologi dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam menelusuri sebuah karya sastra secara tuntas. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman kepada masyarakat secara tidak langsung melalui pemahaman tokoh-tokohnya. Tugas psikologi adalah menganalisis kesadaran kejiwaan manusia yang terdiri dari unsur-unsur struktural yang sangat erat hubungannya dengan proses-proses pancaindra. Penelitian psikologi sastra memang memiliki landasan pijak yang kokoh. Karena baik sastra maupun psikologi sama-sama mempelajari hidup manusia. Bedanya, kalau sastra mempelajari manusia sebagai ciptaan imajinasi pengarang, sedangkan psikologi mempelajari manusia secara nyata. Namun, sifat-sifat
21
manusia dalam psikologi maupun sastra sering menunjukkan kemiripan, sehingga psikologi sastra memang tepat dilakukan. Roekhan (Endraswara, 2008: 97) menyatakan bahwa pendekatan psikologi sastra ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus. Pertama, pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. Kedua, pendekatan reseptif-pragmatik, yang mengkaji aspek psikologis pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya yang dibacanya, serta resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. Ketiga, pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupun wakil masyarakatnya. Penelitian psikologi sastra merupakan sebuah penelitian yang menitikberatkan pada suatu karya sastra yang menggunakan tinjauan tentang psikologi. Psikologi sastra dapat mengungkapkan tentang suatu kejiwaan baik pengarang, tokoh karya sastra, maupun pembaca karya sastra. Ada tiga macam metode yang dapat diterapkan dalam menganalisis suatu karya dengan pendekatan psikologi. Pertama, menguraikan ketidaksengajaan antara pengarang dan pembaca. Kedua, menguraikan kehidupan pengarang untuk memahami karyanya. Ketiga, menguraikan karakter para tokoh yang ada dalam karya yang diteliti Scott (Sangidu, 2004: 30). Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Wahyuni (2011: 1), yaitu: “Psikologi sastra adalah analisis teks. Artinya, psikologi ikut berperan penting dalam penganalisisan sebuah karya sastra dengan mengkaji dari sudut kejiwaan karya sastra. Jika memusatkan perhatian pada tokohtokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin.” Penggunaan kajian psikologi dalam melihat karya sastra merupakan bentuk pemahaman terhadap karya sastra dari sisi lain. Konflik yang dialami tokoh dan cara penyelesaiannya dapat dijadikan petunjuk adanya unsur psikologi dalam sebuah karya sastra. Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra menampilkan tokoh-tokoh yang tidak bersifat individual melainkan dalam kelompok masyarakat tertentu. Karakter tokoh cerita dalam beberapa hal seperti orang yang nyata, tetapi mereka tidak identik dengan orang dalam kehidupan nyata karena mereka hanya ada di dunia imajinasi pengarang. Kehidupan tokoh sebagai hasil imajinasi pengarang inilah yang dapat dijadikan sumber pemahaman terhadap karakter
22
masing-masing tokoh. Selain itu, konflik batin yang dialami tokoh dapat teridentifikasi (Astuti, 2011: 1023).
Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa dan karsa dalam berkarya. Begitulah pembaca, dalam menanggapi karya tidak akan lepas dari aktivitas kejiwaan masing-masing. Freud (Alwisol, 2014: 13) kehidupan jiwa memiliki
tiga
tingkat
kesadaran,
yakni
sadar
(conscious),
prasadar
(preconscious), dan tak sadar (unconscious). Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari dan menyelidiki aktivitas dan tingkah laku manusia. Aktivitas dan tingkah laku tersebut merupakan manifestasi jiwanya. Jadi, jiwa manusia terdiri dua alam, yaitu alam sadar (kesadaran) dan alam tidak sadar (ketidaksadaran), kedua alam bukan hanya saling menyesuaikan, alam sadar menyesuaikan dengan dunia luar, sedangkan alam tak sadar penyesuaiannya terhadap dunia dalam. Jadi ilmu psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa yang mencakup segala aktivitas dan tingkah laku manusia. Ratna (2012: 16) mengemukakan bahwa secara definitif psikologi sastra adalah pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kejiwaannya. Sebagai hasil rekonstruksi proses mental karya sastra diduga mengandung berbagai masalah berkaitan dengan gejala-gejala kejiwaan. Gejala yang muncul baik secara langsung maupun tidak langsung melalui unsur-unsur termanifestasikan dalam karya. Kajian psikologi sastra lebih menekan pada kajian tokoh atau penokohan karena banyak menampilkan gejala-gejala kejiwaan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa psikologi sastra merupakan sebuah pendekatan untuk menganalisis karya sastra dari sisi psikologi, karena karya sastra sebagai ciptaan pengarang mengandung aspek kejiwaan. Kajian yang berhubungan dengan psikologi sastra telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya.
b. Psikologi Sastra Sigmund Freud Berbicara mengenai psikologi psikoanalisis pasti berbicara mengenai Sigmund Freud. Sebagai aliran psikologi, psikoanalisis banyak berbicara
23
mengenai kepribadian, khususnya dari segi struktur, dinamika, dan perkembangannya. Di samping itu aliran psikologi ini juga membahas ketidaksadaran, mimpi, neurosis, dan lain-lain. Freud mengkaji kehidupan manusia berdasarkan alam bawah sadar, prasadar dan sadar. Struktur kepribadian menurut Sigmund Freud terdiri dari tiga sistem, yaitu id (das es), ego (das ich), dan superego (das ueber ich). Perilaku manusia pada hakikatnya hasil interaksi substansi dalam kepribadian manusia id, ego, dan superego. Seorang pakar psikologi secara rinci merumuskan pengertian psikoanalisis. Seperti yang dikemukakan oleh Freud (Suryabrata, 2007: 124), sebagai berikut:
Psikoanalisis merupakan konsepsi dinamis yang mereduksikan kehidupan jiwa menjadi saling berpengaruh antara kekuatan pendorong dan kekuatan penahan. Energi psikis terjadi karena adanya pengaruh kekuatan pendorong (cathexis) maupun penahan (anti cathexis) yang menunjukkan suatu dinamika, suatu kepribadian, suatu kepentingan dan berbagai tingkah laku manusia. Jika terjadi pertentangan antara kedua kekuatan tersebut berarti menunjukkan adanya konflik dalam kehidupan jiwa seseorang yang akhirnya dapat menimbulkan perilaku-perilaku tertentu. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Arifianie (2014: 3) yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan perwatakan tokoh utama, konflik psikis tokoh utama, faktor penyebab terjadinya konflik, nilai pendidikan karakter, yang terdapat dalam novel Asmarani karya Suparta Brata. Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Id, ego dan superego ini harus berjalan seimbang sehingga individu dapat memenuhi kebutuhannya tanpa meninggalkan norma yang ada di lingkungannya. Hal tersebut terbukti dari penelitian Huda (2010) yang menyimpulkan bahwa penting menjaga keadaan ideal dalam diri manusia. Keadaan ideal itu adalah keseimbangan id, ego, dan super ego yang memungkinkan individu dapat memenuhi kebutuhannya tanpa meninggalkan atau melanggar nilai dan norma yang ada di lingkungan masyarakat. Jika terjadi ketidakseimbangan akan muncul neurosis (penyakit jiwa) yang menghendaki adanya penyaluran (Endraswara, 2008: 197).
24
1) Id Id
disebut
alam
bawah
sadar/ketaksadaran
(unconsicousnes),
pembawaan biologis hasil evolusi, di dalamnya terkandung berbagai dorongan primitif primer, selalu ingin memperoleh kepuasan. Apabila keinginan dari id tidak terpenuhi maka akan timbul kesakitan dan kecemasan (Ratna, 2012: 20). Id adalah sistem kepribadian yang asli, dibawa sejak lahir, dari id kemudian muncul ego dan superego. Ketiga sistem itu saling berkaitan membentuk totalitas tingkah laku manusia (Alwisol, 2014: 14). Id merupakan aspek biologis dari aspek kepribadian yang orisinal, id berpegang pada prinsip kenikmatan. Id selalu menghindar dari ketegangan dan kecemasan dan bekerja berdasarkan alam bawah manusia yang dikendalikan oleh insting (Wahyuningtyas & Santoso, 2011: 11). Id merupakan komponen kepribadian yang primitif dan berusaha untuk memenuhi kepuasan insting dan rahim tempat ego dan superego berkembang (Syamsu dan Nurihsan, 2011: 41). Pendapat yang lain menyebutkan id adalah aspek biologis dan merupakan sistem yang original di dalam kepribadian, dari aspek inilah dua aspek yang lain tumbuh (Suryabrata, 2007: 125). Aspek id merupakan aspek yang dibawa sejak lahir sehingga disebut aspek yang original. Aspek id bekerja berdasarkan prinsip alam bawah sadar dan dikendalikan oleh insting-insting dan libido manusia untuk segera dipenuhi. Insting-insting yang harus dipenuhi bisa berupa aspek biologis maupun psikis, seperti makan minum, piknik, seks dan lain sebagainya. Id bekerja berdasarkan prinsip kesenangan dan menghindar dari ketegangan. Dari beberapa pendapat di atas maka id adalah satu-satunya komponen kepribadian yang hadir sejak lahir atau sistem dasar kepribadian. Aspek kepribadian sepenuhnya sadar dan termasuk dari perilaku naluriah dan primitif.
25
2) Ego Ego adalah bagian “eksekutif” dari kepribadian, berfungsi secara logis atau rasional berdasarkan prinsip kenyataan (reality principle) dan proses sekunder yaitu suatu proses logis untuk melihat pada kenyataan (reality testing) dalam usahanya menemukan cara pemuasan dorongan id secara realistis. Fungsi ego berguna untuk menyaring dorongan-dorongan yang ingin dipuaskan oleh id berdasarkan kenyataan Suryabrata (Wahyuningtyas & Santoso, 2011: 11). Ego merupakan aspek psikologis yang timbul karena organisme. Aspek ini timbul untuk berhubungan secara baik dengan dunia nyata. Ego adalah segi kepribadian yang harus tunduk pada id sebagai pemuas kebutuhan dan pereda ketegangan Moesono (Hartono, 2001: 4). Ego adalah eksekutif (pelaksana) dari kepribadian, yang memiliki dua tugas utama. Pertama, memilih stimuli mana yang hendak direspon atau insting mana yang akan dipuaskan sesuai dengan prioritas. Kedua, menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan peluang yang resikonya minimal. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas. Ego memilih stimuli mana yang hendak direspon sesuai prioritas berdasarkan dorongan id. Sebagai pemenuhan dari dorongan id, ego merespon stimulus-stimulus yang muncul dari id. Ego adalah dibawa sejak lahir, tetapi berkembang seiring dengan hubungan individu dengan lingkungan. Prinsip ego adalah realitas atau kenyataan. Untuk bisa bertahan hidup individu tidak bisa semata-mata bertindak sekadar mengerti impulsimpuls atau dorongan-dorongan, individu harus belajar menghadapi realitas. Ego bertindak berdasarkan dorongan id untuk segera memenuhi impulsimpuls yang ditimbulkan oleh id yang bekerja berdasarkan prinsip realitas (Alwisol, 2014: 15). Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa ego dibawa sejak lahir, tetapi berkembang seiring dengan hubungan individu dengan lingkungan. Prinsipnya realitas atau kenyataan. Untuk bisa bertahan hidup, individu tidak bisa semata-mata bertindak sekedar dorongandorongan, individu harus belajar menghadapi realitas.
26
3) Superego Pendidikan orang tua, masyarakat atau lembaga pendidikan formal pada
tahap-tahap
perkembangan
selanjutnya,
membantu
individu
mengembangkan sumber energi lain, yaitu superego. Superego merupakan komponen moral kepribadian yang terkait dengan standar atau norma masyarakat mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Melalui pengalaman hidup individu telah mengetahui dan bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Superego bekerja berdasarkan prinsip moral yang berlaku dalam masyarakat (Yusuf dan Nurihsan, 2011: 44). Tindakan superego lebih mengarah pada kesempurnaan daripada kesenangan. Superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian, yaitu beroperasi memakai prinsip idealistik sebagai lawan dari prinsip kepuasan id dan prinsip realistik ego. Superego mempunyai prinsip idealistik yang mengacu pada dua subprinsip, yakni conscience (hati nurani) dan ego ideal. Superego pada hakikatnya merupakan elemen yang mewakili nilai-nilai baik dan buruk yang dimengerti manusia berdasarkan pengalaman manusia selama masa hidupnya (Alwisol, 2014: 16). Superego merupakan lembaga moral, hasil pengalaman, tradisi dan kebudayaan. Superego sebagai aspek sosiologis, menghubungkan individu dengan tradisi dan kebudayaan secara keseluruhan (Ratna, 2012: 20). Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa superego adalah aspek kepribadian yang menampung semua standar internalisasi moral dan cita-cita yang kita peroleh dari kedua orang tua serta masyarakat yaitu rasa benar dan salah. Kesimpulannya adalah superego memberikan pedoman untuk membuat penilaian. c. Fokus Penelitian Psikologi Sastra Di dalam psikologi sastra unsur penokohanlah yang paling ideal untuk menjadi sasaran pengkajian, karena dalam unsur ini merupakan tempat terjadinya gejala-gejala kejiwaan. Jatmiko dalam Satoto (2012: 85) menyatakan bahwa tokoh adalah bahan yang paling aktif menjadi penggerak cerita karena tokoh ini berpribadi, berwatak, dan memiliki karakteristik tiga
27
dimensional, yaitu dimensi fisiologis yang berkenaan dengan ciri-ciri badan, dimensi sosiologis yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat, dan dimensi psikologis yang berkenaan dengan latar belakang kejiwaan. Menurut Ratna (2012: 17) paling sedikit ada tiga alasan mengapa unsur penokohan paling banyak dibicarakan dalam psikologi sastra dibandingkan dengan unsur-unsur lainnya, yaitu: Pertama, penokohan memiliki kaitan langsung, baik dengan peneliti maupun pembaca, penokohan sebagai perwujudan diri pribadi. Kedua, penokohan dengan sendirinya paling mudah diidentifikasi, dilukiskan, dan dipahami,
khususnya
melalui
nama.
Ketiga,
melalui
penokohanlah
dimungkinkan terwujud pesan-pesan, pandangan dunia, dan berbagai bentuk ideologi yang lain. Pengkajian penokohan dalam dari sudut pandang psikologi tidak jauh dari analisis watak dan konflik yang dialami tokoh karena ilmu psikologi sangat erat dengan kondisi kejiwaan (Jatmiko dkk, 2012: 85). Hal ini dikarenakan setiap tokoh dalam cerita fiksi seperti novel mempunyi watak, konflik, dan sikap yang berbeda. Beranjak dari hal tersebut maka pengkajian psikologi sastra pada penelitian ini difokuskan pada watak dan konflik yang dialami tokoh utama Fahri. 1) Watak Suatu peristiwa dalam novel terjadi karena aksi atau tokoh-tokohnya. Tokoh menunjukkan pada orangnya atau pelaku cerita. Tokoh cerita menurut Abrams (Nurgiyantoro, 2012: 165 – 166) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan apa yang disebutkan dalam tindakan. Berdasarkan wataknya dikenal tokoh sederhana dan kompleks. Tokoh sederhana adalah tokoh yang kurang mewakili keutuhan personalitas manusia dan hanya ditonjolkan satu sisi karakternya saja. Sementara tokoh kompleks, sebaliknya lebih menggambarkan keutuhan personalitas manusia, yang memiliki sisi baik dan buruk secara dinamis. Sayuti (2000: 74) meninjau dari keterlibatannya dalam keseluruhan cerita. Tokoh fiksi dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh peripheral atau tokoh tambahan. Biasanya tokoh sentral merupakan tokoh
28
yang mengambil bagian terbesar dalam peristiwa dalam cerita. Peristiwa itu menyebabkan terjadinya perubahan sikap dalam diri tokoh dan perubahan pandangan kita sebagai pembaca terhadap tokoh tersebut. Tokoh sentral karya fiksi dapat ditentukan dengan tiga cara, yaitu (1) tokoh itu yang paling terlibat dengan tema, (2) tokoh itu yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, (3) tokoh itu yang paling banyak memerlukan
waktu
penceritaan.
Tokoh
cerita
dilengkapi
dengan
karakteristik dan watak tertentu. Watak adalah kualitas tokoh yang meliputi kualitas nalar dan jiwa yang membedakannya dengan tokoh cerita lain. Perbedaan watak dan kejiwaan setiap para tokoh itulah yang menyebabkan pertentangan atau benturan keinginan yang menyebabkan terjadinya konflik. Watak dalam psikologi sastra menggambarkan bagaimana ketiga sistem tersebut (Id, Ego, dan Superego) saling berinteraksi membentuk totalitas tingkah laku manusia. Dengan melihat unsur mana yang paling dominan diantara ketiga sistem itu, maka dapat diketahui bagaimana watak tokoh tersebut. Ketiga sistem itu harus seimbang sehingga membentuk watak yang baik. 2) Konflik Konflik adalah kejadian yang tergolong penting merupakan unsur yang esensial dalam perkembangan plot. Kemampuan pengarang untuk memilih dan membangun konflik melalui berbagai peristiwa (baik aksi maupun kejadian) akan sangat menentukan kadar kemenarikan, kadar suspense, cerita yang dihasilkan (Nurgiyantoro, 2012: 122). Peritiwaperistiwa seru yang saling berkaitan satu sama lain dan menyebabkan munculnya konflik-konflik yang kompleks, biasanya disenangi pembaca. Konflik merupakan salah satu daya tarik dalam cerita. Semakin kompleks konflik yang disajikan semakin menarik dan membuat penasaran para pembaca. Ada peristiwa tertentu yang dapat menimbulkan terjadinya konflik. Sebaliknya, karena terjadinya konflik, peristiwa-peristiwa lainnya dapat bermunculan sebagai akibatnya.
29
Peristiwa dalam sebuah cerita, dapat berupa peristiwa fisik maupun batin (Nurgiyantoro, 2012: 123). Peristiwa fisik melibatkan aktifitas fisik, ada interaksi antar tokoh cerita dengan suatu diluar dirinya, misalnya dengan lingkungannya sedangkan peristiwa batin adalah sesuatu yang terjadi dalam batin (hati seorang tokoh) dan kedua peristiwa itu saling berkaitan. Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 4) menyatakan bahwa tokoh yang menjadi penyebab konflik dan ketegangan tersebut disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis tersebut berposisi dengan tokoh protagonis secara langsung dan tidak langsung, bersifat fisik maupun batin. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa hubungan antar tokoh yang memiliki perbedaan watak, sikap, kepentingan, cita-cita, dan harapan menjadi penyebab terjadinya konflik dalam cerita.
3. Hakikat Nilai Pendidikan Karakter a. Pengertian Nilai Nilai merupakan sesuatu yang berharga, bermutu dan berguna bagi manusia. Hal yang bernilai berarti berharga dan berguna bagi manusia. Nilai adalah suatu penghargaan atau suatu kualitas terhadap suatu hal yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku manusia (Santosa, 2008: 72). Nilai juga merupakan penetapan suatu kualitas tertentu yang menyangkut jenis ataupun minat. Nilai merupakan pedoman umum yang digunakan dalam memilih antara berbagai kemungkinan pilihan. Dalam bahasa Inggris, nilai adalah value. Nilai sebagai aturan yang menentukan suatu benda atau perbuatan yang lebih tinggi. Nilai ini menyangkut masalah bagaimana usaha manusia untuk menentukan sesuatu itu berharga dari yang lain, serta tentang apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak. Nilai dapat dikatakan sebagai norma yang berfungsi sebagai petunjuk dalam menentukan tentang baik buruknya sesuatu, serta apa yang diwajibkan, diperbolehkan, dan yang dilarang (Semi, 2012: 54). Nilai digunakan untuk menentukan tujuan tindakan atau usaha dan baik tidaknya sesuatu. Nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi
30
manusia sebagai acuan tingkah laku. Sastra dan nilai merupakan dua hal yang saling melengkapi satu sama lain. Sastra sebagai hasil karya manusia mengandung nilai-nilai tertentu. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna yang dijadikan sebagai pedoman manusia dalam kehidupan sehari-hari. b. Pengertian Pendidikan Pengertian pendidikan secara etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani “paedogogike”, yang terdiri atas kata “pais” yang berarti anak dan kata “ago” yang berarti “aku membimbing”. Jadi Soedomo Hadi menyimpulkan paedogogike berarti aku membimbing anak (Hadi, 2003: 17). Pendidikan sebagai pemberian pembimbingan dan pertolongan rohani dari orang dewasa kepada mereka yang masih memerlukan Langeveld (Rachmat Djatun, 2009: 25). Secara etimologis, sastra juga berarti alat untuk mendidik (Ratna, 2012: 447). Masih menurut Ratna, lebih jauh dikaitkan dengan pesan dan muatannya, hampir secara keseluruhan karya sastra merupakan sarana-sarana etika. Jadi antara pendidikan dan karya sastra (novel) adalah dua hal yang saling berkaitan.
Pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia muda. Pemanusiaan manusia muda bisa diartikan sebagai proses perbaikan sumber daya manusia baik dari segi fisik maupun mental. Generasi muda sebagai salah satu harapan bangsa agar bisa menjaga dan memajukan negaranya. Pendidikan sangat dibutuhkan sebagai salah satu langkah awal menuju perbaikan manusia baik secara fisik maupun mental agar bisa menghadapi zaman. Keterampilan manusia yang terus diasah melalui pendidikan akan mengubah cara pandang manusia dalam melakukan maupun menghadapi suatu hal. Setiap manusia harus dididik melalui pendidikan agar tercapai tujuan pendidikan Dyiyarkara (Rohman, 2009: 8). Pendidikan pada hakikatnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Setiap individu berkewajiban menyumbangkan pengetahuannya untuk masyarakat, meningkatkan derajat kemuliaan masyarakat sekitar dengan ilmu sesuai dengan yang diajarkan agama dan pendidikan. Indikator terpenting kemajuan suatu bangsa adalah pendidikan dan pengajaran. Segala sesuatu yang digunakan
31
untuk mendidik harus mengandung nilai didik, termasuk dalam pemilihan media. Salah satu bentuk media pendidikan adalah novel. Nilai-nilai dan norma-norma tersebut diwariskan kepada generasi penerus untuk terus dikembangkan. Potensi yang dikembangkan tentu tidak melanggar normanorma yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Pendidikan sebagai usaha untuk menggali dan mengasah potensi yang ada pada manusia untuk menghadapi tuntutan zaman. Zaman yang semakin maju memungkinkan manusia untuk bisa mengembangkan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada. Novel sebagai suatu karya sastra yang merupakan karya seni juga memerlukan pertimbangan dan penilaian tentang seninya. Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya. Pendapat lain menyebutkan bahwa pendidikan itu merupakan proses humanisasi, melalui pengangkatan manusia ke taraf insani. Artinya pendidikan itu adalah usaha sadar yang dilakukan untuk mengangkat manusia dari kebodohan (Wibowo, 2013: 2). Manusia yang sadar akan pendidikan berarti telah menyadari bahwa pendidikan sebagai salah satu cara memperkuat sumber daya manusia dalam menghadapi perkembangan zaman. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan segala sesuatu yang baik ataupun buruk yang dapat berguna bagi kehidupan manusia untuk mencapai kebiasaan yang lebih baik.
c. Pengertian Karakter Karakter adalah respon langsung yang dilakukan seseorang terhadap setiap stimulus yang datang dalam keadaan sadar. Kata karakter itu sendiri berasal dari bahasa yunani yaitu to mark yang artinya tanda, ciri atau gambaran yang diukir atau merupakan penandaan tindakan atau tingkah laku seseorang (Wibowo, 2013: 11). Edgington (2002: 116) mengungkapkan: “According to Aristotle, morality and character are not random acts but habits, which have been describe as habits of mind, habits of heart and habits of action”.
32
Moralitas dan karakter bukan tindakan tanpa tujuan tetapi kebiasaan, yang telah digambarkan sebagai pola berpikir, pola hati dan pola tindakan. Josephson (2002: 41) menambahkan: “Character is not aninborn disposition. It is a “second nature” developed through education, experience, and choice.” Karakter bukanlah watak bawaan. Karakter adalah "kebiasaan" yang dikembangkan melalui pendidikan, pengalaman, dan pilihan. Seseorang dapat dikatakan berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam kehidupannya. Kepribadian seseorang terdiri dari kumpulan watak dan perilaku hidup yang membedakan dirinya dengan orang lain dan inilah yang dikatakan karakter, karakter ini juga tidak tercipta dalam waktu singkat tetapi tercipta dari suatu cara yang terulang-ulang menjadi sebuah kebiasaan dan kebiasaan terulang-ulang menjadi sebuah tabiat dan tabiat terulang-ulang menjadi sebuah tata kelakuan dan tata kelakuanlah yang melahirkan sebuah budaya dimana gambaran budaya itulah yang kita sebut sebagai karakter, oleh karena itu karakter bisa tercipta dengan adanya sebuah pendidikan karakter yang menciptakan sebuah cara yang tepat dalam melakukan suatu tindakan atau perilaku. Menurut Samani dan Hariyanto (2012: 22) karakter adalah sesuatu yang sangat penting dan vital untuk mencapai tujuan hidup. Karakter sebagai penentu untuk memilih yang terbaik dalam hidup. Ringkasnya, karakter merupakan istilah yang merujuk sikap dan kepribadian dan bersumber pada nilai kebaikan, nilai moral, dan nilai-nilai yang patuh terhadap norma yang ada. Lebih lanjut, Koesoema (2007: 80) orang berkarakter itu berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. Berdasarkan definisi singkat itu bisa dipahami bahwa karakter merupakan watak dan sifat-sifat seseorang yang menjadi dasar untuk membedakan seseorang dengan yang lainnya. Berdasarkan pengertian itu diketahui bahwa karakter identik dengan kepribadian.
33
d. Pengertian Pendidikan Karakter Pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia untuk menuju standar-standar tertentu atau aturan-aturan yang disepakati. Pendidikan karakter merujuk pada aturan-aturan yang harus dipatuhi terhadap norma-norma yang berlaku. Pada dunia pendidikan, fokus pendidikan karakter adalah pada tujuan-tujuan etika dan praktiknya meliputi penguatan kecakapan yang penting yang mencakup perkembangan siswa. Dengan pendidikan karakter yang kuat siswa akan berlaku sesuai dengan norma yang ada. Di setiap pembelajaran di sekolah bahan ajar yang digunakan haruslah memuat nilai-nilai pendidikan karakter (Basuki, 2013: 179). Sesuai dengan penelitian Mahrunisa (2015: 11) yang menyatakan bahwa novel Sebelas Patriot terkandung nilai pendidikan karakter seperti nilai karakter kerja keras, kreatif, mandiri, ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif dan peduli sosial. Selain itu novel tersebut juga dapat dijadikan bahan ajar karena berisi kisah yang dapat memotivasi dan menginspirasi siswa. Novel ini juga memuat nilainilai karakter yang menunjang program pendidikan karakter pada siswa. Karakter siswa bisa dibentuk melalui pengajaran di sekolah yang mengacu pada perkembangan siswa. Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menanamkan dan mengembangkan karakter-karakter luhur pada peserta didik sehingga mereka memiliki karakter luhur dan mempraktikkannya dalam kehidupan. Pendidikan karakter seharusnya tidak hanya menyangkut pada tataran aspek kognitif, tetapi siswa dapat mempraktikkannya dalam kehidupan nyata sehari-hari (Kemendiknas, 2010: 8). Siswa tidak hanya tahu mengenai nilai-nilai pendidikan karakter tetapi berkomitmen terhadap nilai itu, dan melaksanakannya dalam kehidupannya baik dalam keluarga maupun masyarakat. Menurut Kemendiknas (2010: 9 – 10) ada 18 butir pendidikan karakter yaitu (a) religius yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanankan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, hidup rukun dengan pemeluk agama lain. (b) jujur yaitu perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya
34
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. (c) toleransi yaitu sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. (d) disiplin yaitu tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. (e) kerja keras yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas sebaik-baiknya. (f) kreatif yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. (g) mandiri yaitu sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. (h) demokratis yaitu cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. (i) rasa ingin tahu yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat dan didengar. (j) semangat kebangsaan yaitu cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. (k) cinta tanah air yaitu cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, social, budaya, ekonomi, politik dan bangsa. (l) menghargai prestasi yaitu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain. (m) bersahabat atau komunikatif yaitu tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul dan bekerja sama dengan orang lain. (n) cinta damai yaitu sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. (o) gemar membaca yaitu kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. (p) peduli lingkungan yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. (q) peduli sosial yaitu sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. (r)
35
tanggung jawab yaitu sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dilakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya) negara dan Tuhan Yang Maha Esa. e. Pembelajaran Bahasa Indonesia Pengajaran sastra memiliki pertautan erat dengan pendidikan karakter, karena pengajaran sastra dan sastra pada umumnya secara hakiki membicarakan nilai hidup dan kehidupan yang mau tidak mau berkaitan langsung dengan pembentukan karakter manusia. Implementasi proses pengajaran sastra dapat membangun karakter siswa dibagi menjadi beberapa cara, salah satunya yaitu dengan mengarahkan siswa untuk membaca karya sastra kemudian mencari nilai-nilai positif dalam karya sastra untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah perlu berkomitmen dengan pendidikan karakter dan selalu menerapkan pendidikan karakter baik dalam proses pembelajaran maupun dalam kegiatan apapun sebagai pondasi pembentukan karakter siswa ke arah yang lebih baik (Wibowo, 2013: 19). Setidaknya ada empat alasan mendasar mengapa sekolah pada masa sekarang perlu lebih bersungguh-sungguh menjadikan dirinya tempat terbaik bagi pendidikan karakter (Saptono, 2011: 24), keempat alasan itu adalah: 1) Karena banyak keluarga (tradisional maupun non tradisional) yang tidak melaksanakan pendidikan karakter. 2) Sekolah tidak hanya bertujuan membentuk anak yang cerdas, tetapi juga anak yang baik. 3) Kecerdasan seorang anak hanya bermakna manakala dilandasi dengan kebaikan. 4) Karena membentuk anak didik agar berkarakter tangguh bukan sekadar tugas tambahan bagi guru, melainkan tanggung jawab yang melekat pada perannya.
36
4. Hakikat Materi Ajar a. Pengertian Materi Ajar Materi ajar adalah seperangkat sarana atau alat pembelajaran yang berisikan
materi
pembelajaran,
metode,
batasan-batasan,
dan
cara
mengevaluasi yang didesain secara sistematis dan menarik dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu mencapai kompetensi atau subkompetensi dengan segala kompleksitasnya (Lestari, 2013: 1). Pengertian ini menjelaskan bahwa suatu materi ajar haruslah dirancang dan ditulis dengan kaidah intruksional karena akan digunakan oleh guru untuk membantu dan menunjang proses pembelajaran. Bahan atau materi pembelajaran pada dasarnya adalah “isi” dari kurikulum, yakni berupa mata pelajaran atau bidang studi dengan topik/subtopik dan rinciannya (Ruhimat, 2011: 152). Melihat penjelasan di atas, dapat kita ketahui bahwa peran seorang guru dalam merancang ataupun menyusun materi ajar sangatlah menentukan keberhasilan proses belajar dan pembelajaran melalui sebuah materi ajar. Materi ajar dapat juga diartikan sebagai segala bentuk bahan yang disusun secara sistematis yang memungkinkan siswa dapat belajar secara mandiri dan dirancang sesuai kurikulum yang berlaku. Dengan adanya materi ajar, guru akan lebih runtut dalam mengajarkan materi kepada siswa dan tercapai semua kompetensi yang telah ditentukan sebelumnya. b. Karakteristik Materi Ajar Ada beragam bentuk buku, baik yang digunakan untuk sekolah maupun perguruan tinggi, contohnya buku referensi, modul ajar, buku praktikum, materi ajar, dan buku teks pelajaran. Jenis-jenis buku tersebut tentunya digunakan untuk mempermudah peserta didik untuk memahami materi ajar yang ada di dalamnya. Materi ajar memiliki beberapa karakteristik, yaitu self instructional, self contained, stand alone, adaptive, dan user friendly (Lestari, 2013 : 2). Pertama, self instructional yaitu materi ajar dapat membuat siswa mampu membelajarkan diri sendiri dengan materi ajar yang dikembangkan. Untuk memenuhi karakter self instructional, maka di dalam materi ajar harus
37
terdapat tujuan yang dirumuskan dengan jelas, baik tujuan akhir maupun tujuan antara. Selain itu, dengan materi ajar akan memudahkan siswa belajar secara tuntas dengan memberikan materi pembelajaran yang dikemas ke dalam unitunit atau kegiatan yang lebih spesifik. Kedua, self contained yaitu seluruh materi pelajaran dari satu unit kompetensi atau subkompetensi yang dipelajari terdapat di dalam satu materi ajar secara utuh. Jadi sebuah materi ajar haruslah memuat seluruh bagian-bagiannya dalam satu buku secara utuh untuk memudahkan pembaca mempelajari materi ajar tersebut. Ketiga, stand alone (berdiri sendiri) yaitu materi ajar yang dikembangkan tidak tergantung pada materi ajar lain atau tidak harus digunakan bersama-sama dengan materi ajar lain. Artinya sebuah materi ajar dapat digunakan sendiri tanpa bergantung dengan materi ajar lain. Keempat, adaptive yaitu materi ajar hendaknya memiliki daya adaptif yang tinggi terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Kelima, user friendly yaitu setiap intruksi dan paparan informasi yang tampil bersifat membantu dan bersahabat dengan pemakainya, termasuk kemudahan pemakai dalam merespon dan mengakses sesuai dengan keinginan. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan materi ajar yang mampu membuat siswa untuk belajar mandiri dan memperoleh ketuntasan dalam proses pembelajaran sebagai berikut: 1) Memberikan contoh-contoh dan ilustrasi yang menarik dalam rangka mendukung pemaparan materi pembelajaran. 2) Memberikan kemungkinan bagi siswa untuk memberikan umpan balik atau mengukur penguasaannya terhadap materi
yang diberikan dengan
memberikan soal-soal latihan, tugas dan sejenisnya. 3) Kontekstual, yaitu materi yang disajikan terkait dengan suasana atau konteks tugas dan lingkungan siswa. 4) Bahasa yang digunakan cukup sederhana karena siswa hanya berhadapan dengan materi ajar ketika belajar secara mandiri. c. Jenis-Jenis Materi Ajar Materi ajar memiliki beragam jenis, ada yang cetak maupun noncetak. Materi ajar cetak yang sering dijumpai antara lain berupa handout, buku,
38
modul, brosur, dan lembar kerja siswa. Di bawah ini akan diuraikan penjelasan terkait jenis-jenis materi ajar: 1) Handout adalah “segala sesuatu” yang diberikan kepada peserta didik ketika mengikuti kegiatan pembelajaran. Kemudian, ada juga yang yang mengartikan handout sebagai bahan tertulis yang disiapkan untuk memperkaya pengetahuan peserta didik (Lestari, 2013: 79). Guru dapat membuat handout dari beberapa literatur yang memiliki relevansi dengan kompetensi dasar yang akan dicapai oleh siswa. Saat ini handout dapat diperoleh melalui download internet atau menyadur dari berbagai buku dan sumber lainnya. 2) Buku sebagai materi ajar merupakan buku yang berisi ilmu pengetahuan hasil analisis terhadap kurikulum dalam bentuk tertulis. Buku disusun dengan menggunakan bahasa sederhana, menarik, dilengkapi gambar, keterangan, isi buku, dan daftar pustaka. Buku akan sangat membantu guru dan siswa dalam mendalami ilmu pengetahuan sesuai dengan mata pelajaran masing-masing. Secara umum, buku dibedakan menjadi empat jenis (Lestari, 2013: 79) yaitu pertama adalah suku sumber, yaitu buku yang dapat dijadikan rujukan, referensi, dan sumber untuk kajian ilmu tertentu, biasanya berisi suatu kajian ilmu yang lengkap. Kedua adalah buku bacaan, yaitu buku yang hanya berfungsi untuk bahan bacaan saja, misalnya cerita, legenda, novel, dan lain sebagainya. Ketiga adalah buku pegangan, yaitu buku yang bisa dijadikan pegangan guru atau pengajar dalam melaksanakan proses pengajaran. Keempat adalah buku materi ajar atau buku teks, yaitu buku yang disusun untuk proses pembelajaran dan berisi bahan-bahan atau materi pembelajaran yang akan diajarkan. 3) Modul merupakan materi ajar yang ditulis dengan tujuan agar siswa dapat belajar secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan guru. Oleh karena itu, modul harus berisi tentang petunjuk belajar, kompetensi yang akan dicapai, isi materi pelajaran, informasi pendukung, latihan soal, petunjuk kerja, evaluasi, dan balikan terhadap evaluasi. Dengan pemberian modul, siswa dapat belajar mandiri tanpa harus dibantu oleh guru.
39
4) Lembar Kerja Siswa (LKS) adalah materi ajar yang sudah dikemas sedemikian rupa sehingga siswa diharapkan dapat materi ajar tersebut secara mandiri. Dalam LKS, siswa akan mendapat materi, ringkasan, dan tugas yang berkaitan dengan materi. Selain itu siswa juga dapat menemukan arahan yang terstruktur untuk memahami materi yang diberikan dan pada saat yang bersamaan siswa diberikan materi serta tugas yang berkaitan dengan materi tersebut. 5) Buku Ajar adalah sarana belajar yang bisa digunakan di sekolah-sekolah dan di perguruan tinggi untuk menunjang suatu program pengajaran dan pengertian moderen dan yang umum dipahami. 6) Buku Teks juga dapat didefinisikan sebagai buku pelajaran dalam bidang studi tertentu, yang merupakan buku standar yang disusun oleh para pakar dalam bidang itu buat maksud dan tujuan-tujuan instruksional yang dilengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang serasi dan mudah dipahami oleh para pemakainya di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi sehingga dapat menunjang suatu program pengajaran. Materi ajar noncetak meliputi materi ajar dengar (audio) seperti kaset, radio, piringan hitam, dan compact disc audio. Materi ajar pandang dengar (audio visual) seperti video compact disc dan film. Materi ajar multimedia interaktif (interactive teaching material) seperti CIA (Computer Assisted Intruction), compact disc (CD) multimedia pembelajaran interaktif, dan materi ajar berbasis web (web based learning materials) (Lestari, 2013: 6). d. Fungsi Materi Ajar Secara garis besar, fungsi materi ajar bagi guru adalah untuk mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran sekaligus merupakan subtansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada siswa. Fungsi materi ajar bagi siswa untuk menjadi pedoman dalam proses pembelajaran dan merupakan subtansi kompetensi yang seharusnya dipelajari. Materi ajar juga berfungsi sebagai alat evaluasi pencapaiana hasil pembelajaran. Materi ajar yang baik sekurang-kurangnya mencakup petunjuk belajar, kompetensi yang akan dicapai, isi pelajaran, informasi pendukung,
40
latihan-latihan, petunjuk kerja, evaluasi dan respon terhadap hasil evaluasi (Lestari, 2013: 2004). Karakteristik siswa yang berbeda berbagai latar belakangnya akan sangat terbantu dengan adanya kehadiran materi ajar, karena dapat dipelajari sesuai dengan kemampuan yang dimilki sekaligus sebagai alat evaluasi penguasaan hasil belajar karena setiap hasil belajar dalam materi ajar akan selalu dilengkapi dengan sebuah evaluasi guna mengukur penguasaan kompetensi. Berdasarkan strategi pembelajaran yang digunakan, fungsi materi ajar dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu fungsi dalam pembelajaran klasikal, pembelajaran individual, dan pembelajaran kelompok (Lestari, 2013: 25 – 26). 1) Fungsi materi ajar dalam pembelajaran klasikal yaitu sebagai satu-satunya sumber informasi serta pengawas dan pengendali proses pembelajaran (dalam hal ini, siswa bersifat pasif dan belajar sesuai kecepatan siswa dalam belajar). Selain itu juga sebagai bahan pendukung proses pembelajaran yang diselenggarakan. 2) Fungsi materi ajar dalam pembelajaran individual, antara lain sebagai media utama dalam proses pembelajaran. Sebagai alat yang digunakan untuk menyusun dan mengawasi proses peserta didik dalam memperoleh informasi. Sebagai penunjang media pembelajaran individual lainnya. 3) Fungsi materi ajar dalam pembelajaran kelompok, antara lain sebagai bahan yang terintegrasi dengan proses belajar kelompok, dengan cara memberikan informasi tentang latar belakan materi, onformasi tentang peran orang-orang yang terlibat dalam pembelajaran kelompok, serta petunjuk tentang proses pembelajaran kelompoknya sendiri. Selain itu juga sebagai bahan pendukung bahan belajar utama, dan apabila dirancang sedemikian rupa, maka dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Materi ajar adalah sarana belajar yang bisa digunakan di sekolah-sekolah dan di perguruan tinggi untuk menunjang suatu program pengajaran dan pengertian moderen dan yang umum dipahami.
41
e. Kriteria Materi Ajar Dalam buku Telaah Kurikulum Bahasa Indonesia, menjelaskan kriteria materi ajar yang dianggap baik yang tediri atas delapan kriteria sebagai berikut: 1) Organisasi dan sistematika pengertian organisasi mengandung arti susunan (atau cara bersusun) sesuatu yang terdiri atas komponen atau topik dengan tujuan tertentu, sedangkan sistematika mengandung arti kaidah atau aturan dalam buku ajar yang harus diikuti. Sebuah buku ajar berisi berbagai informasi yang disusun sedemikian rupa sehingga buku tersebut dapat digunakan untuk memenuhi tujuan pembuatan buku ajar tersebut. Organisasi buku ajar sebaiknya memenuhi semua komponen pembelajaran yang dibuat secara terpadu antara pendekatan komunikatif dan kontekstual (CTL). Keterampilan berbahasa dan bersastra, yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis harus diurut sesuai dengan tingkat kesulitan dan keterkaitan antara topik yang satu dengan yang lainnya. 2) Kesesuaian isi dengan kurikulum Suharsimi Arikunto yang dikutip Pupuh Fathurrohman mengatakan bahwa materi atau bahan pelajaran merupakan unsur inti yang ada di dalam kegiatan belajar mengajar, karena memang bahan pelajaran itulah yang diupayakan untuk dikuasai oleh anak didik. Karena itu pula, guru khususnya, atau pengembangan kurikulum umumnya, harus memikirkan sejauh mana bahan-bahan atau topik yang tertera dalam silabus berkaitan dengan kebutuhan peserta didik di masa depan. 3) Kesesuaian pengembangan materi dengan tema/topik materi-materi pembelajaran dalam buku ajar dikembangkan oleh penulisnya dengan memperhatikan topik-topik pembelajaran yang terdapat dalam kurikulum. Tujuan pengembangan materi adalah agar materi-materi pembelajaran mudah dicerna oleh pemakai buku, yaitu siswa. Agar pengembangan materi terarah dan memenuhi sasaran penulisan buku, maka pengembangan materi harus didasarkan pada tema/topik. Dengan dasar pijak alur penyusunan tersebut, penilaian terhadap buku ajar juga harus diarahkan pada kriteria sesuai tidaknya pengembangan materi dengan tema/topik.
42
4) Perkembangan
kognitif
perkembangan
kognitif
siswa
juga
perlu
dipertimbangan dalam penulisan dan pemilihan buku ajar. Jadi, untuk dapat memanfaatkan materi-materi pembelajaran yang menunjang kemampuan siswa, sebaiknya memilih materi yang memiliki tingkat kesulitan sedikit di atas rata-rata pada saat proses pembelajaran. Namun demikian, variasi materi tetap diutamakan untuk menghindari kesulitan menangkap maksud yang ingin disampaikan atau sebaliknya menimbulkan kebosanan pada siswa. 5) Pemakaian/penggunaan bahasa dalam kaitan dengan pemakaian bahasa, buku ajar harus memenuhi kriteria pemakaian Bahasa Indonesia yang baik dan benar serta mengikuti perkembangan zaman. Perkembangan zaman dimaksud adalah perkembangan penggunaan Bahasa Indonesia dalam buku ajar baik sebagai kutipan maupun bahasa tulis (pemakaian Bahasa Indonesia saat ini). Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa yang sesuai dengan kaidah-kaidah Bahasa Indonesia dan situasi dan kondisi (konteks) komunikasi. 6) Keserasian ilustrasi dengan wacana/teks bacaan buku ajar harus selalu disertai dengan ilustrai atau gambar agar buku ajar menarik bagi siswa. Di samping untuk tujuan menarik perhatian, ilustrasi atau gambar di dalam buku ajar juga mempunyai kegunaan lain, yaitu untuk mempermudah pemahaman dan untuk merangsang pembelajaran secara komunikatif. Supaya kehadiran gambar di dalam buku ajar dapat berfungsi secara optimal, pemilihan dan peletakan gambar harus disesuaikan dengan teks bacaan atau wacana. Teks bacaan atau wacana harus berkaitan atau sejalan dengan ilustrasi atau gambar yang dicantumkan berkenaan dengan teks bacaan tersebut. Kaitan itu tidak cukup hanya dengan informasi-informasi yang ada di dalam buku suatu teks bacaan melainkan juga dengan gagasangagasan utama di dalam teks bacaan itu. Dengan demikian, pemilihan dan pencantuman ilustrasi juga akan dengan sendirinya berkaitan dengan tujuan pembelajaran dan tema/topik yang telah ditetapkan.
43
7) Segi moral/akhlak moral atau akhlak juga merupakan kriteria penilaian buku ajar. Buku ajar harus mempertimbangkan segi moral/akhlak. Hal ini penting karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat memelihara kerukunan umat beragama, yang sangat memperhatikan aspek-aspek moral dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Faktor-faktor aspek akhlak yang harus dipertimbangkan dalam penulisan buku ajar meliputi pertama, sifatsifat baik seperti kejujuran, sifat amanah (terpercaya), keberanian, selalu menyampaikan hal-hal
yang baik, kesopanan, ketaatan beribadah,
persaudaraan, kesetiakawanan, mencintai/mengasihi sesama makhluk, berbakti kepada orang tua, taat kepada pemimpin, dan sebagainya. Kedua, hendaknya dalam buku ajar tidak mencantumkan sesuatu yang dapat membangkitkan
sifat-sifat
ketidaksopanan,
keingkaran,
buruk
seperti
kemungkaran,
kecurangan,
pengecut,
kejahilan,
kekerasan,
keberingasan, permusuhan, kekejian, kemalasan, sering berbohong, dan sebagainya. 8) Idiom tabu kedaerahan idiom adalah bahasa dan dialek yang khas menandai suatu bangsa/daerah, suku, kelompok, dan lain-lain, sedangkan tabu adalah sesuatu yang terlarang atau dianggap suci, tidak boleh diraba dan sebagai (pantangan atau larangan). Idiom tabu adalah suatu bahasa atau dialek yang khas dimiliki oleh suatu daerah dan dianggap suci/baik serta tidak boleh dipermainkan. Suatu idiom dinyatakan tabu oleh suatu kebudayaan biasanya karena kebudayaan atau masyarakat yang memiliki kebudayaan itu mempunyai pengalaman yang tidak baik, sakral atau dapat menyinggung perasaan orang lain. Akibat sesaat yang ditimbulkan oleh penyebutan idiomidiom tabu kedaerahan adalah rasa risih, jijik, atau kesan tidak sopan. Akibat yang lebih jauh dari penyebutan idiom-idiom tabu kedaerahan yang berkali-kali adalah rusaknya sistem nilai yang dianut oleh masyarakat atau kebudayaan. Selain itu, unsur-unsur yang harus dihindari adalah instabilitas nasional termasuk unsur-unsur SARA. Perbedaan-perbedaan yang ada di dalam masing- masing suku, agama, ras, dan antargolongan seharusnya tidak dipertajam. Lebih baik apabila menghindari atau menjauhinya.
44
B. Kerangka Berpikir Novel merupakan gambaran kehidupan manusia yang dituangkan pengarang dalam karyanya. Jadi, antara sastra dan pengarang saling berkaitan. Novel mempengaruhi cara pandang manusia mengenai kehidupan. Dalam setiap karya sastra seperti novel pasti ada nilai pendidikan yang dituangkan pengarang dalam karyanya. Pengarang dengan sengaja menyisipkan nilai pendidikan yang bisa diambil oleh para penikmat karya sastra setelah membaca sebuah karya sastra. Dengan membaca karya sastra berarti secara tidak langsung telah belajar nilai-nilai pendidikan yang ada dalam karya sastra. Penelitian yang dilakukan dalam novel Ayat-Ayat Cinta 2 karya Habiburrahman el Shirazy menekankan pada aspek psikologis tokoh utama yang terdiri dari watak dan konflik batin tokoh utama. Tokoh dianggap sebagai tempat yang cocok bila dalam penelitian karya sastra menggunakan kajian psikologi sastra, karena tokoh merupakan tempat terjadinya aspek-aspek kejiwaan. Watak tokoh utama Fahri yaitu religius. Kemudian konflik yang dialami tokoh utama, konflik yang menonjol dalam novel ini adalah konflik psikis atau konflik batin yang dialami Fahri dengan para tokoh menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Selain mengkaji novel dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud, ditelaah pula nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam novel tersebut kemudian relevansinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA/SMK. Para siswa diharapkan bisa mengerti tentang karya sastra, baik dari wujudnya, pengkajian sastra, dan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Untuk lebih jelasnya akan digambarkan kerangka berpikir sebagai berikut:
45
Ayat-Ayat Cinta 2 karya Habiburrahman el Shirazy
Kajian Psikologi Sastra
1. Watak atau sikap tokoh utama 2. Konflik batin tokoh utama
Nilai Pendidikan Karakter
Simpulan Peneliti
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Relevansi dengan Materi Ajar Apresiasi Sastra di SMA/SMK