BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka 1. Tinjauan Tentang Anak Tunanetra a. Pengertian Anak Tunanetra Dalam dunia pendidikan luar biasa, anak dengan gangguan penglihatan sering disebut dengan istilah anak tunanetra. Pengertian tunanetra tidak saja mencakup mereka yang buta, melainkan mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari, terutama dalam hal belajar. Anak tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas (Soemantri, 2006: 52). Menurut Hadi (2007: 8) menjelaskan bahwa : Secara harafiah tunanetra berasal dari dua kata, yaitu : a. Tuna (tuno: Jawa) yang berarti rugi yang kemudian diidentikan dengan rusak, hilang, terhambat, terganggu, tidak memiliki dan b. Netra (netro : Jawa) yang berarti mata. Namun demikian kata tunanetra adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang berarti adanya kerugian yang disebabkan oleh kerusakan atau terganggunya organ mata, baik anatomis dan atau fisiologis. Sedangkan Chalidah (2005: 160) menyatakan bahwa anak tunanetra yaitu anak yang mempunyai gangguan pada penglihatannya karena rusak atau luka pada matanya secara fisik dan atau neurologis, sehingga tidak mampu memfungsikan penglihatannya baik sebagian maupun secara total. Gangguan fungsi penglihatan yang dialami oleh anak tunanetra akan berpengaruh terhadap penerimaan informasi, agar anak tunanetra dapat menerima informasi dengan baik maka harus mengoptimalkan indera yang lainnya, seperti indera pendengaran, indera peraba, indera penciuman, dan atau indera perasa. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Hardman dalam Hadi (2007: 11) yang menyebutkan bahwa anak tunanetra
9
10
adalah anak yang tidak dapat menggunakan penglihatannya, sehingga dalam proses belajar akan bergantung kepada indera pendengaran (auditif), perabaan (tactual), dan indera lain yang masih berfungsi. Sedangkan pengertian anak tunanetra menurut Choiri dan Yusuf (2009: 9), “Anak dengan gangguan penglihatan (tunanetra) adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatan sedemikian rupa, sehingga membutuhkan layanan khusus dalam pendidikaan maupun kehidupannya”. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa anak tunanetra merupakan anak yang mengalami gangguan pada penglihatannya yang mana tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga dalam menerima informasi hanya mengandalkan indera yang lain seperti pendengaran, perasa, perabaan dan penciuman, oleh karena itu anak tunanetra membutuhkan layanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan keadaan anak. b. Faktor-faktor Penyebab Ketunanetraan Anak yang mengalami gangguan penglihatan atau tunanetra dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara etiologi, timbulnya ketunanetraan disebabkan oleh faktor endogen dan eksogen. Ketunanetraan karena faktor endogen, seperti keturunan (herediter), atau karena faktor eksogen seperti penyakit, kecelakaan, obat-obatan dan lain-lainnya (Efendi, 2008: 34). Menurut Heather Mason, dkk (Hadi, 2007: 12-13) menyebutkan beberapa penyebab ketunanetraan adalah: 1) Faktor genetik atau herediter: beberapa kelainan penglihatan bisa didapat akibat diturunkan dari orang tua misalnya buta warna, albinism, retinitis pigmentosa. Seorang wanita yang kelihatannya norma, tetapi secara genetis dia dapat membawa sifat (carriers) suatu kelainan penglihatan. 2) Perkawinan sedarah: banyak ditemukan ketunanetraan pada anak hasil perkawinan dekat, misalnya keluarga dekat (incest). Pola ini menyebabkan secara genetis rentan untuk menurunkan sifat, termasuk penyakit atau kelainan. 3) Proses kelahiran: mengalami trauma pada saat proses kelahiran, lahir premature, berat lahir kurang dari 1300 gram,
11
4)
5)
6)
7)
8)
kekurangan oksigen akibat lamanya proses kelahiran, anak dilahirkan dengan menggunakan alat bantu. Penyakit anak-anak yang akut sehingga berkomplikasi pada organ mata, infeksi virus yang menyerang syaraf dan anatomi mata, tumor otak yang menyerang pusat syaraf organ penglihatan. Kecelakaan: tabrakan yang mengenai organ mata, benturan, terjatuh, dan trauma lain yang secara langsung atau tidak langsung mengenai organ mata, tersetrum aliran listrik, kena zat kimia, terkena cahaya tajam. Perlakuan kontinyu dengan obat-obatan: beberapa obat untuk penyembuhan suatu penyakit tertentu ada yang berefek negatif terhadap kesehatan mata, demikian juga penggunaanobat over dosis sangat berbahaya terhadap organ-organ lumak seperti mata. Infeksi oleh binatang juga dapat merusak organ-organ selaput mata yang tipis, bahkan dapat mengakibatkan penyakit bergulma atau borok (ulkus), infeksi pada selaput mata akhirnya berkembang ke mata bagian dalam. Beberapa kondisi kota dengan suhu yang panas, menyebabkan udara mudah bergerak dan membawa bibit penyakit kering yang masuk ke mata, pada daerah kering biasa ditemukan penyakit mata jenis trachoma.
Sedangkan menurut
Soemantri (2006:
53),
secara
ilmiah
ketunanetraan anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor dalam diri anak (internal) maupun faktor dari luar anak (eksternal). Hal-hal yang termasuk faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan. Kemungkinannya karena faktor gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat, dan sebagainya. Sedangkan hal-hal yang termasuk faktor eksternal diantaranya faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan. Misalnya: kecelakaan, terkena penyakit siphilis yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga sistem persyarafannya rusak, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, virus trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, serta peradangan mata karena penyakit, bakteri, ataupun virus. Lebih lanjut Sunanto (2005: 45) menyatakan bahwa, kelainan penglihatan (ketunanetraan) dapat terjadi karena faktor keturunan maupun
12
yang diperoleh karena penyakit tertentu atau kecelakaan. Secara garis besar penyebeb kelainan dapat diklasifikasikan: akibat kelainan refraksi, karena penyakit, dan karena kelainan sensoris. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab ketunanetraan dapat dibagi menjadi dua faktor, yaitu : 1) Faktor internal, yaitu faktor yang timbul dari dalam diri individu, seperti: keturunan, perkawinan sedarah, kurang gizi, dan lain sebagainya. 2) Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri individu, seperti: kecelakaan, penggunaan alat bantu kelahiran, trauma, terkena penyakit atau virus, terkena zat kimia, kondisi kota, dan lain sebagainya. c. Klasifikasi Tunanetra Tingkat ketajaman penglihatan yang dimiliki tunanetra biasanya digunakan sebagai patokan apakah seorang anak termasuk tunanetra atau tidak. Klasifikasi tunanetra ditujukan untuk memudahkan pemberian bantuan atau layanan pendidikan bagi anak tunanetra. Berkaitan dengan klasifikasi tunanetra, berdasarkan pada tes Snellen card, Soemantri (2006: 53) mengelompokkan tunanetra menjadi dua macam, yaitu : 1) Buta Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya =0) 2) Low Vision Bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu membaca headline pada surat kabar. Faye dalam Hadi (2007: 18) mengklasifikasikan tunanetra atas dasar fungsi penglihatan ke dalam lima kategori: 1) Kelompok yang memiliki penglihatan agak normal tetapi membutuhkan koreksi lensa dan alat bantu membaca.
13
2) Kelompok yang ketajaman penglihatannya kurang atau sedang yang memerlukan pencahayaan dan alat bantu penglihatan khusus. 3) Kelompok yang memiliki penglihatan pusat rendah, lantang penglihatan sedang, ketidakmampuan memperoleh pengalaman akibat kerusakan penglihatan. 4) Kelompok yang memiliki fungsi penglihatan buruk, kemampuan lantang pandang rendah, penglihatan pusat buruk, dan perlu alat bantu untuk membaca yang kuat. 5) Kelompok yang tergolong buta total. Sedangkan menurut Efendi (2008: 52), menjelaskan tentang klasifikasi anak tunanetra ditinjau dari jenjangnya dapat dikelompokkan menjadi: 1) Anak yang mengalami ketunanetraan yang memungkinkan dikoreksi alat optik atau terapi medis. 2) Anak yang mengalami ketunanetraan yang memungkinkan dikoreksi alat optik atau terapi medis, tetapi masih mengalami kesulitan menggunakan fasilitas orang awas/lemah penglihatan. 3) Anak yang mengalami ketunanetraan yag tidak memungkinkan dikoreksi alat optik atau terapi medis serta tidak dapat sama sekali memanfaatkan penglihatan untuk kepentingan pendidikan. Anak yang memiliki kelainan penglihatan dalam kelompok ini dikenal dengan sebutan buta (Tunanetra berat). Menurut Yusuf (2009: 3), anak dengan gangguan penglihatan dapat juga dikelompokkan berdasarkan : 1) Berdasarkan ukuran ketajaman penglihatan, anak tunanetra dapat dibagi menjadi : a) Mampu melihat dengan ketajaman penglihatan (acuity) 20/70 artinya anak tunanetra melihat dari jarak 20 feet (6meter) sedangkan orang normal dari jarak 70 feet (21 meter). Mereka digolongkan ke dalam low vision (keterbatasan penglihatan)
14
b) Mampu membaca huruf paling besar di Snellen Chart dari jark 20 feet (acuity 20/200 – legal blind) dikategorikan buta. Ini berarti anak tunanetra melihat huruf E dari jarak 6 meter, sedangkan anak normal dari jarak 60 meter. 2) Karakteristik anak yang memiliki keterbatasan penglihatan (low vision) : a) Mengenal bentuk atau objek dari berbagai jarak. b) Menghitung jari dari berbagai jarak. c) Tidak mengenal tangan yang digerakkan. 3) Kelompok yang mengalami keterbatasan penglihatan berat (buta): a) Mempunyai persepsi cahaya (light perception). b) Tidak memiliki persepsi cahaya (no light perception). 4) Dalam perspektif pendidikan, tunanetra dikelompokkan menjadi : a) Mereka yang mampu membaca huruf cetak standar. b) Mampu membaca huruf cetak standar, tetapi dengan bantuan kaca pembesar. c) Mampu membaca huruf cetak dalam ukuran besar (ukuran huruf no.18). d) Mampu membaca huruf cetak secara kombinasi, cetakan reguler, dan cetakan besar. e) Menggunakan Braille tetapi masih bisa melihat cahaya. Berdasarkan beberapa pendapat mengenai klasifikasi tunanetra maka dapat disimpulkan bahwa anak tunanetra dibedakan menjadi dua, yaitu buta total dan low vision. d. Karakteristik Tunanetra Anak yang mengalami kerusakan penglihatan atau disebut tunanetra, terdiri dari tunanetra total dan tunanetra kurang lihat. Menurut Chalidah (2005: 26-27), tunanetra total dan tunanetra kurang lihat memiliki karakteristik sebagai berikut:
15
1) Tunanetra total, fungsi penglihtannya telah terganggu yang berakibat pada
perilaku
kehidupan
sehari-hari.
Karakteristik
fisiknya
memperlihatkan gerakan-gerakan jari atau tangan yang diketuk-ketuk berulang-ulang, kemudian kemampuan bahasa (verbal) baik karena dengan kemampuan auditori dan taktil lebih berperan bagi anak tunanetra. Pengalaman visualisasi yang sangat minim berpengaruh pada faktor psikologis pribadi mereka, menjadi sensitif, mudah tersinggung, selalu disertai rasa curiga, rendah diri, kritis, suka melamun, dan lain sebagainya. Dampak lain dari keadaan penglihatannya, anak tunanetra dalam kehidupan sosialnya, memiliki sifat pemberani, ketergantungan sangat tinggi, cenderung menarik diri dari lingkungan. 2) Tunanetra kurang lihat atau kurang awas yang masih mempunyai penglihatan meskipun sedikit atau kurang jelas, tetapi mempengaruhi karakteristik mereka baik secara psikis, fisik, sosial maupun intelektual. Sedangkan
Immanuel dalam Chalidah (2005: 27)
menjelaskan
karakteristik anak tunanetra yang kurang awas sebagai berikut : a) Selalu mencoba mengadakan fixition atau melihat suatu benda dengan memfokuskan pada titik-titik benda. b) Menanggapi rangsang cahaya yang datang padanya, terutama pada benda yang terkena sinar, disebut visually function. c) Bergerak dengan penuh percaya diri baik di rumah maupun di sekolah. d) Merespon warna e) Mereka dapat menghindari rintangan-rintangan yang berbentuk besar dan sisa penglihatannya. f) Memiringkan kepala jika akan memulai dan melakukan suatu pekerjaan. g) Mampu mengikuti gerak benda dengan penglihatannya. h) Tertarik pada benda bergerak dan berusaha mencari benda jatuh selalu menggunakan penglihatannya. i) Mereka akan menjadi penuntun temannya yang buta. j) Jika berjalan sering membentur atau menginjak benda tanpa disengaja. k) Berjalan dengan menyeretkan atau menggeserkan kaki atau salah langkah. l) Kesulitan dalam menunjuk benda atau mencari benda kecuali warnanya kontras. m) Kesulitan melakukan gerakan-gerakan yang halus dan lembut.
16
n) Selalu melihat benda dengan global atau menyeluruh. o) Koordinasi atau kerjasama antara mata dan anggota badan lemah. Menurut Yusuf (2009: 9), untuk mengenali anak tunanetra, kita dapat melihat ciri-ciri sebagai berikut : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Kurang melihat (kabur), tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 m. Kesulitan mengambil benda kecil didekatnya. Tidak dapat menulis mengikuti garis lurus. Sering meraba-raba dan tersandung waktu berjalan. Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/bersisik kering. Tidak mampu melihat. Peradangan hebat pada kedua bola mata. Mata bergoyang terus. Berdasarkan
pendapat
tersebut,
dapat
disimpulkan
bahwa
karakteristik anak tunanetra dapat dilihat dari aspek fisik, aspek kognitif, aspek bahasa, aspek motorik atau gerak, aspek kepribadian, aspek sosial dan emosional. e. Dampak Ketunanetraan Kehilangan indera penglihatan sebagai saluran informasi visual akan berdampak pada kehidupan anak tunanetra. Seberapa jauh dampak kehilangan penglihatan terhadap kemampuan seseorang tergantung pada banyak faktor misalnya kapan terjadinya kelainan, berat ringannya kelainan, jenis kelainan dan lain-lain. Menurut Sunanto (2005:48), dampak kehilangan penglihatan dikelompokkan dalam empat bidang, yaitu sosial dan emosi, bahasa, kognitif, serta orientasi dan mobilitas. Hal senada juga dikemukakan oleh Kingsley (Hadi, 2007: 27) menyebutkan empat area pengembangan sebagai dampak kerusakan penglihatan, yaitu: sosial dan emosional, bahasa, kognitif, serta oriebtasi dan mobilitas. Sedangkan menurut Lowenfeld, kehilangan penglihatan mengakibatkan tiga keterbatasan yang serius yaitu 1) variasi dan jenis pengalaman (kognisi), 2) kemampuan untuk bergerak di dalam lingkungannya (orientaasi dan mobilitas), dan 3) berinteraksi dengan lingkungannya (sosial dan emosi) (Sunanto, 2005: 47).
17
Lebih lanjut Hadi (2007: 27-32) mengelompokkan dampak ketunanetraan dalam 5 (lima) kelompok, yaitu: 1) Dampak personal atau individu Dampak personal yaitu dampak yang langsung dialami oleh penderitanya, diantaranya adalah tidak dapat melihat dengan baik, munculnya hambatan dalam kehidupan sehari-hari, menimbulkan frustasi dan sebagainya. 2) Dampak pada perkembangan sosial dan emosional Dalam perkembangan sosial, anak tunanetra memiliki keinginan untuk berpartisipasi dengan mewujudkannnya dalam peran sosial (social role) di lingkungan masyarakatnya. Akibat terjadinya kecacatan akan menimbulkan reaksi yang beragam dari masyarakat, baik itu reaksi positif maupun negatif. Akibat adanya reaksi negatif dari masyarakat, tunanetra mengalami hambatan dalam aspek sosial dan cenderung memiliki perilaku yang negatif. 3) Dampak pada perkembangan bahasa dan komunikasi Dampak ketunanetraan seseorang berpengaruh pada perkembangan bahasa. Tunanetra buta yang lambat mengamati kejadian visual dan pendengaran mempunyai konsekuensi kehilangan rangsangan yang berharga untuk berbicara, dan banyak kehilangan kesempatan untuk berkomunikasi. 4) Dampak pada perkembangan kognitif Dampak pada perkembangan kognitif anak tunanetra meliputi : a) Dalam tingkat dan macam pengalaman yang dimiliki tunanetra b) Dalam kecakapan atau kesanggupan untuk berbuat c) Dalam berinteraksi dengan lingkungannya 5) Dampak pada perkembangan gerak serta orientasi dan mobilitas Dampak perkembangan orientasi dan mobilitas tidak bisa dilepaskan dari awal perkembangan gerakan yang dilakukan tunanetra. Siswa yang mengalami ketunanetraan berat dengan berbagai ketakutan tidak
18
memperoleh kesempatan yang baik untuk belajar, keterampilan bergerak, sehingga perkembangan gerak motoriknya terhambat. Sedangkan
Soemantri
(2006:
69-72),
membagi
dampak
ketunanetraan menjadi 4 golongan, yaitu : 1) Dampak bagi anak tunanetra. Dampak bagi tunanetra meliputi: a) Dampak pada perkembangan kognitif b) Dampak pada perkembangan motorik c) Dampak pada perkembangan emosi d) Dampak pada perkembangan sosial e) Dampak pada perkembangan kepribadian 2) Dampak bagi keluarga. Reaksi orang tua terhadap ketunanetraan anaknya pada umumnya dapat dibagi menjadi lima kelompok, antara lain: a) Penerimaan secara realistik terhadap anak dan ketunanetraannya b) Penyangkalan terhadap ketunanetraan anak c) Overprotection atau perlindungan yang berlebihan d) Penolakan secara tertutup e) Penolakan secara terbuka 3) Dampak bagi masyarakat. Munculnya berbagai pandangan masyarakat terhadap penyandang tunanetra, yang pada umumnya masyarakat memberikan pandangan yang negatif terhadap tunanetra. 4) Dampak bagi penyelenggara pendidikan. Dampak ketunanetraan bagi guru sebagai penyelenggara pendidikan pada umumnya cenderung mengesampingkan anak tunanetra. Namun, bagi para guru khusus (PLB) cenderung lebih bersikap positif terhadap anak tunanetra. Berdasarkan beberapa pendapat tentang dampak ketunanetraan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketunanetraan tidak hanya berdampak pada individu penyandang tunanetra melainkan juga berdampak pada
19
keluarga,
masyarakat
dan
penyelenggara
pendidikan.
Dampak
ketunanetraan bagi penyandang tunantera dapat dilihat dari berbagai aspek perkembangan, antara lain: perkembangan kognitif, emosi, sosial, kepribadian, motorik (orientasi dan mobilitas).
2. Tinjauan Tentang Prestasi Belajar Ilmu Pengetahuan Alam Tunanetra a.
Pengertian Prestasi Kata “prestasi” berasal dari bahasa Belanda yaitu prestatie. Kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi “prestasi” yang berarti hasil usaha. Prestasi merupakan hasil yang didapat oleh seseorang setelah melakukan kegiatan. Kata prestasi banyak digunakan dalam berbagai bidang dan kegiatan antara lain dalam olah raga, kesenian, dan pendidikan khususnya pembelajaran (Arifin, 2013: 12). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa prestasi merupakan hasil usaha yang telah dicapai seseorang setelah orang tersebut melakukan suatu kegiatan dalam bidang tertentu misalnya olah raga, kesenian maupun pendidikan.
b.
Pengertian Belajar Istilah belajar merupakan istilah yang tidak asing dalam kegiatan formal pendidikan di sekolah. Dalam aktivitas kehidupan manusia seharihari hampir tidak pernah terlepas dari kegiatan belajar, baik ketika seseorang melaksanakan aktivitas sendiri, maupun di dalam suatu kelompok tertentu. Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks, sebagai tindakan belajar hanya dialami oleh siswa sendiri (Sagala, 2011: 13) Pengertian belajar menurut Saefullah (2012: 171) adalah proses usaha yang dilakukan siswa untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, secara sengaja, disadari dan perubahan tersebut relatif menetap serta membawa pengaruh dan manfaat yang positif bagi siswa dalam berinteraksi dengan lingkungan.
20
Menurut Suyono dan Hariyanto (2014: 9) pengertian belajar adalah suatu aktivitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan
keterampilan,
memperbaiki
perilaku,
sikap,
dan
Parwoto
(2007:
26)
mengokohkan kepribadian. Menurut
Read
&
Paterson
dalam
mendefinisikan belajar : “Learning is a change in behavior that occurs as a result of experience”. Belajar adalah suatu perubahan dalam diri seseorang yang mendatangkan hasil berkat adanya pengalaman. Senada dengan pendapat Whittaker dalam Ahmadi dan Supriyono (2008: 126), yang mendefinisikan belajar sebagai proses di mana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. Lebih lanjut Ahmadi dan Supriyono (2008: 128) menyatakan bahwa belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungan. Learning may be defined as the process by which behavior originates or is altered through training or experience. Pengertian belajar menurut Good dan Brophy dalam Suryani dan Agung (2012: 34-35) menyatakan bahwa : “Learning is the term we use to do describe the proccesses involved in changing through experience. It is the proccess of acquiring relatively permanent change in understanding, attitude, knowledge, information, ability, and skill through experience”. Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang melalui pengalaman. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuan, sikap, pemahaman, informasi, kecakapan dan keterampilan berdasarkan pengalaman. Berdasarkan beberapa pendapat mengenai
pengertian belajar,
maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses usaha seseorang yang dilakukan secara sadar untuk memperoleh perubahan tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan dan sebagainya secara
21
keseluruhan yang dapat diperoleh melalui latihan maupun pengalaman. Jadi, seseorang dikatakan telah belajar apabila terjadi perubahan tingkah laku melalui pengalaman atau latihan dalam dirinya. c.
Pengertian Prestasi Belajar Prestasi belajar erat kaitannya dengan aspek pengetahuan. Prestasi belajar merupakan suatu masalah yang bersifat perenial dalam sejarah kehidupan manusia, karena sepanjang rentang kehidupannya manusia selalu mengejar prestasi menurut bidang dan kemampuan masing-masing (Arifin, 2013:12). Tirtonegoro (2001: 43) mengemukakan bahwa prestasi belajar adalah penilaian hasil usaha kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf, maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak dalam periode tertentu. Menurut Hamalik (2001: 5), prestasi belajar merupakan suatu perubahan tingkah laku dan sikap yang lebih berkualitas. Prestasi individu yakni hal-hal yang telah dicapai oleh seseorang yang disebut prestasi belajar. Menurut Saefullah (2012:171), prestasi belajar adalah penilaian terhadap hasil belajar siswa untuk mengetahui sejauh mana ia telah mencapai sasaran belajar. Sedangkan menurut Ratnawati dalam Saefullah (2012:171) menjelaskan bahwa prestasi belajar adalah prestasi yang dicapai oleh seorang siswa pada jangka waktu tertentu dan dicatat dalam buku rapor sekolah. Berdasarkan beberapa pendapat mengenai prestasi belajar, maka dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil usaha yang telah dicapai siswa yang mengalami perubahan tingkah laku yang dicapai dengan bekerja keras, berupa kecakapan dari kegiatan belajar bidang akademik di sekolah pada jangka waktu tertentu yang biasanya dinyatakan dengan simbol, huruf maupun kalimat yang
dicatat pada setip akhir
semester di dalam buku laporan yang disebut rapor.
22
d.
Fungsi Prestasi Belajar Menurut Arifin (2013: 12-13), prestasi belajar mempunyai beberapa fungsi utama, antara lain: 1) Prestasi belajar sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikasai peserta didik. 2) Prestasi belajar sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu. 3) Prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan. 4) Prestasi belajar sebagai indikator intern dan ekstern dari suatu institusi pendidikan 5) Prestasi belajar dapat dijadikan indikator daya serap (kecerdasan) peserta didik. Prestasi belajar sangat penting bagi guru dan peserta didik. Prestasi belajar tidak hanya sebagai indikator keberhasilan dalam mata pelajaran tertentu, melainkan sebagai indikator kualitas institusi pendidikan. Bagi guru prestasi belajar dijadikan umpan balik dalam melaksanakan proses pembelajaran, sehingga guru dapat menentukan apakah perlu melakukan diagnosis, penempatan khusus, ataupun bimbingan bagi peserta didik. Sejalan dengan pendapat Cronbach dalam Arifin (2013: 13) yang menyebutkan bahwa prestasi belajar mempunyai ragam kegunaan yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Sebagai umpan balik guru dalam mengajar Untuk keperluan diagnostik Sebagai bimbingan dan penyuluhan Untuk keperluan seleksi Untuk keperluan penempatan atau penjurusan Untuk menentukan kurikulum Untuk menentukan kebijakan sekolah
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa fungsi prestasi belajar siswa yaitu sebagai indikator keberhasilan dalam kegiatan pembelajaran, pendorong untuk meningkatkan ilmu pengetahuan peserta didik dan berguna sebagai umpan balik guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas.
23
e.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Prestasi belajar yang dicapai seseorang merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri (faktor eksternal) individu. Menurut Ahmadi dan Supriyono (2008: 138) yang tergolong faktor internal adalah : 1) Faktor jasmaniah (fisiologis) baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh. Misalnya penglihatan, pendengaran, struktur tubuh, dan sebagainya. 2) Faktor psikologis baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh terdiri atas : a) Faktor intelektif yang meliputi : (1) Faktor potensial yaitu kecerdasan dan bakat (2) Faktor kecakapan nyata yaitu prestasi yang telah dimiliki. b) Faktor non-intelektif, yaitu unsur-unsur kepribadian tertentu seperti sikap, kebiasaan, minat, kebutuhan, motivasi, emosi, penyesuaian diri. 3) Faktor kematangan fisik maupun psikis Sedangkan yang tergolong faktor eksternal adalah : 1) Faktor sosial yang terdiri atas: a) Lingkungan keluarga b) Lingkungan sekolah c) Lingkungan masyarakat d) Lingkungan kelompok 2) Faktor budaya seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian. 3) Faktor lingkungan fisik seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar, iklim. 4) Faktor lingkungan spiritual atau keamanan. Menurut Suryabrata dalam Saefullah (2012: 172), secara garis besar faktor-faktor yang memengaruhi prestasi belajar dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. 1) Faktor internal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri siswa yang dapat memengaruhi prestasi belajar. Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
24
a)
Faktor fisiologis. Faktor fisilogis yaitu faktor yang berhubungan dengan kesehatan dan panca indra. Faktor ini terdiri atas dua bagian, yaitu kesehatan badan dan Pancaindra
b) Faktor psikologis. Faktor psikologis yang memengaruhi prestasi belajar siswa yaitu : intelegensi, sikap, dan motivasi. 2) Faktor eksternal. Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri siswa yang dapat memengaruhi prestasi belajar. Faktor-faktor tersebut antara lain: a) Faktor lingkungan keluarga. Faktor lingkungan keluarga meliputi : (1) Sosial ekonomi keluarga (2) Pendidikan orangtua (3) Perhatian orangtua dan suasana hubungan antara anggota keluarga. b) Faktor lingkungan sekolah. Faktor lingkungan sekolah meliputi: (1) Sarana dan prasarana (2) Kompetensi guru dan siswa (3) Kurikulum dan metode mengajar c) Faktor lingkungan masyarakat Faktor lingkungan masyarakat meliputi: (1) Sosial budaya (2) Partisipasi terhadap pendidikan Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor internal yang berasal dari dalam diri individu dan faktor eksternal, faktor yang berasal dari luar diri individu.
25
f.
Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu pengetahuan Alam, yang sering disebut dengan istilah pendidikan sains, disingkat menjadi IPA. IPA merupakan salah satu mata pelajaran pokok dalam kurikulum pendidikan Indonesia termasuk pada jenjang Sekolah Dasar atau Sekolah Dasar Luar Biasa. Mata pelajaran IPA merupakan mata pelajaran yang selama ini dianggap sulit oleh sebagian besar peserta didik, mulai dari jenjang sekolah dasar sampai sekolah menengah. Anggapan sebagian besar peserta didik menyatakan bahwa pelajaran IPA merupakan pelajaran yang sulit. Menurut Trianto (2014: 136) menjelaskan bahwa IPA adalah suatu kumpulan teori yang sistematis, penerapannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam, lahir dan berkembang melalui metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen serta menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka, jujur, dan sebagainya. Sedangkan menurut Wahyana dalam Trianto (2014: 138) mengatakan bahwa IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Berdasarkan
pendapat
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
pengertian IPA adalah pembelajaran berdasarkan pada prinsip-prinsip, proses yang mana dapat menumbuhkan sikap ilmiah siswa terhadap konsep-konsep IPA.
g.
Tujuan Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Pembelajaran sains di sekolah dasar luar biasa dikenal dengan istilah Ilmu Pengetahuan Alam. Konsep IPA di sekolah dasar merupakan konsep yang masih terpadu, karena belum dipisahkan secara tersendiri, seperti mata pelajaran kimia, biologi dan fisika. Menurut Laksmi dalam Trianto (2014: 142), sebagai alat pendidikan yang berguna untuk mencapai tujuan pendidikan, maka pendidikan IPA di sekolah mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yaitu :
26
1) Memberikan pengetahuan kepada siswa tentang dunia tempat hidup dan bagaimana bersikap; 2) Menanamkan sikap hidup ilmiah; 3) Memberikan keterampilan untuk melakukan pengamatan; 4) Mendidik siswa untuk mengenal, mengetahui cara kerja serta menghargai para ilmuwan penemunya; 5) Menggunakan dan menerapkan metode ilmiah dalam memecahkan permasalahan. Tujuan pelajaran ilmu Pengetahuan Alam sebagaimana tujuan pendidikan secara umum yang termuat dalam taksonomi Bloom menyatakan bahwa: Tujuan pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam diharapkan dapat memberikan pengetahuan (kognitif), yang merupakan tujuan utama dari pembelajaran. Jenis pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan dasar dari prinsip dan konsep yang bermanfaat untuk kehidupan seharihari. Disamping hal itu, pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam diharapkan dapat memberikan keterampilan (psikomotorik), kemampuan sikap ilmiah (afektif), pemahaman, kebiasaan, dan apresiasi. Adapun tujuan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di sekolah dasar dalam Badan Nasional Standar Pendidikan dimaksudkan untuk : 1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaanNya 2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling memengaruhi antara Ipa, lngkungan, teknologi, dan masyarakat. 4) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah, dan membuat keputusan. 5) Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalammemelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan alam. 6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan. 7) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep, dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/SMPLB. Berdasarkan penjabaran tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam adalah untuk memberikan pengetahuan
27
kognitif, mengembangkan keterampilan ilmiah dan sikap-sikap ilmiah, sehingga siswa dapat memperoleh pengetahuan tentang Ilmu Pengetahuan Alam. 3. Tinjauan Tentang Model Pembelajaran Kooperatif a.
Pengertian Model Pembelajaran Keberhasilan dalam proses pembelajaran tidak terlepas dari kemampuan guru mengembangkan model-model pembelajaran yang berorientasi pada keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para guru untuk merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran (Aunurrahman, 2014: 146). Menurut Winataputra dalam Sugiyanto (2009: 3), menjelaskan bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi .para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Sedangkan menurut Adi dalam Suprihatiningrum (2014: 142), model
pembelajaran
menggambarkan
merupakan
prosedur
dalam
kerangka
konseptual
mengorganisasikan
yang
pengalaman
pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Model pembelajaran berfungsi sebagai pedoman bagi guru dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembelajaran. Menurut Joice dan Weil dalam Isjoni (2013: 73) model pembelajaran adalah suatu pola atau rencana yang sudah direncanakan sedemikian rupa dan digunakan untuk menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelasnya.
28
Dalam penerapannya model pembelajaran ini harus sesuai dengan kebutuhan siswa. Menurut Suprijono (2013: 45) berpendapat bahwa: Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasionalnya di kelas. Model pembelajaran dapat diartikan pula sebagai pola yang digunakan untuk penyusunan kurikulum, mengatur materi, dan memberi petunjuk kepada guru dikelas. Masih terkait dengan model pembelajaran, Suryani dan Agung, (2012: 8) menyatakan bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual
yang
melukiskan
prosedur
yang
sistematis
dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar peserta didik untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Model pembelajaran dapat diartikan sebagai pola yang digunakan untuk penyusunan kurikulum, pengaturan materi dan memberi petunjuk kepada guru di kelas. Dengan kata lain, model pembelajaran ialah pola
yang
dipergunakan
sebagai
pedoman
dalam
perencanaan
pembelajaran di kelas. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar dan berfungsi sebagai pedoman bagi guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran, sehingga dapat berlangsung dengan efektif dan efisien.
29
b. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Ada banyak model yang dikembangkan oleh para ahli dalam usaha mengoptimalkan prestasi belajar siswa. Salah satunya adalah model pembelajaran kooperatif. Cooperative learning atau pembelajaran kooperatif berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan salin membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Menurut Anita dalam Suryani dan Agung (2012: 80) pembelajaran kooperatif
adalah pendekatan pembelajaran
penggunaan
kelompok
memaksimalkan
kecil
kondisi
siswa
belajar
untuk
untuk
yang
berfokus
pada
bekerjasama
mencapai
tujuan.
dalam Model
pembelajaran ini bertujuan untuk mengembangkan aspek keterampilan sosial sekaligus aspek kognitif dan aspek sikap siswa. Dalam pembelajaran kooperatif, guru menciptakan suasana yang mendorong agar siswa saling membutuhkan. Menurut
Sugiyanto
(2010:
33),
“Pembelajaran
kooperatif
(cooperative learning) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar”. Sedangkan Johnson dalam Isjoni (2013: 74 ) mengemukakan, “Cooperanon means working together to accomplish shared goals, within cooperative activities individuals seek outcomes that are beneficial to all other groups members. Cooperative learning is the instructional use of small groups that allows students to work together to maximize their own and each other as learning”. Berdasarkan uraian tersebut, pembelajaran kooperatif mengandung arti bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama. Dalam kegiatan kooperatif, siswa mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompok. Belajar kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil untuk
30
memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok
itu.
Prosedur
pembelajaran
kooperatif
didesain
untuk
mengaktifkan siswa melalui inkuiri dan diskusi dalam kelompom kecil. Bekerja dalam sebuah kelompok yang terdiri dari tiga atau lebih anggota pada hakikatnya dapat memberikan daya dan manfaat tersendiri (Huda, 2013: 111). Berdasarkan pendapat mengenai pembelajaran kooperatif, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah suatu pembelajaran yang meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentukbentuk yang dipimpin oleh guru yang mana memberi kesempatan pada siswa untuk aktif. c.
Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang di dalamnya terdapat elemen-elemen yang saling terkait. Elemen-elemen pembelajaran kooperatif menurut Lie dalam Sugiyanto (2010: 36-37) adalah (1) saling ketergantungan positif; (2)interaksi tatap muka; (3) akuntabilitas individual, dan (4) ketrampilan untuk menjalin hubungan antarpribadi ataupun ketrampilan sosial yang secara sengaja diajarkan Menurut Hamdani (2011: 31), ciri-ciri pembelajaran kooperatif adalah : 1) Setiap anggota memiliki peran 2) Terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa 3) Setiap anggota kelompok bertanggungjawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya. 4) Guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, 5) Guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.
Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif sebagaimana dikemukakan Slavin dalam Isjoni (2013 :33-34), yaitu
penghargaan
kelompok,
pertanggungjawaban
kesempatan yang sama untuk berhasil. 1) Penghargaan kelompok
individu,
dan
31
Pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan-tujuan kelompok untuk memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok mencapai skor di ats kriteria yang ditentukan. Keberhasilan kelompok di dasarkan pada penampilan individu sebagai anggota kelompok dalam menciptakan hubungan antar personal yang saling mendukung, saling membantu, dan saling peduli. 2) Pertanggungajawaban individu. Keberhasilan kelompok tergantung dari pembelajaran individu dari semua anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan pada aktivitas anggota kelompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan setiap anggota siap untuk menghadapi tes dan tugaas-tugas lainnya secara mandiri tanpa bantuan teman sekelompoknya. 3) Kesempatan yang sama untuk berhasil Pembelajaran kooperatif menggunakan metode skoring yang mencakup nilai perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari yang terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini setiap siswa baik yang berprestasi rendah, sedang, atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untyk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya. d. Kelemahan dan Kelebihan Model Pembelajaran Kooperatif Menurut Suryani dan Agung (2012: 83-84) ada banyak nilai pembelajaran kooperatif, diantaranya : 1) Meningkatkan kepekaan dan kesetiakawanan sosial 2) Memungkinkan para siswa saling belajar mengenai sikap, ketrampilan, informasi, perilaku sosial, dan pandanganpandangan. 3) Memudahkan siswa melakukan penyesuaian sosial 4) Memungkinkan terbentuk dan berkembangnya nilai-nilai sosial dan komitmen 5) Menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri atau egois. 6) Membangun persahabatan yang dapat berlanjut hingga masa dewasa 7) Berbagai keterampilan sosial yang diperlukan untuk memelihara hubungan saling membutuhkan dapat diajarkan dan dipraktekkan. 8) Meningkatkan rasa saling percaya kepada sesama manusia 9) Meningkatkan kemampuan memandang masalah dan situasi dari berbagai perspektif 10) Meningkatkan kesediaan menggunakan ide orang lain yang dirasakan lebih baik.
32
11) Meningkatkan kegemaran berteman tanpa memandang perbedaan kemampuan, jenis kelamin, normal atau cacat, etnis, kelas sosial, agama dan orientasi tugas. Sedangkan menurut Isjoni (2013: 18) kelemahan pembelajaran kooperatif bersumber pada dua faktor, yaitu faktor, dari dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern). Faktor dari dalam yaitu sebagai berikut: 1) guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping itu memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran dan waktu. 2) agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas, alat, dan biaya yang cukup memadai. 3) selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, dan 4) saat diskusi kelas, terkadang didominasi oleh seseorang, hal ini mengakibatkan siswa lain menjadi pasif. Faktor dari luar (ekstern) erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pergantian kurikulum. e.
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Giving Question And Getting Answer Telah
dijelaskan
sebelumnya
bahwa
model
pembelajaran
kooperatif adalah suatu pembelajaran yang meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang dipimpin oleh guru yang mana memberi kesempatan pada siswa untuk aktif. Ada beberapa tipe model pembelajaran kooperatif, diantaranya adalah STAD, Jigsaw, Two Stay Two Stray, Snawball Drilling, Make a Match, Guided Not Talking, dan Giving Question and Getting Answer. Dalam penelitian ini akan difokuskan pada model pembelajaran kooperatif tipe Giving Question and Getting Answer.
Model Giving
Question and Getting Answer ditemukan oleh Spancer Kagan, orang berkebangsaan Swiss pada tahun 1963. Model ini dikembangkan untuk melatih siswa memiliki kemampuan dan ketrampilan bertanya dan menjawab pertanyaan, karena pada dasarnya model tersebut merupakan
33
modifikasi dari metode tanya jawab dan metode ceramah yang merupakan kolaborasi dengan menggunakan potongan-potongan kertas sebagai medianya. Kegiatan bertanya dan menjawab merupakan hal yang sangat esensial dalam pola interaksi antara guru dan siswa. Kegiatan bertanya dan menjawab yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam proses belajar mengajar mampu menumbuhkan pengetahuan baru pada diri siswa (Suprijono, 2011). Dengan menyusun pertanyaan siswa secara aktif dapat membentuk pengetahuannya sendiri. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Sagala (2011: 88) yaitu kegiatan menyusun atau mengajukan sebuah pertanyaan merupakan salah satu proses berfikir kritis siswa untuk menemukan atau menggali informasi baik secara administrasi maupun akademis, mengecek pemahaman siswa, membangkitkan respon pada siswa, dan memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru. Sedangkan, dengan adanya proses memberikan jawaban, siswa akan saling bertukar pendapat dan dan saling memperjelas atau membenarkan jawaban dari temannya. Model pembelajaran Giving Question and Getting Answer memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pokok pikirannya sendiri kepada teman-temannya dan berdiskusi mengenai konsep yang belum dimengerti. Didalam diskusi proses interaksi antara dua atau lebih individu yang terlibat, saling menukar pengalaman, informasi, memecahkan masalah dapat membuat peserta didik aktif tidak pasif sebagai pendengar saja. Fitriantoro dalam Kristiani (2013:194), model pembelajaran Giving Question and Getting Answer adalah implementasi dari strategi pembelajaran konstrutisvistik yang menempatkan siswa sebagai subyek dalam
pembelajaran.
Artinya,
siswa
mampu
merekonstruksi
pengetahuannya sendiri sedangkan guru hanya sebagai fasilitator saja. Zaini dalam Setyowati dan Sulistyo (2013: 186), menyatakan bahwa strategi ini merupakan strategi yang sangat baik digunakan untuk melibatkan peserta didik dalam mengulang materi pelajaran yang telah
34
disampaikan. Penerapan strategi Giving Question and Getting Answer dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Model Giving Question and Getting Answer (GQGA) dilakukan bersamaan antara metode tanya jawab dengan metode ceramah, agar siswa tidak dalam keadaan blank mind. Metode ceramah sebagai dasar agar siswa mendapatkan pengetahuan dasar (prior knowledge). Menurut
Suprijono
(2013:
107-108),
langkah-langkah
pembelajaran model Giving Question and Getting Answer (GQGA) sebagai berikut : 1) Membagikan potongan kertas kepada peserta didik 2) Mintalah kepada peserta didik menuliskan di kartu tersebut, yaitu kartu bertanya dan kartu menjawab. 3) Memulai pembelajaran dengan pertanyaan. Pertanyaan bisa berasal dari guru maupun peserta didik. Jika pertanyaan berasal dari peserta didik, maka peserta didik diminta untuk menyerahkan kartu yang bertuliskan “kartu bertanya” kepaada guru. 4) Setelah pertanyaan diajukan, mintalah kepada peserta didik untuk memberi jawaban. Setiap peserta didik yang hendak menjawab diwajibkan menyerahkan kartu yang bertuliskan “kartu menjawab”. Perlu diingat, setiap peserta didik yang hendak menjawab maupun bertanya harus menyerahkan kartukartu itu kepada guru. 5) Jika sampai akhir sesi ada peserta didik yang masih memiliki 2 potongan kertas yaitu kertas bertanya dan kertas menjawab atau salah satu potongan kertas tersebut, maka mereka diminta membuat resume atas proses tanya jawab yang sudah berlangsung. Keputusan ini harus disepakati di awal. Modifikasi dari model ini yaitu kartu bertanya dan menjawab disediakan oleh guru dalam bentuk tulisan braille. Selain itu, kartu yang
35
diberikan kepada setiap anak tidak hanya dua kartu, dikarenakan apabila hanya menggunakan dua kartu anak tidak dapat mengembangkan pertanyaan dan jawaban. Model Giving Question and Getting Answer menantang peserta didik untuk mengingat kembali apa yang dipelajari dalam setiap topik atau unit pelajaran (Silberman, 2009: 244). Anak tunanetra yang mana mengandalkan daya ingat yang tajam dengan penerapan model pembelajaran Giving Question and Getting Answer sangat membantu anak tunanetra untuk mengingat kembali materi yang telah diajarkan. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Giving Question and Getting Answer adalah model pembelajaran kelompok yang menuntut siswa untuk aktif dalam memberikan
pertanyaan
dan
menjawab
pertanyaan
yang
akan
memudahkan siswa untuk mengingat kembali materi yang telah dipelajari. f.
Tujuan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Giving Question And Getting Answer Menurut Fitrantoro (Kristiani, 2013: 196) tujuan penerapan metode pembelajaaran kooperatif tipe Giving Question and Getting Answer dalam suatu proses belajar mengajar yaitu : 1) Mengecek pemahaman para siswa sebagai dasar perbaikan proses belajar mengajar. 2) Membimbing usaha para siswa untuk memperoleh suatu keterampilan kognitif maupun sosial. 3) Memberikan rasa senang pada siswa. 4) Merangsang dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa 5) Memotivasi siswa agar terlibat dalam interaksi 6) Melatih kemampuan mengutarakan pendapat 7) Mencapai tujuan
g.
Kelemahan dan Kelebihan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Giving Question and Getting Answer Ada beberapa kelebihan dan kekurangan dari model pembelajaran kooperatif tipe Giving Question and Getting Answer. Adapun kelebihan
36
penerapan tipe Giving Question and Getting Answer (Setiani, 2013) diantaranya adalah : 1) Anak mendapat kesempatan baik secara individu maupun kelompok untuk menanyakan hal-hal yang belum dimengerti; 2) Guru dapat mengetahui penguasaan anak terhadap materi yang disampaikan; 3) Mendorong anak untuk berani mengajukan pendapatnya (membuat pertanyaan beserta jawabannya). Sedangkan kelemahan penerapan tipe Giving Question and Getting Answer adalah : 1) Pertanyaan yang digunakan kurang bervariasi 2) Proses tanya jawab yang berlangsung terus menerus berpotensi menyimpang dari pokok bahasan yang sedang dipelajari; 3) Guru tidak mengetahui secara pasti apakah anak yang tidak mengajukan pertanyaan ataupun menjawab telah memahami dan menguasai materi yang telah diberikan. B. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir merupakan dasar pemikiran sebagai arahan dalam menemukan hipotesis atas masalah yang dirumuskan. Anak tunanetra mengalami hambatan dalam penglihatan sehingga lebih mengandalkan pendengaran dan penghafalan dalam menerima pembelajaran. Hambatan yang dialami anak tunanetra mempengaruhi pembelajaran di sekolah, terutama mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yang dianggap sulit oleh anak tunanetra. Kegiatan pembelajaran dalam hal ini merupakan kegiatan pembelajaran sambil bermain kartu bertanya dan menjawab, yang mana anak dituntut untuk aktif dan dapat berpikir kritis. Model pembelajaran kooperatif tipe Giving Question and Getting Answer ini cocok untuk diterapkan pada siswa tunanetra kelas IV pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yang dianggap sulit oleh siswa, pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam ini dikhususkan pada materi manfaat energi. Karena dengan pembelajaran tipe tersebut anak dapat melatih memberikan
37
pertanyaan dan mendapatkan jawaban yang mana hal ini akan melatih ketajaman anak dalam menghafal sehingga perkembangan kognitif anak dapat berkembang optimal dan hasil prestasi belajar Ilmu Pengetahuan Alam dapat meningkat. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti memilih Model Pembelajaran Kooperatif tipe Giving Question and Getting Answer. Model pembelajarn dengan tipe ini diharapkan dapat menjadikan siswa tunanetra lebih aktif, tidak mudah bosan, dapat berpikir kritis dan dapat mengingat pembelajaran yang telah dilakukan dengan baik , sehingga prestasi belajar Ilmu Pengetahuan Alam dapat meningkat. Kerangka berpikir berdasarkan kajian teori tersebut yaitu : Prestasi belajar anak tunanetra kelas IV di SLB-A YKAB Surakarta dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam materi manfaat energi menunjukkan hasil yang rendah.
Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dengan menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Giving Question and
Getting Answer.
Prestasi Belajar Ilmu Pengetahuan Alam anak tunanetra meningkat
Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir
38
C. Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian, yang kebenarannya masih harus diuji secara empirik (Narbuko dan Achmadi, 2013: 29). Sedangkan, menurut Arikunto (2013: 67) hipotesis adalah sesuatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan hipotesis adalah jawaban sementara atas rumusan masalah yang dibuat dalam penelitian.
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir yang telah diuraikan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah bahwa Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Giving Question and Getting Answer berpengaruh terhadap prestasi belajar Ilmu Pengetahuan Alam anak tunanetra kelas IV di SLB-A YKAB Surakarta tahun pelajaran 2015/2016.