BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka Penelitian ini mengambil acuan teori mengenai keterampilan menulis laporan observasi, kemampuan berpikir kritis, dan motivasi membaca. Sesuai dengan judul penelitian Hubungan antara Kemampuan Berpikir Kritis dan Motivasi Membaca dengan Keterampilan Menulis Laporan Observasi pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri di kota Surakarta, kajian teori yang diambil diharapkan dapat memberikan pemahaman teori yang memadai sebagai pijakan dalam penelitian ini. Selain memuat deskripsi teoretis sebagai acuan penelitian, dalam bab ini juga terdapat penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.
1. Hakikat Keterampilan Menulis Pada hakikat keterampilan menulis laporan observasi akan dijelaskan beberapa pengertian mengenai pengertian menulis, tahap-tahap menulis, jenis-jenis tulisan, tujuan menulis, manfaat menulis, pengertian laporan observasi, pengertian keterampilan menulis laporan observasi, dan pedoman penilaian laporan observasi. Aspek-aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Pengertian Menulis Menulis pada hakikatnya ialah melukiskan lambang-lambang grafis yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami seseorang untuk dibaca orang lain yang dapat memahami bahasa dan lambang-lambang grafis tersebut (Tarigan dalam Slamet, 2007: 99). Menulis merupakan salah satu aspek berbahasa yang paling kompleks. Menurut Nurgiyantoro (2009: 298) menulis adalah aktivitas mengemukakan gagasan melalui media bahasa. Menulis meliputi beberapa unsur kegiatan menulis. Aktivitas yang pertama menekankan unsur bahasa dan aktivitas kedua menekankan gagasan. Melalui kegiatan menulis seseorang dapat mengungkapkan ide atau gagasan dalam betuk karangan secara leluasa. Senada dengan pendapat Gere dalam Setiawati 10
11
dan Badriyah (2007: 118) menulis adalah berkomunikasi, menulis adalah mengekspresikan diri, menulis adalah menginstruksikan, menulis adalah usaha untuk belajar. Menulis merupakan proses kreatif dalam menuangkan ide atau gagasan dalam bentuk bahasa tulis dengan tujuan, misalnya memberitahu, meyakinkan, atau menghibur. Hasil dari sebuah proses kreatif inilah biasa dikenal dengan tulisan atau karangan. Menurut Lado dalam Hendriyanto (2013: 20) menulis bukanlah sekadar menuliskan tanda-tanda tulis, melainkan mengomunikasikan pikiran ke dalam bahasa tulis yang berupa rangkaian kalimat-kalimat secara utuh, jelas, dan lengkap kepada pembaca. Keterampilan menulis tidak dapat diperoleh secara instan melainkan diperlukan latihan terus menerus untuk menghasilkan tulisan yang baik. Tulisan dikatakan baik jika pembaca mampu memahami pesan atau informasi yang disampaikan oleh penulis. Dengan demikian, tulisan yang baik adalah tulisan yang komunikatif. Menurut Dalman (2012: 5) menulis merupakan suatu kegiatan komunikasi berupa penyampaian pesan (informasi) secara tertulis kepada pihak lain dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya. Ia juga menambahkan aktivitas menulis melibatkan beberapa unsur, yaitu: penulis sebagai penyampaian pesan, isi tulisan (pesan), saluran atau media berupa tulisan, dan pembaca sebagai penerima pesan. Menulis adalah aktivitas seluruh otak yang menggunakan belahan otak kanan (emosional) dan belahan otak kiri (logika) (Bobbi Deporter dalam Kusmayadi (2011: 41). Pendapat lain disampaikan The Liang Gie dalam Andayani (2009: 28) menyamakan pengertian menulis dengan mengarang. Diungkapkan bahwa menulis arti pertamanya ialah pembuatan huruf, angka, nama, sesuatu tanda kebahasaan apapun dengan suatu alat tulis pada suatu halaman tertentu. Adapun Hernowo dalam Andayani (2009: 28) menegaskan bahwa menulis merupakan aktivitas intelektual praktis yang dapat dilakukan oleh siapa saja yang amat berguna untuk mengukur sudah beberapa tinggi pertumbuhan rohani kedua belah otak, baik otak kanan maupun otak kiri.
12
Menulis merupakan keterampilan berbahasa yang paling kompleks dan paling akhir dikuasai seseorang dibanding dengan keterampilan berbahasa lainnya. Dalam menuangkan ide atau gagasan dalam bentuk tulisan seseorang sering mengalami beberapa hambatan. Menurut Wardhana dan Ardianto, ada dua penyebab utama yang menjadi faktor penghambat kegiatan menulis. Faktor pertama adalah faktor internal yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal yang sering terjadi meliputi; seorang individu belum memiliki kebiasaan membaca buku, belum memiliki kemampuan berbahasa yang baik, dan belum adanya minat atau keinginan untuk menulis. Kemudian yang kedua adalah faktor eksternal, merupakan faktor penghambat yang berasal dari luar pribadi setiap individu. Faktor eksternal yang menghambat seseorang untuk menulis adalah sulitnya mendapat bahan acuan dan referensi untuk menulis, sulit mencari topik ataupun tema untuk bahan tulisan, dan kesulitan dalam menyusun kalimat baku (Kuncoro, 2009: 6 -7). Guna memperoleh keterampilan menulis, khususnya menulis karya ilmiah diperlukan suatu proses berupa pembelajaran dan pelatihan menulis. Menurut Akhadiah, Arsjad, dan Ridwan (1994: 41) menulis merupakan proses bernalar. Menulis mengenai topik atau laporan tertentu menuntut seseorang harus berpikir, menghubung-hubungkan berbagai fakta, membandingkan dan sebagainya. Menulis merupakan aspek berbahasa yang jauh lebih sulit daripada berbicara, banyak orang yang hebat berkomunikasi secara lisan tetapi belum tentu pandai menulis. Keterampilann menulis merupakan keterampilan berbahasa yang biasanya paling akhir dikuasai oleh seseorang. Selaras dengan pendapat Nurgiantoro dalam Setiawati dan Badriyah (2007: 119) bahwa dibandingkan dengan keterampilan berbahasa lain (menyimak, berbicara, dan membaca), menulis lebih sulit dikuasai. Hal ini disebabkan dalam menulis dituntut adanya berbagai unsur di luar unsur-unsur bahasa itu sendiri, seperti isi karangan dan unsur bahasa yang harus terjalin sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu tulisan (karangan) yang runtut dan padu. Menulis merupakan keterampilan yang berkaitan dengan keterampilan berpikir. Menurut Musaba (2012: 24) menulis berarti, “mengungkapkan buah pikiran,
13
perasaan, pengalaman, dan hal lain melalui tulisan”. Untuk memperoleh keterampilan menulis seperti yang diungkapkan oleh beberapa ahli di atas dapat diartikan bahwa untuk menjadi penulis yang baik, seseorang dituntut untuk memiliki beberapa pengetahuan sekaligus. Pertama, seorang penulis memerlukan waktu untuk terus berlatih menulis karena menulis merupakan suatu proses. Kedua, seorang penulis memerlukan pengetahuan tentang isi (subtansi) tulisan, dan pengetahuan tentang bagaimana menuliskannya, yaitu pengetahuan yang menyangkut tentang aspek-aspek kebahasaan dan teknik penulisan. Bertolak dari pendapat beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa menulis adalah suatu proses kreatif dan berpikir secara keseluruhan yang kompleks untuk menyampaikan ide atau gagasan ke dalam bentuk lambang-lambang grafis (tulisan) sebagai bentuk komunikasi dengan tujuan pemahaman ide antara penulis dan pembaca sama. b. Tahap-tahap Menulis Kegiatan menulis tidak semudah membalikkan telapak tangan, perlu adanya proses dan latihan. Sejalan dengan pendapat Hafferman dan Lincoln dalam Setiawati dan Badriyah (2007: 118) bahwa “menulis merupakan suatu proses”. Terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui seseorang untuk memperoleh hasil tulisan yang baik. Tahap-tahap menulis dapat dipandang sebagai rangkaian kegiatan yang kompleks dan bersifat fleksibel. Menurut Heaton dalam Slamet (2007: 98) kompleksitas kegiatan menulis atau mengarang untuk menyusun karangan yang baik meliputi: (1) keterampilan gramatikal, (2) penuangan isi, (3) keterampilan stilistika, (4) keterampilan mekanis, dan (5) keterampilan memutuskan. Senada dengan Sri Hastuti dalam Slamet (2007: 98) bahwa kegiatan menulis merupakan kegiatan yang sangat kompleks karena melibatkan cara berpikir yang teratur dan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan teknik penulisann antara lain: (1) adanya kesatuan gagasan, (2) penggunaan kalimat yang jelas dan efektif, (3) paragraf disusun dengan baik, (4) penerapan kaidah ejaan yang benar, dan (5) penguasaan kosakata yang memadai.
14
Kegiatan menulis dipandang sebagai rangkaian aktivitas yang bersifat fleksibel. Rangkaian aktivitas yang dimaksud meliputi pramenulis, penulisan draft, revisi, penyuntingan, dan publikasi. Menurut Combs dalam Rofi’uddin (2001: 51) perkembangan menulis mengikuti prinsip-prinsip berikut: (1) prinsip keterulangan (recurring principle), (2) prinsip generatif (generative principle, (3) konsep tanda (sign concept), (4) fleksibilitas (flexibility), dan (5) arah tanda (directionality). Secara umum kegiatan menulis meliputi beberapa fase, yaitu prapenulisan, penulisan, dan pascapenulisan. Fase prapenulisan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk persiapan menulis sebuah tulisan. Di dalamnya terdiri dari kegiatan memilih tujuan, topik, mengumpulkan teori dan bahan, menentukan sasaran karangan, serta menyusun kerangka karangan. Bertolak dari prapenulisan kemudian masuk ke dalam fase penulisan, yaitu pengembangan kerangka karangan menjadi butir demi butir atau ide demi ide ke dalam sebuah tulisan yang logis dan runtut. Selanjutnya, setelah fase penulisan selesai, dilakukan penyuntingan dan perbaikan. Pada fase penyuntingan dan perbaikan inilah biasa disebut fase pascapenulisan, yang mungkin dilakukan berulang-ulang oleh penulis untuk memperoleh sebuah karangan yang sesuai harapan penulis. Menurut Andayani (2009: 29) kegiatan menulis akan mudah dilakukan jika melalui tahap-tahap berikut ini: (1) tahap persiapan atau prapenulisan; (2) tahap inkubasi atau tahap memproses informsi yang dimiliki; (3) tahap inspirasi atau tahap munculnya gagasan pada pikiran; (4) verifikasi atau pemeriksaan kembali sesuai fokus tulisan. Selanjutnya, Sabarti dalam Andayani (2009: 30 – 31) menambahkan proses menulis menjadi tujuh langkah, yaitu: (1) pemilihan dan penetapan topik; (2) pengumpulan informasi dan data; (3) penetapan tujuan; (4) perancangan tulisan; (5) penulisan; (6) penyuntingan atau revisi; (7) penulisan naskah jadi. Berdasarkan penjelasan para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tahapan menulis meliputi beberapa fase, yaitu prapenulisan, penulisan, dan pascapenulisan yang dimulai dari tahap persiapan, pemilihan topik atau tema yang
15
akan ditulis, pengumpulan data atau informasi, penetapan tujuan, perancangan tulisan, penulisan, tahap verikasi, dan penulisan naskah jadi (publishing). c. Jenis-jenis Tulisan Jenis tulisan dapat disajikan dalam lima bentuk atau ragam wacana, yaitu deskripsi, narasi, eksposisi, argumentasi, dan persuasi (Slamet, 2007:103).. Deskripsi adalah bentuk karangan yang menggambarkan sesuatu berdasarkan pengamatan, pengalaman, dan perasaan menulisnya.
Narasi adalah bentuk karangan yang
menceritakan proses kejadian suatu peristiwa berdasarkan urutan rangkaian kejadiannya. Eksposisi atau paparan adalah bentuk wacana yang dimaksudkan untuk menerangkan, menyampaikan, atau menguraikan sesuatu hal yang dapat menambah pengetahuan pembacanya. Argumentasi adalah bentuk wacana yang dimaksudkan untuk meyakinkan pembaca mengenai kebenaran yang disampaikan oleh penulisnya. Pesuasi adalah bentuk wacana yang ditujukan untuk mempengaruhi sikap dan pendapat pembaca mengenai sesuatu hal yang disampaikan penulisnya. Selain bentuk-bentuk karangan di atas, terdapat penulisan laporan. Laporan adalah suatu cara komunikasi di mana penulis menyampaikan informasi kepada seseorang atau suatu badan karena tanggung jawab yang dibebankan kepadanya (Keraf, 2004: 324). Sebuah laporan bertolak dari beberapa dasar, yaitu orang yang memberi laporan, pihak yang menerima laporan, dan sifat dan tujuan umum laporan. Menurut Wirajaya dan Sudarmawati (2008: 5), “laporan merupakan suatu keterangan mengenai suatu peristiwa atau perihal yang ditulis berdasarkan berbagai data, fakta, dan keterangan yang melingkupi peristiwa atau perihal tersebut”. Laporan
yang
baik
bergantung
dari
keberhasilan
penulis
didalam
mempengaruhi pembaca sesuai dengan harapannya. Menurut Keraf (2007: 327) laporan megandung sifat-sifat yaitu harus mengandung imaginasi, yaitu meliputi masalah, pelapor harus harus tahu secara tepat siapa yang akan menerima laporan itu, laporan yang dibuat harus sempurna dan komplit, yang berarti tidak boleh ada hal-hal yang diabaikan bila ha-hal itu diperlukan untuk memperkuat kesimpulan, loporan harus disajikan dengan menarik.
16
d. Tujuan Menulis Menulis merupakan salah satu alat komunikasi dalam bentuk grafis atau lambang yang memiliki tujuan dan maksud tertentu. Sehubungan dengan hal ini, D’Angelo dalam Tarigan (1983: 23 – 24) mengemukakan beberapa jenis batasan tujuan menulis antara lain: (a) tulisan yang bertujuan untuk memberitahukan atau mengajar disebut wacana informatif (informative discourse), (b) tulisan yang bertujuan untuk meyakinkan atau mendesak disebut wacana persuasif (persuasive discourse), (c) tulisan yang bertujuan untuk menghibur dan menyenangkan atau yang mengandung tujuan estetik disebut tujuan literer (wacana kesastraan atau literary discourse), dan (d) Tulisan yang mengekspresikan perasaan dan emosi yang kuat atau berapi- api disebut wacana ekspresif (expressive discourse). Penulisan sebuah laporan hendaknya memiliki tujuan yang jelas dan menggambarkan data serta bukti yang faktual dan relevan, sesuai dengan pendapat Hugo Hartig dalam Tarigan (1983: 24) yang mengemukakan bahwa tujuan penulisan sesuatu hendaknya memiliki tujuan sebagai berikut: (a) Assignment purpose (tujuan penugasan); (b) Altruistic purpose (tujuan altruistik atau bertujuan untuk menyenangkan
pembaca);
(c)
Persuasive
purpose
(tujuan
persuasif);
(d)
Informational purpose (tujuan informasional, tujuan penerangan); (e) Self-expressive purpose (tujuan pernyataan diri); (f) Creative purpose (tujuan kreatif); (g) Problemsolving purpose (tujuan pemecahan masalah). Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa menulis mempunyai tujuan yang beragam, diantaranya menulis dapat dijadikan sebagai salah satu alat komunikasi, sebagai sarana hiburan, media untuk mengungkapkan ide, gagasan, dan emosi atau perasaan, memecahkan masalah serta menyampaikan pikiran untuk mengajak atau meyakinkan seseorang.
17
e. Manfaat Menulis Menulis merupakan proses perubahan bentuk pikiran yang berupa ide atau gagasan dan sebagainya untuk kemudian ditransformasikan kedalam wujud lambang atau tanda atau tulisan yang bermakna. Menurut Kusmayadi (2011: 33) manfaat menulis adalah berkaitan dengan pengembangan diri dan cara berpikir. Menulis memiliki banyak manfaat yang dapat kita petik dalam kehidupan. Sabranek dalam Leo (2010: 2) menyatakan ada beberapa alasan mengapa menulis itu bagus, di antaranya, menulis mendorong kita berpikir secara sistematis. Menuliskan gagasan baru membantu kita memahami hal tersebut dengan baik. Dengan demikian, kita berbagi pengalaman; kemampuan kita dalam belajar meningkat. Menurut Dalman (2012: 6) manfaat menulis di antaranya adalah, (1) peningkatan kecerdasan, (2) pengembangan daya inisiatif dan kreativitas, (3) penumbuhan keberanian, dan (4) pendorongan kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi. Manfaat menulis menurut Pennebeker dalam Kusmayadi (2011: 30) adalah, “(1) menulis menjernihkan pikiran, (2) menulis mengatasi trauma, (3) menulis membantu mendapatkan dan mengingat informasi baru, (4) menulis membantu memecahkan masalah, (5) menulis bebas membantu Anda ketika terpaksa harus menulis”. Bertolak dari pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan banyak manfaat yang bisa kita peroleh dari kegiatan menulis, yaitu selain sebagai wadah untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berpikir dan kecerdasan seseorang, sebagai sarana untuk mengembangkan kerativitas dan inisiatif, dan sebagai ajang seseorang untuk mengungkapkan pikiran dan pendapatnya secara berani. f. Pengertian Laporan Observasi Pada hakikatnya, penulisan laporan adalah penyampaian informasi yang bersifat faktual tentang sesuatu dari satu pihak kepada pihak lain (Widyamartaya, dkk. (2005: 7). Penulisan laporan observasi atau laporan pengamatan sering dianggap sama dengan teks diskripsi. Namun, sebenarnya teks laporan dan teks diskripsi berbeda. Perbedaan yang menonjol diantara keduanya terletak pada sifatnya, yaitu teks laporan bersifat global dan universal, sedangkan teks diskriptif bersifat unik dan
18
individual (Kemendikbud RI, 2013). Menurut Kurikulum 2013 teks laporan observasi juga disebut teks klasifikasi karena teks tersebut memuat klasifikasi mengenai jenisjenis susuatu berdasarkan kriteria tertentu. Struktur laporan observasi setidaknya harus memenuhi tiga bagian pokok yaitu, definisi umum, diskripsi bagian, dan diskripsi manfaat. Menurut Widyamartaya, dkk. (2005: 7) penulisan laporan pada umumnya menyangkut rangkaian kegiatan, yaitu: (1) pengamatan (untuk suatu jangka waktu tertentu dan dengan peralatan tertentu), (2) penyelidikan (dengan bertanya, mencatat, dan membanding-bandingkan sumber-sumber informasi), (3) studi (dengan membaca dokumen-dokumen dan bertukar pikiran). Dalam membuat sebuah laporan hendakanya mudah dipahami dengan menggunakan bahasa yang komunikatif. Syaratsyarat laporan yang baik memiliki ciri-ciri berikut: (1) mengandung fakta-fakta yang relevan, (2) menyampaikan kesimpulan dan atau saran berdasarkan fakta-fakta, (3) mempunyai bentuk tersendiri, (4) mengandung gaya tulis yang serasi dengan pengungkapan faktual, dan (5) menampilkan tata wajah yang mencerminkan kesungguhan kerja (Widyamartaya, dkk., 2005: 10). Berdasarkan pendapat ahli di atas laporan observasi merupakan salah satu jenis laporan atau karangan yang berisi informasi atau keterangan yang dikumpulkan, diseleksi, diolah, dan disajikan dalam sebuah lambang-lambang grafis (tulisan) berdasarkan fakta melalui ide atau gagasan seseorang yang diperoleh dengan proses kreatif dan berpikir secara logis dan sistematis. g. Pengertian Keterampilan Menulis Laporan Observasi Pengertian keterampilan menulis laporan jika dilihat dari segi proses atau aktivitas, pada hakikatnya merupakan penyampaian informasi yang bersifat faktual tentang sesuatu dari satu pihak kepada pihak lain, sedangkan dari segi hasil, pengertian umum laporan adalah suatu dokumen sebagai sebagai hasil serangkaian kegiatan mencari dan menyajikan informasi mengenai suatu hal tertentu (Widyamartaya, dkk., 2005: 7). Penulisan laporan perlu menyadari dan berusaha untuk menyampaikan hal-hal yang penting sehingga pembaca segera mengetahui
19
masalahnya. Menurut Keraf (2004: 323) laporan merupakan jenis dokumen yang sangat bervariasi bentuknya, dan sebab itu sukar diberi batasan pengertian yang jelas. Dengan demikian, laporan observasi merupakan karangan yang berisi informasi atau keterangan yang dikumpulkan, diseleksi, diolah, dan disajikan dalam sebuah lambang-lambang grafis (tulisan) berdasarkan fakta melalui ide atau gagasan seseorang yang diperoleh dengan proses kreatif dan berpikir secara logis dan sistematis. Menulis sebagai salah satu aspek kompetensi berbahasa merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diajarkan kepada siswa karena keterampilan menulis sudah menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan dalam memenuhi keperluan seharihari yang terkait dengan tulis menulis. Dengan menulis diharapkan siswa mampu mengungkapkan gagasan secara jelas, logis, sistematis, dan sesuai dengan konteks dan keperluan komunikasi. Menulis laporan observasi memerlukan teknik yang lebih rasional, analitis, lebih terstruktur, dan berorientasi pada tujuan dan penyampaian kesimpulan berdasarkan fakta yang relevan. Rangkaian kegiatan yang terlibat dalam mencari keterangan atau informasi dalam menulis laporan meliputi pengamatan, penyelidikan, dan studi. Bertolak dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan menulis laporan observasi dapat diartikan keterampilan menulis sesuatu melalui proses dan tahap-tahap pengamatan, penyelidikan, dan studi sesuai fakta di lapangan dan bukti-bukti relevan serta diperoleh dengan proses kreatif dan berpikir secara logis dan sistematis. h. Pedoman Penilaian Laporan Observasi Penyekoran hasil kerja penulisan laporan peserta didik dilakukan dengan mempergunakan rubrik. Menurut Nurgiyantoro (2011: 104) rubrik penilaian laporan meliputi: (1) ketepatan pemilihan objek laporan, (2) kelengkapan objek laporan, (3) ketepatan organisasi teks laporan, (4) ketepatan diksi, (5) ketepatan kalimat, dan (6) format, ejaan, dan tata tulis. Nurgiyantoro (2011: 439 – 440) mengemukakan bahwa kita dapat mengembangkan sendiri rubrik penilaian yang memberi bobot secara
20
proporsional terhadap tiap komponen berdasarkan pentingnya komponen-komponen itu dalam mendukung eksistensi sebuah karya tulis. Singkatnya, komponen yang lebih penting diberi skor yang lebih tinggi, sedangkan yang kurang penting diberi skor lebih rendah, dengan skala 1 – 100. Slamet (2008: 210) menjelaskan bahwa secara konvensional, penilaian karangan (yang menggunakan bentuk tes subjektif) dapat dilakukan secara holistik atau per aspek. Penilaian holistik dimaksud berupa penilaian karangan yang dilakukan secara utuh, tanpa melihat bagian-bagiannya. Teknik penilaian holistik ini lebih bersifat impresif (berdasarkan kesan penilai). Penilaian per aspek dilakukan dengan cara menilai bagian-bagian karangan, misalnya: struktur bahasanya, pemilihan diksi, penggunaan tanda baca, ejaan, organisasi ide, gaya penulisan, serta kekuatan argumentasi yang disajikan. Hasil akhir penilaian merupakan gabungan dari hasil penilaian per aspek. Berkaitan dengan penilaian kemampuan menulis siswa, Nurgiantoro dalam Iskandarwassid dan Sunandar (2008: 250) berpendapat bahwa penilaian yang dilakukan terhadap karangan siswa biasanya bersifat holistis, impresif, dan selintas, maksudnya adalah penilaian yang bersifat menyeluruh berdasarkan kesan yang diperoleh dari membaca karangan secara selintas. Menurutnya, penilaian karangan memiliki beberapa kritetia, yaitu: (1) kualitas dan ruang lingkup isi; (2) organisasi dan penyajian isi; (3) komposisi; (4) kohesi dan koherensi; (5) gaya dan bentuk bahasa; (6) mekanik: tata bahasa, ejaan, tanda baca; (7) kerapian tulisan dan keberhasilan; dan (8) respon afektif pengajar terhadap karya tulis. Kemampuan menulis seseorang perlu diperhatikan guna memenuhi kebutuhannya dalam hal tulis menulis, baik menulis laporan, menulis surat, menulis tugas-tugas sekolah dan kuliah yang menuntut seseorang untuk meningkatkan kemampuan menulis yang memadai. Menurut penelitian Setiawati dan Badriyah (2007: 124) menunjukkan bahwa 85,83 % responden menyatakan mata kuliah kemampuan menulis memiliki manfaat bagi mahasiswa sebagai guru mata pelajaran bahasa Indonesia baik bagi siswa siswinya maupun bagi peningkatan diri dalam
21
profesinya. Responden yang menyatakan bahwa mata kuliah menulis tidak berkontribusi baik bagi siswa maupun dirinya berjumlah 11,39 %, dan 3,06 % responden tidak memberikan pendapatnya. Berkaitan dengan laporan menulis observasi, penelitian Henk, et al. (2004: 322) menemukan alat baru yang digunakan untuk meningkatkan pengajaran menulis di sekolah. Alat tersebut dinamakan The Writing Observation Framework (WOF). Adapun manfaat The Writing Observation Framework (WOF), yaitu berpotensial untuk memfasilitasi secara lebih efektif dalam pengajaran menulis dari dasar menjadi lebih luas dengan literasi profesional dalam daerah sekolah. Instrumen dari The Writing Observation Framework (WOF) terdiri dari sembilan komponen. Pada permulaan dari kerangka terdiri dari formulir yang didalamnya terdapat nama guru, evaluator, tanggal dan tahun observasi, dan tempat proses menulis yang diobservasi. Sembilan komponen dan aspek yang dimaksud adalah classroom climate, prewriting, drafting, conferencing, revising, editing/publishing, skill/strategy instruction, assessment, dan teacher practice. Adapun penelitian Tejo Wahono tahun 2010 memiliki tiga variabel yang diujicobakan dengan teknik penelitian survei korelasional pada siswa kelas VIII SMP Negeri Se-Kecamatan Kebakkramat Kabupaten Karanganyar. Tiga variabel yang dibahas, yaitu penguasaan kosakata, motivasi berprestasi, dan kemampuan menulis laporan. Salah satu variabel yang dibahas dalam penelitian tersebut relevan dengan salah satu variabel yang ada dalam penelitian yang dilakukakan penulis. Variabel tersebut adalah menulis laporan. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa: (1) ada hubungan signifikan antara penguasaan kosakata terhadap kemampuan menulis laporan; (2) ada hubungan yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan kemampuan menulis laporan; (3) ada hubungan signifikan antara penguasaan kosakata dan motivasi berprestasi dengan kemampuan menulis laporan siswa kelas VIII SMP Negeri Se-Kecamatan Kebakkramat Kabupaten Karanganyar. Dengan demikian, dapat disintesiskan bahwa keterampilan menulis laporan observasi adalah menulis sesuatu melalui proses dan tahap-tahap pengamatan,
22
penyelidikan, dan studi sesuai fakta di lapangan dan bukti-bukti relevan serta diperoleh dengan proses kreatif dan berpikir secara logis dan sistematis, didukung dengan beberapa aspek, yaitu: (1) isi gagasan yang dikemukakan; (2) ketepatan organisasi isi; (3) kelengkapan objek laporan; (4) gaya dan tata bahasa: pilihan struktur dan kosakata yang tepat berdasarkan struktur laporan observasi; dan (5) ketepatan ejaan dan tata tulis . 2.
Kemampuan Berpikir Kritis
Pada kemampuan berpikir kritis akan dijelaskan beberapa aspek yang berkaitan dengan kemampuan berpikir ktitis, yang meliputi: hakikat berpikir, pengertian kemampuan berpikir kritis, ciri-ciri kemampuan berpikir kritis, dan manfaat dan standar kemampuan berpikir kritis. Aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Hakikat Berpikir Berpikir merupakan hal yang tidak bisa kita hindari dan terus terjadi dalam diri manusia selama manusia itu bernyawa. Berpikir merupakan kegiatan mental ( Akhadiah, dkk. (1994: 41). Manusia dikatakan sebagai mahluk paling sempurna karena memiliki akal dan pikiran yang membuatnya berbeda dengan mahluk lainnya. Banyak ahli pendidikan yang telah mencoba memberikan batasan terhadap pengertian berpikir. Ruggiero (Nurohman, 2008: 125) menyebutkan “Thinking is any mental activity that helps formulate or solve problem, make decision, or fulfill a desire to understand. It is a seacrhing for answers, a reaching for meaning”. Berpikir merupakan aktivitas mental untuk mencari jawaban, menjadikan jawaban tersebut menjadi lebih bermakna. Sementara menurut Wegerif (Nurohman, 2008: 125) meneyebutkan ,“Thinking skills are used to indicate a desire to tech processes of thinking and learning that can be applied in wide range of real-life”. Berpikir dalam pandangan Wegerif merupakan upaya dunia pendidikan dalam rangka membantu mengantarkan peserta didik masuk ke dunia nyata. Berpikir diakui oleh beberapa ahli sebagai aktivitas olah nalar, kita juga harus mengakui bahwa salah satu bentuk atau keterampilan berpikir yang sangat membantu
23
dalam memecahkan masalah kehidupan adalah berpikir kritis. Berpikir kritis bukan suatu hal ada atau muncul dengan sendirinya melainkan kita peroleh melalui belajar. Senada dengan Fios (2013: 87) menyatakan berpikir kritis tidak berurusan dengan penguasaan pengetahuan yang bersifat kuantitatif, tetapi suatu keterampilan atau seni yang diperoleh dengan belajar atau latihan secara tekun, teliti, dan cermat. Berpikir kritis berarti berpikir tentang isi dari sesuatu sampai sedalam-dalamnya, bukan soal berpikir secara meluas dan umum. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa berpikir merupakan aktivitas olah nalar manusia yang erat kaitannya dengan logika untuk mencari jawaban yang lebih benar, logis (masuk akal), dan bermakna. b. Pengertian Kemampuan Berpikir Kritis Benjamin Bloom dalam Easterbrooks and Nanci A. Scheetz (2004: 256), “is credited with initiating the critical thinking movement with his classification of learning behaviors
in the cognitive domain”. Berdasarkan pendapat Benjamin
Bloom berpikir kritis termasuk dalam domain kognitif. Berpikir dan pembelajaran adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Senada dengan Perkins dalam Eggen dan Kauchak (2012: 110) pembelajaran adalah dampak dari berpikir. Siswa yang rajin belajar maka keterampilan berpikir mereka akan terus berkembang. Semua keterampilan yang berkaitan dengan salah satu bagian otak, semakin sering kita gunakan maka akan lebih mudah menempatkan keahlian untuk menguji kemampuan berpikir kritis. Beberapa ahli kognitif, psikologi, dan ahli filsafat mencoba memberi batasan pengertian kemampuan berpikir kritis, diantaranya: (1) kemampuan untuk menganalisa fakta, mengorganisasi ide-ide, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, membuat suatu kesimpulan, mempertimbangkan argumen, dan memecahkan masalah (Pernes dalam Sudiarta, 2005: 534); (2) salah satu logika yang mencerminkan kepercayaan seseorang dan keteguhan hati seseorang (Vehar, Firestien & Miller dalam Sudiarta, 2005: 534); (3) cara berpikir kritis meliputi pemikiran analitis dengan tujuan untuk mengevaluasi apa yang telah dibaca (Beaton, A.E.et al dalam Sudiarta, 2005: 534); (4) Proses intelektual aktif yang disiplin
24
dalam mengkonptualisasi, mengaplikasikan, menganalisis, menguraikan, dan atau mengevaluasi informasi yang didapat dari observasi, pengalaman, refleksi, logika, atau komunikasi ( Fuson, K.,& Briars, D. dalam Sudiarta, 2005: 534). Menurut
Kuswana (2011: 19) berpikir kritis merupakan analisis situasi
masalah melalui evaluasi potensi, pemecahan masalah, dan sintesis informasi untuk menentukan keputusan. Eggen dan Kauchak (2012: 115) memaknai kemampuan berpikir kritis sebagai kemampuan dan kecenderungan seseorang untuk membuat dan melakukan asesmen terhadap kesimpulan berdasarkan bukti. Akan tetapi, membuat dan melakukan asesmen terhadap suatu kesimpulan berdasarkan bukti tidaklah mudah. Menurut Eggen dan Kauchak (2012: 115) proses tindak lanjut dari kemampuan berpikir kritis dalam melibatkan penggunaan bukti meliputi: (1) mengidentifikasi asumsi-asumsi tersirat, (2) mengenali generalisasi berlebihan dan kurangnya generalisasi, (3) mengidentifikasi informasi yang relevan dan tidak relevan, dan (4) mengidentifikasi bias, stereotipe, klise, dan propaganda. Berpikir kritis disebut juga sebagai ‘berpikir reflektif’. Pendapat ini disampaikan oleh John Dewey yang dikenal secara luas sebagai ‘bapak’ tradisi berpikir kritis modern. John Dewey dalam Fisher (2009: 2) mendefinisikan berpikir kritis merupakan pertimbangan yang aktif, persistent (terus-menerus), dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang menjadi kecenderungannya. Penjelasan John Dewey menekankan berpikir kritis kaitannya dalam mengambil suatu kesimpulan atau keputusan lanjutan adalah sebuah proses aktif dan sebagai proses yang persistent (terus-menerus) dan teliti. Proses aktif disini adalah memikirkan pelbagai hal secara mendalam, mengajukan pelbagai pertanyaan, dan menemukan informasi yang relevan, ketimbang menerima pelbagai hal dari orang lain dengan pasif. Proses yang persistent (terusmenerus) dan teliti adalah proses tidak terburu-buru dalam membuat suatu
25
kesimpulan artinya berpikir sejenak untuk menemukan alasan-alasan yang mendukung suatu keyakinannya terhadap sesuatu dan implikasi dari keyakinannya. Banyak para ahli yang mencoba membatasi pengertian berpikir kritis, namun tidak ada batasan yang jelas mengenai definisi berpikir kritis itu sendiri. Sejalan dengan Riddell (2007: 122) “the literature contains many definitions for critical thinking as well as supposed synonyms, such as critical decision making, critical analysis, critical awarness, critical reflection, and clinical reasoning. Dengan demikian, berdasarkan pendapat Riddell, kita bisa memahami bahwa banyak literatur yang menjelaskan definisi tentang berpikir kritis. Namun,
berpikir kritis lebih
menekankan pada penjelasan bukan definisi. Selaras dengan Riddell (2007: 122) “critical thinking requires an explanation rather than a definition”. Berbeda dengan pendapat Edward Glaser, salah seorang dari penulis WatsonGlaser Critical Thinking Appraisal (uji kemampuan berpikir kritis yang paling banyak digunakan di seluruh dunia). Edward Gleser dalam Fisher (2009: 7) mendaftarkan kemampuan yang berkaitan dengan kemampuan berpikir kritis, yaitu: (1) Mampu mengenali masalah; (2) mampu menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah-masalah itu; (3) mampu mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan; (4) mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan; (5) memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas, dan khas; (6) menganalisis data; (7) mampu menilai fakta dan mengevaluasi pernyataan-pernyataan; (8) mengenal hubungan yang logis dan antara masalah-masalah; (9) menarik kesimpulan-kesimpulan dan kesamaan-kesamaan yang diperlukan; (10) mampu menguji kesamaan-kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil; (11) mampu menyusun kembali pola-pola keyakinan yang seseorang berdasarkan pengalaman yang lebih luas; dan (12) mampu membuat penilaian yang tepat tentang hal-hal dan kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Selain mendaftrakan kemampuan-kemampuan yang berkaitan dengan kemampuan berpikir kritis Glaser sangat dipengaruhi oleh Dewey, yang melihat berpikir kritis sebagai model ‘berpikir reflektif’ yang berkaitan dengan beberapa
26
keterampilan berpikir kritis. Menurut Glaser dalam Fisher (2009: 8) menyebutkan beberapa keterampilan berpikir kritis yang sangat penting, khususnya bagaimana: (1)Mengidentifikasi elemen-elemen dalam kasus yang dipikirkan, khususnya alasan-alasan dan kesimpulan-kesimpulan, (2) mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi-asumsi, (3) mengklarifikasi dan menginterpretasi pernyataan-pernyataan dan gagasan-gagasan, (4) menilai akseptabilitas, khususnya kredibilitas, dan klaim-klaim, (5) mengevaluasi argument-argumen yang beragam jenisnya, (6) menganalisis, mengevaluasi, dan menghasilkan penjelasan-penjelasan, (7) menganalisis, mengevaluasi, dan membuat keputusan-keputusan, (8) menarik inferensi-inferensi, dan (9) menghasilkan argumen-argumen. Selanjutnya Ennis dalam Kuswana (2011: 21) berpendapat bahwa berpikir kritis pada dasarnya bergantung pada dua disposisi, yaitu 1) perhatian untuk “bisa melakukannya dengan benar” seberapa jauh dan kepedulian untuk menyajikan posisi jujur dan kejelasan; 2) bergantung pada proses evaluasi (menerapkan kriteria untuk menilai kemungkinan jawaban), baik secara proses implisit maupun eksplisit. Menurut Fios (2013: 89) berpikir kritis bukan berarti kita berpikir tanpa menghiraukan aturan dan hukum berpikir yang benar. Berpikir kritis itu lebih merupakan suatu aktivitas nalar atau budi yang dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan rasional. Satu pengertian kemampuan berpikir yang layak ditinjau menurut Michael Scriven dalam Fisher (2009: 8) yang berargumentasi bahwa berpikir kritis merupakan ‘kompetensi akademis yang mirip dengan membaca dan menulis’ dan hampir sama pentingnya. Oleh karena itu, ia mendefinisikan kemampuan berpikir kritis sebagai interpretasi dan evaluasi yang terampil dan aktif terhadap observasi dan komunikasi, informasi, dan argumentasi. c. Ciri-ciri Kemampuan Berpikir Kritis Menurut Eggen dan Kauchak (2012: 114) pembelajaran yang mendukung berpikir kritis memiliki tiga ciri penting, pertama berpikir kritis menuntut seseorang untuk
memberikan
bukti
bagi
kesimpulan,
kedua
selama
kegiatannya
menggambarkan kesalingketergantungan antara berpikir dan belajar. Ketiga
27
menekankan berpikir nyaris tidak membutuhkan persiapan atau upaya ekstra. Maksudnya, berpikir kritis tidak memerlukan usaha yang berat tetapi cukup melihat peluang yang ada dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada siswa. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada siswa secara langsung melatih siswa berpikir kritis. Dikatakan kritis karena seseorang harus menggunakan landasan atau dasar yang teratur dalam berpikir menurut hukum, pola, alur, dan standar berpikir yang jelas, tegas, dan logis serta membuat dan melakukan asesmen terhadap kesimpulan berdasarkan bukti yang sangat kompleks. Menurut Eggen dan Kauchak (2012: 115) proses tingkat lanjut berpikir kritis yang melibatkan penggunaan bukti, yaitu mengidentifikasi asumsi-asumsi tersirat, mengenali generalisasi berlebihan dan kurangnya generalisasi, mengidentifikasi informasi yang relevan dan tidak relevan, dan mengidentifikasi bias, stereotip, klise, dan propaganda. Beberapa sikap dan kecenderungan yang terkait dengan berpikir kritis menurut Eggen dan Kauchak (2012: 119), yaitu: (1) hasrat untuk mendapatkan informasi dan mencari bukti, (2) sikap berpikiran terbuka dan skeptisisme sehat, (3) kecenderungan untuk menunda penghakiman, (4) rasa hormat terhadap pendapat orang lain, dan (5) toleransi bagi ambiguitas. Sikap dan kecenderungan ini bisa terlihat jelas saat proses pembelajaran berlangsung, sehingga guru bisa melatih siswa untuk mengembangkan sikap dan kecenderungan berpikir kritis. Menurut Riddell (2007: 122) kemampuan berpikir kritis dapat digambarkan dengan beberapa sikap, yaitu: (1) reflection atau refleksi; (2) identification and appraisal of assumptions; (3) inquiry, interpretation and analysis and reasoning and judgment; (4) consideration of context atau sesuai konteks. Kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan untuk mengatasi semua masalah, begitu juga dalah hal mata pelajaran baik itu ilmu alam maupun ilmu sosial sama-sama membutuhkan kemampuan berpikir kritis. Seperti halnya dengan mata pelajaran matematika, menurut Sudiarta (2005: 539) proses pemecahan masalah
28
matematika open-ended peserta didik dapat dikembangkan melalui kompetensi berpikir kritis berikut ini. Tabel 1. Kompetensi dan Indikator Berpikir Kritis Pemecahan Masalah Matematika Open-Ended.
No 1
Kompetensi Berpikir Kritis Indikator Investigasi konteks dan spektrum Menghasilkan berbagai pengandaian, masalah permisalan, katagori, dan persepsi untuk memperluas/mempersempit spektrum 2 Merumuskan masalah matematika Merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang memberi arah pemecahan untuk mengkonstruksi berbagai kemungkinan jawabannya. 3 Mengembangkan konsep jawaban Menyusun berbagai konsep jawaban, dan argumentasi yang reasonable merumuskan argumen-argumen yang masuk akal, menunjukkan perbedaan dan persamaannya 4 Melakukan deduksi dan induksi Mendeduksi secara logis, memberikan asumsi logis membuat proposisi, hipotesis, melakukan investigasi/pengumpulan data, membuat generalisasi dari data, membuat tabel dan grafik, melakukan interpretasi terhadap pernyataan 5 Melakukan evaluasi Melakukan refleksi dan interpretasi kembali terhadap hasil dan proses pemecahan masalah yang telah dilakukan untuk melihat sekali lagi lebih dalam, dan menemukan kemungkinan ide dan perspektif penyelesaian alternatif. (Sumber : Sudiarta, 2005: 539) Berdasarkan pendapat Sudiarta (2005: 539) kemampuan berpikir kritis ditandai dengan beberapa kompetensi di atas menjadi acuan pengembangan indikator instrumen tes kemampuan berpikir kritis antara lain: (a) mendeduksi secara logis, yaitu menarik simpulan dengan cara analogi, (b) memberikan asumsi logis membuat
29
proposisi, yaitu menarik hubungan yang logis antara masalah-masalah, (c) membuat hipotesis, yaitu menarik simpulan dengan silogisme hipotesis dan golongan, (d) melakukan investigasi/pengumpulan data, yaitu mengidentifikasi pernyataan tersirat, (e) membuat generalisasi dari data, yaitu menarik kesimpulan dan kesamaan berdasarkan generalisasi yang tepat, (f) melakukan interpretasi terhadap pernyataan, melakukan refleksi dan interpretasi kembali terhadap hasil dan proses pemecahan masalah yang telah dilakukan untuk melihat sekali lagi atau menilai fakta dan mengevaluasi pernyataan. Fios (2013:89) menambahkan berpikir kritis memiliki beberapa standar, yaitu kejelasan atau klarifikasi (ukuran berpikir kritis terletak pada pemikiran, katakata, bahasa, dan maksud atau tujuan yang jelas), akurat atau akurasi (sesuai dengan fakta, data, dan kebenaran yang ada), relevan (memiliki hubungan yang jelas dengan fakta atau kenyataan), konsisten (berpikir berdasarkan asas-asas kebenaran logis yang fundamental), logis (dapat menerima argumentasi jika dianggap benar secara rasional-logis), lengkap (berpikir secara utuh, menyeluruh, tidak terpisah, tidak terbagi-bagi, tidak setengah-setengah, berhubungan, dan berkesinambungan). d. Manfaat dan Standar Kemampuan Berpikir Kritis Secara umum berpikir kritis memiliki banyak manfaat praktis bagi kehidupan manusia diantaranya untuk memecahkan masalah dan memahami masalah secara mendalam. Manusia tidak lepas dari apa yang disebut masalah baik yang sederhana dan masalaha yang rumit. Selain manfaat umum, berpikir kritis juga memiliki manfaat khusus yang paling penting bagi seseorang agar mampu berpikir kritis/otonom dan kreatif dalam menjalankan suatu pekerjaan atau profesi serta aktif di lingkungan sosial masyarakat. Berpikir kritis bukan berarti berpikir tanpa menghiraukan aturan dan hukum berpikir yang benar. Berpikir kritis itu lebih merupakan suatu aktivitas nalar atau budi yang dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan rasional (Fios, 2013: 89). Kemampuan berpikir kritis memiliki pengandaian pola berpikir yang tidak bebas aturan, artinya kemampuan berpikir kritis seharusnya memiliki standar tertentu.
30
Menurut Fios (2013: 89) kemampuan berpikir kritis memiliki standar yang dapat diteropong dari perspektif. Namun, dari perspektif logika berpikir kritis memiliki beberapa standar, yaitu: (1) kejelasan/klarifikasi, (2) akurat/akurasi, (3) relevan, (4) konsisten, (5) logis, dan (6) lengkap. Richard Paul dalam Sudiarta (2005: 535) mengingatkan cara berpikir kritis adalah suatu proses berpikir yang menuju ke suatu standar tertentu. Hanya terlibat dalam proses berpikir kritis tidaklah cukup, cara berpikir kritis harus dilakukan dengan baik dan memberikan pengaruh. Berpikir kritis memiliki kontribusi besar bagi dunia pendidikan. Hickey and Mertes dalam Sudiarta (2005: 535) telah membuktikan bagaimana cara berpikir bisa diajarkan dalam beberapa skill dan mata pelajaran yang berbeda, seperti dalam membaca, dalam pelajaran sastra, ilmu-ilmu sosial, matematika, dan ilmu alam. Berkaitan dengan teori-teori yang telah diuraikan di atas, terdapat penelitian yang relevan dengan kemampuan berpikir kritis, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Susan R. Easterbrooks dan Nanci A. Scheetz tahun 2004. Penelitian ini mengkaji bahwa siswa penderita tuna rungu harus belajar bagaimana berpikir kritis. Pendidikan karakter merujuk pada usaha pengajaran nilai-nilai dan moral berpikir. Pendidikan karakter dan nilai merupakan subjek utama yang mengembangkan berpikir kritis. Selanjutnya, menurut penelitian Riddell (2007: 125) berpikir kritis di dalam pendidikan perawat dapat meningkatkan kompetensi ilmu pengobatan. Simpulan dari penelitian yang dilakukan Riddell adalah pengetahuan dan pengalaman berpengaruh pada kemampuan berpikir kritis yang kemudian berpengaruh pada pengambilan keputusan dalam ilmu pengobatan (clinical). Bertolak dari pendapat beberapa ahli dan penelitian dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan dan kecenderungan yang dimiliki seseorang untuk membuat dan melakukan asasmen terhadap kesimpulan berdasarkan bukti dan fakta dengan menempuh proses menalar yang valid dan logis dalam mengenali hal-hal yang terkait sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan yang tepat dan bijaksana. Kemampuan berpikir kritis bisa dilihat dari dua
31
aspek, yaitu proses aktif menalar yang valid dan logis dan proses persistent (terus menerus) dan teliti mengenali hal-hal terkait dalam mengambil keputusan atau kesimpulan dan ditandai dengan beberapa indikator sebagai berikut: (1) menarik kesimpulan dengan cara analogi; (2) menarik kesimpulan dengan silogisme hipotesis; (3) menarik hubungan yang logis antara masalah-masalah; (4) mengidentifikasi pernyataan tersirat; (5) menghindari salah nalar karena analogi yang pincang/tidak tepat; (6) menghindari salah nalar karena salah hubungan kausal (sebab akibat); (7) menarik kesimpulan dan kesamaan berdasarkan generalisasi yang tepat; (8) menggunakan bahasa yang tepat, jelas, dan khas; (9) menilai fakta dan mengevaluasi pernyataan; dan (10) menarik kesimpulan berdasarkan bukti dan informasi yang relevan. 3. Motivasi Membaca Pada motivasi membaca akan dijelaskan mengenai pengertian motivasi, jenis-jenis motivasi, pengertian membaca, dan pengertian motivasi membaca. Penjelasan bagianbagian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Pengertian Motivasi Berawal dari kata motive, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah aktif pada saat-saat tertentu. Menurut Edwards dalam Kamarrudin, Abiddin, dan Idris (2014: 26), “motivation is defined as a collection of option desire, determination, and behavior of feelings, the behavior intented to achieve a set goal”. Motivasi didefinisikan sebagai kumpulan keinginan tertentu dan rasa dari tindakan untuk mencapai sebuah tujuan. Motif dan motivasi memiliki hubungan yang erat dengan penghayatan suatu kebutuhan, dorongan untuk memenuhi kebutuhan dan pencapaian tujuan tertentu. Motif diartikan sebagai daya penggerak dari dalam diri seseorang untuk melakukan kegiatan tertentu untuk mencapai sebuah tujuan, sedang motivasi diartikan sebagai penggerak yang telah menjadi aktif. Uno (2014: 10) menyimpulkan bahwa motivasi adalah dorongan internal dan ekternal dalam diri seseorang untuk mengadakan berubahan tingkah laku, yang mempunyai indikator sebagai berikut: (1) adanya hasrat dan kegiatan untuk
32
melakukan kegiatan, (2) adanya dorongan dan kebutuhan melakukan kegiatan, (3) adanya harapan dan cita-cita, (4) penghargaan dan penghormatan atas diri, (5) adanya lingkungan yang baik, dan (6) adanya kegiatan yang menarik. Lebih lanjut, Uno (2014: 9) juga menyatakan bahwa motivasi terdiri dari dua jenis yaitu, motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik berisi: (1) penyesuaian tugas dengan minat, (2) perencanaan yang penuh variasi, (3) umpan balik atas respon siswa, (4) kesempatan respons peserta didik yang aktif, dan (5) kesempatan peserta didik untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya. Sementara itu, motivasi ekstrinsik berisi: (1) penyesuaian tugas dengan minat, (2) perencanaan yang penuh variasi, (3) respons siswa, (4) kesempatan peserta didik yang aktif, (5) kesempatan peserta didik untuk menyesuaikan tugas pekerjannya, dan (6) adanya kegiatan yang menarik dalam belajar. Sementara itu, Brouwer (2012: 191) menjelaskan bahwa: “Extrinsic motivation occurs when an individual engages in an activity for external reasons (e.g. rewards, ego), or for reasons other than inherent interest”. Motivasi ekstrinsik terjadi ketika seorang individu terlibat dalam suatu kegiatan untuk alasan eksternal (misalnya: imbalan, kepuasan diri) atau untuk alasan lain selain kepentingan yang biasanya. Hamalik dalam Budiastuti, dkk. (2014: 576) menyatakan bahwa motivasi merupakan perubahan energi dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Brouwer (2012: 190) berpendapat bahwa “ motivation as the process whereby goal-directed activity is instigated and sustained” motivasi adalah proses dimana kegiatan diarahkan pada tujuan yang mendorong dan berkelanjutan. Sementara itu, Widiani, dkk. (2014: 5) juga berpendapat tentang motivasi, bahwa setiap orang mempunyai motivasi yang berbeda dalam banyak hal dan insentif yang diterima ditentukan oleh lingkungan sosialnya karena motivasi merupakan harapan seseorang mengenai hal tertentu melalui belajar. Selanjutnya, Crowl (1997: 10) menyebutkan “motivation is an internal state that activates and gives direction to our thoughts, feelings, and actions”. Motivasi
33
adalah keadaan internal yang mengaktifkan dan memberi arah kepada pikiran, perasaan, dan tindakan. Karakteristik yang paling menonjol dari motivasi adalah ketekunan dan perilaku terfokus. Orang yang termotivasi akan terlibat dalam perilaku yang diarahkan pada tujuan dan bertahan sampai mereka telah mencapai tujuan. Senada dengan Thomas K. Crowl, Sardiman dalam Hartono, dkk. (2014: 467) mengemukakan bahwa motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Pendapat tersebut mengandung tiga hal penting, yaitu: 1) motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu manusia, 2) motivasi ditandai dengan munculnya rasa/feeling, afeksi seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa, motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan, afeksi, dan emosi yang dapat menentukan tingkah laku manusia, dan 3) motivasi merupakan respons dari suatu aksi, yakni tujuan. Pendapat lain disampaikan Purwanto dalam Wulandari, dkk. (2012: 79) bahwa motivasi adalah suatu usaha yang disadari untuk menggerakkan, mengarahkan, dan menjaga tingkah laku seseorang agar ia terdorong untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu. Motivasi juga mempunyai arti suatu kondisi yang menyebabkan atau menumbuhkan perilaku tertentu yang akan memberi arah dan ketahanan pada tingkah laku tersebut (Suciati dalam Wulandari, dkk., 2012: 79). Motivasi adalah suatu pernyataan yang kompleks di dalam suatu organisme yang mengarahkan tingkah laku terhadap suatu tujuan atau perangsang. Seseorang yang ingin mencapai tujuan tertentu secara maksimal maka dia akan berusaha semampu mungkin agar dapat mencapai tujuan tersebut (Soemarsono, 2007: 13). Motivasi tumbuh dari dalam diri seseorang tetapi dapat juga dirangsang oleh faktor dari luar diri individu, senada dengan pendapat Sardiman dalam Soemarsono (2007: 12)
motivasi merupakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-
kondisi tersebut, sehingga seseorang itu mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka itu.
34
Menurut Donald dalam Syafi’ie (2014: 27) motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap tujuan. Ada tiga hal penting terkait motivasi berdasarkan pengertian di atas, yaitu: (1) motivasi itu mengawali terjadinya energi pada setiap individu manusia; (2) motivasi tersebut ditandai dengan munculnya rasa “feeling” atau afeksi seseorang; (3) motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Motivasi merujuk pada apa yang peserta didik inginkan, pilihan kegiatan yang dilakukan, dan komitmen yang diambil dalam hubungannya dengan pembelajaran (Yaumi, 2013: 217). Sedangkan menurut Schunk (2012: 80) motivasi didefinisikan sebagai proses di mana aktivitas-aktivitas yang berorientasi target dibuat terjadi dan dipertahankan kelangsungan. Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas dapat disintesiskan motivasi adalah perubahan energi dan sikap yang ditandai dengan feeling yang mampu menggerakkan, mengarahkan, dan menjaga tingkah laku seseorang agar ia terdorong untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu. b. Jenis-jenis Motivasi Menurut Sardiman dalam Soemarsono (2007: 14) macam ataupun jenis motivasi dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Motivasi dilihat dari dasar pembentukannya, yaitu: (a) Motif-motif bawaan adalah motif yang dibawa sejak lahir, jadi motivasi itu ada tanpa dipelajari; (b) Motif-motif yang dipelajari, yaitu motif-motif yang timbul karena dipelajari dan seringkali disyaratkan secara sosial. Di samping itu, menurut Frandsen dalam Soemarsono (2007: 14) menambahkan jenis-jenis motivasi, yaitu: (a) cognitive motive, yaitu motif yang menunjuk pada gejala instrinsik atau menyangkut kepuasan individual. Jenis motif ini sangat primer dalam kegiatan belajar di sekolah terutama dengan pengembangan intelektual; (b) self-expression, yaitu motif yang berkaitan dengan penampilan diri atau sebagian dari perilaku manusia; (c) self-enchancement, yaitu motif untuk aktualisasi diri dan pengembangan potensi akan meningkatkan kemajuan diri seseorang.
35
Selanjutnya, pembagian macam-macam motivasi menurut Woodworth dan Marquis dalam Soemarsono (2007: 15), yaitu: (a) motivasi kebutuhan organis, meliputi: kebutuhan untuk minum, makan, bernafas, seksual, berbuat dan kebutuhan untuk istirahat; (b) motivasi darurat, meliputi: dorongan untuk menyelamatkan diri, dorongan untuk membalas, untuk berusaha, untuk memburu.; (c) motivasi obyektif, merupakan motivasi yang muncul karena dorongan untuk menghadapi dunia luar secara efektif. Dalam hal ini menyangkut kebutuhan untuk melakukan eksplorasi, melakukan manipulasi, untuk menaruh minat. Menurut Soemarsono (2007: 16 -19) membedakan motivasi menjadi dua, yaitu motivasi instrinsik dan ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena di dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Berikut ini adalah bentuk motivasi ekstrinsik meliputi: belajar demi memenuhi kewajiban, belajar demi menghindari hukuman yang diancamkan, belajar demi memperoleh hadiah material yang dijanjikan, belajar demi meningkatkan gengsi sosial, belajar demi memperoleh pujian dari orang yang penting misalnya orang tua dan guru, dan belajar demi tuntutan jabatan yang ingin dipegang atau demi memenuhi persyaratan kenaikan jenjang golongan administratif. Motivasi sangat diperlukan di dalam melakukan kegiatan sehari-hari, demikian juga dalam hal belajar. Sehubungan dengan hal tersebut menurut Soemarsono (2007: 20) ada tiga fungsi motivasi, yaitu: (1) mendorog manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi, (2) menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai, dan (3) menyelesaikan perbuata, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang sesuai guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Selanjutnya, menurut Hamalik dalam Budiastuti dkk. (2014: 576 – 577), motivasi instrinsik ialah motivasi yang hidup dalam diri siswa yang berguna dalam situasi belajar yang fungsional. Adapun motivasi ekstrinsik ialah
36
motivasi yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar situasi belajar, seperti angka kredit, ijazah, tingkatan hadiah, medali pertentangan, dan persaingan yang bersifat negatif adalah sarcasm, ridicule, dan hukuman. Uno
juga menyatakan bahwa
motivasi instrinsik lebih kuat dari motivasi ekstrinsik. Oleh karena itu, pendidikan harus berusaha menimbulkan motif instrinsik (dalam Budiastuti dkk, 2014: 577). Bertolak dari pendapat ahli di atas dapat disintesiskan bahwa ada banyak macam motivasi dan terbagi atas dasar pembentukkannya, misalnya motivasi intrinsik dan ekstrinsik, motivasi bawaan dan motivasi yang dipelajari, dan lainnya. c. Pengertian Membaca Menurut Haryadi (2006: 75), membaca merupakan kemampuan yang kompleks. Membaca bukanlah kegiatan memandangi lambang-lambang tertulis semata-mata. Bermacam-macam kemampuan dikerahkan seorang pembaca agar dia mampu memahami materi yang dibacanya. Banyak sekali bahan bacaan yang bisa kita baca sebagai sumber ilmu pengetahuan dan wawasan. Orang yang membiasakan diri untuk membaca maka wawasannya akan luas. Menurut Tarigan (2008: 7), membaca adalah suatu proses yang dilakukaan serta dipergunakan pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata/bahasa tulis. Sementara Finochiaro dan Bonomo dalam Tarigan (2008: 9) menyatakan, "reading is bringing meaning to and getting meaning from printed or written material”, memetik serta memahami arti atau makna yang terkandung di dalam bahan tertulis. Kegiatan membaca sebagai salah satu kegiatan menyimak, tidak lain adalah juga merupakan kegiatan komunikasi, karena membaca tidak lain adalah menerima pesan dari buku-buku (Sujanto,1988: 5). d. Pengertian Motivasi Membaca Motivasi membaca bisa dikategorikan ke dalam kategori motif SelfEnchancement dan Cognitive Motive. Kegiatan membaca termasuk Cognitive Motive karena bisa menjadi tujuan untuk mencapai sebuah prestasi tertentu. Sedangkan kegiatan membaca termasuk motif Self-Enchancement karena membaca bisa dijadikan salah satu bentuk aktualisasi diri dan pengembangan potensi akan
37
meningkatkan kemajuan diri seseorang. Semakin banyak membaca diharapkan semakin banyak ilmu yang diperoleh dan semakin luas wawasannya. Menurut Gambrell, et al. (1996: 519), “reading motivation is defined by an individual’s selfconcept and the value the individual place on reading”. Jadi menurut Gambrell, et al motivasi membaca adalah konsep diri individu dan nilai tempat membaca berdasarkan tempat membacanya. Dengan demikian, ada dua dimensi dari motivasi membaca, yaitu konsep diri sebagai pembaca dan nilai dari membaca. Menurut Gambrell, et al. (1996: 522) dalam artikel jurnal penelitiannya yang mengukur motivasi membaca dapat diukur melalui dua dimensi spesifik. “The survey assesses two specific dimensions of reading motivations selfconcept as a reader an value of reading;the interview provides information about the individual nature of students reading motivation, such as what book and stories are most interesting, favorite authors, and where an how children locate reading materials that interst them most”. Berdasarkan pernyataan Gambrell, et al. (1996: 522) di atas dapat diartikan bahwa penelitian survei dari motivasi membaca dapat diukur melalui dua dimensi spesifik, yaitu konsep diri sebagai pembaca dan nilai dari membaca; wawancara menyediakan tentang informasi individu siswa secara alami tentang motivasi membaca seperti buku dan cerita yang paling menarik, penulis favorit, dan di mana dan bagaimana lokasi, materi membaca yang paling menarik menurut mereka. Menulis tanpa membaca tidak akan berhasil, karena aktivitas membaca dengan menulis tidak dapat dipisahkan. Dorongan seseorang bisa berasal dari dalam diri seseorang, dari lingkungan, atau orang lain. Bahkan membaca sudah menjadi salah satu bentuk kebiasaan atau tindakan yang berulang-ulang karena rasa yang timbul dari diri seseorang sehingga menjadi suatu hobi. Berkaitan dengan teori-teori yang telah diuraikan di atas, terdapat penelitian yang relevan dengan motivasi membaca, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Gambrell, et al tahun 1996, di mana penelitian ini menelaah bagaimana mengukur atau menaksir motivasi membaca anak melalui profil diri anak. Instrumen penelitian yang digunakan dalam survei motivasi membaca diukur melalui dua dimensi yang
38
spesifik, yaitu konsep diri sebagai pembaca dan nilai dari membaca. Instrumen yang digunakan untuk mengukur motivasi membaca terdiri dari 20 item (10 item untuk dimensi konsep diri sebagai pembaca dan 10 item untuk dimensi nilai dari membaca) dengan menggunakan empat respon/pilihan. Adapun penelitian Gambrell tahun 1996 (dalam Edmunds & Bauserman, 2006: 414) melaporkan hasil penelitian survei nasional yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Nasional menunjukkan bahwa motivasi membaca merupakan topik yang ingin dilihat guru melalui investigasi. Ada 84 topik membaca yang termasuk dalam survei dan guru mengidentifikasi hal yang menarik dari perkembangan membaca sebagai topik utama dalam penelitian. Selanjutnya, penelitian Edmunds & Bauserman (2006: 414) menemukan bahwa motivasi berperan utama dalam perkembangan membaca sejalan dengan hasil The Annual Summary of Investigations Related to Reading (International Reading Association). Selain itu, ada dugaan bahwa guru harus menyediakan kesempatan bagi teman sejawat untuk saling bertukar apa yang mereka baca satu dengan yang lain. Bertolak pada pengertian motivasi dan membaca dapat disimpulkan bahwa pengertian motivasi membaca adalah keinginan atau dorongan individu untuk melakukan kegiatan atau aktivitas membaca secara berkesinambungan untuk mencapai sebuah tujuan tertentu. Motivasi membaca dapat diukur dengan beberapa indikator, yaitu: (1) adanya rasa ‘feeling’ senang membaca, (2) memiliki tujuan yang pasti berkaitan dengan kegiatan membaca, (3) jenis buku atau bacaan yang dianggap menarik, (4) penulis favorit, (5) tempat dan bagaimana lokasi membaca, (6) frekuensi membaca, (7) kondisi fasilitas dan materi membaca, (8) waktu membaca. Indikator motivasi membaca diadaptasi dari pendapat Gambrell , et al. (1996, 520-524).
B. Kerangka Berpikir Berdasarkan kajian beberapa teori atau konsep yang relevan dengan variabel penelitian (kemampuan berpikir kritis dan motivasi membaca sebagai variabel bebas) dan keterampilan menulis laporan observasi sebagai variabel terikat, dapat disusun kerangka berpikir penelitian ini sebagai berikut.
39
1. Hubungan Kemampuan Berpikir Kritis dengan Keterampilan Menulis Laporan Observasi Sebagai bagian dari kegiatan berbahasa, menulis berkaitan erat dengan aktivitas berpikir. Keduanya saling melengkapi, keduanya merupakan kegiatan yang dilakukan secara bersama dan berulang-ulang. Tulisan merupakan wadah dan sekaligus
hasil
pemikiran.
Melalui
kegiatan
menulis,
penulis
dapat
mengkomunikasikan pikirannya. Kaitannya dengan menulis laporan obervasi, kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan. Dengan berpikir kritis seseorang akan menuliskan sebuah laporan yang bisa dipertanggungjawabkan isinya, karena seseorang yang berpikir kritis dia akan melaporkan segala sesuatu berdasarkan data dilapangan apa adanya dan disertai bukti atau fakta yang relevan diproses secara logis, tepat, mendalam, dan bijaksana. Laporan merupakan suatu keterangan mengenai suatu peristiwa atau perihal menggambarkan informasi yang ditulis berdasarkan berbagai data, fakta, dan keterangan yang melingkupi peristiwa atau perihal tersebut. Pemerolehan data untuk mengambil keputusan atau simpulan berdasarkan fakta dan bukti memerlukan pemikiran yang mendalam, relevan, perlu mengidentifikasi asumsi-asumsi tersirat, mengenali kurang lebihnya generalisasi dan sikap jujur. Kemampuan
berpikir
kritis
turut
berperan
dalam
mengembangkan
keterampilan menulis laporan observasi. Dengan pemahaman dan pengamatan berdasarkan apa yang dilihat melatih berpikir sedetail mungkin dari adanya kemungkinan-kemungkinan atau ide-ide yang masuk akal untuk kemudian diambil sebuah keputusan. Berpikir kritis lebih tertuju pada pengembangan kemampuan dan kecenderungan untuk membuat asesmen terhadap kesimpulan berdasarkan bukti. Kemampuan mengemukakan pikiran dalam bentuk tulisan yang baik dan sesuai dengan bukti dan fakta yang relevan merupakan hal yang tidak mudah karena melibatkan berbagai kemampuan lain yang harus dikuasai dan menuntut seseorang berpikir kritis. Menulis laporan observasi memerlukan kemampuan berpikir kritis yang tinggi. Dengan kata lain, seorang yang memiliki keterampilan menulis tentunya
40
didukung oleh kemampuannya dalam berpikir kritis sebab menulis tidak bisa lepas dari kemampuan dan kecenderungan untuk membuat, menghasilkan, dan melakukan asasmen berdasarkan bukti. Sebagai contoh, seseorang tidak pasti memiliki bukti bagi sebuah konklusi jika kesimpulan itu didasarkan pada asumsi tersirat. Selanjutnya, generalisasi berlebihan berarti bahwa seseorang tidak memiliki bukti untuk mendukung satu generalisasi luas yang telah dibuat seseorang. Berdasarkan paparan di atas, ada dugaan terdapat hubungan positif antara kemamapuan berpikir kritis dan ketereampilan menulis laporan observasi. 2. Hubungan Motivasi Membaca dengan Keterampilan Menulis Laporan Observasi Untuk menulis laporan observasi yang baik, menuntut seseorang berpikir kritis karena sebuah laporan bersifat universal dan ditulis berdasarkan bukti dan fakta yang relevan. Untuk memenuhi kedua sifat tersebut maka memerlukan wawasan dan pengetahuan yang luas. Wawasan dan pengetahuan yang luas dapat diperoleh dengan pengalaman dan membiasakan diri untuk banyak membaca. Salah satunya adalah membiasakan diri dengan kegiatan membaca. Seseorang yang merasa haus akan ilmu memiliki keinginan dan dorongan (motivasi) membaca yang tinggi. Banyaknya ilmu yang dimiliki seseorang melalui kegiatan membaca akan membuatnya percaya diri akan kebenenaran tentang apa yang ditulis sebagai bentuk keputusan yang tepat dan bijaksana. Laporan observasi yang bersifat universal mencakup tataran pengetahuan yang luas. Motivasi membaca seseorang yang tinggi sangat berkontribusi banyak terkait dengan kualitas tulisan akan memungkinkan ia mampu menata dan mengatur ide-ide dan gagasan yang hendak dituturkannya kepada pembaca melalui bahasa tulisnya yang berkaidah, rapi, teratur, baik dan benar. Dengan bahasa dan untaian kalimat yang tertata baik, teratur tersebut akan memudahkan pembaca memahami dan menangkap pesan tulisannya. Berdasarkan paparan di atas, ada dugaan terdapat hubungan positif antara motivasi membaca dan keterampilan menulis laporan observasi.
41
3. Hubungan Kemampuan Berpikir Kritis dan Motivasi Membaca secara bersamasama dengan Keterampilan Menulis Laporan Observasi Berdasarkan uraian diatas diketahuai dengan jelas bahwa kemampuan berpikir kritis dan motivasi membaca merupakan faktor penting terhadap keterampilan menulis laporan observasi. Kemampuan berpikir kritis akan berpengaruh pada hasil tulisan laporan observasi yang baik lebih mendalam materi yang dibahas dan laporan yang disajikan lebih logis dan dapat dipertanggungjawabkan. Data yang dipaparkan sesuai bukti dan fakta di lapangan. Motivasi membaca yang tinggi akan berpengaruh pada kompetensi dan performansi pengetahuan dasar menulis siswa. Cakupan wilayah pengetahuan siswa yang memiliki motivasi membaca tinggi lebih luas dibanding dengan siswa yang memiliki motivasi membaca rendah. Penguasaan pengetahuan yang luas akan mempermudah siswa di dalam menuangkan ide gagasan dan struktur, pilihan kosakata lebih terperini dan mudah dipahami. Siswa yang memiliki kemampuan berpiki kritis yang tinggi dan motivasi membaca yang tinggi diduga memiliki keterampilan menulis laporan observasi yang tinggi pula. Berdasarkan paparan di atas, ada dugaan terdapat hubungan positif antara kemampuan berpikir kritis dan motivasi membaca secara bersama-sama dengan keterampilan menulis laporan observasi. Berikut ini disajikan skema kerangka berpikir yang menjelaskan bagaiamana hubungan variabel bebas dan variabel terikat.
42
3a
1a
Tinggi
2a Tinggi Kemampu an berpikir kritis
Keterampilan Menulis teks laporan observasi
Tinggi
Rendah
Rendah
Motivasi membaca
1b Rendah
2b 3b Gambar 1. Kerangka Berpikir Hubungan Antarvariabel Penelitian Keterangan: 1. Hubungan antara kemampuan berpikir kritis dan keterampilan menulis laporan observasi 1a. Kemampuan berpikir kritis siswa tinggi diduga keterampilan menulis laporan observasinya juga tinggi. 1b. Kemampuan berpikir kritis siswa rendah diduga keterampilan menulis laporan observasinya juga rendah. 2. Hubungan antara motivasi membaca dan keterampilan menulis laporan observasi 2a. Motivasi membaca siswa tinggi diduga keterampiln menulis laporan observasinya juga tinggi. 2b. Motivasi membaca siswa rendah diduga keterampiln menulis laporan observasinya juga rendah. 3. Hubungan antara kemampuan berpikir kritis dan motivasi membaca secara bersama-sama dengan keterampilan menulis laporan observasi 3a. Kemampuan berpikir kritis dan motivasi membaca siswa tinggi diduga keterampilan menulis laporan observasinya juga tinggi. 3b. Kemampuan berpikir kritis dan motivasi membaca siswa rendah diduga keterampilan menulis laporan observasinya juga rendah.
43
C. Hipotesis Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah dikemukakan, maka hipotesis dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan positif antara kemampuan berpikir kritis dan keterampilan menulis laporan observasi. 2. Terdapat hubungan positif antara motivasi membaca dan keterampilan menulis laporan observasi. 3. Terdapat hubungan positif antara kemampuan berpikir kritis dan motivasi membaca dengan keterampilan menulis laporan observasi.