BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Hakikat Keterampilan Membaca dan Menulis Keterampilan membaca dan menulis aksara Jawa merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai oleh siswa khususnya di tingkat sekolah dasar. Hal ini sesuai dengan surat keputusan Gubernur Jawa Tengah yang dikuatkan dengan Kurikulum Muatan Lokal untuk lebih jelasnya akan dijabarkan dalam subbab berikut. a. Keterampilan Membaca 1) Pengertian Keterampilan Keterampilan memiliki kata dasar terampil. Ruang lingkup keterampilan cukup luas meliputi kegiatan yang berupa perbuatan, berpikir, berbicara, melihat, dan mendengar. Kata terampil memiliki kesamaan dengan kata cekatan. Menurut Soemardji, Ramanto, dan Zahri (1992: 2) terampil atau cekatan adalah kepandaian melakukan sesuatu pekerjaan dengan cepat dan benar. Keterampilan hanya dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktik dan banyak pelatihan. Melatihan keterampilan berbahasa berarti melatih keterampilan berpikir begitu pernyataan Tarigan dan Dawwon (dalam Tarigan 2008: 1). Lain halnya dengan Gordon dalam Sanjaya (2005:7) menuliskan bahwa keterampilan (skill) adalah suatu standar perilaku yang dimiliki individu untuk melakukan tugas yang dibebankan padanya. Dari beberapa pendapat yang telah dituliskan dapat disimpulkan bahwa keterampilan adalah kepandaian dalam melakukan tugas yang dibebankan dengan cepat dan benar dan untuk mencapainya perlu dengan praktik dan banyak pelatihan.
7
8
2) Pengertian Membaca Membaca merupakan bagian dari kebahasaan. Kegiatan membaca termasuk dalam keterampilan berbahasa yang tergolong aktif-reseptif. Dikatakan aktif seperti yang diungkapkan Musaba (2011: 23) karena dalam membaca terdapat keaktifan seseorang dalam mengeja, menyerap atau mengolah teks yang dibaca, sehingga proses tersebut mengarah pada upaya memahami bahan atau materi bacaan yang dihadapinya. Perbuatan membaca merupakan proses yang cukup kompleks. Proses membaca melibatkan faktor internal dan faktor eksternal seperti yang diungkapkan Nurhadi (2008) dalam Musaba (2011: 23). Faktor internal meliputi intelegensi, minat, sikap, bakat, motivasi, dan tujuan membaca. Sedangkan faktor eksternal meliputi sarana membaca, lingkungan, latar belakang sosial ekonomi, kebiasaan, dan tradisi membaca. Lebih lanjut Kridalaksana (1993) dalam Slamet (2008: 71) menyatakan bahwa membaca adalah keterampilan mengenal dan memahami tulisan dalam bentuk urutan lambanglambang grafis dan perubahannya menjadi tulisan yang bermakna baik pemahaman diam-diam atau pengujaran keras-keras maksudnya kegiatan membaca bisa dilakukan dengan bersuara maupun tidak. Membaca juga mempunyai tahapan-tahapan. Tahapan ini disebut proses membaca. Slamet (2008: 72) menyimpulkan bahwa kegiatan membaca terkait dengan (1) pengenalan huruf, (2) bunyi dari huruf, (3) makna atau maksud, dan (4) pemahaman terhadap makna atau maksud berdasarkan konteks wacana. Tarigan (2008: 7) menyatakan bahwa membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media katakata/bahasa tulis. Dari segi linguistik, membaca adalah suatu proses penyandian kembali dan pembaca sandi (a recording and decoding prosess).
9
Berdasarkan pengertian ahli di atas dapat disimpulkan bahwa membaca adalah kegiatan aktif yang dilakukan oleh seseorang untuk mengenal dan memahami tulisan dalam bentuk urutan lambanglambang grafis dan perubahannya yang didorong oleh faktor internal dan eksternal. 3) Tujuan Membaca Tujuan utama dari membaca yaitu untuk memperoleh dan mencari informasi, mencakup isi, memahami makna bacaan. Selain itu tujuan lain dijabarkan sebagai berikut a) Membaca untuk menemukan atau mengetahui penemuanpenemuan yang telah dilakukan oleh tokoh; apa-apa yang telah dibuat oleh tokoh; apa yang telah terjadi pada tokoh khusus atau untuk memecahkan masalah-masalah yang dibuat oleh tokoh. Membaca tersebut biasa disebut membaca untuk memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta (reading for details or facts). b) Membaca untuk mengetahui mengapa hal itu merupakan topic yang baik dan menarik, masalah yang terdapat dalam cerita, apa-apa
yang
dipelajari
atau
yang
dialami
tokoh,
merangkumkan hal-hal yang dilakukan oleh tokoh untuk mencapai tujuannya. Membaca ini disebut membaca untuk memperoleh ide-ide utama (reading for main idea). c) Membaca untuk menemukan atau mengetahui apa yang terjadi pada setiap bagian cerita, apa yang terjadi mula-mula, pertama, kedua, dan ketiga/seterusnya-setiap tahap dibuat untuk memcahkan masalah, adegan-adegan dan kejadian-kejadian buat dramatisasi. Ini disebut membaca untuk mengetahui urutan atau susunan, organisasi cerita (reading for sequence or organization). d) Membaca untuk menemukan serta mengetahui mengapa para tokoh merasakan seperti cara mereka itu, apa yang hendak
10
diperlihatkan oleh pengarang kepada para pembaca, mengapa para tokoh berubah, kualitas-kualitas yang dimiliki para tokoh yang membuat mereka berhasil atau gagal. Ini dinamakan membaca untuk menyimpulkan, membaca inferensi (reading for inference). e) Membaca untuk menemukan serta mengetahui apa-apa yang tidak biasa, tidak wajar mengenai seseorang tokoh, apa yang lucu dalam cerita, atau apakah cerita itu benar atau tidak benar. Ini disebut membaca untuk mengelompokkan, membaca untuk mengklasifikasikan (reading to classify). f) Membaca untuk menemukan apakah tokoh berhasilatau hidup dengan ukuran-ukuran tertentu, apakah kita ingin berbuat seperti yang diperbuat oleh tokoh, atau bekerja seperti cara tokoh bekerja dalam cerita itu. Ini disebut membaca menilai atau membaca mengevaluasi (reading to evaluate). g) Membaca untuk menemukan bagaimana caranya tokoh berubah, bagaimana hidupnya berbeda dari kehidupan yang kita kenal, bagaimana dua cerita mempunyai persamaan, dan bagaimana tokoh menyerupai pembaca. Ini disebut membaca untuk memperbandingkan atau mempertentangkan (reading to compare or contrast). (Tarigan 2008: 9-11) 4) Membaca sebagai Suatu Keterampilan Membaca merupakan suatu keterampilan berbahasa yang kompleks, rumit, dan melibatkan komponen-komponen yang lebih kecil. Seperti yang dikemukakan oleh Tarigan (2008: 11-12) mengutip Broughton bahwa keterampilan membaca mencakup tiga komponen, yaitu: a) Pengenalan terhadap aksara serta tanda-tanda baca; b) Korelasi aksara beserta tanda-tanda baca dengan unsur-unsur linguistik yang formal; c) Hubungan lebih lanjut dari A dan B dengan makna.
11
Keterampilan A merupakan suatu kemampuan untuk mengenal bentuk-bentuk yang disesuaikan dengan mode yang berupa gambar-gambar di atas suatu lembaran, lengkunganlengkungan, garis-garis, dan titik-titik dalam hubungan berpola yang tersusun rapi. Keterampilan B merupakan kemampuan untuk menghubungkan tanda-tanda hitam di atas kertas (gambar-gambar berpola) dengan bahasa. Sedangkan keterampilan C mencakup keseluruhan keterapilan membaca, pada hakikatnya merupakan keterampilan intelektual, kemampuan untuk menghubungkan tanda-tanda hitam di atas kertas melalui unsur-unsur bahasa yang formal yaitu katakata sebagai bunyi dengan maknanya. 5) Aspek-aspek Membaca Menurut Tarigan (2008: 12), secara garis besar terdapat dua aspek penting dalam membaca, yaitu keterampilan yang bersifat mekanis (mechanical skills) dan keterampilan yang bersifat pemahaman (comprehension skills). Keterampilan yang bersifat mekanis dianggap pada urutan yang lebih rendah sedangkan keterampilan yang bersifat pemahaman dianggap berada pada urutan yang lebih tinggi. Aspek yang mencakup keterampilan yang bersifat mekanis antara lain pengenalan huruf, pengenalan unsur-unsur linguistik, pengenalan hubungan/korespondensi pola ejaan dan bunyi, serta kecepatan membaca taraf lambat. Sedangkan yang mencakup aspek keterampilan yang bersifat pemahaman antara lain memahami pengertian sederhana, memahami signifikasi atau makna, evaluasi atau penilaian, dan kecepatan membaca fleksibel, yang mudah disesuaikan dengan keadaan. Untuk mencapai tujuan yang terkandung dalam keterampilan mekanis tersebut, aktivitas yang paling sesuai adalah membaca
12
nyaring atau membaca bersuara. Sedangkan untuk keterampilan pemahaman yang paling erat adalah membaca dalam hati. Ditilik kembali dalam aspek keterampilan membaca aksara Jawa di penelitian ini dapat digolongkan pada keterampilan yang bersifat mekanis karena hanya sebatas pengenalan huruf-huruf Jawa dan pengenalan unsur-unsur linguistik yakni kata atau tembung. Sehingga untuk meningkatkannya digunakan dengan membaca nyaring. Membaca nyaring adalah suatu aktivitas yang merupakan alat bagi guru, siswa, ataupun pembaca bersama-sama dengan orang lain atau pendengar untuk menangkap serta memahami informasi, pikiran, dan perasaan seseorang pengarang (Tarigan, 2008: 23). Dalam membaca nyaring, menurut Moulton (1970) dalam Tarigan (2008: 23), yang aktif adalah penglihatan dan ingatan, juga turut aktif auditory memory (ingatan pendengaran) dan motor memory (ingatan yang bersangkut dengan otot). Membaca nyaring terlihat seperti mudah dilakukan, namun pada kenyataannya bahwa membaca nyaring merupakan suatu keterampilan yang serba rumit, kompleks, dan banyak seluk beluknya. Pertama-tama, pengertian terhadap aksara kemudian memproduksikan suara yang tepat dan bermakna. Aktivitas membaca nyaring lebih ditujukan pada ucapan (pronounciation) daripada ke pemahaman (comprehension) karena membaca nyaring pada hakikatnya merupakan suatu masalah lisan atau oral matter (Tarigan, 2008: 24). b. Keterampilan Menulis 1) Pengertian Menulis Menulis merupakan kegiatan berbahasa yang paling akhir dikuasai oleh seseorang. Musaba (2011: 24) menyatakan menulis berarti mengungkapkan buah pikiran, perasaan, pengalaman, dan lain-lain menjadi sebuah tulisan. Lebih lanjut Rofi’uddin dan Zuhdi (2001: 51)
13
berpendapat bahwa menulis dapat dipandang sebagai rangkaian aktivitas yang bersifat fleksibel meliputi pramenulis, penulisan draft, revisi, penyuntingan, dan publikasi atau pembahasan. Lain halnya dengan Slamet (2008: 97) menulis bukan hanya berupa melahirkan pikiran atau perasaan saja, melainkan juga merupakan pengungkapan ide, pengetahuan, ilmu, dan pengalaman hidup seseorang dalam bahasa tulis. Tarigan, H.G. (2008: 22) juga merumuskan bahwa menulis ialah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut dan memahaminya. Seperti pendapat dari Collier, dkk. (2015) bahwa one assignment included a mini-lesson on effective writing with their elementary school pupils. Satu tugas dalam pembelajaran sangat efektif dalam melatih menulis untuk siswa usia sekolah dasar. Selain itu Lena dalam Collier (2015) juga menyatakan bahwa writing is a process and I think at first its’s more important to concentrate on content and then the structure. Menulis adalah suatu proses dan yang terpenting adalah konten atau isinya baru kemudian struktur tulisannya. Dari beberapa pendapat ahli yang telah dituliskan dapat disimpulkan bahwa menulis adalah pengungkapan ide atau gagasan, perasaan, pengalaman, dan hal lain dalam bahasa tulis. 2) Tujuan Menulis Tujuan menulis ini merupakan harapan yang dimaksudkan oleh penulis senhingga tanggapan dari pembaca sesuai dengan keinginan penulis. Sehubungan dengan tujuan penulisan suatu tulisan, Hugo Hartig dalam Tarigan (2008: 25) merangkumkannya sebagai berikut: a) Assignment purpose (tujuan penugasan) Tujuan penulisan ini tidak memiliki tujuan dikarenakan penulis menulis bukan atas kemauannya sendiri.
14
b) Altruistic purpose (tujuan altruistik) Penulis bertujuan untuk menyenangkan pembaca dengan tulisannya tidak peduli siapa pembacanya yang dipentingkan adalah keterbacaan sesuai tulisan. c) Persuasive purpose (tujuan persuasif) Seperti namanya, persuasif atau ajakan. Penulis bertujuan untuk mengajak
pembaca
masuk
ke
dalam
tulisannya
dan
meyakininya. d) Informational purpose (tujuan penerangan) Tulisan yang bertujuan memberi informasi atau keterangan kepada pembaca. e) Self-expressive purpose (tujuan pernyataan diri) Tulisan yang bertujuan untuk memperkenalkan penulis kepada pembaca. f) Creative purpose (tujuan kreatif) Tulisan yang bertujuan untuk mencapai nilai-nilai artistik atau seni meskipun menyimpang dari aturan penulisan. g) Problem-solving purpose (tujuan pemecahan masalah) Penulis ingin memecahkan masalah yang dihadapi. Penulis ingin menjelaskan dan menjelajah lebih jauh tentang suatu masalah yang dituangkan ke dalam tulisan menggunakan gagasan-gagasannya sehingga dimengerti dan diterima oleh pembaca. c. Hubungan antara Membaca dan Menulis Antara membaca dan menulis terdapat hubungan yang sangat erat bisa dicontohkan bahwa jika seseorang menulis pasti mempunyai keinginan untuk dibaca oleh orang lain. Mungkin seperti itulah hubungan membaca dan menulis yang didasari pada hubungan penulis dan pembaca. Hal tersebut didukung oleh pendapat dari Wang dan Anderson (2010) bahwa reading and writing are based on the same system of printed words, learning to write supports the process of learning to read. Membaca dan
15
menulis didasari oleh sistem kosakata yang sama, belajar menulis sama halnya dengan proses belajar membaca. Tarigan (2008: 5) menyatakan hubungan penulis dan pembaca terjadi apabila pembaca dapat merespon atau menanggapi apa yang penulis maksud dapat digambarkan pada tabel berikut. Tabel 2.1. Hubungan antara Membaca dan Menulis MAKSUD PENULIS
RESPONSI PEMBACA
Memberitahukan atau mengajar
Mengerti/memahami
Meyakinkan atau mendesak
Percaya atau menentang
Menghibur atau menyenangkan
Kesenangan
Mengutarakan/mengekspresikan
Tingkah laku atau pikiran yang
perasaan dan emosi yang berapi-api
dikendalikan oleh emosi
Selain itu Wallen (1969) dalam Tarigan (2008: 21) membuat diagram hubungan antara penulis dan pembaca seperti berikut. PENULIS Pikiran
Penyandian
Psikomotor
Menurunkan gagasan- Menerjemahkan Mempergunakan gagasannya gagasan-gagasan itu ke sejumlah sarana dalam sandi lisan dan mekanis untuk selanjutnya merekam sandi tulis mengubahnya menjadi itu sandi tulis Deteruskan dan disebarkan melintasi/menembus waktu dan ruang PEMBACA Pikiran
Pengalihsandian
Psikomotor
Memahami gagasangagasan penulis
Menerjemahkan sandi Melihat tulisan tulis menjadi sandi lisan dan mendapatkan/menemui gagasan-gagasan penulis
Gambar 2.1. Bagan Hubungan Penulis dan Pembaca
16
2. Hakikat Aksara Jawa a. Sejarah Aksara Aksara Jawa merupakan sebuah kebudayaan yang berasal dari Jawa. Tentu sebuah kebudayaan tidak lahir begitu saja dengan sendirinya. Kebudayaan tercipta karena sebuah kebiasaan yang berulang-ulang dan sudah turun-temurun dilakukan. Sejarah aksara Jawa berupa legenda hanacaraka berasal dari aksara Brahmi yang asalnya dari Hindustan. Di negeri Hindustan tersebut terdapat bermacam-macam aksara, salah satunya yaitu aksara Pallawa yang berasal dari India bagian selatan. Dinamakan aksara Pallawa karena berasal dari salah satu kerajaan yang bernama kerajaan Pallawa. Aksara Pallawa digunakan sekitar abad ke-4 Masehi. Di Nusantara terdapat bukti sejarah berupa prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan Timur yang ditulis menggunakan huruf Pallawa. Aksara Pallawa ini menjadi asal muasal dari semua kasara yang ada di Nusantara antara lain aksara hanacaraka, aksara Rencong (aksara Kaganga), surat Batak, aksara Makassar, dan aksara Baybayin (aksara Filipina). Ahli ilmu sejarah aksara, de Casparis (dalam Rohmadi dan Hartono, 2011: 193) membagi aksara hanacaraka menjadi enam masa sebagai berikut: 1) Aksara Pallawa berasal dari India Selatan. Jenis aksara ini digunakan sekitar abad ke-4 dan abad ke-5 masehi. Salah satu bukti penggunaan jenis aksara ini di Nusantara adalah ditemukannya prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan Timur. Aksara ini juga digunakan di Pulau Jawa yaitu di Tatar Sundha pada prasasti Tarumanegara yang ditulis sekitar tahun 450 M. 2) Aksara Kawi Wiwitan. Aksara ini berbeda gaya penulisannya dengan Pallawa. Aksara ini dikenal sebagai salah satu aksara monumental, yaitu aksara yang digunakan untuk menulis pada prasasti. Aksara Kawi Wiwitan utamanya digunakan untuk menulis pada rontal oleh karena itu bentuknya menjadi lebih kursif. Aksara ini digunakan antara tahun 750 M sampai 925 M.
17
3) Aksara Kawi Pungkasan. Kira-kira setelah tahun 925 M pusat kekuasaan di Pulau Jawa berada di Jawa Timur. Pengalihan kekuasaaan ini berpengaruh pada jenis aksara yang digunakan. Masa penggunaan aksara Kawi Pungkasan ini mulai tahun 925 M sampai 1250 M. aksara Kawi Pungkasan ini tidak jauh berbeda dengan aksara Kawi Wiwitan, namun gayanya saja yang menjadi agak berbeda. 4) Aksara Majapahit, dalam sejarah Nusantara pada tahun 1250-1450 M ditandai dengan dominasi kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Aksara Majapahit ini juga menunjukkan adanya pengaruh dari gaya penulisan di rontal dan bentuknya sudah lebih indah dengan gaya gaya semi kaligrafis. 5) Aksara Pasca Majapahit. Setelah zaman Majapahit, yang menurut sejarah mulai taun 1479 M sampai akhir abad 16 atau awal abad 17 M, merupakan masa kelam sejarah aksara Jawa karena setelah itu sampai awal abad ke 17 M, hamper tidak ditemukan bukti penulisan penggunaan aksara Jawa, tiba-tiba bentuk akasara Jawa menjadi bentuk yang modern. 6) Munculnya aksara hanacaraka baru. Setelah zaman Majapahit muncul zaman Islam dan juga zaman kolonialisme Barat di tanah Jawa. Di Zaman
ini
muncul
naskah-naskah
manuskrio
yang
pertama
menggunakan aksara Hanacaraka baru. Naskah-naskah ini tidak hanya ditulis di daun palem (rontal atau nipah), namun juga di kertas dan berwujud buku atau codex. Naskah-naskah ini ditemukan di daerah pesisir utara Jawa dan dibawa ke Eropa pada abad ke-16 atau 17. Bentuk aksara Jawa ini sudah berbeda dengan aksara sebelumnya seperti aksara Majapahit. Selain dari enam masa sejarah aksara terdapat juga cerita yang dijadikan asal mula aksara Jawa yang berjumlah 20 huruf yakni kisah Aji Saka. Seorang tokoh yang berhasil menaklukkan kekejaman Dewata Cengkar. Dikisahkan bahwa Aji Saka sedang mengembara bersama kedua abdi setianya yang bernama Dora dan Sembada. Dalam perjalanan
18
sampailah mereka di desa Majethi. Setelah beberapa saat, Aji Saka melanjutkan perjalanannya bersama Sembada, sedangkan Dora disuruh menjaga pusaka Aji Saka yang sengaja tidak dibawanya dan diberi amanat agar tidak memberikan pusaka tersebut kepada siapapun kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Singkat cerita, Aji Saka mengalahkan Dewata Cengkar dan menduduki tahta di Medang Kamulan. Setelah itu Aji Saka menyuruh Sembada mengambilkan pusakanya yang ditinggal di Majethi dan berpesan agar tidak kembali sebelum mendapatkan pusaka tersebut. Sesampainya di Majethi, Sembada meminta pusaka tersebut tetapi Dora ingat pesan dari tuannya agar tidak memberikan pusaka tersebut kepada selain dirinya. Karena sama-sama mengemban amanat dari tuannya, mereka bertarung hingga keduanya mati. Setelah lama menunggu, Aji Saka mengutus orang untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi mengapa sekian lama Sembada tidak kunjung kembali. Utusannya pun kembali dan melaporkan apa yang terjadi. Aji Saka pun ingat akan pesannya terhadap Dora dulu. Akhirnya untuk mengenang dan memberikan penghormatan atas kesetiaan abdinya dibuatlha aksara Jawa.
ha
na
ca
ra
ka
:
ada utusan
da
ta
sa
wa
la
:
saling berselisih
pa
dha
ja
ya
nya
:
sama-sama kuat
ma
ga
ba
tha
nga
:
jadi bathang/mati
19
Penulisan aksara Jawa ini sudah memiliki Standard Encoding Character Setting dan telah dibahas oleh pakar pada Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang tahun 2006. Selain itu juga sudah disetujui oleh tiga Gubernur (DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur) tahun 1966 dan Wewaton Sriwedari tahun 1926. Selain itu dikatakan bahwa aksara Jawa ini memiliki filsafat yang berhubungan erat dengan kehidupan manusia. Seperti yang dituliskan Paku Buwono IX yang tertulis pada teori Rohmadi dan Lili (2011: 198) menyatakan bahwa setiap aksara memiliki makna masing-masing. Ha
: Hana Hurip wening suci: adanya hidup adalah kehendak Yang Maha Esa
Na
: Nur candra gaib candra, warsitaning candara: pengharapan manusia selalu pada Illahi
Ca
: Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi: arah dan tujuan menusia hanya pada Yang Maha Esa
Ra
: Rasa ingsung handulusih: rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani
Ka
: Karsaningsun memayuhayuning bawana: hasrat diarahkan kepada kesejahteraan alam
Da
: Dumadining dzat kang tanpa winangenan: menerima hidup apa adanya
Ta
: Tatas, tutus, titis, titi, lan wibawa: total, cekatan,, dan telitit dalam memandang hidup
Sa
: Sifat ingsun handulu sifatullah: membentuk kasih sayang seperti sifat kasih sayang Tuhan
Wa
: Wujud han tan kena kinira: ilmu manusia hanya terbatas, namun implikasinya tanpa batas
La
: Lir handaya peseban jati: mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi
Pa
: Papan kang tanpa kiblat: hakikat Allah ada di segala arah
Dha : Dhuwur wekasane endhek wiwitane: untuk bisa di atas harus dimulai dari bawah Ja
: Jumbuhing kawula lan gusti: selalu berusaha menyatu memahami kehendak-Nya
20
Ya
: Yakin marang samubarnag tumindak kang dumadi: yakin atas titah/kodrat Illahi
Nya : Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki: memahami kodrat kehidupan Ma
: Madhep mantep manembah mring Illahi: mantap dalam menyembah Illahi
Ga
: Guru sejati kang muruki: belajar pada hati nuranu
Ba
: Bayu sejati kang andalani: menyelaraskan diri pada kehendak alam
Tha
: Thukul saka niat: sesuatu harus dimulai dan tumbuh dari niat
Nga : Ngracut busananing manungsa: melepas egoism pribadi manusia b. Wujud aksara Jawa 1) Aksara Jawa Nglegena Aksara Jawa nglegena adalah akasara jawa yang utuh belum mendapat “sandhangan” (Hadiwiradarsana, 2010:5). Aksara Jawa nglegena berjumalah 20 huruf dari HA sampai NGA. Semua aksara Jawa nglegena diucapkan dengan vocal “a” namun bunyi “o” diucapkan dengan posisi bibir membuka lebih lebar dibandingkan jika kita mengucapkan vocal “e”. Aksara Jawa
2) Sandhangan Swara Sandhangan swara disebut juga sandhangan sastra Jawa. Guna sandhangan swara adalah jika disandhangkan pada huruf nglegena akan mengubah bunyi vokalnya. Ada 5 jenis sandhangan swara yaitu:
21
a) Wulu ( …
)
mengubah
huruf
menjadi
bervokal
I,
menjadi
bervokal
U,
ditulis di atas huruf yang disandhangi. b) Suku ( …
)
mengubah
huruf
ditulis dengan menyambungkan pada kaki belakang aksara yang disandhangi. c) Taling (
…) mengubah huruf menjadi bervokal atau ,
ditulis di depan huruf yang disandhangi, segaris dengan aksaranya. d) Taling tarung (
…
) mengubah huruf menjadi bervokal O,
ditulis di depan dan di belakang aksara yang disandhangi (mengapit). e) Pepet (… ) mengubah huruf menjadi bervokal E / / , vokal E disini diucapkan seperti e pada kata “sepet”, ditulis di atas huruf yang disandhangi. 3) Sandhangan Panyigeg Wanda Sandhangan
panyigeg
wanda
adalah
sandhangan
untuk
menghentikan wanda atau suku kata. (sigeg = berhenti) Ada 4 jenis sandhangan panyigeg wanda, yaitu: a) Jika suku kata/wanda berakhir huruf NGA/NG = cecak ( …
diganti dengan
). Ditulis di atas huruf yang disigeg (dipateni),
bentuknya seperti tanda koma. b) Jika suku kata/wanda berakhir huruf RA/R =
diganti dengan layar
( … ). Ditulis di atas huruf yang disigeg (dipateni), bentuknya garis miring ke kanan. c) Jika suku kata/wanda berakhir huruf HA/H = wignyan ( …
diganti dengan
). Ditulis segaris dan berada di belakang huruf yang
disigeg (dipateni).
22
d) Jika suku kata berakhir huruf selain HA, RA, dan NGA, agar suku kata itu mati/berhenti diberi pangkon ( … ).
c. Penulisan Aksara Jawa Menulis aksara Jawa tidak sembarang asal menulis tetapi ada beberapa aturan yang telah disepakati oleh 3 gubernur DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur pada kongres bahasa Jawa tahun 1996. Aksara Jawa menika anggenipun nyerat saking kiwa manengen, papanipun wonten ing sangandhaping garis, menawi dlancangipun wonten garisipun. Aksara Jawa asipat silabik, tegesipun saben satunggal aksara nggambaraken satunggal wanda. Beda kalihan aksara Latin ingkang fonemis, tegesipun saben satunggal aksara nggambaraken satunggal inti bunyi. Aksara Jawa menika uga asipat konsonantal, tegesipun saben satunggal aksara ingkang dipunpasangi utawi dipunpangku nggambaraken satunggal konsonan utawi aksara ingkang boten madeg piyambak tanpa aksara swara. Dene panyeratipun aksara Jawa menika boten milahmilahaken antawisipun tembung satunggal saha satunggalipun, dados kaserat lajengan kemawon. Seratan makaten menika kasebut scriptio-continuo. Aksara Jawa ditulis dari arah kiri ke kanan, bertempat di bawah garis (nggandhul). Aksara Jawa bersifat silabik dan konsonantal. Silabik berarti setiap akasara memberi makna menjadi satu suku kata. Konsonantal berarti setiap kali sebuah aksara diberi pasangan atau pangkon menggambarkan adanya konsonan atau menjadi huruf konsonan. Dalam penulisan aksara Jawa tidak terdapat adanya pemisahan kata dengan menggunakan spasi. Jadi antara satu kata dengan kata yang lain tidak pernah ada spasi. Cara penulisan yang demikian ini disebut penulisan scriptiocontinuo (Mulyani, 2011: 5). Penulisan aksara Jawa ada beberapa ragam gaya penulisan. Adapun ragam gaya penulisan sebagai berikut. 1) Mbata sarimbag Ragam mbata sarimbag memiliki bentuk aksara yang menyerupai rimbag, yaitu cetakan batu bata merah yang berbentuk persegi.
23
2) Ngetumbar Ragam ngetumbar memiliki bentuk setengah bulat menyerupai biji ketumbar pada sudut-sudutnya tidak lagi berupa kotak atau sudut sikusiku. 3) Mucuk eri Ragam mucuk eri memiliki bentuk berupa sudut lancip di beberapa bagian tertentu aksara. Berdasarkan standar encoding character serta keputusan 3 gubernur, bentuk ngetumbar dipandang lebih bernilai estetika dan menjadi ciri khas aksara Jawa. d. Keterampilan Membaca dan Menulis Aksara Jawa Seperti telah diuraikan diatas, membaca dan menulis merupakan keterampilan berbahasa. Menurut Soemardji, Ramanto, dan Zahri (1992: 2) terampil atau cekatan adalah kepandaian melakukan sesuatu pekerjaan dengan cepat dan benar. Sedangkan membaca adalah keterampilan menganal dan memahami tulisan dalam bentuk urutan lambang-lambang grafis dan perubahannya menjadi tulisan yang bermakna baik pemahaman diam-diam atau pengujaran keras-keras maksudnya kegiatan membaca bisa dilakukan dengan bersuara maupun tidak Kridalaksana (1993) dalam Slamet (2008: 71). Jika dihubungkan dengan membaca aksara Jawa dapat diartikan bahwa membaca aksara Jawa alah membaca lambang-lambang grafis yang berbentuk aksara Jawa dengan baik dan benar. Menurut kesepakatan bersama tiga gubernur (2009: 18), di dalam tulisan Jawa, aksara yang tidak mendapat sandhangan diucapkan sebagai gabungan antara konsonan dan vokal a. Vokal a di dalam bahasa Jawa mempunyai dua macam varian yakni / å / dan / a /. Vokal a dilafalkan / å /, seperti o pada kata bom, pokok, tolong, tokoh di dalam bahasa Indonesia, misalnya ana, dawa, mara. Vokal a dilafalkan dilafalkan / a /, seperti a pada kata pas, ada, siapa, semua di dalam bahasa Indonesia, misalnya abang, dalan, sanak. Dalam membaca aksara Jawa, siswa dapat dikatakan bisa memiliki
24
keterampilan membaca yang baik apabila memenuhi kriteria sebagai berikut.
Tabel 2.2. Kriteria Membaca Aksara Jawa yang Baik Aspek yang diukur Lafal
Kriteria Skor Deskripsi
: Sangat Baik Baik
4
Cukup
2
Kurang Artikulasi : Sangat Baik
3
1 4
Baik
3
Cukup
2
Kurang
1
Dapat membedakan / å / dan / a /, / da / dan / dha /, / ta / dan / tha / Keliru dalam melafalkan salah satu aksara Jawa Terdapat dua atau lebih kesalahan dalam melafalkan suatu tembung Tidak bisa membaca aksara Jawa Dapat membedakan huruf vokal dan konsonan dengan jelas serta dapat membaca aksara Jawa dengan cepat dan tepat Keliru dalam membaca salah satu aksara Jawa Terdapat dua atau lebih kesalahan dalam membaca aksara Jawa Tidak bisa membaca aksara Jawa
Keterampilan menulis menurut Byrne (1979) pada hakikatnya bukan sekedar kemampuan menulis symbol-simbol grafis sehingga berbentuk kata dan kata-kata disusun menjadi kalimat menurut aturan tertentu, melainkan keterampilan menulis adalah kemampuan menuangkan buah pikiran ke dalam bahasa tulis melalui kalimat-kalimat yang dirangkai secara utuh, lengkap, dan jelas sehingga buah pikiran tersebut dapat dikomunikasikan kepada pembaca dengan berhasil (Slamet, 2008: 106). Jika dipadukan dengan keterampilan menulis aksara Jawa maka dapat diartikan proses merangkai lambang grafis yakni aksara/huruf-huruf Jawa sehingga menjadi suatu kata maupun kalimat yang mampu dipahami oleh pembaca.
25
Menulis aksara Jawa dapat dikatakan gampang-gampang susah. Hal ini
dikarenakan
ada
beberapa
aturan
yang
perlu
diperhatikan.
Hadiwiradarsana menyatakan bahwa agar tidak kacau dalam membaca dan menulis aksara Jawa, maka haruslah telitit mengamati bentuk setiap aksara, begitu juga jumlah kakinya. Sepintas memang ada yang bentuknya mirip padahal lain ucapannya (2010: 4). Dalam menulis aksara Jawa, siswa dapat dikatakan bisa memiliki keterampilan menulis yang baik apabila memenuhi kriteria sebagai berikut.
Tabel 2.3. Kriteria Menulis Aksara Jawa yang Baik Aspek yang diukur Penempatan
Nggandhul
Kriteria Skor Deskripsi : Sangat
4
Baik
3
Cukup
2
Kurang : Sangat Baik
1 4
Baik
3
Cukup
2
Kurang Kelengkapan : Sangat Baik Baik
1 4 3
Cukup
2
Kurang
1
Jika penempatan aksara dan sandhangan tepat Jika ada satu aksara atau sandhangan yang salah dalam menempatkan Jika ada dua atau lebih aksara atau sandhangan yang salah dalam menempatkan Jika tidak bisa menulis aksara Jawa Jika semua aksara dan sandhangan ditulis nggandhul pada garis yang telah disediakan Jika terdapat satu aksara atau sandhangan yang ditulis tidak nggandhul Jika terdapat dua atau lebih aksara atau sandhangan yang ditulis tidak nggandhul Jika tidak bisa menulis aksara Jawa Jika suatu tembung ditulis lengkap Jika terdapat satu kesalahan dalam menulis aksara Jawa Jika terdapat dua atau lebih kesalahan dalam menulis aksara Jawa Jika tidak bisa menulis aksara Jawa
26
e. Tinjauan Materi Membaca dan Menulis Aksara Jawa Sesuai kurikulum mata pelajaran muatan lokal (Bahasa Jawa) untuk jenjang pendidikan SD/SDLB/MI dan SM/SMPLB/MTs Negeri dan Swasta Provinsi Jawa Tengah, materi yang diberlakukan untuk kelas IV sekolah dasar dapat dilihat pada table berikut.
Tabel 2.4. SK dan KD Bahasa Jawa Kelas IV Semester II (dua) Standar Kompetensi Membaca 3. Mampu membaca dan memahami teks sastra dan membaca kalimat sederhana berhuruf Jawa Menulis 4. Mampu menulis karangan dalam berbagai ragam bahasa Jawa sesuai unggah-ungguh dan menulis huruf Jawa
Kompetensi Dasar 3.2.Membaca kata berhuruf Jawa yang menggunakan sandhangan panyigeg wanda (layar, cecak, wignyan) 4.2.Menulis kalimat sederhana berhuruf Jawa menggunakan sandhangan panyigeg wanda dan wyanjana
Contoh penulisan tembung dalam aksara Jawa: 1) Potelot
:
2) Buku tulis : Contoh penulisan tembung dari aksara Jawa: 1)
= jeruk
2)
= banyu udan
27
5. Hakikat Media Sirkuit Pintar Aksara Jawa a. Media Pembelajaran Media berasal dari bahasa latin yang merupakan kbentuk jamak dari kata medium yang berarti sesuatu yang terletak di tengah (antara dua pihak) atau suatu alat. Menurut Association for Educational Communications and Technology (AECT, 1977) dalam Anitah (2009: 4), media sebagai segala bentuk yang digunakan untuk menyalurkan informasi. Lain halnya dengan Smaldino, dkk (2008) yang juga dikutipnya, menyatakan bahwa media adalah suatu alat komunikasi dan sumber informasi. Dikatakan media pembelajaran, bila segala sesuatu tersebut membawa pesan untuk tujuan pembelajaran. Anitah (2009: 5) mendefinisikan media adalah setiap orang, bahan, alat, atau peristiwa yang dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan pebelajar untuk menerima pengetahuan, keterampilan dan sikap. Di sisi lain Daryanto (2011: 4) mendefinisikan media pembelajaran sebagai sarana pelantara dalam proses pembelajaran. Selanjutnya Sadiman, dkk merumuskan bahwa media pendidikan adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi (2007: 7). Terlepas dari definisi-definisi yang telah dituliskan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa media pembelajaran adalah suatu orang, bahan, alat, atau peristiwa yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan dari pengirim dalam hal ini guru dan penerima dalam hal ini siswa sehingga informasi dapat diterima dengan baik dan pembelajaran dapat berlangsung. b. Jenis dan Karakteristik Media Karakteristik media ini seperti yang dikemukakan Kemp (1975) dalam Sadiman, dkk (2007: 28) merupakan dasar pemilihan media sesuai dengan situasi belajar tertentu. Dia juga mengatakan “The question of what media attributes are necessary for a given learning situation becomes the basis for media selection.” Jadi klasifikasi media, karakteristik media dan
28
pemilihan media merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dalam penentuan strategi pembelajaran. Beberapa jenis media yang lazim digunakan di Indonesia antara lain. 1) Media Grafis Media grafis termasuk media visual. Media grafis berfungsi untuk menyalurkan pesan yang berupa gambar. Saluran yang dipakai menyangkut indera penglihatan. Pesan yang disampaikan dituangkan dalam symbol-simbol komunikasi visual. Media ini bersifat sederhana, mudah pembuatannya, relative murah ditinjau dari segi biaya. Banyak jenis media yang termasuk media grafis yaitu: gambar/foto, sketsa, diagram, bagan/chart, grafik (graphs), kartun, poster, peta dan globe, papan flannel, serta papan bulletin. 2) Media Audio Berbeda dengan media grafis, media audio menurut namanya berhubungan dengan indera pendengaran. Pesan yang akan disampaikan dituangkan dalam lambang-lambang auditif, baik verbal (dalam katakata/lisan) maupun non verbal. Ada beberapa jenis media yang dapat dikelompokkan dalam media audio antara lain radio, alat perekam pita magnetic, piringan hitam, dan laboratorium bahasa. 3) Media Proyeksi Diam Media proyeksi diam (still projected medium) mempunyai persaamaan dengan media grafik dalam arti menyajikan rangsanganrangsangan visual. Perbedaan dengan media visual adalah pada media grafis dapat secara langsung berinteraksi dengan pesan media yang bersangkutan pada media yang proyeksi, pesan tersebut harus diproyeksikan dengan proyektor agar dapat dilihat. Adakalanya media jenis ini disertai rekaman audio, tapi ada pula yang hanya visual saja. Beberapa jenis media proyeksi diam antara lain film bingkai (slide), film rangkai (film strip), overhead proyektor, proyektor opaque (proyektor tak tembus pandang), tachitoscope, microprojection dengan microfilm, video.
29
Selanjutnya Anitah (2009) mengklasifikasikan media dalam beberapa jenis yaitu, 1) Media Visual Media visual juga disebut media pandang, karena seseorang dapat menghayati media tersebut melalui penglihatanya. Media visual ini juga dibedakan menjadi dua, yaitu: a) Media visual yang tidak diproyeksikan Media visual yang tidak diproyeksikan merupakan media yeng sederhana, tidak membutuhkan proyektor dan layar untuk memproyeksikan perangkat lunak. Media ini tidak tembus cahaya, maka tidak dapat dipantulkan pada layar. Media ini lebih mudah pembuatan maupun penggunaannya. Jenis media yang termasuk kedalam media visual yang tidak diproyeksikan antara lain gambar mati/diam, ilustrasi, karikatur, poster, bagan, diagram, peta datar, realia dan model, serta berbagai jenis papan. b) Media visual yang diproyeksikan Media ini juga merupakan media visual, namun dapat diproyeksikan pada layar melaulai suatu alat yang biasa disebut proyektor. Media ini terdiri dari dua unsur yyang tidak dapat dipisahkan yaitu perangkat keras (proyektor) dan perangkat lunak. Media visual ini banyak jenisnya, namun yang sering digunakan antara lain: overhead projector (OHP), slide projector, film strip projector, dan opaque projector. 2) Media Audio Media audio ini berhubungan dengan indera pendengaran. Kebisaan di sekolah dasar siswa hanya mendengarkan penjelasan dari guru, namun dengan media audio ini guru tidak harus ada di kelas, siswa cukup mendengarkan rekaman misalnya atau musik untuk sarana belajar. Jenis media audio yang dapt digunakan adalah berbagai jenis alat rekaman seperti open-reel, tape recorder, cassette tape recorder, piringan hitam, radio, atau MP3.
30
3) Media Audio Visual Media ini menggabungkan antara media yang bersifat auditif dan visual, yakni media yang dapat didengar sekaligus dilihat. Banyak sekali jenis media audio visual ini diantaranya slide suara dan televisi. 4) Multimedia Multimedia merupakan penggunaan berbagai jenis media baik secar berurutan maupun simultan untuk menyampaikan informasi atau pesan. Berbagai jenis multimedia diantaranya multimedia kits, hypermedia, hypertext, interaktif media, virtual reality, dan expert system. c. Manfaat dan Kegunaan Media Pembelajaran Sepeti yang sudah diketahui pasti bahwa sebuah alat diciptakan pasti mempunyai sebuah manfaat bagi penciptanya. Begitu juga dengan media pembelajaran. Seperti yang Daryanto (2011: 5) tuliskan bahwa media pembelajaran harus bermanfaat sebagai berikut. 1) Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalis. 2) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga, dan daya indra. 3) Menimbulkan gairah belajar, berinteraksi secara langsung antara siswa dan sumber belajar. 4) Memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori, dan kinestetiknya. 5) Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman, dan menimbulkan persepsi yang sama. 6) Proses pembelajaran mengandung lima komponen komunikasi, yaitu guru (komunikator), bahan pembelajaran, media pembelajaran, siswa (komunikan), dan tujuan pembelajaran. Jadi, media pembelajaran adalah sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan pembelajaran) sehingga dapat merangsang perhatian, mnat, pikiran, dan perasaan pesera didik dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran.
31
Dalam pendapat lain juga menyebutkan kegunaan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar. Seperti yang disampaikan oleh Sadiman, dkk (2007: 17) sebagai berikut. 1) Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis. 2) Mengatasi keterbatasanruang, waktu, dan daya indera. 3) Penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif anak didik sehingga menimbbulkan gairah belajar, interaksi langsung antara anak didik dengan lingkungan dan kenyataan, serta memungkinkan anak didik belajara sendiri sesuaai kemampuan dan minatnya. 4) Memberikan perangsang yang sama, mempersamakan pengalaman, dan menimbulkan persepsi yang sama sehingga dapat mengatasi masalah anak didik yang beragam. Selanjutnya Daryanto (2011: 9) menambahkan fungsi media dalam proses pembelajaran adalah seperti berikut. 1) Menyaksikan benda yang ada atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau. 2) Mengamati benda atau peristiwa yang sukar dikunjungi, baik karena jaraknya jauh, berbahaya, maupun terlarang. 3) Memperoleh gambaran yang jelas tentang benda atau hal-hal yang sukar diamati secara langsung karena ukurannya yang tidak memungkinkan. 4) Mendengar suara yang sukar ditangkap telinga secara langsung. 5) Mengamati dengan teliti binatang-binatang yang sukar diamati secara langsung karena sukar ditangkap. 6) Mengamati peristiwa-peristiwa yang jarang terjadi atau berbahaya untuk didekati. 7) Mengamati dengan jelas benda-benda yang mudah rusak atau sukar diawetkan. 8) Mudah membandingkan sesuaatu. 9) Melihat secara cepat suatu proses yang berlangsung secara lambat. 10) Melihat secara lambat gerakan-gerakan yang berlangsung secara cepat.
32
11) Mengamati gerakan-gerakan mesin atau alat yang sukar diamati secara langsung. 12) Melihat bagian-bagian tersembunyi dari suatu alat. 13) Melihat ringkasan dari suatu rangkaian pengamatan yang panjang. 14) Menjangkau audien yang besar jumlahnya dan mengamati suatu obyek secara serempak. 15) Dapat belajar sesuai kemampuan, minat, dan tempo masing-masing. d. Media Sirkuit Pintar Aksara Jawa 1) Pengertian Media Sirkuit Pintar Media sirkuit pintar merupakan hasil pengembangan dari permainan ular tangga yang sudah lebih dahulu dikenal. Seperti yang diungkapkan oleh Yusuf dan Auliya (2011: 21) sirkuit pintar tersebut merupakan sebuah
media
permainan
yang
bernilai
edukatif,
produktif,
menyenangkan, dan diharapkan dapat memberi manfaat lebih dalam pembelajaran.
Sirkuit
pintar
bernilai
edukatif
karena
dapat
dimanfaatkan dalam pembelajaran. Bernilai produktif karena anak mendapatkan suatu hasil berupa pengetahuan atau pelajaran setelah memainkannya, dan menyenangkan karena sirkuit pintar merupakan sebuah permainan. Lain halnya menurut Hanifah (2014) sirkuit pintar merupakan media inovatif yang diadopsi dari permainan ular tangga dan digunakan untuk menjadikan proses pembelajaran menjadi lebih bermakna serta menyenangkan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa sirkuit pintar ini merupakan sebuah permainan yang mirip dengan ular tangga dan dapat digunakan sebagai media daladm sebuah pembelajaran sehingga pembelajaran dapat berjalan lebih menarik dan menyenangkan. 2) Komponen Sirkuit Pintar Sirkuit pintar terdiri dari beberapa bagian yaitu: a) Papan Permainan
33
Papan permainan ini berbentuk persegi. Pada papan permainan tedapat kotak-kotak yang dibuat sesuai dengan kebutuhan. Setiap kotak terdapat aksara Jawa yang membentuk sebuah kata.
Gambar 2.2. Papan Sirkuit Pintar Aksara Jawa b) Dadu Dadu yang digunakan untuk bermain sirkuit pintar menggunakan dadu biasa dan juga dadu buatan.
Gambar 2.3. Dadu
34
c) Bidak Bidak berfungsi sebagai penunjuk posisi pemain. Bidak bisa dibuat dari apapun misalnya tutup pulpen atau tutup spidol. Agar bisa membedakan bisa ditempel dengan kertas berwarna.
Gambar 2.4. Bidak 3) Langkah-langkah Permainan Aturan permainan dalam sirkuit pintar ini sangat mudah. Sebagian besar sama dengan bermain ular tangga. Namun ada sedikit perbedaan yaitu penentu pemenangnya. Berikut ini aturan permainan sirkuit pintar aksara Jawa. a) Permainan diikuti oleh empat orang dengan lebih dahulu menentukan urutan bermain bisa dengan hompimpa. b) Pemain pertama melempar dadu untuk menentukan jumlah langkah. c) Pemain menjalankan bidaknya sesuai dengan jumlah angka yang ditunjukkan oleh mata dadu. d) Setelah berhenti, ada tulisan menggunakan aksara Jawa pada kotak. e) Pemain harus membaca aksara Jawa yang ada pada kotak dan menuliskannya pada kertas. f) Jika pemain mendapat tanda panah naik (tangga), pemain bisa menaiki tangga dan apabila mendapat tanda panah turun (ular), pemain harus menuruni ular tersebut. g) Apabila bidak pemain berhenti pada kotak yang ada bidak pemain lain, bidak tersebut harus kembali ke awal (start).
35
h) Apabila ada pemain yang sudah sampai akhir (finish), permainan berakhir dan dijumlahkan jawaban membaca aksara Jawa yang ia peroleh dan benar. i) Hal ini juga berlaku dengan menulis aksara Jawa. Hanya saja tulisan yang ada dalam kotak ditulis dengan huruf abjad membentuk sebuah kata yang harus dituliskan menggunakan aksara Jawa. 4) Cara Pembuatan Sirkuit Pintar Aksara Jawa Cara pembuatan media sirkuit pintar aksara Jawa ini sangat mudah. Guru mampu membuatnya sendiri di rumah. Adapun cara pembuatan media sirkuit pintar adalah sebagai berikut. a) Menyiapkan kertas yang cukup lebar A3. Kertas ini berfungsi sebagai papan untuk diberi gambar kotak-kotak. b) Membentuk kertas menjadi ukuran 20 cm x 20 cm. c) Mengisi kotak-kotak dengan aksara Jawa. d) Menyiapkan dadu bisa juga membentuk dadu sendiri dengan kertas yang dibuat kubus dan memberinya mata dadu. e) Membuat bidak-bidak. f) Sirkuit pintar siap digunakan. 5) Kelebihan Media Sirkuit Pintar Menurut Yusuf dan Auliya (2011: 18) media sirkuit pintar ini memiliki kelebihan antara lain: a) Konsentrasi Penuh Media ini dapat membuat konsentrasi karena setiap gerakan lawan pasti akan diperhatikan. Tanpa harus disuruh, mereka akan dengan sendirinya melakukan hal ini. b) Suasana yang Senang Bermain sirkuit pintar layaknya sebuah permainan pada umumnya yang juga membuat senang bagi yang memainkannya. Selain itu dengan permainan, siswa dapat merumuskan pemahaman tentang suatu konsep, kaidah-kaidah, unsur-unsur pokok, proses, hasil, dampak, dan seterusnya (Suyatno dalam Yusuf dan Auliya, 2011:16).
36
Permaian belajar, jika digunakan dengan bijaksana dapat menghasilkan menfaat sebagai berikut. a) Menyingkirkan keseriusan yang menghambat. Keseriusan tidak selamanya menjadi faktor pedukung, ada keseriusan yang justru menghambat pembelajaran. Namun, jangan sampai tidak ada sama sekali keseriusan dalam belajara. Harus ada keseimbangan antara suasana menyenangkan dan keseriusan. Keseriusan yang menghambat contohnya keseriusaan yang disebabkan oleh ketakutakn yang berlebihan. b) Menghilangkan stress dalam lingkungan belajar. Stress dalam belajar sangat mudah terjadi. Salah satunya disebabka perolehan nilai yang kurang memuaskan, hukuman yang dijalani karena melakukan kesalahan atau ketidakkemampuan menerima pelajaran. Banyak hal-hala kecil yang dengan mudah menyebabkan terjadinya stress dalam belajar dan hal itu harus dihilangkan. c) Mengajak orang terlibat penuh. Belajar dengan bermain membuat anak bergerak dan merasakan hal yang sedang dipelajari. Ketika belajar, siswa benarbenar terlibat penuh dalam proses belajar. d) Meningkatkan proses belajar. Jika bersemangat dalam bermain, anak akan termotivasi untuk mengikuti proses belajar. Dengan begitu siswa semakin tertantang untuk mengikuti kembali proses belajar tersebut di lain waktu. e) Membangun kreativitas. Bermain memerlukan sebuah trik untuk menjadi seorang pemenang. Tentu hal ini membutuhkan kreativitas yang tinggi. Dengan bermain anak tidak terasa telah terbangun kemampuan kreativitasnya.
37
f) Mencapai tujuan dengan ketidaksadaran. Ketika bermain, anak merasakan keasyikan dangan permainannya. Anak akan mencari cara untuk bisa menjadi pemenang. Pada keadaan ini, unsur materi belajara yang telah dimasukkan dalam permainan masuk tanpa disadari. Tidak terasa anak telah bisa. g) Meraih makna belajar melalui pengalaman. Anak akan merasakan dan mengenang pengalaman ini dalam hidupnya. Suatu saat ketika ditanya materi yang telah dipelajari, anak akan mampu mengingatnya kembali karena kebermaknaan proses belajar yang dilakukannya. h) Memfokuskan siswa sebagai subjek belajar. Anak akan semakin focus dengan materi yang dimasukkan ke dalam permainan. Hal ini disebabkan oleh rasa tertantang, motivasi, dan semangat yang tinggi. 6) Kekurangan Media Sirkuit Pintar Kekurangan dari media sirkuit pintar antara lain: a) Media ini dibuat dari kertas sehingga berisiko tinggi sobek dan rusak. b) Media sirkuit pintar tidak begitu efektif untuk kelompok besar. c) Penggunaan media sirkuit pintar memerlukan waktu yang cukup lama.
38
6. Penelitian yang Relevan Untuk memperkuat kajian teori mengenai penelitian yang dilakukan tentang penggunaan media pembelajaran, berikut ada beberapa penelitian beserta persamaan dan perbedaannya. Penelitian
Dwi
Ariyanti
(2014)
yang
berjudul
“Peningkatan
Kemampuan Membaca dan Menulis Aksara Jawa dengan Media Scrabble Aksara Jawa pada Peserta Didik Kelas III SD Negeri 02 Ngasem Tahun 2014”. Dari penelitian ini mendapatkan hasil peningkatan kemampuan membaca dan menulis aksara Jawa yang dibuktikan dengan adanya peningkatan nilai rata-rata dan presentase ketuntasan secara klasikal. Nilai rata-rata kelas pada prasiklus hanya 59 dengan ketuntasan klasikal hanya sebesar 10% (2 siswa). Pada siklus I nilai rata-rata kelas meningkat menjadi 77 dengan ketuntasan klasikal sebesar 50% (10 siswa). Selanjutnya pada siklus II nilai rata-rata kelas meningkat menjadi 83 dengan ketuntasan klasikal 90% (18 siswa). Penelitian ini memiliki persamaan pada variabel terikat yaitu membaca dan menulis aksara Jawa. Perbedaannya pada variabel bebas yaitu media yang digunakan menggunakan scrabble aksara Jawa. Penelitian Hanifah (2014) dengan judul “Studi Komparasi Keterampilan Menulis Aksara Jawa Antara Pembelajaran yang Menggunakan Media Sirkuit Pintar dan Flash Cards pada Siswa Kelas III SD Negeri Se-Gugus Ngurah Rai Kecamatan Laweyan Surakarta Tahun Pelajaran 2013/2014”. Penelitian ini memperoleh simpulan bahwa tidak terdapat perbedaan keterampilan menulis aksara Jawa antara pembelajaran yang menggunakan media sirkuit pintar dan flash cards pada siswa kelas III SD Negeri se-Gugus Ngurah Rai Tahun Pelajaran 2013/2014. Kedua media tersebut memberikan pengaruh yang sam baiknya jika diterapkan dalam pembelajaran menulis aksara Jawa. Penelitian ini sama-sama membahas tentang penggunaan media sirkuit pintar, tetapi terdapat perbedaan pada penelitian ini membandingkan keterampilan menulis, sedangkan penelitian yang dilakukan meneliti tentang keterampilan membaca dan menulis aksara Jawa.
39
Penelitian Arif Nur Rohman (2013) dengan judul “Peningkatan Keterampilan Membaca dan Menulis Aksara Jawa Melalui Permainan Kartu Huruf Pada Peserta Didik Kelas III SDN 2 Pejagatan Kebumen”. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa keterampilan membaca aksara Jawa pratindakan nilai rata-rata siswa 58,96 dengan persentase ketuntasan klasikal 17,4%, siklus I nilai rata-rata kelas 68,78 dengan persentase ketuntasan klasikal sebesar 56,5%, dan siklus II nilai rata-rata kelas meningkat menjadi 74,83 dengan persentase ketuntasan klasikal sebesar 91,3%. Sedangkan keterampilan menulis aksara Jawa pratindakan nilai rata-rata siswa 57,96 dengan persentase ketuntasal klasikan 17,4%, siklus I nilai rata-rata kelas 68,09 dengan persentase ketuntasan klasikal sebesar 52,2%, dan siklus II nilai rata-rata kelas meningkat menjadi 74 dengan persentase ketuntasan klasikal sebesar 87%. Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan yakni meneliti tentang keterampilan membaca dan menulis aksara Jawa. Sedangkan perbedaan terdapat pada media yang digunakan yakni media kartu huruf dan sirkuit pintar aksara Jawa. Dari penelitian yang sudah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan media pembelajaran yang sesuai dapat meningkatkan keterampilan dan hasil belajar siswa. Hal tersebut mendasari penggunaan media sirkuit pintar aksara Jawa untuk meningkatkan keterampilan membaca dan menulis aksara Jawa kelas IV SD Negeri Mangkubumen Kulon no 83 Surakarta Tahun 2016. B. Kerangka Berpikir Siswa mengalami kesulitan dalam membaca dan menulis aksara Jawa yang menyebabkan keterampilan membaca dan menulis aksara Jawa siswa masih rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya guru yang belum menemukan strategi atau media pembelajaran yang sesuai. Faktor lainnya berasal dari siswa sendiri yang kurang berminat untuk mempelajari aksara Jawa. Akibatnya, keterampilan membaca dan menulis aksara Jawa siswa kelas IV SDN Mangkubumen Kulon No. 83 Surakarta masih rendah. Hal ini diperkuat dengan
40
hasil tes pratindakan yang menunjukkan hanya 28,5% siswa yang baru mencapai KKM (66). Salah satu cara untuk meningkatkan keterampilan membaca dan menulis yakni dengan menggunakan media pembelajaran yang efektif dan menarik. Media Sirkuit Pintar adalah salah satu media yang dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan membaca dan menulis khususnya aksara Jawa. Media ini dapat digunakan dalam kelompok kecil agar siswa aktif dan interaktif. Media Sirkuit Pintar diterapkan dengan menggunakan dua siklus. Pada setiap siklus terdapat dua pertemuan. Dengan digunakannya media Sirkuit Pintar ini diharapkan mampu meningkatkan keterampilan membaca dan menulis aksara Jawa. Dari penjelasan tersebut dapat disusun alur kerangka berpikir yang ditunjukkan bagan di bawah ini.
Gambar 2.5. Bagan Kerangka Berpikir
41
C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teori, penelitian yang relevan, dan kerangka berpikir yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian tindakan kelas bahwa penggunaan Media Sirkuit Pintar diduga dapat meningkatkan keterampilan membaca dan menulis aksara Jawa dalam pembelajaran Bahasa Jawa siswa kelas IV SDN Mangkubumen Kulon No. 83 Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016.