7
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Teori 1. Tinjauan tentang Anak Tunagrahita a. Definisi Anak Tunagrahita Tunagrahita mempunyai istilah lain yaitu lemah pikiran (Feeble-Minded), Terbelakang Mental (Mentally Retarded) dan gangguan
Intelektual.
Menurut
Astati
(2010:
44)
Seseorang
dikategorikan sebagai penyandang tunagrahita apabila 1) fungsi intelektual umum secara signifikan berada di bawah rata-rata 2) kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian (perilaku adaptif) 3) ketunagrahitaan berlangsung pada periode perkembangan. Menurut Soemantri (2006: 34) tunagrahita adalah anak dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata yang menyebabkan mereka sukar mengikuti program pendidikan di sekolah biasa, sehingga perlu pendidikan khusus sesuai kemampuan. Pendapat lain dari DSM V menyebutkan istilah tunagrahita sebagai Intellectual Disability atau Intellectual Development Disorder. American Psychiactric Associaton (2013: 33), menyatakan bahwa : Intellectual disability (intellectual developmental disorder) is a disorder with onset during the developmental period that includes both intellectual and adaptive functioning deficits in conceptual, social, and practical domains. The following three criteria must be met: (A). Deficits in intellectual functions, such as reasoning, problem solving, planning, abstract thinking, judgment, academic learning, and learning from experience, confirmed by both clinical assessment and individualized, standardized intelligence testing. (B.)Deficits in adaptive functioning that result in failure to meet developmental and sociocultural standards for personal independence and social responsibility. Without ongoing support, the adaptive deficits limit functioning in one or more activities of daily life, such as communication, social participation, and independent living, across multiple environments, such as home, school, work, and community (C)
8
Onset of intellectual and adaptive deficits during the developmental period. Berdasarkan pengertian dari DSM V American Psychiactric Associaton (2013: 33) tersebut, dapat diartikan bahwa gangguan intelektual (gangguan perkembangan intelektual) adalah gangguan yang
terjadi
selama
periode
perkembangan
yang
meliputi
terganggunya fungsi intelektual dan fungsi adaptif pada ranah konsep, sosial dan
praktik bina diri yang rendah. Berdasarkan pendapat-
pendapat para ahli
seseorang dikatakan mengalami tunagrahita
apabila memenuhi tiga kriteria yaitu pertama, kurangnya fungsi intelektual seperti pemecahan masalah, merencanakan sesuatu, berpikir abstrak, memutuskan sesuatu, kemampuan akademik dan non akademik dan ini telah dibuktikan melalui proses asesmen dan tes inteligensi. Kriteria kedua adalah kurangnya fungsi adaptif yang menyebabkan keterbatasan aktivitas sehari-hari seperti komunikasi, partisipasi sosial, mengurus diri sendiri yang terjadi di beberapa lingkungan seperti rumah, sekolah, lingkungan kerja dan tempat bermainnya. Kriteria ketiga adalah masalah fungsi intelektual dan fungsi adaptif terjadi selama masa perkembangan. Pengertian tunagrahita menurut Kemis & Rosnawati (2013: 15) adalah sebagai berikut : 1) Kelainan yang meliputi Fungsi intelektual umum di bawah rata-rata ( Sub-Average), yaitu IQ 84 ke bawah sesuai tes. 2) Kelainan yang uncul sebelum usia 16 tahun. 3) Kelainan yang menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif (hlm.10)
Berdasarkan
ketiga
pengetian
di
atas,
peneliti
dapat
menyimpulkan bahwa anak tunagrahita adalah seorang individu yang mengalami keterlambatan atau gangguan dalam intelektual, dimana daya pikir dan kepribadiannya terganggu yang mengakibatkan
9
kesulitan dalam bersosialisasi di masyarakat, menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar sehingga membutuhkan layanan khusus.
b. Klasifikasi Anak Tunagrahita Pengklasifikasian anak tunagrahita penting dilakukan karena anak tunagrahita memiliki perbedaan individual
yang sangat
bervariasi. Berikut beberapa pendapat tentang pengklasifikasian anak tunagrahita. Somantri (2006: 106) mengklasifikasikan tunagrahita ke dalam tiga tipe yaitu : 1) Anak tunagrahita ringan, memiliki IQ 68-52 menurut skala Binet dan memiliki IQ 69-55 menurut skala Weschler (WISC). Selain itu mereka masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana. 2) Anak tunagrahita sedang, memiliki IQ 51-36 pada skala Binet dan 55-40 menurut skala Weschler (WISC). Mereka dapat dididik mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri dari bahaya seperti kebakaran, berjalan dijalan raya, berlindung dari hujan, dan sebagainya. 3) Anak tunagrahita berat, memiliki IQ antara 32-20 menurut skala Binet dan antara 39-25 menurut skala Weschler (WISC). Anak tunagrahita berat memerlukan perawatan secara total dalam hal berpakaian,
mandi,
makan
dan
lainnya.
Bahkan
mereka
memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya. Menurut
Leo
Kanner
dalam
Mumpuniarti
(2007:
13)
berdasarkan pandangan masyarakat tunagrahita dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu : 1) Tunagrahita Absolut (Sedang) Anak Tunagrahita yang jelas nampak ketunagrahitaanya yang dipandang dari semua lapisan masyarakat.
10
2) Tunagrahita Relatif ( Ringan ) Anak tunagrahita dimana dalam masyarakat tertentu dipandang tunagrahita, tetapi di tempat yang lain tidak dipandang tunagrahita. 3) Tunagrahita Semu (Debil) Anak tunagrahita yang menunjukkan penampilan sebagai penyandang
tunagrahita
tetapi
sesungguhnya
mempunyai
kemampuan normal. Menurut
Gargiulo (2012: 66), klasifikasi anak tungrahita
berdasarkan hasil intelegensinya yaitu : 1) Mild retardation memiliki IQ 68-52 2) Moderate retardation memiliki IQ 51-36 3) Profound retardation memiliki IQ 39-20
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa klasifikasi tunagrahita dapat dikelompokkan menjadi tiga klasifikasi, yakni anak tunagrahita ringan yang mempunyai IQ 68-52 yang dapat diberikan pengetahuan yang sesuai kemampuan, tunagrahita sedang yang mempunyai IQ 51-36 yang masih dapat mengurus diri sendiri, melindungi diri dari bahaya, dan tunagrahita berat yang memiliki IQ 39-20 yang dalam kegiatan sehari-hari masih membutuhkan orang lain yang ada di sekitarnya.
c. Penyebab Anak Tunagrahita Menurut Munzayanah (2000: 14) bahwa penyebab anak menjadi tunagrahita adalah sebagai berikut: 1) Kelompok Biomedik yang meliputi: a) Prenatal (sebelum lahir) (1) Infeksi pada ibu waktu mengandung (2) Gangguan metabolisme (3) Iradiasi sewaktu umur kehamilan 2-6 minggu
11
(4) Kelainan Kromosom (5) Malnutrisi b) Natal (saat kelahiran) (1) Anaxia (kekurangan oksigen) (2) Asphysia (gangguan napas) (3) Prematur (4) Kerusakan otak c) Post natal (1) Malnutrisi (2) Infeksi (3) Trauma Menurut
Wantah
(2007:
54),
faktor-faktor
penyebab
ketunagrahitaan ada lima faktor yaitu : 1) Faktor Keturunan Keterbelakangan mental (tunagrahita) disebabkan oleh kelainan yang diwariskan oleh kelainan pada gen seperti fragile X syndrome. Fragile X syndrome adalah kerusakan pada kromosom yang menentukan jenis kelamin, biasanya mewarisi penyebab keterbelakangan mental. 2) Sebelum lahir Beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami tunagrahita sebelum lahir yaitu: pada saat mengandung ibu meminum alkohol, pada saat mengandung ibu terkena penyakit rubella yang mana penyakit rubella ini biasa menyerang pada usia kandungan 12 minggu pertama, ibu hamil yang menderita tekanan darah tinggi, menurunnya aliran oksigen pada janin dapat menyebabkan kerusakan pada otak dan mengalami keterbelakangan mental (tunagrahita).
12
3) Kerusakan pada waktu lahir Beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami tunagrahita pada waktu lahir yaitu: penggunaan alat yang salah untuk membantu persalinan, kelainan fisik dari kepala, otak, dan sistem saraf pusat dapat menyebabkan keterbelakangan mental. 4) Penyakit dan luka-luka pada masa kanak-kanak Beberapa
penyakit
menyebabkan
pada
masa
keterbelakangan
kanak-kanak mental
yang
seperti
dapat
penyakit
hyperthyroidism, whooping cough, chickenpox (cacar air), meales dan hib (a bacterial infection) dapat menyebabkan keterbelakangan mental apabila tidak cepat ditangani. 5) Faktor Lingkungan Apabila anak terlahir normal akan tetapi tidak mendapatkan perawatan dengan baik seperti tidak diperhatikan perkembangan anak, menderita kekurangan gizi, kondisi hidup yang tidak sehat, hal tersebut dapat menyebabkan anak mengalami keterbelakangan mental.
Menurut Wijaya (2013: 24), beberapa penyebab penurunan intelektual disebabkan oleh : 1. Anomali dalam kromosom atau gen 2. Kelahiran prematur ( misalnya dimana kerusakan otak bisa terjadi akibat kekurangan oxygen) 3. Masalah kehamilan ( ibu misalnya terkena Rubella atau Campak jerman pada awal kehamilan atau efek obat dan alkohol) 4. Penyakit (misalnya meningitis atau campak) 5. Cedera ( misalnya cedera otak diakuisisi) 6. Lingkungan ( misalnya trauma, memimpin) Menurut Efendi (2006: 51) penyebab ketunagrahitaan dapat dirinci sebagai berikut: 1) Kelainan atau ketunaam yang timbul pada benih plasma. 2) kelainan atau ketunaan yang dihasilkan selama
13
penyuburan telur. 3) kelainan yang disebabkan karena implantasi. 4) kelainan yang timbul dalam embrio. 4) kelainan yang dikaitkan dengan implantasi. Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa yang menyebabkan anak menjadi tunagrahita yakni dapat dari genetik, penyakit, gangguan gizi/metabolisme, infeksi/virus, kecelakaan/trauma, dan lingkungan. Faktor-faktor yang dimaksudkan dalam hal ini yang dapat menyebabkan seseorang menjadi tunagrahita adalah faktor prenatal dan postnatal. d. Karakteristik Anak Tunagrahita Secara fisik anak tunagrahita ringan tidak berbeda dengan anak normal pada umumnya, tetapi secara psikis berbeda menurut karakteristik khususnya. Menurut Mumpuniarti (2007: 41-42), ciri-ciri atau karakteristik anak tunagrahita menjadi tiga bagian yakni karakteristik secara fisik, psikis, dan sosial yang diuraikan sebagai berikut : 1) Karakteristik fisik nampak seperti anak normal, hanya sedikit mengalami keterlambatan dalam kemampuan sensomotorik. 2) Karakteristik psikis sukar berpikir abstrak dan logis, kurang memiliki kemampuan analisa, asosiasi lemah, kurang mampu nmengendalikan perasaan, mudah dipengaruhi, kepribadian kurang harmonis, karena tidak mampu menilai baik dan buruk. 3) Karakteristik sosial mereka mampu bergaul, menyesuaikan di lingkungan yang tidak terbatas pada keluarga saja, namun ada yang mampu mandiri dalam masyarakat, mampu melakukan pekerjaan yang sederhana dan melakukannya secara penuh sebagai orang dewasa. Kemampuan dalam pendidikan termasuk mampu didik.
14
Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku dari fungsi individu anak tunagrahita. Menurut Haenudin (2013: 24), karakteristik secara umum dari anak tungrahita yaitu: 1) Karakteristik belajar Hal yang paling umum untuk menentukan karakteristik seseorang yang mengalami ketunagrahitaan adalah adanya kelainan dalam fungsi kognitif,berikut ini akan dikemukakan beberapa karakteristik belajar dari anak tunagrahita. a) Perhatian. Anak tunagrahita cenderung kesulitan dalam memfokuskan perhatian,
mempertahankannya,
dan
memilih
berbagai
rangsangan yang sesuai. Mereka juga kurang perhatian terhadap tugas. b) Daya ingat. Secara umum kemampuan daya ingat anak tunagrahita dapat dikatakan bahwa semakin berat ketunagrahitaanya maka akan semakin kurang kemampuan daya ingatnya. c) Kinerja akademik. Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam pekerjaan akademis, kesulitan ini terlihat pada berbagai bidang pengajaran, dan bidang yang paling lemah ditunjukkan adalah kemampuan membaca terutama membaca pemahaman. d) Perkembangan bahasa. Anak
tunagrahita
mengalami
keterlambatan
dalam
perkembangan bahasanya, mereka juga mengalami kesulitan untuk mempelajari kata-kata yang bersifat abstrak 2) Karakteristik sosial dan perilaku Kemampuan untuk berinteraksi sosial dengan orang lain merupakan keterampilan penting yang perlu dimiliki oleh setiap orang termasuk anak tunagrahita. Anak tunagrahita biasanya memiliki keterampilan interpersonal yang buruk dan memiliki
15
kemampuan
penyesuaian
sosial,
akibatnya
mereka
sering
dihadapkan dengan penolakan dari teman-temannya. Keterbatasan dalam kemampuan sosial anak tunagrahita dapat menimbulkan kesulitan yang signifikan dalam memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi di lingkungan yang lebih normal. Pembelajaran ketrampilan sosial yang langsung merupakan salah satu cara untuk membantu meningkatkan perkembangan sosial anak tungrahita. Menurut Gargiulo (2012: 99), karakteristik ada tunagrahita dibagi menjadi dua yaitu : 1) Learning characteristics a) Attention Anak tunagrahita dianggap memiliki perhatian yang rendah sehingga mereka banyak mengalami kesulitan dalam belajar, anak tunagrahita berkinerja buruk pada tugas-tugas belajar karena merekapu tidak mengetahui bagaimana mengurus masalah dari segala persoalan yang ada. b) Memory Anak tunagrahita mengalami kesulitan dengan memori jangka pendek dalam tugas belajarnya dalam mengingat langsung petunjuk secara berurutan akan tetapi dalam mengingat memori jangka panjang seperti mengingat nomer telpon atau alamat anak tunagrahita tidak tertinggal seperti teman sebayanya. c) Academic performance Anak Tunagrahita mengalami kesulitan dalam kegiatan akademis mereka. Umumnya, kekurangan ini terlihat di semua mata pelajaran, tapi membaca tampaknya menjadi daerah yang paling lemah, terutama pemahaman bacaan. Anak Tunagrahita juga memiliki kekurangan dalam bidang aritmatika, kinerja mereka lebih sesuai dengan usia mental mereka.
16
d) Motivation Anak tunagrahita tidak percaya dengan kemampuannya sendiri serta memiliki ketergantungan kepada orang lain untuk membimbing sehari-hari. e) Generalization Anak tunagrahita kesulitan menerapkan pengetahuan atau keterampilan tugas-tugas baru, situasi atau tempat, menagalami masalah dalam menggunakan pengalaman sebelumnya dalam situasi baru. Guru secara jelas harus merencanakan pembelajaran secara umum apabila hal-hal yang diluar rencana terjadi. f) Language development Ada kaitannya antara kecerdasan dan perkembangan bahasa, sehingga anak tunagrahita mengalami keterlambatan dalam bahasa karena kecerdasannya dibawah rata-rata, kelainan berbicara (kesalahan artikulasi dan gagap), anak tunagrahita memliki kosakata yang sedikit serta tatabahasa dan stuktur bahasa yang mengalami gangguan. 2) Social and behavioral characteristics Anak tunagrahita biasanya kurang berkompeten dalam bersosialisasi, memiliki kemampuan interpersonal yang buruk sehingga sering ditolak oleh teman sebayanya dan teman kelas, sering menunjukkan perilaku sosial yang tidak pantas karena belum matang usia perkembangannya. Kurangnya memiliki harga diri dan konsep diri.
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan anak tunagrahita ringan mempunyai karakteristik sebagai berikut : 1) Keadaan fisik anak tunagrahita ringan nampak seperti anak normal, hanya sedikit mengalami kelambatan dan kemampuan sensomotorik.
17
2) Karakter psikis anak tunagrahita ringan meliputi : kemampuan berpikir rendah, perhatian dan ingantannya lemah, sehingga mengalami
kesulitan
untuk
mengerjakan
tugas-tugas
yang
melibatkan fungsi mental dan intelektualnya serta kurang mampu berpikir abstrak. 3) Karakteristik sosial anak tunagrahita ringan yaitu mampu bergaul, menyesuaikan diri dengan lingkunganya dan tidak terbatas pada keluarga saja.
e. Pendidikan Anak Tunagrahita Pendidikan Sekolah Luar Biasa merupakan sekolah yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak tunagrahita, yang mempunyai tingkat kecerdasan di bawah anak normal. Menurut Wijaya (2013: 55) Pendidikan dapat dikelompokkan menjadi: 1) Kelas Transisi Kelas ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita yang merupakan kelas persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi sesuai kebutuhan anak. 2) Sekolah Luar Biasa (C dan C1) Layanan pendidikan model ini diberikan khusus untuk anak tunagrahita dnegna maksimal 10 anak dengan pengajar khusus. 3) Pendidikan Terpadu Layanan pendidikan ini dilaksanakan di sekolah reguler, anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak normal dan dibutuhkan guru pendamping khusus dalam model pembelajaran ini 4) Program Inklusif Model pembelajaran ini menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip “education for all”. Layanan pendidikan ini dilaksanakan di sekolah reguler
18
dibimbing 2 orang guru yang satu guru reguler dan guru pendamping khusus atau GPK 2. Tinjauan Keterampilan Bina Diri a. Pengertian Bina Diri Bina diri mempunyai beberapa pengertian menurut beberapa ahli, di antaranya menurut Mumpuniarti (2007: 160), bina diri yaitu program yang dipersiapkan agar siswa dengan hambatan mental mampu menolong diri sendiri dalam bidang yang berkaitan untuk kebutuhan diri sendiri. Sidi (2002: 6) mempunyai pengertian kemampuan bina diri yaitu suatu kelompok aktifitas yang dilakukan individu setiap hari dalam rangka individu memenuhi kebutuhan dan memanfaatkan keadaan lingkungan. Aktivitas bina diri berupa ketrampilan dalam memelihara lingkungan rumah, memelihara diri sendiri, mengelola keuangan, ketrampilan penggunaan berbagai fasilitas umum di masyarakat serta ketrampilan mengelola waktu. Menurut Muljono (2006: 13), bina diri atau kemampuan menolong diri sendiri yaitu latihan yang diberikan kepada peserta didik agar dapat membebaskan diri dari ketergantungan kepada orang lain, yang sering disebut juga merawat diri atau menolong diri sendiri. Kemampuan bina diri dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah self help atau self care, kemampuan bina diri tidak langsung diturunkan dari orang tuanya tetapi kemampuan bina diri harus dipelajari terlebih dahulu. Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan yang dimaksud dengan bina diri adalah upaya dari individu untuk dapat mandiri dalam mengurus dan merawat diri sendiri dalam kegiatan sehari-hari sehingga dapat melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari dengan tujuan meminimalisir dan atau menghilangkan ketergantungan terhadap bantuan orang lain dalam melakukan aktivitasnya.
19
b. Ruang Lingkup Bina Diri Menurut AAID (2002: 54), ruang lingkup bina diri dibagi menjadi tiga kemampuan area bagi anak tunagrahita yaitu area pertama konseptual yang meliputi bahasa (reseptif dan ekspreif), membaca dan menulis, konsep uang dan arahan diri. Area kedua sosial meliputi kemampuan interpersonal, tanggungjawab, harga diri, mengikuti aturan, taat hukum dan pembelajaran agar tidak mudah tertipu. Area ketiga praktis meliputi empat bagian yaitu aktifitas sehari hari (makan, mobilitas, ke toilet dan memakai baju), kegiatan sehari-hari yang berperan penting (persiapan makan, menjaga rumah, minum obat, menejemen uang dan menggunakan telpon). Menurut Indrajati (2002: 18) ruang lingkup bina diri mencakup kemampuan dan komponen sebagai berikut: 1. Merawat diri: Makan, minum, dan kebersihan 2. Mengurus diri: Berpakaian dan berhias 3. Menolong diri: Menjaga keselamatan dan mengatasi bahaya 4. Berkomunikasi: Berkomunikasi lisan, tulisan, isyarat, dan gambar 5. Adaptasi: Adaptasi lingkungan keluarga, sekolah, dan bermain. Area-area kemampuan anak tunagrahita tersebut dapat diterapkan dalam ruang lingkup pembelajaran bina diri bagi anak tunagrahita seperti yang dijabarkan oleh Astati (2010: 9), ruang lingkup bina diri adalah sebagai berikut: 1) Merawat diri, meliputi: makan-minum, kebersihan badan 2) Mengurus diri, seperti: berpakaian, berhias 3) Menolong diri, seperti: menghindari dan mengendalikan bahaya 4) Komunikasi, meliputi: komunikasi perbuatan, lisan, tulisan, dan penggunaan media komunikasi. 5) Sosialisasi, meliputi: a) sosial akademis (membaca, menulis, dan berhitung termasuk mengelola uang); b) kesadaran sosial (peraturan/ tata tertib di rumah, di masyarakat, membantu orang lain, memlihara lingkungan, dan menunggu giliran); c)
20
hubungan sosial (memperkenalkan diri, berteman, bermain, penggunaan sumber-sumber di masyarakat seperti: berbelanja, penggunaan kendaraan umum). 6) Keterampilan/ persiapan pekerjaan, meliputi: tata laksana rumah, penguasaan keterampilan, dan mengkomunikasikan hasil pekerjaan. Menurut Yusuf, Choiri, dan Subagya (2013: 37-39), klasifikasi keterampilan bina diri adalah sebagai berikut: 1) Menjaga kebersihan badan, misalnya menggosok gigi, mandi, mencuci muka a) Pemeliharaan pakaian seperti mencuci dan menyeterik. b) Memilih dan memakai pakaian yang pantas sesuai dengan keadaan, cuaca dan keperluan. c) Perbaikan pakaian sederhana d) Pembinaan etika pergaulan dan sopan santun e) Sikap duduk yang pantas, misalnya waktu makan, di kelas, di rumah sesuai dengan situasi f) Cara berbicara, cara berjalan dan cara bertamu. g) Menghias diri, misalnya menyisir rambut, memakai bedak 2) Bidang makanan dan minuman a) Memilih jenis makanan yang bermanfaat bagi kesehatan cara menyajikan dan menghidangkan makanan/ makanan sederhana untuk diri sendiri. b) Menanak nasi dan membuat lauk-pauk c) Cara mengatur meja makan dan menghidangkan makanan d) Tata cara makan yang sopan e) Cara menyimpan makanan, minuman dan alat-alat makan 3) Bidang kesehatan lingkungan a) Menanamkan rasa tanggung jawab atas kebersihan lingkungan. b) Menanamkan rasa tanggung jawab atas kebersihan lingkungan. c) Memelihara kebersihan, a.l. Kamar sendiri, rumah, lingkungan rumah. d) Mengenalkan instansi-instansi yang menangani masalah kesehatan, seperti rumah sakit, puskesmas, polindes, dsb e) Belajar bertanggung jawab atas kesehatan umum. 4) Bidang tugas-tugas sederhana di rumah dan di sekolah. Kegiatan ini antara lain: a) Penghargaan terhadap pekerjaan di rumah b) Pemeliharaan perabot rumah c) Pemeliharaan lingkungan agar tetap menyenangkan, baik di rumah maupun di sekolah d) Pemilihan tempat bermain yang aman
21
e) Cara menyimpan alat-alat permainan f) Kebiasaan melakukan tugas-tugas di kelas atau di sekolah, misalnya menghapus papan tulis, mengambil kapur, membersihkan meja, mengatur buku g) Kebiasaan membantu guru dalam melakukan tugas-tugas ringan di sekolah 5) Bidang keuangan, antara lain tentang: a) Menanamkan pengertian tentang nilai uang b) Pemakaian uang secara hemat dan efektif c) Memupuk hasrat menabung d) Penggunaan harta benda keluarga secara ekonomis 6) Bidang pemeliharaan anak kecil, misalnya: a) Membantu ibu mengasuh anak kecil b) Bermain dengan adik-adiknya c) Menjaga keselamatan dan kesehatan adik. 7) Bidang pertolongan pertama pada kecelakaan antara lain: a) Cara Menggunakan Obat-Obatan Pada Luka Baru b) Cara Menyimpan Obat-Obatan c) Cara memberi pertolongan yang sederhana. Pendapat ahli lain menurut Casmini (2012: 122), aspek pengembangan dalam program bina diri adalah sebagai berikut : 1) Merawat diri: makan-minum, kebersihan badan, menjaga kesehatan. 2) Mengurus diri: berpakaian, berhias diri. 3) Menolong diri: menghindar dan mengendalikan diri dari bahaya. 4) Berkomunikasi: komunikasi non verbal, verbal, atau tulisan. 5) Bersosialisasi: pernyataan diri, pergaulan dengan anggota keluarga, teman, dan anggota masyarakat. 6) Penguasaan pekerjaan: pemeliharaan alat, penguasaan keterampilan, mencari informasi pekerjaan, mengkomunikasikan hasil pekerjaan dengan orang lain. 7) Pendidikan seks: membedakan jenis kelamin, menjaga diri dan alat reproduksi, menjaga diri dari sentuhan lawan jenis. Berdasarkan
beberapa
pendapat
di
atas
pencapaian
kemandirian anak tunagrahita dalam bina diri mencakup bahan kajian yaitu : merawat diri (makan dan minum), mengurus diri (berpakaian, berhias), menolong diri (menghindari diri dari bahaya), berkomunikasi (verbal, non verbal), bersosialisasi, penguasaan pekerjaan, pendidikan seks, menejemen uang, dan pertolongan pertama pada kecelakaan.
22
Banyak keterampilan bina diri yang harus diajarkan kepada anak tunagrahita namun pada penelitian ini hanya berfokus dalam hal mengurus diri yaitu memakai sepatu bertali. Keterampilan memakai sepatu bertali adalah salah satu hal yang penting yang harus diajarkan lebih awal kepada anak tunagrahita ringan karena memakai sepatu bertali adalah kepentingan pribadi individu ketika akan pergi ke sekolah maupun ke tempat yang lainnya. 6. Tinjauan Teknik Shaping a. Definisi Teknik Shaping Teknik shaping adalah membentuk tingkah laku siswa secara bertahap mulai dengan tingkah laku yang diharapkan, dan pada setiap tahap diberikan reinforcement. Menurut Yusuf Shaping adalah mengembangkan perilaku baru dengan penguat berturut-turut dan perkiraan yang teliti serta menghilangkan perkiraan yang terdahulu dari perilaku. Shaping juga merupakan salah satu prosedur untuk membentuk perilaku yang belum dimunculkan oleh individu (2005: 4) Menurut Koswar (2008: 90) “Shaping merupakan teknik yang selalu mengesampingkan hal-hal yang berhubungan dengan mekanistik, yang memiliki tahap-tahap diantaranya reinforcement dan ada modal awal yang harus dimiliki, dimana hal tersebut mirip dengan suatu tujuan. Kemudian, dalam teori kondisioning operant dari Skinner, menunjuk pada pengubahan tingkah laku pada suatu arah spesifik melalui penguatan atau reinforcement, bagi respon-respon spesifik”. Menurut Miltenberger (2004: 15) teknik shaping adalah mengajarkan
tingkah
laku
dengan
terus
menerus
melakukan
aproksimasi dan membuat rantai hubungannya. Sedangkan menurut Koswara (2008: 93) Tingkah laku yang tidak pernah dimunculkan tidak dapat di reinforcement. Shaping dilakukan melalui sejumlah pendekatan yang berangsur, dan dalam prosesnya akan terdapat tingkah laku yang di reinforcement dan ada yang tidak. Pada setiap
23
tahap, guru diharapkan dapat memberikan reinforcement sampai pada perilaku yang diinginkan itu muncul. Menurut Koswara (2008: 96) shaping merupakan pembentukan perilaku yang baru atau perilaku yang belum pernah dilakukan individu, dan sulit atau tidak mungkin untuk memunculkan perilaku baru yang diinginkan tersebut, dengan cara memberi pengaruh atau penguat jika telah muncul perilaku-perilkau yang mempunyai atau mendekati perilaku baru yang diinginkan, sehingga pada akhirnya memunculkan perilaku yang sama sekali baru yang diinginkan. Menurut beberapa pendapat di atas maka teknik shaping adalah prosedur behavioral untuk membentuk tingkah laku target dengan memberikan reinforcement pada perilaku yang mendekati target. Hal ini akan memudahkan peneliti dalam memunculkan perilaku baru dari target yang diinginkan. b. Prosedur Teknik Shaping Menurut Pear (2011: 5), ada beberapa cara melaksanakan prosedur shaping diantaranya : 1) Menentukan perilaku akhir yang diinginkan Langkah pertama dalam shaping adalah menidentifikasi dengan jelas perilaku akhir yang diinginkan, yang sering disebut sebagai perilaku terminal (tujuan akhir). 2) Pemilihan pemulaian tingkah laku (memilih perilaku) Karena terminal perilaku yang diinginkan tidak terjadi pada awalnya perlu memperkuat beberapa perilaku yang mendekati itu. Tujuan program awal ini adalah untuk membentuk perilaku dengan memperkuat titik awal ke final yang diinginkan meskipun titik awal mungkin sama sekali berbeda dengan perilaku terminal. 3) Pemilihan
langkah-langkah
pembentukan
(langkah
memilih
shaping) Tahap ini membantu kita untuk mendekati akhir perilaku yang diinginkan. Untuk memulai, penguatan diberikan diberikan
24
pada sejumlah kesempatan untuk memancarkan perilaku awal ketika perilaku ini terjadi pelatih bergerak ke langkah berikutnya dan memperkuat langkah demi langkah sampai siswa akhirnya bisa mencapai target yang diinginkan. 4) Bergerak untuk memperbaiki Ada beberapa aturan praktis untuk memperkuat respon akhir yang diinginkan: a) Jangan bergerak terlalu cepat ke langkah berikutnya. Masuk ke langkah
selanjutnya
dapat
dilakukan
apabila
langkah
sebelumnya telah mapan. b) Lanjutkan dalam langkah-langkah cukup kecil. Jika tidak, langkah sebelumnya akan hilang. Namun, jangan membuat langkah-langkah kecil yang tidak perlu. c) Jika kehilangan suatu perilaku karena anda bergeerak terlalu cepat atau terlalu besar mengambil langkah, kembali ke langkah awal dimana anda dapat mengambil perilaku lagi. d) Item 1 dan 2 memberitahukan untuk tidak berjalan terlalu cepat, dan butir 3 menyatakan bagaimana untuk mengoreksi efek buruk berjalan terlalu cepat. Hal ini juga penting, agar perkembangannya tidak terlambat. Jika salah satu langkah diterapkan begitu lama maka akan menjadi sangat kuat, kemugkinan untuk mencapai terminal akan kecil.
B. Kerangka Berpikir Anak tunagrahita memiliki kesulitan dalam melakukan aktifitas sehari-hari seperti makan, minum, memakai baju dan mandi. Salah satu kemampuan yang diajarkan kepada anak sesuai dengan kebutuhan ketika bersekolah yaitu memakai sepatu bertali. Banyak dari anak-anak tunagrahita tidak bisa menali tali sepatu yang dipakainya dan selalu membutuhkan orang lain dalam menali sepatunya sendiri. Di sekolah
25
terdapat pelajaran bina diri dimana di nilai anak pada mata pelajaran bina diri tersebut masih rendah sehingga diperlukan pembaruan dalam mengajarkan anak tunagrahita bagaimana cara memakai sepatu bertali dengan menggunakan teknik tertentu agar anak mudah menangkap ketika diberi keterampilan bina diri tersebut. Teknik yang dipakai adalah teknik shaping, diharapkan membuat kemampuan anak tunagrahita dalam memakai sepatu bertali. Adapun kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini dapat digambarkan ke dalam bagan di bawah ini. Pembelajaran keterampilan bina diri (memakai sepatu bertali) anak tunagrahita kelas II di SLB B.C YMS Baturetno
Pembelajaran keterampilan bina diri (memakai sepatu bertali) belum menggunakan teknik shaping
Pembelajaran keterampilan bina diri (memakai sepatu bertali) anak tunagrahita kelas II masih rendah
Penerapan teknik shaping dalam Pembelajaran keterampilan bina diri (memakai sepatu bertali)
Hasil belajar keterampilan bina diri (memakai sepatu bertali) anak tunagrahita kelas II di SLB B.C YMS Baturetno meningkat. Bagan 2.1 Kerangka Berpikir
C. Hipotesis
26
Menurut Sugiyono (2011: 96) Hipotesis adalah rumusan masalah penelitian, di mana telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Berdasarkan kajian teori, dan kerangka berpikir di atas, maka dalam penelitian ini dapat diajukan hipotesis “Penggunaan teknik shaping efektif untuk meningkatkan keterampilan bina diri anak tunagrahita kelas II di SLB B.C YMS Baturetno tahun ajaran 2015/2016”