BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka 1. Belajar Belajar merupakan proses yang berlangsung terus-menerus sepanjang hidup. Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku. Menurut Sardiman (2011: 22) belajar adalah: Belajar dalam pengertian luas dapat diartikan sebagai kegiatan psikofisik menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya. Kemudian dalam arti sempit, belajar dimaksudkan sebagai usaha penguasaan meteri ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya. Sedangkan menurut Hergenhann dan H. Olson (2009: 8) belajar merupakan “perubahan perilaku atau potensi perilaku yang relatif permanen yang berasal dari pengalaman dan tidak bisa dinisbahkan ke keadaan tubuh temporer (Temporary Body States) seperti keadaan yang disebabkan oleh sakit, keletihan, atau obat-obatan.” Definisi ini menekankan pentingnya pengalaman tetapi definisi ini membiarkan ahli teori untuk menentukan sendiri apa jenis pengalaman yang dirasa perlu untuk terjadinya suatu tindak belajar, misalnya praktik penguatan, hubungan antara stimulus dengan respons, atau akuisisi informasi. Definisi ini juga mengingatkan kita bahwa pengalaman dapat menyebabkan peristiwa yang bukan tindak belajar yang bisa memodifikasi perilaku. Keletihan adalah salah satu contohnya. Menurut Witherington seperti yang dikutip oleh Purwanto (2010: 84) mengatakan belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari pada reaksi yang berupa kecakapan,
sikap,
kebiasaan,
kepandaian,
6
atau
suatu
pengertian.
7 Menurut Suyono & Hariyanto (2011: 165) belajar adalah: Suatu upaya pembelajaran untuk mengembangkan seluruh kepribadianya, baik fisik maupun psikis. Belajar juga dimaksudkan untuk mengembangkan seluruh aspek intelgensi sehingga anak didik akan menjadi manusia yang utuh, cerdas secara intelgensi, cerdas secara emosi, cerdas psikomotornya, dan memiliki ketrampilan hidup yang bermakna bagi dirinya. Dengan kata lain siswa pembelajar harus mampu mengembangkan potensi dirinya dalam berbagai ranah belajar. Meskipun banyak pengertian belajar namun ada empat rujukan yang terkandung dalam pengertian belajar menurut Warsita (2008: 65-66) yaitu: (1) adanya perubahan atau kemampuan baru, (2) perubahan atau kemampuan baru itu tidak berlangsung sesaat, tetapi menetap dan dapat disimpan, (3) perubahan atau kemampuan baru itu terjadi karena usaha, dan (4) perubahan atau kemampuan baru tidak hanya timbul karena faktor pertumbuhan. Pengertian belajar sebenarnya sangat kompleks, tergantung dari aspek mana kita melihat. Seperti yang kita ketahui belajar merupakan suatu proses perubahan, seseorang dianggap belajar jika terjadi perubahan dalam dirinya, dan perubahan yang terjadi dalam diri seseorang banyak sekali baik sifat maupun jenisnya, tidak semua perubahan dalam diri seseorang merupakan perubahan dalam arti belajar. Menurut Slameto (2010: 3) ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Perubahan terjadi secara sadar Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.
Perubahan yang diperoleh seseorang setelah melalui suatu proses balajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Jika seseorang belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap, keterampilan, pengetahuan, dan sebagainya. Selain itu ada beberapa prinsip belajar yang relatif berlaku umum yang dapat dijadikan dasar atau acuan dalam kegiatan belajar dan pembelajaran.
8 Menurut Warsita (2008: 64) prinsip-prinsip belajar yang mendidik berkaitan dengan: (1) perhatian dan motivasi belajar peserta didik, (2) keaktifan belajar dan keterlibatan langsung/pengalaman dalam belajar, (3) pengulangan belajar, (4) tantangan semangat belajar, (5) pemberian balikan dan penguatan belajar, serta (6) adanya perbedaan individual dalam perilaku belajar. Sebenarnya ada beberapa teori tentang belajar yang perlu kita ketahui dan kita cermati sebagai bahan masukan dalam kegiatan pembelajaran. Menurut Yudhawati & Haryanto (2011: 41-46) yaitu sebagai berikut: (1) teori behaviorisme, yakni merupakan aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi jasmaniah dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar, (2) teori belajar kognitif, yakni belajar akan lebih berhasil jika disesuaikan dengan tahapan perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan dari guru. Dan hendaknya guru member rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan, (3) teori pemrosesan informasi belajar, yakni pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran, dan (4) teori belajar Gestat, yakni objek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Berdasarkan beberapa uraian di atas mengenai belajar, bahwa yang dimaksud belajar dalam penelitian ini yakni belajar adalah suatu perubahan perilaku, akibat interaksi dengan lingkungannya. Perilaku dalam proses belajar terjadi akibat dari interaksi dengan lingkungan. Interaksi biasanya berlangsung secara sengaja. Dengan demikian belajar dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan dalam diri individu. Sebaliknya apabila terjadi perubahan dalam diri individu maka belajar tidak dikatakan berhasil. Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh kamampuan siswa dan kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran yang dimaksud adalah profesional yang dimiliki oleh guru. Artinya kemampuan dasar guru baik di bidang kognitif (intelektual), bidang sikap (afektif) dan bidang perilaku (psikomotorik).
9 2. Hasil Belajar Hasil belajar sangat berkaitan dengan pencapaian dalam memperoleh kemampuan sesuai dengan tujuan khusus yang direncanakan. Dengan demikian tugas utama guru dalam kegiatan ini ialah merancang instrumen yang dapat mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa mencapai tujuan pembelajaran. Gintings (2007) menyatakan hasil belajar adalah: Hasil dari kegiatan belajar dan pembelajaran telah berjalan dan mencapai hasil sebagaimana yang ditetapkan dalam Rencana Perencanaan Pembelajaran (RPP), harus dilakukan evaluasi belajar dan pembelajaran. Evaluasi ini meliputi evaluasi terhadap proses belajar dan pembelajaran serta evaluasi terhadap hasil yang dicapai oleh siswa. Sedangkan Sudjana (2010: 22) menyatakan bahwa hasil belajar adalah “Kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnnya.” Howard Kingsley dalam Sudjana (2010: 22) membagi hasil belajar menjadi tiga macam yaitu (1) keterampilan dan kebiasaan, (2) pengetahuan dan pengertian, (3) sikap dan cita-cita. Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Pendapat dari Horward Kingsley ini menunjukkan hasil perubahan dari semua proses belajar. Hasil belajar ini akan melekat terus pada diri siswa karena sudah menjadi bagian dalam kehidupan siswa tersebut. Adapun penelitian Rahayu dan Nuraini (2010) bahwa terdapat peningkatan hasil belajar siswa yang terbagi dalam tiga ranah yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Menurut Purwanto (2009: 34) hasil belajar adalah “perubahan perilaku siswa akibat belajar. Perubahan itu diupayakan dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan.” Sedangkan menurut Wingkel dalam Purwanto (2009: 39) hasil belajar merupakan proses dalam diri individu yang berinteraksi dengan lingkungan untuk mendapatkan perubahan dalam perilakunya. Menurut
Gagne
(Purwanto,
2009:
42)
hasil
belajar
adalah
terbentuknya konsep, yaitu kategori yang kita berikan pada stimulus yang ada di lingkungan yang menyediakan skema yang terorganisasi untuk asimilasi
10 stimulus-stimulus baru dan menentukan hubungan di dalam dan diantara kategori-kategori. Kemudian lima kategori hasil belajar menurut Gagne (Sudjana, 2010: 22) yaitu: (1) informasi verbal, (2) keterampilan intelektual, (3) strategi kognitif, (4) sikap, dan (5) keterampilan motoris. Dari beberapa pengertian hasil belajar dari beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah terbentuknya kemampuan yang dimiliki siswa baik aspek kognitif, afektif, dan psikomotor oleh kegiatan belajar yang diterimannya. Dalam proses belajar pasti ada suatu tujuan yang ingin dicapai, ada beberapa hal yang menjadi tujuan dalam belajar. Klasifikasi hasil belajar menurut Bloom (Sudjana, 2010: 22-23), yaitu: 1) Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek yang meliputi pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisi, sintesis, dan evaluasi 2) Ranah afektif, berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yang meliputi penerimaan, jawaban, penilaian, organisasi, dan internalisasi 3) Ranah psikomotorik, berkenaan dengan hasil belajar yang berupa ketrampilan dan kemampuan bertindak, meliputi enam aspek yakni gerakan refleks, keterampilan gerak dasar, kemampuan perceptual, ketepatan,
keterampilan
kompleks,
dan
gerakan
ekspresif
dan
interpretatif. Menurut Hamalik (2006: 30) hasil belajar adalah “hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.” Teori Bloom hasil belajar dalam rangka studi dicapai melalui tiga kategori ranah antara lain kognitif, afektif, psikomotor. Perincian menurut Munawan (2009: 1-2) dalam teori Bloom hasil belajar adalah sebagai berikut: (1) ranah kognitif adalah berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian, (2) ranah afektif adalah berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah
11 afektif meliputi lima jenjang kemampuan yaitu menerima, menjawab atau reaksi, menilai, organisasi dan karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai, dan (3) ranah psikomotor meliputi keterampilan motorik, manipulasi benda-benda, koordinasi neuromuscular (menghubungkan, mengamati). Tipe hasil belajar kognitif lebih dominan daripada afektif dan psikomotor karena lebih menonjol, namun hasil belajar psikomotor dan afektif juga harus menjadi bagian dari hasil penilaian dalam proses pembelajaran di sekolah. Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar digunakan oleh guru untuk dijadikan ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Hal ini dapat tercapai apabila siswa sudah memahami belajar dengan diiringi oleh perubahan tingkah laku yang lebih baik lagi. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disintesiskan bahwa hasil belajar adalah suatu penilaian akhir dari proses dan pengenalan yang telah dilakukan berulang-ulang. Serta akan tersimpan dalam jangka waktu lama atau bahkan tidak akan hilang selama-lamanya karena hasil belajar turut serta dalam membentuk pribadi individu yang selalu ingin mencapai hasil yang lebih baik lagi sehingga akan merubah cara berpikir serta menghasilkan perilaku kerja yang lebih baik. Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor dari dalam diri siswa dan faktor dari luar diri. Dari pendapat ini faktor yang dimaksud adalah faktor dalam diri siswa perubahan kemampuan yang dimilikinya seperti yang dikemukakan oleh Clark pada tahun 1981 bahwa hasil belajar siswa di sekolah 70% dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh lingkungan. Demikian juga faktor dari luar diri siswa yakni lingkungan yang paling dominan berupa kualitas pembelajaran (Sudjana, 2006: 39). Menurut Djamarah (2011: 1) hasil belajar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu “faktor dari dalam individu siswa berupa kemampuan personal (internal) dan faktor dari luar diri siswa yakni lingkungan. Hasil belajar adalah sesuatu yang dicapai atau diperoleh siswa berkat adanya usaha atau pikiran”.
12 Sedangkan menurut Paneo (2007: 725) dalam jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No.067, Tahun Ke-13), Juli 2007 mengutip pendapat Gronlund (1993:3) membagi hasil belajar pada kawasan kognitif ke dalam dua bagian besar, yakni: (1) pengetahuan, dan (2) kemampuan intelektual dan ketrampilan. Selanjutnya kedua bagian tersebut dibagi dalam enam sub bagian sebagai berikut: (1) pengetahuan, berkenaan dengan kemampuan mengingat materi yang telah dipelajari, (2) berkenaan dengan kemampuan memahami arti dari materi yang dipelajari, (3) penerapan berkenaan dengan kemampuan menggunakan informasi pada situasi nyata, (4) analisis, berkenaan dengan kemampuan menguraikan materi menjadi beberapa bagian, (5) sintesis, berkenaan dengan kemampuan mengumpulkan atau menyatukan bagian – bagian menjadi satu kesatuan yang utuh, dan (6) evaluasi, berkenaan dengan kemampuan memberikan penilaian pada sesuatu hal dengan menggunakn kriteria tertentu. Menurut Tawil (2008: 1053) dalam jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No.075, Tahun Ke-14, November 2008) mengutip Anderson dan Krathwol (dalam Ibrahim, 2005: 8) hasil belajar peserta didik ditunjukkan oleh penguasaan tiga kompetensi yang meliputi ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor. Dalam ranah kognitif meliputi kemampuan peserta didik dalam; (1) memahami, (2) menerapkan, (3) menganalisis, (4) mengevaluasi, (5) kreativitas. Ranah afektif berkaitan dengan sikap, deraat, penerimaan atau penolakkan suatu objek. Sedang dalam ranah psikomotorik berkaitan dengan gerak fisik (ketrampilan) peserta didik. Menurut Ibrahim (2009: 111) dalam jurnal pendidikan dan kebudayaan volume l. No 15, No.1, Januari 2009 ISSN 0215-2673. Penerbit Badan Penelitian dan pengembangan Departemen Pendidikan Nasional mengutip Bloom dan kawan-kawannya sebagaimana dikutip oleh Degeng (1989: 176-177), mengklasifikasikan hasil belajar menjadi 3 (tiga) domain atau ranah, yaitu “ranah kognitif, psikomotorik, dan sikap. Ranah kognitif, menaruh perhatian pengembangan kapabilitas dan ketrampilan intelektual, ranah psikomotorik berkaitan dengan kegiatan-kegiatan manipulatif atau ketrampilan
13 motorik, dan ranah sikap berkaiatan dengan pengembangan sikap, nilai dan emosi. Masih menurut Ibrahim (2009: 112) yang mengutip Reigeluth (1983:94) mengatakan secara spesipik, hasil belajar adalah suatu kinerja (perfomance) yang diindikasikan sebagai suatu kapabilitas (kemampuan) yang telah diperoleh. Hasil Belajar tersebut selalu dinyatakan dalam bentuk tujuan– tujuan (khusus) perilaku (unjuk kerja). Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor dari dalam individu siswa berupa kemampuan personal (internal) dan faktor dari luar diri siswa yakni lingkungan. Menurut Sardiman (2011: 28-29) ada tiga macam hasil belajar, yaitu: (1) hal ihwal keilmuan dan pengetahuan, konsep atau fakta (kognitif), (2) hal ihwal personal, kepribadian atau sikap (afektif), dan (3) hal ihwal kelakuan, ketrampilan atau penampilan (psikomotorik). Masingmasing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Menurut artikel I Putu Darmayasa dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Tahun ke-13 Nomor 066, dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar meliputi; (1) faktor internal, yakni faktor yang berasal dari dalam diri mahasiswa itu sendiri, seperti keadaan jasmani dan rohani, (2) faktor eksternal, yakni faktor yang berasal dari luar mahasiswa itu sendiri seperti kondisi lingkungan atau tempat tinggal manusia, (3) faktor pendekatan belajar, yakni jenis upaya belajar mahasiswa yang meliputi strategi dan metoda
yang digunakan mahasiswa untuk melakukan kegiatan
pembelajaran serta materi-materi pelajaran. Selanjutnya I Putu Darmayasa mengutip dari Hasibuan dan Moedjiono (1995: 65) dikatakan bahwa hasil belajar mempunyai ciri-ciri sebagai berikut; (1) adanya peningkatan kemampuan intelektual, (2) adanya kemampuan untuk mengingat dan mengungkapkan informasi yang diterima, (3) adanya kemampuan dalam memecahkan masalah, dan (4) adanya kemampuan penilaian dan bersikap. Kemampuan yang ada pada guru akan mempengaruhi hasil belajar siswa lebih optimal. Hasil belajar siswa merupakan salah satu tolok ukur
14 keberhasilan guru dalam mengajar. Jika kita lihat proses hasil belajar tidak hanya satu macam saja, tetapi meliputi berbagai kategori hasil belajar. Menurut Rasyid dan Mansur (2007: 12) penilaian hasil belajar menuntut terpenuhinya tiga ranah sebagai indikator keberhasilan yaitu adalah Kemampuan berpikir, ketrampilan melakukan pekerjaan, dan perilaku. Setiap siswa memiliki potensi pada dua ranah yaitu kemampuan berpikir dan ketrampilan namun tingkatanya dari satu siswa ke siswa yang lain bisa berbeda. Sedangkan ranah afektif/perilaku mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai. Menurut Rasyid & Mansur (2007: 13-14) Hasil belajar siswa sangat ditentukan oleh kualitas pembelajaran yakni: Pembelajaran ditentukan oleh karakteristik masukanya, yaitu karakteristik siswanya. Kualitas pembelajaran mempengaruhi kualitas hasil. Hasil yang berkualitas akan mempengaruhi masukan pada proses pembelajaran berikutnya. Untuk itu untuk mencapai hasil belajar yang optimal guru dalam merancang program pembelajaran dan pengalaman belajar siswa harus memperhatikan karakteristik afektif siswa. Penilaian hasil belajar mempunyai makna yang sangat dalam, baik bagi guru, siswa, dan sekolah. Menurut Widoyoko (2011: 36-38) makna penilaian bagi ketiga pihak tersebut antara lain: 1) Makna bagi siswa meliputi: (a) memuaskan, dan (b) tidak memuaskan, 2) Makna bagi guru meliputi : (a) guru dapat mengetahui siswa mana yang berhak melanjutkan pelajaranya karena sudah berhasil mencapai KKM, (b) mengetahui siswa mana yang belum berhasil mencapai KKM yang diharapkan, (c) guru dapat mengetahui apakah pengalaman belajar/ materi yang disajikan sudah tepat apa belum, dan (d) guru dapat mengetahui apakah strategi pembelajaran yang digunakan sudah tepat apa belum 3) Makna bagi sekolah meliputi: (a) akan dapat mengetahui bagaimana hasil belajar siswa-siswanya sealigus kultur akademik yang diciptakan oleh sekolah sudah sesuai atau belum, (b) informasi yang diperoleh dari tahun ke tahun dapat digunakan sebagai pedoman bagi sekolah, dan (c) informasi hasil penilaian dapat dijadikan sebagai pertimbangan bagi sekolah untuk menyusun berbagai program pendidikan di sekolah untuk masamasa mendatang. Sehubungan dengan hal tersebut, Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini menggunakan ranah klasifikasi hasil belajar menurut Bloom (Sudjana, 2010:
15 22-23), yaitu: (1) ranah kognitif, (2) ranah afektif, (3) ranah psikomotorik. Selain itu, untuk ranah kognitif diukur melalui tes dan ranah afektif serta ranah psikomotorik diukur melalui observasi. Dengan
demikian
tujuan
belajar
adalah
ingin
mendapatkan
pengetahuan, ketrampilan dan menanamkan sikap mental. Dengan mencapai tujuan belajar maka akan diperoleh hasil dari belajar itu sendiri. Mengenai hasil belajar, penelitian Safitri (2011) mendapati fakta bahwa terdapat adanya peningkatan hasil belajar di akhir siklus. Adapun penelitian Sipranata (2012) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan keaktifan dan hasil belajar siswa.
3. Motivasi Belajar Menurut artikel Igil Wagimin dalam Jurnal Penelitian Pendidikan Paedagogia Jilid 5 Nomor 1 Pebruari 2002 yang berjudul “ Pengaruh Motivasi dan Kemampuan Terhadap Prestasi Kerja (studi pada karyawan PT Pos Indonesia Kantor Pos Solo) ,” dikatakan bahwa “Motivasi pada intinya adalah dorongan yang menggerakan seseorang untuk melakukan sesuatu kegiatan. Jadi motivasi adalah suatu dorongan yang terdapat dalam diri seseorang sebagai akibat adanya pengaruh yang berasal dari dalam dirinya dan luar dirinya”. Menurut Chung Wo dalam Journal International Educational Technology & Society, 17 (3), 291–307 bahwa “motivation, volition, and performance (MVP) theory indicates that cognitive load and learning motivation simultaneously influence performance”. Dijelaskan bahwa motivasi, kemauan dan kinerja sangat berpengaruh pada kognitif (pengetahuan). Adapun penelitian Sutarno (2013) bahwa terdapat peningkatan motivasi belajar dari siklus I ke siklus II yaitu dari kategori sedang menjadi tinggi. Sedangkan menurut Sardiman (2006:73) motivasi adalah “perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya felling dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan”.
16 Motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Belajar adalah perubahan tingkah laku secara relatif permanen dan secara potensial terjadi sebagai hasil dari praktik atau penguatan yang dilandasi tujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Motivasi belajar dapat timbul karena faktor intrinsik, berupa hasrat dan keinginan berhasil dan dorongan kebutuhan belajar, harapan akan cita-cita. Sedangkan faktor ekstrinsiknya adalah adanya penghargaan, lingkungan belajar yang kondusif, dan kegiatan belajar yang menarik. Lebih lanjut Keller 1987 (dalam Wena 2009: 33) mendefinisikan motivasi sebagai intesitas dan arah suatu perilaku serta berkaitan dengan pilihan yang dibuat seseorang untuk mengerjakan atau menghindari sebuah tugas serta menunjukkan tingkat usaha yang dilakukan”. Menurut Keller (dalam Wena 2009: 33) usaha merupakan suatu indikator langsung dari motivasi belajar, maka secara operasional motivasi belajar ditentukan oleh indikator-indikator sebagai berikut: 1) Tingkat perhatian siswa terhadap pembelajaran 2) Tingkat relevansi pembelajaran dengan kebutuhan siswa 3) Tingkat keyakinan siswa terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam mengerjakan tugas-tugas pembelajaran 4) Tingkat kepuasan siswa terhadap proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Sedangkan menurut Uno (2011: 8) konsep motivasi yang berhubungan dengan tingkah laku seseorang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (a) seseorang senang terhadap sesuatu apabila ia dapat mempertahankan rasa senangnya maka ia akan termotivasi untuk melakukan tindakan itu, (b) apabila seseorang merasa yakin mampu menghadapi tantangan maka biasanya orang tersebut terdorong malakukan kegiatan tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa motivasi dipengaruhi oleh keadaan emosi seseorang. Guru dapat memberikan motivasi siswa dengan melihat suasana emosional siswa tersebut. Menurutnya motivasi berprestasi dimiliki oleh setiap orang, sedangkan intensitasnya tergantung pada kondisi mental orang tersebut.
17 Menurut Dimyati (2006: 80) pandangan motivasi adalah “dorongan mental yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku manusia, termasuk perilaku belajar. Dalam motivasi terkandung adanya keinginan yang mengaktifkan, menggerakkan, menyalurkan, dan mengarahkan sikap dan perilaku individu belajar”. Hakekat motivasi belajar menurut Supriyono (2010:1630) adalah: Dorongan internal dan eksternal pada peserta didik yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan perilaku. Motivasi belajar adalah proses yang memberi semangat belajar, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah dan bertahan lama. Motivasi dapat diartikan pula sebagai kekuatan atau energi seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber diri dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Menurut Asrori (2007: 183) motivasi diartikan sebagai: (a) dorongan yang timbul pada diri seseorang, secara disadari atau tidak disadari untuk melakukan tindakan dengan tujuan tertentu, (b) usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang/kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang ingin dicapai. Menurut Yudhawati & Haryanto (2011: 82) dari Cleland yang memperkenalkan teori kebutuhan ia menjelaskan bahwa motivasi berbeda-beda sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Selanjutnya menurut Cleland karakteristik orang berprestasi tinggi memiliki tiga ciri umum yaitu: (a) sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat, (b) menyukai situasi-situasi dimana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain seperti kemujuran, dan (c) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah. Gutierrez, dkk dalam The Spanish Journal of Psychology 2010, Vol. 13 No. 2, 597-608 mengatakan bahwa “the most important predictors of pupils’ intrinsic motivation were the perceived mastery climate, and perceived teachers’ emphasis on intrinsic reasons to maintain discipline”.
18 Artinya pada dasarnya kedisiplinan muncul dari motivasi instrinsik yang ditekankan oleh guru kepada siswa. Dalam
kaitanya
motivasi
bagi
siswa
di
sekolah
tentunya
menginginkan motivasi berprestasi, baik prestasi akademik maupun prestasi non akademik. Pada umumnya prestasi didapat karena adanya hubungan antara persaingan dalam keunggulan-keunggulan. Motivasi berprestasi sangat memerlukan faktor pendukung agar motivasi dapat meningkat dan terarah pada tujuan. Menurut Mudjiman (2011: 47) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan motivasi belajar antara lain: (a) faktor pengetahuan tentang kegunaan belajar, (b) faktor kebutuhan untuk belajar, (c) faktor kemampuan melakukan kegiatan belajar, (d) faktor kesenangan ide melakukan kegiatan belajar, (e) faktor pelaksanaan kegiatan belajar, (f) faktor hasil belajar, (g) faktor kepuasan terhadap hasil belajar, dan (h) faktor karakteristik pribadi dan lingkungan terhadap proses pembuatan keputusan. Berkaitan dengan faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi prestasi belajar, Menurut Sardiman (2011: 40-44) menyatakan bahwa faktorfaktor itu meliputi “motivasi, konsentrasi, reaksi, organisasi, pemahaman, dan ulangan. Selanjutnya ia menyatakan bahwa faktor-faktor tersebut meliputi perhatian, pengamatan, tanggapan, fantasi, ingatan, berfikir, bakat, dan motivasi”. Menurut Uno (2011: 31) hakikat motivasi belajar adalah: Dorongan internal dan eksternal pada siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku pada umumnya dengan beberapa indikator meliputi: (a) adanya hasrat dan keinginan berhasil, (b) adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar, (c) adanya harapan dan cita-cita masa depan, (d) adanya penghargaan dalam belajar, (e) adanya kegiatan yang menarik dalam belajar, dan (f) adanya lingkungan belajar yang kondusif sehingga memungkinkan seseorang siswa dapat belajar dengan baik. Berkaitan dengan motivasi dalam konteks belajar mengajar menurut artikel Mery Noviyanti dalam Jurnal Pendidikan Volume 12 Nomor 2 Bulan September
2011
halaman
82,
dikatakan
bahwa
“motivasi
dapat
19 mengembangkan orientasi motivasi positif dalam pembelajaran, pendidik harus tahu bagaimana karakter dan kreatifitas peserta didik yang beraneka ragam”. Dalam kaitanya dorongan untuk belajar, guru mempunyai tanggung jawab moral untuk memberi motivasi kepada anak didiknya untuk senantiasa mempunyai semangat atau motivasi belajar. Karena belajar adalah sesuatu yang sangat mulia dan berharga serta bermartabat di hadapan manusia maupun Tuhannya. Namun demikian tidaklah mudah untuk membangkitkan motivasi siswa karena berbagai hal. Salah satu masalah yang dihadapi oleh guru untuk menyelenggarakan
pengajaran
adalah
bagaimana
memotivasi
atau
menumbuhkan motivasi dalam diri peserta didik secara secara efektif. Keberhasilan suatu pengajaran sangat dipengaruhi oleh adanya penyediaan motivasi atau dorongan. Beberapa kesukaran yang dialami oleh seorang guru untuk memotivasi peserta didik, misalnya: (a) realitas bahwa guru belum memahami sepenuhnya akan motif, (b) motif itu sendiri bersifat perseorangan, dan (c) tidak ada alat, metode, atau teknik tertentu yang dapat memotivasi peserta didik dengan cara yang sama atau dengan hasil yang sama. Sebaiknya guru menyadari fungsi motivasi itu sebagai proses, yang memiliki fungsi berikut ini: (a) memberi semangat dan mengaktifkan peserta didik supaya tetap berminat dan siaga, (b) memusatkan perhatian peserta didik pada tugas-tugas tertentu yang berhubungan dengan pencapaian tujuan belajar, dan c) membantu memenuhi kebutuhan akan hasil yang meliputi jangka pendek dan hasil jangka panjang. Beberapa cara untuk menumbuhkan motivasi adalah melalui cara yang belajar yang bervariasi, mengadakan pengulangan informasi, memberikan stimulus baru misalnya melalui pertanyaan-pertanyaan kepada peserta didik, memberi kesempatan peserta didik untuk menyalurkan keinginan belajarnya, menggunakan media dan alat bantu yang menarik perhatian peserta didik, seperti gambar, foto, diagram, dan sebagainya.
20 Selain itu untuk untuk memberi motivasi kepada siswa perlu dilakukan upaya yang lebih realistis agar siswa lebih termotivasi dalam belajarnya sehingga pada akhirnya akan meningkatkan hasil belajar. Menurut Suparman (2010: 52-54) untuk memotivasi siswa ada beberapa bentuk dan cara yaitu sebagai berikut: (a) memberi angka yakni pemberian angka atau nilai, (b) hadiah, (c) saingan dan kompetisi, (d) ego-involement, yakni guru menumbuhkan kesadaran pada siswa betapa pentingnya tugas dan menerima sebagai tantangan, (e) memberi ulangan, (f) mengetahui hasil, (g) pujian, (h) hukuman, (i) minat, (j) hasrat untuk belajar, dan (k) tujuan diakui. Motivasi belajar selain mempunyai bentuk dan cara juga mempunyai fungsi yang sangat mendukung kemajuan siswa sehingga siswa akan terpacu untuk melakukan kegiatan belajar yang lebih kondusif. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini menggunakan konsep indikator motivasi menurut teori keller (dalam Wena, 2009). Guna mengetahui seberapa besar motivasi belajar siswa dapat diketahui dari seberapa jauh perhatian siswa dalam mengikuti pelajaran, seberapa jauh siswa merasakan ada kaitan atau relevansi isi pembelajaran dengan kebutuhannya, seberapa jauh siswa merasa yakin terhadap kemampuannya dalam mengerjakan tugas pembelajaran, serta seberapa jauh siswa merasa puas terhadap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.
4. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Snowball Throwing a.
Model Pembelajaran Kooperatif Manusia adalah makhluk individual, berbeda satu sama lain,
karena sifatnya yang individual maka manusia yang satu
membutuhkan manusia yang lainnya sehingga sebagai konsekuensi logisnya manusia harus menjadi makhluk sosial, makhluk beriteraksi dengan
sesamanya,
selain
itu
manusia
memiliki potensi, latar
belakang historis, serta harapan masa depan yang berbeda-beda. Dari adanya perbedaan, manusia dapat silih asah (saling mencerdaskan), saling
21 membutuhkan maka harus ada interaksi yang silih asih (saling menyayangi atau saling mencintai). Perbedaan antar manusia yang tidak terkelola secara baik dapat menimbulkan ketersinggungan dan kesalahpahaman antar sesamanya. Agar manusia terhindar dari ketersinggungan dan kesalahpahaman maka diperlukan interaksi yang silih asuh (saling tenggang rasa). Dalam dunia pendidikan, khususnya pada jenjang pendidikan formal banyak dijumpai perbedaan-perbedaan mulai dari perbedaan gender, suku, agama, dan lainlain. Dari karakter yang heterogen tersebut, timbul suatu pertanyaan bagaimana guru dapat memotivasi seluruh siswa mereka untuk belajar dan membantu saling belajar satu sama lain. Bagaimana guru dapat menyusun kegiatan kelas sedemikian rupa sehingga siswa akan berdiskusi, berdebat, dan menggeluti ide-ide, konsep-konsep, dan keterampilan sehingga siswa benar-benar memahami ide, konsep dan keterampilan tersebut. Bagaimana guru dapat memanfaatkan energi sosial seluruh rentang usia siswa yang begitu besar di dalam kelas untuk kegiatan-kegiatan pembelajaran produktif. Bagaimana guru dapat mengorganisasikan kelas sehingga siswa saling menjaga satu sama lain, saling mengambil tanggung jawab satu sama lain, dan belajar untuk menghargai satu sama lain terlepas dari suku, tingkat kinerja, atau ketidakmampuan karena cacat? Jawabannya adalah melalui pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) sesuai dengan firah manusia sebagai makhluk sosial yang penuh ketergantungan dengan orang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembagian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyataan ini belajar berkelompok secara kooperatif siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih berinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena kooperatif adalah miniatur dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan, dan kelebihan masing-masing (Suyatno, 2009: 51). Selanjutnya dikatakan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah
kegiatan
pembelajaran
dengan
cara
berkelompok
untuk
22 bekerjasama saling membantu mengkonstruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak partisipasif), tiap kelompok terdiri dari 4-5 orang, siswa heterogen (kemampuan, gender, karakter), dan ada control dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi. Sedangkan langkah pembelajaran kooperatif menurut Suyatno (2009: 52) antara lain: “(a) menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa, (b) menyajikan informasi, (c) mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar, (d) membimbing kelompok belajar dan bekerja, (e) evaluasi, dan (f) memberikan penghargaan.” Pembelajaran mengutamakan
kooperatif
kerjasama
antar
merupakan siswa
pembelajaran
untuk
mencapai
yang tujuan
pembelajaran. Menggunakan pembelajaran kooperatif merubah peran guru dari peran yang berpusat pada gurunya ke pengelolaan siswa dalam kelompok-kelompok kecil. Menurut Macpherson (2010) mengatakan bahwa: Cooperative Learning is part of a group of teaching/learning techniques where students interact with each other to acquire and practise the elements of a subject matter and to meet common learning goals. It is much more than just putting students into groups and hoping for the best. Dapat dijelaskan bahwa pembelajaran kooperatif adalah bagian dari kelompok teknik pembelajaran di mana siswa berinteraksi satu sama lain untuk memperoleh dan berlatih unsur-unsur subjek dan untuk memenuhi tujuan pembelajaran bersama. Lebih dari sekedar menempatkan siswa dalam kelompok dan berharap untuk yang terbaik. Menurut teori konstruktivisme, tugas guru (pendidik) adalah memfasilitasi agar proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan pada diri sendiri tiap-tiap siswa terjadi secara optimal. Terkait dengan model pembelajaran ini, Supriyono (2010: 65) menyebutkan (enam) langkah dalam pembelajaran kooperatif, yaitu meliputi:
23 Tabel 2.1. Langkah dalam Pembelajaran Kooperatif Fase ke1
2
3
4
5
6
Indikator
Tingkah Laku Guru
Menyampaikan tujuan dan Guru menyampaikan semua memotivasi siswa tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar. Menyampaikan informasi Guru menyampaikan informasi kepada siswa dengan jalan mendemonstrasikan atau lewat bahan bacaan Mengorganisasikan siswa Guru menjelaskan kepada siswa ke dalam kelompok- bagaimana caranya membentuk kelompok belajar kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien. Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Guru membimbing kelompokkelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas. Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Memberikan penghargaan Guru mencari cara-cara untuk menghargai upaya atau hasil belajar individu maupun kelompok (Sumber: Supriyono,2010: 65) Menurut Slavin (2009: 15) pembelajaran kooperatif adalah “co-
operative study a where in system learn and work in little groups that number 4-5 person collaboratively so that can stimulate student enthusiasticer in learn.” Penjelasannya bahwa pembelajaran kooperatif ialah model pembelajaran dimana dalam sistem belajar dan bekerja dalam kelompok kecil yang berjumlah 4-5 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar. Menurut Chaplin dalam Supriyono (2010:56) mendefinikasi kelompok sebagai “a collection of individuals who have some characterictic in common or who are pursuing a common goal. Two or
24 more persons who interact in any way constite a group. It is not necessary, however, for te member of a group interact directly or in face to face manner”. Berdasarkan pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa kelompok itu dapat terdiri dari dua orang saja, tetapi juga dapat terdiri banyak orang. Chalpin juga mengatakan bahwa anggota kelompok tidak harus berinteraksi secara langsung yaitu face to face. Sedangkan pengertian kelompok menurut ahli dinamika kelompok bernama Shaw dalam Suprijono (2010:57) “as two or more people who interact with and influence one another”. Menurut Shaw satu ciri yang dipunyai oleh semua kelompok yaitu anggotanya saling berinteraksi, saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan yang disingkat PAKEM (joyful learning). Ciri-ciri model pembelajaran ini ialah: multi metode dan multi media, praktik dan bekerja dalam satu tim, memanfaatkan lingkungan sekitar, dilakukan di dalam dan luar kelas, serta multi aspek (logika, praktik, dan etika). “PAKEM merupakan salah satu model pembelajaran yang menarik perhatian publik, mengingat manfaatnya yang besar dalam menggali dan mendinamisir potensi anak didik di tengah mundurnya kualitas pendidikan di negeri ini (Asmani, 2012: 57).” Sedangkan ciri-ciri pembelajaran kooperatif menurut Sugiyanto (2009: 40-42) yang mengutip dari Lie (2004) meliputi: 1) Saling ketergantungan positif Guru mendorong agar siswa merasa saling membutuhkan. Hubungan yang saling membutuhkan inilah yang dimaksud dengan saling ketergantungan positif. Salin ketergantungan dapat dicapai melalui;
saling
ketergantungan
mencapai
tujuan,
saling
ketergantungan menyelesaikan tugas, saling ketergantungan bahan atau sumber, dan saling ketergantungan hadiah.
25 2) Interaksi tatap muka Interaksi tatap muka akan memaksa siswa saling tatap muka dalam kelompok sehingga mereka dapat berdialog, baik dialog dengan guru, dengan siswa sehingga siswa merasa lebih mudah belajar. 3) Akuntabilitas individual Pembelajaran kooperatif menampilkan wujudnya dalam belajar kelompok. Penilaian ditujukan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap Materi pelajaran secara individual. Hasil penilaian individual selanjutnya disampaikan oleh guru kepada kelompok agar semua anggota kelompok mengetahui siapa anggota kelompok yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan. Nilai kelompok didapat dari rata-rata hasil belajar semua anggotanya. 4) Ketrampilan untuk menjalin hubungan antar pribadi Ketrampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide bukan mengkritik teman, berani mempertahankan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain, mandiri, dan berbagai sifat lain yang bermanfaat dalam menjalin hubungan antar pribadi. Menurut Karlina (2011) karakteristik pembelajaran kooperatif di antaranya: (a) siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis, (b) anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi, (c) jika memungkinkan, masing-masing anggota kelompok kooperatif berbeda suku, budaya, dan jenis kelamin, dan (d) sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu.
26 Selain itu menurut Karlina (2011) terdapat empat tahapan keterampilan kooperatif yang harus ada dalam model pembelajaran kooperatif yaitu: 1) Forming (pembentukan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk membentuk kelompok dan membentuk sikap yang sesuai dengan norma. 2) Functioning (pengaturan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatur aktivitas kelompok dalam menyelesaikan tugas dan membina hubungan kerja sama diantara anggota kelompok. 3) Formating (perumusan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk pembentukan pemahaman yang lebih dalam terhadap bahan-bahan yang dipelajari, merangsang penggunaan tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan menekankan penguasaan serta pemahaman dari materi yang diberikan. 4) Fermenting (penyerapan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk merangsang pemahaman konsep sebelum pembelajaran, konflik kognitif, mencari lebih banyak informasi, dan mengkomunikasikan pemikiran untuk memperoleh kesimpulan. Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok tradisional yang menerapkan sistem kompetisi, dimana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi dimana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Tukiran, dkk, 2011: 60) dari Slavin (1994: 50). Karakteristik model pembelajaran kooperatif menurut (Chotimah, Dwitasari, 2009:3) yaitu: (a) peserta didik bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis, (b) anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari peserta didik yang berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi, (c) jika memungkinkan, masingmasing anggota kelompok kooperatif berbeda suku, budaya, dan jenis kelamin, dan (d) sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok dari pada individu. Dalam pembelajaran kooperatif memiliki keunggulan dan kelemahan,
yaitu:
untuk
keunggulanya
antara
lain:
(a)
melalui
pembelajaran kooperatif siswa tidak terlalu menggantungkan pada guru,
27 akan tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuan berpikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari siswa yang lain, (b) Pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan idea tau gagasan dengan kata-kata secara verbal dan membandingkannya dengan ide-ide orang lain, (c) dapat membantu anak untuk respek pada orang lain dan menyadari akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan, (d) dapat membantu memberdayakan setiap siswa untuk lebih bertanggungjawab dalam belajar, (e) merupakan suatu strategi yang cukup ampuh untuk meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial, termasuk mengembangkan rasa harga diri, hubungan interpersonal yang positif dengan yang lain, mengembangkan keterampilan me-manage waktu, dan sikap positif terhadap sekolah, (f) dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri, menerima umpan balik. Siswa dapat berpraktik memecahkan masalah tanpa takut membuat kesalahan, karena keputusan yang dibuat adalah tanggungjawab kelompoknya, (g) dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata (Riil), dan (h) ineraksi selama kooperatif berlangsung dapat meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berpikir. Hal ini berguna untuk proses pendidikan jangka panjang. Selain itu pembelajaran kooperatif juga mempunyai kelemahan yaitu: (a) untuk memahami dan mengerti filosofis pembelajaran kooperatif memang perlu waktu, (b) ciri utama kooperatif adalah bahwa siswa saling membelajarkan, (c) penilaian yang diberikan dalam pembelajaran kooperatif didasarkan kepada hasil kerja kelompok, (d) keberhasilan kooperatif dalam upaya mengembangkan kesadaran berkelompok memerlukan periode yang cukup panjang, (e) walaupun kemauan bekerjasama merupakan kemampuan yang sangat untuk siswa, akan tetapi banyak aktivitas dalam kehidupan yang hanya didasarkan kepada kemampuan secara individual. Oleh karena idealnya melalui kooperatif selain siswa belajar bekerjasama. Untuk mencapai hal itu dalam kooperatif memang bukan pekerjaan yang mudah (Sanjaya, 2010: 249-251).
28 Berdasarkan beberapa fenomena di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif dalam penelitian ini adalah model pembelajaran yang di dalamnya mengkondisikan para siswa bekerja bersama-sama di dalam kelompok-kelompok kecil untuk membantu satu sama lain dalam belajar. Pembelajaran kooperatif didasarkan pada gagasan atau pemikiran bahwa siswa bekerja bersama-sama dalam belajar, dan bertanggung jawab terhadap aktivitas belajar kelompok mereka seperti terhadap diri mereka sendiri. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang menganut paham konstruktivisme.
b. Tipe Snowball Throwing Pengertian Snowball Throwing yang dikemukakan Patmawati (2012) mengatakan bahwa pengertian Snowball secara etimologi berarti bola salju, sedangkan Throwing artinya melempar. Snowball Throwing secara keseluruhan dapat diartikan melempar bola salju. Dalam pembelajaran Snowball Throwing, bola salju merupakan kertas yang berisi pertanyaan yang dibuat oleh siswa kemudian dilempar kepada temannya sendiri untuk dijawab. Menurut Bayor (2010), Snowball Throwing merupakan salah satu model pembelajaran aktif (Active Learning) yang dalam pelaksanaannya banyak melibatkan siswa. Peran guru di sini hanya sebagai pemberi arahan awal mengenai topik pembelajaran dan selanjutnya
penertiban
terhadap
jalannya
pembelajaran.
Menurut
Saminanto (2010:37) metode pembelajaran Snowball Throwing adalah: Metode Pembelajaran yang disebut juga metode pembelajaran gelundungan bola salju. Tujuannya melatih siswa untuk lebih tanggap menerima pesan dari siswa lain dalam bentuk bola salju yang terbuat dari kertas, dan menyampaikan pesan tersebut kepada temannya dalam satu kelompok.
29 Menurut Arahman (2010:3) model pembelajaran kooperatif tipe Snowball Throwing adalah: Suatu metode pembelajaran yang diawali dengan pembentukan kelompok yang diwakili ketua kelompok untuk mendapat tugas dari guru kemudian masing-masing siswa membuat pertanyaan yang dibentuk seperti bola (kertas pertanyaan) lalu dilempar ke siswa lain yang masing-masing siswa menjawab pertanyaan dari bola yang diperoleh. Metode pembelajaran Snowball Throwing adalah suatu metode pembelajaran yang diawali dengan pembentukan kelompok yang diwakili ketua kelompok untuk mendapat tugas dari guru kemudian masing-masing siswa membuat pertanyaan yang dibentuk seperti bola (kertas pertanyaan) lalu dilempar ke siswa lain yang masing-masing siswa menjawab pertanyaan dari bola yang diperoleh (Kisworo, dalam Mukhtari, 2010: 6). Adapun penelitian Khasanah dan Fitriani (2011) mendapati fakta bahwa terdapat peningkatan hasil belajar setelah guru melakukan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Snowball Throwing.
30 Adapun langkah-langkah pembelajaran tipe kooperatif Snowball Throwing dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2.2. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe Snowball Throwing Fase Tingkah Laku Guru Menyampaikan seluruh tujuan Fase 1 Menyampaikan tujuan dan dalam pembelajaran dan memotivasi memotivasi siswa siswa Menyajikan informasi tentang Fase 2 Menyajikan informasi materi pembelajaran siswa 1. Memberikan informasi kepada Fase 3 Mengorganisasikan siswa ke siswa tentang prosedur dalam kelompok-kelompok pelaksanaan pembelajaran belajar Snowball Throwing 2. Membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar yang terdiri dari 7 orang siswa 1. Memanggil ketua kelompok dan Fase 4 Membimbing kelompok bekerja menjelaskan materi serta dan belajar pembagian tugas kelompok 2. Meminta ketua kelompok kembali ke kelompok masingmasing untuk mendiskusikan tugas yang diberikan guru dengan anggota kelompok 3. Memberikan selembar kertas kepada setiap kelompok dan meminta kelompok tersebut menulis pertanyaan sesuai dengan materi yang dijelaskan guru 4. Meminta setiap kelompok untuk menggulung dan melemparkan pertanyaan yang telah ditulis pada kertas kepada kelompok lain 5. Meminta setiap kelompok menuliskan jawaban atas pertanyaan yang didapatkan dari kelompok lain pada kertas kerja tersebut
31 Lanjutan Tabel 2.2 Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe Snowball Throwing Fase Tingkah Laku Guru Guru meminta setiap kelompok Fase 5 untuk membacakan jawaban atas Evaluasi pertanyaan yang diterima dari kelompok lain Memberikan penilaian terhadap hasil Fase 6 Memberi penilaian/penghargaan kerja kelompok (Sumber: Rambe, 2012)
c.
Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran dengan Metode Snowball Throwing Antara Lain: 1) Kelebihan pembelajaran dengan metode Snowball Throwing antara lain: (a)
melatih kesiapan siswa dalam merumuskan pertanyaan
dengan bersumber pada materi yang diajarkan serta saling memberikan pengetahuan, (b) siswa lebih memahami dan mengerti secara mendalam tentang materi pelajaran yang dipelajari. Hal ini disebabkan karena siswa mendapat penjelasan dari teman sebaya yang secara khusus disiapkan oleh guru serta mengerahkan penglihatan, pendengaran,
menulis
dan
berbicara
mengenai
materi
yang
didiskusikan dalam kelompok, (c) dapat membangkitkan keberanian siswa dalam mengemukakan pertanyaan kepada teman lain maupun guru, (d) melatih siswa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh temannya dengan baik, (e) merangsang siswa mengemukakan pertanyaan sesuai dengan topik yang sedang dibicarakan dalam pelajaran tersebut, (f) dapat mengurangi rasa takut siswa dalam bertanya kepada teman maupun guru, (g) siswa akan memahami makna tanggung jawab, (h) siswa akan lebih bisa menerima keragaman atau heterogenitas suku, sosial, budaya, bakat dan intelegensia, dan (i) siswa akan terus termotivasi untuk meningkatkan kemampuannya
32 2) Kelemahan pembelajaran dengan metode
Snowball Throwing
meliputi; (a) terciptanya suasana kelas yang kurang kondusif , dan (b) adanya siswa yang bergantung pada siswa lain. Ada
beberapa
prinsip
yang
perlu
diperhatikan
dalam
menggunakan metode mengajar, prinsip tersebut terutama berkaitan dengan faktor perkembangan kemampuan siswa. Menurut Winataputra (2005:44) metode mengajar yang harus diperhatikan diantaranya: (a) metode mengajar harus memungkinkan dapat membangkitkan rasa ingin tahu (Curiosity) siswa lebih jauh terhadap materi pelajaran, (b) metode mengajar harus memungkinkan dapat memberikan peluang untuk berekspresi yang kreatif dalam aspek seni, (c) metode mengajar harus memungkinkan siswa belajar melalui pemecahan masalah, (d) metode mengajar harus memungkinkan siswa untuk selalu ingin menguji kebenaran, (e) metode mengajar harus memungkinkan siswa untuk melakukan penemuan (berinkuiri) terhadap sesuatu topik permasalahan, (f) metode mengajar harus memungkinkan siswa mampu menyimak, (g) metode mengajar harus memungkinkan siswa untuk belajar secara mandiri (Independent Study), (h) metode mengajar harus memungkinkan siswa untuk belajar secara bekerjasama (Cooperatif Learning), dan (i) metode mengajar harus memungkinkan siswa untuk lebih termotivasi dalam belajar. Model Pembelajaran Snowball Throwing pada hakikatnya metode pembelajaran aktif untuk mengarahkan atensi peserta didik terhadap materi yang dipelajarinya. Langkah-langkah metode pembelajaran aktif Snowball Throwing menurut Suyatno (2009: 125) yaitu: (a) guru menyampaikan materi yang akan disajikan, (b) guru membentuk kelompok-kelompok dan memanggil masing- masing ketua kelompok, (c) masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya masing-masing, kemudian menjelaskan materi yang disampaikan oleh guru kepada temannya, (d) kemudian masingmasing siswa diberikan satu lembar kertas kerja, , (e) kemudian kertas yang berisi pertanyaan tersebut dibuat seperti bola dan dilempar dari satu siswa ke siswa yang lainnya selama ± 15 menit, (f) setelah siswa dapat satu bola/satu pertanyaan diberikan kesempatan kepada siswa untuk menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas berbentuk bola tersebut secara bergantian, (g) evaluasi, dan (h) penutup.
33 Berdasarkan uraian di atas bahwa metode Snowball Throwing yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembelajaran kooperatif yang memiliki
bermacam-macam
strategi
dan
dapat
diadopsi
dan
dikembangkan, di antaranya Snowball Throwing. Walaupun Snowball Throwing adalah strategi yang sederhana, tetapi strategi ini memiliki keunggulan yakni dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir analisis bahkan sintesis. Selain itu juga strategi menyalurkan pengetahuan tentang model tersebut ke guru yakni (1) dengan menjelaskan pengertian model Snowball Throwing, (2) menjelaskan langkah-langkah pembelajaran menggunakan model Snowball Throwing, (3) menjelaskan tentang
kelebihan
dan
kekurangan
model
Snowball
Throwing.
Pembelajaran dengan metode Snowball Throwing, menggunakan tiga penerapan pembelajaran antara lain: pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas melalui pengalaman nyata (Constructivism), pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri (Inquiry), pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari “bertanya” (Questioning) dari bertanya siswa dapat menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui. Di dalam model pembelajaran kooperatif tipe Snowball Throwing strategi memperoleh dan pendalaman pengetahuan lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan tersebut.
5. Hakikat Teknologi Dasar Otomotif Teknologi Dasar Otomotif merupakan mata pelajaran otomotif yang berhubungan dengan ilmu dasar pada kendaraan ringan dan berat. Kompetensi Dasar yang dipelajari dalam Teknologi Dasar Otomotif adalah sebagai berikut: a.
Semester I (ganjil), antara lain: 1) Dasar-Dasar Mesin 2) Perhitungan Dasar-Dasar Mesin
34 3) Proses Dasar Pembentukan Logam 4) Proses Mesin Konversi Energi 5) Sistem Hidrolik dan Pneumatik b.
Semester II (genap), antara lain: 1) Pemeliharaan Bearing, Seal, dan Gasket 2) Pengoperasian Jacking, Blocking, dan Lifting sesuai Operation Manual 3) Penggunaan OMM (Operation Maintenance Manual) dan servis manual 4) Penggunaan Treaded, Fastener, Sealand, dan Adhesive Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini menggunakan mata pelajaran
Teknologi Dasar Otomotif semester II (genap). Berdasarkan silabus Teknologi Dasar Otomotif yang dipelajari di SMK Negeri 2 Cilacap.
B. Kerangka Berpikir Berdasarkan kajian teori di atas bahwa dalam meningkatkan motivasi dan hasil belajar pada pelajaran Teknologi Dasar Ototmotif guru harus dapat menciptakan kegiatan kondusif dan suasana yang menyenangkan dalam proses pembelajaran sehingga siswa tertarik untuk berpartisipasi dalam pembelajaran. Pada kelas X-TKR I SMK Negeri 2 Cilacap memiliki masalah motivasi dan hasil belajar Teknologi Dasar Otomotif yang tergolong sedang. Selain itu dibuktikan dengan adanya sedikitnya siswa yang mempersiapkan diri sebelum pelajaran. Hal ini terlihat dari adanya jawaban yang kurang meyakinkan setiap diberi pertanyaan oleh guru walaupun dalam tataran sederhana. Aktivitas berpikir siswa masih kurang, siswa hanya mendengarkan, mencatat apa yang disampaikan guru. Respon siswa terhadap perintah guru sangat rendah. Tugas-tugas yang diberikan guru jarang diselesaikan dengan baik. Dapat dikatakan bahwa pembelajaran di kelas masih pasif, kurang menyenangkan, karena motivasi belajar siswa rendah sehingga hasil belajarnya menjadi kurang baik. Berkenaan dengan hal tersebut perlu diberi solusi model pembelajaran alternatif yang mampu menempatkan siswa dapat menciptakan pembelajaran
35 subjek didik (pembelajaran, aktif, kreatif, dan menyenangkan) yang dapat meningkatkan motivasi belajar sehingga hasil belajarnya dapat meningkat. Model pembelajaran kooperatif tipe Snowball Throwing merupakan salah satu pilihan untuk mengatasi masalah tersebut. Model pembelajaran kooperatif tipe Snowball Throwing merupakan model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kerja kelompok dan setiap siswa bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi tertentu dan bertanggung jawab untuk menyampaikan bagian materi yang dikuasainya itu kepada siswa lain. Model
pembelajaran
kooperatif
tipe
Snowball
Throwing
dapat
menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan, siswa tertantang untuk menguasai materi tertentu yang menjadi tugasnya. Karena tipe Snowball Throwing menuntut siswa menjadi “ahli” pada bagian materi tertentu yang menjadi tugasnya. Penguasan materi ini dapat mengembangkan rasa senang dan percaya diri dalam menjelaskan pada teman kelompoknya. Dengan demikian model pembelajaran kooperatif tipe Snowball Throwing dapat meningkatkan semangat dan motivasi dalam belajar Teknologi Dasar Otomotif. Dapat dijelaskan bahwa model pembelajaran koooperatif tipe Snowball Throwing ialah salah satu model pembelajaran kooperatif yang memberi kesempatan lebih luas kepada siswa untuk mengembangkan pola pikir dan argumentasi di dalam mengaktualisasi diri khususnya terhadap pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Model pembelajaran ini menggali potensi kepemimpinan siswa dalam kelompok dan keterampilan membuat-menjawab pertanyaan yang dipadukan melalui permainan imajinatif membentuk dan melempar bola salju. Berdasarkan pemikiran di atas diharapkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Snowball Throwing pembelajaran berlangsung lebih baik, menyenangkan, siswa lebih aktif, kreatif, dan mempunyai motivasi yang tinggi serta mampu menguasai kompetensi dasar yang disajikan, dan akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar khususnya mata pelajaran Teknologi Dasar Otomotif bagi siswa kelas X-TKR I di SMK Negeri 2 Cilacap.
36 Apabila disajikan dalam skema, alur pemikiran di atas adalah sebagai berikut: Kondisi
Kondisi awal
Guru, aktivitasnya lebih dominan
Siswa, motivasi dan hasil belajar TDO rendah
PBM belum efektif
Tindakan
Siklus 1 PBM dengan metode Snowball Throwing Motivasi belajar meningkat/tidak
Siklus 2 PBM dengan metode Snowball Throwing hasil belajar meningkat/ tidak
Kondisi akhir
Hasil akhir yang diharapkan Peningkatan motivasi dan hasil belajar mata pelajaran TDO
Gambar 2.1. Diagram Alur Pemikiran (Sumber: Dokumen Pribadi, 2015) Suatu Penelitian Tindakan Kelas (PTK) jumlah siklus tidak bersifat baku artinya apabila menggunakan satu siklus sudah dianggap cukup dalam menuntaskan masalah maka tidak perlu menambah siklus dua atau tiga. Akan tetapi apabila menggunakan satu siklus dianggap belum tuntas permasalahanya maka dapat menambah siklus menjadi siklus dua atau tiga. Jadi penggunaan siklus sangat relatif tergantung permasalahan yang dikaji dalam penelitian.
37 C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan kerangka berpikir di atas dapat dirumuskan hipotesis penelitian tindakannya yaitu sebagai berikut: 1. Terdapat peningkatan motivasi belajar Teknologi Dasar Otomotif melalui penerapan model pembelajaran tipe Snowball Throwing bagi siswa kelas XTKR I SMKN 2 Cilacap tahun pelajaran 2015/2016 2. Terdapat peningkatan hasil belajar Teknologi Dasar Otomotif melalui penerapan model pembelajaran tipe Snowball Throwing bagi siswa kelas XTKR I SMKN 2 Cilacap tahun pelajaran 2015/2016.