6 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Hasil Belajar IPS SD Kelas III a. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar Pada prinsipnya siswa yang belajar di kelas berada pada proses perkembangan dan akan terus berkembang. Kemampuan siswa pada jenjang usia dan tingkat kelas berbeda-beda sesuai dengan perkembangannya. Siswa pada jenjang usia atau kelas yang lebih tinggi memiliki kemampuan lebih tinggi dibandingkan kelas di bawahnya. Pemahaman mengenai perkembangan dan karakteristik siswa merupakan salah satu kompetensi pedagogik yang harus dikuasai oleh guru. Dengan memahami perkembangan dan karakteristik anak seorang guru dapat merancang pengalaman belajar yang sesuai, sehingga pembelajaran yang dialami lebih bermakna dan mudah dipahami, karena sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. Charlotte Buhler (Sobur, 2011: 131-133) membagi perkembangan siswa menjadi lima fase yaitu: (1) fase pertama (0-1 tahun) yaitu masa menghayati berbagai objek di luar diri sendiri serta saat melatih fungsifungsi khususnya fungsi motorik, yakni fungsi yang berhubungan dengan gerakan-gerakan anggota badan; (2) fase kedua (2-4 tahun) yaitu masa pengenalan dunia objektif di luar diri sendiri disertai dengan penghayatan yang bersifat subjektif. Anak mulai mengenal dirinya sendiri. Anak belum mengenal dunia luar dengan pengamatan objektif, melainkan mengangap benda benda di luar (termasuk mainannya) memiliki sifat seperti dirinya; (3) fase ketiga (5-8 tahun) yaitu masa sosialisasi anak karena anak sudah mulai memasuki masyarakat luas (melalui sekolah, teman sepermainan dll) mulai mengenal dunia sekitar secara objektif. Pada tahap inilah mulai berlangsung proses sosialisasi.; (4) fase keempat (9-11 tahun) pada fase ini
6
7 anak mencapai objektivitas tertinggi. Fase ini merupakan masa menyelidik, mencoba, dan bereksperimen yang didorong dengan rasa ingin tahu mulai muncul. Pada fase ini anak memiliki banyak tenaga untuk berlatih, menjelajah dan bereksplorasi. Di akhir fase ini anak mulai mengenal jati diri; dan (5) fase kelima (14-19 tahun) yaitu masa tercapainya synthese diantara sikap ke dalam batin sendiri dengan sikap ke luar, pada dunia objektif. Setelah berusia 16 tahun, anak atau remaja ini mulai belajar melepas diri dari persoalan tentang diri sendiri, dan mengarahkan minatnya pada lapangan hidup konkret. Lambat laun terbentuk penyesuaian di antara pengarahan ke dalam dan pengarahan diri ke luar. Piaget (Sagala, 2013: 27-28) berpendapat bahwa karakteristik perkembangan dan pertumbuhan kognitif siswa secara umum terbagi menjadi empat tahapan, yaitu: (1) tahap sensori motor (0.0-2.0 tahun) yaitu anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sensorik dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan, dan merangkak gerakkannya. Pada preiode ini anak mengatur alamnya dengan inderainderanya (sensori) dan tindakan-tindakannya (motor); (2) praoperasional (2.0-7.0 tahun) yaitu anak mengendalikan diri pada persepsi tentang realitas, anak telah mampu menggunakan simbol, bahasa konsep sederhana, berpartisipasi, membuat gambar dan menggolong-golongkan; (3) operasional konkret (7.0-11.0 tahun) yaitu dapat mengembangkan pikiran logis, anak itu dapat mengikuti penalaran logis walau kadangkadang memecahkan masalah secara “trial and error”. Pada tahap ini anak sudah mulai dapat berpikir secara rasional. Dalam tahap ini ketika mengalami pertentangan antara prikiran dan persepsi, anak dalam periode operasional konkret memilih pengambilan keputusan logis. Operasioperasi dalam periode ini terkait pada pengalaman perorangan; (4) operasional formal (11.00 tahun ke atas) pada tahap ini anak dapat berpikir abstrak seperti pada orang dewasa. Anak dapat menggunakan operasioperasi konkretnya untuk membentuk operasi-operasi yang lebih komplek.
8 Anak tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda atau peristiwa konkret, ia telah mempunyai kemampuan berpikir secara abstrak. Berdasarkan data usia siswa tahun 2015/2016, siswa kelas III SDN 04 Ngringo rata-rata berada pada rentang usia 7-8 tahun. Meninjau dari pendapat ahli di atas, siswa kelas III (7-8 tahun) mulai melakukan sosialisasi secara kelompok dan mengenal dunia sekitar secara objektif. Selain itu, menurut Piaget anak kelas tiga (7-8) tahun berada pada tahap operasional konkret yang ditandai dengan munculnya keterampilan berpikir logis dan rasional, melakukan pemecahan masalah melalui percobaan “trial and error” dan pengambilan keputusan secara logis serta mengaitkannya dengan pengalaman perorangan. b. Konsep Belajar dan Pembelajaran 1) Hakikat Belajar Istilah belajar bukanlah suatu hal yang baru. Walaupun secara praktis masing-masing dari kita sudah memahami yang dimaksud belajar, namun dalam pembahasan mengenai hakikat belajar ini masing-masing memiliki pemahaman dan definisi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, untuk menghindari pemahaman yang beragam tersebut, berikut akan dikemukakan hakikat belajar menurut para ahli. R. Gagne (Anitah, 2009: 1.3) berpendapat bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Mursell (Sagala, 2013 :13) mengemukakan belajar adalah upaya yang dilakukan dengan mengalami
sendiri,
menjelajahi,
menelusuri
dan
memperoleh
informasi. Burton (Susanto, 2015: 3) menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu lain dan individu dengan lingkungannya. W.S. Winkel (Susanto, 2015: 4) menyatakan bahwa pengertian belajar adalah suatu aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif antara seorang dengan lingkungan, dan
9 menghasilkan perubahan–perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai sikap yang bersifat relatif konstan dan berbekas. Dari berbagai pengertian belajar menurut para ahli di atas, belajar dapat dimaknai sebagai suatu aktivitas mental dalam memperoleh pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, dan sikap melalui latihan, dan pengalaman yang relatif konstan dan berbekas. Lebih lanjut proses belajar merupakan interaksi antar individu dan individu, individu dengan guru dan individu dengan materi, dengan demikian belajar bukanlah sekedar mengingat dan menghafal, namun lebih luas lagi belajar adalah proses mental, perubahan perilaku, dan mengalami. 2) Pembelajaran Sekolah Dasar a) Konsep Pembelajaran Kata pembelajaran merupakan perpaduan antara aktivitas belajar dan mengajar. Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh anak sebagai siswa. Adapun menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sietem pendidikan nasional “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada satu lingkungan belajar” Depdiknas (2006: 2) Knirk dan Gustafon (Sagala, 2013: 64) mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses yang sistematis melalui tahap rancangan, pelaksanaan dan evaluasi yang melibatkan tiga komponen utama yang saling berinteraksi yaitu guru (pendidik), siswa (peserta didik), dan kurikulum. Pembelajaran menurut Dimyati dan Mudjiono (Sagala, 2013: 62) adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, utnuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Sejalan dengan pendapat Dimyati, Susanto (2015: 19) mengartikan pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar terjadi proses pemerolehan ilmu dan
10 pengetahuan, penguasaan, kemahiran, dan tabiat serta pembentukan sikap dan keyakinan peserta didik. Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, maka dapat ditarik simpulan bahwa pembelajaran adalah setiap kegiatan yang dirancang oleh pendidik untuk membantu peserta didik mempelajari sesuatu yang disusun secara sistematis melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam lingkungan belajar. b) Karakteristik Pembelajaran Sekolah Dasar Setiap
jenjang
pendidikan
memiliki
karakteristik
pembelajaran masing-masing. Proses pembelajaran di taman kanakkanak berbeda dengan proses pembelajaran di sekolah dasar. Begitu pula untuk sekolah dasar, setiap jenjang memiliki karakteristik pembelajaran masing-masing. Secara umum Anitah (2009: 2.30-2.31) mengemukakan karakteristik pembelajaran di sekolah dasar terbagi menjadi 3, yakni: (1) kelas I dan kelas II SD berorientasi pada pembelajaran fakta, bersifat konkret dan dilaksanakan dengan pendekatan tematik; (2) kelas III SD, siswa diarahkan pada konsep generalisasi yang diperoleh dari fakta atau kejadian-kejadian konkret; dan (3) kelas IV, V, dan VI. Pada jenjang ini siswa dihadapkan pada konsep-konsep atau prinsip-prinsip penerapannya. 3) Hasil Belajar Belajar dapat dimaknai sebagai suatu aktivitas mental dalam memperoleh pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, dan sikap melalui latihan, dan pengalaman yang relatif konstan dan berbekas. Berdasarkan uraian tentang hakikat belajar tersebut, secara sederhana yang dimaksud dengan hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Pengertian mengenai hasil belajar tersebut dipertegas lagi oleh Nawawi (Susanto, 2015: 5) yang menyatakan bahwa hasil belajar dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam
11 skor yang diperoleh dari hasil tes mengenal sejumlah materi pelajaran tertentu. Anak-anak yang berhasil dalam belajar adalah anak yang berhasil mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional. Dari pendapat ahli di atas, dapat ditarik simpulan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh siswa setelah menerima pengalaman belajar yang dinyatakan dengan skor melalui tes atau evaluasi belajar. 4) Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar Setelah melalui pengalaman belajar maka dilakukan evaluasi untuk melihat hasil belajar. Hasil belajar siswa merupakan hasil dari pengalaman belajar yang didalamnya terlibat sejumlah faktor yang mempengaruhinya. Susanto (2015: 12) menyatakan hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua hal, yaitu: (1) siswa, dalam artian kemampuan berpikir atau tingkah laku intelektual, motivasi, minat dan kesiapan siswa baik jasmani maupun rohani; dan (2) lingkungan yang mencakup sarana dan prasarana, kompetensi guru, kreativitas guru, sumber-sumber belajar, metode serta dukungan lingkungan, keluarga dan lingkungan belajar. Sobur (2011: 244) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi hasil belajar anak atau individu terbagi dalam dua bagian, yaitu: (1) faktor endogen yaitu faktor yang berada dalam diri individu, (2) faktor eksogen yakni semua fator yang berada di luar diri individu. Pendapat di atas, lebih diperinci lagi oleh Ruseffendi (Susanto, 2015: 14) yang menyatakan faktor-faktor yang memengaruhi hasil belajar kedalam sepuluh macam yaitu: kecerdasan, kesiapan anak, bakat anak, kemauan belajar, minat anak, model penyajian materi, pribadi dan sikap guru, suasana belajar, kompetensi guru dan kondisi masyarakat. Kesepluh faktor yang dikemukakan Ruseffendi tersebut terdapat faktor yang tergantung pada diri siswa atau anak (intern) dan terdapat pula faktor yang tergantung pada diri guru (ekstern).
12 Dapat ditarik simpulan bahwa secara umum faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa terbagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) faktor dari dalam diri siswa kecerdasan, minat anak, kemauan belajar (motivasi), bakat anak, dan kesiapan, dan (2) faktor dari luar siswa seperti model penyajian materi, pribadi dan sikap guru, suasana belajar, kompetensi guru dan kondisi masyarakat. Faktor internal dan fakor eksternal berperan penting dalam menentukan keberhasilan belajar. Faktor internal dan eksternal dalam praktik pembelajaran saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Sebagai pendidik, kita tidak dapat mempengaruhi secara langsung faktor internal, namun faktor internal yang berhubungan dengan siswa dapat dikondisikan dengan menerapkan faktor eksternal yang sesuai. Model penyajian materi (terdiri dari model dan media) yang dipilih oleh pendidik merupakan faktor yang memengaruhi belajar dari luar siswa. Apabila model dan media diterapkan dengan tepat selain meningkatkan kecerdasan siswa dampak pengiringnya akan meningkatkan minat dan motivasi anak yang pada akhirnya hasil belajar akan meningkat pula. c.
Ilmu Pengetahuan Sosial di SD 1) Pengertian IPS di SD Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah mata pelajaran yang mampu membawa siswa mencapai tujuan tersebut adalah Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Istilah IPS secara resmi mulai dipergunakan di Indonesia sejak diberlakukannya kurikulum tahun 1975. Gagasan IPS di Indonesia banyak mengadopsi dan mengadaptasi dari sejumlah pemikiran dan perkembangan social studies di Amerika.
13 Ilmu Pengetahuan Sosial adalah bidang studi yang mempelajari, menelaah, menganalisis gejala, dan masalah sosial masyarakat dengan meninjau dari berbagai aspek kehidupan atau satu perpaduan (Sardjiyo dkk, 2014: 1.26). Maryani (Susanto, 2015: 140) memberi batasan pendidikan IPS adalah bahan kajian yang terpadu (interdisipliner) yang merupakan penyederhanaan, adaptasi, seleksi dan modifikasi dari konsep-konsep dan keterampilan disiplin sejarah, geografi, sosiologi, antropologi, poltik, dan ekonomi yang diorganisasikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. Susanto (2015: 14) menyatakan bahwa pendidikan IPS di sekolah dasar merupakan bidang studi yang mempelajari manusia dalam semua aspek kehidupan dan interaksinya di masyarakat. Pendapat tersebut dipertegas kembali oleh Sumantri (Sapriya, 2012: 11) yang menyatakan pendidikan IPS di SD adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan. Lebih rinci pengertian IPS di SD dijelaskan pada Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Sistem
Pendidikan
Nasional
yang
menyatakan
bahwa
Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SDLB sampai SMP/ MTs/ SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SD/MI mata pelajaran IPS memuat
materi
Geografi,
Sejarah,
Sosiologi,
dan
Ekonomi.
(Depdiknas, 2006:575). Berdasarkan beberapa sumber di atas, dapat ditarik simpulan bahwa Pendidikan IPS di SD adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmu sosial dan humaniora mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep dan generalisasi yang berkaitan dengan ilmu sosial dan diajarkan secara terpadu.
14 2) Tujuan IPS SD Setiap bidang studi yang tercantum dalam kurikulum sekolah, telah dijiwai oleh tujuan yang hendak dicapai dalam proses belajar mengajar. Pendidikan IPS sebagai bidang studi yang diberikan pada jenjang pendidikan di sekolah bukan hanya memberikan bekal pengetahuan saja, tetapi juga memberikan bekal nilai, sikap serta keterampilan dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan pendidikan IPS menurut Sardjiyo (2014: 1.28) secara keseluruhan, yaitu: (1) membekali anak didik dengan pengetahuan sosial yang berguna dalam kehidupannya kelak di masyarakat, (2) membekali anak didik dengan mengidentifikasi, menganalisis dan menyusun alternatif pemecahan masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan di masyarakat,
(3)
membekali
anak
didik
dengan
kemampuan
berkomunikasi dengan sesama warga masyarakat dan berbagai bidang keilmuan serta bidang keahlian, (4) membekali anak didik dengan kesadaran, sikap mental yaang positif dan keterampilan terhadap pemanfaatan lingkungan hidup yang menjadi bagian dari kehidupan tersebut, (5) membekali anak didik dengan kemampuan mengembangkan pengetahuan dan keilmuan IPS sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Secara khusus menurut Caphin & Messick (Susanto, 2015: 147) membagi tujuan pembejalaran IPS di sekolah menjadi empat komponen yaitu: (1) memberikan kepada siswa pengetahuan tentang pengalaman manusia dalam kehidupan bermasyarakat di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang, (2) menolong siswa untuk mengembangkan keterampilan untuk mencari dan mengolah atau memproses informasi, (3) menolong siswa untuk mengembangkan nilai/sikap demokrsasi dalam masyarakat, dan (4) menyediakan kesempatan pada siswa berperan serta dalam masyarakat. Dalam Permendiknas nomor 22 tahun 2006, mata pelajaran IPS di sekolah dasar bertujuan agar siswa meiliki kemapuan sebagai berikut:
15 (1) mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya, (2) memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial; (3) memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan, dan (4) memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global. (Dpediknas: 2006:575) Adapun tujuan pembelajaran IPS di sekolah dasar menurut Munir (Susanto, 2015: 150) yaitu: (1) membekali anak didik dengan pengetahuan sosial yang berguna dalam kehidupan kelak di masyarakat, (2) membekali anak didik dengan kemampuan mengidentifikasi, menganalisis dan menyusun alternatif pemecahan masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, (3) membekali anak didik dengan kemampuan berkomunikasi dengan sesama warga masyarakat dan bidang keilmuan serta bidang keahlian, (4) membekali anak didik dengan kesadaran, sikap mental yang
positif, dan keterampilan keilmuan
terhadap pemanfaatan lingkungan hidup yang menjadi bagian dari kehidupan tersebut, dan (5) membekali anak didik dengan kemampuan mengembangkan pengetahuan dan keilmuan IPS sesuai dengan perkembangan kehidupan masyrarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan uraian mengenai tujuan pendidikan IPS maka dapat ditarik simpulan bahwa tujuan pendidikan IPS terutama di sekolah dasar, yaitu: (1) mampu memahami konsep dasar ilmu-ilmu sosial dan mengadaptasikannya untuk memecahkan masalah sosial, (2) mampu berpikir kritis serta mengambil tindakan yang tepat dalam menghadapi masalah, (3) memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan, dan (4) mampu mengembangkan diri untuk dapat menyesuaikan diri dalam masyarakat.
16 3) Ruang Lingkup IPS SD IPS sebagai program pendidikan tidak hanya membahas pengetahuan sosial, melainkan membina siswa menjadi warga negara dan warga masyarakat agar bertanggung jawab atas kesejahteraan bersama. Dengan demikian pembahasan IPS tidak hanya terbatas pada materi yang bersifat pengetahuan, melainkan perlu memahami nilai-nilai yang perlu melekat pada diri siswa sebagai warga negara dan warga masyarakat yang bertanggung jawab pada bangsa dan negaranya. Ruang lingkup IPS tidak lain menyangkut kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat atau manusia dalam konteks sosial. Selanjutnya, IPS sebagai program pendidikan ruang lingkupnya berhubungan dengan manusia sebagai anggota masyarakat dan dilengkapi dengan nilai-nilai yang menjadi karakteristik program pendidikannya (Taneo, 2008: 1-36). Lebih rinci ruang lingkup IPS berdasarkan Permendiknas nomor 22 tahun 2006 menyatakan ruang lingkup mata pelajaran IPS meliputi aspek-aspek sebagai berikut: (1) manusia, tempat, dan lingkungan, (2) waktu, keberlanjutan, dan perubahan, (3) sistem sosial dan budaya, dan (4) perilaku ekonomi dan kesejahteraan. (Depdiknas: 2006:575). 4) Materi IPS SD a) Kompetensi dasar dan indikator Kompetensi Dasar adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap minimal yang harus dicapai oleh siswa untuk menunjukkan bahwa siswa telah menguasai materi yang telah ditetapkan. Indikator merupakan penjabaran kompetensi dasar secara spesifisik yang digunakan untuk menilai ketercapaian hasil pembelajaran dan juga dijadikan tolak ukur sejauh mana penguasaan siswa terhadap suatu pokok bahasan atau mata pelajaran tertentu. Dalam penelitian ini peneliti melakukan penelitian pada mata pelajaran IPS dengan materi
17 jenis-jenis pekerjaan. Kompetensi dasar dan indikator dari materi jenis pekerjaan di kelas III semester II dapat dilihat pada tabel 2.1 Tabel 2.1 Kompetensi Dasar dan Indikator Materi Jenis-Jenis Pekerjaan di kelas III semester II Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 2. Memahami 2.1.Mengenal jenis jenis-jenis pekerjaan pekerjaan dan penggunaan uang
Indikator 2.1.1. Menyebutkan macam-macam kegiatan manusia 2.1.2. Membedakan kegiatan pekerjaan dan yang bukan pekerjaan 2.1.3. Menjelaskan pengertian pekerjaan 2.1.4. Menyebutkan contoh pekerjaan; 2.1.5. Menyebutkan pekerjaan yang menghasilkan barang 2.1.6. Menyebutkan pekerjaan yang menghasilkan jasa 2.1.7. Mengelompokkan pekerjaan yang menghasilkan barang 2.1.8. Mengelompokkan pekerjaan yang menghasilkan jasa 2.1.9. Menceritakan pekerjaan yang menghasilkan barang 2.1.10. Menceritakan pekerjaan yang menghasilkan jasa 2.1.11. Menceritakan pekerjaan orang tua.
b) Aktivitas manusia (1) Macam-macam aktivitas manusia Aktivitas adalah kegiatan rutin yang dilakukan manusia dalam kehidupan sehari hari. Dalam kehidupan sehari hari kita melakukan banyak aktivitas baik untuk menjaga kelangsungan hidup, mendapat uang maupun untuk bersenang-senang atau hobi. Beberapa contoh aktivitas manusia antara lain: makan, minum, berolahraga, bercocok tanam, mencari ikan di laut, berjualan; dan mengajar siswa.
18 (2) Aktivitas manusia yang termasuk pekerjaan Aktivitas manusia yang bertujuan menghasilkan uang dapat disebut pekerjaan. Contoh-contoh aktivitas manusia yang termasuk dalam pekerjaan adalah menangkap ikan yang disebut nelayan, mendidik siswa yang disebut guru, menjual barang yang disebut pedagang, dan mengobati orang sakit yang disebut dokter. (3) Pengertian pekerjaan Pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan uang. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi seseorang. Dalam pembicaraan sehari-hari istilah ini sering dianggap sinonim dengan profesi. Pekerjaan yang dijalani seseorang dalam kurun waktu yang lama disebut sebagai karir. Jadi, pekerjaan itu adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang di lakukan oleh manusia atau seseorang yang bertujuan mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. c) Jenis-jenis pekerjaan Jenis pekerjaan ada dua yaitu, pekerjaan yang menghasilkan barang dan pekerjaan yang menghasilkan jasa. (1) Pekerjaan yang menghasilkan barang Pekerjaan yang menghasilkan barang adalah pekerjaan yang kerjanya menghasilkan barang kebutuhan sehari-hari. Contoh dari pekerjaan yang menghasilkan barang seperti pedagang, petani, peternak, nelayan, dan masih banyak lagi. (a) Petani Petani adalah seseorang yang bekerja di bidang pertanian untuk menghasilkan barang seperti padi, bunga, buah dan lain-lain untuk digunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain.
19 (b)Nelayan Nelayan adalah istilah bagi orang-orang yang sehariharinya menangkap ikan atau hewan laut lainnya yang hidup di dasar, maupun permukaan perairan. Perairan yang menjadi daerah aktivitas nelayan ini dapat merupakan perairan tawar, payau maupun laut. Ikan hasil tangkapan biasanya akan dijual di pelelangan ikan dan sebagian dikonsumsi sendiri. (c)Pelukis Pelukis adalah orang yang pekerjaannya membuat lukisan dan hasilnya dijual untuk mendapatkan uang. (2) Pekerjaan yang menghasilkan jasa Pekerjaan yang menghasilkan jasa adalah orang yang pekerjaannya memberikan pelayanan pada orang lain. Contoh dari pekerjaan yang menghasilkan jasa ini seperti guru, dokter, tukang potong rambut, polisi dan masih banyak lagi. (a) Guru Guru adalah orang yang pekerjaannya melayani siswa dengan mendidik dan mengajar siswanya agar menjadi orang pandai. Orang yang bekerja sebagai guru tidak menghasilkan barang, namun memberi jasa berupa mengajarkan pelajaran pada siswanya. (b) Dokter Dokter
adalah
orang
yang
berjasa
membantu
menyembuhkan orang yang sedang sakit. Seorang dokter bekerja dengan melayani pasiennya agar pasiennya lekas sembuh dari penyakit yang dideritanya. (c) Tukang cukur Tukang cukur rambut melayani para pelanggan untuk memotong rambut, dan dalam pekerjaan itu menghasilkan jasa yang nantinya dari jasanya itu bisa di nikmati oleh pelanggannya.
20 (3) Pekerjaan di sekitar kita (a) Pekerjaan yang menghasiklan barang di sekitar kita Pekerjaan yang menghasilkan barang adalah semua kegiatan yang dapat menghasilkan barang yang dapat dijual. Contoh pekerjaan yang menghasilkan barang di sekitar kita adalah petani menghasilkan padi, pengrajin kayu/mebel menghasilkan peralatan rumah tangga dan pengusaha tahu yang menghasilkan tahu. (b) Pekerjaan yang menghasilkan jasa di sekitar kita Pekerjaan yang menghasilkan jasa di sekitar kita berupa pelayanan pada pelanggannya. Contoh pekerjaan yang menghasilkan jasa di sekitar kita adalah tukang cukur yang memberi jasa mencukur rambut, tukang ojek yang memberikan jasa mengantarkan pelanggannya, dan guru yang memberikan jasa mendidik siswa. (c) Pekerjaan Orang Tua di Sekitar Kita Ayah dan ibu bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kita. Contoh pekerjaan ayah dan ibu adalah kariawan, guru, dokter dan lain-lain. d. Hasil Belajar IPS SD Kelas III Hasil belajar IPS SD kelas III yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keberhasilan siswa dalam membentuk pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu sosial melalui aktifitas mengkaji fakta, konsep dan generalisasi yang dinyatakan dengan skor melalui tes atau evaluasi belajar yang dilaksanakan pada setiap akhir pembelajaran. 2. Model Berpikir Induktif a. Pengertian Model Pembelajaran Untuk mengatasi berbagai problematika dalam pelaksanaan pembelajaran, tentu diperlukan model-model mengajar yang dipandang mampu mengatasi kesulitan guru melaksanakan tugas mengajar dan juga
21 kesulitan belajar peserta didik. Model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Komaruddin
(Sagala, 2013: 174) mengemukakan pendapatnya tentang
model bahwa: “Model dapat dipahami sebagai: (1) suatu tipe atau desain; (2) suatu deskripsi atau analogi yang dipergunakan untuk membantu proses visualisasi sesuatu yang tidak dapat dengan langsung diamati; (3) suatu sistem asumsi-asumsi, data-data, dan inferensi-inferensi yang dipakai untuk menggambarkan secara matematis suatu obyek atau peristiwa; (4) suatu desain yang disederhanakan dari suatu sistem kerja, suatu terjemahan realitas yang disederhanakan; (5) suatu deskripsi dari suatu sistem yang mungkin atau imajiner; dan (6) penyajian yang diperkecil agar dapat menjelaskan dan menunjukkan sifat bentuk aslinya.” Sejalan dengan Komaruddin, Sagala (2013: 176) mengungkapkan pengertian model mengajar, bahwa: “Model dirancang untuk mewakili realitas yang sesungguhnya walaupun model itu sendiri bukanlah realitas dari dunia yang sebenarnya. Atas pengertian tersebut maka model mengajar dapat dipahami sebagai kerangka konseptual yang mendeskripsikan dan melukiskan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dan pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perencanaan pengajaran bagi guru dalam melaksanakan aktivitas pembelajaran.” b. Jenis-Jenis Model Pembelajaran Joyce, dkk (2009: 31) mengelompokan model-model pengajaran ke dalam empat kelompok, yakni: (1) kelompok model pengajaran memproses informasi, (2) kelompok model pengajaran sosial, (3) kelompok model personal, dan (4) kelompok sistem perilaku. 1)Model Pemrosesan Informasi Menjelaskan bagaimana cara individu memberi respon yang datang dari lingkungannya dengan cara mengorganisasikan data, memformulasikan
masalah,
membangun
konsep,
dan
rencana
pemecahan masalah serta penggunaan simbol-simbol verbal dan non
22 verbal. Model ini memberikan kepada pelajar sejumlah konsep, pengetesan hipotesis, dan memusatkan perhatian pada pengembangan kemampuan kreatif. Model pengelolaan informasi ini secara umum dapat diterapkan pada sasaran belajar dari berbagai usia dalam mempelajari individu dan masyarakat. Karena itu model ini potensial untuk digunakan dalam mencapai tujuan-tujuan yang berdimensi personal dan sosial disamping yang berdimensi intelektual. Model ini terdiri dari tujuh model pengajaran yaitu: (1) model belajar berpikir secara induktif, (2) model pencapaian konsep-konsep, (3) model induktif kata bergambar, (4) model penelitian ilmiah dan latihan penelitian, (5) model penghafalan (memorization), (6) model sinektik, dan (7) model belajar dari presentasi. 2)Model Pengajaran Personal Merupakan model pembelajaran yang menekankan kepada proses rnengembangkan kepribadian individu siswa dengan memperhatikan kehidupan emosional. Proses pendidikan sengaja diusahakan untuk memungkinkan seseorang dapat memahami dirinya sendiri dengan baik, memikul tanggung jawab, dan lebih kreatif untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Model mi memusatkan perhatian pada pandangan perseorangan dan berusaha menggalakkan kemandirian yang produktif, sehingga manusia menjadi semakin sadar diri dan bertanggung jawab atas tujuannya. Model ini terdiri dari: (1) model mitra dalam pengajaran, (2) investigasi kelompok, (3) bermain peran, dan (4) penelitian hukum. 3)Model Sosial Menekankan pada usaha mengembangkan kemampuan siswa agar memiliki kecakapan untuk berhubungan dengan orang lain sebagai usaha membangun sikap siswa yang demokratis dengan menghargai setiap perbedaan dalam realitas sosial. Inti dari sosial model ini adalah konsep “synergy” yaitu energi atau tenaga (kekuatan) yang terhimpun melalui kerja sama sebagai salah satu fenomena kehidupan masyarakat. Dengan menerapkan model sosial pembelajaran di arahkan pada upaya melibatkan peserta didik dalam menghayati, mengkaji, menerapkan dan
23 menerima fungsi dan peran sosial. Model sosial ini dirancang untuk memanfaatkan fenomena kerja sama, membimbing para siswa mendefinisikan
masalah,
mengeksplorasi
berbagai
masalah,
mengumpulkan data yang relevan, dan mengembangkan serta mengetes hipotesis. Karena itu, guru sebaiknya mengorganisasikan belajar melalui kerja kelompok dan mengarahkannya, kemudian pendidikan dalam masyarakat yang demokratis sebaiknya mengajarkan proses demokratis secara langsung, jadi pendidikan harus diorganisasikan dengan cara melakukan pcnelitian bersama (cooperative inquiry) terhadap masalahmasalah sosial dan masalah-masalah akademis. Kelompok model ini terdiri dari dua model, yaitu pengajaran tidak terarah dan model pengembangan konsep diri. 4)Model Sistem Perilaku Model ini dibangun atas dasar kerangka teori perubahan perilaku, melalui teori ini siswa dibimbing untuk dapat memecahkan masalah belajar melalui penguraian perilaku kedalam jumlah yang keeil dan perurutan. Terdiri dari beberapa model, yaitu: (1) belajar menguasai, (2) instruksi langsung, (3) simulasi, (4) pembelajaran sosial, dan (5) pembelajaran terencana. Peneliti memilih model berpikir induktif sebagai model dalam penelitian ini, karena model berpikir induktif sebagai salah satu bagian dari model pemrosesan informasi merupakan model yang yang berfokus pada kapasitas intelektual siswa dalam membentuk dan menggunakan konsep, sekaligus membantu mereka dalam mengembangkan keterampilan konseptual untuk menyelesaikan semua tugas atau permasalahan yang dihadapi.
24 c. Model Berpikir Induktif 1) Pengertia Model Berpikir Induktif Joyce, dkk (2009: 31) mengemukakan definisi Model pemrosesan informasi yakni: “Model pemrosesan informasi (information-processing models) menekankan pada cara-cara meningkatkan dorongan alamiah manusian membentuk makna tentang dunia (sense of the world) dengan memperoleh dan mengolah data, merasakan masalahmasalah dan menghasilkan solusi-solusi yang tepat, serta mengembangkan konsep dan bahasa untuk mentransfer solusi/ data tersebut. Beberapa model dalam kelompok ini menyediakan informasi dan konsep pada pembelajar, beberapa lagi menekankan susunan konsep dan pengujian hipotesis, dan beberapa yang lain merancang cara berpikir kreatif.” Model berpikir induktif (inductive thinking model) sebagai salah satu model pemrosesan informasi menekankan pada kemampuan dalam menganalisis informasi dan membuat konsep atau generalisasi dari informasi yang telah dianalisis sebelumnya. Model berpikir induktif merupakan penyesuaian dari kajian Hilda Taba. Taba (Joyce, dkk. 2009) mengembangkan model pemelajaran induktif melalui strategi yang didesain untuk membangun proses induktif serta membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikirnya dalam mengkategorikan dan menangani informasi. Jadi pada dasarnya model berpikir induktif dikembangkan berdasarkan cara berpikir induktif yaitu menarik kesimplan dari suatu masalah atau data yang diperoleh (mengamati dan mencoba suatu proses kemudian menarik kesimpulan). Model berpikir induktif dirancang untuk melatih siswa dalam membentuk konsep dan sekaligus mengajarkan konsep-konsep. Selain itu model ini juga membentuk perhatian siswa untuk fokus pada logika, bahasa dan arti kata-kata, dan sifat pengetahuan (Joyce, dkk. 2009:115). 2) Kelebihan dan Kekurangan Model Berpikir Induktif Adapun kelebihan yang dimiliki oleh model berpikir induktif adalah (1) mengembangkan keterampilan berpikir siswa karena siswa
25 selalu dipancing dengan pertanyaan, (2) menguasai secara tuntas topiktopik yang dibicarakan karena ada tukar pendapat antara siswa sehingga didapatkan suatu simpulan akhir, (3) mengerjakan siswa berpikir kritis karena selalu dipancing untuk mengeluarkan ide-ide, (4) melatih siswa belajar bekerja sistematis, dan (5) memotivasi siswa dalam kegiatan belajar karena melalui model berpikir induktif siswa diberikan tantangan untuk menafsirkan data eksperimen. Kekurangan model berpikir induktif adalah: membutuhkan banyak waktu, (2) sukar menentukan pendapat yang sama karena setiap orang memiliki pendapat yang berbeda, (3) tingkat keefektifan model pembelajaran induktif ini, sangat tergantung pada keterampilan guru dalam bertanya dan mengarahkan pembelajaran, dimana guru harus menjadi pembimbing yang akan untuk membuat siswa berpikir, dan (4) saat pembelajaran berlangsung dengan menggunakan
model
pembelajaran
induktif,
guru
harus
telah
menyiapkan perangkat-perangkat yang akan membuat siswa beraktivitas dan semangat siswa untuk melakukan observasi terhadap ilustrasiilustrasi yang diberikan. 3) Langkah Model Berpikir Induktif Dalam mengembangkan model berpikir induktif, Hilda Taba (Joyce dkk, 2009: 116) membagi struktur model berpikir induktif menjadi tiga tahap di mana disetiap tahap terdapat tiga fase yang kemudian menjadi langkah dari model berpikir induktif yang terdiri tahap satu: Pembentukan Konsep, meliputi: (1) mengkalkulasi dan membuat daftar, (2) mengelompokkan, dan (3) membuat label dan kategori. Tahap dua: Interpretasi Data, meliputi: (1) mengidentifikasi hubungan-hubungan yang penting, (2) mengeksplorasi hubunganhubungan, dan (3) membuat dugaan/kesimpulan. Tahap tiga: Aplikasi Prinsip, meliputi: (1) memprediksi konsekuensi, menjelaskan fenomena asing, dan menghipotesis, (2) menjelaskan dan atau mendukung prediksi dan hipotesis, dan (3) menguji kebenaran (verifikasi) prediksi.
26 Canadas,(2009:265) mengemukakan langkah utama dari model berpikir induktif adalah (1) work on particular cases, (2) organization of particular casesm (3) search and prediction of pattern, (4) conjecture formulation, (5) justification; (6) generalization, and (7) justification of generalization Berdasarkan adaptasi dari pendapat ahli di atas, maka langkah model berpikir induktif yang peneliti terapkan dalam penelitian initerdiri dari sembilan langkah yaitu: (1) mengamati dan mengidentifikasi media, (2) mengelompokan media gambar berdasarkan ciri yang sama, (3) menamai hasil klasifikasi sesuai persamaan ciri, (4) berdiskusi dengan bantuan LKS untuk memilih data yang dianggap penting, (5) berdiskusi mencari hubungan penting dari data yang diperoleh, (6) membuat simpulan sementara hasil diskusi, (7) mencari contoh relevan yang mendukung simpulan, (8) mempresentasikan hasil simpulan, dan (9) menguji kebenaran simpulan dari masing masing kelompok kemudian membuat simpulan umum. 3. Penelitian yang relevan Penelitian mengenai model berpikir induktif juga telah dilakukan sebelumnya. Berikut adalah beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan model perpikir induktif : a. Rahmawati Ika Listyaningrum (2012), berjudul Penerapan Model Pembelajaran Inductive thinking Berbasis Keterampilan Proses Sains untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Biologi Siswa Kelas X.7 SMA Negeri 2 Karanganyar. Pada akhir siklus III menunjukkan penampilan guru meningkat dari 86,67% menjadi 100%, iklim belajar meningkat dari 72,79% menjadi 91,18%, sikap ilmiah siswa meningkat dari 69,12% menjadi 84,31% dan motivasi belajar siswa meningkat dari 68,63% menjadi 84,31%. Selain itu dalam penelitian Rahmawati menunjukkan bahwa penerapan model induktif thinking berbasis keterampilan proses mampu meningkatkan kemanfaatan fasilitas dalam kelas dan laboratorium. Kesamaan antara penelitian yang dilakukan
27 Rahmawati dengan penelitian ini adalah penerapan model berpikir induktif sebagai model pembelajaran. Namun, dalam penelitian yang akan peneliti lakukan model berpikir induktif dalam rangka untuk meningkatkan hasil belajar IPS, sedangkan Rahmawati menggunakan model berpikir induktif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran biologi. b. Maria C Canadas, Encarnacion Castro dan Enrique Castro dari University of Granada, Spain (2009), berjudul Using a Model to Discribe Students’ Inductive Reasoning in Problem Solving yang menggunakan inductive reasoning model menunjukkan bahwa model berpikir induktif dengan langkah (1) work on particular cases, (2) organization of particular casesm (3) search and prediction of pattern, (4) conjecture formulation, (5) justification; (6) generalization, and (7) justification of generalization sangat berguna untuk mengambarkan kinerja belajar siswa. Persamaan antara penelitian yang dilakukan Canadas dan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti terdapat pada penerapan model berpikir induktif sebagai model yang diterapkan untuk penelitian. Namun, Canadas berfokus pada penerapan model berpikir induktif untuk melihat kemampuan berpikir induktif siswa dalam pemecahan masalah, sedangkan peneliti menggunakan model berpikir induktif untuk melihat apakah penerapan model berpikir induktif dapat meningkatkan hasil belajar IPS. c. Herneet Billing, Indo Global College of Education, Abhipur (2013) berjudul Effect of Inductive Thinking Model on Achievment Motivation of Students in Relation to their Learning Approah menunjukan bahwa secara signifikan motivasi berprestasi lebih baik ketika menggunakan model berpikir induktif dibandingkan model pembelajaran tradisional. hal tersebut ditunjukan dengan skor gain motivasi metode berpikir induktif lebih besar dibandingkan dengan strategi pembelajaran tradisional. Persamaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan Herneet Billing yaitu sama-meneliti pengaruh model berpikir induktif dalam pembelajaran. Namun, peneliti meneliti pengaruh model berpikir indiktif teradap hasil
28 belajar sedangkan erneet Billing meneliti pengaruh model berpikir induktif dalam motifasi berprestasi siswa. d. Boby Agus Yusmiono, Universitas PGRI Palembang (2015) dengan judul Pengaruh Model Pembelajaran Inductive Thinking Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPS Terpadu Kelas VII di SMP Negeri 47 Palembang menunjukan bahwa hasil analisis data didapat ada pengaruh yang signifikan antara model pembelajaran Inductive Thinking terhadap hasil belajar peserta didik. Jadi model pembelajaran Inductive Thinking sangat berpengaruh untuk mengingkatkan hasil belajar peserta didik. Hal tersebut dibuktikan dengan nilai rata-rata peserta didik yaitu nilai rata-rata observasi peserta didik adalah 61, 875 dan setelah dilakukan model pembelajaran Inductive Thinking nilai rata-rata peserta didik adalah 76,125, dan dengan perhitungan regresi linier sederhana FHitung lebih besar dari FTabel yaitu 25,642 ≥ 3,25. Persamaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan Yusmiono sama-sama meneliti pengaruh model berpikir induktif terhadap hasil belajar siswa. Namun terdapat perbedaan dimana peneliti melakukan penelitian dengan subjek penelitian siswa SD dan metode penelitian PTK sedang Yusmiono melakukan penelitian dengan subjek penelitian siswa SMP dan metode penelitian kuantitatif. B. Kerangka Berpikir Mata pelajaran IPS sangat penting dan bermanfaat bagi peserta didik. Mata pelajaran IPS dirancang untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat dalam memasuki kehidupan bermasyarakat yang dinamis. Oleh sebab itu, IPS tidak hanya memberi ilmu pengetahuan semata, tetapi harus berorientasi pada pengembangan keterampilan analisis, berpikir kritis, sikap, dan kecakapan-kecakapan dalam menghadapi permasalahan yang berpijak pada kenyataan kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari dan memenuhi kebutuhan bagi kehidupan sosial siswa di masyarakat. Dengan demikian sebagai seorang guru dalam mengembangkan model maupun metode pembelajaran IPS hendaknya memperhatikan karakterisitik
29 siswa yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat secara terbuka menganalisis dan menjelaskan nilai-nilai yang berhubungan dengan masyarakat, memutuskan tindakan dan mengambil tindakan dengan keputusan yang reflektif. Kondisi awal berdasarkan hasil ulangan harian siswa kelas III diperoleh data siswa yang belum tuntas ada 13 siswa dengan standar KKM yang di tentukan oleh sekolah sebesar 70. Hasil observasi kelas III SDN 04 Ngringo tahun pelajaran 2015/ 2016 yang dilakukan pada tanggal 09 Desember 2015 menunjukan bahwa kegiatan ceramah masih mendominasi dalam pembelajaran IPS. Siswa kurang diberikan
ruang
untuk
berpikir
kritis,
menganalisis
dan
membentuk
pengetahuannya sendiri berdasarkan apa yang siswa alami dan permasalahan yang faktual di sekitar mereka sehingga apa yang dipelajari siswa kurang begitu berbekas pada diri siswa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, peneliti dan guru perlu melakukan inovasi dalam proses pembelajaran dengan (1) menciptakan pembelajaran yang mampu memberi tantangan pada siswa, (2) memberikan stimulus berupa pertanyaan dan permasalahan yang mampu membuat siswa berpikir kritis, (3) memberikan keleluasaan pada siswa untuk mengkonstruk dan mengembangkan pengetahuannya melalui sumber belajar yang beragam, dan (4) menghubungkan materi dengan permasalahan-permasalahan yang sering di alami siswa atau yang berada di sekitar siswa. Oleh karena itu, diperlukan suatu model pembelajaran untuk mengatasi kondisi hasil belajar yang belum maksimal. Salah satu model yang tepat adalah model berpikir induktif. Model berpikir induktif merupakan model yang efektif untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman peserta didik melalui kegiatan yang bermakna bagi siswa. Model berpikir induktif memungkinkan siswa melakukan kegiatan membangun pengetahuan sendiri, aktif dan memperoleh pengalaman belajar yang bermakna sehingga hasil belajarnya akan meningkat dan tahan lama. Langkah model berpikir induktif yang digunakan pada penelitian ini adalah: (1) membuat dafatar kategori dari media gambar, (2) mengelompokkan gambar berdasarkan ciriciri yang sama, (3) membuat label/ menamai hasil klasifikasi gambar sesuai persamaan ciri-cirinya, (4) berdiskusi memilih gambar yang sesuai dengan perintah
30 LKS, (5) berdiskusi mencari hubungan penting dari gambar, (6) membuat simpulan sementara dari hasil diskusi, (7) menyampaikan alasan yang mendukung simpulan, (8) mempresentasikan hasil simpulan, (9) menguji kebenaran (verifikasi) simpulan masing masing kelompok kemudian membuat simpulan umum. Penerapan model berpikir induktif sebagai alternatif solusi untuk mengatasi maslah rendahnya hasil belajar siswa kelas III di SDN 04 Ngringo dalam penerapannya mempertimbangkan karakteristik siswa dimana siswa kelas III (7-8 tahun) mulai melakukan sosialisasi secara kelompok dan mengenal dunia sekitar secara objektif. Selain itu, anak kelas tiga berada pada tahap operasional konkret yang ditandai dengan munculnya keterampilan berpikir logis dan rasional, melakukan pemecahan masalah melalui percobaan “trial and error” dan pengambilan keputusan secara logis serta mengaitkannya dengan pengalaman perorangan. Penerapan model berpikir induktif dilaksanakan dalam tiga siklus dengan materi pada siklus I adalah (1) macam macam aktivitas manusia, (2) aktivitas manusia yang termasuk pekerjaan, dan (3) pengertian pekerjaan. Siklus II materinya terdiri dari yaitu jenis-jenis pekerjaan yang menghasilkan barang dan jenis-jenis pekerjaanyang menghasilkan jasa. Pada siklus III, materinya yaitu: (1) pekerjaan yang menghasilkan barang di sekitar kita, (2) pekerjaan yang menghasilkan jasa di sekitar kita, dan (3) pekerjaan orang tua. Penerapan model berpikir induktif yang disesuaikan dengan karakteristik siswa
dmembuat
pembelajaran
menjadi
menyenangkan,
menumbuhkan
keterampilan analisis, berpikir kritis dan memberikan learning experience yang tepat pada siswa, yang pada akhirnya penerapan model berpikir induktif diharpkan mampu meningkatkan hasil belajar IPS pada siswa kelas III SD Negeri 04 Ngringo tahun ajaran 2015/2016
31 .
KONDISI AWAL
Guru
Siswa:
Kegiatan ceramah masih mendominasi dalam pembelajaran IPS.
Hasil belajar IPS Siswa Kelas III masih rendah
Siswa kurang diberikan ruang untuk berpikir kritis, menganalisis dan membentuk pengetahuannya sendiri.
TINDAKAN (siklus)
KONDISI AKHIR
Menerapkan model berpikir induktif pada mata pelajaran IPS tentang jenis-jenis pekerjaan
Model berpikir induktif membuat pembelajaran menjadi menyenangkan, menumbuhkan keterampilan analisis, berpikir kritis dan memberikan learning experience yang tepat pada siswa.
Hasil belajar IPS pada siswa kelas III SD Negeri 04 Ngringo tahun ajaran 2015/2016 mengalami peningkatan Gambar 2.1. Kerangka Berpikir C. Hipotesis
Berdasarkan kajian pustaka, dan kerangka berpikir yang telah dipaparkan, hipotesis dalam penelitian ini adalah “melalui penerapan model berpikir induktif dapat meningkatkan hasil belajar ilmu pengetahuan sosial tentang jenis-jenis pekerjaan pada siswa kelas III SD Negeri 04 Ngringo tahun pelajaran 2015/2016.”
32