BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori 2.1.1
Pengertian Pajak Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2008:1). Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, definisi pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur: 1) Iuran dari rakyat kepada negara Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). 2) Berdasarkan undang-undang Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
11
3) Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 4) Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.1.2 Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia ada 3, Mardiasmo (2006:7), yaitu: 1) Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: (1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus, (2) Wajib Pajak bersifat pasif, (3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. 2) Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya: (1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri,
12
(2) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. (3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. 3) With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya : wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
2.1.3 Pengelompokan Pajak Mardiasmo (2006:5) menyebutkan bahwa pajak dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu: 1) Menurut golongannya (1) Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Penghasilan. (2) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai. 2) Menurut sifatnya (1) Pajak Subyektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
13
Contoh: Pajak Penghasilan. (2) Pajak Obyektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3) Menurut lembaga pemungutnya (1) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai. (2) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri atas: a) Pajak Propinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan bakar Kendaraan Bermotor. b) Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan.
2.1.4 Pajak Bumi dan Bangunan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1994. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak
14
yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan obyek yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. Berdasarkan Pasal 5 Undang Undang-undang No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undangundang No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, tarif Pajak Bumi dan Bangunan yang dikenakan atas Objek Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 0,5% (lima persepuluh persen).
2.1.5 Objek Pajak Bumi dan Bangunan Pasal 2 Undang-undang No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan menyatakan bahwa yang menjadi objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan/atau bangunan (Siti Resmi, 2008:197). Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa tambak perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha, dan tempat yang diusahakan. Termasuk dalam pengertian bangunan adalah: 1) Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan komplek bangunan, 2) Jalan tol, 3) Kolam renang, 4) Tempat olahraga, 5) Galangan kapal, dermaga,
15
6) Taman mewah, 7) Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak, 8) Fasilitas lain yang memberikan manfaat.
2.1.6 Objek Pajak yang Tidak Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek pajak yang: 1) digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan, antara lain: (1) di bidang keagamaan, seperti masjid, gereja, wihara, dan lain-lain; (2) di bidang sosial, seperti panti asuhan; (3) di bidang kesehatan, seperti rumah sakit, puskesmas; (4) di bidang pendidikan, seperti museum, candi; (5) di bidang kebudayaan nasional, seperti madrasah, pesantren sekolah; 2) digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu; 3) merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak; 4) digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik; 5) digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
16
Objek Pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Objek Pajak yang dimaksud dalam hal ini adalah objek pajak yang dimiliki/dikuasai/digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. PBB adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain digunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Siti Resmi, 2008:197). Oleh sebab itu, wajar jika Pemerintah Pusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran PBB. Mengenai bumi dan/atau bangunan milik perseorangan dan/atau badan yang digunakan oleh negara, kewajiban perpajakannya tergantung pada perjanjian yang diadakan.
2.1.7 Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Subjek pajak PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan (Siti Resmi, 2008:198). Hal ini berarti bahwa tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti kepemilikan. PBB melekat pada pemiliknya meskipun dapat dialihkan kepada penyewanya atau pihak lain. Jika suatu objek pajak belum diketahui secara pasti siapa Wajib Pajaknya, maka yang menjadi subjek pajak dapat ditunjuk oleh Dirjen Pajak. Beberapa ketentuan khusus mengenai siapa yang menjadi subjek pajak diatur sebagai berikut.
17
1) Jika suatu subjek pajak memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan milik orang lain bukan karena sesuatu hak berdasarkan undangundang
atau
bukan
karena
perjanjian,
objek
pajak
yang
memanfaatkan/menggunakan bumi dan/atau bangunan ditetapkan sebagai Wajib Pajak. 2) Suatu subjek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka orang atau badan yang memanfaatkan/menggunakan objek pajak tersebut ditetapkan sebagai Wajib Pajak. 3) Subjek pajak yang dalam waktu lama berada di luar wilayah letak objek pajak, sedangkan untuk merawat objek pajak tersebut dikuasakan kepada orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai Wajib Pajak.
2.1.8 Nilai Jual Objek Pajak Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) merupakan dasar pengenaan PBB. Besarnya NJOP ditetapkan dengan pengklasifikasian atau penggolongan nilai jual rata-rata bumi berupa tanah dan/atau bangunan (Siti Resmi, 2008:199). Pengertian Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang Undangundang No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau
18
Nilai Jual Objek Pajak Pengganti. Dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998 tanggal 18 Desember 1998 tentang Penentuan Klasifikasi dan besarnya NJOP sebagai dasar pengenaan PBB telah mengatur pokok-pokok: 1) Standar
investasi
adalah
jumlah
yang
diinvestasikan
untuk
suatu
pembangunan dan/atau penanaman dan/atau penggalian jenis sumber daya alam atau budi daya tertentu, yang dihitung berdasarkan komponen tenaga kerja, bahan dan alat mulai dari awal pelaksanaan pekerjaan sampai tahap produksi atau menghasilkan. 2) Objek pajak yang bersifat khusus adalah objek pajak yang letak, bentuk, peruntukan dan/atau penggunaannya mempunyai sifat dan karakteristik khusus. 3) Dalam hal objek pajak yang nilai jual per m2-nya lebih besar dari ketentuan NJOP (lihat lampiran Keputusan Menteri Keuangan), maka NJOP yang terjadi di lapangan digunakan sebagai dasar pengenaan PBB. 4) Objek pajak sektor pedesaan dan perkotaan yang tidak bersifat khusus, NJOP ditentukan berdasarkan nilai indikasi rata-rata yang diperoleh dari hasil penilaian secara massal. 5) Besarnya NJOP sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan serta usaha bidang perikanan, peternakan dan perairan untuk areal produksi dan/atau areal belum produksi, ditentukan berdasarkan nilai jual permukaan bumi dan bangunan (lihat lampiran Keputusan Menteri Keuangan) ditambah dengan nilai investasi atau nilai jual pengganti atau dihitung secara keseluruhan berdasarkan nilai jual pengganti.
19
6) Untuk objek pajak tertentu yang bersifat khusus, NJOP dapat ditentukan berdasarkan nilai pasar yang dilakukan oleh pejabat fungsional penilai secara individual. 7) Klasifikasi penggolongan dan ketentuan nilai jual, dapat dilihat pada lampiran IA, IB, IIA, IIB Keputusan Menteri Keuangan.
2.1.9 Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sesuai Pasal 3 ayat (2)
Undang Undang-undang No.12 Tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan bahwa besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan sebesar Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Apabila Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, maka yang diberikan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak hanya salah satu Objek Pajak yang nilainya terbesar. Dengan tetap mengacu pada Pasal 3 Ayat (4) Undang-undang PBB bahwa penyesuaian besarnya NJOPTKP ditetapkan oleh Menteri Keuangan (Waluyo,2009:159). Keputusan Menteri Keuangan Nomor 201/KMK.04/2000 tentang Penyesuaian Besarnya NJOPTKP Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan telah mengatur: 1) Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). 2) Setiap Wajib Pajak diberikan NJOPTKP. 3) Besarnya NJOPTKP untuk setiap daerah Kabupaten/Kota atas nama Menteri Keuangan ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dengan mempertimbangkan pendapat Pemerintah Daerah setempat.
20
4) Sesuai Keputusan Menteri Keuangan ini yang diberlakukan mulai Tahun Pajak 2001 bahwa besarnya NJOPTKP ditetapkan secara regional, setinggitingginya Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
2.1.10 Nilai Jual Kena Pajak Dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari Nilai Jual Objek Pajak. Besarnya persentase Nilai Jual Kena Pajak ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2000 Tanggal 26 Juni 2000 yang diberlakukan mulai tahun pajak 2001 yaitu: 1) Sebesar 40% (empat puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP); (1) Objek Pajak perkebunan. (2) Objek Pajak kehutanan. (3) Objek Pajak lainnya, apabila Nilai Jual Objek Pajaknya (NJOP) Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atau lebih, sebagai contoh perumahan. 2) Sebesar 20% (dua puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP); (1) Objek Pajak pertambangan (2) Objek Pajak lainnya, apabila
Nilai
Jual
Objek
Pajaknya
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
21
(NJOP)
kurang
dari
Rp
2.1.11 Tahun Pajak, Saat, dan Tempat yang Menentukan Pajak Terutang Pengertian Tahun Pajak dalam Pajak Bumi dan Bangunan adalah jangka waktu satu tahun takwim (1 Januari sampai dengan 31 Desember). Saat yang menentukan terutangnya Pajak Bumi dan Bangunan adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari. Sebagai contoh objek pajak yang dimiliki Wajib Pajak per 1 Januari 2001 berupa tanah dan bangunan, selanjutnya pada tanggal 15 Januari 2001 bangunan tersebut terbakar, maka objek pajak yang digunakan sebagai dasar menghitung Pajak Bumi dan Bangunan Terutang tetap berdasarkan keadaan pada tanggal 1 Januari 2001 sebelum terbakar (Waluyo, 2009:162). Pengaturan penetapan tempat Pajak Bumi dan Bangunan Terutang yang meliputi letak objek pajak sebagai berikut: 1) Untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2) Untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II atau Kotamadya Daerah Tingkat II.
2.1.12 Surat Pemberitahuan Objek Pajak Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data objek pajak (Waluyo, 2009:163). Menurut Pasal 9 ayat (1) Undang Undang-undang No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dalam rangka pendataan, Wajib Pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak. Sebagai persyaratan
22
dalam mengisi SPOP bahwa SPOP harus diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak. Batas waktu penyampaiannya yaitu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak.
2.1.13 Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah Surat Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengenai pajak terutang yang harus dibayar dalam 1 (satu) tahun pajak. Cara mendapatkan SPPT itu sendiri adalah sebagai berikut. 1) Mengambil
sendiri
di
Kantor
Kelurahan/Kepala
Desa
atau
KPP
Pratama/KPPBB tempat objek pajak terdaftar atau tempat lain yang ditunjuk. 2) Dalam rangka pelayanan, SPPT dapat dikirim melalui Kantor Pos dan Giro atau diantarkan oleh aparat. 3) Wajib Pajak dapat memanfaatkan fasilitas Kring Pajak (500200) yang merupakan layanan pulsa lokal dari fixed phone/PTSN.
2.1.14 Surat Ketetapan Pajak Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah Surat Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang memberitahukan besarnya pajak yang terutang termasuk denda administrasi, kepada Wajib Pajak (WP). Menurut Pasal 10 ayat (2) Undang-undang No. 12 Tahun 1985 yang telah diubah dengan
23
Undang-undang No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, Direktorat Jenderal Pajak dapat mengeluarkan surat ketetapan pajak dalam hal-hal sebagai berikut : 1) Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) : (1) tidak diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta tidak ditandatangani oleh WP; (2) tidak disampaikan kembali dalam jangka waktu 30 hari dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam surat teguran; 2) Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh WP.
2.1.15 Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Keputusan Menteri Keuangan No. 362/KMK.04/1999 tentang Pemberian Pengurangan PBB, menyatakan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pemberian keringanan pajak terutang kepada Objek Pajak dalam hal : 1) Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan karena kondisi tertentu Objek Pajak yang ada hubungannya dengan Subyek Pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya, yaitu : (1) Objek Pajak berupa lahan pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan yang hasilnya sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi;
24
(2) Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya meningkat akibat adanya pembangunan atau perkembangan lingkungan; (3) Objek Pajak yang dimiliki/dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi; (4) Objek Pajak yang dimiliki/dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang berpenghasilan rendah, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi; (5) Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan termasuk janda/dudanya; (6) Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perpajakan. 2) Wajib Pajak Orang Pribadi dalam hal objek pajak terkena bencana alam (seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus) dan sebab-sebab lain yang luar biasa seperti kebakaran, kekeringan (puso). 3) Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan, termasuk janda/dudanya.
25
2.1.16 Tata Cara Pengajuan Pemohonan Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Keputusan Menteri Keuangan No. 362/KMK.04/1999 tentang Pemberian Pengurangan PBB, menyatakan tata cara pengajuan permohonan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) antara lain. 1) Diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Kepala Kantor Pelayanan PBB 2) Menyebutkan prosentase pengurangan yang diminta. 3) Dilakukan dengan ketentuan : (1) Untuk ketetapan PBB s/d Rp100.000 dapat diajukan secara perseorangan atau kolektif melalui Pemda setempat (Kepala Desa/Lurah dan diketahui Camat) dengan formulir yang telah ditentukan. (2) Untuk ketetapan PBB di atas Rp100.000 harus diajukan oleh WP yang bersangkutan. (3) Permohonan pengurangan yang diajukan oleh WP atau melalui Pemda setempat (Kepala Desa/Lurah) selanjutnya diberikan tanda terima berupa Formulir Pelayanan Wajib Pajak dan menata usahakannya. 4) Permohonan diajukan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung (1) Sejak tanggal diterimanya SPPT/SKP; atau (2) Sejak terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa. 5) Permohonan pengurangan PBB dapat diajukan secara perseorangan atau kolektif serta permohonan pengurangan PBB untuk wajib pajak badan. 6) Apabila batas waktu pengajuan tersebut tidak dipenuhi, maka permohonannya tidak diproses, dan Kepala Kantor Pelayanan PBB yang bersangkutan harus
26
memberitahukan secara tertulis kepada WP/Kepala Desa/ Lurah, disertai penjelasan seperlunya.
2.1.17 Penyelesaian Pengurangan PBB Permohonan pengurangan PBB yang disampaikan oleh Wajib Pajak (WP) ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama akan direkam oleh pelaksana Seksi Pelayanan dan meneruskan kepada Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi yang kemudian
akan
ditugaskan
kepada
Account
Representative.
Account
Representative (AR) akan meneliti persyaratan formal permohonan Wajib Pajak serta meneliti apakah permohonan tersebut merupakan wewenang KPP Pratama atau tidak. Jika keputusan atas permohonan pengurangan PBB merupakan wewenang KPP Pratama, maka AR akan membuat uraian penelitian. Sebelum penelitian dilakukan akan diterbitkan Surat Tugas bagi Petugas Peneliti yang akan melakukan penelitian. Penelitian ini berupa penelitian di kantor dan selanjutnya akan dilanjutkan dengan penelitian di lapangan. Kepala KPP Pratama, atau pejabat serendah-rendahnya eselon III pada Kanwil DJP atau unit eselon II Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak yang menyelenggarakan
fungsi
Pengurangan
PBB,
harus terlebih
dahulu
memberitahukan secara tertulis mengenai waktu pelaksanaan penelitian di lapangan kepada Wajib Pajak atau kuasanya, atau pengurus organisasi terkait lainnya/Kepala Desa/Lurah untuk permohonan yang diajukan secara kolektif. Hasil dari penelitian lapangan yang dilakukan oleh Account Representative dituangkan dalam laporan hasil penelitian Pengurangan PBB.
27
Jangka waktu penyelesaian Pengurangann PBB ini antara lain. 1) Paling lama 2 (dua) bulan sejak surat permohonan diterima lengkap (Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-37/PJ/2007 tanggal 14 Agustus 2007 tentang Percepatan Jangka Waktu Penyelesaian Layanan Unggulan Direktorat Jenderal Pajak). 2) Selambat-lambatnya
3
(tiga)
bulan
sejak
diterimanya
permohonan
pengurangan dari Wajib Pajak, apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Keputusan belum diterbitkan, maka permohonan pengurangan Wajib Pajak dianggap dikabulkan (Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 362/Kmk.04/1999 Tanggal 5 Juli 1999 Tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi Dan Bangunan Pasal 7 Ayat 4). Berikut disajikan pada Gambar 2.1, flowchart Tata Cara Penyelesaian Permohonan Pengurangan PBB Terutang.
28
Gambar 2.1 Flowchart Tata Cara Penyelesaian Permohonan Pengurangan PBB Terutang. Wajib Pajak
Petugas TPT
Pelaksana Seksi Pelayanan
Kepala Seksi Pelayanan
Account Representative
Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi
Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Mulai
Surat permohonan Pengurangan PBB
Bukti Penerimaan Surat (BPS)
Menerima, menerbitkan BPS/LAPD, merekam & meneruskan surat permohonan
Meneliti persyaratan formal
Persyaratan formal terpenuhi?
tidak
Konsep Surat Pemberitahuan Tidak Dapat Diproses
ya
Wewenang KPP
ya tidak
1
Membuat konsep Surat Pemberitahuan Tidak Dapat Diproses
Membuat Uraian Penelitian dan Konsep Surat Keputusan
Meneliti dan memaraf
Menyetujui dan menandatangani
3
2
Keterangan: PBB (Pajak Bumi dan Bangunan); BPS (Bukti Penerimaan Surat); LAPD (Lembar Arus Pengawasan Dokumen); KPP (Kantor Pelayanan Pajak) 29
Kantor Wilayah
Gambar 2.1 (Lanjutan) Flowchart Tata Cara Penyelesaian Permohonan Pengurangan PBB Terutang. Wajib Pajak
Petugas TPT
Pelaksana Seksi Pelayanan
Account Representative
Kepala Seksi Pelayanan
Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi
Kepala Kantor Pelayanan Pajak 3
Mencetak surat pengantar
1
2
Memroses surat pengantar
Uraian penelitian dan konsep surat keputusan
Surat pemberitahuan Tidak dapat Diproses
Meneliti, menandatangani Uraian Penelitian dan memaraf konsep SK
Menyetujui dan menandatangani
Surat Keputusan
Konsep Surat Pengantar Meneliti dan memaraf
Menyetujui dan menandatangani
Surat Pengantar
4
Keterangan: SK (Surat Keputusan)
30
Kantor Wilayah
Gambar 2.1 (Lanjutan) Flowchart Tata Cara Penyelesaian Permohonan Pengurangan PBB Terutang. Wajib Pajak
Petugas TPT
Pelaksana Seksi Pelayanan
Account Representative
Kepala Seksi Pelayanan
Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi
Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Kantor Wilayah
4
SOP Tata Cara Penatausahan Dokumen Wajib Pajak
Surat Keputusan/ Pemberitahuan Tidak Dapat Diproses
SOP Tata Cara Penyampaian Dokumen di KPP
Keterangan: SOP (Standard Operating Procedures); KPP (Kantor Pelayanan Pajak); PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)
selesai
Sumber : Standard Operating Procedures Tata Cara Penyelesaian 31 Pengurangan PBB Terutang , 2008
Surat pengantar dan permohonan
SOP Tata Cara Penyelesaian Permohonan Pengurangan PBB Terutang
2.1.19 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja Secara umum produktivitas dapat dikatakan sebagai perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan daya atau faktor produksi yang digunakan. Sedangkan produktivitas kerja (tenaga kerja) adalah perbandingan antara hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja per satuan waktu atau sejumlah barang/jasa yang dapat dihasilkan oleh seseorang atau kelompok orang/karyawan dalam jangka waktu tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas karyawan menurut Mudiartha Utama dkk (2001) yaitu sebagai berikut. 1) Pendidikan Tenaga kerja yang berpendidikan lebih mudah mengerti hal-hal yang diperintahkan untuk mengerjakannya. Cepat tanggap, cepat menerima pendapat, dan pandangan orang lain atau dari pimpinan. Pendidikan adalah membentuk dan menambah pengetahuan sesorang untuk mengerjakan sesuatu dengan lebih cepat. 2) Keterampilan Makin terampil tenaga kerja itu, makin cepat ia mengerjakan sesuatu akibat sudah terlatih sehingga dapat bekerja dengan sangat proporsional 3) Displin Tenaga kerja yang bersikap displin itu karena ia selalu taat kepada segala aturan tertulis yang ada, sangat mudah ditertibkan dan bekerja dengan sungguh atau serius.
32
4) Sikap mental dan etika kerja Karena tenaga kerja itu bersikap mental dan beretika kerja, pada umumnya mempunyai tanggung jawab dan bekerja dan bersungguh-sungguh pada setiap tugas yang diberikan kepadanya. 5) Motivasi Tenaga kerja perlu dirangsang dan didorong untuk dapat lebih bergairah dan antusias dalam melaksanakan pekerjaan itu. 6) Gizi dan kesehatan Sangat dipentingkan untuk kekuatan fisik tenaga kerja itu, sehingga dirasa segar selalu dalam menunaikan tugasnya. 7) Tingkat penghasilan Tenaga kerja bekerja untuk tujuan mendapatkan penghasilan guna menghidupi dirinya beserta keluarganya secara layak. Jelas dalam hal ini tingkat penghasilan cukup dominan. 8) Jaminan sosial Jaminan sosial merupakan suatu yang dapat menambah pendapatan tenaga kerja beserta keluarga. 9) Lingkungan dan iklim kerja Lingkungan kerja atau iklim kerja cukup juga berperan agar tenaga kerja dapat bekerja tenang dan aman tanpa suatu ganguan yang dirasakan dalam bekerjanya.
33
10) Hubungan Industrial Pancasila Hubungan kerja yang sangat manusiawi dalam perlakuan bagi tenaga kerja dapat lebih menjamin ketenangan kerja karyawan 11) Teknologi Makin profesional dan terampilnya tenaga kerja dapat mempercepat proses kerja tenaga tersebut. 12) Sarana produksi Sarana produksi sangat penting untuk bekerjanya tenaga kerja lebih sempurna. 13) Manajemen Baik buruknya manajemen dalam suatu organisasi sangat pula menentukan betah tidaknya atau tenang tidaknya karyawan itu bekerja. Kepemimpinan yang kurang terpuji dari seorang pemimpin organisasi dapat menyebabkan merosotnya semangat kerja karyawan. 14) Kesempatan berprestasi Diberikan suatu kesempatan bagi karyawan dalam berprestasi sangat perlu diusahakan dalam rangka pengembangan karyawan tersebut.
2.1.20 Tingkat Pendidikan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
34
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi serta jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat. Syafarudin dalam Dewi Laksmi (2010 : 21) mendefinisikan pendidikan sebagai optimalisasi sumber daya manusia yang cenderung lebih bersifat formal menyangkut antisipasi kemampuan dan keahlian individu yang harus dipersiapkan bagi kepentingan jabatan yang akan datang untuk mengantisipasi perubahan yang mungkin terjadi tanpa direncanakan ataupun yang direncanakan. Pendidikan adalah kegiatan untuk memperbaiki dan mengembangkan sumber daya manusia dengan cara meningkatkan kemampuan dan pengertian tentang pengetahuan umum dan pengetahuan ekonomi termasuk di dalamnya peningkatan pengetahuan teori dan keterampilan dalam upaya memecahkan masalah yang dihadapi perusahaan.
2.1.21 Pengalaman Kerja Pengalaman kerja adalah lamanya seorang karyawan bekerja pada suatu instansi atau organisasi yang secara spesifik dapat diukur dengan rentang waktu yang telah digunakan terhadap suatu pekerjaan atau tugas. Semakin lama seorang karyawan bekerja, maka semakin cepat dan semakin terampil mereka
35
menyelesaikan pekerjaan dan hasil kerjanya semakin baik dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki pengalaman kerja (Dewi Laksmi, 2010: 22). Pengalaman kerja bagi Account Representative dapat dilihat dari pengalaman kerjanya pada instansi pemerintah yang bersangkutan. Pengalaman merupakan salah satu variabel yang banyak digunakan dalam penelitian, di mana didasarkan pada asumsi bahwa tugas yang dilakukan secara berulang-ulang memberikan peluang untuk belajar melakukannya dengan baik. Seseorang dengan lebih banyak pengalaman dalam suatu bidang memiliki lebih banyak hal yang tersimpan dalam ingatannya dan dapat mengembangkan suatu pemahaman yang baik mengenai peristiwa-peristiwa. Pengalaman kerja adalah tingkat penguasaan pengetahuan serta keterampilan seseorang dalam pekerjaannya yang dapat diukur dari masa kerja dan tingkat pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki. Seorang karyawan yang berpengalaman akan memiliki gerakan yang mantap dan lancar, gerakannya berirama, lebih cepat menanggapi tanda-tanda, dapat menduga akan timbulnya kesulitan sehingga lebih siap menghadapinya serta dipengaruhi oleh faktor lain, yaitu: lama waktu/masa kerja seseorang, tingkat pengetahuan atau keterampilan yang telah dimiliki dan tingkat penguasaan terhadap pekerjaan dan peralatan. Seorang karyawan yang memiliki pengalaman kerja yang tinggi akan memiliki keunggulan dalam beberapa hal diantaranya: mendeteksi kesalahan, memahami kesalahan dan mencari penyebab munculnya kesalahan (Ika Sukriah dkk, 2009: 6).
36
2.1.22 Disiplin Kerja Disiplin kerja adalah sikap dan perilaku seorang karyawan yang diwujudkan dalam bentuk kesediaan seorang karyawan dengan penuh kesadaran, dan ketulusikhlasan atau dengan paksaan untuk mematuhi dan melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai upaya memberi sumbangan semaksimal mungkin dalam pencapaian tujuan perusahaan (Asthama Oka Partini, 2006:23). Secara etiomologis, kata “disiplin” berasal dari kata Latin “diciplina” yang berarti latihan atau pendidikan kesopanan dan kerohanian serta pengembangan tabiat (Muhaimin. 2004: 6). Robbins dalam Desy (2004) menyatakan bahwa disiplin kerja dapat diartikan sebagai suatu sikap dan perilaku yang dilakukan secara sukarela dengan penuh kesadaran dan kesediaan mengikuti peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh perusahaan atau atasan, baik tertulis maupun tidak tertulis. Beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya perilaku disiplin kerja, yakni: tujuan dan kemampuan, teladan pimpinan, balas jasa, keadilan, pengawasan melekat, sanksi hukuman, ketegasan, dan hubungan kemanusiaan. Perilaku karyawan yang tidak disiplin dapat diekspresikan dalam beberapa hal, yaitu: keabsenan, kelambanan, meninggalkan tempat kerja, mengulangi prestasi buruk, mencuri, tidur ketika bekerja, berkelahi, mengancam pimpinan, melanggar aturan dan kebijaksanaan keselamatan kerja, pembangkangan perintah, melakukan pelanggaran secara tidak wajar, memperlambat pekerjaan, menolak kerja lembur, menolak kerja sama dengan rekan, memiliki dan menggunakan obat-obatan ketika bekerja, merusak peralatan, menggunakan bahasa atau kata-kata kotor, dan pemogokan secara ilegal (Desy, 2004: 6).
37
Disiplin kerja memiliki arti yang sangat penting bagi kelangsungan hidup perusahaan, dengan tingkat disiplin yang tinggi maka perusahaan dapat mencapai sasaran dan tujuan yang diinginkan dengan efektif dan efisien. Kondisi disiplin karyawan memiliki implikasi langsung atas sikap mental dan moral karyawan sehingga berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Implikasi disiplin kerja karyawan yang baik mencerminkan besarnya tanggung jawab karyawan terhadap tugas yang diberikan oleh perusahaan. Hal ini akan mendorong tumbuh kembangnya semangat kerja karyawan dan akan mendorong juga peningkatan kinerja karyawan. Ini berarti pembinaan disiplin diperlukan dan penting bagi pencapaian tujuan perusahaan.
2.1.23 Kompleksitas Tugas Kompleksitas muncul dari ambiguitas dan struktur yang lemah, baik dalam tugas utama maupun tugas lain yang terlibat. Kompleksitas tugas merupakan proses dari suatu tugas yang membutuhkan sejumlah struktur dan kejelasan tugas yang diberikan, sehingga kompleksitas tugas akan meningkat disebabkan meningkatnya sejumlah proses dan berkurangnya tingkat struktur (Arywarti, 2009: 5). Kompleksitas tugas relatif lebih tinggi untuk tugas yang tidak terpola dibandingkan dengan tugas yang sudah terpola dan terstruktur. Tugas-tugas yang membingungkan dan tidak terstruktur mengakibatkan adanya alternatif-alternatif yang ada tidak teridentifikasi sehingga menyebabkan data tidak dapat diperoleh dan outputnya tidak dapat diprediksi. Ketidakpastian menunjukkan pada tidak adanya informasi yang diperlukan, yaitu perbedaan antara informasi yang
38
diperlukan dan informasi yang tersedia untuk menyelesaikan pekerjaan. Menurut Wood dalam Tan dan Kao (1999), menyatakan bahwa pengertian kompleksitas tugas meliputi dua aspek, yaitu: (a) komponen kompleksitas, berhubungan denga jumlah informasi yang yang harus diproses dan langkah-langkah yang dilaksanakn dalam menyelesaikan tugas, serta (b) koordinasi kompleksitas, berhubungan dengan jumlah koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas. Tingkat kesulitan tugas dan struktur tugas merupakan dua aspek penyusun kompleksitas tugas. Tingkat sulitnya tugas biasanya dikaitkan dengan banyaknya informasi tentang tugas tersebut, sedangkan struktur tugas berkaitan dengan kejelasan informasi (Siti dkk, 2007:10). Proses pengolahan informasi terdiri dari tiga tahapan, yaitu: input, proses, output. Pada tahap input dan proses inilah, kompleksitas tugas meningkat (Yogi Saraswati, 2009: 28). Menurut Bonner dan Sprinkle dalam Arywarti (2009), kompleksitas tugas dapat menurunkan usaha atau motivasi seseorang, dan meningkatkan atau menurunkan usaha yang diarahkan untuk pengembangan strategi, dan juga dapat mengakibatkan menurunnya kinerja jangka pendek atau jangka panjang.
2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian oleh Yogi Saraswati (2009) meneliti tentang pengaruh masingmasing variabel bebas yaitu gender, tekanan ketaatan, kompleksitas tugas, tingkat pendidikan, pengalaman auditor terhadap variabel terikat yaitu audit judgement. Kuesioner digunakan sebagai instrumen teknik pengumpulan data yang disebarkan ke responden, di mana responden dalam penelitian ini adalah auditor-
39
auditor yang bekerja pada KAP di Bali. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis regresi berganda dengan melihat goodness of fit yakni koefisien determinasi, nilai statistik F dan nilai statistik t. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa gender dan tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap audit judgement. Sedangkan variabel tekanan ketaatan, kompleksitas tugas dan pengalaman auditor berpengaruh terhadap audit judgement. Penelitian lainnya dilakukan oleh Krisnawati (2009) mengenai pengaruh gender, jabatan, usia, pengalaman, kompleksitas tugas, dan tingkat pendidikan terhadap efektivitas system informasi akuntansi pada PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya Cabang Bali/Nusa Tenggara, dimana instrumen teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner. Responden dalam penelitian ini adalah karyawan yang bekerja di PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya Cabang Bali/Nusa Tenggara yang tidak berstatus pegawai non karier (PNK) dan mengetahui sistem informasi akuntansi. Berdasarkan hasil analisis secara parsial diketahui bahwa variabel jabatan, usia dan tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap efektifitas sistem informasi akuntansi, sedangkan untuk variabel gender, pengalaman dan kompleksitas tugas berpengaruh terhadap efektifitas system informasi akuntansi serta secara simultan semua faktor berpengaruh signifikan terhadap efektifitas sistem informasi akuntansi. Penelitian yang dilakukan oleh Thirtyawati (2007) mengenai pengaruh tingkat kesejahteraan dan disiplin kerja terhadap produktivitas kerja karyawan pada Pelasa Hotel Legian-Kuta yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari tingkat kesejahteraan dan disiplin kerja terhadap produktivitas kerja karyawan
40
baik secara parsial maupun simultan serta untuk mengetahui variabel bebas yang memiliki pengaruh terbesar terhadap variabel terikat. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara dan kuesioner. Dari hasil penelitian diketahui bahwa variabel tingkat kesejahteraan dan disiplin kerja berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap produktivitas kerja karyawan, serta variabel tingkat kesejahteraan memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap produktivitas kerja karyawan. Penelitian sebelumnya oleh Dewi Laksmi (2010) mengenai pengaruh tingkat pendidikan, pelatihan kerja, pengalaman kerja, dan profesionalisme petugas pemeriksa pajak pada penyelesaian pemeriksaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama se-Bali serta jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 44 orang. Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linear berganda, uji F-test, uji t-test dan Standardized Coefficient Beta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan, pelatihan kerja, pengalaman kerja dan profesionalisme petugas pemeriksa pajak berpengaruh positif dan signfikan secara simultan terhadap penyelesaian pemeriksaan pajak pada KPP Pratama se-Bali. Berdasarkan hasil Standardized Coefficient Beta dari masing-masing variabel bebas dapat diketahui bahwa variabel yang berpengaruh dominan terhadap penyelesaian pemeriksaan pajak pada KPP Pratama se-Bali adalah variabel tingkat pendidikan. Penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yogi (2009), Krisnawati (2009), Thirtyawati (2007), dan Dewi Laksmi (2010). Persamaan tersebut adalah pada variabel yang digunakan yaitu tingkat pendidikan,
41
pengalamn kerja, disiplin kerja dan kompleksitas tugas, metode pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner serta teknik analisis data Analisi Regresi Berganda, Uji F-test, Uji t-test, dan Standardized Coefficient Beta. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada obyek penelitian, yaitu penyelesaian pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan. Ringkasan hasil penelitian sebelumnya disajikan dalam Tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian Oleh
Variabel Penelitian
Yogi (2009)
Variabel bebas: gender, tekanan ketaatan, kompleksitas tugas dan pengalaman auditor. Variabel terikat: audit judgement
Krisnawati (2009)
Variabel bebas: gender, jabatan, usia, pengalaman, kompleksitas tugas dan tingkat pendidikan Variabel terikat: efektifitas sistem informasi akuntansi pada PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya Cabang Bali/Nusa Tenggara
Metode Teknik Hasil Penelitian Pengumpulan Analisis Data Data Kuesioner Analisis regresi Variabel gender dan berganda, uji tingkat pendidikan tidak F, uji t. berpengaruh terhadap audit judgement sedangkan variabel tekanan ketaatan, kompleksitas tugas dan pengalaman auditor berpengaruh terhadap audit judgement. Kuesioner Analisis regresi Variabel jabatan, usia berganda, uji dan tingkat pendidikan F, uji t. tidak berpengaruh
terhadap efektifitas sistem informasi akuntansi, sedangkan untuk variabel gender, pengalaman dan kompleksitas tugas berpengaruh terhadap efektifitas system informasi akuntansi
42
Tabel 2.1 (Lanjutan) Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian Oleh
Variabel Penelitian
Thirtyawati (2007)
Variabel bebas: tingkat kesejahteraan dan disiplin kerja. Variabel terikat: produktivitas kerja Pelasa Hotel LegianKuta.
Dewi Laksmi (2010)
Variabel bebas: tingkat pendidikan, pelatihan kerja, pengalaman kerja, dan profeionalisme petugas pemeriksa pajak. Variabel terikat: penyelesaian pemeriksaan pajak.
Metode Teknik Pengumpulan Analisis Data Data Observasi, Analisis regresi wawancara, berganda, uji dan kuesioner F, uji t, dan Standardized Coefficient Beta.
Kuesioner
Sumber : Data diolah dari hasil penelitian, 2010
43
Analisis regresi berganda, uji F, uji t, dan Standardized Coefficient Beta.
Hasil Penelitian
Variabel tingkat kesejahteraan dan disiplin kerja berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap produktivitas kerja karyawan, serta variabel tingkat kesejahteraan memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap produktivitas kerja karyawan. Variabel tingkat pendidikan, pelatihan kerja, pengalaman kerja dan profesionalisme petugas pemeriksa pajak berpengaruh positif dan signfikan secara simultan terhadap penyelesaian pemeriksaan pajak pada KPP Pratama seBali. Variabel yang berpengaruh dominan terhadap penyelesaian pemeriksaan pajak pada KPP Pratama seBali adalah variabel tingkat pendidikan.
2.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan pada pokok permasalahan, landasan teori dan kajian hasil penelitian sebelumnya maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 2.3.1 Pengaruh Tingkat Pendidikan pada Penyelesaian Pengurangan PBB Syafarudin dalam Dewi Laksmi (2010 : 21) mendefinisikan pendidikan sebagai optimalisasi sumber daya manusia yang cenderung lebih bersifat formal menyangkut antisipasi kemampuan dan keahlian individu yang harus dipersiapkan bagi kepentingan jabatan yang akan datang untuk mengantisipasi perubahan yang mungkin terjadi tanpa direncanakan ataupun yang direncanakan. Dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 98/KMK.01/2006 tentang Account
Representative
pada
kantor
pelayanan
pajak
yang
telah
mengimplementasikan organisasi modern disebutkan bahwa persyaratan pegawai yang dapat diangkat sebagai Account Representative meliputi lulus pendidikan formal paling rendah Diploma III dan pangkat paling rendah pada saat diusulkan adalah Pengatur Tingkat I (Golongan II/d). Sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah. H1 : Tingkat
pendidikan
Account
Representative
berpengaruh
pada
penyelesaian pengurangan PBB di Kantor Pelayanan Pajak Pratama seKota Denpasar dan se-Kabupaten Badung.
2.3.2 Pengaruh Pengalaman Kerja pada Penyelesaian Pengurangan PBB Semakin lama seorang karyawan bekerja, maka semakin cepat dan semakin terampil mereka menyelesaikan pekerjaan dan hasil kerjanya semakin baik
44
dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki pengalaman kerja (Dewi Laksmi, 2010: 22). Pengalaman kerja bagi Account Representative dapat dilihat dari pengalaman kerjanya pada instansi pemerintah yang bersangkutan. Seseorang dengan lebih banyak pengalaman dalam suatu bidang memiliki lebih banyak hal yang tersimpan dalam ingatannya dan dapat mengembangkan suatu pemahaman yang baik mengenai peristiwa-peristiwa. Sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah. H2 : Pengalaman kerja Account Representative berpengaruh pada penyelesaian pengurangan PBB di Kantor Pelayanan Pajak Pratama se-Kota Denpasar dan se-Kabupaten Badung.
2.3.3
Pengaruh Disiplin Kerja pada Penyelesaian Pengurangan PBB Disiplin kerja adalah sikap dan perilaku seorang karyawan yang diwujudkan
dalam bentuk kesediaan seorang karyawan dengan penuh kesadaran, dan ketulusikhlasan atau dengan paksaan untuk mematuhi dan melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai upaya memberi sumbangan semaksimal mungkin dalam pencapaian tujuan perusahaan (Asthama Oka Partini, 2006:23). Disiplin kerja memiliki arti yang sangat penting bagi kelangsungan hidup perusahaan, dengan tingkat disiplin yang tinggi maka perusahaan dapat mencapai sasaran dan tujuan yang diinginkan dengan efektif dan efisien. Implikasi disiplin kerja karyawan yang baik mencerminkan besarnya tanggung jawab karyawan terhadap tugas yang diberikan oleh perusahaan. Hal ini akan mendorong tumbuh
45
kembangnya semangat kerja karyawan dan akan mendorong juga peningkatan kinerja karyawan. Sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah. H3 : Disiplin kerja Account Representative berpengaruh pada penyelesaian pengurangan PBB di Kantor Pelayanan Pajak Pratama se-Kota Denpasar dan se-Kabupaten Badung.
2.3.4
Pengaruh Kompleksitas Tugas pada Penyelesaian Pengurangan PBB Kompleksitas muncul dari ambiguitas dan struktur yang lemah, baik dalam
tugas utama maupun tugas lain yang terlibat. Kompleksitas tugas relatif lebih tinggi untuk tugas yang tidak terpola dibandingkan dengan tugas yang sudah terpola dan terstruktur. Ketidakpastian menunjukkan pada tidak adanya informasi yang diperlukan, yaitu perbedaan antara informasi yang diperlukan dan informasi yang tersedia untuk menyelesaikan pekerjaan. Proses pengolahan informasi terdiri dari tiga tahapan, yaitu : input, proses, output. Pada tahap input dan proses inilah, kompleksitas tugas meningkat (Yogi Saraswati, 2009: 28). Sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah. H4 : Kompleksitas
tugas
Account
Representative
berpengaruh
pada
penyelesaian pengurangan PBB di Kantor Pelayanan Pajak Pratama seKota Denpasar dan se-Kabupaten Badung.
46