BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A.
Kajian Pustaka
1. Kajian tentang Anak Tunarungu a. Pengertian Anak Tunarungu Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga mengalami gangguan berkomunikasi secara verbal (Yusuf, 2009:5). Menurut Haenudin, (2013:53) tunarungu merupakan peristilahan yang diberikan kepada anak yang kehilangan atau kekurangmampuan dalam mendengar, sehingga mereka mengalami kesulitan dalam kehidupan sehariharinya. Morees dalam Haenudin, (2013:54) mengatakan bahwa: “Hearing impairment. A generic term indicating a hearing disability that may range in severity from mild to profound itu includes the subsets of deaf and hard of hearing. A deaf person in one whose hearing disability precludes succesful proccessing of linguistic information trough audition, with or without hearing aid. A hard of hearing is one who generally with use of hearing aid, has residual hearing sufficient to enable successful processing of linguistic information trough audition”. Dari definisi di atas dapat diartikan bahwa tunarungu adalah suatu istilah yang ditujukan untuk kesulitan mendengar yang meliputi dari tunarungu ringan hingga berat, dan dikelompokkan menjadi kurang dengar dan tuli. Orang tuli yaitu seseorang yang kehilangan kemampuan mendengarnya dan menghambat proses informasi baik menggunakan ataupun tidak menggunakan alat bantu dengar. Sedangkan orang dengan kurang mendengar adalah seseorang yang biasanya dengan alat bantu dengar dengan sisa pendengaran cukup dan memungkinkan keberhasilan proses informasi melalui pendengaran. Menurut Kuntono dan Tirtawati, (2014:7) tunarungu adalah mereka yang mengalami gangguan perkembangan yang menyangkut kemampuan komunikasi, interaksi sosial dan aktifitas simbolik. 8
9 Berdasarkan beberapa pendapat mengenai pengertian ATR di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian tunarungu ialah individu dengan kelainan pendengaran, yang biasanya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu, deaf/tuli dan hard of hearing/kurang dengar. Individu dengan kehilangan seluruh kemampuan dengarnya (tuli/deaf) atau masih memiliki sisa pendengaran (kurang dengar/hard of hearing) mengalami kesulitan dalam pemerolehan informasi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Individu kurang dengar/hard of hearing tidak menutup kemungkinan akan
mengoptimalkan
kemampuan
sisa
pendengarannya
baik
itu
menggunakan atau tanpa alat bantu dengar/hearing aid. Sedangkan individu tuli/deaf akan lebih mengoptimalkan kemampuan penglihatan/daya visual (mata) untuk memperoleh informasi dalam kehidupan sehari-hari. b. Klasifikasi Tunarungu Untuk tujuan pendidikan khususnya pada siswa tunarungu, dikelompokkan/diklasifikasikan
berdasarkan
pada
kemampuan
mendengarnya. Individu tuli yaitu seseorang yang kehilangan kemampuan mendengarnya dan menghambat proses informasi baik menggunakan ataupun tidak menggunakan alat bantu dengar. Sedangkan individu kurang dengar adalah seseorang yang biasanya dengan alat bantu dengar dengan sisa pendengaran cukup dan memungkinkan keberhasilan proses informasi melalui pendengaran. Adapun Sardjono dalam Birowati, (2009: 20-21) mengklasifikasikan ketunarunguan secara etiologis, secara anatomis fisiologis, menurut terjadinya ketunarunguan, dan berdasarkan taraf ketunarunguan atas dasar ukuran audiometer. Penjelasan klasifikasi pada siswa tunarungu dapat dirincikan sebagai berikut: 1) Klasifikasi secara etiologis a) Tunarungu endogen/turunan/bawaan b) Tunarungu eksogen atau disebabkan penyakit/kecelakaan
10 2) Secara anatomis fisiologis a) Tunarungu hantaran (konduktif) b) Tunarungu perceptif (syaraf) c) Tunarungu campuran 3) Klasifikasi menurut terjadinya ketunarunguan a) Tunarungu yang terjadi pada waktu dalam kandungan (pnenatal) b) Tunarungu yang terjadi pada saat kelahiran atau neonatal c) Tunarungu yang terjadi pada saat setelah kelahiran atau postnatal 4) Klasifikasi menurut taraf ketunarunguan atas dasar ukuran audiometer a) Taraf ringan antara 5-25 dB b) Tunarungu taraf sedang antara 26-50 dB c) Tunarungu taraf berat antara 51-75 dB d) Tunarungu tarf sangat berat > 75 dB Menurut Kirk dalam Haenudin, (2013:57-58) klasifikasi tunarungu adalah sebagai berikut: 1) 0 dB: menunjukkan pendengaran yang optimal 2) 0-26 dB: menunjukkan seseorang yang masih mempunyai pendengaran normal 3) 27-40 dB: kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk strategis dan memerlukan terapi bicara (tunarungu ringan) 4) 41-45 dB: mengerti percakapan tapi tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan hearing aid dan terapi bicara (tunarungu sedang) 5) 46-70 dB: hanya mampu mendengar suara jarak dekat (tunarungu agak berat)
11 6) 71-90 dB: kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan khusus yang intensif, pemakaian hearing aid dan terapi bicara secara khusus (tunarungu berat) 7) 91 dB ke atas: mungkin sadar akan bunyi, suara atau getaran tetapi bergantung pada penglihatan untuk menerima informasi (tunarungu sangat berat/tuli). Menurut Tim Pengembang Ilmu Pendidikan dalam buku berjudul Ilmu
Aplikasi
dan
Pendidikan,
(2007:20-21)
mengklasifikasikan
ketunarunguan yaitu sebagai berikut: 1) 0-26 dB masih mempunyai pendengaran normal 2) 27-40 dB mempunyai kesulitan mendengar tingkat ringan 3) 41-55 dB mempunyai kesulitan mendengar tingkat menengah, masih mengerti bahasa percakapan 4) 56-70
dB
termasuk
tingkat
menengah
berat.
Individu
membutuhkan bantuan alat bantu pendengaran 5) 71-90 dB termasuk tingkat berat. Individu yang bersangkutan termasuk orang yang mengalami ketulian, hanya mampu mendengar suara keras dari jarak dekat 6) 91-dan seterusnya termasuk individu yang mengalami ketulian sangat berat dan tidak dapat mendengar suara. Menurut
Kirk
&
Gallagher
dalam
Hernawati,
(2007:2)
ketunarunguan dapat terjadi pada masa pra bahasa dan pasca bahasa. Ketunarunguan pra bahasa (prelingual deafness), merupakan kehilangan pendengaran yang terjadi pada saat sebelum kemampuan bicara dan bahasa berkembang, sedangkan ketunarunguan pasca bahasa (post lingual deafness), merupakan kehilangan pendengaran yang terjadi pada saat setelah berkembangnya kemampuan bicara dan bahasa secara spontan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik garis besar bahwa klasifikasi tunarungu didasarkan atas klasifikasi secara etiologis, anatomis fisiologis, terjadinya ketunarunguan, dan derajat ketunarunguan berdasarkan ukuran audiometer. Sedangkan klasifikasi berdasar derajat
12 ketunarunguan atas ukuran audiometer dapat dibagi lagi menjadi tunarungu ringan, sedang, berat dan sangat berat. Kembali pada tujuan awal, bahwa adanya pengklasifikasian siswa tunarungu tidak lepas dari tujuan terlaksananya pendidikan khusus untuk siswa tunarungu sesuai dengan klasifikasinya agar pendidikan berjalan dengan baik dan hasil yang diinginkan tercapai secara optimal. c. Karakteristik Anak Tunarungu Anak tunarungu apabila dilihat sekilas dengan anak mendengar memang tidak memiliki perbedaan yang signifikan, akan tetapi pada saat berkomunikasi baru akan terlihat kekhasan atau karakteristik yang ada dalam individu tunarungu. Menurut Haenudin, (2013:66-67) karakteristik tunarungu dapat dilihat dari segi intelegensi, bahasa dan bicara, serta emosi dan sosial. 1) Segi intelegensi Dalam aspek intelegensi, siswa tunarungu sama dengan siswa mendengar yaitu tinggi, rata-rata, dan rendah. Pada umumnya IQ siswa tunarungu normal, tetapi dalam prestasi seringkali mereka lebih rendah apabila dibandingkan dengan siswa mendengar. Hal ini bukan dikarenakan mereka memiliki intelegensi yang rendah, akan tetapi dikarenakan mereka kesulitan mencerna dan memahami pelajaran yang diverbalkan. Sehingga sesuatu yang bersifat verbalisme seperti merumuskan pengertian, penarikan kesimpulan dan sesuatu yang bersifat lisan lainnya akan terhambat dan tidak berkembang secara optimal, sulit dimengerti oleh siswa tunarungu, karena mereka mengoptimalkan kemampuan visualnya. Berbeda dengan sesuatu yang bersifat motorik atau pembelajaran yang menggunakan kemampuan visual lebih banyak daripada verbal, kemungkinan dalam aspek tersebut mereka tidak memiliki hambatan atau bahkan berkembang lebih optimal. 2) Bahasa dan bicara
13 Dalam segi bahasa dan bicara siswa tunarungu mengalami hambatan. Hal ini jelas diketahui karena adanya kaitan yang sangat erat antara bahasa dan bicara dengan kemampuan/ketajaman pendengaran. Siswa tunarungu yang mengalami hambatan dalam pendengarannya, yang terjadi di lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat maka mereka akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, dan kesulitan memahami materi yang disampaikan padanya dikarenakan mereka sulit mencerna suatu kosakata secara verbal. Oleh karena itu siswa tunarungu memerlukan penanganan khusus baik itu dari pihak sekolah maupun lingkungan
sekitarnya
untuk
meningkatkan
kemampuan
berkomunikasinya, salah satunya dengan jalan awal mengenalkan berbagai kosakata. 3) Emosi dan Sosial Akibat dari ketunarunguan akan menjadikan mereka asing dengan lingkungannya. Dampak perasaan keterasingan pada siswa tunarungu tersebut akan menimbulkan beberapa efek negatif seperti: 1) Mempunyai Sifat Egosentris yang Lebih Besar Daripada Siswa Mendengar Munculnya sifat egosentris ini disebabkan karena siswa tunarungu berinteraksi dengan orang lain yang lebih sedikit daripada siswa mendengar. Ketunarunguan yang mereka alami mengakibatkan
mereka
melihat
dunia
sekitar
dengan
penglihatan mereka dan mempelajari lingkungan mereka dengan menggunakan kemampuan visualnya, maka akan menimbulkan keingintahuan yang besar, dan mereka ingin mengetahui lebih lagi, sehingga hal itu membesarkan sifat egosentrisnya. 2) Memiliki Sifat Impulsif Sifat impulsif yang muncul dalam diri siswa tunarungu dikarenakan ketidakpercayaan mereka terhadap orang lain terutama orang mendengar. Ketidakpercayaan siswa tunarungu
14 tersebut
bersumber
karena
kurang
mampunya
mereka
mengkomunikasikan sesuatu permasalahan sehingga muncul lah sifat tersebut. 3) Sifat Kaku/Rigidity Siswa tunarungu yang cenderung memiliki sifat kaku biasanya dikarenakan terbatasnya pemahaman mereka akan bahasa atau pengetahuan.
Sehingga
mereka
kurang
fleksibel
dalam
menghadapi permasalahan. 4) Sifat lekas Marah dan Mudah Tersinggung Sifat lekas marah dan mudah tersinggung pada siswa tunarungu yakni akan muncul ketika mereka sering merasa orang lain membicarakan mereka. Akibat dari keterbatasan mereka tentang bahasa dan kosakata mereka tidak dapat mengetahui hal secara detail tentang percakapan orang lain yang bersifat verbalisme sehingga mereka mengungkapkannya dengan sifat tersebut. 5) Perasaan Ragu-Ragu dan Khawatir yang Terjadi Secara TerusMenerus Akibat dari keterbatasan mereka akan bahasa sehingga menjadikan siswa tunarungu sulit berkomunikasi. Hal inilah yang mendasari mereka mempunyai
keragu-raguan dan
kekhawatiran yang berlebih dalam berkomunikasi misalnya. Mereka khawatir pihak yang akan diajak berkomunikasi tidak paham dan tidak mengerti maksud yang akan mereka sampaikan. Garis besar dari beberapa pendapat di atas yaitu, siswa tunarungu memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang khas pada segi intelegensinya, segi bahasa dan bicaranya yang terhambat karena kemampuan bahasa bicara sangat erat kaitannya dengan ketajaman kemampuan mendengar, dan karakteristik dari segi emosi dan sosial antara lain mempunyai ego yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak mendengar, bersifat kaku, dan memiliki sifat mudah tersinggung.
15 d. Kebutuhan anak Tunarungu Menurut
Salim,
(1984:16-17)
siswa
tunarungu
mempunyai
kebutuhan-kebutuhan utama antara lain sebagai berikut: 1) Kebutuhan akan keteraturan yang bersifat biologis seperti kebutuhan makan, minum, tidur, bermain dan sebagainya 2) Kebutuhan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam keluarga. 3) Kebutuhan akan keberhasilan dalam suatu kegiatan baik secara individual maupun secara kolektif. 4) Kebutuhan akan aktivitas, yaitu kebutuhan ikut terlibat dalam kegiatan keluarga maupun dalam lingkungan yang lebih luas lagi. 5) Kebutuhan akan kebebasan, yakni ia membutuhkan kebebasan untuk berbuat, berinisiatif, bebas untuk bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri. 6) Kebutuhan akan kesehatan, yakni merupakan kebutuhan wajar anak yang sedang tumbuh. 7) Kebutuhan untuk berekspresi, yaitu kebutuhan untuk mengemukakan pendapat yang dapat dipahami oleh orang lain. Sehingga ia membutuhkan bimbingan komunikasi untuk dapat mengemukakan pikiran, pendapat, perasaan kepada orang lain. Sedangkan menurut Yusuf, (2009:6), mengelompokkan kebutuhan yang lebih spesifik lagi yaitu tentang kebutuhan pembelajaran siswa tunarungu. Secara umum anak tunarungu tidak berbeda dengan anak pada umumnya. Tetapi mereka membutuhkan pembelajaran yang lebih khusus, yaitu: 1) Tidak mengajak siswa berbicara dengan cara membelakanginya 2) Siswa hendaknya didudukkan paling depan, sehingga mempunyai peluang lebih mudah untuk membaca bibir guru 3) Guru berbicara dengan volume biasa tetapi dengan gerakan bibir yang pelan dan harus jelas. Berdasarkan pada beberapa pendapat di atas, dapat dimbil garis besar bahwa, siswa tunarungu memiliki kebutuhan yang hampir sama
16 dengan siswa mendengar lainnya seperti kebutuhan yang bersifat biologis, kebutuhan akan keluarga, kebutuhan akan keberhasilan individu maupun kolektif, kebutuhan akan aktivitas dan kebutuhan akan kebebasan. Perbedaan kebutuhan pada siswa tunarungu yaitu terletak pada kebutuhan dimana ia berkomunikasi dengan orang lain, mereka membutuhkan bimbingan bagaimana cara berbahasa, berbicara/berkomunikasi dengan orang lain dengan baik. Baik itu mereka memutuskan untuk menggunakan komunikasi secara oral, isyarat maupun komunikasi total. Perbedaan yang lainnya terletak pada kebutuhan dalam bidang pendidikan, seperti penempatan tempat duduk anak tunarungu dalam pembelajaran di kelas, siswa tunarungu membutuhkan tempat duduk di barisan depan agar ia dengan jelas dapat membaca gerak bibir guru, melihat gestur dan mimik guru ketika menjelaskan pelajaran. Begitu juga guru maupun siswa lain pun harus mengetahui kebutuhan siswa tunarungu dengan cara apabila mengajak mereka berbicara tetap dengan saling berhadapan, tidak membelakanginya ataupun berbicara disampingnya. Dalam penyampaian pembelajaran, guru tidak perlu mengeraskan suara terlalu keras. Hanya saja memperjelas gerakan bibir, gestur tubuh, mimik muka serta lebih bagus lagi apabila disertai dengan bantuan isyarat tangan sehingga siswa tunarungu mampu memahami dengan jelas pembelajaran yang sedang disampaikan oleh guru dan tujuan pembelajaran pun akan tercapai. 2. Kajian Tentang Kosakata a. Pengertian Kosakata Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), kosakata ialah perbendaharaan kata. Adapun menurut Dahidi & Sudjianto, (2009: 97) kosakata merupakan keseluruhan kata yang berkenaan dengan suatu bahasa atau bidang tertentu di dalamnya. Chaer, (2007 :6-8) mengatakan bahwa pengertian kosakata adalah semua kata yang terdapat dalam suatu bahasa yang dikuasai oleh seseorang atau sekelompok orang dari lingkungan yang sama. Kosakata juga
17 merupakan kata-kata atau istilah yang digunakan dalam satu bidang atau ilmu pengetahuan, yang disusun secara alfabeti beserta dengan sejumlah penjelasan maknanya. Dapat dikatakan kosakata merupakan kata-kata yang berupa morfem bebas dan terikat maupun bentuk kata berimbuhan,berulang, maupun bentuk majemuk. Menurut Widia, (2012: 130-131) Kosakata atau perbendaharaan kata adalah kata-kata yang segera akan kita ketahui artinya bila mendengarnya kembali, walaupun jarang atau tidak pernah didengarkan lagi dalam percakapan atau tulisan kita sendiri. Penguasaan kosakata penting dikuasai oleh semua orang, karena sebagai alat untuk berkomunikasi dalam menyatakan pikiran, perasaan, pengetahuan, dan pengalaman yang diperoleh. Tarigan mengatakan bahwa kemampuan berbahasa seseorang dipengaruhi oleh penguasaan kosakata yang dimilikinya, karena semakin kaya seseorang akan kosakata maka akan semakin terampil orang tersebut dalam berbahasa, dikarenakan kualitas keterampilan dan kuantitas kosakata yang dimilikinya (Filina, 2013: 312), dan tidak kurang pentingnya, penguasaan kosakata digunakan menanggapi pertanyaan, menjawab pertanyaan dari gagasan orang lain (Keraf dalam Widia, 2012: 131). Berdasarkan dari beberapa pendapat diatas dapat diketahui bahwa kosakata ataupun perbendaharaan kata adalah segala kata-kata dalam suatu bahasa dan semua kata-kata pada suatu materi atau pembahasan tertentu dan merupakan hal yang berperan sangat penting dalam hal berbahasa, baik itu kata-kata yang digunakan untuk mengekspresikan pendapat, pikiran maupun perasaan terlebih untuk berkomunikasi dengan orang lain. Karena orang akan menilai kemampuan seseorang dalam berbicara apabila pemilihan, kualitas dan kuantitas kosakatanya baik dan benar. Pada siswa tunarungu dengan terhambatnya kemampuan ketajaman mendengar mereka, maka terhambat pula dalam pemerolehan kosakatanya.
18 b. Hakekat Peningkatan Kosakata Berbasis pelajaran IPA pada Siswa Tunarungu Pendapat Beck,McKeown & Kucan dalam Massaro,D.W & Light, Joanna (2004:2) mengatakan bahwa: “There are important reasons to justify the need for direct teaching of vocabulary. Although there is little emphasis on the acquisition of vocabulary in typical school curricula, research demonstrates that some direct teaching of vocabulary is essential for appropriate language development in normally-developing children”. Pernyataan di atas mengandung maksud bahwa ada alasan penting untuk membenarkan kebutuhan pengajaran langsung kosakata. Walaupun ada sedikit penekanan pada pemerolehan kosakata di kurikulum sekolah khusus, penelitian menunjukkan bahwa beberapa pengajaran langsung kosakata sangat penting untuk perkembangan bahasa yang tepat pada pertumbuhan anak-anak secara normal. Kebutuhan pengajaran kosakata pada siswa reguler sangat penting seperti pendapat yang telah disampaikan di atas, yaitu untuk meningkatkan perkembangan bahasa mereka. Hal ini menunjukkan bahwa pengajaran kosakata
untuk
siswa
tunarungu
sangat
dibutuhkan,
dikarenakan
kemampuan penguasaan kosakata mereka yang kurang, yang disebabkan ketunarunguan yang mereka alami sehingga mengakibatkan kurangnya informasi yang mereka dapatkan dari orang-orang dan lingkungan sekitarnya. Sehingga menghasillkan kemampuan berkomunikasi yang kurang pula. Pada saat pembelajaran di kelas, apabila siswa diberikan pertanyaan oleh guru, ia terbata-bata, takut salah bicara, atau karena siswa belum memiliki kosakata yang memadai dalam semua pelajaran khususnya berdasarkan fakta lapangan mereka memiliki kosakata berbasis pelajaran IPA yang rendah. Hal ini juga dapat disebabkan oleh pembelajaran yang kurang variatif oleh guru. Untuk meningkatkan kosakata siswa tunarungu berbasis pelajaran IPA, tidak dapat terlepas dari pemilihan kosakata apa saja yang sesuai dengan pengetahuan siswa yang telah mereka dapat/miliki. Peneliti akan meningkatkan kosakata siswa tunarungu berbasis pelajaran IPA dengan
19 materi energi untuk kelas III SDLB dikarenakan pada pembelajaran sebelumnya anak telah mengenal alam sekitar. Pemilihan kosakata berbasis IPA berkaitan dengan materi energi yaitu berkenaan dengan pengaruh energi dalam kehidupan sehari-hari, sumber energi dan cara menghemat energi (Suyitno & Salam, 2010:85-90). Hal ini selaras dengan pendapat Dhieni dalam Filina, (2013:313) yang mengatakan
bahwa
memperkaya
kosakata
yang
diperlukan
untuk
berkomunikasi sehari-hari meliputi kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan waktu, adapun lingkup kosakata yang dapat diucapkan siswa menyangkut warna, ukuran, bentuk rasa, kecantikan, kecepatan, suhu, perbedaan, perbandingan jarak, permukaan. Menurut bukunya berjudul Literacy Instruction for Students Who Are Deaf and Hard of Hearing, Easterbrooks & Alvarez menyebutkan beberapa cara dalam meningkatan kosakata untuk siswa tunarungu, beberapa diantaranya adalah: (1) relate to prior knowledge, (2) use visual organizer, (3) using semantic equivalents to teach multiple and figurative word meanings, (4) use word wall... (2013:104-108). Literatur di atas mengandung maksud yaitu dalam meningkatkan kosakata siswa tunarungu cara pertama adalah berhubungan dengan pengetahuan mereka atau dimulai dengan kosakata yang berhubungan dengan apa yang telah mereka pahami sebelumnya. Penjelasan kedua yakni menggunakan pendukung bersifat visual. Kegiatan mengenalkan kosakata pada siswa deaf sebaiknya bersifat interaktif dan mendukung mengoptimalkan kemampuan visual mereka, karena penyajian visual akan membantu mereka mengingat hubungan antar kosakata yang disajikan. Cara yang ketiga adalah dengan menggunakan kosakata mudah yang serupa untuk mengajarkan kosakata kiasan atau kosakata yang mengandung makna ganda.
Cara yang keempat yakni
menggunakan media word wall dalam mengenalkan kosakata kepada siswa deaf. Kosakata dalam word wall yang dicetak menarik dan dengan rutin mereka melihat kosakata dalam word wall yang dipajang dalam kelas
20 merupakan beberapa cara agar meningkatkan kosakata pada siswa tunarungu. Berdasarkan literatur di atas dapat diambil garis besar bahwa meningkatkan kosakata berbasis pelajaran IPA pada siswa tunarungu dapat menggunakan media yang bersifat visual, pengenalan kosakata baru harus berdasarkan dengan kemampuan siswa sebelumnya, menggunakan kosakata yang mudah untuk dimengerti dan salah satu caranya yakni dengan menggunakan word wall. Materi yang akan di ajarkan kepada siswa tunarungu kelas III SDLB pada penelitian ini, yang akan dilakukan peningkatan dan pengenalan kosakata baru berbasis pelajaran IPA menggunakan materi energi dengan pemilihan kosakata yang sesuai dengan siswa tunarungu kelas III SDLB B dengan menggunakan media visual berupa media word wall tepat agar penguasaan kosakata yang mereka miliki meningkat, sehingga pemahaman terhadap materi juga tercapai. 3. Kajian Tentang Media Word Wall a. Definisi Media Media berasal dari kata Latin yang secara harfiah bermakna perantara atau pengantar (Arsyad, 2014: 3). Ia juga mengatakan bahwa pengertian media dalam pembelajaran merupakan bantuan berbagai alat pembelajaran yang dapat membantu menyampaikan pesan dan informasi seperti alat-alat grafis dan elektronik sehingga mampu menyampaikan informasi bersifat visual dan verbal. Adapun menurut Anitah, (2009:5) menjelaskan bahwa media merupakan segala bentuk bahan, alat, atau peristiwa yang dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan pebelajar untuk menerima pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Berdasarkan kedua pendapat di atas, definisi media dapat diartikan yaitu suatu alat yang digunakan dalam pembelajaran bersifat grafik atau elektronik yang dapat menyampaikan informasi ataupun pengetahuan baik itu berupa verbal maupun visual. Berdasarkan bentuknya media dapat dibagi menjadi media visual yang dapat diproyeksikan dan media visual yang tidak dapat diproyeksikan. Definisi dari media yang tidak dapat diproyeksikan
21 adalah media yang sederhana, dan tidak membutuhkan proyektor dan layar untuk memproyeksikan gambar (Anitah, 2009: 7). Media yang akan digunakan untuk meningkatkan kosakata berbaasis pelajaran IPA pada penelitian ini adalah media word wall, dimana media word wall merupakan termsuk di dalamnya media yang tidak dapat diproyeksikan. b. Definisi Media Word Wall Pengertian word wall menurut Cronsberry dalam Kasim (2012:6) yaitu: “A word wall is a group of words that are displayed on a wall, buletin board, check board or white board in a classroom. The words are printed in a large font so that they are easy visible from all student setting area. These words are referred to continually throughout a unit or term by teacher and students during a variety activities”. Pernyataaan di atas bermaksud, dinding kata/word wall adalah kelompok kosakata yang dipasang pada dinding, papan buletin, papan periksa atau papan tulis di dalam kelas. Kosakata tersebut dicetak besar sehingga mereka dapat melihat dengan mudah dari mana saja tempat duduknya. Kata-kata ini dipilih bisa dari guru maupun siswa yang dipakai selama kegiatan berlangsung. Pengertian media word wall menurut Green dalam Kasim (2012:7) mengatakan bahwa: “Word wall is an organized collection of large print words on the classroom wall. A word wall helps to create a print rich environment for students, and can be a wonderful tool that is designed to promote group learning”. Pernyataan diatas mengandung arti, dinding kata atau word wall adalah sekumpulan koleksi kata-kata bercetak besar yang berada di dinding ruang kelas. Media word wall membantu untuk menciptakan kekayaan pengetahuan untuk siswa, dan dapat menjadi alat ajar yang mengesankan sebagai desain kelompok belajar. Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas dapat diambil garis besar bahwa media word wall yaitu suatu media sekumpulan kosakata yang terorganisir dengan baik sesuai dengan topik atau materi tertentu yang terletak pada dinding ruang kelas ataupun papan tulis kelas, dicetak dengan ukuran huruf yang cukup besar agar siswa dapat melihat media dari manapun tempat duduk mereka, dan menggunakan pilihan kata yang
22 digunakan pada saat kegiatan/aktivitas pembelajaran dilakukan, sehingga siswa
mudah
mengingat
kosakata
tersebut
dan
berdampak
pada
bertambahnya tingkat pemahaman tentang materi yang berada dalam word wall. c. Media word wall untuk siswa tunarungu Pengenalan kosakata baru pada siswa tunarungu, akan terasa sulit apabila hanya bersifat abstrak saja. Berdasarkan hambatan yang mereka alami pada pendengarannya, maka mereka memiliki keterbatasan dalam penerimaan informasi, sehingga secara verbalisme mereka kurang mampu menangkap berbagai macam kosakata yang orang lain katakan. Berdasarkan hal tersebut peneliti menggunakan media word wall untuk meningkatkan kosakata berbasis IPA siswa tunarungu kelas III SDLB SLB B YRTRW Surakarta. Huebner & Bush dalam Jasmine, et al., (2009:302) mengatakan bahwa: “The main purpose of a word wall is to help students build sight word recognition so they can recognize them at a glance”. Maksud dari pernyataan di atas adalah, tujuan utama dari dinding kata/word wall adalah untuk
membantu
siswa membangun pengenalan kata berdasarkan
penglihatan sehingga mereka dapat mengenali mereka secara sekilas. Callella, (2001:3) berpendapat bahwa: “In addition, word walls are also a visual that help students remember connections between words”. Pernyataan di atas mengandung arti bahwa, selain itu, word wall juga merupakan visual yang membantu siswa mengingat hubungan antara kata-kata. Berdasarkan kedua pendapat di atas, word wall merupakan media yang dapat memudahkan siswa mengenal kosakata baru dengan cara melihat dan membacanya dan mengingat hubungan antar kosakata sehingga dapat meningkatkan kosakata mereka. Apabila kosakata yang mereka dapatkan bertambah, maka memudahkan siswa memahami materi yang disampaikan dalam word wall tersebut. Dalam bukunya yang berjudul making Your Word Wall More Interactive, Callella (2001:6) mengatakan bahwa dalam pengajaran
23 sebaiknya
menggunakan
aktivitas
word
wall
yang
didalamnya
mengikutsertakan siswa seluruh kelas (whole class), grup kecil (small group) dan perorangan (independent). Adapun Jerry dalam Kasim, (2012:7) dalam pengajaran peningkatan kosakata dengan menggunakan media word wall, sebaiknya berdasarkan pada aktivitas belajar yang menarik dan tidak membosankan, antara lain sebagai berikut: 1) Membuat kata-kata dapat dengan mudah dilihat oleh siswa-siswa dari sudut manapun. kosakata yang akan digunakan dicetak besar dan menggunakan warna/background warna yang menarik. 2) Guru selektif memilih kosakata yang akan dipasang. Memilih kosakata yang biasanya umum dan dipergunakan pada percakapan sehari-hari atau berdasarkan pada materi yang diajarkan. Kosakata harus ditingkatkan setidaknya 5 kata per minggu. 3) Menggunakan kosakata tersebut untuk hal-hal semacam game, tebak kata atau yang lain. 4) Membuat para siswa mempraktekkannya dengan membaca dan mengeja secara otomatis dan membuat agar kosakata tersebut selalu diucapkan dengan ejaan dan tulisan yang benar. Berdasarkan dengan kedua pendapat di atas penggunaan media word wall untuk meningkatkan kosakata khususnya dalam penelitian ini kosakata berbasis pelajaran IPA merupakan hal yang menarik dan inovatif. Dikatakan menarik dan inovatif karena kegiatan pembelajaran menggunakan media word wall dapat berupa pembentukan kelompok kecil, kegiatan individu maupun kelompok besar/kelas dengan diadakannya berbagai macam game yang membangkitkan semangat dan ketertarikan siswa dengan materi yang diajarkan. Dugan (2004: 49) berpendapat bahwa: “a word wall is a bulletin board display of vocabulary words grouped together in a way that makes sense to students and it allows students to see key science words daily and use the visual support to deepen their understanding of new words.”
24 Arti dari pendapat di atas yakni, dalam bukunya yang berjudul Strategies for Building Academic Vocabulary in Science, Dugan mengatakan bahwa, word wall merupakan papan informasi yang berisi sekumpulan kosakata yang dapat dimengerti dan dipahami siswa-siswa untuk melihat kata-kata kunci sains/kata-kata sains yang penting setiap harinya dan untuk mendukung mengoptimalkan kemampuan visual siswa dalam memperdalam pemahaman mereka akan kata-kata baru. Adapun Cohen dan Cowen, (2008:134) mengatakan bahwa word walls are a wonderful and fun way to teach new words to children. Maksud pendapat Cohen dan Cowen dalam bukunya yang berjudul Literacy for Children in an Information Age adalah media word wall merupakan cara yang sangat bagus dan menyenangkan untuk mengajarkan kata-kata baru pada anak-anak. Ia juga mengatakan bahwa “The major point about word walls is that they become an integral part of the literacy classroom and are used each day to teach and reinforce word study”. Yang mengandung arti bahwa poin penting tentang penggunaan word wall adalah apabila word wall menjadi bagian dari sumber pembelajaran di kelas dan digunakan setiap hari untuk mengajar dan menguatkan kata-kata pada saat pembelajaran berlangsung. Berdasarkan hasil penelitian Rijali (2014) mengatakan bahwa penggunaan media word wall secara efektif dapat meningkatkan kosakata dalam bahasa Arab (mufrodat) pada subyek penelititannya yaitu siswa SMA kelas X. Dengan hasil penelititan relevan yang lain yaitu yang dilakukan oleh Kasim (2012), bahwa dengan menggunakan media word wall ia membuktikan dapat dengan efektif meningkatkan kosakata dalam bahasa Inggris terutama dalam penelitiannya kosakata noun dan verb atau kata benda dan kata kerja pada subyek penelitiannya siswa SMP kelas VIII. Selain kedua hasil penelitian di atas, terdapat pula hasil penelitian Jasmine, Joanne & Schiesl, Pamela (2009) yang menjelaskan bahwa penggunaan media word wall dapat meningkatkan kemampuan baca siswa kelas I sekolah dasar.
25 Berdasarkan beberapa penelitian tersebut di atas dipilihlah media word wall karena media ini bersifat visual, menarik dan tidak hanya sekedar memperlihatkan susunan kosakata yang dipajang di dinding kelas. Tetapi aktivitas ketika menggunakan media word wall juga mempengaruhi pentingnya penggunaan media word wall ini. Media word wall didesain dan disajikan sebagai alat pembelajaran yang bagus untuk siswa. Keikutsertaan dan keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran dengan media word wall akan sangat penting. Media ini merupakan salah satu cara yang akan memberikan hasil berupa peningkatan kosakata siswa karena membantu mereka menghafal dan cepat mengenal kosakata baru berbasis pelajaran IPA khususnya materi energi yang akan diajarkan untuk subyek dalam penelitian ini yaitu siswa tunarungu kelas III SDLB SLB B YRTRW Surakarta tahun ajaran 2015/2016. d. Strategi Pembelajaran Meningkatkan Kosakata Berbasis Pelajaran IPA dengan Menggunakan Media Word Wall Dalam Literatur berjudul Science and Literacy in the Elementary Classroom, menurut Elliott, (2010: 3) mengatakan bahwa Word Wall secara umum menyebarkan dan menyimpan kosakata-kosakata baru. Siswa-siswa dapat didorong untuk menggunakan word wall sebagai sumber untuk memperoleh berbagai ide dan dapat menggunakannya untuk mengecek ejaan kosakata mereka. Pendapat di atas merupakan salah satu literatur yang mengatakan
kebergunaan
media
word
wall
sebagai
media
guna
meningkatkan kosakata berbasis IPA. Mendukung literatur di atas, literatur lain yang berjudul Strategic for building Academic Vocabulary in Science, yang di dalamnya terdapat pendapat dari Dugan (2004:50-51) yang menyebutkan strategi pembelajaran meningkatkan kosakata berbasis pelajaran IPA menggunakan media word wall dengan langkah-langkah sebagai berikut: a) Memutuskan kosakata-kosakata IPA yang akan digunakan. Dalam hal ini dapat berdasarkan materi atau bab yang akan diajarkan. Dalam langkah awal ini juga sebaiknya menggunakan kosakata-kosakata baru yang
26 berkaitan dengan apa yang telah mereka pelajari sebelumnya atau yang sedang mereka pelajari. b) Menuliskan setiap kosakata pada papan. Mengenalkan setiap kosakata yang akan digunakan dalam word wall. Dalam hal ini dapat dibantu dengan cara pengucapan oral secara jelas atau bantuan isyarat tangan dan gestur. c) Tuliskan kosakata pada selembar ketas/kartu. Media alas word wall dapat menggunakan papan tulis, papan buletin, maupun papan kertas tebal. Tulis dengan rapi dan cukup besar untuk memastikan siswa dapat melihat kosakata dari manapun mereka duduk. d) Meminta keikutsertaan siswa dalam pembuatan word wall dan pemasangannya. Memberikan siswa kesempatan sebanyak mungkin untuk ikut berkontribusi dalam berkreasi membuat word wall. Cara ini membuat mereka merasa bahwa media word wall adalah milik mereka sehingga menambah ketertarikan pada media itu sendiri. e) Word wall sebaiknya dapat ditambah dan diubah-ubah tergantung pada tema atau materi yang dibahas. f) Mengarahkan siswa siswa untuk menggunakan word wall sebagai media pembantu dalam memahami kosakata baru. Hal ini juga membantu siswa dalam kemampuan menulisnya. g) Pada akhir materi, tanyakan pada siswa bagaimana display word wall yang telah dibuat dan apakah membantu dalam mempelajari dan mengingat kosakata baru.
B. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah berawal dari terdapatnya permasalahan yang terjadi pada siswa tunarungu. Salah satu permasalahan yang terjadi adalah terbatas dan miskinnya kosakata siswa tunarungu. Hal tersebut dikarenakan akibat dari kekurangdengaran atau ketunarunguan pada mereka, sehingga menghambat informasi khususnya kosakata yang mereka punya baik itu terjadi di lingkungan rumah, sekolah maupun masyarakat. Dalam penelitian ini
27 peneliti fokus pada permasalahan keterbatasan kosakata siswa tunarungu yang berkaitan dengan pelajaran IPA, khususnya terhadap materi energi. Intelegensi pada siswa tunarungu pada umumnya sama dengan siswa mendengar yakni tinggi, rata-rata, dan rendah. Mereka yang memiliki prestasi rendah bukan karena intelegensinya yang rendah hal ini dikarenakan mereka tidak bisa mengerti apa yang diajarkan guru di sekolah apabila bersifat verbalisme. Tetapi berdasarkan fakta lapangan pengenalan kosakata dalam penyampaian materi untuk mereka kebanyakan masih bersifat verbalisme dan kurang fariatif. Sehingga siswa tunarungu bosan akan apa yang diajarkan dan cenderung tidak memperhatikan gerak bibir yang diucapkan guru di kelas. Akibatnya mereka tertinggal memahami materi yang disampaikan. Dikarenakan siswa tunarungu tidak memperhatikan pengajaran guru yang hanya bersifat verbalisme, dan tertinggal memahami materi maka akan mengakibatkan prestasi yang mereka peroleh cenderung rendah. Berdasarkan dari permasalahan yang terjadi, peneliti menggunakan media word wall untuk meningkatkan kosakata berbasis pelajaran IPA pada siswa tunarungu kelas III SDLB SLB B YRTRW Surakarta tahun ajaran 2015/2016. Peneliti memilih media word wall dikarenakan media pembelajaran kosakata yang bersifat visual akan lebih efektif untuk siswa tunarungu khususnya dalam penelitian ini menggunakan media word wall. Selain dapat meningkatkan kemampuan visual siswa tunarungu, aktivitas dalam pembelajaran dengan menggunakan media word wall juga beragam, sehingga dapat meningkatkan kemampuan taktil mereka serta membangkitkan keaktifan siswa untuk memperhatikan materi yang sedang dijelaskan. Sehingga dengan digunakannya media word wall diharapkan mampu meningkatkan kosakata berbasis pelajaran IPA khususnya materi energi. Secara singkat dapat dilihat pada bagan kerangka berpikir sebagai berikut:
28 Hambatan pada siswa tunarungu salah satunya miskin dan terbatasnya kosakata mereka khususnya kosakata berbasis pelajaran IPA
Pengajaran dan pengenalan kosakata siswa tunarungu di sekolah bersifat verbalisme dan kurang fariatif
Penerapan media word wall dalam pembelajaran guna meningkatkan kosakata berbasis pelajaran IPA
Meningkatnya kosakata berbasis pelajaran IPA pada siswa tunarungu Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
C.
Hipotesis
Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka pemikiran di atas maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut: “Penggunaan media word wall efektif untuk meningkatkan kosakata berbasis pelajaran IPA pada siswa tunarungu kelas III SDLB SLB B YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016”.