BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka 1. Anak Down Syndrome a. Pengertian Down
syndrome adalah suatu
kumpulan gejala akibat
dari
abnormalitas kromosom, down syndrome pertama kali ditemukan oleh Seguin pada tahun 1844, pada tahun 1866 dokter Down menindaklanjuti kelainan yang dikemukakan oleh Seguin. Pada tahun 1970 para ahli dari Amerika dan Eropa merevisi nama dari kelainan pada anak tersubut dengan menggunakan nama dari penemu kelainan tersebut yaitu Down, dan kelainan tersebut diberi nama down syndrome. Kondisi manusia yang diakibatkan oleh penyimpangan kromosom jenis trisomi 21 diberi istilah idiot mongoloid atau mongoloisme. Diberi nama demikian, karena kondisi individual dengan trisomi 21 dianggap memiliki ciri-ciri wajah yang menyerupai orang oriental. Namun sekarang kondisi yang demikian itu dinyatakan sebagai down syndrome (Gunarhadi, 2005:13). Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Kromosom merupakan serat-serat khusus yang terdapat didalam setiap sel didalam badan manusia dimana terdapat beberapa genetik yang menentukan sifatsifat seseorang. Selain itu down syndrom disebabkan oleh hasil daripada penyimpangan kromosom semasa konsepsi. Ciri utama daripada bentuk ini adalah dari segi struktur muka dan satu atau ketidak mampuan fisik dan juga waktu hidup yang singkat. Sebagai perbandingan, bayi normal dilahirkan dengan jumlah 46 kromosom (23 pasang) sedangkan bayi down syndrome dilahirkan hanya sepasang kromosom 21 (2 kromosom 21 dikarena bayi 9
10
dengan penyakit down syndrom terjadi disebabkan oleh kelebihan kromosom dimana 3 kromosom 21 menjadikan jumlah kesemua kromosom ialah 47 kromosom. Keadaan ini dapat terjadi terhadap laki-laki maupun perempuan. Anak dengan kondisi down syndrome mengalami keterbelakangan secara fisik dan mental, karena down syndrome merupakan salah satu dari penyebab retardasi mental. Keterbelakangan mental ini diakibatkan oleh adanya gangguan pada system syaraf pusat. salah satu cara membedakan apakah bayi itu termasuk dalam katagori normal atau down syndrome adalah ketika beranjak besar perlu pemeriksaan Intelegensi (IQ). IQ adalah gambaran kemampuan yang dimiliki seseorang. Qaharani (2010) Down syndrome atau mongolisme adalah bentuk keterlambatan mental, anak dengan sindroma down lebih lambat dari anak-anak lain dalam belajar menggunakan tubuh dan pikiran mereka. Juga terdapat tanda fisik atau cirri-ciri tertentu. (kombinasi dari berbagai tanda fisik yang disebut sindroma). Bayi down syndrome tidak berkembang secara normal semasa di dalam kandungan karena adanya kesalahan pada kromosom. Werner (2002, 344). Kromosom yang dimaksudkan yaitu materi di dalam sel tubuh yang nantinya menentukan menjadi apa dan bagaimana wajah calon bayi di dalam kandungan. Berdasarkan pengertian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa down syndrome adalah suatu keterbatasan fisik maupun mental yang terjadi karena penyimpangan kromosom semasa konsepsi, namun kelainan tersebut bukan karena keturunan. Kelainan down syndrome bisa menyebabkan penderitanya mengalami kelainan fisik seperti kelainan jantung bawaan, otot-otot melemah, dan retardasi mental akibat hambatan perkembangan kecerdasan dan psikomotor. b. Faktor Penyebab Penyebab genetik yang paling umum dari cacat intelektual, mempengaruhi individu dari semua latar belakang ras dan sosial ekonomi. Di seluruh dunia, ada lebih dari 1,8 juta orang yang hidup dengan down
11
syndrome. Prevalensi down syndrome bervariasi dari 1 dari 600-1 dari 1.000 kelahiran hidup tergantung pada faktor-faktor seperti usia ibu, penggunaan skrining prenatal dan diagnosis, dan sikap tentang penguguran kehamilan. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh ahli bahwa: Down syndrome (DS), the most common genetic cause of intellectual disabilities, affects individuals from all racial and socioeconomic backgrounds. Worldwide, there are more than 1.8 million individuals living with DS; the prevalence of DS varies from 1 out of 600 to 1 out of 1,000 live births depending on factors such as maternal age (which is a significant risk factor for DS), use of prenatal screening and diagnosis, and attitudes about pregnancy termination. (Fiddler & Daunhauer, 2013). Down syndrome adalah penyebab paling umum dari cacat intelektual yang dapat mudah diidentifikasi. Prevalensi diperkirakan satu di setiap 7001000 kelahiran. Potensi penurunan prevalensi setelah program skrining diperkenalkan di negara-negara maju diyakini telah sebagian diimbangi oleh faktor usia ibu. Down syndrome lebih mungkin untuk terjadi pada bayi dari ibu yang lebih tua. Seperti pendapat yang dikemukakan ahli bahwa: Down syndrome is the most common cause of intellectual disability (ID) that can be easily identified. The prevalence is estimated at one in every 700–1000 live births (Kittler, Krinsky-McHale & Devenny, 2008). Potential reductions in prevalence rates after screening programmes were introduced in developed countries are believed to have been largely offset by maternal age factors: Down syndrome is more likely to occur in the infants of older mothers, and the age at which women have children has risen in recent years.( Fiddler & Daunhauer, 2013) Tes amniocentesis yang diadakan di berbagai Negara menunjukan bahwa umur ibu di atas 35 tahun dianjurkan untuk tidak memiliki anak lagi dan menganjurkan untuk aborsi di dalam masyarakat yang mengijinkan, dikarenakan kemungkinan dapat menghasilkan anak dengan down syndrome. Tes yaitu tes untuk melihat apakah anak akan terkena down syndrome. Werner (2002:348) Berdasarkan penelitian tentang penyebab anak down syndrome dapat disimpulkan bahwa usia orangtua berpengaruh terhadap terjadinya anak down syndrome, terjadinya penyimpangan kromosom pada saat kontrasepsi
12
juga berpengaruh terhadap terjadinya down syndrome. Menurut Blackman dalam Gunarhadi (2005 : 17) penyimpangan kromosom trisomi 21 menyebabkan ciri-ciri fisik perkembangan anak down syndrome sebagai berikut: 1) Penyakit jantung bawaan. 2) Gangguan mental. 3) Tubuh kecil. 4) Kekuatan otot lemah. 5) Kelenturan yang tinggi pada persendian. 6) Bercak pada iris mata. 7) Posisi mata miring keatas. 8) Adanya lipitan ekstra pada sudut mata. 9) Lubang mulut kecil sehingga lidah cenderung menekuk. 10) Tangan pendek tetapi lebar dengan lipatan tunggal pada telapak angan. c. Karakteristik Tipe klinis anak tunagrahita juga memiliki kelainan jasmaniah salah satunya yaitu anak down syndrome. Disebut down syndrome karena raut muka yang berbeda dengan orang normal, memiliki raut muka seperti orang mongol dengan cirri-ciri: mata sipit dan miring, lidah tebal dan berbelahbelah serta sering menjulur ke luar, telinga kecil, tangan kering, makin dewasa kulitnya semakin kasar, kebanyakan memiliki susunan gigi yang kurang baik sehingga berpengaruh terhadap pencernaan, dan lingkar tengkorak yang lebih kecil dari anak normal. (Amin, 1995:27) Anak down syndrome memiliki berbagai karakteristik yang tentunya berbeda dari anak normal lainnya, karekteristik tersebut seperti yang tercantum pada literatur sebagai berikut: DS have some level of mental retardation and many have characteristic facial features, such an upward slant to the eyes and a depressed nasal bridge. Health problems experienced by individuals with DS are the same as those that occur in the general population, but individuals with DS are affected more often and more severely with certain health problems than typically developing individuals. (Fiddler & Daunhauer, 2013). Down syndrome memiliki beberapa tingkat keterbelakangan mental dan banyak memiliki karakteristik fitur wajah, seperti miring ke atas untuk mata dan jembatan hidung tertekan. Kesehatan masalah yang dialami oleh individu dengan down syndrome yang sama dengan yang terjadi di populasi umum, tetapi individu dengan down syndrome terpengaruh lebih sering dan
13
lebih parah dengan masalah kesehatan tertentu dari perkembangan individu pada umumnya. The physical features of Down syndrome include a shortening of all body parts, a wide flat face with a small nose, poor muscle tone, hearing difficulties (40% or more cases), speech-motor difficulties, associations with congenital heart disease and an increased risk for specific leukaemias and immunological deficiencies. Most individuals with Down syndrome (94%) have trisomy 21, an extra copy of chromosome 21 (Pennington et al dalam Fiddler & Daunhauer, 2013). Fitur fisik down syndrome termasuk pemendekan semua bagian tubuh, lebar wajah datar dengan hidung kecil, otot miskin, kesulitan mendengar (40% atau lebih kasus), kesulitan berbicara, hubungan dengan penyakit jantung bawaan dan peningkatan risiko leukemia tertentu dan kekurangan imunologi. Kebanyakan individu dengan down syndrome (94%) memiliki trisomi 21, tambahan salinan kromosom 21. Down syndrome dikenal dengan istilah mongolisme, ini dikarenakan secara wajah dan bentuk tubuh yang menyerupai orang mongol, kelainan down syndrome memiliki keunikan yaitu hampir semua anak di dunia yang menyandang down syndrome mempunyai wajah dan postur yang samaseperti saudara kembar. (Purwanto, 1998:21) Menurut Werner (2002:344) anak down syndrome memiliki tandatanda yang khas namun tidak semua anak down syndrome memiliki semua tanda-tanda tersebut. Tanda-tanda anak down syndrome yang khas yaitu: 1) Ketika lahir bayi tampak lemas atau lemah lunglai 2) Bayi tidak banyak menangis 3) Bayi lebih lambat dari bayi lainyang sebaya untuk: berguling, mengambil benda-benda, bangkit duduk, bicara, berjalan 4) Bila tiba-tiba diturunkan, bayi tidak bereaksidengan merentangkan lengannya seperti bayi normal 5) Mata miring keatas (sipit), kadang-kadang juling atau penglihatannya kurang baik 6) letak telinga rendah 7) Mulut kecil, menggantung terbuka, langit-langit tinggi dan sempit, lidah menjulur keluar 8) Suatu lipatan kulit menutupi sudut dalam kelopak mata 9) Kelopak mata mungkin bengkak dan merah
14
10) Manik mata banyak bercak-bercak putihnya seperti pasir. Ini biasanya lenyap ketika bayi berumur 12 bulan 11) Kepala pendek atau kecil, lebar dan datar di bagian belakang 12) Kadang-kadang panggulnya meleset dari sendi (dislokasi panggul) 13) Tangan pendek dan lebar, jari-jarinya pendek. kelingking mungkin bengkok atau hanya memiliki satu lipatan (ruas) 14) Ada satu celah yang melintang di telapak tangan (kadang-kadang pada anak normal juga ada) 15) leher pendek 16) Bahu bundar 17) Lengan dan tungkai pendek 18) Tempurung lutut meleset ke satu sisi 19) “Berjari kaki burung dara” kaki datar 20) Ibu jari kaki terpisah jauh dari jari-jari lain Kemungkinan lain yang dikemukakan oleh Werner (2002:345) terdapat dalam karakteristik anak down syndrome yaitu: 1) Sendi siku, panggul, dan pergelangan kaki kendur dan lentur 2) Memiliki masalah jantung, 3) Terkena leukemia, 4) Pendengaran
dan
penglihatan
yang
terganggu
atau
mempunyi
kekurangan, 5) Tulang leher yang cacat dapat meleset dan menjepit urat syaraf di tulang belakang atau punggung. Anak down syndrome tergolong dalam retardasi mental ringan dan sedang dengan skor IQ antara 40-70. Lago dalam Gunarhadi (2005:195) menguraikan karakteristik anak tunagrahita ringan dan sedang seperti yang disandang oleh anak down syndrome, antara lain dalam segi: 1) Kecerdasan a) Kapasitas anak down syndrome terbatas pada benda konkrit yang dapat dilihat dan diraba b) Anak down syndrome memiliki keterbatasan dalam menerima informasi dan pelajaran yang bersifat abstrak. c) Anak down syndrome lebih mudah mengingat gambar dari pada angka
15
2) Sosial a) Dalam pergaulan anak down syndrome tidak dapat mengurus, memelihara dan memimpin diri sendiri b) Anak down syndrome masih banyak memerlukan bantuan orang lain dalam aktivitas sehari-hari c) Anak down syndrome lebih tertarik bermain dengan anak yang lebih muda dari pada anak yang sebaya denganya d) Tingkah laku anak down syndrome memerlukan pengawasan dan bimbingan 3) Emosi a) Anak down syndrome cenderung menarik diri dan memiliki motivasi yang rendah b) Tidak peka terhadap rangsangan positif maupun bahaya yang menghadang c) Minat dan motivasi untuk belajar cenderung rendah 4) Fungsi mental lain a) Anak down syndrome mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian b) Perhatiannya mudah beralih manakala dihadapkan dengan tugas c) Anak down syndrome mudah lupa dan mempunyai kesulitan dalam menyampaikan informasi d) Daya asosiasi yang rendah sulit membuat inisiatif yang baru 5) Organisme a) Fisik dan cara bergerak dalam perkembangannya tidak secepat anak normal b) Organ pendengaran dan bicara serta fungsinya kurang sempurna baik letak, bentuk, dan ukuran d. Permasalahan Permasalahan
anak
down
syndrome
adalah
terdapat
pada
karakteristiknya yang akan menjadi hambatan pada kegiatan belajarnya. Mereka dihadapkan dengan masalah internal dalam mengembangkan
16
dirinya melalui pendidikan yang diikutinya. Menurut Gunarhadi (2005 : 197), masalah-masalah tersebut tampak dalam hal: 1) Kehidupan sehari-hari a) Masalah yang berkaitan dengan kesehatan anak down syndrome b) Masalah dalam pemeliharaan diri anak down syndrome c) Masalah dalam aktivitas sehari-hari anak down syndrome 2) Kesulitan belajar a) Kesulitan dalam membaca b) Kesulitan dalam menulis c) Kesulitan dalam berhitung d) Keterbatasan dalam keseluruhan aspek akademik 3) Penyesuaian Diri Anak down syndrome perlu mendapatkan porsi pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan sosialnya 4) Ketrampilan Bekerja a) Kreatifitas yang minim pada anak down syndrome menghalangi anak down syndrome untuk dapat berkarya b) Sebagian anak down syndrome tersingkir dalam kompetisi dunia kerja c) Anak down syndrome banyak tergantung hidupnya kepada orang lain, bagi sekolah keadaan demikian selain diberikannya akademik maka perlu diberikan keterampilan bekerja 5) Kepribadian dan Emosinya a) Anak down syndrome sering menampilkan kepribadian yang tidak seimbang b) Sering termenung atau berdiam diri c) Kadang menunjukan sikap tantrum atau ngambek d) Mudah tersinggung dan marah e) Anak down syndrome sering membuat kacau bahkan merusak f) Anak down syndrome lebih suka berdiam diri dan menjauh dari keramaian g) Sikapnya yang tidak aktif dan cekatan
17
h) Memiliki kepribadian yang tidak sehat i) Memiliki rasa bosan yang sering timbul Anak-anak down syndrome mempelajari berbagai hal lebih lambat dari pada anak-anak normal yang sebaya dengannya. Anak down syndrome memiliki keterlambatan dalam bergerak, tersenyum, menunjukan minat dalam berbagai hal, menggunakan tangan, duduk, berjalan, berbicara dan lain-lain semua memiliki keterlambatan. Dalam menggunakan anggota tubuh dan pikirannya anak down syndrome masih lambat dan perlu arahan dari orang lain. Salim (2007:220) Penelitian tentang pola asuh orang tua pada anak down syndrome, Wiryadi (2014) menyatakan bahwa orang tua terlalu memanjakan anak down syndrome yang memiliki permasalahan anak mengalami hambatan dan perkembangan. Anak belum dapat melakukan aktivitas sehari-hari (ADL) dan bergantung kepada orang lain. Anak remaja awal usia (12-15 tahun) belum bisa mandiri, seperti makan sendiri, memakai baju sendiri, mandi maupun buang air. Hal tersebut dilakukan karena orang tua terlalu menyayangi anaknya dan takut anak tidak dapat melakukan sendiri. Retardasi mental yang terjadi pada anak down syndrome dapat ringan, sedang atau parah. Menurut Werner (2002:345) beberapa anak
down
syndrome sulit untuk belajar berbicara, memiliki perkembangan fisik dan mental yang lambat dibandingkan anak normal. Sebagian anak down syndrome dapat masuk sekolah tetapi mereka memerlukan bantuan khusus. Sejalan dengan pendapat tersebut, Salim (2007:222) berpendapat bahwa ada anak down syndrome yang memiliki keterlambatan dalam berbicara, membaca, menulis, dan berhitung, tetapi ada juga anak down syndrome yang mampu melakukan kegiatan belajar mengajar meskipun masih banyak keterlambatan. Anak down syndrome memiliki karakteristik fisik yang berbeda dengan anak-anak normal, dari perbedaan tersebut anak down syndrome memiliki keterbelakangan fisik maupun mental yang menjadi penghambat dalam aktivitas di kehidupan sehari-hari. Anak down syndrome memiliki
18
permasalahan dalam ADL (mengurus dirinya sendiri), kesulitan dalam belajar, penyesuaian diri, ketrampilan bekerja, sosialisasi dengan teman, kepribadian dan emosi yang kurang stabil. Anak down syndrome bergantung kepada orang lain dalam melaksanakan aktivitanya, namun bila anak down syndrome sejak kecil mendaptkan pelatihan dan pembelajaran bina diri dengan baik maka sedikit anak down syndrome yang meminta bantuan orang lain.
2. Prestasi Belajar Matematika bagi Anak Down Syndrome a. Pengertian Prestasi Belajar Setiap individu memiliki keunikan tersendiri, dalam proses belajar siswa menghasilkan sebuah hasil yang di dapatkan dari proses latihan dan diukur dari proses evaluasi. Hasil tersebut yang disebut prestasi seperti yang diungkapkan Hamdani dalam Pangestika (2012:27) berpendapat bahwa prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun kelompok. Untuk memperkuat pendapat tersebut Woodworth dan Marquis dalam Asmani (2012:19) mendefinisikan achievement (prestasi) sebagai suatu bakat nyata yang dapat diukur langsung dengan alat atau test tertentu. Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa prestasi adalah hasil dari sebuah kegiatan yang dikerjakan individu atau kelompok sebagai suatu bakat nyata. Simamora (2008:28) berpendapat belajar adalah segenap rangkaian kegiatan atau aktivitas yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan dalam dirinya berupa peningkatan pengetahuan atau kemahiran berdasarkan alat indra dan pengalamannya. Belajar yaitu proses
individu
mencari
ataupun
mendapatkan
pengetahuan
serta
pengalaman baru yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Belajar tidak hanya diberikan dalam pelajaran yang ada di sekolah namun
pengaruh
aktivitas
pembelajaran
hasinya
lebih
sering
menguntungkan dan mudah diamati. Belajar yaitu peribahan tingkah laku yang dapat diamati pada interaksi antara individu dengan individu atau
19
individu
dengan
lingkungan
sekitarnya
yang
mendukung
dalam
pembelajaran. (Aunurrahman, 2012:35). Menurut Abdilah (Aunurrahman, 2012:35) belajar adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu melalui latihan dan pengalaman nyata yang menyangkut aspek kognitif, afektif, dan pdikomotorik untuk memperoleh tujuan tertentu yang dapat dilihat dari perubahan tingkah laku. Syah (2012:63) mendefinisikan belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsure yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Dari definisi tersebut mempunyai maksud bahwa berhasil dan gagalnya pendidikan tergantung kepada proses belajra yang dialami siswa baik di lingkungan sekolah, lingungan rumah maupun di lingkungan masyarakat. Hintzman dalam Syah (2012:65) berpendapat bahwa belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organism, manusia atau hewan, disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organism tersebut. Jadi bila terdapat perubahan yang ditimbulkan oleh pengalaman dan mempengaruhi organism maka disebut dengan belajar. Prestasi dan belajar saling berkesinambungan satu sama lain, karena individu dapat mengetahui seberapa tingkat prestasi yang diraihnya memalui belajar, karena dari belajar pengetahuan siswa menjadi bertambah. Sesuai dengan pendapat yang diuraikan Winkel (2007:61) “prestasi belajar adalah suatu perubahan baik yang bersifat internal seperi pemahaman dan sikap, maupun yang bersifat eksternal seperti ketrampilan motorik dan ketrampilan motorik dan ketrampilan berbicara bahasa asing. Pendapat Winkel dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar selalu terkait dengan hasil yang dicapai karena suatu usaha, ilmu pengetahuan dan keterampilan. Azwar (2012:9) mengemukakan bahwa prestasi belajar merupakan bentuk penampilan maksimal seseorang dalam menguasai bahan atau materi yang telah diajarkan. Hasil pembelajaran ini dapat dinyatakan dalam bentuk skor atau nilai setelah mengikuti tes yang diadakan setelah dilakukan proses
20
pembelajaran di dalam kelas, sehingga dapat menginformasikan tentang materi pembelajaran yang sudah dikuasai siswa. Sukmadinata (2012:102) berpendapat bahwa “prestasi belajar atau achievement merupakan realisasi dari kecakapan-kecakapan potensial yang dimiliki seseorang”. Prestasi belajar dapat dilihat dari perilaku seseorang. Orang yang memiliki prestasi belajar tinggi akan terlihat berbeda dengan orang yang memiliki prestasi belajar yang kurang, perilaku tersebut dapat dilihat dari kepercayaan diri seseorang dalam mengungkapkan pendapat. Orang yang berpendidikan akan lebih berhati-hati dalam berbicara dan tampak percaya diri. Ngalim Purwanto dalam Habsari (2005:75) menyatakan bahwa prestasi belajar adalah hasil-hasil belajar yang telah diberikan guru kepada murid-murid atau dosen kepada mahasiswanya dalam jangka waktu tertentu. Prestasi belajar yang diberikan guru kepada murid dapat berupa nilai ulangan dan nilai raport, sedangkan hasil prestasi belajar yang diberikan dosen kepada mahasiswa berupa nilai kuis dan nilai akhir. Selain hal tersebut prestasi belajar juga berupa reward dari sebuah kegiatan. Prestasi belajar merupakan hasil penilaian pendidik terhadap proses belajar dan hasil belajar siswa sesuai dengan tujuan intruksional yang menyangkut isi pelajaran dan perilaku yang diharapkan dari siswa. seberapa jauh hasil yang telah dicapai siswa dalam penguasaan tugas-tugas atau materi pelajaran yang diterima dalam jangka waktu tertentu. Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil-hasil belajar yang diberikan pendidik kepada anak didik yang telah dicapai melalui tugas, kegiatan ataupun materi pelajaran yang diterima dalam jangka waktu tertentu. Prestasi tersebut merupakan suatu perubahan baik yang bersifat internal seperi pemahaman dan sikap, maupun yang bersifat eksternal seperti ketrampilan.
21
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Syah
(2012:146)
menyebutkan
beberapa
faktor-faktor
yang
mempengaruhi belajar siswa. Faktor-faktor tersebut dapat dibedakan menjadi tiga macam, yakni: 1) Faktor Internal Siswa Faktor yang berasal dari dalam diri siswa sendiri meliputi dua aspek, yakni: aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah); dan aspek psikologi (yang bersifat rohaniah) 2) Faktor Eksternal Siswa Seperti faktor internal siswa, faktor eksternal siswa juga terdiri atas dua macam, yakni: faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan nonsosial 3) Faktor Pendekatan Belajar Faktor pendekatan belajar dapat dipahami sebagai segala cara atau strategi yang digunakan siswa dalam menunjang keefektifan dan efisiensi proses pembelajaran materi tertentu. Strategi dalam hal ini berarti seperangkat langkah operasional yang direkayasa sedemikian rup untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan belajar tertentu Slameto (2010:54) mengungkapkan pendapat, bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat dibedakan menjadi tiga golongan yakni: 1) Faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), yakni keadaan atau kondisi jasmani dan rohani siswa. faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah faktor jasmani, faktor psikologi, dan faktor kelelahan. a) Faktor jasmani
yang mempengaruhi prestasi belajar diantaranya
adalah sehat berarti dalam keadaan baik segenap badan dan bagianbagiannya atau bebas dari penyakit. Proses belajar akan terganggu jika kesehatan terganggu, selain itu pebelajar akan cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, ngantuk jika badannya sakit.
22
b) Faktor psikologi juga mempengaruhi prestasi belajar, antara lainintelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan dan keiapan. c) Faktor kelelahan pada seseorang walaupun sulit untuk dipisahkan tetapi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelelahan jasmani dan kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelusushan dan kebosanan,
sehingga
minta
dan
dorongan
siswa
untuk
menghasilkanatau mendapatkan sesuatu yang hilang. 2) Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa, seperti faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor masyarakat yang menunjang proses belajar mengajar. a) Faktor keluarga sangat mempengaruhi siswa dalam belajar. Cara orangtua mendidik dan membimbing memegang peranan penting terhadap kesuksesan belajar anaknya. Untuk kelancaran belajar serta keberhasilan anak perlu diusahakan hubungan yang baik dalam keluarga, hubungan yang penuh pengertian, kasih sayang disertai bimbingan dan hukuman-hukuman untuk menyukseskan belajar anak sendiri. Agar anak dapat belajar dengan baik, perlu diciptakan suasana rumah yang tentram, disertai keadaan ekonomi keluarga yang memadai dan perhatian cukup. b) Faktor sekolah. Sekolah sebagai tempat pendidikan formal merupakan tempat pembinaan anak dalam mewujudkan prestasi belajar yang optimal. Karena sekolah didasari oleh adanya tenaga professional dalam menangani masalah mendidik anak. c) Faktor
masyarakat.
Masyarakat
sebagai
tempat
anak
mengaktualisasikan diri pengalaman belajar yang diperoleh akan turut berpengaruh dalam mempengaruhi minat anak. Anak akan belajar dengan baik jika memiliki rasa keinginan karena adanya tuntutan kompetitif positif dari lingkungan. Faktor pendekatan belajar (approach to learning). Yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk
23
melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran. Pendekatan belajar sangat berpengaruh terhadap taraf keberhasilan proses pembelajaran siswa, karena strategi yang digunakan siswa dapat menunjang efektifitas dan efisiensi proses pembelajaran materi tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar, menurut Simamora (2008:29) ada 3 faktor yang mempengaruhi belajar seseorang, berikut penjelasan mengenai faktor yang mempengaruhi belajar: 1) Faktor internal Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam peserta didik, yaitu kondisi jasmani dan rohani peserta didik. 2) Faktor eksternal Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar peserta didik, yaitu kondisi lingkungan sekitar peserta didik. 3) Faktor pendekatan belajar (approach to learning) Merupakan jenis upaya peserta didik yang meliputi strategi dan metode yang digunakan peserta didik untuk melakukan kegiatan pembelajaran. Menurut beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi belajar bervariasi dari faktor dalam diri (faktor internal), faktor luar diri (faktor eksternal) dan faktor lingkungan sekitar yang dapat mendukung proses belajar. Dalam belajar hendaknya menciptakan suasana yang tenang, lingkungan yang memadai dan fasilitas yang mendukung. Dengan begitu terciptalah pembelajaran yang efektif dan produktif c. Pengertian Matematika Matematika merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang bersifat pasti (eksakta) ternyata memiliki asal usul matematika tersendiri. Istilah matematika berasal dari istilah Latin yaitu Mathematica yang awalnya mengambil istilah Yunani yaitu Mathematikhe yang berarti relating to learning yang berkaitan dengan hubungan pengetahuan. Kata Yunani tersebut mempunyai akar kata Mathema yang berarti pengkajian , pembelajaran, ilmu, atau pengetahuan (knowledge) yang ruang lingkupnya
24
menyempit dan dan arti teknis menjadi pengkajian matematika. (Haryono, 2014:6). Banyak orang memandang matematika sebagai mata pelajaran yang paling sulit. Walaupun demikian, semua orang harus mempelajari matematika karena untuk memecahkan masalah dalam kehidupan seharihari, seperti halnya dalam bahasa, membaca, dan menulis. (Abdurrahman dalam Delphie, 2009). Delphie menjelaskan bahwa dalam kehidupan sehari-hari secara langsung membutuhkan keterampilan menghitung, misalnya saat belanja. Keterampilan berupa menghitung misalnya pengembalian uang belanja, mengintepresikan ukuran-ukuran dalam resep makanan, dan menghitung harga barang yang dibeli. Demikian pula dalam lingkungan sekolah anak masih memiliki kesulitan belajar matematika. Menurut penelitian para ahli menunjukan bahwa anak usia dini yang mempunya kesulitan belajar matematika akan berlanjut sampai mereka bersekolah di tingkat sekolah dasar. (2009) Matematika adalah bahasa simbolis yang memiliki fungsi praktis untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan. Selain itu matematika adalah bahasa universal yang memungkingkan manusia memikirkan, mencatat, serta mengkomunikasikan ide-ide mengenai elemen dan kuantitas (Muhafilah dalam Delphie, 2009). Matematika disebut bahasa universal karena matematika sebagai simbol yang mampu mengomunikasikan ide-ide yang berkaitan dengan elemen-elemen dan hubungan-hubungan kuantitas. Matematika adalah bahasa simbol, ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif, ilmu tentang pola keteraturan, dan struktur yang terorganisasi, mulai dari unsure yang tidak didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil. (Ruseffendi dalam Heruman, 2007:1). Sedangkan hakikat matematika menurut (Soedjadi dalam Heruman, 2007:1) yaitu memiliki obyek tujuan abstrak, bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang deduktif.
25
Siswa Sekolah Dasar menurut Piaget, mereka berada di fase operasional konkret. Kemampuan yang nampak pada siswa usia Sekolah Dasar yaitu kemampuan dalam berpikir logika, meskipun masih terikat dengan obyek yang konkret yang mereka tangkap melalui panca indra. Pada pembelajaran matematika harus terdapat keterkaitan antara pengalaman belajar siswa sebelummya dengan konsep yang akan diajarkan. Hal ini sesuai dengan “pembelajaran spiral”, sebagai konsekuendi dalil Bruner. Dalam matematika suatu konsep berkaitan dengan konsep lain, dan suatu konsep menjadi prasyarat bagi konsep yang lain. Oleh karena itu siswa harus banyak diberi kesempatan untuk melakukan keterkaitan tersebut. (Heruman,2007:4) Matematika adalah ilmu yang membahas pola atau keteraturan (pattern) dan tingkatan (order). Hal ini menunjukan bahwa guru matematika harus memfasilitasi siswanya untuk belajar berfikir melalui keteraturan yang ada. (Shadiq,2014) Beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa matematika adalah bahasa simbol pada ilmu tentang struktur-struktur abstrak yang di dalamnya terdapat penalaran logis dan aturan-aturan yang ketat. Matematika identik dengan rumus yang berguna untuk menyelesaikan permasalahan dalam berhitung. Ilmu matematika berguna dalam kehidupan sehari-hari. d. Pelajaran Matematika Materi Bilangan bagi Anak Down Syndrome Buckley dalam Fiddler & Daunhauer (2013) suggests that number may be more difficult for people with down syndrome because they appear to take an essentially concrete approach and abstract concepts may be more difficult to grasp, though she cautions that this may also be due to the limitations of the teaching they have experienced. Menunjukkan bahwa penjumlah mungkin lebih sulit untuk anak down syndrome karena mereka muncul untuk mengambil dasarnya. Pendekatan dan abstrak konsep mungkin lebih sulit untuk dipahami, meskipun ia memperingatkan bahwa ini juga mungkin karena keterbatasan ajaran yang mereka alami.
26
Matematika merupakan ilmu tentang bahasa simbol. Simbol matematika mempunyai banyak fungsi antara lain digunakan dalam berkomunikasi dan pendalaman ilmu pengetahuan. Simbol matematika disajikan dalam bentuk angka atau numeral dan dapat disebut dengan nama bilangan. Runtukahu & Kandau (2014:91). Pengalaman anak dalam mempelajari bilangan dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari antara lain: misalnya nomor rumah, nomor kendaraan, atau nomor sepatu.
Bilangan adalah suatu ide yang bersifat abstrak.
Bilangan adalah suatu yang bersifat abstrak yang memberi keterangan mengeni banyaknya anggota suatu himpunan (Runtukahu & Kandau (2014:91). Bilangan adalah suatu ide yang bersifat abstrak. Bilangan adalah suatu yang bersifat abstrak yang memberi keterangan mengeni banyaknya anggota suatu himpunan (Kamsiyati,2012:43). Sedangkan lambang bilangan adalah lambang-lambang untuk bilangan. Lambang bilangan dengan aturanaturanya disebut system numersi.
Kamsiyati (2012:63) membagi sitem
numerasi menjadi 2 yaitu: 1) Sistem Numerasi Hindu-Arab Sistem Numerasi ini pertama kali diciptakan oleh bangsa India yang beragama hindu. Angka dasar pada sistem numerasi hindu arab adalah: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0 2) Sistem Numerasi Romawi Angka dasar pada system numerasi romawi ada 7 yaitu: I, X, C, M, V, L dan D. Angka atau bilangan merupakan unsur penting dalam matematika. Dalam setiap segi pendidikan dan kehidupan matematika selalu diibaratkan dengan angka. Menurut Fathani (Mayasari & Roesminingsih, 2013:3) mengatakan “Sebuah angka digunakan untuk melambangkan bilangan, suatu identitas abstrak dalam ilmu matematika”. Dalam ilmu matematika, benda secara nyata dapat dihitung namun untuk menunjukan jumlah hitungan tersebut dibutuhkan suatu angka.
27
Menurut Handojo dan Ediati dalam (Mayasari & Roesminingsih, 2013:3) menyatakan bahwa “0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9” adalah suatu simbol yang sering kita sebut dengan angka.”Angka merupakan serangkaian symbol yang mewakili sejumlah objek. Seperti misalnya satu buah apel diberi symbol angka 1, dua buah apel diberi symbol angka 2. Berdasarkan pernyataan tersebut maka sebuah angka akan memudahkan kita untuk mengenal simbol mengenai jumlah suatu objek. Kesimpulan dari beberapa pendapat tersebut bahwa bilangan adalah suatu simbol yang berbentuk angka, sedangkan angka adalah sesuatu yang dapat dihitung. Bilangan bersifat abstrak namun dapat dipahami melalui logika. Bilangan menunjukan banyaknya suatu objek. Anak down syndrome perlu diberikan pengenalan angka untuk membantu aktifitas anak dalam kehidupan sehari-hari, karena di kehidupan sehari-hari anak menjumpai berbagai angka misal angka pada jarum jam, angka pada roti ulang tahun, banyak langkah, banyak objek, dan lain-lain.
3. Contextual Teaching and Learning (CTL) a. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL) Seorang pakar pendidikan Johnson menyatakan bahwa dalam belajar ada tiga perinsip yang layak dipertahankan. Prinsip tersebut dikemukakan sebagai berikut: Pertama, Belajar menghasilkan perubahan perilaku anak didik yang relative permanen. Artinya peran penggiat pendidikan khususnya guru dan dosen adalah sebagai pelaku perubahan (agent of change). Kedua, anak didik memiliki potensi, gandrung dan kemampuan yang merupakan benih kodrati untuk ditumbuhkembangkan tanpa henti. Maknanya pendidikan seyogyanya menyirami benih kodrati ini hingga tumbuh subur dan berbuah. Proses belajar mengajar, dengan demikian adalah optimalisasi potensi diri sehingga dicapailah kualitas yang ideal, apabila tidak dikatakan sempurna, dan relative permanen. Ketiga, perubahan atau pencapaian kualitas ideal itu tidak tumbuh alami linear sejalan proses kehidupan. Artinya proses belajarmengajar memang merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri, tetapi ia didesain secara khusus, dan diniati demi tercapainya kondisi atau kualitas ideal seperti disebut diatas. Ketiga hal diatas menegaskan definisi belajar. Definisi ini secara teoritis hamper diterima semua
28
pihak bahwa begitulah sejatinya belajar dalam proses pendidikan. (Johnson, 2014:18). CTL terdiri dari dari delapan komponen: membuat keterkaitan yang bermakna, pembelajaran mandiri, melakukan pekerjaan yang berarti, bekerja sama, berfikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian autententik. Johnson (Johnson, 2014:15). Johnson menyatakan bahwa CTL adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya. (Johnson, 2014:14). CTL adalah sebuah sistem yang menyeluruh. CTL terdiri dari bagianbagian yang saling terhubung. Jika bagian-bagian ini terjalin satu sama lain, maka akan dihasilkan pengaruh yang melebihi hasil yang diberikan bagianbagiannya secara terpisah. Johnson (Johnson, 2014:65). Bagian-bagian CTL yang terpisah melibatkan proses-proses yang berbeda, yang ketika digunakan secara bersama-sama, memampukan para siswa membuat hubungan yang menghasilkan makna. Setiap bagian CTL yang berbeda-beda ini memberikan sumbangan dalam menolong siswa memahami tugas sekolah. Secara bersama-sama mereka membentuk suatu system yang memungkinkan para siswa melihat makna didalamnya, dan mengingat materi akademik. Johnson (2014). Kontekstual dapat membantun guru mengaitkan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari anak. Sejalan pendapat Blanchard (2001:1), Berns dan Erickson dalam Komalasari (2014:6) mengemukakan bahwa: Contextual teaching and learning is a conception of teaching and learning that helps teachers relate subject matter content to real world situations; and motivates student to make connections between knowledge and its applications to their lives as family members, citizens, and workers and engage in the hard work that learning requires.
29
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar dan mengajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga Negara dan pekerja. Melalui pembelajaran kontekstual siswa dapat menemukan hubungan antara teori dengan makna. Hull’s dan Sounder dalam Komalasari (2014:6) menemukakan bahwa: In a contextual and learning (CTL), student discover meaningful relationship between abstract ideas and practical applications in a real world context. Students internalize concepts through discovery, reinforcement, and interrelationship. CTL creates a team, whether in the classroom, lab, worksite, or on the banks of a river. CTL encourages educators to design learning environments that incorporate many form of experience to achieve the desired outcome. Pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa di dalam pembelajaran kontekstual , siswa menemukan hubungan penuh makna antara ide-ide abstrak dengan penerapan di dalam konteks dunia nyata. Siswa menginternalisasi
konsep
melalui
penemuan,
penguatan,
dan
keterhubungan. Pembelajaran kontekstual menghendaki kerja dalam sebuah tim, baik di kelas, laboratorium, tempat bekerja maupun bank. Pembelajaran kontekstual menuntut guru mendesain lingkungan belajar yang merupakan gabunan beberapa bentuk pengalaman untuk mencapai hasil yang diinginkan. b. Karakteristik Contextual Teaching and Learning Pembelajaran kontekstual memiliki beberapa karakteristik yang khas yang membedakan dengan pendekatan pembelajaran lain. Blanchard dalam Komalasari (2014:7) mendefinisikan beberapa karakteristik pendekatan kontekstual (contextual intruction) sebagai berikut: (1) relies on spatial memory (berstandar pada memori mengenai ruang), (2) typically integrated multiple subjects (mengintegrasikan berbagai subjek materi/disiplin), (3) value of information is based on individual need (nilai informasi didasarkan pada kebutuhan siswa), (4) relates information with prior knowledge
30
(menghubungkan dengan pengetahuan awal siswa), dan (5) authentic assessment throught practical application or solving of realistic problem (penilaian sebenarnya melalui aplikasi praktis atau pemecahan masalah nyata). Bern dan Erickson dalam Komalasari (2014:7) mengemukakan karakteristik pembelajaran kontekstual sebagai berikut: a) interdisciplinary learning; b) problem-based learning; dan c) external contexts for learning. Johnson dalam Komalasari (2014:7) mengidentifikasi delapan karakteristik contextual teaching and learning, yaitu: a) Making meaningful connections (membuat hubungan penuh makna) siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing) b) Doing significant work (melakukan pekerjaan penting) siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai anggota masyarakat. c) Self-regulated learning (belajar mengatur sendiri) siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain,
ada
hubungannya
dengan
penentuan
pilhan,
dan
ada
produk/hasilnya yang sifatnya nyata. d) Collaborating (kerja sama) siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi e) Critical and creative thingking (berfikir kritis dan kreatif) siswa dapat menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif: dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan bukti-bukti dan logika. f) Nurturing the individual (memelihara individu) siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memberi harapan-harapan
31
yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapt berhasil tanpa dukungan orang dewasa. g) Reching high standards (mencapai standar tinggi) h) Using authentic assessment (penggunaan penilaian sebenarnya). Siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi: mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “excellence”. i) Using authentic assessment (mengadakan asesmen autentik) siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari untuk diaplikasikan dalam kehidupan nyata. c. Komponen Contextual Teaching and Learning Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah dalam Komalasari (2014:11-13)
menyebutkan
tujuh
komponen
utaman
pembelajaran
kontekstual yaitu: 1) Konstruktivisme (constructivism) Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyongkonyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat.manusia mengontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. 2) Menemukan (inquiry) Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta , melainkan hasil dari menemukan sendiri melalui siklus: observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data dan penyimpulan. 3) Bertanya (questioning) Pengetahuan yang dimiki seseorang slalu bermula dari bertanya. Bagi guru
bertanya
dipandang
sebagai
kegiatan
untuk
mendorong,
membimbing dan menilai kemampuan berfikir siswa. Bagi siswa
32
bertanya merupakan bagian penting dalam melakukan inquiri, yaitu menggali informasi, menginformasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. 4) Masyarakat belajar (learning community) Hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Guru disarankan
selalu
melaksanakan
pembelajaran
dalam
kelompok-
kelompok belajar. 5) Pemodelan (modelling) Proses pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan tertentu ada model yang bisa ditiru. Guru dapat menjadi model, misalnya memberi contoh cara mengerjakan sesuatu. Tetapi guru bukan satu-satunya model, artinya model dapat dirancang dengan melibatkan siswa, misal siswa ditunjuk untuk memberi contoh pada temannya, atau mendatangkan seseorang di luar sekolah, misalnya mendatangkan veteran kemerdekaan ke kelas. 6) Refleksi (reflection) Cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berfikir ke belakang tentang
apa-apa
yang
sudah
dilakukan
di
masa
lalu.
Siswa
mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atsu pengetahuan yang baru diterima. 7) Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan semata hasil, dan dengan berbagai cara. Penilaian dapat berupa penilaian tertulis (pencil and paper test)
dan
penilaian
berdasarkan
perbuatan
(performance
based
assessment), penugasan (project), produk (product), atau portofolio (portfolio) d. Penerapan
Contextual Teaching and Learning
pada Pelajaran
Matematika untuk Anak Down Syndrome Johnson menyebutkan tujuan utama CTL adalah membantu para siswa dengan cara yang tepat untuk mengaitkan makna pada pelajaran akademik
33
mereka. Ketika para siswa menemukan makna di dalam pelajaran mereka, mereka akan belajar dan mengingat apa yang mereka pelajari. CTL membuat siswa mampu menghubungkan isi dari subjek-subjek akademik dengan konteks kehidupan keseharian merek auntuk menemukan makna. (Johnson, 2014:64). Pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa pembelajaran kontekstual dapat membantu anak down syndrome dalam meningkatkan prestasi belajarnya melalui mengingat dan dan menemukan makna dalam proses pembelajaran terutama pada pelajaran matematika yang membutuhkan daya nalar dan daya ingat yang lebih, anak down syndrome dapat terlibat secara langsung dalam pembelajaran, materi bilangna sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari anak, seperti pada lilin ulang tahun, potongan kue, angka jarum jam, langkah, barisan, bagian-bagian. Anak secar langsung mengalami pembelajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari dan terjadi berulang-ulang dengan begitu anak dapat memaksimalkan daya ingatnya untuk membantu proses pembelajaran.
B. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir merupakan penalaran untuk sampai pada hipotesis. Anak down syndrome memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan anak normal pada umumnya, karena karakteristik anak down syndrome yang mengalami gangguan intelektual sehingga dalam berpikir mengalami hambatan dan mengalami keterbatasan dalam ingatan. keberhasilan belajar siswa dipengaruhi oleh banyak faktor, baik dari dalam dan dari luar. Penggunaan pembelajarn kontektual
dapat membantu meningkatkan prestasi belajar anak
down syndrome dengan menerapkan pembelajaran secara nyata (kontekstual). Kegiatan pembelajaran Kontekstual merupakan kegiatan belajar yang mengajak anak down syndrome berperan secara langsung
dalam kehidupan
sehari-hari. Anak dibekali materi teoritis dan juga diberikan pengetahuan tentang penerapan teori tersebut secara riil dengan cara melakukan praktek secara langsung. Dengan diberikannya pembelajaran kontekstual diharapkan dapat
34
mempermudah anak down syndrome dalam menangkap pelajaran matematika dan memudahkan anak untuk mengingat.Sehingga tujuan yang diharapkan pada peningkatan prestasi belajar anak down syndrome dengan melalui Pembelajaran Konstektual akan tercapai. Penelitian menggunakan subyek tunggal dengan desain A-B-A yaitu fase baseline 1, intervensi, dan baseline 2. Pada tahap baseline 1 (A1) digunakan untuk mengetahui kondisi awal subjek sebelum diberikan treatmen, pada tahap intervensi kondisi setelah diberikan treatmen dengan penerapan pembelajaran kontekstual pada tahap baseline 2 (A2) merupakan kondisi setelah penerapan intervensi
dan untuk mengetahui pengaruh treatmen setelah tidak digunakan
kembali. Treatmen yang digunakan adalah penerapan pembelajaran kontekstual yang diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar matematika pada anak down syndrome. Kerangka berfikir adalah penjelasan sementara mengenai obyek yang menjadi permasalahan. Adapun kerangka berfikir yang digunakan dalam penelitian ini dapat digambarkan ke dalam bagan sebagai berikut: Prestasi belajar matematika materi bilangan bagi anak down syndrome
Pembelajaran belum menggunakan contextual teaching and learning
Prestasi belajar matematika materi bilangan pada anak down syndrome masih rendah
Diberikannya contextual teaching and learning pada pelajaran matematika materi bilangan pada anak down syndrome
Prestasi belajar matematika materi bilangan pada anak down syndrome meningkat Gambar 2.1. Bagan Kerangka Berfikir
35
C. Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara tentang permasalahan dalam pertanyaan penelitian. Karena itu, perumusan hipotesis berbeda dari perumusan pertanyaan penelitian. (Azwar, 2014). Hipotesis memiliki ciri harus dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan deklaratif, berisi pernyataan mengenai hubungan dua variabel, dan harus dapat diuji. Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka berpikir, maka dapat diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut “Contextual Teaching and Learning dapat meningkatkan prestasi belajar matematika pada anak down syndrome kelas II di SD Al Firdaus Surakarta tahun 2015/2016”.