BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Teori
1. Kajian Tentang Anak Tunagrahita a. Pengertian Anak Tunagrahita Tunagrahita dapat diartikan sebagai individu yang lemah dalam berpikir. Menurut Abdurrachman dalam Wantah (2007: 1) kata lain dari tunagrahita adalah retardasi mental (mental retardation). Secara harfiah kata tuna adalah merugi, sedangkan grahita adalah pikiran. Dengan demikian ciri utama dari anak tunagrahita adalah lemah dalam berpikir atau bernalar. Kurangnya kemampuan anak dalam berpikir dan bernalar mengakibatkan kemampuan belajar, dan adaptasi sosial berada di bawah rata-rata. Senada dengan pendapat di atas, Yusuf (2009: 6) berpendapat bahwa, “Tunagrahita adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental intelektual di bawah rata-rata sehingga mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya”. Pendapat lain yang didefinisikan oleh Asosiasi Retardasi Mental di Amerika (American Assosiation on Mental Retardation-AAMR) dalam Slavin (2009: 215) adalah sebagai berikut : Keterbelakangan mental (mental retardation) merujuk pada keterbatasan mendasar dalam fungsi saat ini. Keterbelakangan itu dicirikan oleh fungsi intelektual yang sangat di bawah rata-rata, yang muncul bersamaan dengan keterbatasan terkait dalam dua atau lebih bidang kemampuan penyesuaian diri yang dapat diterapkan berikut : komunikasi, pemeliharaan diri, kehidupan keluarga, kemampuan sosial, kegunaan komunitas, pengarahan diri, kesehatan dan keselamatan, kecakapan fungsional, waktu senggang dan kerja. Keterbelakangan mental terlihat sebelum usia 18 tahun. Disamping itu PP No. 72 Tahun 1991 dalam Apriyanto (2012: 21) menjelaskan bahwa, “Anak tunagrahita adalah anak-anak dalam kelompok 7
8 di bawah normal dan atau lebih lamban daripada anak normal, baik perkembangan sosial maupun kecerdasannya”. Selain itu pendapat Apriyanto (2012: 21) anak tunagrahita adalah anak yang secara signifikan memiliki kecerdasan di bawah rata-rata dibandingkan dengan anak normal pada umumnya dengan disertai hambatan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sekitarnya. Sementara itu, DSM V dalam American Psychiactric Association (2013: 33) menyebutkan istilah tunagrahita sebagai Intellectual Disability atau Intellectual Development Disorder yang didefinisikan sebagai berikut : Intellectual disability (intellectual developmental disorder) is a disorder with onset during the developmental period that includes both intellectual and adaptive functioning deficits in conceptual, social, and practical domains. The following three criteria must be met: (A). Deficits in intellectual functions, such as reasoning, problem solving, planning, abstract thinking, judgment, academic learning, and learning from experience, confirmed by both clinical assessment and individualized, standardized intelligence testing. (B.)Deficits in adaptive functioning that result in failure to meet developmental and sociocultural standards for personal independence and social responsibility. Without ongoing support, the adaptive deficits limit functioning in one or more activities of daily life, such as communication, social participation, and independent living, across multiple environments, such as home, school, work, and community (C) Onset of intellectual and adaptive deficits during the developmental period. Dari penjabaran di atas dapat diartikan bahwa tunagrahita adalah gangguan yang terjadi pada periode pertumbuhan karena terganggunya fungsi intelektual dan fungsi adaptif pada aspek konsep, sosial dan praktik. Dalam pendapat diatas ditegaskan bahwa sesorang mengalami tunagrahita apabila memenuhi tiga kriteria yaitu pertama, kurangnya fungsi intelektual seperti pemecahan masalah, berpikir abstrak, kemampuan akademik dan non akademik dan telah melalui proses asesmen dan tes inteligensi. Kriteria kedua adalah kurangnya fungsi adaptif yang menyebabkan keterbatasan aktivitas sehari-hari seperti komunikasi, partisipasi sosial, mengurus diri sendiri yang terjadi di beberapa lingkungan seperti rumah,sekolah, lingkungan kerja dan lainnya. Dan kriteria ketiga adalah masalah fungsi
9 intelektual dan fungsi adaptif terjadi selama masa pertumbuhan dan perkembangan. Pengertian lain tentang tunagrahita menurut Direktorat PLB dalam Haenudin (2013: 16-17) yang menjelaskan bahwa : Anak tunagrahita adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental jauh dibawah rata-rata sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan layanan pendidikan khusus. Sedangkan menurut Karyana dan Widati (2013: 17-18) yang menjelaskan tentang tunagrahita adalah sebagai berikut : 1) Kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah sesuai tes; 2) Kelainan yang muncul sebelum usia 16 tahun; 3) Kelainan yang menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif. Pendapat lain oleh Wijaya (2013: 21) tentang tunagrahita yaitu, “Individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada di bawah ratarata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan”. Selain itu menurut Dhelpie dalam Suswita (2013: 62), “Menyatakan anak tunagrahita ringan yaitu anak dengan hendaknya perkembangan kemampuan, memiliki problema belajar yang disebabkan adanya hambatan perkembangan intelegensi, mental, sosial dan fisik”. Berdasarkan beberapa pendapat ahli tentang pengertian tunagrahita, dapat diambil kesimpulan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan dalam perkembangan mental, intelektual yang berada di bawah rata-rata dari anak normal. Kurangnya kemampuan dalam berpikir dan bernalar mengakibatkan kemampuan belajar serta adaptasi sosial mereka berada di bawah rata-rata.
b. Klasifikasi Anak Tunagrahita Sama halnya dengan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya, anak tunagrahita juga dibagi dalam beberapa klasifikasi. Menurut Apriyanto
10 (2012: 32-33) penggolongan anak tunagrahita secara sosial-psikologis berdasarkan kriteria psikometrik yaitu : 1) Tunagrahita ringan (mild mental retardation) = IQ 55-69. 2) Tunagrahita sedang (moderate mental retardation) dengan IQ 40-54. 3) Tunagrahita berat (severse mental retardation) dengan IQ 20-39. 4) Tunagrahita sangat berat (profound mental retardation) dengan IQ 20 kebawah. Menurut Karyana dan Widati (2013: 19) klasifikasi tunagrahita meliputi : 1) Tunagrahita ringan (mild mental retardation), IQ = 55-69. 2) Tunagrahita sedang (moderate mental retardation), IQ = 40-54. 3) Tunagrahita berat (severse mental retardation), IQ = 20-39. 4) Tunagrahita sangat berat (profound mental retardation), IQ = 20 ke bawah. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa klasifikasi anak tunagrahita meliputi anak tunagrahita ringan, anak tunagrahita sedang, anak tunagrahita berat, dan anak tunagrahita sangat berat.
c. Karakteristik Anak Tunagrahita Ringan Anak tunagrahita merupakan anak yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata. Menurut Effendi (2008: 90) menyebutkan karakteristik anak tunagrahita ringan adalah sebagai berikut : 1) Dapat membaca, menulis, mengeja, dan berhitung. 2) Dapat menyesuaikan diri dan tidak menggantungkan diri pada orang lain. 3) Keterampilan yang sederhana untuk kepentingan kerja di kemudian hari. Sementara itu, menurut Yusuf (2009: 8) secara umum karakteristik anak tunagrahita dapat dilihat dari fisik dan penampilannya, yaitu sebagai berikut :
11 1) Penampilan fisik yang tidak seimbang, misalnya kepala terlalu besar atau kecil. 2) Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia. 3) Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan. 4) Koordinasi gerakan kurang (gerak sering tidak terkendali). Selain itu, menurut Geniofam (2010: 25-26) mengemukakan tentang karakteristik anak tunagrahita yaitu meliputi : 1) Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/besar; 2) Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia; 3) Perkembangan bicara/bahasa terlambat; 4) Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong); 5) Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali); 6) Sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler). Disamping itu menurut Wardani, dkk dalam Apriyanto (2012: 36) karakteristik anak tunagrahita ringan meliputi : 1) Masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana; 2) Kecerdasan berkembang dengan kecepatan antara setengah dan tiga perempat kecepatan anak normal dan berhenti pada usia muda; 3) Dapat bergaul dan mempelajari pekerjaan yang hanya memerlukan semi skilled; 4) Pada usia dewasa kecerdasannya mencapai tingkat usia anak normal 9 dan 12 tahun. Sedangkan Haenudin (2013: 20) mengemukakan karakteristik anak tunagrahita adalah sebagai berikut : 1) Karakteristik belajar anak tunagrahita meliputi : a) Perhatian, anak tunagrahita cenderung kesulitan dalam memusatkan perhatian dan mempertahankannya. Anak tunagrahita sendiri juga kurang memperhatikan tugas-tugasnya. b) Daya ingat, anak tunagrahita semakin berat ketunagrahitaannya maka daya ingat anak semakin kurang.
12 c) Kinerja akademik, anak tunagrahita memiliki permasalahan dalam bidang akademis. Mereka kesulitan dalam berbagai hal di bidang pelajaran. d) Perkembangan bahasa, anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam berbahasa. Hal tersebut terjadi karena mereka terlambat dalam perkembangan bahasanya, anak tunagrahita juga kesulitan dalam mempelajari kata-kata yang bersifat abstrak. 2) Karakteristik sosial dan perilaku anak tunagrahita meliputi : Anak
tunagrahita
memiliki
permasalahan
dalam
keterampilan
interpesonal yang buruk yang mengakibatkan mereka kurang cakap dalam penyesuaian sosial, dan hal tersebut mengakibatkan mereka sering mendapat penolakan dari teman-temannya. Pendapat lain oleh Karyana dan Widati (2013: 22) mengenai karakteristik tunagrahita, yaitu meliputi : 1) Lamban dalam mempelajari hal-hal yang baru, 2) Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru, 3) Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak tunagrahita berat, 4) Cacat fisik dan perkembangan gerak, 5) Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri, 6) Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim, 7) Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus. Dari beberapa pendapat yang dipaparkan, peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa karakteristik anak tunagrahita ringan adalah sebagai berikut : 1) Anak tunagrahita ringan masih mampu diberikan materi pelajaran, tetapi disesuaikan dengan kemampuannya. 2) Anak tunagrahita ringan mampu bersosialisasi dengan anak-anak normal pada umumnya. 3) Anak tunagrahita mampu dilatih dalam keterampilan ringan guna sebagai kepentingan kerja.
13 d. Hambatan Anak Tunagrahita Anak tunagrahita mengalami hambatan dalam kehidupan sehari-hari. Astati & Mulyati (2010: 22-24) mengungkapkan hambatan yang dimiliki anak tunagrahita adalah sebagai berikut : 1) Masalah dalam kehidupan sehari-hari Masalah ini berkaitan dengan kesehatan dan pemeliharaan diri dalam kehidupan sehari-hari. 2) Masalah kesulitan belajar Masalah-masalah yang sering dirasakan dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar diantaranya : kesulitan menangkap pelajaran, kesulitan dalam belajar yang baik, mencari metode yang tepat, kemampuan berpikir abstrak yang terbatas, daya ingat yang lemah, dan sebagainya. 3) Masalah penyesuaian diri Karena tingkat kecerdasan anak tunagrahita yang berada di bawah ratarata maka dalam kehidupan bersosialnya mengalami hambatan. Anak tunagrahita mengalami ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri baik terhadap tuntutan sekolah, keluarga, masyarakat dan bahkan terhadap dirinya sendiri. 4) Masalah penyaluran ke tempat kerja Anak tunagrahita cenderung banyak yang masih menggantungkan diri kepada orang lain terutama kepada keluarga (orang tua) dan masih sedikit sekali yang sudah dapat hidup mandiri, sehingga masih menjadi masalah yang perlu dipikirkan secara matang-matang dan secara ideal diwujudkan dengan penanganan yang serius. 5) Masalah pemanfaatan waktu luang Anak tunagrahita dalam tingkah lakunya sering menampilkan tingkah laku nakal yang berpotensi mengganggu ketenangan lingkungannya. Untuk mengurangi kondisi ini sangat perlu adanya imbangan kegiatan dalam waktu luang sehingga mereka dapat terjauhkan dari kondisi yang berbahaya, dan tidak sampai mengganggu ketenangan masyarakat dan keluarganya.
14 Sedangkan pendapat Payne & Patton dalam Apriyanto (2012: 91) menyebutkan bahwa hambatan yang esensial dari anak tunagrahita adalah keterbatasannya dalam kecerdasan, yang selanjutnya hambatan ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan sebagai berikut : 1) Masalah kesulitan belajar Masalah kesulitan belajar merupakan masalah yang nyata pada anak tunagrahita, ini disebabkan keterbatasan mereka dalam berpikir. Kesulitan belajar anak tunagrahita ketika berhadapan dengan bidang pengajaran akademik di sekolah, seperti berhitung, membaca, atau pelajaran lain yang memerlukan pemikiran. 2) Masalah penyesuaian diri Anak tunagrahita mengalami masalah dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Penyesuaian diri ada kaitannya dengan perilaku adaptif, perilaku adaptif digambarkan sebagai keefektifan individu dalam memenuhi standar kemandirian pribadi (personal independence) dan tanggung jawab sosial yang diharapkan dari umurnya dan kultur setempat. 3) Masalah gangguan kepribadian dan emosi Anak tunagrahita pada umumnya mengalami masalah dalam kepribadian dan emosi. Anak tunagrahita memiliki dasar psikologis, sosial dan emosi yang sama dengan anak-anak bukan tunagrahita atau anak normal. Berdasarkan pendapat di atas, peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa hambatan anak tunagrahita yaitu sebagai berikut : 1) Hambatan intelektual. 2) Hambatan konseptual. 3) Hambatan dalam kehidupan sehari-hari. 4) Hambatan dalam penyesuaian diri. 5) Hambatan dalam pemanfaatan waktu luang.
15 e. Faktor Penyebab Ketunagrahitaan Seseorang dikatakan sebagi tunagrahita karena disebabkan oleh berbagai faktor. Menurut Martin dalam Wantah (2007: 22) menyebutkan faktor yang menjadi penyebab ketunagrahitaan adalah sebagai berikut : 1) 2) 3) 4)
Keturunan. Sebelum lahir yaitu pada waktu dalam kandungan. Kerusakan pada waktu lahir. Penyakit dan luka-luka pada masa kanak-kanak.
Sedangkan menurut Devenport dalam Efendi (2008: 91) penyebab ketunagrahitaan adalah sebagai berikut : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Kelainan atau ketunaan yang timbul pada benih plasma. Kelainan atau ketunaan yang dihasilkan selama penyuburan telur. Kelainan atau ketunaan yang dikaitkan dengan implantasi. Kelainan atau ketunaan yang timbul dalam embrio. Kelainan atau ketunaan yang timbul dari luka saat kelahiran. Kelainan atau ketunaan yang timbul dalam janin. Kelainan atau ketunaan yang timbul pada masa bayi dan masa kanak-kanak.
Selain itu, Geniofam (2010: 26-27) menyebutkan faktor penyebab ketunagrahitaan meliputi : 1) Genetis a) Kerusakan/kelainan biokimiawi; b) Abnormalitas kromosom. 2) Prenatal a) Infeksi Rubella (cacar); b) Faktor Rhesus. 3) Pada saat kelahiran Faktor penyebab saat kelahiran biasanya disebabkan oleh luka-luka pada saat kelahiran, seperti sesak nafas (asphyxia), dan lahir prematur. 4) Setelah lahir Disebabkan oleh penyakit-penyakit akibat infeksi misalnya meningitis (peradangan pada selaput otak) dan masalah nutrisi.
16 5) Faktor Sosio-Kultural Sosio kultural atau sosio budaya lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan intelektual manusia. 6) Gangguan Metabolisme/Nutrisi a) Phenylketonuria. Gangguan pada metabolism asam amino, yaitu gangguan pada enzym phenylketonuria; b) Gargoylisme. Gangguan metabolism saccharide dalam hati, limpa kecil, dan otak; c) Cretinisme. Gangguan pada hormon tiroid yang dikenal karena defisiensi iodium. Sementara itu, menurut Karyana dan Widati (2013: 20) faktor penyebab terjadinya ketunagrahitaan adalah sebagai berikut : 1) Generik, kerusakan/kelainan biokimiawi, abnormalitas kromosomal. 2) Sebelum lahir (pre-natal). 3) Infeksi rubella (cacar). 4) Faktor rhesus (Rh). 5) Saat proses kelahiran (natal), merupakan faktor yang disebabkan pada saat proses kelahiran bayi. 6) Setelah lahir (post-natal), bisa diakibatkan oleh infeksi misalnya meningitis (peradangan pada selaput otak) dan problema nutrisi yaitu kekurangan gizi seperti kekurangan protein. 7) Faktor sosio-kultural atau sosial budaya lingkungan. 8) Gangguan metabolisme/nutrisi. 9) Phenylketonuria. Pendapat lain oleh Mangunsong (2014: 138) mengenai penyebab ketunagrahitaan yaitu sebagai berikut : 1) Infeksi : 17,63 %. 2) Trauma dan sebab-sebab fisik : 11,15 %. 3) Gangguan/hambatan metabolisme, pertumbuhan atau gizi : 3,73 %. 4) Gross brain disorder (post natal, kerusakan otak) : 0,51 %. 5) Prenatal unknown influence (pengaruh prenatal yang tidak jelas) : 7,56 %.
17 6) 7) 8) 9) 10)
Chromosome abnormality (kelainan kromosom) : 9,47 %. Prematurity (kelahiran dini) : 3,64 %. Psychiatric disorder (gangguan psikiatrik) : 1,87 %. Psycho-social deprivation (deprivasi sosial psikologis) : 8,95 %. Unspecified (dan lain-lain) : 35,49 %.
Dari beberapa pendapat mengenai penyebab ketunagrahitaan, peneliti
dapat
mengambil
kesimpulan
bahwa
faktor
penyebab
ketunagrahitaan adalah sebagai berikut : 1) Faktor keturunan. 2) Faktor pre-natal (sebelum lahir). 3) Natal (pada saat lahir). 4) Faktor post-natal (setelah lahir). 5) Penyakit yang terjadi ketika masa kanak-kanak.
f. Kebutuhan Anak Tunagrahita Pada dasarnya anak tunagrahita memiliki kebutuhan yang sama dengan anak normal. Dalam perkembangan manusia ada delapan kebutuhan yang merupakan tahap-tahap perkembangan kepribadian. Kebutuhan ini pun menjadi kebutuhan pula bagi orang atau anak tunagrahita. Namun karena kelainannya, mereka akan mengalami hambatan dalam memenuhi kebutuhannya. Menurut Witmer, et al dalam Chalidah (2005: 32) kebutuhan anak tunagrahita adalah sebagai berikut : 1) Perasaan terjamin kebutuhannya akan terpenuhi. 2) Perasaan berwewenang mengatur diri. 3) Perasaan dapat berbuat menurut prakarsa sendiri. 4) Perasaan puas telah melaksanakan tugas. 5) Perasaan bangga atas identitas diri. 6) Perasaan keakraban. 7) Perasaan keorangtuaan. 8) Perasaan integritas.
18 Selain itu, secara garis besar kebutuhan anak tunagrahita dibedakan menjadi 2 yaitu sebagai berikut : 1) Kebutuhan fisik. 2) Kebutuhan kejiwaan, meliputi : a) Kebutuhan akan penghargaan. b) Kebutuhan akan komunikasi. c) Kebutuhan sosial/berkelompok. Sedangkan Astati dan Mulyati (2010: 25), berpendapat mengenai kebutuhan anak tunagrahita adalah sebagai berikut : 1) Kebutuhan dalam layanan pembelajaran, yaitu meliputi : a) Kebutuhan layanan pengajaran yang sama dengan siswa lainnya. b) Kebutuhan layanan pembelajaran yang sangat khusus. 2) Kebutuhan akan penciptaan lingkungan belajar Kebutuhan akan penciptaan lingkungan belajar disini meliputi, pengaturan tempat duduk dalam kelas yang disesuaikan dengan kondisi anak tunagrahita. 3) Kebutuhan dalam pengembangan kemampuan bina diri Dalam kebutuhan pengembangan kemampuan bina diri, anak tunagrahita membutuhkan konteks dan orientasi cerita yang dimulai dari hal yang konkrit kemudian menuju ke hal yang abstrak. 4) Kebutuhan dalam pengembangan kemampuan sosial dan emosi Kebutuhan dalam hal pengembangan kemampuan sosial dan emosi disini bisa meliputi sebagai berikut : a) Kebutuhan untuk merasa menjadi bagian dari yang lain. b) Kebutuhan untuk mendapatkan perlindungan akan label negatif. c) Kebutuhan akan kenyamanan sosial. d) Kebutuhan dalam hal menghilangkan kebosanan dengan pemberian stimulasi sosial. 5) Kebutuhan dalam pengembangan kemampuan keterampilan Kebutuhan dalam pengembangan kemampuan keterampilan disini meliputi :
19 a) Spontanitas yang wajar dan positif. b) Kecenderungan untuk merespon orang lain dengan baik dan hangat. c) Kecenderungan merespon pada orang lain dengan jujur. d) Kecenderungan untuk mempercayai orang lain. Dari pendapat di atas peneliti dapat diambil kesimpulan bahwa kebutuhan anak tunagrahita meliputi : 1) Perasaan terjamin kebutuhannya akan terpenuhi. 2) Perasaan berwewenang mengatur diri. 3) Perasaan dapat berbuat menurut prakarsa sendiri. 4) Perasaan puas telah melaksanakan tugas. 5) Perasaan bangga atas identitas diri. 6) Perasaan keakraban. 7) Perasaan keorangtuaan. 8) Perasaan integritas. 9) Kebutuhan fisik. 10) Kebutuhan kejiwaan.
2. Kajian Tentang Kemampuan Membaca a. Pengertian Membaca Membaca mempunyai kedudukan yang sangat penting karena dengan membaca seseorang dapat memahami kata yang diutarakan oleh orang lain. Menurut Crawley dan Mountain dalam Rahim (2007: 2) pengertian membaca yaitu sebagai berikut : Membaca pada hakikatnya adalah suatu yang rumit melibatkan banyak hal, tidak hanya sekadar melafalkan tulisan, tetapi juga melibatkan aktivitas visual, berpikir, psikolinguistik, dan metakognitif. Sebagai proses visual membaca merupakan proses menerjemahkan simbol tulis (huruf) ke dalam kata-kata lisan. Sebagai suatu proses berpikir, membaca mencakup aktivitas pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca kritis, dan pemahaman kreatif. Pengenalan kata bisa berupa aktivitas membaca kata-kata dengan menggunakan kamus.
20 Senada dengan pendapat tersebut, Tampubolon dalam Arisma (2012: 27) berpendapat, “Membaca adalah satu dari empat kemampuan bahasa pokok, dan merupakan satu bagian atau komponen dari komunikasi tulisan”. Pendapat lain oleh Soedarso dalam Elly (2013: 164) yang mengemukakan bahwa, “Membaca merupakan aktivitas komplek yang memerlukan sejumlah besar tindakan terpisah-pisah, mencakup penggunaan pengertian, khayalan, pengamatan dan ingatan”. Selanjutnya Bond dalam Elly (2013: 164) mengungkapkan bahwa membaca adalah pengenalan symbol-simbol bahasa tulis yang merupakan stimulus yang membantu proses mengingat tentang apa yang di baca ,yang bertujuan untuk membangun suatu pengertian melalui pengalaman yang telah dimiliki. Sedangkan pengertian membaca menurut Slamet (2014: 24), “Membaca merupakan salah satu jenis kemampuan berbahasa tulis, yang reseptif. Disebut reseptif karena dengan membaca, seseorang akan dapat memperoleh informasi ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalaman baru”. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa membaca merupakan suatu kegiatan manusia untuk memperoleh informasi yang bertujuan untuk membangun pengertian melalui pengalaman yang telah dimiliki dan membaca merupakan satu dari bagian atau komponen dari komunikasi tulisan.
b. Aspek-Aspek Membaca Dalam membaca seperti kita ketahui terdapat aspek-aspek di dalamnya, dan aspek-aspek membaca akan dibahas di bawah ini. Aspekaspek membaca yang dikemukakan Broughton, et al dalam Tarigan (2008: 12-13) ada 2 aspek yang meliputi sebagai berikut : 1) Keterampilan yang bersifat mekanis (mechanical skills) yang dapat dianggap berada pada urutan yang lebih rendah (lower order). Aspek ini mencakup : a) Pengenalan bentuk huruf;
21 b) Pengenalan unsur-unsur linguistik (fonem/grafem, kata, frase, pola klausa, kalimat dan lain-lain); c) Pengenalan hubungan/korespondensi pola ejaan dan bunyi (kemampuan menyuarakan bahan tertulis atau “to bark at print”); d) Kecepatan membaca ke taraf lambat. 2) Keterampilan yang bersifat pemahaman (comprehension skills) yang dapat dianggap berada pada urutan yang lebih tinggi (higher order). Aspek ini mencakup : a) Memahami pengertian sederhana (leksikal, gramatikal, retorikal); b) Memahami signifikan atau makna (a.l. maksud dan tujuan pengarang, relevansi/keadaan kebudayaan, dan reaksi pembaca); c) Evaluasi atau penelitian (isi, bentuk); d) Kecepatan membaca yang fleksibel, yang mudah disesuaikan dengan keadaan. Senada dengan pendapat di atas, Nurhadi (2010: 128-129) menyebutkan aspek-aspek membaca meliputi : 1) Keterampilan mengenali kata. 2) Keterampilan mengenali tanda baca. 3) Keterampilan memahami makna tersurat, meliputi : a) Keterampilan memahami makna kata. b) Keterampilan memahami makna frase. c) Keterampilan memahami makna kalimat. d) Keterampilan memahami makna paragraf. e) Keterampilan memahami makna subbab. f) Keterampilan memahami makna bab. 4) Keterampilan membaca kritis, meliputi : a) Kemampuan menemukan ide pokok atau gagasan utama bacaan secara tersirat. b) Kemampuan menemukan tema cerita. c) Kemampuan membuat kesimpulan bacaan. d) Kemampuan menganalisis fakta-fakta penunjang. e) Kemampuan mengorganisasikan fakta-fakta. f) Kemampuan membedakan fakta dan opini.
22 g) Kemampuan membedakan realitas dan fantasi. h) Kemampuan menemukan unsur-unsur propaganda. i) Kemampuan menemukan latar belakang tujuan pengarang. j) Kemampuan meramalkan dampak. k) Kemampuan menilai kebenaran isi bacaan. l) Kemampuan menilai kesesuaian antara judul dan pengembangan karangan. 5) Keterampilan membaca kreatif a) Kemampuan membuat ringkasan. b) Kemampuan membuat outline (kerangka karangan). c) Kemampuan menyusun resensi. d) Kemampuan menerapkan isi bacaan dalam konteks sehari-hari. e) Kemampuan membuat esai balikan. Sementara itu, menurut Rubin dalam Slamet (2014: 107) mengemukakan aspek-aspek membaca, yaitu : 1) Peningkatan ucapan, 2) Kesadaran fonemik (bunyi bahasa), 3) Hubungan antara huruf-huruf merupakan prasyarat dapat membaca, 4) Membedakan bunyi-bunyi merupakan hal yang penting dalam pemerolehan bahasa, khususnya membaca, 5) Kemampuan mengingat, 6) Membedakan huruf, 7) Orientasi ke kiri dan ke kanan, 8) Keterampilan pemahaman, dan 9) Penguasaan kosakata. Berdasarkan pendapat di atas, peneliti dapat mengambil kesimpulan mengenai aspek-aspek membaca yaitu : 1) Keterampilan yang bersifat mekanis, yang meliputi : a) Kesadaran fonemik (bunyi bahasa), b) Peningkatan ucapan, c) Hubungan antara huruf-huruf, d) Membedakan bunyi-bunyi, e) Membedakan huruf,
23 f) Orientasi ke kiri dan ke kanan. 2) Keterampilan yang bersifat pemahaman, yang meliputi : a) Penguasaan kosakata, b) Keterampilan pemahaman, c) Kemampuan mengingat.
c. Manfaat Membaca Membaca memiliki manfaat dalam kehidupan sehari-hari, Burns, dkk dalam Rahim (2007: 1) yang berpendapat bahwa, “Kemampuan membaca merupakan sesuatu yang vital dalam suatu masyarakat terpelajar. Namun, anak-anak yang tidak memahami pentingnya belajar membaca tidak akan termotivasi untuk belajar”. Sedangkan Bowman dalam Somadayo (2011: 3) menyatakan bahwa membaca merupakan sarana yang tepat untuk mempromosikan suatu pembelajaran sepanjang hayat (life-long learning) dengan mengajarkan kepada anak cara membaca, berarti memberi anak tersebut sebuah masa depan, yaitu memberi suatu teknik bagaimana cara mengeksplorasi “dunia” mana pun yang ia pilih dan memberikan kesempatan untuk mendapatkan tujuan hidupnya. Sementara itu, menurut Syafi’ie dalam Somadayo (2011: 3) menyatakan
bahwa
sebagai
bagian
dari
keterampilan
berbahasa,
keterampilan membaca mempunyai kedudukan yang sangat penting dan strategis karena melalui membaca, orang dapat memahami kata yang diutarakan seseorang. Selain itu, melalui membaca, seseorang dapat mengetahui berbagai peristiwa secara cepat yang terjadi di tempat lain, misalnya peristiwa-peristiwa yang terjadi di suatu daerah dapat diketahui melalui membaca buku, surat kabar, majalah, dan internet. Pendapat lain oleh Somadayo (2011: 3) yang menjelaskan tentang manfaat membaca sebagai berikut : Membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang sangat penting di samping tiga keterampilan berbahasa lainnya. Hal ini karena membaca merupakan sarana untuk mempelajari dunia lain
24 yang diinginkan sehingga manusia bisa memperluas pengetahuan, bersenang-senang, dan menggali pesan-pesan tertulis dalam bahan bacaan. Berdasarkan definisi tersebut di atas peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa dengan membaca manusia bisa mengetahui dunia luar, memperluas pengetahuan, mengetahui berbagai peristiwa di tempat lain dengan cepat dan memberikan tujuan hidup.
d. Tujuan Membaca Kegiatan membaca memiliki tujuan yang akan diperoleh, menurut Blanton dalam Somadayo (2011: 12); Rahim dalam Arisma (2012: 29) macam-macam tujuan membaca yaitu sebagai berikut : 1) Kesenangan, 2) Menyempurnakan membaca nyaring, 3) Menggunakan strategi tertentu, 4) Memperbaharui pengetahuannya tentang suatu topik, 5) Mengaitkan informasi yang baru dengan informasi yang telah diketahuinya, 6) Memperoleh informasi untuk laporan lisan atau tertulis, 7) Mengkonfirmasikan atau menolak prediksi, 8) Menampilkan suatu eksperimen atau mengaplikasikan informasi yang diperoleh dari suatu teks dalam cara lain dan mempelajari tentang struktur teks, 9) Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang spesifik. Sedangkan menurut pendapat Rivers dan Temperly dalam Somadayo (2011: 10) menjelaskan tujuh tujuan utama dalam membaca yaitu : 1) Memperoleh informasi untuk satu tujuan atau merasa penasaran tentang suatu topik. 2) Memperoleh berbagai petunjuk tentang cara melakukan suatu tugas bagi pekerjaan atau kehidupan sehari-hari misalnya, mengetahui cara kerja alat-alat rumah tangga. 3) Ber-akting dalam sebuah drama, bermain game, menyelesaikan teka-teki.
25 4) Berhubungan dengan teman-teman dengan surat-surat bisnis. 5) Mengetahui kapan dan dimana sesuatu akan terjadi atau apa yang tersedia. 6) Mengetahui apa yang sedang terjadi atau telah terjadi sebagaimana dilaporkan dalam Koran, majalah, laporan. 7) Memperoleh kesenangan atau hiburan. Pendapat lain oleh Stahl dalam Santrock (2013: 420) menyebutkan tujuan membaca yaitu sebagai berikut : 1) Siswa dapat mengenali kata secara otomatis, 2) Siswa dapat memahami teks, 3) Siswa termotifasi untuk membaca dan mengapresiasi bacaan. Berdasarkan definisi tersebut di atas, peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa tujuan membaca dapat meliputi : 1) Mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah diketahuinya. 2) Memperoleh informasiuntuk laporan lisan atau tulisan. 3) Mengonfirmasi atau menolak prediksi. 4) Menampilkan suatu eksperimen atau mengaplikasikan informasi yang diperoleh dari suatu teks, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang spesifik. 5) Memperbaharui pengetahuannya tentang suatu topik. 6) Mengetahui apa yang sedang terjadi atau telah terjadi sebagaimana dilaporkan dalam Koran, majalah, laporan. 7) Memperoleh kesenangan atau hiburan.
e. Tahap-Tahap Perkembangan Membaca Dalam suatu kegiatan pastinya terdapat tahap-tahap dalam pelaksanaannya, sama halnya dengan membaca. Tahap-tahap perkembangan membaca yang dikemukakan Tarigan (2008: 43) yaitu sebagai berikut : 1) Tahap I Para pelajar disuruh membaca bahan yang telah mereka pelajari, mengucapkannya dengan baik atau bahan yang mungkin telah mereka ingat. Bahan-bahan tersebut mungkin berupa suatu percakapan, suatu
26 nyanyian, serangkaian kalimat tindakan, suatu cerita sederhana mengenai hal-hal yang telah dialami oleh anggota kelas dan telah mereka diskusikan, kalimat-kalimat model yang mengandung beberapa struktur yang telah diajarkan tersebut. 2) Tahap II Para pelajar mulai membaca bahan yang berisi sejumlah kata dan struktur yang masih asing atau belum biasa bagi mereka. 3) Tahap III Para pelajar mulai membaca bahan yang berisi sejumlah kata dan struktur yang masih asing atau belum biasa bagi mereka. 4) Tahap IV Pada tahap ini pelaksanaan membaca menggunakan bahan bacaan berupa teks-teks sastra atau bisa menggunakkan majalah. 5) Tahap V Pelajar mulai memasuki tahap memahami kalimat, bahan bacaan yang digunakan dapat melalui berbagai sumber seperti buku, majalah, dll. Sedangkan menurut Surya (2015: 191) dalam proses belajar membaca terdapat tahap-tahap perkembangan membaca yaitu sebagai berikut : 1) Pembaca Fase Pra-alfabetik Pembaca fase pra-alfabet merupakan fase anak menampilkan aktivitas membaca tetapi tanpa mengenal huruf. Pada fase ini yang dibaca anak bukan membaca dengan membunyikan katakata tertentu yang telah dikenal melalui pengalamannya. Misalnya, anak dapat menyebutkan merek-merek tertentu yang sering ditampilkan dalam iklan seperti “Teh Pucuk”, untuk merek minuman, “Honda” untuk merek sepeda motor, “Samsung” untuk merek telepon genggam, dsb. Anak dapat membaca kata-kata itu tetapi tidak mengenal huruf-hurufnya. 2) Pembaca Fase Alfabetik Sebagian Dalam fase ini, anak sudah mulai mengenal simbol-simbol seperti huruf atau angka tetapi baru sebagian dari kata-kata atau kalimat yang tercetak. Anak dapat membaca kata-kata atau kalimat tetapi hanya mengenal huruf-huruf tertentu saja. Misalnya, anak dapat menunjukkan huruf “i” dan “u” yang membedakan antara kata “sapu” dan “sapi”.
27 3) Pembaca Fase Alfabetik Penuh Fase ini yaitu fase pada saat anak sudah mampu mengenal hurufhuruf dan tanda baca lainnya. Dalam fase ini, anak telah mampu mengenal kata-kata baru dengan melihat kombinasi huruf-huruf, angka, atau tanda baca lainnya. Demikian pula, anak sudah mampu menyusun huruf-huruf sehingga membentuk kata atau frasa. 4) Pembaca Fase Konsolidasi Pada fase ini, anak telah mampu mengonsolidasikan materi yang dibaca mulai dari kata-kata hingga kalimat dan mampu membaca dengan benar. Hal itu ditandai dengan berkembangnya kemampuan memahami isi materi yang dibaca. Anak sudah memiliki kemampuan menata kata-kata menjadi kalimat, dan kalimat menjadi suatu paragraf serta mampu memberikan makna bacaan secara keseluruhan. Jadi, dari kedua pendapat yang dipaparkan di atas peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan mengenai tahap-tahap dalam membaca yaitu sebagai berikut : 1) Tahap membaca Pra-alfabetik. 2) Tahap membaca Alfabetik Sebagian. 3) Tahap membaca Alfabetik Penuh. 4) Tahap membaca Konsolidasi.
3. Kajian Tentang Pendekatan Pengalaman Bahasa (Language Experience Approach) a. Pengertian Strategi Pembelajaran Pembelajaran dalam prosesnya memerlukan strategi pembelajaran agar materi belajar dapat disampaikan kepada peserta didik. Deshler dan Schumaker dalam Parwoto (2007: 95) yang berpendapat bahwa, “Strategi pembelajaran adalah teknik-teknik, prinsip yang digunakan dalam memecahkan masalah dan menyelesaikan tugas-tugas secara mandiri”. Sedangkan Dick and Carrey dalam Parwoto (2007: 95) yang berpendapat bahwa, “Strategi pembelajaran menjelaskan komponenkomponen umum dari suatu set materi pembelajaran dan prosedur yang akan digunakan bersama materi tersebut”.
28 Pendapat lain oleh Gulo dalam Suryani & Agung (2012: 2) mengemukakan, “Strategi pembelajaran adalah suatu seni dan ilmu untuk membawakan pengajaran di kelas sedemikian rupa sehingga tujuan yang ditetapkan dapat dicapai secara efektif dan efisien”. Senada dengan pendapat di atas, Majid (2013: 3) berpendapat bahwa, “Strategi adalah suatu pola yang direncanakan dan ditetapkan secara sengaja untuk melakukan kegiatan atau tindakan. Strategi mencakup tujuan kegiatan, siapa yang terlibat dalam kegiatan, isi kegiatan, proses kegiatan, dan sarana penunjang kegiatan”. Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan yang direncanakan sesuai dengan prosedur yang akan digunakan untuk menyelesaikan tugas yang mencakup tujuan kegiatan, siapa yang terlibat dalam kegiatan, isi kegiatan, proses kegiatan, dan sarana penunjang kegiatan.
b. Jenis-Jenis Strategi Pembelajaran Strategi pembelajaran terbagi menjadi beberapa jenis. Jenis-jenis strategi pembelajaran yang dikemukakan oleh Rowntree dalam Majid (2013: 10) yaitu berdasarkan cara penyajiannya dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran dapat dibedakan menjadi strategi pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif. Sedangkan Saskatchewan educational dalam Majid (2013: 10) yang menjelaskan strategi pembelajaran dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut : 1) Strategi pembelajaran langsung (direct instruction) Strategi pembelajaran langsung merupakan strategi yang kadar berpusat pada gurunya paling tinggi, dan paling sering digunakan. Pada strategi ini termasuk di dalamnya metode-metode ceramah, pertanyaan didaktik, pengajaran eksplisit, praktek dan latihan serta demonstrasi.
29 2) Strategi pembelajaran tidak langsung (indirect instruction) Pembelajaran tidak langsung memperlihatkan bentuk keterlibatan siswa
yang
tinggi
dalam
melakukan
observasi,
penyelidikan,
penggambaran inferensi berdasarkan data, atau pembentukan hipotesis. Dalam pembelajaran tidak langsung peran guru beralih dari penceramah menjadi fasilitator, pendukung, dan sumber personal (resource person). Guru merancang lingkungan belajar, memberikan kesempatan siswa untuk terlibat, dan jika memungkinkan memberikan umpan balik kepada siswa ketika mereka melakukan inkuiri. Strategi pembelajaran tidak langsung mensyaratkan digunakan bahan-bahan cetak, non cetak dan sumber-sumber manusia. 3) Strategi pembelajaran Interaktif (interactive instruction) Strategi pembelajaran interaktif merujuk kepada bentuk diskusi dan saling berbagi
antar peserta didik.
Seaman dan
Fellenz
mengemukakan bahwa diskusi dan saling berbagi akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan reaksi terhadap gagasan, pengalaman, pandangan dan pengetahuan guru atau kelompok serta mencoba mencari alternatif dalam berpikir. Strategi pembelajaran interaktif dikembangkan dalam rentang pengelompokan dan metode-metode interaktif. Di dalamnya terdapat bentuk-bentuk diskusi kelas, diskusi kelompok kecil atau pengerjaan tugas berkelompok, dan kerja sama siswa secara berpasangan. 4) Strategi pembelajaran melalui pengalaman (experiental learning) Strategi belajar melalui pengalaman menggunakan bentuk sekuens
induktif,
berpusat
pada
siswa,
dan
berorientasi
pada
aktivitas.Penekanan dalam strategi belajar melalui pengalaman adalah proses belajar, dan bukan hasil belajar. Guru dapat menggunakan strategi ini baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Sebagai contoh, di dalam kelas dapat digunakan metode
30 simulasi, sedangkan di luar kelas dapat dikembangkan metode observasi untuk memperoleh gambaran pendapat umum. 5) Strategi pembelajaran mandiri Belajar mandiri merupakan strategi pembelajaran yang bertujuan untuk membangun inisiatif individu, kemandirian dan peningkatan diri. Fokusnya adalah pada perencanaan belajar mandiri oleh peserta didik dengan bantuan guru. Belajar mandiri juga bisa dilakukan dengan teman atau sebagai bagian dari kelompok kecil. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis strategi pembelajaran yaitu, berdasarkan cara penyajian dan cara pengolahannya dibedakan menjadi dua yaitu strategi pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif; jenis strategi pembelajaran yang lain adalah strategi pembelajaran langsung, strategi pembelajaran tidak langsung, strategi pembelajaran interaktif, strategi pembelajaran melalui pengalaman, dan strategi pembelajaran mandiri.
c. Strategi Pembelajaran Membaca Melalui Pendekatan Pengalaman Bahasa (Language Experience Approach) Membaca merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Terdapat strategi pembelajaran berupa pendekatan yang dapat diterapkan dalam mengajarkan peserta didik membaca. Polloway dan Patton dalam Parwoto (2007: 170) menyatakan bahwa secara umum pendekatan membaca dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu, pengembangan dan remedial. Pendekatan pengembangan menekankan instruk pengalaman sehari-hari. Pendekatan remedial dilakukan untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar membaca. Senada dengan pendapat di atas, Parwoto (2007: 171) menjelaskan Pendekatan Pengalaman Berbahasa (Languange Experience Approach) merupakan pendekatan belajar membaca yang menggunakan rangkaian dasar (a basal series), tetapi ini tidak digunakan bersama pendekatan lainnya. LEA mendorong siswa untuk menyatakan secara lisan pikiran dan
31 pengalamannya, kemudian ditulis oleh guru atau siswa sendiri. Cerita ini dibaca kembali oleh siswa atau siswa lainnya sebagai kemajuan program. Dengan pendekatan ini guru membuat daftar kata yang telah digunakan siswa-siswanya dalam suatu cerita tertentu untuk mengembangkan keterampilan pengenalan kata. Keterampilan analisis ponetik dan struktur diajarkan ketika guru mengamati kesiapan siswa untuk pelajaran tersebut. Dari kedua pendapat di atas, peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan
mengenai
pengertian
Pendekatan
Pengalaman
Bahasa
(Language Experience Approach) yaitu sebuah pendekatan belajar yang menggunakan rangkaian dasar, akan tetapi tidak digunakan bersamaan dengan pendekatan lain. Pendekatan ini mendorong peserta didik untuk mengutarakan secara lisan pikiran maupun pengalamannya yang kemudian guru atau peserta didik sendiri menuliskan apa yang sudah diutarakan tersebut. Pendekatan Pengalaman Bahasa (Language Experience Approach) dapat membantu dalam proses pembelajaran. Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2013) diketahui bahwa implementasi pendekatan Language Experience Approach dalam proses pembelajaran berhasil dapat meningkatkan motivasi belajar dan kemampuan membaca peserta didik. Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa 86, 67% berpengaruh positif dalam proses pembelajaran dengan menggunakan Pendekatan Pengalaman Bahasa (Language Experience Approach). Penelitian yang ditulis Hidayah (2014) menunjukkan
adanya
pengaruh penggunaan metode Language Experience Approach (LEA) pada kemampuan membaca. Keadaan ini ditunjukkan pada penilaian kemampuan membaca anak lamban belajar pada kondisi baseline (A) berkisar antara 60% hingga 68% dan pada kondisi intervensi (B) mengalami peningkatan menjadi 86% hingga 92%. Hasil penelitian yang ditulis Rohmawati (2011) menunjukkan bahwa penerapan Strategi LEA dapat meningkatkan kemampuan menulis karangan sederhana kelas III SDN Tanjungrejo siswa kelas III SDN Tanjungrejo 2
32 Kota Malang. Disarankan agar guru dapat menerapkan Strategi LEA , karena dengan menggunakan Strategi ini anak akan lebih tertarik dalam pembelajaranya. Melaui pengalaman bahasanya, Siswa dapat mengawali kegiatan menulis dengan rasa senang. Siswa dapat menuliskan apa yang dirasakan, dipikirkan dan kemudian membaca apa yang dirasakan dan dipikirkanya, sehingga pembelajaran akan lebih bermakna bagi siswa. Penelitian oleh Kurniasih (2011) penerapan strategi LEA dapat meningkatkan kemampuan menulis deskripsi siswa kelas II A SDN Purwantoro 2 Malang materi pokok mendeskripsikan ciri-ciri binatang dengan bahasa tulis. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan guru menerapkan pembelajaran LEA pada mata pelajaran Bahasa Indonesia sehingga dapat melatih kemampuan menulis deskripsi dan mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Sedangkan hasil penelitian oleh Nuning (2013) menunjukkan bahwa penerapan strategi LEA dapat meningkatkan keterampilan menulis teks cerita narasi sederhana pada siswa kelas 3 SDN Bunulrejo 4 Kecamatan Blimbing Kota Malang. Nilai rata-rata aktivitas siswa pada siklus I nilai 68, sedangkan pada siklus II nilai 73. Nilai rata-rata hasil menulis teks cerita narasi sederhana juga mengalami peningkatan, dari siklus I nilai 67 dan pada siklus II nilai 83. Dari kedua siklus tersebut terjadi peningkatan nilai aktivitas siswa sebesar 7% dan peningkatan nilai hasil menulis siswa sebanyak 24 %. Dari beberapa hasil penelitian di atas mengenai penggunaan metode pendekatan pengalaman bahasa (learning experience approach) jika dibandingkan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti memiliki perbedaan dalam hal sebagai berikut : (1) dibandingkan dengan penelitian terdahulu di atas, penelitian ini dalam menerapkan metode LEA dilakukan pada anak berkebutuhan khusus (anak tunagrahita) sedangkan penelitian di atas diterapkan pada anak normal; (2) dalam penelitian ini penggunaan metode LEA digunakan untuk meningkatkan kemampuan membaca,
33 sedangkan penelitian di atas diterapkan dalam hal meningkatkan kemampuan menulis dan motivasi dalam membaca.
d. Langkah-Langkah
Pendekatan
Pengalaman
Bahasa
(Language
Experience Approach) Pendekatan pengalaman bahasa (Language Experience Approach) merupakan pendekatan belajar membaca yang menggunakan rangkaian dasar (a basal series) yang mempunyai prosedur dalam proses pembelajarannya. Menurut Curran (2007: 31-32) mengemukakan langkahlangkah Pendekatan Pengalaman Bahasa (Language Experience Approach) adalah sebagai berikut : 1) Pada langkah pertama dari siklus, guru memberikan pengalaman yang bermakna atau rangsangan, yaitu berupa sesuatu yang penting atau yang menarik untuk siswa. Misalnya, kunjungan langsung ke lapangan, hewan hidup, tanaman rumah, foto, dan koleksi dapat memberikan stimulus untuk anak bercerita. 2) Pada langkah yang kedua, guru harus mencatat cerita pada papan tulis atau kertas menggunakan bahasa yang diutarakan oleh siswa. Guru mencatat persis apa diutarakan siswa, tidak membuat perbaikan pada bahasa siswa saat dalam proses mencatat. 3) Langkah
ketiga,
setelah
melakukan
perekaman/pencatatan,
guru
membacakan cerita pengalaman dengan suara keras, kemudian siswa mengikuti guru membaca. 4) Langkah keempat, melakukan kegiatan tindak lanjut, yaitu dengan memperkuat kosakata. Sebelum membacakan cerita dalam membentuk kosakata, siswa perlu belajar untuk mengidentifikasi kata-kata. Kemudian guru meminta siswa untuk menemukan kata yang terdapat dalam cerita, menghitung jumlah kemunculan kata, menunjuk ke sebuah kata, dan menulis sebuah kata 5) Langkah kelima dan terakhir adalah untuk mengembangkan keterampilan dasar. Kegiatan dalam langkah ini dilakukan setelah selesainya empat
34 langkah pertama. Cerita harus ditampilkan ke siswa pada kertas grafik. Sekali lagi, guru harus membaca cerita dengan suara keras untuk siswa. Siswa harus diberikan waktu untuk membaca secara pelan-pelan. Kemudian mereka harus membacanya bersama-sama. Kemudian beberapa siswa harus membacanya secara individual. Sedangkan menurut Dixon dan Nessel dalam Rahayu (2013: 44) prosedur LEA adalah sebagai berikut : 1) Preparing dictation. In this cycle teacher should provide familiar and important topic for the material and ask students to share their stories related with the topic. 2) Taking dictation. In this cycle teacher asks some students to come forward and share their experiences in front of the class while teacher writes down the story on board exactly what students say. 3) Reading the story. In this cycle, teacher asks students to read the story together loudly. Then, give them time to read the story individually to check their understanding. 4) Conducting follow-up activities. In this cycle, teacher can use several of activities related to the topic to support learning process. 5) Developing basic skills. In this cycle, teacher can develop the material based on the students’ needs. Dari penjelasan mengenai LEA (Language Experience Approach) di atas dapat diartikan sebagai berikut : 1) Mempersiapkan dikte. Dalam siklus ini guru harus memberikan topik akrab dan penting untuk bahan dan meminta siswa untuk berbagi cerita terkait dengan topik. 2) Memberikan dikte. Dalam siklus ini guru meminta beberapa siswa untuk maju dan berbagi pengalaman mereka di depan kelas sementara guru menuliskan cerita di papan apa yang dikatakan siswa. 3) Membaca cerita. Dalam siklus ini, guru meminta siswa untuk membaca cerita bersama-sama keras. Kemudian, memberi mereka waktu untuk membaca cerita secara individual untuk memeriksa pemahaman mereka. 4) Melaksanakan. Dalam siklus ini, guru dapat menggunakan beberapa kegiatan yang berkaitan dengan topik untuk mendukung proses pembelajaran.
35 5) Mengembangkan keterampilan dasar. Dalam siklus ini, guru dapat mengembangkan bahan berdasarkan kebutuhan siswa. Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas bahwa langkah-langkah LEA adalah sebagai berikut ini : 1) Mempersiapkan dikte. 2) Mengambil dikte. 3) Membaca cerita. 4) Melaksanakan. 5) Mengembangkan keterampilan dasar.
B. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir merupakan penalaran untuk sampai pada hipotesis. Anak tunagrahita memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan anak normal pada umumnya, karena karakteristik anak tunagrahita yang mengalami gangguan intelektual sehingga dalam berpikir mengalami hambatan dan mengalami keterbatasan dalam ingatan. keberhasilan belajar siswa dipengaruhi oleh banyak faktor, baik dari dalam dan dari luar. Agar anak tunagrahita mampu menerima pelajaran dengan maksimal, diperlukan strategi pembelajaran yang mampu membangkitkan motivasi belajar dan mampu membantu anak untuk lebih maksimal dalam menerima pelajaran yang disampaikan guru. Dalam pembelajaran membaca anak tunagrahita digunakan pendekatan pengalaman bahasa (Language Experience Approach) yang diharapkan mampu membantu anak dalam menguasai materi yang disampaikan oleh guru. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan pengalaman bahasa (Language Experience Approach) dalam meningkatkan kemampuan membaca anak tunagrahita ringan kelas VII C SLB Negeri Surakarta. Dari uraian pemikiran tersebut, maka dapat digambar dalam bentuk kerangka pemikiran sebagai berikut :
36 Pembelajaran membaca anak tunagrahita ringan kelas VII C di SMPLB Negeri Surakarta tahun ajaran 2015/2016
Belum menggunakan Pendekatan Pengalaman Bahasa (Language Experience Approach)
Kemampuan membaca anak tunagrahita ringan kelas VII C di SMPLB Negeri Surakarta masih rendah
Penggunaan Pendekatan Pengalaman Bahasa (Language Experience Approach)
Kemampuan membaca anak tunagrahita ringan kelas VII C di SMPLB Negeri Surakarta meningkat Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
C. Hipotesis Hipotesis penelitian menurut Suryabrata (2014: 21) adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris. Sedangkan menurut Arikunto (2013: 110) hipotesis diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan nbahwa hipotesis penelitian adalah jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian. Hipotesis dalam penelitian ini adalah bahwa Pendekatan Pengalaman Bahasa (Language Experience Approach) efektif dalam meningkatkan kemampuan membaca anak tunagrahita ringan kelas VII C SMPLB di SLB Negeri Surakarta tahun ajaran 2015/2016.