BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Hakikat Keterampilan Menyimak Dongeng a. Hakikat Keterampilan Keterampilan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap orang. Tujuan utama seorang manusia belajar adalah untuk
memperoleh
suatu
keterampilan.
Setiap
orang
memiliki
keterampilan yang berbeda satu dengan yang lain. Keterampilan inilah yang nantinya akan digunakan untuk bekal melanjutkan hidup. Hal ini sejalan dengan pengertian keterampilan menurut Sukmadinata dan Syaodih (2012: 184) yang mengungkapkan keterampilan sebagai suatu kemampuan seseorang dalam menerapkan atau menggunakan pengetahuan yang dikuasainya dalam sesuatu bidang kehidupan. Menurut Soemarjadi (2001: 2) kata terampil artinya cekatan. Terampil atau cekatan adalah kepandaian melakukan suatu pekerjaan dengan cepat dan benar. Seseorang yang dapat melakukan sesuatu dengan cepat tetapi salah tidak dapat dikatakan terampil. Sama halnya dengan orang yang dapat melakukan sesuatu dengan lambat tetapi benar juga tidak dapat dikatakan terampil. Ruang lingkup keterampilan cukup luas, yaitu meliputi kegiatan berupa perbuatan, berpikir, berbicara, melihat, mendengar, dan sebagainya. Tetapi dalam pengertian sempit keterampilan lebih ditujukan kepada kegiatan-kegiatan yang berupa perbuatan. Pengertian keterampilan diungkapkan pula oleh Reber dalam Syah (2010: 117), yang menyatakan bahwa keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Keterampilan bukan hanya meliputi gerakan motorik melainkan juga pengejawantahan fungsi mental yang bersifat kognitif.
10
11 Sejalan dengan pendapat Reber, Dalyono (2005: 214) menyatakan keterampilan sebagai suatu kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot (neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olahraga, dan sebagainya. Meskipun sifatnya motorik, namun keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi. Siswa yang melakukan gerakan motorik dengan koordinasi dan kesadaran yang rendah dapat dianggap kurang atau tidak terampil. Pengertian keterampilan diungkapkan pula oleh Ichsan dan Nursanto (2013: 29) yang menyatakan bahwa keterampilan adalah kegiatan mental dan atau fisik yang terorganisasi serta memiliki bagian-bagian kegiatan yang saling bergantung dari awal hingga akhir. Keterampilan (skill) merupakan sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas yang dibebankan (Sanjaya, 2008:7). Seseorang dapat melakukan kegiatan berbahasa apabila memiliki keterampilan berbahasa yang baik. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa keterampilan merupakan kemampuan menyelesaikan suatu kegiatan berpikir, bernalar, dan aktivitas fisik atau dapat diwujudkan dalam pola tingkah laku yang kompleks dengan kecekatan dan kecakapan sehingga kegiatan tersebut dapat terselesaikan dengan cepat dan tepat. Keterampilan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah keterampilan menyimak. Keterampilan menyimak perlu dikembangkan sedini mungkin kepada anak-anak termasuk anak usia sekolah dasar, karena keterampilan menyimak memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari yang erat kaitannya dengan kemampuan berbahasa. b. Hakikat Menyimak 1) Pengertian Menyimak Menyimak merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Tarigan (2008: 31), menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambanglambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta
12 interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Slamet (2007: 6) yang menyatakan bahwa menyimak merupakan
proses
yang
mencakup
kegiatan
mendengarkan,
mengidentifikasi, menginterpretasi bunyi bahasa, kemudian menilai hasil interpretasi makna dan menanggapi pesan yang tersirat di dalam wahana bahasa tersebut. Dengan pengertian lain, menyimak berarti kemampuan memahami pesan yang disampaikan melalui bahasa lisan. Hermawan (2012: 30) menyatakan bahwa menyimak tidak sekedar mendengarkan, tetapi merupakan sebuah proses memperoleh berbagai fakta, bukti, atau informasi tertentu yang didasarkan pada penilaian dan penetapan sebuah reaksi individual. Menyimak merupakan sebuah keterampilan yang memerlukan ketajaman perhatian, konsentrasi, sikap mental yang aktif dan kecerdasan dalam memahami serta menerapkan setiap gagasan. Menyimak merupakan upaya untuk memahami bahasa yang dituturkan pembicara melalui sarana komunikasi lisan. Oleh karena itu, menyimak bersifat reseptif. Dalam kegiatan menyimak seseorang harus mengaktifkan pikirannya untuk dapat mengidentifikasi bunyibunyi bahasa, memahaminya dan menafsirkan maknanya sehingga tertangkap pesan yang disampaikan pembicara. Bertolak dari hal itu, kita harus dapat mendengarkan dengan penuh perhatian dan pemahaman serta interpretasi (Russel, dalam Tarigan, 2008: 30). Menyimak merupakan keterampilan berbahasa yang bersifat reseptif dan apresiatif. Reseptif berarti bahwa dalam menyimak, penyimak harus mampu memahami apa yang terkandung dalam bahan simakan. Bersifat apresiatif artinya bahwa menyimak menuntut penyimak tidak hanya memahami pesan tetapi juga memberikan respon atas bahan simakan tersebut. Oleh karena itu, menyimak dapat diartikan sebagai kegiatan aktif yang dilakukan secara sungguh-
13 sungguh untuk memahami pesan yang terkandung dalam bahan simakan yang diperdengarkan secara lisan (Abidin, 2013: 93). Hakikat menyimak dapat dilihat dari berbagai segi. Menurut Logan (Santosa, 2011: 6.31) menyimak dapat dipandang sebagai suatu sarana, keterampilan, seni, proses, respon atau pengalaman kreatif. Menyimak dikatakan sebagai suatu sarana sebab adanya kegiatan yang dilakukan seseorang pada waktu menyimak yaitu tahap mendengar bunyi-bunyi yang telah dikenalnya. Kemudian, secara bersamaan bunyi-bunyi itu dimaknai sehingga mampu diinterpretasikan dan dipahami maknanya. Menyimak dikatakan sebagai suatu keterampilan karena dalam kegiatan menyimak melibatkan keterampilan yang bersifat aural dan oral. Berdasarkan pandangan ini, harus dibedakan antara mendengar dengan menyimak. Mendengar merupakan fase awal dari menyimak, yaitu fase mengenal bunyi. Sedangkan menyimak merupakan fase kedua, yaitu pemaknaan simbol-simbol aural. Menyimak sebagai suatu seni berarti kegiatan menyimak itu memerlukan adanya kedisiplinan, konsentrasi, partisipasi aktif, pemahaman, dan penilaian, seperti halnya orang mempelajari seni musik. Sebagai suatu proses, menyimak berkaitan dengan proses keterampilan yang kompleks, yaitu keterampilan mendengarkan, memahami, menilai, dan merespons. Menyimak dikatakan sebagai suatu respons sebab respons merupakan unsur utama dalam menyimak. Penyimak dapat merespons dengan efektif jika memiliki panca indera yang baik dan mempunyai kemampuan menginterpretasi pesan yang terkandung dalam tuturan yang disimaknya. Menyimak sebagai pengalaman kreatif melibatkan pengalaman yang nikmat, menyenangkan, dan memuaskan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa menyimak adalah suatu kegiatan mendengarkan bunyi-bunyi, suara, informasi atau pesan yang dilakukan dengan sengaja, penuh
14 perhatian disertai pemahaman, apresiasi, interpretasi, reaksi, dan evaluasi untuk memperoleh pesan, informasi, menangkap isi serta merespon makna yang terkandung di dalamnya. 2) Tujuan Menyimak Dalam kehidupan sehari-hari kegiatan menyimak tidak pernah terlewati. Secara sadar atau tidak sadar perbuatan menyimak yang dilakukan mempunyai tujuan tertentu. Menurut Logan (Slamet, 2007:10), tujuan orang menyimak antara lain: a) untuk belajar; b) untuk menikmati keindahan audial; c) untuk mengevaluasi; d) untuk mengapresiasi materi simakan; e) untuk mengkomunikasikan ide-idenya sendiri; f) membedakan bunyi-bunyi dengan tepat; g) memecahkan masalah secara kreatif dan analisis; dan h) untuk meyakinkan dirinya terhadap suatu masalah atau pendapat yang diragukan. Menyimak untuk belajar yaitu kegiatan menyimak dimaksudkan untuk memperoleh pengetahuan dari ujaran pembicara. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melakukan kegiatan menyimak untuk memperoleh pengetahuan atau informasi, seperti menyimak berita di radio atau televisi, menyimak penjelasan guru, menyimak pembicaraan teman, dan lain-lain. Menyimak untuk memperoleh keindahan audial yaitu menyimak dengan menekankan pada penikmatan terhadap sesuatu dari materi yang diujarkan atau yang diperdengarkan. Contoh kegiatan menyimak untuk memperoleh keindahan audial adalah kegiatan menyimak lagu kesukaan, menyimak deklamasi puisi, dan lain-lain. Menyimak untuk mengevaluasi adalah menyimak dengan maksud untuk menilai apa-apa yang di simak (baik-buruk, indah-jelek, dan lain-lain). Kegiatan menyimak untuk mengevaluasi memerlukan konsentrasi dan kepekaan yang tinggi terhadap setiap ujaran yang disampaikan pembicara.
15 Menyimak untuk mengapresiasi materi simakan yaitu menyimak untuk menikmati serta menghargai apa yang disimaknya. Kegiatan menyimak untuk mengapresiasi antara lain menyimak pantun, menyimak puisi, menyimak drama, dan lain sebagainya. Menyimak untuk mengkomunikasikan ide yaitu menyimak dengan maksud agar dapat mengkomunikasikan ide, gagasan, maupun perasaannya kepada orang lain dengan lancar dan tepat. Apabila seseorang tidak menyimak dengan baik, maka ide, gagasan, maupun pendapat yang disampaikan dapat mengalami ketidaksinkronan dengan informasi yang disampaikan pembicara. Menyimak untuk membedakan bunyi-bunyi dengan tepat yaitu menyimak dengan maksud dan tujuan agar si penyimak dapat membedakan
bunyi-bunyi
dengan
tepat
mana
bunyi
yang
membedakan arti (distingtif) dan mana bunyi yang tidak membedakan arti. Biasanya ini terlihat nyata pada seseorang yang sedang belajar bahasa asing yang mendengarkan ujaran pembicara asli. Menyimak untuk memecahkan masalah secara kreatif dan analisis adalah menyimak yang memungkinkan penyimak untuk memperoleh masukan berharga dari pembicara maupun sebaliknya. Contoh seorang psikolog yang mendengarkan keluhan pasiennya dan berusaha memberikan solusi terhadap masalah pasien tersebut. Menyimak untuk meyakinkan dirinya terhadap suatu masalah atau pendapat yang diragukan dilakukan untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya yang mampu membuatnya yakin terhadap suatu hal yang masih diragukannya. Sebagaimana
yang
telah
dijelaskan
dalam
pembahasan
sebelumnya bahwa menyimak merupakan suatu kegiatan aktif reseptif yang membangun pesan dari suatu bunyi bahasa. Menyimak juga dikatakan sebagai suatu proses. Dalam proses tersebut dapat dibedakan dua aspek tujuan menyimak, yaitu persepsi dan resepsi (Iskandarwassid dan Sunendar, 2011: 230).
16 Persepsi merupakan ciri kognitif dari proses mendengarkan yang didasarkan pada pemahaman pengetahuan tentang kaidah-kaidah kebahasaan. Sedangkan resepsi adalah pemahaman pesan atau penafsiran pesan yang dikehendaki oleh pembicara. Resepsi berlangsung pada diri pendengar yang menerima kode-kode bahasa yang bermakna dan berguna yang disampaikan oleh pembicara melalui alat-alat artikulasi dan diterima melalui alat-alat pendengar. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hakikat menyimak yang baik adalah penyimak mampu memberikan respon yang tepat berdasarkan informasi yang didapat. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan inti dari menyimak adalah untuk memperoleh informasi, memperoleh pengetahuan, menangkap isi dan memahami makna yang disampaikan pembicara, menikmati serta mengevaluasi materi simakan. 3) Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan dalam Menyimak Keberhasilan dalam menyimak terletak pada faktor-faktor yang memengaruhinya. Faktor-faktor yang memengaruhi menyimak yang bersifat positif dapat memberikan hasil yang baik dalam menyimak, namun faktor-faktor yang bersifat negatif akan berdampak pada hasil yang buruk dalam kegiatan menyimak. Tarigan (2008: 105-114) mengemukakan ada delapan faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam menyimak, yaitu: (1) faktor fisik, (2) faktor psikologis, (3) faktor pengalaman, (4) faktor sikap, (5) faktor motivasi, (6) faktor jenis kelamin, (7) faktor lingkungan, dan (8) faktor peranan dalam masyarakat. Kondisi fisik seorang penyimak merupakan faktor penting yang turut menentukan keefektifan serta kualitas menyimak. Kesehatan dan kesejahteraan fisik merupakan suatu modal penting yang turut menentukan bagi setiap penyimak. Faktor psikologis juga mempengaruhi keberhasilan menyimak. Faktor psikologis dibedakan menjadi dua, yaitu faktor psikologis yang
17 positif memberi pengaruh yang baik, dan faktor psikologis yang negatif memberi pengaruh yang buruk terhadap kegiatan menyimak. Faktor pengalaman turut mempengaruhi keberhasilan dalam menyimak. Kurangnya minat merupakan akibat dari pengalaman yang kurang atau tidak ada sama sekali pengalaman dalam bidang yang disimak. Sikap antagonis adalah sikap yang menentang pada permusuhan yang timbul dari pengalaman yang tidak menyenangkan. Sikap
seseorang
dalam
menyimak
akan
mempengaruhi
keberhasilan dalam menyimak karena pada dasarnya manusia memiliki dua sikap yaitu menerima dan menolak. Kedua sikap tersebut memberi dampak dalam menyimak, yaitu dampak positif dan dampak negatif. Motivasi merupakan salah satu butir penentu keberhasilan seseorang. Jika motivasi kuat, maka dapat dipastikan orang itu akan berhasil mencapai tujuannya. Motivasi berkaitan dengan pribadi atau personalitas seseorang. Kalau kita yakin dan percaya bahwa pribadi kita mempunyai sifat kooperatif, tenggang hati, dan analitis, kita akan menjadi penyimak yang lebih baik dan unggul daripada berpikir bahwa diri kita malas, bersifat argumentatif, dan egosentris. Jenis
kelamin
seorang
penyimak
juga
mempengaruhi
keberhasilan dalam menyimak. Gaya menyimak pria pada umumnya bersifat obyektif, aktif, keras hati, analitik, rasional, keras kepala atau tidak mau mundur, menetralkan, intrunsif (bersifat mengganggu), mandiri, sanggup mencukupi kebutuhan sendiri (swasembada), dapat menguasai dan mengendalikan emosi. Sedangkan gaya menyimak seorang wanita cenderung lebih subjektif, pasif, ramah atau simpatik, difusif (menyebar), sensitif, mudah dipengaruhi, mudah mengalah, reseptif, bergantung (tidak mandiri), dan emosional. Dalam menyimak, lingkungan mempengaruhi keberhasilan dalam menyimak. Lingkungan dapat berupa lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik menyangkut pengaturan dan
18 penataan ruang kelas serta sarana dalam pembelajaran menyimak. Lingkungan sosial mencakup suasana yang mendorong anak untuk mengalami, mengekspresikan, serta mengevaluasi ide-ide. Kemampuan menyimak seseorang juga dipengaruhi oleh peranannya dalam masyarakat. Misalnya sebagai seorang guru dan pendidik, kegiatan menyimak yang dilakukan antara lain menyimak ceramah, kuliah, siaran-siaran radio dan televisi yang berhubungan dengan masalah pendidikan dan pengajaran. Perkembangan pesat yang terdapat dalam bidang keahlian kita menuntut kita untuk mengembangkan suatu teknik menyimak yang baik. Faktor penentu keberhasilan menyimak dikemukakan pula oleh Slamet (2007: 18-21) yang menjelaskan bahwa keefektifan menyimak dipengaruhi beberapa unsur, yaitu: (1) pembicara, (2) pembicaraan, (3) situasi, dan (4) penyimak. Pembicara adalah orang yang menyampaikan pembicaraan, ide, pesan, informasi kepada penyimak melalui bahasa lisan. Keefektifan menyimak akan dipengaruhi oleh faktor pembicara. Kualitas, keahlian, kharisma, dan kepopuleran pembicara sangat berpengaruh terhadap para penyimaknya. Oleh karena itu, sejumlah faktor dituntut dari pembicara antara lain: menguasai materi yang akan disampaikan; berbahasa baik dan benar; percaya diri dalam menyampaikan materi dengan
terampil
dan
mantap;
berbicara
sistematis
sehingga
memudahkan penyimak untuk mengikuti dan memahami materi; gaya bicara menarik; kontak dengan penyimak hendaknya dilakukan pembicara untuk menyesuaikan diri, menghargai, menghormati serta menguasai pendengarnya. Pembicaraan adalah materi, isi, pesan atau informasi yang disampaikan oleh pembicara kepada penyimak. Pembicaraan yang baik dan menarik akan memenuhi hal-hal seperti : aktual, yaitu materi yang disampaikan merupakan masalah yang hangat dan baru sehingga diminati pendengar; berguna bagi pendengar; dalam pusat minat
19 penyimak, yaitu materi yang disajikan harus menarik minat perhatian peyimak; sistematis sehingga memudahkan pendengar mengikuti alur pembicaraan; dan seimbang, yaitu memiliki taraf kesulitan materi yang sepadan dengan taraf kemampuan dan pengalaman pendengar. Situasi menyimak diartikan sesuai yang menyertai kegiatan menyimak di luar pembicara, pembicaraan, dan penyimak. Beberapa hal yang patut diperhatikan berhubungan dengan situasi menyimak antara lain: ruangan menyimak harus menunjang persyaratan akustik, ventilasi, penerangan, pengaturan tempat duduk, luas ruangan; waktu hendaknya diperhitungkan dengan tepat; suasana dan lingkungan diusahakan tenang, jauh dari kebisingan, gaduh, dan pemandangan yang mengganggu konsentrasi; peralatan yang digunakan hendaknya mendukung keefektifan menyimak, mudah dimanfaatka, fungsional, dan tidak mengganggu. Penyimak adalah orang yang mendengarkan dan memahami isi bahan simakan yang disampaikan oleh pembicara. Dari beberapa faktor yang telah dikemukakan penyimak merupakan faktor yang paling menentukan keefektifan dalam peristiwa menyimak. Beberapa hal yang terkait dengan penyimak adalah: kondisi fisik dan mental penyimak dalam keadaan baik dan stabil; konsentrasiterhadap bahan simakan; memiliki tujuan yang jelas; minat yang kuat terhadap bahan simakan; memiliki kemampuan linguistik dan non linguistik sebagai sarana memahami, menginterpretasi dan menilai bahan simakan; berpengetahuan dan berpengalaman yang luas sehingga memudahkan dalam menerima, mencerna, memahami dan mereaksi bahan simakan. Dari beberapa pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan menyimak perlu diperhatikan beberapa aspek demi tercapainya tujuan menyimak. Aspek-aspek tersebut antara lain berkaitan dengan pembicara, pembicaraan/bahan simakan, situasi, dan penyimak itu sendiri.
20 4) Tahap Tahap Menyimak Orang sering berpikir bahwa menyimak semata-mata merupakan kegiatan mendengarkan suara-suara, tetapi sesungguhnya lebih dari itu. Kegiatan menyimak terdiri dari beberapa tahap yaitu penerimaan, pemahaman,
pengingatan,
pengevaluasian,
dan
penanggapan
(Hermawan, 2012: 36). Menyimak dimulai dengan penerimaan pesan-pesan yang dkirim pembicara baik yang bersifat verbal maupun non verbal, apa yang dikatakan dan apa yang tidak diucapkan. Tahapan ini dibentuk oleh dua elemen pokok yakni pendengaran dan perhatian. Aktivitas mendengar atau hearing merupakan aspek fisiologis dari menyimak. Selain itu, pemaknaan terhadap simbol-simbol yang diinderanya ini akan disesuaikan dengan minat, keinginan, hasrat, dan kebutuhannya. Karena itu makna pesan yang diterima oleh seseorang dapat berbeda dengan
yang
lainnya
walaupun
masing-masing
orang
akan
memperoleh pesan yang sama. Tahap berikutnya yaitu pemahaman yang disusun dari dua elemen pokok, pembelajaran dan pemberian makna. Di sini kita berupaya mengetahui siapa yang dimaksudkan oleh pembicara dengan cara mempelajari pemikiran-pemikiran dan emosi-emosinya. Kita mencoba menghubungkan informasi yang diberikan oleh pembicara dengan apa yang telah kita ketahui. Keberhasilan dalam memahami pesan percakapan dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengerti dan untuk lebih mahir dalam berpikir. Selama proses menyimak kita perlu mengingat berbagai pesan. Kemampuan untuk mengingat informasi ini berkaitan dengan seberapa banyak informasi yang ada dalam benak dan apakah informasi bisa diulang atau tidak. Tahap selanjutnya dalam menyimak adalah pengevaluasian yang terdiri dari penilaian dan pengkritisan terhadap pesan. Kadang kita
21 dapat mencoba mengevaluasi setiap motif dan niat pokok pembicara. Seringkali proses evaluasi ini berjalan tanpa banyak disadari. Tahap terakhir dalam kegiatan menyimak yaitu penanggapan. Penanggapan terjadi dalam dua fase: a) tanggapan yang dibuat sementara pembicara berbicara; dan b) tanggapan yang dibuat setelah pembicara berhenti berbicara. Tanggapan-tanggapan ini merupakan umpan balik yang menginformasikan bahwa kita mengirim balik kepada pembicara bagaimana kita merasakan dan apa yang kita pikirkan tentang pesan-pesan pembicara. Sedangkan menurut Logan (Tarigan, 2008: 63), sebagai suatu proses kegiatan menyimak memiliki beberapa tahap, yaitu: a) tahap mendengar; b) tahap memahami; c) tahap menginterpretasi; d) tahap mengevaluasi; dan e) tahap menanggapi. Dalam tahap mendengar, penyimak berusaha menangkap pesan pembicara yang sudah diterjemahkan dalam bentuk bahasa. Untuk menangkap bunyi bahasa itu diperlukan telinga yang peka dan perhatian yang terpusat. Dalam tahap ini baru mendengar segala sesuatu yang dikemukakan sang pembicara dalam ujaran atau pembicaraannya. Tahap ini disebut tahap mendengar (hearing). Bunyi yang sudah ditangkap perlu diidentifikasi, dikenali, dan dikelompokkan menjadi suku kata, kata, kelompok kata, kalimat, paragraf, dan wacana. Setelah mendengar, tentunya ada keinginan bagi kita untuk mengerti atau memahami dengan baik isi pembicaraan yang disampaikan oleh pembicara. Tahap inilah yang disebut tahap memahami (understanding). Penyimak yang baik, cermat dan teliti, belum puas kalau hanya mendengar dan memahami isi ujaran pembicara, dia pasti ingin menafsirkan atau meginterpretasi isi, butir-butir pendapat yang terdapat dan tersirat dalam ujaran pembicara. Tahap inilah yang disebut tahap menginterpretasi (interpreting).
22 Setelah memahami dan menafsir atau menginterpretasikan isi pembicaraan, penyimak mulai menilai atau mengevaluasi pendapat serta gagasan pembicara, keunggulan dan kelemahan, serta kebaikan dan kekurangan. Tahap ini disebut tahap mengevaluasi (evaluating). Setelah
semua
tahap
dilewati,
penyimak
menyambut,
mencamkan, menyerap serta menerima gagasan atau ide yang dikemukakan pembicara dalam ujarannya. Penyimak sampai pada tahap akhir yakni tahap menganggapi (responding). Berdasarkan pendapat mengenai tahapan-tahapan menyimak yang telah dipaparkan di atas dapat dikatakan bahwa menyimak merupakan suatu proses. Seseorang dikatakan telah memiliki kemampuan
menyimak
yang
menyimaknya telah melakukan
baik
apabila
dalam
kegiatan
tahapan yang dimulai dengan
mendengarkan informasi yang mereka simak, memahami apa yang disampaikan, menafsirkan atau memaknai informasi, memberikan penilaian terhadap informasi, dan terakhir mampu menanggapi dan menyerap informasi yang mereka simak. 5) Kemampuan Menyimak Siswa Sekolah Dasar Tulare Country School (Tarigan, 2008: 64) dalam buku petunjuk mengenai keterampilan berbahasa yang berjudul “Tulare Country Cooperative Language Arts Guide” menguraikan kemampuan menyimak siswa Sekolah Dasar untuk kelas II (6 1/2 – 8 tahun), yaitu: a) menyimak dengan kemampuan memilih yang meningkat; b) membuat saran-saran, usul-usul, dan mengemukakan pertanyaanpertanyaan untuk mengecek pengertiannya; c) sadar akan situasi, kapan sebaiknya menyimak, kapan sebaiknya tidak menyimak. Anak dengan usia 6 1/2 – 8 tahun telah mampu memilih apa yang akan disimaknya. Anak-anak akan memilih materi simakan yang bermanfaat dan menarik bagi mereka. Selain itu anak mulai mampu memilih situasi kapan sebaiknya mereka meyimak dan tidak. Dalam usia perkembangan tersebut, anak-anak telah mampu memberikan
23 saran, usul, dan mengemukakan pertanyaan-pertanyaan untuk mengecek pengertiannya. Oleh karena itu penting bagi guru sebagai pendidik untuk mampu memahami karakteristik anak pada usia perkembangannya. Guru harus mampu menjadi fasilitator yang mampu memenuhi kebutuhan anak dalam menyimak. Anderson (Tarigan, H. G., 2008: 66) mengungkapkan bahwa ada beberapa hal yang dapat dicatat terkait kemampuan menyimak anak, antara lain: a) anak-anak akan mampu menyimak dengan baik bila suatu cerita dibacakan dengan nyaring; b) anak-anak akan senang dan mampu menyimak dengan baik bila seorang pembicara menceritakan suatu pengalaman sejati; c) anak-anak dapat menyimak bunyi-bunyi dan nada-nada yang berbeda, terlebih kalau intonasi ujaran sang pembicara sangat jelas dan baik; d) anak-anak dapat menyimak serta menuruti petunjuk-petunjuk lisan yang disampaikan dengan jelas; e) anak-anak mampu menyimak persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan yang terdapat yang terdapat dalam ujaran; f) anak-anak mampu dan senang menyimak ritme-ritme dan rima-rima dalam suatu pembacaan puisi atau drama; dan g) anak-anak mampu menyimak dan menangkap ide di dalam ujaran atau pembicaraan. Berdasarkan penjelasan di atas, kegiatan menyimak perlu dilaksanakan melalui pendekatan yang sesuai dengan perkembangan kognitif dan tahapan perkembangan siswa. Melalui menyimak, siswa dilatih untuk dapat memahami informasi dari orang lain dengan indera pendengaran dan menangkap isi pesan yang diterimanya secara benar. Teori perkembangan menurut Piaget (dalam Makmun, 2009: 103) mengungkapkan masa kanak-kanak akhir berada dalam tahap operasional konkret dalam berpikir (usia 7-12 tahun), yakni konsep yang pada awal kanak-kanak merupakan konsep yang samar-samar dan tidak jelas sekarang lebih konkret. Berdasarkan pemahaman tentang karakteristik perkembangan anak pada masa operasional konkret, penggunaan media dalam
24 pembelajaran di SD kelas rendah sangatlah penting. Atas dasar pertimbangan tersebut, boneka tangan dipilih sebagai media dalam penelitian ini. Boneka tangan digunakan di SD karena sesuai dengan perkembangan dan karakteristik siswa usia SD, terutama untuk membelajarkan menyimak dongeng. Media boneka tangan dapat dijadikan alternatif untuk memudahkan, merangsang minat dan motivasi anak untuk mengikuti, memahami, serta meningkatkan pengertiannya tentang alur cerita dalam dongeng. c. Hakikat Dongeng 1) Pengertian Dongeng Dongeng merupakan salah satu jenis cerita yang banyak berkembang di masyarakat. Menurut Nurgiyantoro (2005: 198), istilah dongeng dapat dipahami sebagai cerita yang tidak benar-benar terjadi dan dalam banyak hal sering tidak masuk akal. Pengertian di atas dapat dipahami jika dilihat dari sumber dongeng yang bermacammacam, bisa dari mulut ke mulut orang tua dahulu, dari buku-buku cerita, atau hasil penggalian cerita oleh para antropolog. Menurut Danandjaja (2002: 83) dongeng adalah cerita pendek kolektif kasusastran lisan. Dongeng merupakan cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi dan diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran moral bahkan sindiran. Dongeng merupakan cerita yang didasari atas angan-angan atau khayalan (Rosdiana, 2009: 6.8). Di dalam dongeng terkandung cerita yang menggambarkan sesuatu di luar dunia nyata, seperti bebek bertelur emas, peri yang baik hati, dan sebagainya. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa dongeng adalah suatu hasil karya sastra yang tidak benar-benar terjadi yang di dalamnya mengandung nilai moral, diperoleh secara turun temurun, dan kadang tidak diketahui pengarangnya.
25 2) Jenis-jenis Dongeng Menurut Aarne dan Thompson (Danandjaja, 2002: 86) dongeng dikelompokkan dalam empat golongan besar, yakni: a) dongeng binatang (animal tales); b) dongeng biasa (ordinary folktales); c) lelucon dan anekdot (jokes and anecdotes); dan d) dongeng berumus (formula tales). Dongeng binatang adalah dongeng yang ditokohi oleh binatangbinatang yang dapat berbicara dan berakal budi seperti manusia. Tokoh binatang yang sering muncul dalam dongeng di Indonesia antara lain Si Kancil, Buaya, Monyet, Harimau, dan lain-lain. Tokoh yang diceritakan biasanya mempunyai sifat cerdik, licik, dan jenaka. Dongeng biasa merupakan jenis dongeng yang ditokohi manusia dan biasanya adalah kisah suka duka seseorang. Di Indonesia dongeng biasa yang populer antara lain Cinderella, Sangkuriang, Lutung Kasarung, Ande-Ande Lumut, Bawang Merah dan Bawang Putih. Dongeng jenis lelucon atau anekdot adalah dongeng yang dapat menimbulkan
tawa
bagi
yang
mendengarnya
maupun
yang
menceritakannya. Meski demikian, bagi masyarakat atau orang yang menjadi sasaran dongeng itu, dapat menimbulkan rasa sakit hati. Perbedaan lelucon dan anekdot adalah jika anedot menyangkut kisah fiktif lucu pribadi seseorang, maka lelucon menyangkut kisah fiktif lucu anggota suatu kolektif, seperti suku, bangsa, golongan, dan ras. Jenis dongeng yang terakhir adalah dongeng berumus. Dongeng berumus adalah dongeng yang strukturnya terdiri dari pengulangan. Dongeng ini ada tiga macam, yaitu dongeng bertimbun banyak (cumulative tales), dongeng untuk mempermainkan orang (catch tales), dan dongeng yang tidak mempunyai akhir (endless tales). Berbeda dengan Aarne dan Thompson, Stewig (Nurgiyantoro, 2005: 201) membedakan dongeng berdasarkan waktu kemunculannya, menjadi dua, yaitu dongeng klasik dan dongeng modern. Dongeng klasik adalah cerita dongeng yang telah muncul sejak zaman dahulu
26 yang mewaris secara turun temurun lewat tradisi lisan. Sedangkan dongeng modern merupakan cerita dongeng yang sengaja ditulis untuk maksud bercerita dan agar tulisannya dibaca oleh orang lain. Menurut Rosdiana (2009: 6.7) anak-anak pada usia 6-9 tahun berada pada tahap imajinasi dan fantasi yang tinggi sehingga cerita yang disenangi oleh anak adalah cerita yang mengandung daya khayal atau fantasi yang tokoh-tokohnya diambil dari dunia binatang. Atas dasar tersebut, peneliti memilih materi dongeng jenis fabel (dongeng binatang) dalam penelitian ini. Pemilihan dongeng fabel dalam penelitian dikarenakan dongeng fabel dapat menarik perhatian siswa dalam menyimak. Melalui karakter yang khas dan suara binatang yang unik, fabel dapat merangsang imajinasi anak dan ketertarikan terhadap jalannya cerita dalam dongeng. 3) Unsur Pembangun Dongeng Sebuah cerita, termasuk dongeng dibangun oleh unsur-unsur sebuah cerita. Menurut Rosdiana (2009: 6.17-6.25) unsur unsur cerita tersebut antara lain: (1) tema, (2) amanat, (3) tokoh, (4) latar, (5) alur, dan (6) gaya. Tema dalam sebuah cerita ibarat fondasi pada sebuah bangunan. Dengan kata lain, tema adalah unsur pertama yang harus ada dalam sebuah cerita. Tema merupakan gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari sebuah cerita (Rosdiana, 2009: 6.17). Pada cerita anak termasuk dongeng, umumnya tema yang terkandung di dalamnya berisi pertentangan antara baik dan buruk. Secara lebih konkret tema pertentangan baik dan buruk itu dinyatakan dalam bentuk kejujuran melawan kebohongan, keadilan melawan kezaliman, kelembutan melawan kekerasan. Cerita termasuk dongeng di dalamnya mengandung ajaran moral, pengetahuan, dan keterampilan yang ingin disampaikan pengarang melalui cerita. Hal-hal yang menjadi tujuan pengarang itulah yang disebut amanat (Rosdiana, 2009: 6.18). Menurut Sudjiman
27 (Musfiroh, 2008: 35) amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam karyanya. Amanat dalam cerita
biasanya
mencerminkan
pandangan
hidup
pengarang,
pandangan tentang nilai-nilai kebenaran. Amanat pada sebuah cerita dapat disampaikan secara implisit maupun eksplisit. Implisit jika jalan keluar atau ajaran moral itu tersirat di dalam tingkah laku tokoh. Eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, anjuran, larangan, yang berhubungan dengan gagasan yang mendasari cerita itu. Tokoh dalam cerita ialah individu rekaan yang mengalami berbagai peristiwa dalam cerita (Musfiroh, 2008: 39). Tokoh dapat berwujud manusia, binatang, maupun tumbuhan. Setiap tokoh dalam cerita memiliki watak. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh dikenal dengan istilah penokohan (Musfiroh, 2008: 40). Penokohan dilakukan dengan berpijak pada amanat. Pembawa cerita seringkali mengulas watak tokoh demi memudahkan anak-anak mencerna isi dan makna cerita. Tokoh dan penokohan pada cerita maupun dongeng anak memiliki jumlah yang terbatas, mudah diingat, seperti nama binatang dan tokoh-tokoh hero dalam dunia anak. Cerita memiliki tempat atau ruang dan waktu peristiwaperistiwa di dalamnya berlangsung yang disebut dengan latar atau setting. Musfiroh (2008: 42) menjelaskan bahwa latar merupakan unsur yang menunjukkan kepada penikmatnya di mana dan kapan kejadian-kejadian
dalam
cerita
berlangsung.
Latar
meliputi
penggambaran lokasi geografis, termasuk topografi, pemandangan, sampai pada perincian perlengkapan sebuah ruangan, pekerjaan, atau kesibukan sehari-hari para tokoh, waktu berlakunya peristiwa, masa sejarahnya, musim terjadinya, lingkungan agama, moral, intelektual, dan sosial para tokoh (Rosdiana, 2009: 6.20). Latar yang tepat akan memperkuat karakter para tokoh dan menghidupkan alur sehingga terbentuk suatu cerita yang unik dan menarik.
28 Alur atau plot adalah peristiwa-peristiwa naratif yang disusun dalam serangkaian waktu (Musfiroh, 2008: 37). Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh cerita dapat disusun menurut urutan waktu terjadinya. Pengaluran juga dapat dilakukan dengan menyusun peristiwa menurut hubungan kausalnya (sebab-akibat). Dalam cerita anak maupun dongeng, penggunaan alur tidak serumit pada cerita orang dewasa. Hal itu disebabkan pengalaman dan daya pikir anak yang masih terbatas untuk memahami ide-ide yang rumit. Cerita disajikan dengan sederhana, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Cerita umumnya terdiri dari tiga bagian utama, yaitu bagian awal, tengah, dan akhir. Bagian awal umumnya berisi perkenalan setting dan tokoh, seperti, “Di sebuah kolam yang besar, hiduplah seekor kura-kura.” Suatu kejadian menjadi pemicu ketidakstabilan tokoh utama hingga mencapai ketegangan, konflik, dan menuju klimaks. Permasalahan teratasi dan cerita diakhiri dengan penyelesaian. Sudut pandang mempermasalahkan siapa yang menceritakan atau dari kacamata siapa cerita dikisahkan (Musfiroh, 2008: 40). Sudut pandang atau pusat pengisahan (point of view) digunakan pengarang dalam menciptakan cerita agar memiliki suatu kesatuan. Sudut pandang pada dasarnya merupakan visi seorang pengarang. Apa yang tergambar dalam cerita merupakan tafsiran pengarang. Secara garis besar, sudut pandang dibedakan menjadi dua, yakni sudut pandang orang pertama yang disebut dengan akuan dan sudut pandang orang ketiga dengan diaan atau disebut dengan insider atau outsider. Namun ada juga cerita yang menggunakan sudut pandang campuran, yaitu kedua sudut pandang tersebut (akuan dan diaan) digunakan dalam sebuah cerita. Sebuah cerita sebagai hasil karya kreatif terbentuk melalui proses pengolahan bahasa yang digunakan oleh pengarang (Rosdiana, 2009: 6.24). Gaya bercerita sangat berkaitan dengan unsur-unsur cerita, seperti tema, latar, tokoh, dan sudut pandang. Misalnya, cerita
29 yang menggunakan latar daerah Jawa tidak menutup kemungkinan digunakan beberapa kosakata Bahasa Jawa. Gaya cerita sesuai dengan semua aspek cerita, sehingga cerita benar-benar menyatu atau tidak terjadi ketimpangan atau keanehan yang membuat pembaca maupun pendengar merasa bingung dan membuat cerita tidak menarik. Gaya bercerita juga berkaitan dengan sasaran cerita. Cerita untuk siswa SD menggunakan bahasa dan gaya yang berbeda dengan cerita untuk orang remaja, dewasa, dan yang sudah lanjut usia. d. Hakikat Keterampilan Menyimak Dongeng Keterampilan menyimak dongeng penting dimiliki seseorang agar dapat menangkap isi dongeng yang disimaknya. Keterampilan menyimak dongeng dapat diperoleh apabila seseorang sering melakukan kegiatan menyimak dongeng sehingga dapat memahami isi dongeng tersebut. Taser dalam Demir (2012: 429) memaparkan,“Listening skill, which is one of the basic in the development of native language skills, means understanding, interpreting, evaluating, and organizing the suggested thoughts in the speech as well as detecting the relation between them and assoring the ones significant enough to store in the mind”. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa keterampilan menyimak sebagai salah satu dasar pengembangan keterampilan bahasa yaitu memahami, menginterpretasi, menilai, menganalisa, dan mengorganisasi untuk disimpan menjadi sesuatu bagian yang penting pada memori di otak. Tyagi (2013: 1) mengungkapkan pendapat mengenai keterampilan menyimak sebagai berikut: “Listening skill is key to receiving messages effectively. It is a combination of hearing what another person says and psychological involvement with the person who is talking. Listening is a skill of Language. It requires a desire to understand another human being, an attitude of respect and acceptance, and a willingness to open one's mind to try and see things from another's point of view. It requires a high level of concentration and energy.”(Tyagi. 2013. Listening : An Important Skill and Its Various Aspects, The Criterion An International Journal in English, Issue 12, Februari 2013 halman 1)
30 Pendapat di atas dapat diterjemahkan bahwa keterampilan menyimak merupakan kunci dalam menerima pesan dengan efektif. Keterampilan menyimak merupakan gabungan antara mendengarkan apa yang orang katakan dengan keterlibatan jiwa kita terhadap orang tersebut. Menyimak merupakan keterampilan bahasa. Menyimak perlu adanya keinginan untuk memahami orang lain, sikap penghargaan dan penerimaan, serta keinginan untuk membuka pikiran dalam melihat sesuatu hal dari sudut pandang lain. Menyimak memerlukan konsentrasi dan kemampuan yang tinggi. Berdasarkan definisi keterampilan menyimak di atas dan dikaitkan dengan pengertian dongeng, dapat dikatakan bahwa keterampilan menyimak
dongeng
merupakan
kecakapan,
kemampuan
maupun
kecekatan mendengarkan, memahami, menangkap makna, menanggapi cerita dongeng dengan cepat, benar, dan berhasil. Aspek utama dalam menyimak dongeng adalah dongeng yang diceritakan kembali secara runtut. Pembelajaran menyimak dongeng di sekolah dasar hendaknya tidak hanya diperintah mendengarkan saja tetapi juga harus diberi rangsangan agar siswa terfokus dalam menyimak dongeng. Pembelajaran menyimak dongeng yang paling efektif adalah pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Pembelajaran bermakna ini dapat diupayakan dengan cara menggunakan metode pembelajaran yang sesuai, media pembelajaran yang menarik, kondisi kelas yang menyenangkan, sehingga siswa mampu menceritakan kembali dongeng secara runtut dengan kalimat yang tepat. 2. Hakikat Metode Storytelling a. Pengertian Metode Pembelajaran Kegiatan belajar mengajar mengandung sejumlah komponen yang meliputi tujuan, bahan pelajaran, metode, alat/media, sumber belajar, serta evaluasi. Semua hal tersebut sangat mempengaruhi proses dan hasil belajar. Namun, hal yang paling penting dan paling dibutuhkan guru dalam pembelajaran adalah metode guru dalam mengajar. Metode pembelajaran yang tepat, akan berpengaruh pada hasil pembelajaran yang dilakukan.
31 Menurut Anitah (2009: 84) metode pembelajaran merupakan salah satu komponen yang perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran. Komponen-komponen tersebut antara lain tujuan (kompetensi), materi, strategi pembelajaran yang termasuk di dalamnya adalah metode dan media. Komponen-komponen tersebut saling terkait satu dengan yang lain, sehingga antar komponen harus saling bersesuaian. Metode merupakan sebuah prosedur untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Iskandarwassid dan Sunendar, 2011: 40). Di dalam pengajaran bahasa, metode digunakan untuk menyatakan kerangka yang menyeluruh tentang proses pembelajaran. Proses itu tersusun dalam rangkaian kegiatan yang sistematis, tumbuh dari pendekatan yang digunakan sebagai landasan. Menurut Zuchdi dan Budiasih (2001: 34) metode mencakup pemilihan dan penentuan bahan ajar, penyusunan serta kemungkinan pengadaan remidi dan pengembangan bahan ajar tersebut. Dalam hal ini, setelah menetapkan tujuan yang hendak dicapai, guru memilih bahan ajar yang sesuai dengan tujuan tersebut. Bahan ajar disusun menurut urutan tingkat kesukaran, yakni yang mudah berlanjut pada yang lebih sukar. Guru merencanakan pula cara mengevaluasi, mengadakan remidi, serta mengembangkan bahan ajar tersebut. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran adalah serangkaian cara atau perangkat dalam pembelajaran yang dipergunakan oleh seorang guru secara bervariasi sesuai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. b. Pengertian Metode Storytelling Storytelling dalam Bahasa Indonesia memiliki arti bercerita atau mendongeng. Bercerita atau mendongeng (Storytelling) merupakan kegiatan yang banyak dilakukan orang tua maupun guru dalam menyampaikan cerita maupun dongeng kepada anak-anak. Pellowski dalam Davies (2007: 4) mendefinisikan Storytelling sebagai berikut:
32 “The art or craft of narration of stories in verse/ and or prose, as performed or led by one person before a live audience; the stories narrated may be spoken, chanted, or sung, with or without musical, pictorial, and or other accompaniment and may be learned from oral, printed or mechanically recorded sources; one of its purposes may be that of entertainment.” Dari pendapat Pellowski di atas dapat diartikan bahwa Storytelling merupakan seni dari sebuah keterampilan bernarasi dari cerita-cerita dalam bentuk syair atau prosa, yang dipertunjukkan atau dipimpin oleh satu orang di hadapan audience secara langsung dimana cerita tersebut dapat dinarasikan dengan cara diceritakan atau dinyanyikan, dengan atau tanpa musik, gambar, ataupun dengan iringan lain yang mungkin dapat dipelajari secara lisan, baik melalui sumber tercetak, ataupun melalui sumber rekaman mekanik, yang salah satu tujuannya adalah untuk hiburan. Pengertian Storytelling diungkapkan pula oleh Samantaray (2014: 40), yang menyatakan bahwa: “Storytelling, the art of narrating a tale from memory rather than reading is one of the oldest of all art forms. Storytelling is the original form of teaching and has the potential of fostering emotional intelligence and helps the child gain insight into human behavior. Moreover, Storytelling can provide a motivating and low anxiety context for language learning. (Samantaray. 2014. Use of Story Telling Method to Develop Spoken English Skill. International Journal of Language & Linguistics. Volume I, No.1 Juni 2014 hal. 40) Pendapat Samantaray di atas dapat diartikan bahwa Storytelling adalah seni menceritakan sebuah cerita/kisah lebih dari sekedar membacakan cerita dan merupakan salah satu seni tertua dari semua bentuk seni yang ada. Storytelling atau bercerita adalah bentuk asli dari pengajaran dan memiliki potensi untuk membina kecerdasan emosional dan membantu anak memperoleh wawasan tentang perilaku manusia. Selain itu, Storytelling dapat meningkatkan motivasi siswa dan mengurangi kebosanan dalam pembelajaran bahasa. Menurut Asfandiyar (2007: 19) Storytelling merupakan suatu proses kreatif anak yang dalam perkembangannya senantiasa mengaktifkan bukan
33 hanya aspek intelektual saja tetapi juga aspek kepekaan, kehalusan budi, emosi, seni, daya berfantasi, dan imajinasi anak yang tidak hanya mengutamakan kemampuan otak kiri tetapi juga otak kanan. Sejalan
dengan
pendapat
Asfandiyar,
Majid
(2013:
28)
mengungkapkan bahwa Storytelling (bercerita) disebut juga penceritaan adalah pemindahan cerita atau penyampaian cerita kepada penyimak atau pendengar. Bercerita merupakan seni yang alami sebelum menjadi sebuah keahlian. Storytelling (bercerita) berbeda dengan membacakan cerita. Kegiatan Storytelling (bercerita) dapat menyebarkan ruh baru yang kuat dan menampakkan gambaran yang hidup di hadapan pendengar, memberikan potret yang jelas dan menarik, intonasi, gerakan-gerakan, dan emosinya. Bercerita dapat menghidupkan setiap tokoh dengan karakter seperti dalam cerita. Sedangkan membacakan cerita akan berlalu dengan cepat dalam benak pendengar, tanpa ada kesan terhadap cerita. Dalam pengertian yang sederhana, mendongeng adalah bertutur dengan intonasi yang jelas, menceritakan sesuatu hal yang berkesan, menarik, mempunyai nilai serta tujuan khusus (Latif, 2014:3). Kegiatan mendongeng tidak sekedar hiburan belaka, melainkan memiliki tujuan yang lebih luhur, yakni pengenalan alam lingkungan, budi pekerti, dan mendorong anak berperilaku positif (Priyono dalam Latif, 2014: 3). Menurut Dhieni (2008: 6.4) Storytelling (bercerita/mendongeng) adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang secara lisan kepada orang lain dengan alat atau tanpa alat tentang apa yang harus disampaikan dalam bentuk pesan, informasi, atau dongeng untuk diperdengarkan dengan rasa menyenangkan, oleh karena itu orang yang menyajikan cerita tersebut seharusnya dapat menyampaikannya dengan menarik. Dhieni, dkk (2008: 6.12) mengemukakan bahwa bercerita memiliki dua bentuk, yaitu: 1) bercerita tanpa alat peraga; dan 2) bercerita dengan alat peraga. Bercerita tanpa alat peraga, yaitu kegiatan bercerita yang dilakukan guru saat bercerita tanpa menggunakan media atau alat peraga yang diperlihatkan kepada peserta didik. Sedangkan bercerita dengan alat
34 peraga yaitu kegiatan bercerita menggunakan media/alat pendukung yang menarik bagi anak untuk mendengarkan dan memperhatikan ceritanya. Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode Storytelling merupakan seni bercerita (nyata maupun tidak nyata) secara lisan, dengan atau tanpa alat peraga yang disampaikan secara menyenangkan sehingga dapat merangsang imajinasi anak. Dalam penelitian ini metode Storytelling diterapkan dalam pembelajaran dongeng khususnya dongeng tentang hewan (fabel) dengan menggunakan alat peraga boneka tangan. Boneka tangan dipilih sebagai alat peraga dalam Storytelling karena bersifat komunikatif dan sesuai untuk memvisualkan tokoh dan penokohan dongeng sehingga membantu mempermudah pemahaman isi dongeng. Selain itu penggunaan boneka tangan dapat menarik perhatian, minat siswa, dan stimulus yang baik dalam kegiatan menyimak dongeng. c. Manfaat Storytelling Storytelling memiliki banyak manfaat tidak hanya bagi anak-anak tetapi juga bagi orang yang mendongengkannya. Menurut Dhieni (2008: 6.8) manfaat metode Storytelling (bercerita) antara lain: 1) melatih daya serap atau daya tangkap anak; 2) melatih daya pikir anak; 3) melatih daya konsentrasi anak; 4) mengembangkan daya imajinasi anak; 5) menciptakan situasi yang menggembirakan; 6) membantu perkembangan bahasa anak dalam berkomunikasi. Melalui Storytelling (bercerita/ mendongeng) anak dapat melatih daya serap, daya berpikir, serta konsentrasi pada saat menyimak dongeng yang disampaikan guru. Selain itu imajinasi atau daya khayal anak akan berkembang saat menyimak dongeng, yaitu anak dapat membayangkan atau menggambarkan suatu situasi yang berada di luar jangkauan inderanya. Dengan penyampaian yang menarik, kegiatan Storytelling dapat menciptakan situasi menggembirakan serta mengembangkan hubungan yang akrab sesuai dengan tahap perkembangannya. Kegiatan Storytelling
35 akan membantu perkembangan bahasa anak dalam berkomunikasi secara efektif dan efisien sehingga proses percakapan menjadi komunikatif. Menurut Josette Frank yang dikutip oleh Asfandiyar (2007: 27), seperti halnya orang dewasa, anak-anak memperoleh pelepasan emosional melalui pengalaman fiktif yang tidak pernah mereka alami dalam kehidupan nyata. Storytelling merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengembangkan aspek-aspek kognitif (pengetahuan), afektif (perasaan), sosial, dan aspek konatif (penghayatan) anak-anak. Dengan
demikian
dapat
disimpulkan
bahwa
manfaat
dari
mendongeng sangatlah banyak. Baik dari segi kebahasaan maupun segi kecerdasan dan hiburan. Storytelling tidak hanya mengembangkan aspek kognitif anak, tetapi juga aspek afektif dan konatifnya. d. Kelebihan Metode Storytelling Setiap
metode
pembelajaran
yang
digunakan
guru
dalam
pembelajaran sudah pasti memiliki berbagai kelebihan. Demikian pula dengan metode Storytelling. Dhieni (2008: 6.9) mengungkapkan kelebihan metode Storytelling (bercerita) antara lain: 1) dapat menjangkau jumlah anak yang relatif lebih banyak; 2) waktu yang tersedia dapat dimanfaatkan dengan efektif dan efisien; 3) pengaturan kelas menjadi lebih sederhana; 4) guru dapat menguasai kelas dengan mudah; dan 5) secara relatif tidak banyak memerlukan biaya. Dengan mempertimbangkan kelebihan-kelebihan yang ada tersebut, peneliti menggunakan metode Storytelling dalam penelitian ini. Melalui penerapan metode Storytelling diharapkan dapat mewujudkan tujuan pembelajaran yang diinginkan serta terwujudnya pembelajaran yang efektif dan efisien. e. Kekurangan Metode Storytelling Setiap metode pembelajaran pasti memiliki kekurangan, untuk itu perlu adanya pengembangan metode yang bervariasi yang dapat membantu pencapaian tujuan tiap materi pembelajaran. Demikian pula untuk metode Storytelling (bercerita) memiliki beberapa kekurangan.
36 Kekurangan metode Storytelling antara lain: 1) anak didik menjadi pasif, karena lebih banyak mendengarkan atau menerima penjelasan dari guru; 2) kurang merangsang perkembangan kreativitas dan kemampuan siswa untuk mengutarakan pendapatnya; 3) daya serap atau daya tangkap anak didik berbeda dan masih lemah sehingga sukar memahami tujuan pokok isi cerita; dan 4) cepat menumbuhkan rasa bosan terutama apabila penyajiannya tidak menarik (Dhieni, 2008: 6.9). Untuk mengatasi kekurangan tersebut peneliti membuat beberapa variasi dalam pembelajaran menyimak dongeng menggunakan metode Storytelling ini. Peneliti menggunakan alat peraga boneka tangan dalam pelaksanaan metode Storytelling untuk menarik perhatian siswa sehingga tidak cepat bosan dalam menyimak dongeng. Pembelajaran disesuaikan pula dengan karakteristik dan perkembangan siswa agar cerita dongeng yang disajikan mudah ditangkap. Pembelajaran tidak hanya terpusat pada guru, melainkan memberikan kesempatan siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran sehingga pembelajaran akan lebih komunikatif. f. Implementasi Metode Storytelling dengan Menggunakan Boneka Tangan dalam Pembelajaran Keterampilan Menyimak Dongeng 1) Pembelajaran Menyimak Dongeng pada Siswa Kelas II SD Materi pembelajaran menyimak dongeng diajarkan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas II semester genap sesuai silabus pembelajaran tematik Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pembelajaran menyimak dongeng dapat dijelaskan pada tabel 2.1 berikut: Tabel 2. 1 SK dan KD Pembelajaran Menyimak Dongeng Kelas II Semester 2 Standar Kompetensi Memahami pesan pendek dan dongeng yang dilisankan Kompetensi Dasar Menceritakan kembali isi dongeng yang di dengarkan. Pada penelitian ini, materi simakan yang digunakan peneliti adalah dongeng binatang atau fabel. Setelah kegiatan menyimak dongeng selesai, siswa diharapkan dapat menjawab pertanyaan tentang
37 isi dongeng dan dapat menceritakan kembali isi dongeng ke dalam bentuk tulisan. 2) Teknik Bercerita (Storytelling) Menggunakan Boneka Tangan Dalam memainkan boneka tangan, diperlukan keterampilan guru dalam menggerakkan ibu jari dan telunjuk yang berfungsi sebagai tulang tangan. Sebagaimana diungkapkan Musfiroh (2008:129), bercerita dengan boneka tangan memerlukan tekhnik tersendiri, yaitu: 1) jarak boneka tidak terlalu dekat dengan mulut pencerita; 2) kedua tangan harus lentur memainkan boneka; 3) antara gerakan boneka dengan suara tokoh harus singkron; 4) menyelipkan nyanyian dalam cerita melalui perilaku tokoh; 5) menyelipkan beberapa pertanyaan noncerita sebagai pengisi cerita; 6) melakukan improvisasi melalui tokoh dengan melakukan interaksi langsung dengan anak; 7) menutup cerita dengan membuat simpulan dan ajukan pertanyaan cerita yang berfungsi sebagai latihan bagi siswa; 8) sesekali boneka tangan didekatkan pada anak yang tampak terpesona; dan 9) untuk meningkatkan kualitas cerita dan performansi cerita, guru dapat menyiapkan panggung boneka. Dari penjelasan di atas, komunikasi yang interaktif antara guru dan siswa sangat penting untuk menghidupkan suasana dalam kegiatan mendongeng. Guru dapat menyelipkan nyanyian dan pertanyaan spontan sebagai bentuk keterlibatan siswa dalam pembelajaran menyimak dongeng. Selain itu, kemampuan guru dalam memainkan boneka dan menguasai penokohan masing-masing tokoh juga sangat menentukan keberhasilan kegiatan mendongeng ini. Improvisasi dapat dilakukan guru untuk meningkatkan daya imajinasi siswa terhadap dongeng. Guru sebaiknya menguasai karakter suara dan sifat masingmasing tokoh boneka. Dalam hal ini guru dituntut memiliki sekurangkurangnya dua karakter suara. Setelah selesai, guru hendaknya menutup cerita dengan membuat simpulan dan mengajukan pertanyaan yang berfungsi sebagai latihan bagi siswa. Guru juga dapat menyampaikan pesan moral yang diambil dari cerita dongeng yang disimak siswa.
38 3) Langkah-langkah Bercerita (Storytelling) Menggunakan Boneka Tangan Hal terpenting dalam kegiatan Storytelling adalah proses. Kegiatan Storytelling harus dikemas sedemikian rupa supaya menarik, oleh karena itu dibutuhkan adanya tahapan-tahapan dalam Storytelling. Menurut Fakhrudin (2003: 13), langkah-langkah mendongeng antara lain: 1) menguasai dongeng secara utuh; 2) berdiri pada posisi yang strategis; 3) konsentrasi sebelum memulai; 4) mengkondisikan siswa siap mendengarkan; 5) mendongeng dengan indah dan benar; 6) mendongeng dengan alur dan improvisasi secara kreatif dan penuh penghayatan; 7) mengakhiri dongeng dengan cara benar dan indah. Sebelum mendongeng, seorang pendongeng perlu mempersiapkan dan menguasai dongeng yang akan disampaikannya. Mendongeng dapat berjalan dengan baik dan lancar apabila pendongeng menguasai bahan cerita yang akan disampaikan. Saat akan mendongeng, sebaiknya pendongeng berdiri pada posisi yang strategis mengikuti alur dongeng. Pendongeng hendaknya menyesuaikan setiap watak tokoh dan ekspresi wajah yang mendukung penokohan maupun alur. Konsentrasi sangat diperlukan sebelum memulai mendongeng untuk mengurangi rasa cemas dan cerita yang dibawakan bisa fokus. Kegiatan mendongeng akan berjalan dengan baik apabila pendengar dalam posisi siap mendengarkan. Oleh karena itu, pendongeng perlu mempersiapkan pendengar sebelum memulai mendongeng. Setelah pendengar siap, pendongeng bisa memulai mendongeng dengan cara indah dan benar sehingga dapat memberi kesan kepada pendengar. Pendongeng hendaknya dalam bercerita melakukan improvisasi agar tidak terkesan monoton dan membosankan. Pendongeng hendaknya mengakhiri kegiatan mendongeng dengan baik dan indah agar memberikan kesan kepada pendengar terhadap pendongeng.
39 Majid (2013: 30-34) juga menjelaskan beberapa langkah bercerita mendongeng, yaitu: 1) pemilihan cerita; 2) persiapan sebelum masuk kelas; dan 3) memperhatikan posisi duduk siswa. Sebagai persiapan, guru perlu memilih/ membuat cerita yang sesuai dengan materi pelajaran yang akan disampaikan. Dalam pemilihan cerita, guru harus memperhatikan situasi dan kondisi siswa maupun pendongeng itu sendiri. Sebelum masuk kelas, guru perlu melakukan persiapan sebelum mendongeng, diantaranya memikirkan alur cerita, berlatih membawakan cerita, media bercerita, dan menyiapkan kalimat yang akan disampaikan sebelum masuk kelas. Ketika guru bercerita, yang diharapkan adalah mendapatkan perhatian dari siswa. Oleh karena itu guru harus menguasai jalannya cerita. Selain itu guru hendaknya memperhatikan posisi duduk siswa. Posisi duduk siswa yang baik apabila posisi duduk siswa dekat dengan guru. Kedekatan tempat ini bertujuan membantu pendengaran siswa dalam menyimak cerita dan memudahkan interaksi guru terhadap siswa. Langkah-langkah bercerita (Storytelling) menggunakan boneka tangan dalam pembelajaran menyimak dongeng menurut Dhieni (2008: 6.53) yaitu: 1) menyiapkan alat peraga dan boneka yang diperlukan; 2) mengatur posisi tempat duduk anak; 3) guru menunjukkan alat peraga yang telah disiapkan dan menyebutkan nama dan tokoh-tokoh dalam cerita; 4) guru memberitahukan judul ceritanya; 5) anak mendengarkan guru bercerita dengan melaksanakan dialog/percakapan antar boneka; 6) sambil bercerita guru menggerakkan boneka tangan secara bergantian; 7) setelah selesai bercerita guru memperlihatkan kembali seluruh boneka tangan; 8) anak diminta menyimpulkan isi cerita: dan 9) guru melengkapi kesimpulan isi cerita dari anak. Adapun langkah-langkah Storytelling (bercerita) dengan boneka tangan yang akan digunakan peneliti adalah: 1) mempersiapkan ruangan dan alat peraga boneka tangan yang diperlukan; 2) memberikan aba-aba pada anak-anak untuk mengatur tempat duduknya yaitu duduk
40 di lantai; 3) memperkenalkan peran dari masing-masing boneka tangan dan menyebutkan judul cerita yang akan disampaikan; 4) anak mendengarkan guru bercerita dengan melaksanakan percakapan antar boneka; 5) sambil bercerita guru menggerakkan boneka tangan sesuai isi cerita; 6) setelah selesai mendongeng, guru mengadakan tanya jawab tentang isi cerita; 7) membagikan lembar kegiatan siswa (LKS) yang dikerjakan secara berpasangan; dan 8) membagikan soal evaluasi untuk mengetahui ketercapaian tujuan pembelajaran. 4) Penilaian Keterampilan Menyimak Dongeng Menurut
Nurgiyantoro
(2011:
57)
penilaian
kompetensi
menyimak lazimnya berupa tagihan pemahaman dan tanggapan terhadap pesan yang disampaikan dengan cara merespons jawaban. Kedua macam tagihan tersebut dapat disiasati untuk dijadikan tugastugas yang berkadar otentik. Caranya adalah mengubah tagihan dari yang sekadar meminta siswa merespons jawaban tersebut menjadi tagihan kinerja berbahasa aktif produktif, baik yang disampaikan secara lisan maupun tertulis. Dilihat dari segi waktu dan fungsi penilaian sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran, penilaian harus mencakup penilaian proses dan penilaian produk/hasil (Nurgiyantoro, 2011: 28). Penilaian proses adalah penilaian yang dilakukan sepanjang dan bersamaan dengan proses pembelajaran yang hasilnya digunakan untuk umpan balik pembelajaran selanjutnya. Sedangkan penilaian produk/hasil adalah penilaian yang dilakukan di akhir pembelajaran untuk mengukur ketercapaian hasil belajar siswa terhadap keseluruhan kompetensi yang dibelajarkan dalam periode tertentu. Pada
penelitian
ini,
penilaian
proses
dilakukan
selama
pembelajaran menyimak dongeng berlangsung dengan berpedoman pada instrumen penilaian yang dirancang guru. Sedangkan penilaian produk/hasil merujuk pada keterampilan menceritakan kembali isi dongeng dan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan.
41 Penilaian keterampilan menyimak dapat dilakukan melalui teknik tes dan nontes (Nurgiyantoro,2010: 143). Teknik tes dan nontes haruslah sama-sama dipakai untuk menilai hasil belajar karena akan saling melengkapi informasi yang dibutuhkan tentang hasil belajar peserta didik. Keduanya dapat dimanfaatkan secara efektif jika dipergunakan secara tepat, sesuai dengan kompetensi dasar dan indikator yang akan dinilai. Dalam penelitian ini, teknik nontes dilaksanakan melalui pengamatan aktivitas siswa dalam pembelajaran, sedangkan teknik tes dimaksudkan untuk mengukur kemampuan siswa menangkap dan memahami isi dongeng. Tes yang dilakukan pada penelitian ini berupa tes otentik. Tes otentik menuntut siswa mengkontruksi jawaban sendiri, antara lain menceritakan kembali secara tertulis dengan kata-kata sendiri atau menuliskan kembali isi informasi yang terkandung dalam dongeng (Nurgiyantoro, 2010: 360). Tes otentik dilakukan melalui dua tes. Tes pertama adalah menjawab pertanyaan tertulis berkaitan dengan isi dongeng, sedangkan tes kedua yaitu menceritakan kembali dongeng secara tertulis dengan bahasanya sendiri. Adapun untuk menceritakan kembali dongeng secara tertulis aspek yang dinilai meliputi: (1) pemahaman isi dongeng; (2) keruntutan isi dongeng; (3) ketepatan organisasi isi dongeng; (4) kelengkapan isi dongeng; dan (5) ketepatan ejaan dan tata tulis (Nurgiyantoro, 2010: 367). 3. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan merupakan uraian sistematis tentang hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu yang relevan sesuai dengan substansi yang diteliti. Fungsinya untuk memposisikan peneliti yang sudah ada dengan penelitian yang akan dilakukan. Menurut peneliti ada beberapa penelitian yang dianggap relevan dengan penelitian ini, diantaranya adalah : a. Meilan Tri Wuryani (2013) dengan judul penelitian “Penggunaan Media Wayang Kartun untuk Meningkatkan Keterampilan Menyimak Dongeng
42 pada Siswa Kelas II SD Negeri Dalangan 02 Tawangsari, Sukoharjo Tahun Ajaran 2012/2013”. Penelitian yang dilakukan Meilan Tri Wuryani ini menyimpulkan adanya peningkatan keterampilan menyimak dongeng pada siswa kelas II SD Negeri Dalangan 02 Tawangsari, Sukoharjo melalui penggunaan media wayang kartun. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan keterampilan menyimak dongeng, yaitu pada tindakan prasiklus nilai ratarata evaluasi keterampilan menyimak dongeng siswa hanya 67,26, siklus I nilai rata-rata evaluasi keterampilan menyimak dongeng siswa sebesar 73, 91, dan pada siklus II nilai rata-rata evaluasi keterampilan menyimak dongeng sebesar 80,15. Adanya peningkatan keterampilan menyimak juga dapat dilihat dari tingkat ketuntasan belajar siswa. Tingkat ketuntasan belajar siswa pada prasiklus sebesar 7 siswa atau 41,18% . Pada siklus I sebanyak 13 siswa atau 76,47%. Sedangakan pada siklus II sebanyak 15 siswa atau 88,24%. Hal ini menunjukkan peningkatan dari prasiklus ke siklus I sebesar 35,29%, peningkatan dari siklus I ke siklus II sebesar 11,77%, dan peningkatan ketuntasan dari prasiklus sampai siklus II sebesar 47,06%. Persamaan penelitian yang peneliti lakukan dengan penelitian tersebut adalah pada variabel terikatnya yakni keterampilan menyimak dongeng, kemudian perbedaannya terletak pada variabel bebasnya. Variabel bebas dari penelitian yang akan peneliti lakukan adalah penerapan Metode Storytelling dengan alat peraga boneka tangan, sedangkan dalam penelitian Meylan menggunakan media Wayang Kartun. Selain itu juga terdapat perbedaan pada subjek penelitian dan lokasi penelitian yang digunakan. b. Eko Santoso (2013) dengan judul penelitian “Peningkatan Keterampilan Berbicara melalui Metode Storytelling (Bercerita) dengan Menggunakan Boneka Tangan pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas V SD Negeri Teloyo 3 Tahun Ajaran 2012/2013”.
43 Penelitian yang dilakukan Eko Santoso ini menyimpulkan adanya peningkatan keterampilan berbicara siswa siswa kelas V SD Negeri Teloyo 3 melalui penerapan metode Storytelling (Bercerita) dengan menggunakan boneka tangan. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya peningkatan keterampilan berbicara siswa, yaitu pada kondisi awal sebesar 29,99%, siklus 1 pertemuan pertama sebesar 45,70%, pertemuan kedua sebesar 58,56%. Pada siklus II pertemuan pertama mengalami peningkatan menjadi 72,82%, dan pada pertemuan kedua mengalami peningkatan menjadi 89,99%. Persamaan penelitian yang peneliti lakukan dengan penelitian tersebut adalah pada variabel bebasnya yakni metode Storytelling dengan menggunakan boneka tangan, kemudian perbedaannya terletak pada variabel terikatnya. Variabel terikat dari penelitian yang akan peneliti lakukan adalah keterampilan menyimak dongeng, sedangkan dalam penelitian Eko variabel terikatnya adalah keterampilan berbicara. Selain itu terdapat perbedaan pada subjek penelitian dan lokasi penelitian. c. Anisa’ Ratna Pertiwi (2011) dengan judul penelitian “Peningkatan Minat Membaca dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia melalui Metode Mendongeng (Storytelling) pada Siswa Kelas IV SD Negeri Pabelan 02 Kartasura Kabupaten Sukoharjo Tahun Ajaran 2010/ 2011. Penelitian yang dilakukan Anisa’ Ratna Pertiwi ini menyimpulkan adanya peningkatan nilai rata-rata minat membaca siswa kelas IV SD Negeri Pabelan 02 Kartasura Kabupaten Sukoharjo melalui penerapan metode mendongeng (Storytelling). Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan nilai rata-rata minat membaca siswa, yaitu sebesar 2,50 pada tahap prasiklus meningkat menjadi 3,03 pada siklus I, dan menjadi 3,38 pada siklus II. Persamaan penelitian yang peneliti lakukan dengan penelitian tersebut adalah pada variabel bebasnya yakni penerapan metode mendogeng (Storytelling), kemudian perbedaannya terletak pada variabel terikatnya. Variabel terikat dari penelitian yang akan peneliti lakukan
44 adalah keterampilan menyimak dongeng, sedangkan dalam penelitian Anisa’ variabel terikatnya adalah minat membaca. Selain itu juga terdapat perbedaan pada subjek penelitian dan lokasi penelitian yang digunakan. Dari ketiga penelitian di atas menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar siswa yang signifikan melalui penerapan metode Storytelling maupun penggunaan boneka tangan. Adanya peningkatan hasil belajar tersebut mendasari dilakukannya penelitian ini yang menerapkan metode Storytelling berbantuan boneka tangan untuk meningkatkan keterampilan menyimak dongeng siswa kelas II SD Negeri Setono No. 95 Surakarta. B. Kerangka Berpikir Menyimak merupakan salah satu keterampilan dari empat keterampilan bahasa. Kegiatan menyimak sering dianggap mudah dan diabaikan orang dari pada
keterampilan berbahasa lain. Namun, kenyataannya tidak semua orang
mampu menyimak dengan baik. Ada berbagai macam menyimak, salah satunya adalah menyimak dongeng. Keterampilan menyimak dongeng merupakan salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh siswa kelas II. Berdasarkan observasi di lapangan, peneliti memperoleh fakta bahwa sebagian besar siswa kelas II SD Negeri Setono No. 95 Surakarta memiliki keterampilan menyimak dongeng yang masih rendah, terbukti dari 33 siswa hanya 10 anak (30,3%) yang memenuhi batas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dalam pembelajaran menyimak dongeng. Belum digunakannya metode pembelajaran yang inovatif mengakibatkan pembelajaran menjadi kurang efektif sehingga hal tersebut menjadi salah satu penyebab rendahnya keterampilan menyimak siswa. Selama ini pembelajaran menyimak dongeng dilaksanakan hanya dengan membacakan dongeng pada buku tanpa alat peraga yang menarik sehingga siswa mudah bosan dan mudah teralihkan perhatiannya. Selain itu, guru kurang melakukan umpan balik untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap isi dongeng yang disimaknya. Selain siswa tidak mengalami pembelajaran yang bermakna, faktor karakteristik siswa kelas II yang memiliki bentang karakteristik perhatian yang pendek juga menjadi penyebab siswa mudah lupa terhadap isi dongeng yang disimaknya. Terbukti pada
45 kondisi awal siswa kurang runtut dalam menceritakan isi dongeng dan kurang mampu menjawab pertanyaan tentang isi dongeng. Melihat kondisi awal tersebut, maka peneliti mencari alternatif yang tepat untuk mengatasi permasalahan pembelajaran tersebut, yaitu dengan menggunakan metode yang tepat. Salah satu metode yang tepat dalam meningkatkan keterampilan menyimak dongeng siswa kelas II SD Negeri Setono No. 95 Surakarta adalah metode Storytelling. Penggunaan metode Storytelling akan semakin lengkap dengan menggunakan alat peraga yang tepat. Boneka tangan dipilih sebagai alat peraga pada penelitian ini untuk mendukung tercapainya tujuan pembelajaran. Penggunaan media boneka tangan dinilai sangat cocok untuk anak-anak, sehingga dapat menarik perhatian siswa pada kegiatan pembelajaran. Penggunaan metode Storytelling diharapkan dapat membantu meningkatkan keterampilan menyimak dongeng dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Melalui metode Storytelling siswa memiliki pengalaman belajar baru dan suasana yang berbeda di dalam kelas. Pembelajaran terasa lebih menyenangkan dengan adanya variasi penggunaan alat peraga boneka tangan. Melalui kolaborasi antara peneliti dan guru kelas, metode Storytelling akan diterapkan pada siklus I dan siklus II. Kedua siklus tersebut melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, pengamatan/ observasi, dan refleksi, dengan indikator kinerja 80% siswa mendapat nilai diatas KKM. Pada kondisi akhir, hasil yang dapat diperoleh adalah dengan metode mendongeng (Storytelling) dapat meningkatkan keterampilan menyimak dongeng dalam pembelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas II SD Negeri Setono No. 95 Surakarta. Alur kerangka pemikiran ditujukan untuk mengarahkan jalannya penelitian agar tidak menyimpang dari pokok-pokok permasalahan, maka kerangka pemikiran di atas dilukiskan dalam sebuah gambar skema agar peneliti mempunyai gambaran yang jelas dalam penelitian. Adapun skema seperti pada gambar 2.1 berikut ini :
46
Kondisi awal
Tindakan
1. Guru mengajar secara konvensional (membacakan dongeng) 2. Tidak menggunakan media pembelajaran yang menarik
1. Keterampilan menyimak dongeng rendah. 2. 69,7% siswa memiliki nilai dibawah KKM.
Guru menerapkan metode Storytelling dalam pembelajaran Bahasa Indonesia materi keterampilan menyimak dongeng dengan berbantuan boneka tangan
Siklus I 1. Perencanaan 2. Tindakan 3. Observasi 4. Refleksi
Siklus II 1. Perencanaan 2. Tindakan 3. Observasi 4. Refleksi
Kondisi akhir
Melalui penerapan metode Storytelling berbantuan boneka tangan, keterampilan menyimak dongeng pada siswa kelas II SD Negeri Setono No.95 Surakarta dapat meningkat. Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
47 C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir yang telah diuraikan, dapat dirumuskan hipotesis penelitian tindakan kelas sebagai berikut: “Penerapan metode Storytelling dapat meningkatkan keterampilan menyimak dongeng siswa kelas II SD Negeri Setono No.95 Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016”.