BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka
1. Beton Normal Beton (concrete) adalah campuran semen portland atau semen hidrolis lainnya, agregat halus, agregat kasar, dan air, dengan atau tanpa bahan campuran tambahan (admixture) (SNI 2847:2013, Persyaratan Beton Struktural untuk Bangunan Gedung). Beton adalah suatu campuran yang terdiri dari pasir, kerikil, batu pecah atau agregat-agregat lain yaitu agregat kasar maupun agregat halus yang dicampur menjadi satu dengan suatu pasta yang terbuat dari semen dan air membentuk suatu massa mirip batuan (Murdock & Brook, 1999). Beton normal adalah beton yang mempunyai berat isi 2200–2500 kg/m3 menggunakan agregat alam yang dipecah (SNI 03-2834-2000, Tata cara pembuatan rencana campuran beton normal). Beton normal memiliki berat jenis 2300–2400 kg/m3, nilai kekuatan, dan daya tahan (durability) beton terdiri dari beberapa faktor, diantaranya adalah nilai banding campuran dan mutu bahan susun, metode pelaksanaan pengecoran, pelaksanaan finishing, temperatur, dan kondisi perawatan pengerasannya. Beberapa hal itu dapat menghasilkan beton yang memberikan kelecakan (workability) dan konsistensi dalam pengerjaan beton, ketahanan terhadap korosi lingkungan khusus (kedap air, korosif, dll) dan dapat memenuhi uji kuat tekan yang direncanakan (Dipohusodo, 1994). Menurut Mulyono, (2003) dalam Febriyatno (2009:3), secara umum kelebihan dan kekurangan beton yaitu: a. Dapat dengan mudah dibentuk sesuai dengan kebutuhan konstruksi. b. Mampu memikul beban yang berat. c. Tahan terhadap temperatur tinggi. d. Biaya pemeliharaan yang murah. e. Bentuk yang dibuat sulit untuk diubah.
7
8
f. Pelaksanaan pekerjaan membutuhkan ketelitian yang tinggi. g. Berat. h. Daya pantul suara yang besar. Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa, beton normal adalah suatu campuran dari semen, air, agregat halus, agregat kasar, dengan atau tanpa bahan campuran tambahan
yang mempunyai berat isi antara
2200–2500 kg/m3. 2. Beton Ringan Beton ringan adalah beton yang memiliki berat jenis (density) lebih ringan dari pada beton pada umumnya. Beton ringan dapat dibuat dengan berbagai cara, antara lain dengan menggunakan agregat ringan (fly ash, batu apung, kulit kerang, dll), campuran antara semen, silika, pozolan, atau semen dengan cairan kimia penghasil gelembung udara. Agregat yang digunakan untuk memproduksi beton ringan merupakan agregat ringan juga. Terminolog ASTM C.125 mendefinisikan bahwa agregat ringan adalah agregat yang digunakan untuk menghasilkan beton ringan, meliputi batu apung, scoria, vulkanik cinder, tuff, expanded, atau hasil pembakaran lempung, shale, slte, shele, perlit, atau slag atau hasil batubara dan hasil residu pembakarannya (Mulyono, 2005). Tidak seperti beton biasa, berat beton ringan dapat diatur sesuai kebutuhan. Pada umumnya berat beton ringan berkisar antara 800 kg/m³ sampai dengan 2000 kg/m³. Karena itu keunggulan beton ringan utamanya ada pada berat, sehingga apabila digunakan pada proyek bangunan tinggi (high rise building) akan dapat secara signifikan mengurangi berat sendiri bangunan, yang selanjutnya berdampak kepada perhitungan pondasi (Simbolon , 2009). Teknologi bahan bangunan berkembang terus, salah satunya beton ringan aerasi (Aerated Lightweight Concrete) atau sering disebut juga (Auto Aerated Concrete). Keuntungan dari beton ringan antara lain memiliki nilai tahanan panas (thermal insulator) yang baik, memiliki tahanan suara (peredam) yang baik, tahan api (fire resistant). Sedangkan kelemahan beton ringan adalah nilai kuat tekannya (compressive strength) lebih kecil dibanding dengan beton normal sehingga tidak dianjurkan penggunaannya untuk struktural (Sumarno, 2010).
9
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, beton ringan adalah beton yang memiliki berat jenis lebih kecil dibanding dengan beton normal yaitu antara 800 kg/m³- 2000 kg/m³. Beton ringan (lightweight concrete), ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengurangi berat jenis beton atau membuat beton lebih ringan antara lain sebagai berikut (Tjokrodimuljo, 1996): a. Dengan membuat gelembung-gelembung gas/udara dalam adukan semen sehingga terjadi banyak pori – pori udara di dalam betonnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menambah bubuk alumunium kedalam campuran adukan beton b. Dengan menggunakan agregat ringan, misalnya tanah liat bakar, batu apung atau agregat buatan sehingga beton yang dihasilkan akan lebih ringan dari pada beton biasa. c. Dengan cara membuat beton tanpa menggunakan butir–butir agregat halus atau pasir yang disebut beton non pasir. Berdasarkan cara memproduksinya, menurut (Simbolon, 2009) ada beberapa cara untuk memproduksi beton ringan tetapi semuanya hanya bergantung pada rongga udara dalam agregat atau pembuatan rongga udara dalam beton. Berikut adalah beberapa cara pembuatan beton ringan: a. Beton ringan dengan batuan berongga atau agregat ringan yang digunakan sebagai pengganti agregat kasar. Berdasarkan tingkat kepadatan dan kekuatan beton yang dihasilkan dan berdasarkan jenis agregat ringan yang dipakai, beton ringan dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu: 1) Beton insulasi (insulating concrete) Beton ringan dengan massa jenis berkisar 300–800 kg/m3 berkekuatan tekan berkisar 0,6–6,89 Mpa. 2) Beton ringan dengan kekuatan sedang (Moderate Strength Concrete) Beton ringan dengan massa jenis berkisar 800–1440 kg/m3 dengan kuat tekan berkisar 6,89–17,24 Mpa. 3) Beton Struktural (Struktural Concrete) Beton ringan dengan massa jenis berkisar 1440–1850 kg/m3 dengan kuat tekan berkisar 17,24 Mpa pada saat umur beton mencapai 28 hari. b. Beton ringan tanpa pasir (No fines concrete) Beton ini tidak menggunakan pasir sehingga mempunyai jumlah pori-pori yang banyak. Beton ini mempunyai massa jenis berkisar 880–1200 kg/m3 dengan kuat tekan berkisar 7–14 Mpa yang dipengaruhi oleh berat isi dan kadar semen.
10
c. Beton ringan yang diperoleh dengan memasukkan udara ke dalam beton atau mortar (beton aerasi) atau Aerated Lightweight Concrete (ALC). Beton ini mempunyai massa jenis berkisar 200–1440 kg/m3 dan biasanya digunakan untuk keperluan insulasi. Dengan menambahkan foaming agent maka volume adukan beton akan mengembang secara otomatis sehingga lebih ekonomis. Menurut Tjokrodimuljo (1996) secara umum pembagian penggunaan beton ringan dapat dibagi tiga yaitu: a. Untuk non struktur dengan nilai massa jenis antara 240–800 kg/m3 dan kuat tekan dengan nilai 0,35–7 MPa digunakan untuk dinding pemisah atau dinding isolasi. b. Untuk struktur ringan dengan nilai massa jenis antara 800–1400 kg/m3 dan kuat tekan dengan nilai 7–17 MPa digunakan untuk dinding memikul beban. c. Untuk struktur dengan nilai massa jenis antara 1400–1800 kg/m3 dan kuat tekan >17 MPa digunakan sebagai beton normal. Berikut ini adalah jenis-jenis beton ringan berdasarkan kuat tekan, berat jenis, dan jenis agregat ringan penyusun menurut SK SNI 03-3449-2002 seperti pada Tabel 2.1. Tabel 2. 1 Jenis Agregat Ringan yang Dipilih Berdasarkan Tujuan Konstruksi Berdasarkan Tujuan Bangunan
Beton Ringan Kuat Tekan Berat jenis (MPa) (kg/m3)
Jenis Agregat Ringan
− Struktural: • Minimum • Maksimum
17,24 41,36
1400 1850
− Struktural Ringan: • Minimum • Maksimum
6,89 17,24
800 1400
- Agregat yang dibuat melalui proses pemanasan dari batu serpih, batu lempung, batu sabak, terak besi atau terak abu terbang - Agregat ringan alam: skoria atau batu apung.
800
- Perlit atau vemikulit
− Struktural Sangat Ringan Sebagai Isolasi: Maksimum (Sumber: SK SNI 03-3449-200:7)
Dalam penelitian ini, peneliti membuat beton ringan dengan membentuk rongga udara dalam beton atau mortar (beton aerasi) atau Aerated
11
Lightweight Concrete (ALC) dengan penambahan busa (foam) untuk tujuan struktural ringan menurut SK SNI 03-3449-2002. a. Beton Ringan Foam Beton foam adalah campuran antara semen, air, agregat dengan bahan tambah (admixture) tertentu yaitu dengan mencampur gelembunggelembung dalam bentuk busa dalam adukan semen sehingga terjadi banyak pori-pori udara di dalam betonnya (Husin dan Setiaji, 2008 dalam Gunawan, Prayitno & Majid, 2013:257). Beton foam (busa) merupakan jenis beton ringan yang paling mudah diproduksi. Beton busa dapat diproduksi dengan berat volume yang berkisar dari 400-1800 kg/m3. Abdullah, (2007) dalam Kurnia, Abdullah, & Ridha (2014:87) menyatakan salah satu cara menghasilkan beton busa adalah
dengan
membuat
gelembung-gelembung
gas/udara
dalam
campuran mortar sehingga menghasilkan material yang berstruktur sel-sel, yang mengandung rongga udara dengan ukuran antara 0,1-1,0. Menurut Just (2011) beton ringan foam yang dibuat dengan pembentukan gelembung udara dalam pasta semen, diklasifikasikan dalam 3 macam beton ringan: Pertama beton aerasi autoklaf adalah mortar terbuat dari pasta semen, pasir, dan atau kapur, kemudian ditambahkan agen busa, dan bubuk aluminium. Adonan tersebut dimasukkan dalam cetakan, setelah cukup keras (±12 jam), dikeluarkan dan kemudian dimasukkan dalam ruang perawatan beruap jenuh (VDZ, 2002, Homann, 2008, dalam Armin J.,2011). Kedua, beton ringan menggunakan bahan kimia bubuk aluminium, yaitu beton ringan yang dibuat menggunakan agen busa dan bubuk aluminium dicampurkan dalam adukan semen, pasir halus, dan atau kapur sebagaimana jenis beton ringan pertama. Perbedaannya adalah setelah produk cukup keras, dan dikeluarkan dari cetakan dilakukan perawatan produk diruangan dengan suhu kamar. Beton ringan foam yang ketiga, terbagi dalam 2 macam beton ringan, yang pertama adalah beton ringan busa mecanical foaming, agen busa ditambahkan ke adukan semen. Gelembung- gelembung udara secara mekanik dihasilkan dari mixer berkecepatan tinggi. Busa yang relatif tidak stabil berkembang secara tidak teratur menghasilkan gelembung
12
udara dalam adukan beton (Readymix, 1978, dalam Armin J., 2011). Sedangkan jenis beton ringan yang kedua yaitu busa physical foaming. Busa dibuat dari agen foam dan air dengan generator foam, menghasilka pre-foam yang stabil kemudian dimasukkan dalam adukan semen dan bahan tambah. Adukan beton ringan seperti ini, menghasilkan mortar berpori lebih stabil (Readymix, 1978 dalam Just, 2011). BETON RINGAN (LIGHTWEIGHT CONCRETE)
NO-FINES CONCRETE
AERATED/FOAMED CONCRETE
LIGHTWEIGHT AGGREGATE CONCRETE
AUTOCLAVED AERATED CONCRETE
FOAMED CONCRETE
CHEMICALLY EXPANDED, AIR CURED
MECHANICALLY FOAMED
CHEMICALLY EXPANDED AUTOCLAVED CURED
PHYSICALLY FOAMED
FOAMED CONCRETE
CHEMICALLY EXPANDED AIR CURED
(Sumber: Just, 2011) Gambar 2.1 Macam Beton Ringan Beton ringan foam yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah beton ringan pada poin ketiga, yaitu beton ringan dengan busa physical foaming yang dibuat tersendiri melalui foam generator. Foam agent dicampur dengan air, dimasukkan dalam foam generator. Setelah menjadi foam yang kemudian dimasukkan ke dalam adukan semen dan agregat dalam mixer. Beton ringan foam yang dibuat dalam penelitian ini dengan berat jenis berkisar antara 800-1400 kg/m3.
13
b. Beton Ringan Foam dengan Bahan Tambah Fly Ash Beton ringan foam adalah beton ringan yang dibuat dengan menggunakan semen, agregat halus yang berupa pasir, dan foam yang dibuat dengan peralatan foam generator. Tujuan dari penambahan fly ash adalah mengurangi volume pori atau rongga di dalam beton yang disebabkan karena penambahan foam kedalam beton yang mengakibatkan tingginya nilai porositas beton. Selain itu, fly ash dapat menggantikan hingga 67% dari semen yang secara signifikan dapat meningkatkan mutu kuat tekan beton (Md Azree O, 2011 dalam Susanto, 2012). c. Bahan Penyusun Beton Ringan Foam dengan Bahan Tambah Fly Ash Material/bahan dasar penyusun beton terdiri dari semen, agregat, air, dan bahan tambah jika diperlukan. Perbandingan tersebut mengacu pada standar American Concrete Institute (ACI), atau Road Note No.4 yang diperbarui dengan The British Mix Design Method atau yang lebih dikenal dengan Department Of Environment (DOE), atau campuran coba-coba (Tjokrodimuljo, 1996 dalam Afaza, 2014). Untuk menghitung rencana adukan beton, peneliti mengacu pada standar Road Note No.4 dengan persamaan berikut ini (Krhisna Raju, 1983:29 dalam Anshory, 2015). W .C Nc.C Nf .C C + + + 0,01.v = 1m 3 ……………………… (1) + ρc.ρw ρfa.ρw ρca.ρw ρw
dengan: C = berat semen per m3 beton ρc = berat jenis semen ρfa = berat jenis pasir ρca = berat jenis kerikil v = persentase kandungan udara, diasumsikan 1% ρw = berat volume air (ton/m3) Nf = perbandingan berat untuk pasir Nc = perbandingan berat untuk kerikil W = faktor air semen 1
14
Kajian mengenai material dasar pembentuk beton ringan foam dengan bahan tambah fly ash akan disajikan sebagai berikut: 1) Semen Portland Semen Portland adalah semen hidrolis yang dihasilkan dengan cara menggiling terak semen portland terutama yang terdiri atas kalsium silikat yang bersifat hidrolis dan digiling bersama-sama dengan bahan tambahan berupa satu atau lebih bentuk kristal senyawa kalsium sulfat dan boleh ditambah dengan bahan tambahan lain (SNI 15-2049-2004). Fungsi semen ialah untuk bereaksi dengan air menjadi pasta semen. Pasta semen berfungsi untuk merekatkan butir-butir agregat agar terjadi suatu massa yang kompak/padat (Tjokrodimuljo, 2004). Secara umum kandungan semen terdiri dari kapur, silica, dan alumina. Setelah melalui beberapa proses, maka dihasilkan material yang sangat halus dan memiliki sifat yang adhesif dan kohesif. Salah satu jenis semen yang biasa digunakan dalam pembuatan beton ialah semen portland. Semen portland merupakan semen hidraulis yang dihasilkan dengan cara menggiling halus clincer yang terutama terdiri dari silikat-silikat kalsium yang bersifat hidraulis dan gips sebagai bahan pembantu (SK-SNI-S-04-1989-F). Unsur-unsur pembentuk semen dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2. 2 Susunan Unsur Semen Portland Oksida Kapur (CaO) Silika (SiO2) Alumina (Al2O3) Besi (Fe2O3) Magnesium (MgO) Sulfur (SO3) Soda/potash (Na2O+K2O) (Sumber: Tjokrodimuljo, 2004: II-2)
Persen (%) 60–65 17–25 3–8 0,5–6 0,5–4 1–2 0,5–1
15
Menurut Tjokrodimuljo (2004: II-8), sesuai dengan tujuan pemakainnya, semen portland di Indonesia (Spesifikasi Bahan Bangunan Bagian A, Bahan Bangunan Bukan Logam , SK-SNI-S-041989-F) dibagi 5 jenis, seperti yang tercantum pada Tabel 2.3. Tabel 2. 3 Jenis-jenis Semen Portland Jenis Semen
Karakteristik Umum
Jenis I
Semen Portland untuk penggunaan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus.
Jenis II
Semen Portland yang penggunaannya memerlukan ketahanan terhadap sulfat dan panas hidrasi sedang.
Jenis III
Semen Portland yang penggunaannya memerlukan persyaratan kekuatan awal yang tinggi setelah pengikatan.
Jenis IV
Semen Portland yang penggunaannya menuntut panas hidrasi rendah.
Jenis V
Semen Portland yang penggunaannya menuntut persyaratan sangat tahan terhadap sulfat.
(Sumber: Tjokrodimuljo, 2004: II-8) Pada penelitian ini, semen portland yang digunakan adalah semen portland komposit (PCC). Semen portland yang digunakan berbutir halus, kehalusan butir semen dapat diraba/dirasakan dengan tangan. Semen yang tercampur atau menggumpal (meskipun kecil), tidak baik untuk pembuatan beton. Semen portland komposit (PCC) menurut SNI 15-7064-2004 adalah bahan pengikat hidrolis hasil penggilingan bersama-sama terak semen portland dan gips dengan satu atau lebih bahan anorganik, atau hasil pencampuran antara bubuk semen portland dengan bubuk bahan anorganik lain. Bahan anorganik tersebut antara lain terak tanur tinggi (blast furnace slag), pozolan, senyawa silikat, batu kapur, dengan kadar total bahan anorganik 6% - 35 % dari massa semen portland komposit.
16
2) Pasir Agregat adalah material granular, misalnya pasir, kerikil, batu pecah dan kerak tungku pijar, yang dipakai bersama-sama dengan suatu media pengikat untuk membentuk suatu beton atau adukan semen hidraulik (SNI 03-2847-2002:4). Kekuatan hancur dan ketahanan terhadap benturan merupakan sifat yang paling penting dari suatu agregat, hal ini dapat mempengaruhi ikatannya dengan pasta semen, porositas, dan karakteristik penyerapan air yang mempengaruhi daya tahan terhadap proses pembekuan pada musim dingin, dan ketahanan terhadap penyusutan (Romadhoni, 2014). Persyaratan mutu agregat halus menurut (Tjokrodimuljo, 1996): a) Butir-butirnya tajam dan keras, dengan indeks kekerasan <2,2. b) Kekal, tidak pecah atau hancur oleh pengaruh cuaca (terik matahari dan hujan). Jika di uji dengan garam Natrium Sulfat bagian yang hancur maksimum 12%, jika dengan Magnesium Sulfat maksimum 18%. c) Tidak mengandung lumpur (butiran halus yang lewat ayakan 0,06 mm) lebih dari 5%. d) Tidak mengandung zat organis terlalu banyak, yang dibuktikan dengan percobaan warna dengan larutan 3% NaOH, yaitu warna cairan di atas endapan agregat halus tidak boleh lebih gelap daripada warna standar/pembanding. e) Modulus halus butir antara 1,50-3,80 dan dengan variasi butir sesuai standar gradasi. f) Khusus untuk beton dengan tingkat keawetan tinggi, agregat halus harus tidak reaktif terhadap alkali. g) Agregat halus dari laut/pantai, boleh dipakai asalkan dengan petunjuk dari lembaga pemeriksaan bahan-bahan yang diakui. Agregat halus yang digunakan dalam campuran adukan beton harus memenuhi persyaratan gradasi agregat halus yang telah ditentukan. Karena hal ini sangat menentukan dalam kemudahan pekerjaan (workability), kekuatan (strength), dan tingkat keawetan (durability) dari beton yang dihasilkan. Persyaratan gradasi agregat halus dapat dilihat dalam Tabel 2.4.
17
Tabel 2. 4 Persyaratan Gradasi Agregat Halus ASTM C 33-74a Ukuran saringan Persentase lolos (%) (mm) 9,5 100 4,75 95–100 2,36 80–100 1,18 55–85 0,60 25–60 0,3 10–30 0,15 2–10 (Sumber: Murdock & Brook, 1979) dalam Afaza, 2014) 3) Air Air merupakan salah satu materi yang sangat penting dalam pembuatan beton. Air diperlukan untuk bereaksi dengan semen sehingga menjadi pasta semen. Kadar air pada pasta semen bila dicampur dengan agregat dapat dihasilkan suatu adukan dengan kelecakan yang baik. Menurut SK SNI S 04-1989-F, pemakaian air untuk beton sebaiknya air yang memenuhi syarat sebagai berikut: a) Air harus bersih, tidak mengandung lumpur, minyak dan benda terapung lainnya yang dapat dilihat secara visual. b) Tidak mengandung benda-benda tersuspensi lebih dari 2 gram/liter. c) Tidak mengandung garam-garaman yang dapat merusak beton lebih dari 15 gram/liter dan tidak mengandung senyawa sulfat lebih dari 1 gram/liter. d) Kandungan khlorida (Cl), tidak lebih dari 500 p.p.m (0,5 gram/liter) dan senyawa sulfat tidak lebih dari 1000 p.p.m sebagai SO3 Tabel 2. 5 Batasan Kotoran yang Diizinkan Jenis Kotoran Organik Inorganik Sulfat Klorida Alkali a. Beton normal b. Beton bertulang (Sumber: Gambhir, 1986)
Persentase yang diizinkan terhadap berat air 0,02 0,30 0,05 0,20 0,10
18
Air yang mengandung garam tidak baik bila digunakan dalam campuran beton. Tingginya kandungan garam di dalam air dapat mengurangi kekutan beton terutama bila digunakan sebagai bahan dalam pembuatan beton bertulang. Hal ini dikarenakan garam dapat mempercepat terjadinya proses korosi pada tulangan baja (Gambhir, 1986). Besarnya persentase berkurangnya kuat tekan beton disajikan pada Tabel 2.6. Tabel 2. 6 Pengaruh Garam Terlarut Terhadap Kuat Tekan Beton Persentase garam
Jenis garam
0,5 1,0 5,0
SO4 SO4 NaCl CO2
Persentase reduksi kekuatan beton 4 10 30 20
(Sumber: Gambhir, 1986) Dalam penelitian ini air yang digunakan untuk pengadukan dan perawatan beton adalah air dari sumber yang sama. Air yang digunakan tidak dilakukan pengujian terhadap kandungan zat kimia. Kualitas air hanya dilihat secara visual yaitu air tidak mengandung endapan atau menimbulkan noda yang merusak warna permukaan hingga tidak sedap dipandang. 4) Foaming Agent Foaming agent adalah suatu larutan pekat dari bahan surfaktan, dimana apabila hendak digunakan harus dilarutkan dengan air yang merupakan larutan koloid. Surfaktan adalah zat yang cenderung terkonsentrasi pada antar muka dan mengaktifkan antar muka tersebut. Dengan menggunakan foam generator maka dapat dihasilkan pre foam awal yang stabil dalam kondisi basa, oleh karena itu cocok untuk digunakan pada produksi mortar yang mengandung busa (Husin dan Setiaji, 2008 dalam Malau, 2014). Menurut Neville and Brooks, (1993) yang dikutip oleh Mardiyanto (2013), penambahan foam agent ke dalam campuran adukan beton akan menghasilkan material yang memiliki rongga udara dengan ukuran antara 0,1 mm sampai dengan 1 mm yang
19
tersebar merata pada beton sehingga menjadikan sifat beton sangat baik untuk menyerap air dan lebih kedap terhadap air. Busa yang terbentuk berupa balon-balon udara yang tidak saling berhubungan dan terdistribusi merata di dalam beton. Campuran beton busa terdiri dari semen, air dan foam. Porositas yang terjadi di dalam beton busa sebenarnya tidak membentuk jaringan kapiler, tetapi berupa balon-balon udara yang tidak saling berhubungan (Swamy,1984 dalam Kurnia, 2014:87). Cara membuat gelembung-gelembung gas/udara dalam skala besar adalah dengan memasukkan foam agent yang dicampur dengan air ke dalam foam generator, kemudian memberikan tekanan angin dengan air compressor kedalam tabung maka akan terbentuk busa-busa foam. Timbul reaksi kimia yang melepas sejumlah gas, dan setelah adukan beton ini mengeras maka terbentuk struktur berpori serta beton menjadi ringan (Scheffler dan Colombo, 2005). Menurut ASTM C 796 – 87a, Table 1, Foaming Agents for Usse in Producing Cellular Concrete Using Preformed Foam, banyaknya foaming agent yang digunakan dalam suatu percobaan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Vfa = Dimana:
156,62
(62,4−𝑊𝑊𝑊𝑊𝑊𝑊)
x
71,0
(1000−𝑊𝑊𝑊𝑊𝑊𝑊)
Wuf adalah massa jenis foaming agent (kg/m3). Wuf biasanya berkisar antara 32 sampai 64 kg/m3.
Vfa adalah volume foaming agent yang diperlukan (m3). Biasanya Vair:Vfa berkisar 40:1. Pada penelitian ini,
foam agent yang digunakan berasal dari
Jerman. Foam agent dilarutkan pada air dengan perbandingan 1:40 untuk kemudian dimasukkan ke dalam foam generator sehingga dihasilkan gelembung-gelembung gas/udara.
20
5) Fly Ash Berdasarkan PP No. 85 tahun 1999 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), fly ash dan bottom ash dikategorikan sebagai limbah B3 karena terdapat kandungan oksida logam berat yang akan mengalami pelindihan secara alami dan mencemari lingkungan. Menurut Susanti (2011:64), abu terbang atau fly ash adalah hasil sampingan dari pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap. Dapat digunakan sebagai bahan campuran untuk semen karena kandungan mineralnya hampir sama dengan semen. Fly ash juga dapat digunakan sebagai pengganti semen. Fly ash (abu terbang) adalah bagian dari sisa pembakaran batu bara pada boiler pembangkit listrik tenaga uap dan industri yang berbentuk partikel halus dan bersifat pozzoland, berarti abu terbang tersebut dapat bereaksi dengan kapur pada suhu kamar (24°C-27°C) dengan adanya media air membentuk senyawa yang sifatnya mengikat (Tjokrodimulyo, 1996) dalam Suarnita dan Rupang, 2009). Abu terbang atau fly ash merupakan abu sisa pembakaran batubara yang berbutir halus dan mempunyai sifat pozzolanik. Abu terbang tidak memiliki kemampuan mengikat seperti semen tapi dengan adanya air dan partikel ukuran halus, oksida silica yang terkandung di dalamnya akan bereaksi secara kimia dengan kalsium hidroksida yang terbentuk dari proses hidrasi semen dan menghasilkan zat yang memiliki kemampuan mengikat (Krisbiyantoro, 2005 dalam Nugroho, 2010:24). Abu terbang batubara terdiri dari butiran halus yang umumnya berbentu bola padat atau berongga. Ukuran partikel abu terbang hasil pembakaran batubara bituminous lebih kecil dari 0,075 mm. Kerapatan abu terbang berkisar antara 2100 sampai 3000 kg/m3 dan luas area spesifiknya (diukur berdasarkan metode permeabilitas udara Blaine) antara 170 sampai 1000 m2/kg, sedangkan ukuran partikel rata-rata abu terbang batubara jenis sub-bituminous 0,01mm–0,015mm luas permukaannya 1-2 m2/g, massa jenis (specific gravity) 2,2–2,4 dan bentuk partikel mostly spherical , yaitu sebagian besar berbentuk seperti bola, sehingga menghasilkan kelecakan (workability) yang lebih baik (Nugraha dan Antoni, 2007)
21
Berdasarkan kutiapn di atas dapat disimpulkan bahwa fly ash (abu terbang) adalah hasil dari pembakaran batubara yang berbentuk partikel halus dan bersifat pozzoland yang merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Apabila digunakan bahan tambahan berupa abu terbang, maka bahan tersebut harus sesuai dengan standar spesifikasi yang ditentukan dalam SNI 03-2460-1991. Abu terbang merupakan residu halus yang dihasilkan dari sisa proses pembakaran batubara (Susanti, 2011:43). Sedangkan menurut SNI 03-6863-2002 dalam Andoyo (2006) spesifikasi fly ash (abu terbang) sebagai bahan tambah untuk campuran beton disebutkan ada 3 jenis abu terbang, yaitu: a) Abu terbang jenis N ialah abu terbang hasil kalsinasi dari pozolan alam, misalnya tanah diatomite, shole, tuft dan batu apung. b) Abu terbang jenis F, ialah abu terbang yang dihasilkan dari pembakaran batubara jenis antrasit pada suhu kurang lebih 1560o. c) Abu terbang jenis C, ialah abu terbang hasil pembakaran ligmit/batubara dengan kadar karbon sekitar 60%. Abu terbang jenis ini mempunyai sifat seperti semen dengan kadar kapur lebih dari 10%. Menurut Nugroho (2010:25-26), sifat-sifat fisika abu terbang atau fly ash meliputi bentuk partikel, kehalusan dan berat jenisnya dalah sebagai berikut: a) Bentuk partikel Ukuran dan bentuk partikel abu terbang tergantung pada asal lokasi pengambilan dan keseragaman batubaranya, derajat kehancuran pada saat dibakar, temperatur dan suplai oksigen pada saat pembakaran, keseragaman sistem pembakaran, pengumpulan dan pemisahan abu terbang pada saat pembakaran, dan saringannya. Abu terbang berbentuk bulat seperti bola kecil yang amorf, dan bergerombol yang saling terkait. b) Kehalusan Ukuran abu terbang adalah antara 1𝜇𝜇m hingga 1mm. Semakin baik peralatan yang digunakan untuk penyaringan dan penangkapan (electrostatic precipitator) abu terbang, semakin baik dan halus pula abu terbang yang dihasilkan.
22
c) Berat Jenis Berat jenis abu terbang umumnya berkisar antara 1,97 hingga 3,02. Besar kecilnya berat jenis dipengaruhi oleh lokasi asal batubara. Fly ash mampu menyerap air lebih banyak dibandingkan Portland Cement, dikarenakan fly ash memiliki struktur amorf lebih tinggi dari semen yang banyak didominasi oleh struktur Kristal (Rommel, Kurniawati, dan Pradibta, 2014: 115). Pada penelitian ini, fly ash yang digunakan adalah fly ash tipe F dengan kadar karbon (C) berkisar antara 5% -10%. Fly ash tipe F mengandung
CaO
lebih
kecil
dari
10%
yang
dihasilkan
dari pembakaran anthracite atau bitumen batubara (bituminous). Fly ash tipe F disebut juga low-calcium fly ash, yang tidak mempunyai sifat cementitious dan hanya pozzoland. Sedangkan fly ash tipe C mempunyai sifat cementitious selain juga memiliki sifat pozzoland.
Gambar 2.2 Batubara Bituminous
Gambar 2.3 Fly Ash Tipe F
Gambar 2.4 Batubara Lignite
Gambar 2.5 Fly Ash Tipe C
(Sumber: http://lauwtjunnji.weebly.com/fly-ash--overview.html)
24
6) Bahan Tambah / Zat Additive Bahan tambah adalah bahan berbentuk serbuk ataupun cairan yang ditambahkan ke dalam mortar beton untuk tujuan tertentu, seperti untuk mempermudah pelaksanaan, kekuatan, perawatan dan lain sebagainya. Bahan tambah yang berupa bahan kimia ditambahkan dalam campuran beton dalam jumlah tidak lebih dari 5% berat semen selama proses pengadukan atau selama pelaksanaan pengadukan tambahan dalam pengecoran beton. Bahan tambah yang digunakan harus sesuai dengan standar spesifikasi yang ditentukan dalam SNI 03-2495-1991 (Susanti, 2011:41-42). Bahan tambah dapat diklasifikasikan sesuai dengan penggunaannya sebagai berikut: a) Tipe A - bahan pengurang kadar air Tipe A berfungsi untuk mengurangi air dalam campuran, dan penggunaannya bertujuan untuk mengurangi faktor air semen (watercement rasio) dalam campuran sesuai dengan kelecakan (workability) yang diinginkan, atau untuk meningkatkan kelecakan pada angka faktor air semen yang telah ditetapkan. b) Tipe B - bahan untuk memperlambat waktu pengikatan Tipe B berfungsi untuk memperlambat waktu pengikatan pasta semen, sehingga akan memperlambat pengerasan dari beton. Bahan tambah jenis ini digunakan bilamana iklim di tempat pengecoran terlalu panas, dimana waktu pengikatan pasta semen dalam keadaan normal menjadi sangat pendek dikarenakan suhu yang tinggi. c) Tipe C - bahan untuk mempercepat waktu pengikatan Tipe C berfungsi untuk mempercepat waktu pengikatan pasta semen, yang akan mempercepat pengerasan dari beton sehingga mempercepat kekuatan beton, dan dapat digunakan dalam pabrik pembuatan beton pracetak (dimana perlu pelepasan acuan secepatnya), atau pekerjaan perbaikan yang sangat penting. d) Tipe D - campuran bahan pengurang kadar air dan bahan memperlambat waktu pengikatan Bahan tambah ini untuk menambah kelecakan, dimana beton mempunyai kekuatan tinggi dibuat dapat dilaksanakan tanpa mengurangi density, ketahanan dan kekuatannya. Perlambatan waktu pengikatan sangat berguna untuk waktu pengangkutan adukan beton yang lama ke tempat
25
pengecoran, pengecoran dalam kondisi yang sangat panas dan menghindari cold joint. e) Tipe E - campuran bahan pengurang kadar air dan bahan mempercepat waktu pengikatan. Bahan tambah ini untuk menambah kelecakan dan memberikan kekuatan awal yang tinggi, atau memberikan kekuatan awal yang lebih tinggi pada kelecakan yang sama. Bahan tambah ini digunakan pada precast karena memungkinkan pelepasan acuan lebih awal dan dipakai untuk pekerjaan perbaikan dimana kekuatan awal sangat diperlukan. f) Tipe F - bahan pengurang kadar air dengan tingkat angka tinggi atau superplasticizer. Tipe F atau Superplasticizer adalah bahan tambah yang mengurangi air dalam campuran dengan cukup banyak dan sangat berbeda dengan Tipe A, D atau E. Penggunaan bahan ini digunakan membuat beton alir (flow concrete) untuk menjangkau tempat yang tak terjangkau oleh pengetar dan beton pompa (pumping concrete) pada jenis struktur yang rumit. g) Tipe G - campuran bahan pengurang kadar air dengan tingkat angka tinggi atau superplasticizer dan bahan memperlambat waktu pengikatan. Bahan tambah ini merupakan campuran dari Tipe F dan Tipe B, tetapi slump loss-nya lebih kecil bila dibandingkan dengan beton yang menggunakan superplasticizer. Bahan tambah yang digunakan pada penelitian ini adalah bahan tambah dari Tipe C, yaitu untuk mempercepat proses pengeringan dan pengikatan. Selain itu juga untuk mempermudah pekerjaan pembuatan dan untuk mengurangi efek pengkristalan pada beton ringan. Bahan tambah yang digunakan mengandung water proofing dan plasticizer sebagai ketahanan terhadap air dan menambah kekuatan pada beton ringan. Zat additive ditambahkan dengan tujuan agar kuat tekan beton ringan foam dengan bahan tambah fly ash akan semakin tinggi dan daya serap air akan semakin rendah.
26
3. Pengujian Beton Ringan Foam a. Kuat Tekan Beton Ringan Foam Telah banyak diketahui bahwa beton mempunyai kekuatan yang sangat tinggi terhadap tekan. Dimana kuat tekan beton dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya
adalah mutu
dari
agregat,
semen,
perbandingan campuran yang digunakan pada beton, dan pelaksanaan pengecoran beton. Kekuatan tekan adalah kemampuan beton untuk menerima gaya tekan per satuan luas. Walaupun di dalam beton terdapat tegangan tarik yang kecil diasumsikan bahwa semua tegangan tekan didukung oleh beton tersebut (Mulyono, 2003:9 dalam Fatmawati, 2013:18). L.J. Murdock dan K.M. Brooks (199:148 dalam Narwanto, 2007) menguraikan beberapa faktor penting yang mempengaruhi kuat tekan beton, yaitu: 1) Jenis semen dan karakternya, mempengaruhi kekuatan rata-rata dan kuat batas tekan beton. 2) Jenis dan lekak-lekuk pada permukaan agregat. 3) Efisiensi dari perawatan, kehilangan kekuatan sampai 40% dapat terjadi bila pengeringan dilakukan sebelum waktunya. Perawatan adalah hal yang sangat penting pada pekerjaan lapangan dan pada pembuatan benda uji di laboratorium. 4) Suhu. Pada umumnya kecepatan pengecoran bertambah seiring dengan bertambahnya suhu. Pada titik beku, kuat hancur akan tetap rendah untuk waktu yang lama. Rumus kuat tekan: P = F/A …………………………………………………………………..(2) Dengan:
F = gaya maksimum mesin tekan, N A = luas penampang yang diberi tekanan, cm2 P = kuat tekan N/cm2
27
b. Daya Serap Air Beton Ringan Foam Besar kecilnya penyerapan air pada benda uji sangat dipengaruhi oleh pori-pori atau rongga. Semakin banyak pori-pori yang terkandung dalam benda uji maka akan semakin besar pula penyerapan airnya sehingga ketahanannya akan berkurang. Pengukuran daya serap air merupakan persentase perbandingan antara selisih massa basah dengan massa kering. Pengujian daya serap air ini bertujuan untuk menentukan besarnya persentase air yang terserap oleh benda uji yang direndam selama 24 jam (Septian, 2016). Daya serap air dirumuskan sebagai berikut: WA (%) =
mb −mk
Keterangan:
mk
x 100% …………………………………………...(3)
WA = daya serap air (%) mj = massa jenuh air (gram) mk = massa kering (gram)
Massa jenuh air (mj), benda uji direndam dalam air bersih selama 24 jam, kemudian diangkat dari air dan air sisanya dibiarkan menetes selama kurang lebih 1 menit, lalu benda uji dikeringkan permukaannya dengan menggunakan kain kering untuk menghilangkan kelebihan air yang masih tertinggal.
Timbang berat benda uji tersebut untuk mengetahui massa
basahnya. Massa kering (mk), setelah itu benda uji dikeringkan dalam oven pada suhu ± 105°C selama 24 jam. Lalu benda uji dikeluarkan dari oven dan didiamkan pada suhu kamar kemudian timbang massa keringnya. Selisih penimbangan massa basah dan massa kering adalah jumlah penyerapan air dan harus dihitung berdasarkan persen berat.
28
c. Berat Jenis Beton Ringan Foam Beton ringan dalam Gunawan, dkk (2013:154) menurut Tjokrodimuljo (1996) adalah beton yang mempunyai berat jenis kurang dari 1800 kg/m3, sedangkan pada beton biasa 2400 kg/m3. Menurut Neville (1975), beton diklasifikasikan sebagai beton ringan jika berat jenisnya kurang dari 2000 t/m3. Mac Gregor (1999), mendefinisikan beton ringan sebagai beton mempunyai berat jenis (densitas beton) antara 1400 kg/m3 sampai 1900 kg/m3. SNI (Standar Nasional Indonesia) menyatakan bahwa beton ringan adalah beton yang mengandung agregat ringan dan mempunyai berat satuan dengan kepadatan <1900 kg/m3. Pengujian berat jenis dilakukan untuk mengetahui kategori atau kelas dari beton yang telah dibuat. Berat jenis adalah perbandingan antara berat benda uji dibagi dengan volume. Untuk mengetahui berat jenis beton dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: ρ =
𝑚𝑚 𝑉𝑉
…………………………………………………………………...(4)
Dengan:
ρ
= berat jenis beton ringan foam (kg/m3)
m
= berat beton ringan foam (kg)
v
= volume beton ringan foam (m3)
29
B. Kerangka Berpikir Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan dan tujuan penelitian yang ingin dicapai serta didukung dengan kajian teori yang ada, maka dapat ditentukan variabel-variabel yang dipakai dalam penelitian ini. Variabel bebasnya adalah variasi penambahan fly ash
dan volume foam sedangkan variabel
terikatnya adalah kuat tekan, daya serap air, dan berat jenis beton ringan foam. Pengaruh antara variabel bebas dan variabel terikat dapat dilihat pada gambar 2.6. X1 Y1 X2
X1 Y2 X2
X1 Y3 X2
Gambar 2.6 Paradigma Penelitian Kuat Tekan, Daya Serap Air, dan Berat Jenis Beton Ringan Foam Keterangan: X1
: Variabel bebas (variasi penambahan fly ash)
X2
: Variabel bebas (variasi volume foam)
Y1
: Variabel terikat (kuat tekan)
Y2
: Variabel terikat (daya serap air)
Y3
: Variabel terikat (berat jenis)
30
1.
Penambahan fly ash dan volume foam terhadap kuat tekan beton ringan foam: a.
Fly ash memiliki sifat pozzoland, yaitu jika bereaksi dengan air membentuk
senyawa
yang
sifatnya
mengikat
sehingga
dapat
meningkatkan kuat tekan. b.
Penambahan fly ash dapat mengisi pori-pori beton ringan foam sehingga dapat meningkatkan kuat tekan.
c.
Penambahan foam menurukan kuat tekan beton ringan foam karena penambahan foam menimbulkan rongga-rongga dalam beton yang menghasilkan beton menjadi poros.
2.
Penambahan fly ash dan volume foam terhadap daya serap air beton ringan foam. a. Fly ash memiliki struktur amorf, sehingga penambahan fly ash dapat menurunkan daya serap air beton ringan foam. b. Penambahan foam menimbulkan rongga-rongga dalam beton yang menyebabkan tidak rapat sehingga beton menjadi banyak menyerap air dan meningkatkan daya serap air beton ringan foam.
3.
Penambahan fly ash dan volume foam terhadap berat jenis beton ringan foam: a. Penambahan fly ash sebagai bahan tambah agregat halus (pasir) pada campuran beton menambah berat total agregat halus sehingga meningkatkan berat jenis beton ringan foam. b. Penambahan foam pada adukan beton menempati sebagian volume beton sehingga berat jenis beton menjadi ringan.
4.
Persentase penambahan fly ash dan volume foam yang menghasilkan kuat tekan maksimal pada beton ringan foam. a. Kuat tekan
maksimal terdapat pada penambahan fly ash terbesar.
Semakin banyak fly ash yang ditambahkan akan meminimalisir ronggarongga dalam beton. b. Kuat tekan maksimal terdapat pada penambahan volume foam terkecil. Semakin sedikit volume foam yang ditambahkan akan meminimalisir rongga-rongga dalam beton.
31
5.
Persentase penambahan fly ash dan volume foam yang menghasilkan daya serap air minimal pada beton ringan foam. a. Daya serap air minimal terdapat pada penambahan fly ash terbesar. Semakin banyak fly ash yang ditambahkan akan meminimalisir ronggarongga dalam beton sehingga daya serap air akan semakin kecil. b. Daya serap air minimal terdapat pada penambahan volume foam terkecil. Semakin sedikit volume foam yang ditambahkan akan membuat beton semakin padat sehingga daya serap air akan semakin kecil.
C. Hipotesis Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka berfikir maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1.
Penambahan fly ash berpengaruh positif dan penambahan volume foam berpengaruh negatif terhadap kuat tekan beton ringan foam.
2.
Penambahan fly ash berpengaruh negatif dan penambahan volume foam berpengaruh positif terhadap terhadap daya serap air beton ringan foam.
3.
Penambahan fly ash berpengaruh positif dan penambahan volume foam berpengaruh negatif terhadap terhadap berat jenis beton ringan foam.
4. Ada persentase penambahan fly ash dan volume foam yang menghasilkan kuat tekan maksimal beton ringan foam. 5. Ada persentase penambahan fly ash dan volume foam yang menghasilkan daya serap air minimal beton ringan foam.