BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka 1. Hakikat Cerita Rakyat Pada subbab ini akan dibahas mengenai hakikat cerita rakyat yang mencakup pengertian cerita rakyat dan jenis cerita rakyat. a. Pengertian Cerita Rakyat Cerita rakyat merupakan salah satu bentuk folklor lisan Indonesia. Danandjaja (2007: 1-2) menjabarkan bahwa folklor berasal dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore. Folk adalah sinonim dengan kolektif yaitu kesadaran sebagai kesatuan masyarakat. Sedangkan kata lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-menurun secara lisan, dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Selanjutnya Danandjaja menyimpulkan bahwa folklor memiliki arti sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turuntemurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Mengacu pada pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa folklor adalah kebudayaan yang dimiliki oleh setiap kesatuan masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun. Pengertian folklor tersebut sesuai dengan ciri-ciri folklor. Berkaitan dengan ciri-ciri folklor, Brunvand (Danandjaja, 2007: 3-4) menjelaskan bahwa ciri-ciri folklor, yaitu (1) penyebaran dilakukan secara lisan, (2) bersifat tradisional, (3) memiliki banyak varian yang berbeda, (4) bersifat anonim, (5) memiliki bentuk berumus atau berpola. Neto (Danandjaja, 2007: 4) menyatakan bahwa terdapat dua ciri-ciri foklor, yaitu (1) memiliki kegunaan dalam kehidupan, (2) bersifat pralogis. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, Danandjaja, 2007: 4) menambahkan
8
9
bahwa terdapat dua ciri-ciri folklor yaitu (1) folklor menjadi miliki bersama, dan (2) Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu. Lebih lanjut, Danandjaja (2007: 21) juga menyatakan bahwa bentuk folklor lisan Indonesia terdiri dari: (1) bahasa rakyat, (2) ungkapan tradisional, (3) pertanyaan tradisional, (4) puisi rakyat, (5) cerita prosa rakyat, dan (6) nyanyian rakyat. Cerita rakyat merupakan sebuah cerita yang lahir dari hasil kebudayaan daerah serta dikisahkan secara lisan dari mulut ke mulut secara turun-temurun. Pendapat ini didukung dengan simpulan penelitian Firdaus, Faizah, dan Manaf (2013) bahwa cerita rakyat dapat diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya dan susunan nilai sosial masyarakat tersebut. Rukayah (2012: 79) menambahkan bahwa cerita rakyat adalah cerita yang hidup di kalangan rakyat dan tidak ada nama pengarangnya. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat merupakan cerita yang lahir dan hidup di masyarakat, dimana dipengaruhi oleh kebudayaan dan susunan nilai masyarakat tersebut, yang diwariskan secara turun-temurun sehingga tidak dapat diketahui pengarangnya. Cerita rakyat disajikan dengan beberapa variasi cerita. Bascom (Danandjaja, 2007: 50) membagi cerita prosa rakyat menjadi tiga golongan besar yakni mite, legenda dan dongeng. Lebih lanjut Bascom mengatakan bahwa dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat. Berbeda dengan pendapat tersebut, Sugihastuti
(2013:
38)
berpendapat
bahwa
dalam
modifikasi
perkembangannya, dapat saja dongeng berupa cerita yang benar-benar terjadi, misalnya tentang kehidupan binatang atau tumbuh-tumbuhan yang dipersonifikasi ke kehidupan manusia. Menengahi kedua pendapat tersebut, Nurgiyantoro (2002: 109) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa sastra anak dapat berkisah tentang apa saja, bahkan yang menurut
10
ukuran dewasa tidak masuk akal, misalnya kisah binatang yang dapat berbicara, bertingkah laku, berpikir dan berperasaan layaknya manusia. Imajinasi dan emosi anak dapat menerima cerita semacam itu secara wajar dan memang begitulah seharusnya menurut jangkauan pemahaman anak. Simpulan dari beberapa pendapat diatas mengenai isi cerita rakyat khususnya golongan dongeng ialah segala cerita baik yang logis maupun tidak logis menurut orang dewasa, akan tetapi berterima bagi anak. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas mengenai isi sebuah dongeng, maka perlu diketahui pula tujuan dongeng diceritakan kepada anak-anak. Mengenai pernyataan tersebut, Sugihastuti (2013: 39) menyatakan bahwa dongeng dapat dipilih oleh pencerita dengan maksudmaksud tertentu pula sesuai dengan tujuan didongengkannya cerita itu. Munculnya sebuah dongeng dipengaruhi oleh kebudayaan dan susunan nilai masyarakat, sehingga membuat dongeng memiliki banyak nasihatnasihat di dalamnya. Walaupun isi cerita yang logis maupun tidak logis, sekecil apapun itu dongeng pasti memiliki ajaran moral yang berguna untuk tumbuh kembang anak. Pendapat ini sesuai dengan penelitian Nurgiyantoro (2004: 115) yang menyatakan bahwa dongeng atau dongeng rakyat (folktales, folklore) merupakan salah satu bentuk dari cerita tradisional yang dimaksudkan untuk menyampaikan ajaran moral, konflik kepentingan antara baik dan buruk, dan yang baik pada akhirnya pasti menang. Demikian pula dengan Danandjaja (2007: 83) yang berpendapat bahwa dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran. Mengacu beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa dongeng diceritakan dengan tujuan menanamkan sikap positif bagi anak sejak dini dengan cara yang menghibur. Terdapat beberapa jenis dongeng yang dapat menjadi pilihan untuk diceritakan kepada anak. Aarne dan Thompson (Danandjaja 2007: 86) membagi jenis-jenis dongeng menjadi empat, yakni: (1) dongeng binatang, (2) dongeng biasa, (3) lelucon atau anekdot, dan (4) dongeng berumus.
11
1) Dongeng binatang atau yang biasa disebut dengan fabel adalah cerita dengan tokohnya binatang yang dapat berbuat layaknya manusia. Binatang-binatang ini dapat berupa binatang peliharaan maupun binatang liar. Mereka dikisahkan dapat berbicara dan berakal budi layaknya manusia. Contohnya, yaitu Kisah Kancil dan Buaya. 2) Dongeng biasa adalah dongeng yang ditokohi oleh manusia yang biasanya mengisahkan tentang suka dan duka kehidupan seseorang. Contohnya Bawang Merah Bawang Putih, Keyong Mas, Jaka Tarub, Ciung Wanara, dan sebagainya. 3) Lelucon atau anekdot adalah dongeng yang dapat menimbulkan gelak tawa penikmatnya. Lelucon memiliki perbedaan dengan anekdot, yaitu jika anekdot menyangkut kisah fiktif lucu pribadi seorang tokoh atau beberapa tokoh, yang benar-benar ada. Sedangkan lelucon adalah kisah fiktif lucu anggota suatu kolektif, seperti suku, bangsa, golongan, dan ras. Melengkapi pendapat tersebut Amir (2013: 66) berpendapat bahwa tokoh atau tema cerita jenaka bermuatan pelajaran hidup. 4) Dongeng berumus adalah dongeng-dongeng yang oleh Aarne dan Thompson (Danandjaja, 2007:139) disebut formula tales dan strukturnya terdiri dari pengulangan. Bentuk-bentuk dongeng berumus yakni dongeng bertimbun banyak, dongeng untuk mempermaikan orang, dan dongeng yang tidak mempunyai akhir. Mengetahui besarnya manfaat dan jenis dongeng, maka dongeng sangat perlu untuk dilestarikan. Waluyo (2011: 2) menyatakan bahwa dongeng-dongeng yang termasuk klasifikasi cerita rakyat (folk-literature) yang merupakan bagian dari kebudayaan rakyat (folk-lore) itu semula merupakan dongeng lisan, namun kemudian pada masa Abdullah Bin Abdulkadir Munsyi (Sastra Zaman Peralihan) karya sastra dibukukan. Lebih lanjut Waluyo menjelaskan bahwa sejak masa balai pustaka hingga kini, karya sastra yang disebut prosa fiksi merupakan cerita tertulis yang dicetak dalam majalah, surat kabar, atau dibukukan. Sependapat dengan
12
pendapat tersebut, dalam penelitiannya Nurgiyantoro (2004: 114-115) menjelaskan bahwa berbagai cerita tradisional tersebut telah banyak dikumpulkan, dibukukan, dan dipublikasikan secara tertulis, antara lain dimaksudkan agar cerita itu tidak hilang dari masyarakat mengingat kondisi masyarakat yang telah berubah. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kini cerita rakyat telah disediakan dalam bentuk tulisan. Hal ini bertujuan agar cerita rakyat tidak ketinggalan jaman dan lebih mudah untuk dilestarikan. Teori cerita rakyat yang telah dijelaskan pada penelitian ini, berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh Azizah (2013: 25) berjudul Pengembangan Buku Bacaan Cerita Rakyat Bahasa Jawa Berbasis Kontekstual di Kabupaten Brebes, yang meneliti tentang pengembangan buku bacaan cerita rakyat berbahasa Jawa yang disesuaikan dengan kebutuhan guru dan siswa di Kabupaten Brebes melalui
pendekatan
kontekstual.
Dari
penelitian
tersebut
yang
membedakan dengan penelitian ini adalah kajian yang dilakukan dan objek cerita rakyatnya. Peneliti mengkaji kesantunan berbahasa dalam buku cerita rakyat berbahasa Jawa, sedangkan Azizah mengembangkan buku cerita rakyat bahasa Jawa yang disesuaikan dengan kebutuhan di Kabupaten
Brebes
dengan
menggunakan
pendekatan
kontekstual.
Meskipun sama-sama meneliti tentang buku bacaan cerita rakyat, namun Azizah menggunakan cerita rakyat asli Kabupaten Brebes, sedangkan peneliti meneliti cerita rakyat Jawa yang berjudul Andhe-andhe Lumut. b. Unsur-unsur Cerita Rakyat Unsur-unsur cerita rakyat merupakan unsur-unsur yang saling berkaitan erat dan bersama-sama membangun sebuah cerita. Unsur-unsur tersebut terdiri dari: 1) tema, 2) alur, 3) penokohan, 4) latar, dan 5) amanat. 1) Tema Tema merupakan ide pokok yang mendasari terciptanya sebuah cerita. Pernyataan tersebut selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rukayah (2012: 7) bahwa tema cerita merupakan konsep yang abstrak
13
yang dimasukkan pengarang ke dalam cerita yang ditulisnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tema mungkin berupa gagasan-gagasan misalnya kesetiakawanan, kehidupan keluarga, atau kemandirian. Senada dengan pendapat tersebut, Waluyo (2011: 7) menyatakan bahwa tema adalah gagasan pokok dalam cerita fiksi. Tema cerita dapat diketahui oleh pembaca melalui judul atau petunjuk setelah judul atau bahkan melalui proses pembacaan yang berulang-ulang. Melengkapi pendapat tersebut Nurgiyantoro (2002: 25) menyatakan bahwa tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, dan sebagainya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide pokok, gagasan atau konsep abstrak berdasarkan pengalaman kehidupan pengarang yang disampaikan dalam karyanya, dimana dibutuhkan proses pembacaan yang berulang-ulang untuk memahaminya 2) Alur Alur merupakan urut-urutan atau jalan sebuah cerita. Lebih lanjut diperjelas oleh Waluyo (2011: 9) alur atau plot sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang. Rukayah (2012: 6) berpendapat bahwa alur cerita anak biasanya terdiri atas permulaan, pertengahan dan akhir. Permulaan harus dengan cepat menimbulkan daya tarik anak/ pembaca. Pada pertengahan alur cerita, konflik atau masalah menjadi jelas. Akhir cerita berupa klimaks dan penyelesaian. Akhir cerita anak biasanya berupa kegembiraan. Senada
dengan
Rukayah,
berdasarkan
hasil
penelitiannya,
Nurgiyantoro (2004: 115) menyatakan bahwa alur cerita dongeng biasanya progresif dengan menampilkan konflik yang tidak terlalu kompleks, dan klimaks sering ditempatkan pada akhir kisah. Penyelesaian hampir selalu membahagiakan, misalnya ditutup dengan kata-kata semacam: “Akhirnya
14
mereka hidup bahagia selamanya”. Mengacu pada pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa alur adalah jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat yang biasanya terdiri atas permulaan, pertengahan, dan akhir. 3) Penokohan Penokohan merupakan bagian yang penting dan juga menarik dari sebuah cerita. Penokohan berupa pemilihan tokoh serta penggambaran watak yang dimilikinya. Didukung oleh Waluyo (2011: 18) yang menyatakan bahwa penokohan dan perwatakan memiliki hubungan yang sangat erat. Selanjutnya, Rokhmansyah (2014: 34) menambahkan bahwa penokohan berhubungan dengan cara pengarang menentukan dan memilih tokoh-tokohnya
serta
memberi
nama
tokoh
tersebut,
sedangkan
perwatakan berhubungan dengan bagaimana watak tokoh-tokoh tersebut. Tokoh-tokoh dalam cerita pasti memiliki watak yang beraneka ragam sehingga menyebabkan terjadinya konflik sehingga menghasilkan sebuah cerita. Penokohan tidak hanya penting dari pembuatan sebuah cerita, akan tetapi dari sudut pandang pembaca penokohan juga sangatlah penting. Selaras dengan pendapat tersebut Rukayah (2012: 7) menyatakan bahwa secara cepat, pembaca memperhatikan tokoh cerita yang dibacanya karena adanya
ikatan
emosional
antara
pembaca
dengan
tokoh
cerita.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Soetantyo (2013: 44) yang mengemukakan bahwa tokoh-tokoh dalam cerita dapat memberikan teladan bagi anak-anak. Sifat atau karakter anak adalah mempunyai kecenderungan untuk meniru dan mengidentifikasikan diri dengan tokoh yang dikaguminya. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa penokohan harus dilengkapi dengan perwatakan agar menjadi sebuah cerita yang menarik dan dapat dijadikan pembelajaran oleh pembaca. 4) Latar
15
Latar/setting merupakan tempat, waktu dan suasana yang terkandung di dalam cerita dengan tujuan agar cerita mudah dipahami. Mendukung pernyataan tersebut Rukayah (2012: 7) menyatakan bahwa latar cerita biasanya diartikan tempat dan waktu terjadinya cerita. Lebih lanjut dijelaskan bahwa latar sekolah sering muncul dalam cerita anak karena anak-anak mudah mengikutinya. Waluyo (2011: 23) menambahkan bahwa setting adalah tempat kejadian cerita yang dapat berkaitan dengan aspek fisik, sosiologis, psikis, serta aspek tempat dan waktu. Senada dengan Waluyo, Rokhmansyah (2014: 32) menyatakan bahwa latar atau setting merupakan suatu keadaan baik itu berupa tempat, waktu ataupun keadaan alam yang melatar belakangi suatu peristiwa. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa latar atau setting merupakan tempat, waktu, dan suasana yang dilalui oleh para tokoh di dalam cerita yang dipengaruhi dengan aspek fisik, sosiologis, psikis dan keadaan alam. 5) Amanat Semua karya sastra pasti memiliki amanat. Amanat ialah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Ismawati (2013: 73) menyatakan bahwa amanat biasanya berupa nilai-nilai yang dititipkan penulis cerita kepada pembacanya. Amanat yang terkandung dalam karya sastra disampaikan dengan cara yang unik, yaitu dengan cara eksplisit dan implisit. Keunikan lain yaitu amanat yang ada di dalam sebuah karya sastra dapat ditafsirkan secara beraneka ragam oleh setiap pembacanya. Hasil tafsiran itu juga tidak bisa disalahkan karena mereka sudah mempunyai pendapat berdasarkan sudut pandang masing-masing. Hal ini didukung oleh Waluyo (2011:7) yang berpendapat bahwa amanat cerita bersifat subyektif, lugas, dan lugu. Mengacu pada pendapat di atas dapat disimpulkan amanat adalah pesan yang pasti ada di dalam setiap karya sastra yang dapat secara bebas diinterpretasikan oleh pembaca. Dalam pembahasan mengenai unsur-unsur cerita rakyat ini, peneliti tidak membahas secara mendalam karena pendekatan yang peneliti
16
lakukan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan pragmatik. Akan tetapi unsur-unsur pembangun cerita rakyat tersebut tetap peneliti sajikan karena unsur tersebut menjadi satu kesatuan dari cerita rakyat yang tidak dapat dipisahkan, serta untuk menambah khasanah keilmuwan. c. Nilai-nilai dalam Cerita Rakyat Nurgiyantoro (2004: 16) mengungkapkan bahwa sastra diyakini mampu dipergunakan sebagai salah satu sarana untuk menanamkan, memupuk, mengembangkan, dan bahkan melestarikan nilai-nilai yang diyakini baik dan berharga oleh keluarga, masyarakat, dan bangsa. Menurut KBBI nilai dalam karya sastra adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Nilai dalam cerita rakyat erat kaitannya dengan 18 pilar pendidikan karakter. Adapun nilai-nilai tersebut menurut Kementrian Pendidikan Nasional, yaitu (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) Mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, (18) tanggung jawab. 1) Religius
merupakan
sikap
dan
perilaku
yang
patuh
dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain; 2) Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap pihak lain Mustari (2011: 13). Mengacu pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa jujur merupakan upaya untuk selalu menyadari dan menyampaikan segala sesuatu sesuai kenyataan bagi dirinya sendiri maupun orang lain;
17
3) Toleransi yaitu sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya; 4) Disiplin ialah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan; 5) Kerja keras adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguhsungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya Mustari (2011: 51). Bersadarkan pendapat tersebut maka kerja keras ialah usaha diri sendiri yang tak kenal lelah dan dilakukan dengan tekun dan sungguhsungguh untuk mencapai suatu tujuan; 6) Kreatif ialah berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki; 7) Mandiri merupakan sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas; 8) Demokratis yaitu cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain; 9) Rasa ingin tahu yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar; 10) Semangat kebangsaan ialah cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya; 11) Cinta tanah air adalah cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya; 12) Menghargai prestasi merupakan sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain; 13) Bersahabat/komunikatif adalah sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat,
18
dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Misalnya menjalin hubungan yang baik antar teman sebaya; 14) Cinta damai merupakan sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Misalnya dapat menghargai perbedaan sifat yang pasti dimiliki oleh teman-temannya; 15) Gemar membaca yaitu kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya; 16) Peduli lingkungan ialah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitanya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi; 17) Peduli sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan; 18) Tanggungjawab merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Teori nilai-nilai dalam cerita rakyat yang telah dijelaskan dalam penelitian ini, relevan dengan Kristanto (2014: 59-64) dalam jurnal penelitiannya yang berjudul Pemanfaatan Cerita Rakyat sebagai Penanaman Etika untuk Membentuk Pendidikan Karakter Bangsa. Penelitian Kristanto meneliti tentang etika yang terkandung di dalam cerita rakyat kemudian dikaitkan dengan nilai-nilai karakter, seperti nilai religi, nilai kerjasama, tanggungjawab dan kejujuran. Meski sama-sama membahas mengenai nilai-nilai karakter dalam cerita rakyat, akan tetapi pada penelitian tersebut membahas penanaman etika untuk membentuk pendidikan karakter melalui cerita rakyat, sedangkan pada penelitian ini mengkaji kesantunan berbahasa pada cerita rakyat yang dapat dijadikan untuk menanamkan pendidikan karakter.
19
2.
Hakikat Kesantunan Di dalam kehidupan kita haruslah menjaga keharmonisan sosial. Salah satu cara yang penting untuk menjaga keharmonisan, yaitu melalui kesantunan
berbahasa.
Dalam
kehidupan
bermasyarakat
kita
selalu
menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Di dalam masyarakat itu sendiri terdapat norma-norma dan kesepakatan-kesepakatan yang disesuaikan dengan budaya setempat. Kesantunan berbahasa itulah wujud dalam mematuhi norma yang di dalam masyarakat sehingga keharmonisan bermasyarakat juga akan terjaga dengan baik. a. Pengertian Kesantunan Berbagai pendapat mengenai pengertian kesantunan telah banyak dikemukakan oleh para pakar pragmatik. Pakar pragmatik yang teori kesantunannya banyak dijadikan pedoman yaitu Geoffrey Leech, Brown dan Levinson, Ricard J Watts, Robin T Lakoff, dan juga Searle. Teori kesantunan juga telah dikembangkan oleh orang Indonesia. Berikut ini pemaparan tentang beberapa definisi kesantunan. Leech (2011: 206) mengatakan bahwa sopan santun berkenaan dengan hubungan antara dua pemeran serta yang boleh kita namakan diri dan lain. Kesantunan juga ditujukan pada pihak ketiga atau untuk mereka yang ditandai dengan kata ganti persona ketiga. Sopan santun bersifat relatif, yaitu relatif dengan suatu norma perilaku yang dianggap khas (typical) untuk sebuah situasi tertentu. Norma itu mungkin norma suatu kebudayaan tertentu maupun yang mengacu pada jenis kelamin, atau usia, dan sebagainya. Berbeda dengan Leech, Brown (2015: 326) berpendapat, “Politeness is essentially a matter of taking into account the feelings of others as to how they should be interactionally trated, including behaving in a manner that demonstrates appropriate concern for interactors social status and their social relationship”. Kesantunan pada dasarnya merupakan sebuah sikap yang mempertimbangkan perasaan orang lain, bagaimana orang tersebut diperlakukan. Kesantunan juga adanya kesadaran untuk
20
mempertimbangkan status sosial dan hubungan sosial di antara mereka. Hampir sama dengan Brown, Gunarwan (2007: 102) mengatakan bahwa kesantunan mengacu ke maksud penutur agar tindakan yang akan dilakukan tidak menyebabkan ada perasaan yang tersinggung atau muka yang terancam. Yule (1996: 134) menambahkan bahwa politeness is showing awareness of another person‟s face. Senada dengan pendapat tersebut, Brown dan Levinson (Gunarwan, 2007: 102) juga memaparkan pendapat yang kurang lebih sama, bahwa kesantunan perlu dipakai jika ada tindak tutur yang berpotensi mengancam muka, baik itu muka positif maupun muka
negatif.
Lebih
lanjut
diperjelas
pula
oleh
Watts
(Gunarwan, 2007: 103) berpendapat bahwa kesantunan sebagai hasil dari bagaimana membuat orang (petutur) menjadi merasa dirinya lebih baik. Hal itu berarti, bahwa kesantunan merupakan cara penyampaian penutur yang lebih mengedepankan kenyamaan dari mitra tuturnya. Mengacu pada beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kesantunan adalah wujud menghargai dan memuaskan petutur atas tuturan yang disampaikan oleh penutur yang telah disesuaikan dengan norma kebudayaan yang ada. Berdasarkan teori kesantunan yang telah dijelaskan di dalam penelitian ini, relevan dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Djatmiko (2013) berjudul Kesantunan Berbahasa dalam Perspektif Pembelajaran Bahasa, yang meneliti tentang proses pembekalan kesantunan berbahasa melalui proses pembelajaran bahasa, baik dari aspek materi pembelajaran, bahasa yang digunakan dalam proses pembelajaran, serta peran orang tua yang juga harus saling bersinergi dalam proses pembekalan kesantunan. Persamaan penelitian Djatmiko tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama mengkaji nilai-nilai kesantunan dan kaitannya dengan materi ajar sebagai salah satu komponen pembelajaran, akan tetapi yang membedakan di antara keduanya adalah perspektif yang digunakan dan objek kajiannya. Dalam penelitian itu perspektif yang digunakan adalah pembelajaran berbahasa dan objeknya adalah materi
21
ajar, guru, dan orang tua, sedangkan penelitian ini mengkaji kesantunan berbahasa
dengan
perspektif
pembelajaran
apresiasi
sastra
yang
menggunakan objek buku cerita rakyat berbahasa Jawa. b. Aspek Situasi Ujar Leech (2011: 19) mengemukakan kriteria aspek situasi ujar untuk mengkaji makna secara pragmatik antara lain: (1) yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa), (2) konteks sebuah tuturan, (3) tujuan sebuah tuturan, (4) tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar, (5) tuturan sebagai produk tindak verbal. 1) Yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa) Rohmadi (2010: 27-28) mengatakan bahwa konsep penutur dan tindak tutur juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan yang bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Sedangkan dalam komunikasi secara lisan, Leech (2011: 19) mengemukakan bahwa si penerima bisa saja seorang yang kebetulan lewat dan mendengar pesan, dan bukan orang yang disapa. Senada dengan pendapat tersebut, Nadar (2009: 7) menyatakan bahwa terkait dengan aspek tutur, penutur dan lawan tutur ditegaskan bahwa lawan tutur atau petutur adalah orang yang menjadi sasaran tuturan dari penutur. Lawan tutur harus dibedakan dari penerima tutur yang bisa saja merupakan orang yang kebetulan lewat dan mendengar pesan, namun bukan orang yang disapa. Namun lebih baik „yang disapa‟ atau „si petutur‟ selalu menjadi sasaran tuturan dari penutur. Mengacu pada pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam komunikasi secara lisan selain peran sebagai penutur dan petutur dapat juga muncul penerima pesan. Akan tetapi tuturan akan lebih baik apabila ditujukan untuk petutur agar tujuan tuturan dapat tersampaikan dengan jelas. 2) Konteks sebuah tuturan Konteks dalam hal ini yaitu aspek-aspek yang berhubungan dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Leech (2011: 20) mengatakan bahwa konteks sebagai suatu pengetahuan latar belakang
22
yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan petutur dan yang membantu petutur menafsirkan makna tuturan. Yule menambahkan, “Our understanding of much of what we read and hear is tied to the physical context, particularly the time and place, in which we encounter linguistic expressions” (1996: 132). Menurut Yule, sebagian besar dari apa yang kita pahami, dari apa yang kita baca dan kita dengar, itu adalah konteks fisik. Mengenai konteks sosial Brown dan Levinson (1987: 319) menyatakan: “In this section we argue that the assessment of the seriousness of an FTA (That is, the calculations that members actually seem to make) involves the following factors in many and perhaps all cultures: 1. The „social distance‟ (D) of S and H (a symmetric relation). 2. The relative „power‟ (P) of S and H (an symmetric relation) 3. The absolute ranking (R) of impositions in the particular culture” Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa konteks adalah aspek-aspek yang melingkupi setiap tuturan. Aspek tersebut bisa berupa aspek fisik para peserta tutur, aspek sosial, pengetahuan, maupun benda-benda yang terdapat di dalam peristiwa tutur. 3) Tujuan sebuah tuturan Tujuan tuturan adalah aspek yang selalu ada di dalam setiap tuturan. Dengan adanya tujuan tuturan maka dapat mendorong penutur untuk mencapai tujuan tersebut sehingga tuturan akan berlangsung dengan baik. Tujuan tuturan juga penting untuk petutur agar terjalin komunikasi yang baik sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Leech (2011: 20) berpendapat bahwa tujuan tuturan dalam aspek situasi ujar berbeda dengan maksud tuturan. Tujuan tuturan tidak membebani pemakainya dengan suatu kemauan atau motivasi yang sadar,
23
sehingga dapat digunakan secara umum untuk kegiatan-kegiatan yang berorientasi tujuan. Berbeda dengan Leech, Nadar (2009: 7) mengemukakan bahwa tujuan tuturan tidak lain adalah maksud penutur mengucapkan sesuatu atau makna yang dimaksud penutur dengan mengucapkan sesuatu. Dalam hal ini, peneliti cenderung menggunakan teori Leech, karena dalam aspek situasi ujar tujuan sebuah tuturan berisi makna dan informasi. Sedangkan maksud tuturan hanya ada pada penutur. 4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar Dalam pragmatik, tuturan tidak hanya berarti sebuah kalimat, akan tetapi juga mengandung tindakan. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan sejajar dengan tindak ilokusi, sebuah istilah yang dipakai oleh Austin (Leech, 2011: 21). Senada dengan pendapat tersebut, Rohmadi (2010: 55) menyatakan bahwa tuturan yang dimaksud disini sebagai tindak tutur yang merupakan kekuatan ujar dari penyapa. Hampir sama dengan Rohmadi, Nadar (2009: 7) mengemukakan bahwa tuturan itu sendiri dalam kajian pragmatik memang dapat dipahami sebagai bentuk tindak tutur itu sendiri. Mengacu pada pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tuturan sebagai bentuk tindak ujar, memiliki arti bahwa dalam pragmatik, tuturan dipandang sebagai tindak ujar itu sendiri yang terjadi dalam situasi pertuturan. 5) Tuturan sebagai produk tindak verbal Selain sebagai tindak verbal seperti yang telah dijelaskan di atas, tuturan berarti juga sebagai produk dari tindak ujar. Leech (2011: 20) berpendapat bahwa dalam pragmatik kata „tuturan‟ dapat digunakan dalam arti yang lain, yaitu, sebagai produk suatu tindak verbal (bukan tindak verbal itu sendiri). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tuturan dalam pragmatik tidak hanya sebagai bentuk tindakan akan tetapi juga sebagai produk dari tindakan tersebut.
24
c. Prinsip Kesantunan Dalam pragmatik diatur oleh maksim, sedangkan dalam tata bahasa diatur oleh kaidah. Rohmadi (2010: 20) mengemukakan bahwa maksim adalah aturan pertuturan dalam tuturan yang wajar. Tentang kajian mengenai
prinsip
kesantunan
(kesopanan),
Leech
(2011:
206)
mengemukakan terdapat enam maksim yang harus dipenuhi, yaitu: (1) maksim kearifan, (2) maksim kedermawanan, (3) maksim pujian, (4) maksim kerendahan hati, (5) maksim kesepakatan, dan (6) maksim simpati. 1)
Maksim Kearifan Maksud maksim ini ialah membuat kerugian orang lain sekecil mungkin dan buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. Pranowo (2012: 103) mengatakan bahwa maksim kearifan dapat ditandai dengan tuturan yang dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur.
2) Maksim Kedermawanan Prinsip maksim tersebut ialah membuat keuntungan diri sendiri sekecil mungkin, dan membuat kerugian diri sendiri sebesar mungkin.
Pranowo
(2012:103)
berpendapat
bahwa
maksim
kedermawanan dapat ditandai dari tuturan yang lebih baik menimbulkan kerugian kepada mitra tutur. 3) Maksim Pujian Kecamlah orang lain sesedikit mungkin, pujilah orang lain sebanyak mungkin. Menurut Pranowo (2012: 103) maksim pujian dapat ditandai jika tuturan dapat memberikan pujian kepada mitra tutur. 4) Maksim Kerendahan Hati Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin, kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. Berdasarkan prinsip tersebut maka dapat dikatakan bahwa penutur tidak meninggikan dirinya sendiri dalam tuturannya. Pernyataan ini didukung oleh Pranowo (2012: 103) yang berpendapat bahwa maksim kerendahan hati dapat ditandai jika
25
tuturan
tidak
memuji
diri
sendiri.
Lebih
lanjut,
Pranowo
menambahkan bahwa hal tersebut sama dengan sifat andhap-asor dalam budaya Jawa. Sifat andhap-asor adalah orang yang selalu bersedia ngalah. 5) Maksim Kesepakatan Usahakan agar ketaksepakatan antara diri dan lain terjadi sesedikit mungkin, dan usahakan agar kesepakatan antara diri dengan lain terjadi sebanyak mungkin. Senada dengan pendapat tersebut, Pranowo (2012: 103) menambahkan bahwa tuturan yang santun dan sesuai dengan maksim kesepakatan jika tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur. 6) Maksim Simpati Kurangilah rasa antipati antara diri dengan lain hingga sekecil mungkin, dan tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan lain. Pranowo (2012: 103) berpendapat bahwa maksim simpati dapat ditandai jika tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur. Rahardi (2005: 59) memaparkan bahwa prinsip kesantunan yang sampai dengan saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relatif paling komprehensif telah di rumuskan oleh Leech. Selain prinsip kesopanan Leech, Gunarwan dalam Nasanius (2007: 104) menjabarkan prinsip kerukunan menjadi empat bidal (maxims), yaitu bidal kurmat („hormat‟), andhap-asor („rendah hati‟), empan-papan („sadar akan tempat‟), dan tepa-selira („tenggang rasa‟). 1) Maksim kurmat, Maksim kurmat ialah membuat mitra tutur lebih dihormati. Pranowo (2012: 48) mengatakan bahwa di dalam penggunaan bahasa (bahasa Jawa), sikap ini muncul dalam bentuk nasihat, seperti gunakan bahasa sehingga mitra tutur merasa ditempatkan pada kelas sosialnya, dan pilihlah tingkat tutur (speech level) sesuai dengan kedudukan mitra tutur dan jarak sosial dengan mitra tutur. Dinilai
26
dari
sudut
pandang
yang
berbeda,
Sulistyo
(2013:
35)
mengemukakan bahwa maksim kurmat sangat penting dalam komunikasi dikarenakan jika seseorang tidak mau menghormati orang lain, orang lain pun tidak akan menghormatinya. Berdasarkan kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa maksim kurmat ialah aturan berkomunikasi yang harus menghormati mitra tutur agar penutur kelak juga akan dihormati. Bagi masyarakat Jawa, terdapat dua tingkat tutur yang dapat menjadi pilihan yang dapat digunakan untuk menghormati mitra tutur, yaitu ngoko dan krama. Sulaksono (2015: 81) mengatakan bahwa antara orang yang akrab hubungannya tetapi saling menghormati dapat memakai tingkat tutur ngoko yang halus (antyabasa
dan
basaantya).
Mengenai
penerapannya,
Padmosoekotjo (Sulaksono, 2015: 81) berpendapat, “Ngoko utawa jawa dwipa iku guneme bocah padha bocah, wong tuwa marang wong nom kang ora ngajeni, bendara marang abdine. Tembungtembunge ngoko kabeh, ater-ater lan panambange uga ngoko.” Mengacu pada kedua pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa tingkat tutur ngoko digunakan kepada orang yang memiliki latar belakang sosial yang hampir sama dengan penutur. Untuk lebih menghormati mitra tutur yang berlatar belakang sama, dapat menggunakan tingkat tutur ngoko alus. Sedangkan mengenai tingkat tutur krama, Poedjasoedarma (Sulaksono, 2015: 66) menjelaskan bahwa tingkat tutur krama adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan santun. Tingkat ini menandakan adanya perasaan segan (pekewuh) O1 terhadap O2, karena O2 adalah orang yang belum dikenal, atau berpangkat atau priyayi, berwibawa, dan lain-lain. Lebih lanjut, Kridalaksana (Sulaksono,2015: 67) menambahkan bahwa krama merupakan ragam hormat yang dipakai antara lain oleh orang yang lebih muda kepada yang tua untuk menghormati kawan bicara dan sebagainya.
27
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa tingkat tutur krama digunakan kepada mitra tutur yang harus dihormati, karena usianya lebih tua maupun karena latar belakang sosialnya yang lebih tinggi. Mengenai
ciri-ciri
tingkat
tutur
krama,
Sasangka
(Sulaksono, 2015: 67) berpendapat bahwa ragam krama adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama, bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam ragam ini pun semuanya berbentuk krama (misalnya, afiks dipun-, -ipun, dan –aken). 2) Maksim andhap-asor ialah bentuk tuturan yang mengandalkan sikap kerendahan hati penutur. Sulistyo (2013: 35) mengemukakan bahwa watak andhap-asor ialah tidak mau menonjolkan diri, meskipun sebenarnya memiliki kemampuan. Mengenai penerapannya dalam komunikasi, Pranowo (2012: 48) menjabarkan bahwa gunakan bahasa agar mitra tutur merasa bahwa ia dipuji (secara maksimal) dan jangan menggunakan honorifik untuk meninggikan diri sendiri. Berdasarkan kedua pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa tuturan yang memenuhi maksim andhap-asor dapat ditandai dari tuturan yang tidak memuji diri sendiri. 3) Maksim empan-papan, ialah mengerti dan mampu menyesuaikan segala aspek tuturan dengan situasi pertuturan. Senada dengan pendapat tersebut, Sulistyo (2013: 35) menjelaskan bahwa empanpapan artinya sesuai waktu dan tempat. Lebih lanjut, Pranowo (2012: 48) menambahkan bahwa empan-papan berisi nasihat agar kita pandai membawa diri atau agar kita selalu menyadari tempat dan kedudukan kita di dalam konstelasi masyarakat dan kita adalah anggotanya.
Berdasarkan
beberapa
pendapat
di
atas
dapat
disimpulkan bahwa maksim empan-papan ialah aturan komunikasi yang menuntut penutur untuk cerdas membaca dan memahami waktu, tempat dan kedudukan dalam melakukan pertuturan.
28
4) Maksim tepa-slira, ialah aturan komunikasi yang harus sejalan dengan sikap tepa-slira atau tenggang rasa. Sulistyo (2013: 36) berpendapat
bahwa
tepa-slira
ialah
larangan
“syuudhon”
„berprasangka buruk‟, tetapi harus “khusnudhon” „berprasangka baik‟. Mengenai penerapan maksim tepa-slira dalam komunikasi, Pranowo (2012: 49) mengatakan bahwa pakailah bahasa yang patut kepada orang lain sebagaimana Anda mau orang lain menggunakan bahasa yang patut kepada Anda, dan hindari penggunaan bahasa yang tidak patut. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa maksim tepa-slira ialah usaha penutur untuk bertutur kata yang baik agar menerima tanggapan yang baik pula dari mitra tutur. Penulis menggunakan prinsip kerukunan Gunarwan karena bidalbidal tersebut sesuai untuk dijadikan landasan teori kajian kesantunan dengan objek berbahasa Jawa. d. Skala Kesantunan Sumarlam (1995) mengatakan bahwa dalam berkomunikasi terdapat dua kaidah kompetensi pragmatik yang sangat penting, yakni “buatlah perkataan anda jelas” (make yourself clear) dan “sopan santunlah” (be polite). Untuk mengetahui apakah tuturan yang dilakukan sudah santun atau belum maka diperlukan sebuah ukuran. Ukuran yang digunakan untuk mengukur kesantunan dari sebuah tuturan dinamakan skala kesantunan. Skala kesantunan sudah banyak dipaparkan oleh para ahli seperti Robin Lakoff, Brown dan Levinson, serta Geoffrey Leech. Dalam penelitian ini, penutur akan menilai kesantunan sebuah tindak tutur menggunakan skala kesantunan oleh Leech dikarenakan lebih lengkap serta lebih sesuai dengan data tindak tutur peneliti. Skala derajat kearifan tersebut menurut Leech (2011: 194-195) ialah (1) skala untungrugi, (2) skala kemanasukaan, (3) skala ketaklangsungan serta tambahan lain yaitu (4) skala otoritas, dan (5) skala jarak sosial ( 2011:199).
29
1) Skala untung rugi Pada skala ini diperkirakan keuntungan atau kerugian tindakan T bagi n atau bagi t (Leech, 2011: 194). Senada dengan pendapat Leech, Chaer (2010: 66) menjabarkan bahwa kalau tuturan itu semakin merugikan penutur maka dianggap semakin santunlah tuturan itu. Namun, kalau dilihat dari pihak lawan tutur, tuturan itu dianggap tidak santun. Sebaliknya kalau tuturan itu semakin merugikan mitra tutur, maka tuturan itu dianggap semakin santun. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa skala untung-rugi ialah skala yang menuntut adanya keseimbangan kerugian dan keuntungan yang diterima oleh penutur maupun mitra tutur 2) Skala kemanasukaan Leech (2011: 195) mengatakan bahwa skala ini mengurut ilokusiilokusi menurut jumlah pilihan yang diberikan oleh n kepada t. Melengkapi pendapat Leech, mengenai skala kemanasukaan, Chaer (2010: 66-67) menyatakan: Semakin banyak pilihan dan keleluasaan dalam pertuturan itu, maka dianggap semakin santunlah pertuturan itu. Sebaliknya kalau tuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan bagi si penutur dan lawan tutur, maka tuturan itu dianggap tidak santun. Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa skala kemanasukaan ialah skala yang memperhitungkan jumlah pilihan atau keleluasaan mitra tutur. 3) Skala ketaklangsungan Skala ketaklangsungan yaitu jika dilihat dari sudut pandang n skala ini
mengurut
ilokusi-ilokusi
menurut
panjang
jalan
yang
menghubungkan tindak ilokusi dengan tujuan ilokusi , sesuai dengan analisis cara-tujuan Leech (2011: 195). Senada dengan Leech, Chaer (2010: 67) mengatakan bahwa skala ketidaklangsungan yaitu
30
semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Sebaliknya semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa skala ketaklangsungan merupakan cara penutur untuk membuat panjang jalan sebelum mengatakan tujuan dari tuturannya. 4) Skala otoritas Skala otoritas merupakan skala untuk menentukan pilihan antara kata ganti sapaan akrab dengan kata ganti sapaan yang hormat menurut kekuasaan. Leech (2011: 199) mengatakan bahwa seseorang
yang
memiliki
otoritas
atau
kekuasaan
dapat
menggunakan bentuk sapaan yang akrab kepada orang lain, tetapi orang yang disapa akan menjawab dengan bentuk sapaan yang hormat.
Berdasarkan
pemaparan
Leech,
Chaer
(2010:
69)
mengatakan secara singkat bahwa skala keotoritasan merujuk pada hubungan status sosial antara penutur dan lawan tutur yang terlibat dalam suatu pertuturan. Mengacu kepada dua pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa skala otoritas ialah skala yang digunakan oleh penutur untuk menggunakan kata ganti sesuai dengan status sosial atau kekuasaan yang dimiliki oleh mitra tutur. 5) Skala jarak sosial Chaer (2010: 59) berpendapat bahwa skala jarak sosial ialah skala yang merujuk pada tingkat keakraban hubungan antara penutur dan lawan tutur yang akan sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan. Leech (2011: 199) menambahkan bahwa derajat rasa hormat yang ada pada sebuah situasi ujar tertentu sebagian besar tergantung pada beberapa faktor, yaitu kedudukan, usia, derajat keakraban dan sebagainya. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa skala jarak sosial ialah derajat kesantunan sebuah tuturan yang dinilai berdasarkan keakraban, kedudukan dan usia.
31
e.
Strategi Kesantunan Mengacu pada pengertian kesantunan menurut Brown dan Levinson seperti yang telah disebutkan di atas, maka diperlukan beberapa strategi untuk menyelamatkan muka negatif dan muka positif untuk mencapai pada sebuah tuturan yang santun. Penyataan tersebut, didukung oleh pendapat Gunarwan (2014: 19) yang mengatakan bahwa sebagian besar tindak tutur selalu mengancam muka penutur dan mitra tutur dan kesantunan berbahasa merupakan upaya untuk memperbaiki ancaman muka tersebut. Mengenai pengertian muka negatif dan positif, Brown dan Levinson (1987: 311) mengemukakan. “negative face: the basic claim to territories, personal preserves, rights to non-distraction, to freedom of action and freedom from imposition, positive face: the positive consistant self-image or „personallity‟ (crucially including the desire that this slefimage be appreciated and approved of) claimed by interactants”. Muka negatif ialah citra diri setiap orang untuk memiliki kebebasan melakukan sebuah tindakan tanpa beban, sedangkan muka positif ialah citra diri seseorang untuk diakui dan dihargai segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya. Brown dan Levinson (Pramujiono, 2011: 49-50) kemudian memostulatkan
beberapa
strategi
kesantunan
dengan
beberapa
pertimbangan untuk menghindari konflik ketika bertutur. Berkaitan dengan strategi kesantunan positif yang digunakan untuk menyelamatkan muka postif, strategi yang ditawarkan, yaitu (1) memperhatikan kesukaan, keinginan, dan kebutuhan mitra tutur (2) Membesar-besarkan perhatian,
persetujuan,
dan
simpati
kepada
mitra
tutur,
(3) Mengintensifkan perhatian mitra tutur dengan pendramatisiran peristiwa atau fakta, (4) Menggunakan penanda indentitas kelompok (bentuk sapaan, dialek, jargon atau slang), (5) Mencari persetujuan dengan
topik
umum
atau
mengulang
sebagian/seluruh
ujaran,
(6) Menghindari ketidaksetujuan dengan pura-pura setuju, persetujuan
32
semua
(psedo-agreement),
menipu
untuk
pemagaran opini (hedging opinions), (7)
kebaikan
(white-lies),
Menunjukkan hal-hal yang
dianggap mempunyai kesamaan melalui basa-basi (small talk) dan presuposisi, (8) Menggunakan lelucon, (9), Menyatakan paham akan keinginan
mitra
tutur,
(10)
Memberikan
tawaran
atau
janji,
(11) Menunjukkan keoptimisan, (12) Melibatkan penutur dan mitra tutur dalam aktivitas, (13) Memberikan pertanyaan atau meminta alasan, (14) Menyatakan hubungan secara timbal balik (resiprokal), dan (15) Memberikan hadiah (barang, simpati, perhatian, kerja sama) kepada mitra tutur. Sedangkan strategi untuk digunakan ketika muka negatif yang terancam, yaitu strategi kesantunan negatif sebagai berikut. (1) Pakailah ujaran tidak langsung (yang secara konvensional bersangkutan), (2) Pakailah pagar (hedge), (3) Tunjukkan pesimisme, (4) Minimalkan paksaan, (5) Berikan penghormatan, (6) Mintalah maaf, (7) Pakailah bentuk impersonal (yaitu menyebutkan penutur dan mitra tutur, dan (8) Ujarkan tindak tutur itu sebagai ketentuan yang bersifat umum. f.
Teori Penilaian Kesantunan Teori yang digunakan untuk penilaian kesantunan ialah skala kesantunan oleh Leech (2011: 194-199), maksim kesantunan oleh Leech (2011: 206-207), maksim kesantunan oleh Gunarwan (2007: 104) serta strategi kesantunan positif dan negatif oleh Brown dan Levinson (Pramujiono, 2011: 49-50). Penilaian akan disajikan dalam bentuk skor berupa angka, yaitu angka 1 sampai dengan 4 dari tuturan yang tidak santun hingga tuturan yang sangat santun. Secara lebih jelas indikator penilaian kesantunan, dapat dilihat pada Tabel 1. berikut. Tabel 1.
Skor Penilaian Kesantunan
Skor Kesantunan 4
Keterangan
Indikator
Sangat santun
Apabila tuturan dengan tepat menerapkan semua atau beberapa dari skala kesantunan
33
3.
3
Santun
2
Kurang santun
1
Tidak santun
Leech, atau maksim kesantunan Leech atau maksim kesantunan Gunarwan dan menggunakan salah satu dari strategi kesantunan positif atau negatif Brown dan Levinson Apabila tuturan telah menerapkan beberapa dari skala kesantunan Leech, atau maksim kesantunan Leech, atau maksim kesantunan Gunarwan dan salah satu dari strategi kesantunan postif atau negatif Brown dan Levinson, akan tetapi masih bisa ditingkatkan kesantunannya. Apabila tuturan melanggar beberapa dari skala kesantunan Leech, atau maksim kesantunan Leech, atau maksim kesantunan Gunarwan. Oleh karena itu ada kata yang harus diganti. Apabila tuturan menyalahi semua aturan dari skala kesantunan Leech, atau maksim kesantunan Leech, atau maksim kesantunan Gunarwan
Tindak Tutur Dalam subbab ini akan dibahas mengenai hakikat tindak tutur dan klasifikasi tindak tutur. a.
Hakikat Tindak Tutur Searle
dalam
bukunya
menjelaskan
mengapa
kita
harus
mempelajari „speech act‟ atau yang kita kenal dengan tindak tutur. Searle (1974: 16) menyatakan: The reason for concentrating on the study of speech acts is simply this: all linguistic communication involves linguistic acts. The unit of linguistic communication is not, as has generally been supposed, the symbol, word or sentence, or even the token of the symbol, word or sentence, but rather the production or issuance of the symbol or word or sentence in the performance of the speech act. Hal ini berarti bahwa alasan sederhana untuk berkonsentrasi mempelajari speech act adalah semua komunikasi linguistik melibatkan tindakan linguistik. Unit komunikasi linguistik, bukanlah yang sering kali dianggap simbol, kata atau kalimat, melainkan sebuah proses
34
memproduksi atau membuat simbol, kata atau kalimat dalam wujud speech act. Lebih lanjut, Searle (1974: 17) menambahkan bahwa a great deal can be said in the study of language without studying speech act, but any such purely formal theory is necessarily incomplete. It would be as if baseball were studied only as a formal system of rules and not as a game. Menurutnya, banyak hal bisa dikatakan dalam studi bahasa tanpa mempelajari speech acts, tetapi hal tersebut tidaklah sempurna. Layaknya belajar baseball yang dipelajari aturannya semata tanpa mempelajarinya sebagai sebuah permainan. Mengacu beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa speech act atau yang kita sebut dengan tindak tutur merupakan penyempurna dalam mengkaji ilmu bahasa karena tindak tutur itu sendiri merupakan wujud ujaran linguistik. Selanjut, Searle (1974: 16) memberikan definisi mengenai speech act dengan menyatakan, “... speech act (of certain kinds to be explained later) are the basic or minimal units of linguistic communication”. Speech act merupakan unit terkecil dalam komunikasi linguistik karena mempengaruhi dalam proses memproduksi sebuah kalimat atau ujaran. Berbeda dengan Searle, Sulistyo (2013: 6) menyatakan bahwa tindak tutur (speech acts) adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan bahasa untuk menyampaikan pesan-pesan atau tujuan-tujuan dari penutur kepada mitra tutur. Hampir sama, Chaer menyatakan bahwa tindak tutur (speech act) adalah gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu Rohmadi (2004: 29). Berbeda dengan pendapat tersebut, Austin
(Nadar, 2009: 11) menyampaikan teori tindak
tutur „speech act‟ bahwa pada dasarnya pada saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu. Penjelasan tersebut, berkaitan dengan jurnal penelitian Ad-Darraji, et al. (2012) yang menyatakan: Speech act theory gives explicit recognition to the social or interpersonal dimensions of language behavior. It reflects a new perspective of language and the way it operates. This discipline of
35
pragmatic inquiry has emerged to study the real world conditions under which a sentence may be appropriately used as an utterance. Teori tindak tutur mengenalkan secara eksplisit mengenai dimensi sosial atau interpersonal perilaku bahasa yang merupakan perspektif baru dari penelitian pragmatik untuk mempelajari kondisi di mana kalimat dapat digunakan sebagai ekspresi. Maksud dari pernyataan tersebut ialah bahwa tindak tutur tidak hanya berarti sebuah ucapan, akan tetapi di dalam tindak tutur tersebut mengandung ekspresi tindakan petutur. Mengacu pada pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah bentuk tindakan yang terkandung dalam setiap tuturan, dimana keberlangsungannya
dipengaruhi
oleh
kondisi
psikologis
dan
kemampuan berbahasanya. b. Klasifikasi Tindak Tutur Yule (1996: 132) mengemukakan bahwa the use of the term speech act covers „actions‟ such as „requesting‟, „commanding‟, „questioning‟, and „informing‟. Penggunaan terma speech act mencakup tindakan seperti meminta, menyuruh, menanyakan, dan memberikan informasi. Tindakan-tindakan tersebut dikategorikan dalam beberapa jenis tindak tutur. Beberapa ahli juga telah memaparkan jenis-jenis tindak tutur seperti Austin, Kreidler, Searle dan Wijana. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan klasifikasi tindak tutur yang dikemukakan oleh Searle yang juga didukung oleh
Leech.
Searle
(Leech,
2011:
164)
mengkategorikan tindak tutur menjadi lima jenis, yaitu: (1) asertif, (2) direktif, (3) komisif, (4) ekspresif, dan (5) deklarasi. 1) Asertif, pada ilokusi ini petutur terikat pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya, menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat dan melaporkan. 2) Direktif, ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh petutur; ilokusi ini misalnya, memesan, memerintah, memohon, menuntut dan memberi nasihat.
36
3) Komisif, pada ilokusi ini petutur (sedikit banyak) terikat pada suatu tindakan di masa depan, misalnya, menjanjikan, menawarkan dan berkaul. 4) Ekspresif, ialah ilokusi yang berfungsi untuk mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya, mengucapkan terima kasih, mengucapkan
selamat,
memberi
maaf,
mengecam,
memuji,
mengucapkan belasungkawa, dan sebagainya. 5) Deklarasi,
ialah
mengundurkan menjatuhkan
suatu
diri,
tindakan
membaptis,
hukuman,
kelembagaan, memecat,
misalnya,
memberi
mengucilkan/membuang,
nama,
mengangkat
(pegawai), dan sebagainya. Dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi dengan 3 jenis tindak tutur, yaitu tindak tutur asertif, tindak tutur direktif, dan tindak tutur eskpresif. Ketiga tindak tutur tersebut yang peneliti pilih karena ketiga tindak tutur itulah yang paling dominan dalam data tindak tutur dari cerita rakyat Andhe-Andhe Lumut karya DH Sunjaya.
4.
Hakikat Materi Ajar Kegiatan pembelajaran terdiri atas beberapa komponen penting. Komponen tersebut tidak dapat terpisahkan dan saling melengkapi. Salah satu komponen pembelajaran tersebut, yang memiliki peran sangat penting yaitu materi ajar. a.
Pengertian Materi Ajar Materi ajar sangat dibutuhkan oleh pendidik untuk memudahkan dalam mencapai tujuan pembelajaran karena susunannya yang sistematis. Bagi siswa, materi ajar juga sangat diperlukan karena tanpa materi ajar ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan tidak akan maksimal. Winkel (1999: 261) menyatakan bahwa materi/bahan pelajaran merupakan alat untuk sampai pada isi tujuan instruksional. Lebih lanjut Winkel menjelaskan bahwa klasifikasi tujuan-tujuan instruksional menurut aspek
37
isi berkaitan dengan penjabaran kurikulum Sekolah Menengah atas sejumlah bidang studi, yang untuk sebagian mengikuti pembagian atas bidang-bidang ilmu sebagaimana berlaku di Perguruan Tinggi. Sementara itu Prastowo (2011: 17) berpendapat bahwa bahan ajar merupakan segala bahan (baik informasi, alat, maupun teks) yang disusun secara sistematis, yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai peserta didik dan digunakan dalam proses pembelajaran dengan tujuan perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Selanjutnya Prastowo menambahkan bahwa bahan ajar adalah semua bahan-bahan yang mengandung materi pelajaran yang telah dirancang secara sistematis. Apabila bahan-bahan tersebut hanya mengandung materi ajar tetapi tidak disusun secara sistematis maka dapat dikatakan bahwa itu bukan bahan ajar. Secara lebih singkat, Esti (2011: 87) menyatakan bahwa materi/bahan pengajaran adalah sesuatu yang mengandung pesan yang akan disajikan dalam proses belajar mengajar. Mengacu pada pendapat di atas
dapat
disimpulkan
bahwa
materi
ajar
merupakan
materi
pembelajaran yang digunakan untuk mencapai tujuan instruksional dalam proses belajar mengajar, sedangkan bahan ajar merupakan segala bahan yang harus sistematis dan mengandung materi pembelajaran yang digunakan untuk mencapai tujuan instruksional dalam proses belajar mengajar. b. Dasar Pemilihan Materi Ajar Berdasarkan uraian mengenai pengertian materi ajar yang telah dijelaskan di atas, maka dapat diketahui bahwa bahan ajar bukan sesuatu yang sederhana. Selaras dengan pendapat tersebut Oemar (2009: 139) menyatakan bahwa bahan pengajaran merupakan bagian yang penting dalam proses belajar mengajar, yang menempati kedudukan yang menentukan keberhasilan belajar mengajar yang berkaitan dengan ketercapaian tujuan pengajaran, serta menentukan kegiatan belajar mengajar. Pernyataan tersebut dipertegas oleh Nurgiyantoro (1988: 32)
38
bahwa pemilihan bahan ajar yang tidak sesuai hanya akan berakibat tidak tercapainya tujuan yang diinginkan. Berdasarkan hal tersebut, bahan pengajaran perlu mendapat pertimbangan secara cermat. Akan tetapi, untuk menentukan materi pembelajaran yang baik, dari materi ajar yang dapat disediakan sendiri maupun yang telah tersedia, terkadang guru/pendidik masih menemui kesulitan. Oleh karena itu, guru perlu memahami kriteria memilih materi pembelajaran yang sesuai. Winkel (1999: 296-297) merumuskan kriteria tersebut sebagai berikut: Pertama, materi atau bahan pelajaran harus relevan terhadap tujuan instruksional yang harus dicapai, yaitu dari segi isi maupun pemerolehan jenis perilaku yang dituntut dari siswa di ranah kognitif, afektif atau psikomotorik; kedua materi atau bahan pelajaran harus sesuai dengan taraf kesulitannya dengan kemampuan siswa untuk menerima dan mengolah bahan itu; ketiga materi atau bahan pelajaran harus dapat menunjang motivasi siswa, antara lain karena relevan dengan pengalaman hidup sehari-hari siswa, sejauh hal itu mungkin (keadaan awal siswa yang aktual); keempat materi atau bahan pelajaran harus membantu untuk melibatkan diri secara aktif, baik dengan berpikir sendiri maupun dengan melakukan berbagai kegiatan; kelima materi atau bahan pelajaran harus sesuai dengan prosedur didaktis yang diikuti. Misalnya, materi pelajaran akan lain bila guru menggunakan bentuk ceramah, dibandingkan dengan pelajaran bentuk diskusi kelompok; dan ketujuh materi atau bahan pelajaran harus sesuai dengan media pelajaran yang tersedia. Dilihat dari sudut pandang kemampuan siswa pada suatu tahapan pengajaran tertentu, Rahmanto (1988: 27) mengatakan bahwa bahwa terdapat tiga aspek penting yang tidak boleh dilupakan, yaitu pertama dari sudut bahasa, kedua dari segi kematangan jiwa (psikologi), dan ketiga dari sudut latar belakang kebudayaan para siswa. c.
Langkah-langkah Memilih Bahan Ajar yang Baik Setelah memahami kriteria pemilihan bahan ajar yang baik, maka selanjutnya perlu dipahami pula langkah-langkah dalam dalam pemilihannya. Pratowo (2012: 374-375) menyatakan bahwa langkahlangkah memilih bahan ajar agar pas dan sesuai dengan kebutuhan
39
pembelajaran meliputi lima langkah pokok antara lain: (1) tentukan tujuan, (2) pelajari bidang bahan ajar, (3) buat rincian jenis bahan ajar, (4) tentukan apakah bahan ajar dapat digunakan untuk memotivasi, dan (5) pilih bentuk bahan ajar yang tepat dan lakukan penilaian. 1) Menentukan bahan ajar merupakan hal yang utama dan yang paling penting dalam langkah memilih bahan ajar. Tanpa mengacu pada tujuan pembelajaran, maka sia-sialah bahan ajar tersebut. Selain itu, juga berdampak pada tujuan pembelajaran yang tidak tercapai; 2) Pelajari bidang bahan ajar, merupakan langkah lanjutan setelah menentukan tujuan bahan ajar. Dengan mempelajari bidang bahan ajar maka guru akan lebih menguasai informasi di dalamnya sehingga guru dapat memilih bahan ajar yang bermutu. Bidangbidang tersebut misalnya kesehatan, pertanian, pendidikan dasar, perindustrian, dan sebagainya; 3) Membuat perincian tentang jenis bahan ajar. Jenis-jenis bahan ajar misalnya buku cetak, bahan ajar cetak bukan buku, bahan ajar audio, bahan ajar audio-video, bahan ajar interaktif, dan bahan ajar lainnya yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan keadaan kelas; 4) Menentukan apakah bahan ajar tersebut akan digunakan untuk memotivasi. Hal ini biasanya kurang terlalu dipikirkan oleh guru, karena biasanya guru hanya berpusat pada bahan ajar yang dapat menarik minat siswa; 5) Langkah yang terakhir yaitu memilih bentuk bahan ajar dan melakukan penilaian. Dalam hal ini kompetensi dan keterampilan guru sangat diperlukan. Prastowo (2012: 375) memaparkan penilaian pada beberapa kriteria buku sebagai berikut: Pertama, kesesuaian tujuan dengan tujuan-tujuan pengajaran; kedua ketepatan penggunaan bahasa pada tingkat pengetahuan dan pengertian peserta didik; ketiga ketepatan cara penyajian; keempat contoh-contoh yang ditarik dengan tepat dari lapangan yang sesungguhnya; kelima latihan-latihan yang memadai dan berdasarkan tujuan; dan keenam aspek-aspek fisik (misalnya ukuran bahan ajar, jenis ukuran yang
40
digunakan, kertas yang digunakan, kualitas percetakan, penjilidan, dan harga). Berdasarkan kriteria Prastowo tersebut maka dalam menilai buku yang perlu diperhatikan ialah dari aspek bahan atau materi, aspek penyajian materi, aspek bahasa, dan aspek grafika. d. Manfaat Bahan Ajar Pastowo (2012: 23) berpendapat bahwa pekerjaan membuat bahan ajar memiliki
kontribusi
yang besar bagi
keberhasilan proses
pembelajaran yang kita laksanakan. Berkaitan dengan manfaat bahan ajar, Prastowo (2012: 27-28) memaparkan bahwa manfaat bahan ajar dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kegunaan bagi pendidik dan kegunaan bagi peserta didik. Adapun manfaat bagi keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Pendidik akan memiliki bahan ajar yang dapat membantu dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran; 2) Bahan ajar dapat diajukan sebagai karya yang dinilai untuk menambah angka/kredit pendidik; 3) Menambah penghasilan bagi pendidik; 4) Kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik; 5) Peserta didik lebih bayak mendapat kesempatan belajar mandiri dengan bimbingan pendidik; 6) Peserta didik memperoleh kemudahan dalam mempelajari setiap kompetensi yang harus dicapai. 5.
Hakikat Pembelajaran Apresiasi Sastra Sesuai dengan standar isi mata pelajaran bahasa Jawa SMP/MTs Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014, memahami cerita rakyat merupakan bagian dari kompetensi dasar yang harus dicapai bagi siswa kelas VII semester gasal. a.
Pengertian Pembelajaran Apresiasi Sastra
41
Pembelajaran apresiasi sastra merupakan salah satu pembelajaran yang dianggap mampu menghadirkan nilai-nilai pendidikan karakter yang erat kaitannya dengan kurikulum 2013. Mengenai pengertian pembelajaran apresiasi sastra itu sendiri, Ismawati (2013: 117) berpendapat
bahwa
apresiasi
sastra
dimaknai
sebagai
kegiatan
menggauli, menggeluti, memahami, menikmati cipta sastra hingga tumbuh pengetahuan, pengertian, kepekaan, pemahaman, penikmatan dan penghargaan terhadap cipta sastra yang kita gauli, geluti, pahami, dan nikmati. Senada dengan pendapat tersebut, Abidin (2013: 211) berpendapat bahwa apresiasi sastra sebagai kegiatan yang dilakukan dengan sadar dan bertujuan untuk mengenal dan memahami karya sastra dari berbagai unsur pembentuknya untuk menumbuhkan kegairahan kepadanya dan memperoleh kenikmatan daripadanya. Lebih lanjut, Abidin menambahkan bahwa bentuk nyata pembelajaran apresiasi sastra pada dasarnya adalah serangkaian aktivitas yang harus dilakukan siswa untuk memaknai dan memahami karya sastra, menciptakan karya sastra, dan mengekspresikan karya sastra yang diyakini mampu membentuk budi pekerti dan membangun karakter siswa sehingga menjadi insan yang utuh sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan. Dalam pembelajaran apresiasi sastra, salah satu kegiatan yang dilakukan yaitu memahami karya sastra. Pembelajaran memahami merupakan hasil dari kegiatan membaca pemahaman. Menurut KBBI membaca berarti melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya di hati). Sedangkan pemahaman berarti proses, perbuatan memahami atau memahamkan. Hal ini berarti membaca pemahaman merupakan proses memahami isi dari sebuah tulisan. Secara lebih spesifik, Tarigan (2008: 58) menambahkan bahwa membaca pemahaman adalah sejenis membaca yang bertujuan untuk memahami: (1) standar-standar atau norma-norma kesastraan; (2) resensi kritis; (3) drama tulis; (4) pola-pola fiksi. Melengkapi pendapat tersebut
42
Dalman (2013: 70) menyatakan bahwa dalam membaca pemahaman, pembaca dituntut mampu memahami isi bacaan dengan cara membuat rangkuman isi bacaan dengan menggunakan bahasa sendiri dan menyampaikannya baik secara lisan maupun tulisan. Mengacu pada pendapat di atas, maka bahan pembelajaran memahami karya sastra merupakan bagian yang sangat penting. Esti (2011: 89) memaparkan bahwa bahan pembelajaran pemahaman diambil dari bahan mendengarkan dan membaca, yang meliputi pengembangan untuk menyerap gagasan, pendapat, pengalaman, pesan dan perasaan yang dilisankan/ditulis. Bahan pelajaran pemahaman mencakup pula karya sastra Indonesia asli maupun terjemahan. Dalam penelitian ini, bahan yang digunakan dalam pembelajaran apresiasi sastra, khususnya memahami karya sastra yaitu cerita rakyat. Cerita rakyat digunakan sebagai sarana penanaman pendidikan karakter bagi peserta didik dengan alasan di dalam cerita rakyat mengandung kearifan lokal. Hal ini dapat dikaitkan dengan pendapat seorang peneliti yang menyatakan: Dengan fungsi sebagai alat pendidik anak, di satu sisi folklor memiliki nilai pendidikan yang dapat diterapkan kepada anak dan di sisi lain folklor dapat dimanfaatkan sebagai alat atau media pendidikan. Dalam hal pertama, perlu menggali nilai-nilai pendidikan yang ada pada folklor khususnya nilai-nilai yang bermanfaat pada pendidikan karakter yang bersumber dari kearifan lokal, sedangkan, dalam hal kedua folklor dapat dimanfaatkan dalam memberhasilkan proses belajar-mengajar (Sibarani, 2013: 128). Mengacu pada pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran memahami cerita rakyat merupakan kegiatan belajarmengajar dengan tujuan memahami secara mendalam isi bacaan cerita rakyat dengan tujuan menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik. Untuk mempermudah dalam mencapai tujuan tersebut, Endraswara (2009: 57) menjelaskan bahwa pembelajaran cerita rakyat dengan cara subjek didik dibiarkan membaca dan menikmati fiksi secara “pelan-
43
pelan”, tidak banyak keharusan dan tekanan. Lebih lanjut Endraswara menambahkan bahwa yang lebih penting lagi, pembelajaran tetap menuju pada
pendekatan
pragmatik,
yakni
sajian
pembelajaran
yang
menitikberatkan pada fungsi sastra, yaitu (1) keindahan, menghibur, nikmat dan memuaskan, (2) berguna, mengajarkan sesuatu, dan (3) mengundang tawa. Pembelajaran memahami cerita rakyat merupakan salah satu kompetensi dasar yang tercantum dalam standar isi kurikulum 2013 bagi siswa kelas VII semester 1 yang mencakup empat kompetensi yaitu kompetensi spiritual, kompetensi sikap, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan. Berikut pemetaan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar pembelajaran memahami cerita rakyat berbahasa Jawa, dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2.
Standar Isi Mata Pelajaran Bahasa Jawa Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) kelas VII Semester Gasal Kompetensi Inti
Kompetensi Dasar
Spiritual 1. Menghargai
dan
menghayati 1.1 Menerima
ajaran agama yang dianutnya
anugerah
Tuhan
Yang Maha Esa berupa bahasa Jawa sebagai bahasa ibu 1.2 Menerima
anugerah
Tuhan
Yang Maha Esa berupa bahasa Jawa dan memanfaatkannya sebagai sarana komunikasi Sosial 2. Menghargai
dan
menghayati
2.1 Memiliki
serta
menghargai
perilaku jujur, disiplin, tanggung
perilaku jujur, disiplin, dan
jawab, peduli (toleransi, gotong
tanggung
royong), santun, percaya diri,
menyampaikan informasi atau
jawab
dalam
44
dalam berinteraksi secara efektif
tanggapan terhadap berbagai
dengan lingkungan sosial dan
hal/keperluan sesuai dengan
alam dalam jangkauan pergaulan
tata krama Jawa
dan keberadaan-nya.
2.2 Menunjukkan perilaku percaya diri, bangga, dan tanggung jawab dalam berinteraksi sosial dengan menggunakan bahasa Jawa sesuai dengan kaidah tingkat tutur bahasa Jawa
Pengetahuan 3. Memahami
dan
menerapkan
pengetahuan(faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin
tahunya
pengetahuan,
3.1 Memahami teks narasi tentang peristiwa atau kejadian 3.2 Mengapresiasi
teks
Serat
tentang
ilmu
Piwulang (Wulangreh pupuh
teknologi,
seni,
Pangkur)
budaya terkait dengan fenomena
3.3 Memahami cerita rakyat
dan kejadian nyata
3.4 Memahami cerita pengalaman
Keterampilan 4. Mencoba,
mengolah,
dan
4.1 Memahami isi wacana narasi
menyaji dalam ranah konkret
tentang
(menggunakan,
kejadian
mengurai,
merangkai, memodifikasi, dan
peristiwa
4.2 Menyampaikan
atau
tanggapan
membuat) dan ranah abstrak
tentang isi teks Piwulang
(menulis, membaca, menghitung,
Serat
menggambar, dan mengarang)
Pangkur
sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori
Wulangreh
pupuh
4.3 Membaca nyaring teks cerita rakyat 4.4 Menyusun atau menulis cerita pengalaman 4.5 Menceritakan
kembali
dan
45
menanggapi
teks
dengaran
cerita pengalaman 4.6 Membaca wacana berhuruf Jawa Dari pemetaan KI dan KD mengenai pembelajaran memahami cerita rakyat di atas, guru harus lebih kreatif dalam mengarahkan siswa agar termotivasi untuk memahami cerita rakyat sesuai dengan ranah spiritual, sosial, kognitif, dan keterampilan. b. Manfaat Pembelajaran Apresiasi Sastra Cerita rakyat merupakan salah satu wujud karya sastra lisan. Oleh karena itu, cerita rakyat selalu mempunyai relevansi dengan masalahmasalah dunia nyata. Berdasarkan hal tersebut maka pengajaran sastra mempunyai peran yang sangat penting. Pernyataan ini didukung oleh Rahmanto (1998: 16) yang menyatakan bahwa pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, menunjang pembentukan watak. 1) Membantu Keterampilan Berbahasa Seperti yang telah kita ketahui keterampilan berbahasa terdiri atas 4, yaitu: menyimak, berbicara, membaca, dan munulis. Dengan menggunakan suatu karya sastra, dapat disajikan dalam berbagai kegiatan keterampilan berbahasa tersebut. Sebagai contoh, apabila guru membacakan suatu karya sastra, peserta didik akan dilatih keterampilan menyimaknya, apabila peserta didik ikut berperan dalam pementasan drama maka ia akan berlatih keterampilan berbicara, peserta didik dapat mengasah keterampilan membaca dengan membaca puisi atau prosa cerita, dan yang terakhir yaitu menjadi bahan diskusi dan menuliskan hasil diskusi sebagai keterampilan menulis.
46
Nurgiyantoro (2013: 43) berpendapat bahwa peningkatan penguasaan bahasa anak harus dipahami tidak hanya melibatkan kosakata dan struktur kalimat, tetapi terlebih menyangkut keempat kemampuan berbahasa baik secara aktif reseptif (mendengarkan dan membaca) maupun aktif produktif (berbicara dan menulis). Keterampilan berbahasa merupakan keterampilan yang penting dan harus dimiliki oleh setiap orang. Hal ini didukung oleh Tarigan (2008: 1) yang menyatakan bahwa setiap keterampilan itu berhubungan erat dengan proses-proses berpikir yang mendasari bahasa. Semakin terampil seseorang berbahasa, semakin cerah dan jelas pula pikirannya. Oleh karena itu, mengacu pada pendapat di atas maka pembelajaran apresiasi sastra yang dalam penelitian ini dikhususkan pada aspek memahami cerita rakyat, jelas memiliki manfaat kebahasaan yang besar bagi setiap penikmatnya. Baik untuk memperkaya kosakata dan struktur kalimat yang benar, maupun untuk melatih keterampilan berbahasanya. 2) Meningkatkan Pengetahuan Budaya Bentuk pengetahuan khusus yang harus selalu dipupuk dalam masyarakat adalah pengetahuan budaya yang dimilikinya. Hal itu dapat dilakukan melalui sistem pendidikan yang menanamkan wawasan pemahaman budaya sehingga dapat menumbuhkan rasa bangsa, rasa percaya diri, dan rasa ikut memiliki pada peserta didik yang akan menjadi penerus bangsa. Selain itu, melalui pengajaran sastra juga dapat mengantarkan siswa kepada pribadi-pribadi dan pemikir-pemikir besar di dunia tanpa merusak kebanggannya terhadap kebudayaan sendiri. 3) Mengembangkan Cipta dan Karsa Pengajaran sastra yang dilakukan dengan benar, akan dapat menyediakan
kesempatan
untuk
mengembangkan
berbagai
kecakapan lebih dari apa yang disediakan oleh mata pelajaran lain.
47
Kecakapan tersebut merupakan kecakapan yang bersifat indera, penalaran, afektif, dan yang bersifat sosial, serta religius. a) Pengajaran
sastra
dapat
digunakan
untuk
memperluas
pengungkapan apa yang diterima oleh panca indra seperti indra penglihatan, indra pendengaran, indra pencecapan, dan indra peraba. b) Kecakapan dalam penalaran atau yang disebutkan disini berpikir logis ditentukan oleh hal-hal seperti ketepatan pengertian, ketepatan
interpretasi
pengelompokan
data,
kebahasaan, penentuan
klasifikasi
berbagai
pilihan,
dan serta
formulasi rangkaian tindakan yang tepat. Pengajaran sastra jika diarahkan dengan tepat akan sangat membantu peserta didik memecahkan masalah-masalah berpikir logis. c) Sebuah karya sastra dapat mengandung konflik atau situasi yang diungkapkan pengarang dengan memberikan ruang kepada pembaca untuk menjelajahi dan mengembangkan perasaannya sesuai kodrat kemanusiaannya. d) Sastra dapat menjadi sarana untuk menumbuhkan kesadaran pemahaman terhadap orang lain apabila seorang pengajar sastra bijaksana dalam memilih bahan sehingga dengan tepat pula dapat membantu siswa memahami dirinya dalam rangka memahami orang lain. e) Dalam hal ini seorang guru harus mampu berpikir kritis tentang apa saja yang dianjurkan pengarang dalam aspek religius sebelum dipilih menjadi bahan ajar. Selain itu, guru juga harus mampu mengarahkan siswa agar tidak mempunyai anggapan bahwa setiap pengarang mempunyai „kebenaran mutlak‟. 4) Menunjang Pembentukan Watak Dalam hal ini pembelajaran sastra memiliki dua tuntutan dalam hal menunjang pembentukan watak. Pertama, pembelajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam seperti lebih
48
mengenal seluruh rangkaian hidup manusia. Seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan tak bernilai. Kedua, pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian peserta didik seperti ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan. Dalam pengajaran sastra dengan berbagai ciri khasnya dapat menunjukkan sebuah pengalaman kepada siswa yang tentunya akan berguna di masa mendatang. B. Kerangka Berpikir Tujuan pembelajaran bahasa Jawa ialah melestarikan budaya Jawa dan membentuk budi pekerti bangsa. Demi tercapainya tujuan tersebut guru menggunakan materi pembelajaran yaitu cerita rakyat. Cerita rakyat yang berkembang
di
Indonesia
sangat
banyak.
Sayangnya,
guru
hanya
menggunakan cerita rakyat yang telah tersedia di buku teks saja. Agar pembelajaran lebih menarik dan memperluas pengetahuan siswa, diperlukan bacaan cerita rakyat selain dari buku teks. Hal itu juga akan meningkatkan apresiasi siswa terhadap buku bacaan cerita rakyat yang menggunakan bahasa Jawa. Cerita rakyat dengan judul Andhe-andhe Lumut merupakan salah satu judul cerita rakyat asli dari Jawa. Cerita tersebut dapat menjadi salah satu alternatif materi ajar apresiasi sastra khususnya dalam aspek memahami cerita rakyat. Alasan penulis memilih judul tersebut karena cerita Andhe-andhe Lumut sudah sangat populer, memiliki cerita yang sangat menarik, mengandung banyak ajaran moral yang luhur, serta menjadi buku rekomendasi penilaian Disdikpora Propinsi DIY. Sayangnya, dari aspek kebahasaan, masih ditemukan beberapa kalimat yang kurang santun. Oleh karena itu, diharapkan dari penelitian ini dapat mendeskripsikan dan menjelaskan wujud kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa dalam buku bacaan cerita rakyat tersebut.
49
Penelitian ini berfokus pada analisis kesantunan berbahasa dan relevansinya sebagai materi ajar memahami cerita rakyat pada siswa kelas VII SMP. Penelitian ini akan dimulai dengan membaca dan mencatat jenisjenis tindak tutur yang ada di dalam cerita rakyat tersebut. Klasifikasi tindak tutur yang digunakan peneliti yaitu asertif, direktif, dan ekspresif. Setelah data terkumpul, jenis-jenis tindak tutur tersebut dianalisis kesantunan berbahasanya. Berdasarkan analisis kesantunan berbahasa itulah kemudian dikaitkan dengan relevansinya sebagai materi ajar memahami cerita rakyat. Setelah diperoleh hasil, dikaitkan pula dengan wawancara untuk mengetahui kesesuaian, kelebihan dan kelemahan mengenai cerita rakyat Andhe-andhe Lumut. Secara lebih jelas kerangka berpikir penelitian dapat dilihat pada gambar 1. berikut.
Cerita Rakyat Andheandhe Lumut
Tindak Tutur
Asertif
Direktif
Ekspresif
Kesantunan
Relevansi Cerita Rakyat sebagai Materi Ajar Memahami Cerita Rakyat Siswa Kelas VII SMP
Gambar 1. Kerangka Berpikir