1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak juga disebut sumber penerimaan negara untuk pembiayaan pemerintah dan pembangunan di Indonesia. Pajak memang menjadi salah satu sumber penerimaan utama negara yang masih terus digali potensinya oleh pemerintah guna membiayai pembangunan nasional. Kenaikan penerimaan pajak dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa terdapat potensi besar. Kenaikan penerimaan pajak inilah yang akan meningkatkan penerimaan kas negara. Menurut Direktorat Jendral Pajak Kementerian Keuangan, rasio kepatuhan wajib pajak dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, namun tidak diiringi dengan jumlah wajib pajak yang terdaftar. Kepatuhan wajib pajak dapat dilihat dari perbandingan wajib pajak yang menyerahkan SPT dengan jumlah wajib pajak yang terdaftar. SPT yang dilaporkan wajib pajak mencerminkan komitmen wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya sebagai warga negara. Permasalahan yang sering terjadi berkaitan dengan pungutan pajak ini yakni masih banyaknya masyarakat yang tidak mau memenuhi kewajiban pajaknya, atau dengan kata lain masih banyaknya tunggakan pajak. Tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi untuk menunaikan kewajiban pembayaran pajaknya masih cukup rendah.
2
Direktorat Jenderal Pajak selaku badan yang mengelola Perpajakan Indonesia, pada dasarnya telah melakukan berbagai cara dalam upaya peningkatan penerimaan negara dalam sektor pajak. Untuk mendongkrak peningkatan penerimaan negara melalui sektor pajak, dibutuhkan partisipasi aktif dari wajib pajak untuk memenuhi segala kewajiban perpajakannya dengan baik. Artinya peningkatan penerimaan negara ditentukan oleh tingkat kepatuhan Wajib Pajak sebagai warga negara yang baik (Diana, 2013). Permasalahan dalam kepatuhan perpajakan di Indonesia menjadi permasalahan yang perlu diperhatikan. Salah satu dari permasalahan tersebut dapat dilihat dari jumlah wajib pajak yang terdaftar setiap tahunnya bertambah, namun tidak diimbangi dengan pencapaian target realisasi penerimaan pajak setiap tahunnya. Pada tahun 2015 target penerimaan pajak 382.441.000.000, dari jumlah tersebut hanya terealisasi 364.792.504.009. Tingkat wajib pajak yang terdaftar apabila dibandingkan dengan jumlah penerimaan pajak masih perlu diperhatikan. Rendahnya tingkat kepatuhan pajak menjadi indikator rendahnya serapan pajak oleh pemerintah. Tabel 1.1 Target dan Realisasi Penerimaan Pajak Jumlah Realisasi Tahun Target WP OP 2011 6396 276.296.159.180 245.295.606.224 2012 6829 193.627.195.000 194.972.765.242 2013 205.368.000.000 200.758.830.467 7248 2014 243.317.000.000 249.786.830.361 7694 2015 382.441.000.000 364.792.504.009 8114 2016 503.854.475.000 477.631.847.352 8571 Sumber : Ditjen Pajak, KPP Pratama Semarang Tengah Satu, 2017
% 88,78% 100,69% 97,76% 102,66% 95,39% 94,80%
3
Masalah lain dari kepatuhan wajib pajak diperkuat dengan data yang diperoleh dari salah satu Kantor Pelayanan Pajak di kota Semarang menunjukkan bahwa dalam kurun waktu dua tahun yaitu tahun 2014 dan 2015, target penerimaan pajak tidak terpenuhi, padahal jumlah wajib pajak yang terdaftar setiap tahunnya selalu meningkat. Tabel 1.2 Jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi yang Terdaftar di KPP Pratama Semarang Gayamsari Uraian
2015
2016
WP OP 61.859 65.460 Sumber : Ditjen Pajak, KPP Pratama Semarang Gayamsari, 2017
Tahun 2014
Tabel 1.3 Target dan Realisasi Penerimaan Pajak Target Realisasi 470.618.000.000
417.350.838.041
2015 637.007.000.000 553.917.926.075 Sumber : Ditjen Pajak, KPP Pratama Semarang Gayamsari, 2017 Kepatuhan wajib pajak dalam membayar kewajiban perpajakannya merupakan hal penting dalam penarikan pajak tersebut. Penyebab kurangnya kemauan membayar pajak tersebut antara lain adalah asas perpajakan, yaitu bahwa hasil pemungutan pajak tersebut tidak langsung dinikmati oleh para wajib pajak. Upaya pendidikan, penyuluhan dan sebagainya tidak banyak berarti dalam membangun kesadaran wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban pajak, jika masyarakat tidak merasakan manfaat dari membayar pajak, seperti jalan-jalan raya yang halus, pusatpusat kesehatan masyarakat, pembangunan sekolah-sekolah negeri, irigasi yang baik, dan fasilitas-fasilitas publik lainnya (Hardiningsih, 2011).
4
Sumber dana atau penerimaan Negara Indonesia diatur dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pendapatan negara terbagi menjadi dua yaitu, Penerimaan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sistem perpajakan yang dianut di Indonesia salah satunya self assessmentyaitu wajib pajak diberikan kepercayaan penuh untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajak terhutang. Namun tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia masih tergolong rendah. Masih banyak wajib pajak yang sengaja tidak melaksanakan kewajiban dan mengetahui tata cara untuk melaksanakan kewajiban perpajakan (Arie, 2015). Indonesia juga menganut Withholding System, sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pihak lain atau pihak ketiga untuk memotong dan memungut besarnya pajak yang terhutang oleh wajib pajak. Pihak ketiga disini adalah pihak lain selain pemerintah dan wajib pajak.Sistem penghitungan sendiri (self assessment) memungkinkan potensi adanya wajib pajak tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik akibat dari kelalaian, kesenjangan ataupun ketidaktahuan wajib pajak atas tanggung jawab dari kewajiban perpajakannya. Untuk mengatasi ketidakefektifan penerapan sistem self assessment, dan agar pelaksanaan kewajiban wajib pajak dapat dilaksanakan secara baik dan benar, harus diimbangi dengan memberikan penyuluhan pajak (tax dissemination), pelayanan perpajakan (tax service) dan pengawasan perpajakan (law enforcement). Apabila ketiga fungsi tersebut dapat dilaksanakan secara optimal, maka kepatuhan sukarela (voluntary compliance) wajib pajakdi dalam melaksanakan kewajiban dan haknya
5
di sektor perpajakan akan meningkat. Pada akhirnya akan meningkatkan tax ratiodan sekaligus penerimaan pajak. Namun pada kenyataan yang ada sekarang ini, negara Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak masih rendah. Fakta tersebut terbukti setelah diperoleh data yang menunjukkan bahwa penerimaan pajak yang tercermin dari tax gap dan tax ratio belum dapat dimaksimalkan. Pada tanggal 30 April 2015 pemerintah melalui Menteri Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan No 91/PMK.03/2015 tentang pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi atas keterlambatan penyampaian surat
pemberitahuan, pembetulan surat pemberitahuan dan keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak, yang berlaku mulai 4 Mei 2015. Pada peraturan menteri keuangan tersebut diatur mengenai tata cara pelaksanaan kebijakan sunset policy tahun 2015. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tak jera menerapkan kebijakan penghapusan sanksi administrasi pajak (sunset policy), meski pernah mengalami kegagalan pada 2008. Tahun ini, Ditjen Pajak kembali menjalankan kebijakan sunset policy dan diklaim bisa mendulang keberhasilan karena telah didukung dengan kelengkapan data Wajib Pajak yang mumpuni. Pengamat Perpajakan Universitas Indonesia, Ruston Tambunan menjelaskan, pendorong Ditjen Pajak menerapkan kembali kebijakan sunset policy karena target penerimaan pajak pemerintah cukup tinggi. Selain itu, Ditjen Pajak juga sedang berusaha menegakkan kepatuhan Wajib Pajak. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 diamanatkan bahwa dari total target penerimaan pajak Rp 1.294,3 triliun, sebesar
6
Rp 904,1 triliun rencananya akan diperoleh dari penerimaan rutin, sedangkan sisanya sebesar Rp 390,2 triliun harus dikejar dengan upaya ekstra (extra effort). "Lebih dari 50 persen atau separuh target penerimaan pajak dari extra-effort tersebut atau sekitar Rp 200 triliun diharapkan dapat dicapai melalui Sunset Policy Jilid II,"(Ruston, 2015). Sunset Policy adalah pemberian fasilitas penghapusan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Kebijakan ini memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memulai kewajiban perpajakannya dengan benar (Ngadiman, 2015). Sunset policy digunakan untuk menggambarkan kebijakan pemerintah yang pernah diterapkan di Indonesia yaitu pemberian penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.Pemerintah mengklaim Sunset policy yang diterapkan pertama kali tersebut sukses karena berhasil memperoleh tambahan penerimaan pajak 2008 sebesar Rp 7,46 triliun. Tercatat bahwa hanya pada 2008 saja Ditjen Pajak bisa melampaui target penerimaan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Melalui Sunset policy, lanjutnya, diperoleh tambahan sejumlah 5,5 juta Wajib Pajak baru. Namun menurut Ruston, target jangka panjang dari pemberlakuan Sunset Policy tersebut tak berhasil. "Sayang dari sumber data Ditjen Pajak, tingkat kepatuhan Wajib Pajak ternyata tidak menunjukkan peningkatan secara signifikan paska Sunset policy," papar Konsultan Pajak di CITASCO itu. Kebijakan ini dinamakan Sunset Policy Jilid II yang disebut-sebut sebagai Reinventing Policy.
7
Wajib Pajak orang pribadi dan badan, baik yang telah maupun yang belum menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan, SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, SPT Masa PPh maupun SPT Masa PPN, akan diberikan penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan penyampaian SPT, pembetulan SPT dan keterlambatan penyetoran atau pembayaran pajak apabila dalam 2015, Wajib Pajak menyampaikan atau melakukan pembetulan SPT untuk lima tahun ke belakang. Pemerintah sedang berusaha meningkatkan pembangunan nasional dalam lima tahun kedepan. Sejumlah proyek besar seperti pembangunan tol laut, infrastruktur darat hingga revitalisasi desa dan pertanian menjadi proyek unggulan. Namun pemerintah membutuhkan dana yang memadai untuk
membiayai proyek
pembangunan ini. Karena desakan publik agar pemerintah mengurangi besaran utang, maka sumber pembiayaan yang tersedia adalah iuran pajak serta bea-cukai. Pemerintah mentargetkan tambahan perolehan pajak sekitar Rp 600 triliun untuk tahun depan dari target awal sekitar Rp 1400triliun. Menurut Presiden Joko Widodo, tambahan itu hanya setengah dari total potensi yang ada yaitu mencapai Rp 1.200 triliun. Pemerintah berencana memberikan pengampunan pajak atau tax amnesty kepada Warga Negara Indonesia (WNI) yang diduga melakukan penghindaran pajak di luar negeri (Ruston, 2015). Tax amnesty adalah suatu kesempatan waktu yang terbatas pada kelompok pembayar pajak tertentu untuk membayar sejumlah tertentu dan dalam waktu tertentu berupa pengampunan kewajiban pajak (termasuk bunga dan denda) yang berkaitan dengan masa pajak sebelumnya atau periode tertentu tanpa takut hukuman pidana (Ngadiman, 2015). Wacana untuk menjalankan program Tax
8
Amnesty kembali muncul seiring dengan peningkatan target penerimaan pajak dari tahun ke tahun yang diyakini tidak akan dapat dicapai dalam jangka pendek kecuali melakukan extra-effort karena basis data perpajakan yang belum kuat serta jumlah aparat pajak yang kurang dari jumlah ideal. Disinyalir terdapat dana masyarakat Indonesia sejumlah Rp 3.000 triliun yang diparkir di luar negeri khususnya negara Singapore yang selama ini tidak terjangkau oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dua istilah yaitu Sunset Policy dan Tax Amnesty akhir-akhir ini makin sering muncul dalam pemberitaan di berbagai media baik cetak maupun elektronika sehubungan dengan kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia dalam upaya mengejar target penerimaan pajak yang semakin meningkat setiap tahunnya. Penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi yaitu dilakukan oleh Ngadiman dkk (2015) yang berjudul Pengaruh Sunset Policy, Tax Amnesty dan Sanksi Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Empiris di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kembangan) meneliti bahwa sunset policy berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi, sedangkan tax amnesty dan sanksi pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Monica Dian Anggraeni (2011) dengan judul Pengaruh Pemanfaatan Fasilitas Perpajakan Sunset Policy terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak meneliti bahwa sunset policy berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Penelitian yang dilakukan Annisa dkk (2016) dengan judul Pengaruh Pengetahuan Pajak, Sanksi Pajak, Keadilan Pajak dan Niat Untuk Patuh terhadap
9
Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi menunjukkan bahwa pengetahuan pajak, sanksi pajak dan niat untuk patuh berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Sedangkan keadilan pajak tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Yuliarti Harlina (2015) meneliti tentang Pengaruh Keadilan Pajak dan Pengetahuan Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama Mojokerto menunjukkan variabel keadilan pajak tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi, sedangkan variabel pengetahuan pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Penelitian Putu Rara Susmita dkk (2016) Pengaruh Kualitas Pelayanan, Sanksi Perpajakan, Biaya Kepatuhan Pajak dan Penerapan E-Filling pada Kepatuhan Wajib Pajak menunjukkan bahwa sanksi pajak, kualitas pelayanan dan penerapan e-filling berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Sedangkan biaya kepatuhan pajak berpengaruh negatif dam signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Terdapat perbedaan penelitian antara Ngadiman dkk (2015) dan Monica (2011). Hasil penelitian dari Ngadiman dkk (2015) bahwa sunset policy berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Sedangkan hasil penelitian dari Monica (2011) bahwa sunset policy berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Dilihat dari penelitian Ngadiman (2015), Annisa (2016) dan Putu Rara (2016) menunjukkan bahwa sanksi pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Variabel tax amnesty baru diteliti
10
oleh satu orang yaitu Ngadiman (2015) yang menunjukkan hasil bahwa tax amnesty berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Perbedaan hasil penelitian tersebut dirangkum dalam tabel 1.4 sebagai berikut:
Peneliti (Tahun) Ngadiman dkk (2015) Monica dkk (2011) Annisa (2016) Yuliarti (2015) Putu Rara (2016)
Tabel 1.4 Tabel Beda Hasil Penelitian Sunset Tax Sanksi Pengetahu Keadilan Niat Policy Amnesty Pajak an Pajak Pajak Patuh √
√
Kualitas Pelayan An
Biaya Kepatuh an
Penerapan E-Filling
√
√
√
√
√ √
√
√
≠
√
≠
√
Keterangan : √
: Berpengaruh
≠
: Tidak Berpengaruh Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan Ngadiman
dkk (2015). Alasan melakukan replika ini karena terdapat perbedaan hasil penelitian pada salah satu variabel. Selain itu juga fenomena terkait kebijakan pemerintah dalam sektor perpajakan saat ini sedang marak diperbincangkan. Sampel dalam penelitian ini menggunakan wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Semarang Tengah Satu dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Semarang Gayamsari, sedangkan dalam penelitian Ngadiman (2015) menggunakan sampel wajib pajak orang pribadi yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kembangan. Pemilihan sampel di kota Semarang
11
karena memiliki ruang lingkup yang luas bagi peneliti untuk melakukan penelitian. Sehingga peneliti ingin mengetahui sampai dimana tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi yang berada di kota Semarang. Untuk itu peneliti melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Sunset Policy, Tax Amnesty dan Sanksi Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Studi Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Semarang Tengah Satu dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Semarang Gayamsari)”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah: 1.
Apakah sunset policy mempengaruhi kepatuhan wajib pajak orang pribadi?
2.
Apakah tax amnesty mempengaruhi kepatuhan wajib pajak orang pribadi?
3.
Apakah sanksi pajak mempengaruhi kepatuhan wajib pajak orang pribadi?
1.3 Tujuan Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui apakah sunset policy mempengaruhi kepatuhan wajib pajak orang pribadi.
2.
Untuk mengetahui apakah tax amnesty mempengaruhi kepatuhan wajib pajak orang pribadi.
3.
Untuk mengetahui apakah sanksi pajak mempengaruhi kepatuhan wajib pajak orang pribadi.
1.4 Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat diambil manfaat sebagai berikut: a.
Bagi Akademisi
12
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para akademisi sebagai referensi untuk menambah pengetahuan yang berkaitan dengan kebijakan perpajakan khususnya dalam bidang ekstensifikasi dan intensifikasi, khususnya adalah sunset policy, tax amnesty dan sanksi pajak dalam kaitannya dengan kepatuhan wajib pajak orang pribadi. b.
Praktisi Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah terutama fiskus dalam membuat suatu kebijakan, agar dapat diikuti oleh para wajib pajak secara optimal.
1
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Opersional Variabel dependen dalam penelitian ini adalah tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi, sedangkan variabel independen dalam penelitian ini adalah sunset policy, tax amnesty dan sanksi perpajakan. Definisi dari masing-masing variabel tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: 3.1.1 Variabel Independen 1. Sunset Policy Sunset policy menurut (Siti Kurnia Rahayu dalam Ngadiman, 2015) adalahpemberian fasilitas penghapusan sanksi administrasi berupa
bunga
sebagaimana diatur dalam Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28
Tahun
2007.Kebijakan ini memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memulai kewajiban perpajakannya dengan benar. Sunset policy dalam penelitian ini terdapat 5 (lima) indikator yang digunakan sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ngadiman (2015), serta jenis pernyataan diukur dengan menggunakan skala likert 5 (lima) poin (STS = Sangat Tidak Setuju, TS = Tidak Setuju, N = Netral, S = Setuju, dan SS = Sangat Setuju). 2. Tax Amnesty Tax amnesty adalah suatu kesempatan waktu yang terbatas pada kelompokpembayar pajak untuk membayar sejumlah tertentu dan dalam waktu tertentu berupa pengampunan kewajiban pajak (termasuk bunga dan denda) yang
2
berkaitan dengan masa pajak sebelumnya atau periode tertentu tanpa takut hukuman pidana (Ngadiman, 2015). Tax amnesty dalam penelitian ini terdapat 5 (lima) indikator yang digunakan sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ngadiman (2015), serta jenis pernyataan diukur dengan menggunakan skala likert 5 (lima) poin (STS = Sangat Tidak Setuju, TS = Tidak Setuju, N = Netral, S = Setuju, dan SS = Sangat Setuju). 3. Sanksi Pajak Sanksi adalah suatu tindakan berupa hukuman yang diberikan kepada orangyang melanggar peraturan. Peraturan atau undang-undang merupakan ramburambu bagi seseorang untuk melakukan sesuatu mengenai apa yang
harus
dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan(Ngadiman, 2015).Sanksi perpajakan dikenakan kepada para wajib pajak orang pribadi yang tidak mematuhi aturan dalam Undang-undang Perpajakan. Sanksi yang diberikan kepada wajib pajak orang pribadi yakni berupa sanksi administrasi seperti denda, bunga, atau pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi dan sanksi pidana yaitu berupa kurungan penjara. Wajib Pajak yang memahami hukum perpajakan dengan baik akan berupaya untuk mematuhi segala pembayaran pajak dibandingkan melanggar karena akan merugikannya secara materiil. Sanksi pajak dalam penelitian ini terdapat 5 (lima) indikator yang digunakan sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ngadiman (2015), serta jenis pernyataan diukur dengan menggunakan skala likert 5 (lima) poin (STS = Sangat Tidak Setuju, TS = Tidak Setuju, N = Netral, S = Setuju, dan SS = Sangat Setuju).
3
3.1.2 Variabel Dependen Kepatuhan Wajib Pajak Variabel Dependen dalam penelitian ini adalah tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Pengertian dari kepatuhan wajib pajak menurut Ngadiman (2015) merupakan wajib pajak yang taat, mematuhi, serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Variabel dependen ini diukur dengan mengajukan pertanyaan yang berkisar mengenai kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan kewajban pajaknya sebelum batas waktu yang ditentukan. Pertanyaan menunjukkan skala terkait kebijakan pemerintah terhadap kepatuhan wajib pajak yang diukur dengan menggunakan skala Likert 5 (lima) poin dengan perincian sebagai berikut: STS
: Sangat Tidak Setuju
TS
: Tidak Setuju
N
: Netral
S
: Setuju
SS
: Sangat Setuju
4
No 1
2
Nama Variabel Sunset Policy
Tax Amnesty
Tabel 3.1 Tabel Definisi Operasional Variabel Definisi Variabel Indikator Pemberian fasilitas 1. Sunset Policy merupakan penghapusan sanksi pemberian fasilitas administrasi berupa perpajakan dalam bentuk bunga sebagaimana penghapusan sanksi diatur dalam Pasal 37A administrasi perpajakan Undang-Undang Nomor berupa bunga. 28 Tahun 2007 2. Sunset Policy memberikan kesempatan kepada masyarakat yang secara suka rela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan menyampaikan Pembetulan SPT. 3. Wajib pajak yang melaporkan kurang bayar pajak setelah pelaksanaan kebijakan Sunset Policy lebih tinggi dibandingkan sebelum pelaksanaan kebijakan Sunset Policy. 4. Wajib pajak yang telah mengikuti Sunset Policy dibebaskan dari pemeriksaan pajak, penyidikan dan penagihan pajak. 5. Bapak/Ibu tidak merasa pelaksanaan kebijakan Sunset Policy sebagai jebakan. 6. Bapak/Ibu memperoleh manfaat Bapak/Ibu sebagai Wajib Pajak mau berpartisipasi dalam program Tax Amnesty dari pelaksanaan kebijakan Sunset Policy. Suatu kesempatan 1. Bapak/Ibu sebagai Wajib waktu yang terbatas Pajak mau berpartisipasi pada kelompok dalam program Tax Amnesty. pembayar pajak untuk 2. Tax Amnesty dapat membayar sejumlah meningkatkan kepatuhan tertentu dan dalam Wajib Pajak dalam waktu tertentu berupa melaksanakan kewajibannya.
Sumber Ngadiman (2015)
Ngadiman (2015)
5
3
Sanksi Pajak
pengampunan 3. Tax Amnesty mendorong kewajiban pajak kejujuran dalam pelaporan (termasuk bunga dan suka rela atas data harta denda) yang berkaitan kekayaan Wajib Pajak. dengan masa pajak 4. Tax Amnesty dapat sebelumnya atau digunakan sebagai alat periode tertentu tanpa transisi menuju system takut hukuman pidana perpajakan yang baru. 5. Tax Amnesty dapat meningkat kemungkinan terdeteksinya perilaku tax evaders. 6. Tax Amnesty dapat melemahkan kepatuhan pajak, terutama jika orang berharap bahwa tax amnesty mungkinakan dating lagi di masa depan. Suatu tindakan berupa 1. Sanksi pajak sangat Ngadiman hukuman yang diperlukan agar tercipta (2015) diberikan kepada kedisiplinan Wajib Pajak orangyang dalam mememuhi kewajiban melanggarperaturan. perpajakan. Peraturan atau undang- 2. Pengenaan sanksi harus undang merupakan dilaksanakan dengan tegas rambu-rambu bagi kepada semua Wajib pajak seseorang untuk yang melakukan pelanggaran. melakukan sesuatu 3. Sanksi yang diberikan kepada mengenai apa yang Wajib Pajak harus sesuai harus dilakukan dan apa dengan besar kecilnya yang seharusnya tidak pelanggaran yang sudah dilakukan. dilakukan. 4. Penerapan sanksi pajak harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 5. Jika tidak melaksanakan kewajiban perpajakan, maka Wajib Pajak akan dikenakan sanksi pajak. 6. Wajib Pajak akan memenuhi pembayaran pajak bila memandang sanksi pajak akan lebih merugikannya.
6
4
3.2
Kepatuhan Wajib pajak yang taat, 1. Secara umum dapat dikatakan Ngadiman WP OP mematuhi, serta bahwa Bapak/Ibu paham UU (2015) melaksanakan Perpajakan. kewajiban perpajakan 2. Bapak/Ibu selalu mengisi sesuai ketentuan formulir pajak dengan benar. peraturan perundang- 3. Bapak/Ibu selalu menghitung undanganperpajakan. pajak dengan jumlah yang benar. 4. Bapak/Ibu selalu membayar pajak tepat pada waktunya. 5. Bapak/Ibu bersedia melaporkan informasi tentang pajak apabila petugas membutuhkan informasi. 6. Bapak/Ibu Wajib berkeyakinan bahwa melaksanakan kewajiban perpajakan merupakan tindakan sebagai warga Negara yang baik. Objek Penelitian, Unit Sampel, Populasi dan Penentuan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Semarang Tengah Satu dan KPP Pratama Semarang Gayamsari tahun 2015. Jumlah wajib pajak di KPP Pratama Semarang Tengah Satu 8.114 dan di KPP Pratama Semarang Gayamsari 61.859. Jumlah populasi dalam penelitian ini yaitu 69.973 wajib pajak orang pribadi. Guna efisiensi waktu, maka tidak semua wajib pajak orang pribadi menjadi objek penelitian. Oleh karena itu dilakukan pengambilan sampel. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik convenience nonprobability sampling yaitu pengambilan sample menurut kemudahan dan anggota populasi tersebut tidak mempunyai peluang yang sama untuk terpilih menjadi sample. Penentuan sample dilakukan dengan menggunakan rumus Slovin:
7
𝑁
n= 1+𝑁 (𝑀𝑜𝑒)2 n=
69.973 1+69.973 (0,1)2 69.973
n= 1+(69.973)(0,01) 69.973
n= 700,73 n= 99,85 di mana: n = Jumlah sampel N = jumlah populasi Moe = Margin of Error Max (kesalahan yang masih ditoleransi, diambil 10 persen)
3.3
Jenis dan Sumber Data
3.3.1 Jenis Data Penelitian yang mengangkat tema tentang sunset policy, tax amnesty dan sanksi pajak terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak diperlukan data primer berupa jawaban responden yang dipilih sebagai objek penelitian yang direpresentasikan dalam bentuk jawaban atas kuesioner penelitian. 3.3.2 Sumber Data Sumber data primer pada penelitian ini didapat secara langsung dari wajib pajak orang pribadi yang memiliki NPWP dan terdaftar di KPP Pratama Semarang Tengah Satu dan KPP Pratama Semarang Gayamsari, melalui kuesioner yang berisi pertanyaan yang bersifat pribadi.
8
3.4
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode survei. Metode survei dilakukan dengan pendistribusian kuisioner yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung melalui perantara kepada responden, yaitu wajib pajak orang pribadi di Semarang. Kuisioner yang diberikan berisi sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh responden untuk mengukur sunset policy, tax amnesty, sanksi pajak dan kepatuhan wajib pajak.
3.5
Metode Analisis Analisis data penelitian ini dengan menggunakan regresi linier berganda. Peneliti menggunakan metode statistik deskriptif untuk mendeskripsikan atau menggambarkan data-data yang hasil pengamatan terhadap kejadian-kejadian atau fenomena-fenomena secara kuantitatif, dengan ciri-ciri sebagai berikut : 1. Variabel-variabel yang akan diteliti dapat dijelaskan dan dideskripsikan. Peneliti dapat menentukan alat ukur yang digunakan untuk mengukur variabel tersebut sesuai dengan kebutuhan penelitian. 2. Menyusun data dengan nilai terendah hingga nilai tertinggi dan memperkirakan frekuensi yang didapat. 3. Menggunakan teknik statistik deskriptif dengan menggunakan ukuran kecenderungan pusat (Measures of Central Tendency), ukuran keberagaman (Measures of Variability), yang sesuai dengan skala pengukuran.
3.5.1 Uji Validitas dan Reliabilitas
9
Untuk mendapatkan skala pengukuran penelitian yang baik, setiap item kuesioner harus valid dan reliabel. Sugiyono (2005) dalam handayani (2014) menyatakan, item kuesioner yang valid adalah item yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti setiap item tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Sedangkan item kuesioner yang realibilitas adalah item yang apabila digunakan beberapa kali dalam waktu yang berlainan maka akan menghasilkan data yang sama. Uji Reliabilitas Reliabilitas adalah alat untuk mengukur setiap kuesioner yang merupakan indikator dari variable. Menurut Ghazali (2011) Suatu kuesioner dikatakan reliabel jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan tersebut stabil atau konsekuen dari waktu ke waktu. Pengukuran ini dapat dilakukan dengan dua cara: 1.
Repeated Measure atau pengukuran ulang: seseorang akan diberikan pertanyaan yang sama dengan waktu yang berlainan, kemudian diteliti apakah kuesioner tersebut tetap konsisten dengan jawabannya.
2.
One Shot atau pengukuran sekali saja: pengukuran hanya dilakukan sekali dan hasil tersebut akan dibandingkan dengan pertanyaan lain. SPSS memberikan fasilitas untuk mengukur reliabilitas dengan uji statistik Cronbach Alpha (α).
Uji Validitas Uji validitas digunakan untuk mengukur valid tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika setiapitem pertanyaan pada kuesioner dapat mendeskripsikansesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Menurut Ghazali (2011) ada tiga cara untuk mengukur kereliabilitasan kuesioner :
10
1. Melakukan hubungan korelasi antar nilai per item pertanyaan dengan total nilai variable. 2. Melakukan hubungan korelasi bivariate antara masing-masing nilai indikator dengan total nilai variabel.
3.5.2 Uji Asumsi Klalsik Uji Normalitas Pengujian ini dilakukan untuk menguji apakah model regresi yang dilakukan dalam suatu penelitian memiliki residual yang berdistribusi normal. Seperti diketahui bahwa uji t dan F berasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Jika asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sample kecil. Menurut Ghazali (2011) ada dua cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak yaitu dengan analisis grafik dan uji statistik. a. Analisis Grafik Analisis grafik adalah cara termudah untuk melihat normalitas residual dengan melihat grafik histogram yang membandingkan antara data observasi dengan distribusi yang mendekati distribusi normal. Tetapi, jika hanya melihat dari histogram terkadang peneliti bisa tertipu dengan histogram yang ada. Metode yang lebih handal adalah dengan melihat normal probability plot yang membandingkan distribusi kumulatif dari distribusi normal, distribusi normal akan membentuk satu garis lurus diagonal. Jika distribusi data normal, maka
11
garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya. b. Analisis Statistik Jika tidak hati-hati, peneliti dapat tertipu jika uji normalitas dilakukan dengan menggunakan analisis grafik karena secara visual kelihatan normal padahal secara statistik bisa sebaliknya. Oleh sebab itu dianjurkan disamping uji grafik dilengkapi dengan uji statistic.Uji statistic sederhana dapat dilakukan dengan melihat nilai kurtosis dan skewness dari residual. Nilai z statistic untuk skewness dapat dihitung dengan rumus : Zskewness =
Skewness √6 N
Sedangkan nilai z kurtosis dapat dihitung dengan rumus : Zkurtosis =
Kurtosis √24 N
Dimana N adalah jumlah sampel, jika nilai Z hitung > Z tabel, maka distribusi tidak normal. Uji Multikolinieritas Dalam penelitian ini bila ditemukan adanya korelasi antar variabel independen, maka model regresi tersebut terindikasi multikolinieritas.Dalam sebuah penelitian model regresi seharusnya tidak terjadi multikolinieritas. Menurut Ghozali (2011) untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinieritas di dalam model regresi adalah sebagai berikut :
12
a.
Nilai R Square (R²) yang dihasilkan oleh perkiraan suatu model regresi empiris sangat tinggi, tetapi secara individual variabel dependen tersebut tidak signifikan dipengaruhi oleh variable-variabel independen.
b.
Menganalisis matrik korelasi variable-variabel independen. Terindikasi adanya multikolinieritas, jika antar variable independen terdapat korelasi yang tinggi (umumnya > 0.90). Tetapi, tidak adanya korelasi yang tinggi antar variable independen bukan berarti model tersebut tidak terindikasi multikolinieritas. Multikolinieritas terjadi disebabkan karena adanya efek kombinasi dua atau lebih variable independen.
c.
Multikolinieritas dapat juga dilihat dari (1) nilai toleransi dan lawannya (2) variance inflation factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variable independen yang mana yang dapat dijelaskan oleh variable independen lainnya. Toleransi mengukur kevariabilitasan variable independen yang terpilih, yang tidak dapat dijelaskan oleh variable independen lainnya. Jadi, nilai toleransi yang rendah sama dengan nilai VIF tinggi (karena VIF = 1/Tolerance). Nilai cut off yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikolinieritas adalah nilai Tolerance ≤ 0.10 atau sama dengan nilai VIF ≥ 10. Setiap peneliti harus menentukan tingkat kolinieritas yang masih dapat ditolerir.
Uji Heteroskedastisitas
13
Uji heteroskedastisitas ini dilakukan untuk menguji apakah model regresi dalam suatu penelitian terjadiketidaksamaan variasi dari residual pengamatan kepengamatan lain. Bila variasi dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut Homokedastisitas dan jika berbeda disebut Heterokedastisitas. Model
regresiyang baik
adalah model
regresi
yang tidak
terindikasi
Homokedastisitas atau tidak terjadi Heteroskedastisitas.Menurut Ghozali (2011) ada beberapa cara untuk mendeteksiada atau tidaknya heteroskedastisitas : a.
Melihat grafik plot antara nilai prediksi variable terikat (dependen) yaitu ZPRED (pada sumbu X) dengan residualnya SRESID (pada sumbu Y). Deteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara SRESID dan ZPRED.
b. Uji Park mengemukakan metode bahwa variance (s²) merupakan fungsi dari variable-variabel independen yang dinyatakan dalam persamaan : σ2 = α Xiβ persamaan ini dijadikan linier dalam bentuk persamaan logaritma sehingga menjadi : Ln σ2i = α + β LnXi + vi Karena s²i umumnya tidak diketahui, maka dapat ditaksir dengan menggunakan residual Ut sebagaiproksi, sehingga persamaan menjadi : LnU2i = α + β LnXi + vi c. Uji Glejser Seperti halnya Uji Park, Glejser mengusulkan untuk meregres nilai absolute residual terhadap variable independen (Gujarati, 2003) yang dikuti oleh Ghazali (2011) dengan persamaan regresi :
14
| Ut| = α + βXt + vt d.
Uji White Pada dasrnya Uji white sama dengan kedua Uji Park dan Glejser. Menurut white uji ini dapat dilakukan dengan meregres residual kuadrat (U²t) dengan variable independen, variable dependen kuadrat dan perkalian (interaksi) variable independen. Misalkan ada dua variable independen X1 dan X2, maka persamaan regresinya : U²t = b0 + b1X1 + b2X2 + b3X1² + b4X2² + b5 Dari persamaan regresi ini dapatkan nilai R² untuk menghitung c², dimana c² = n x R² (Gujarati, 2003) yang dikutip oleh (Ghozali, 2011). Pengujiannya adalah jika c² hitung < c² tabel, maka hipotesis alternative adanya heteroskedastisitas dalam model ditolak.
3.5.3 Model Regresi Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda yaitu suatu model yang digunakan untuk menganalisis lebih dari satu variable independen. Persamaan regresi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + e dengan : Y = tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi a = Konstanta b1 = koefisien regresi variablesunset policy b2 = koefisien regresi variable tax amnesty b3 = koefisien regresi variable sanksi pajak
15
c = konstanta X1 = sunset policy X2 = tax amnesty X3 = sanksi pajak e = error term 3.5.4 Pengujian Hipotesis Secara statistik, model regresi dapat diukur melalui nilaikoefisien determinasi (R²), nilai statistik t dan nilai statistik F. Apabila nilai uji statistiknya berada di daerah kritis (Ha diterima) maka perhitungan tersebut signifikan. Sebaliknya bila nilai uji statistiknya berada di daerah (Ha ditolak) maka perhitungannya tidak signifikan. 3.5.4.1 Koefisien Determinasi (R²) Koefisien determinasi (R²) digunakan untuk menjelaskan varian dari variabel dependen dalam suatu model regresi dengan nilai koefisien determinasi adalah noldan satu. Jika pada suatu model nilai R² kecil atau sedikit,berarti model tersebut dapat menjelaskan variasi dependen terbatas. Sebaliknya, jika nilai R² mendekati angka 1 makamodel tersebut dapat menjelaskan variabel independen dengan seluruh data yang ada atau informasi yang relevan. Kelemahan dalam penggunaan koefisien determinasi adalah bias terhadap jumlah variable independen yang dimasukkan kedalam model. Menurut Ghazali (2011) bila dalam model tersebut menambahkan satu atau lebih variable independen, maka nilai R² akan bertambah. Pada hasil output SPSS nilai adjusted R² bisa saja bernilai negative, walaupun yang diinginkan peneliti harus bernilai
16
positif. Menurut Gujarati (2003) yang dikutip oleh Ghozali (2011) jika dalam uji empiris didapat nilai adjusted R² negative, maka nilai adjusted R² dianggap bernilai nol. Secara sistematis jika nilai R² = 1, maka adjusted R² = R² = 1 sedangkan jika nilai R² =0, maka adjusted R² = (1-k)/(n-k). jika k > 1, maka adjusted R² akan bernilai negative. 3.5.4.2 Uji t Uji statistik t digunakan untuk mengukur seberapabesar pengaruh variabel independen dalam menerangkanvariasi variabel dependen. Hipotesis nol (Ho) yang hendak diuji adalah apakah suatu parameter (bi) sama dengan nol. Menurut Ghozali (2011) cara melakukan uji t adalah sebagai berikut : a.
Quick look : bila jumlah degree of freedom (df)adalah 20 atau lebih dan derajat kepercayaan sebesar5%, maka Ho yang menyatakan bi = 0 dapat ditolakbila nilai t lebih besar dari 2 (dua). Dengan kata lainkita menerima hipotesis alternatif, yang menyatakan bahwa suatu variable independen secara individual mempengaruhi variable dependen.
b.
Membandingkan nilai statistit t dengan titik kritis menurut tabel. Apabila nilai statistik t hasil perhitungan lebih tinggi dibandingkan nilai t tabel, kita menerima hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa suatu variable independen secara individual mempengaruhi variable dependen.
3.5.4.3 Uji F Uji statistik F digunakan untuk mengetahui apakah model yang terdiri dari semua variabel independen mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap
17
variable dependen. Menurut (Ghozali, 2011) untuk menguji hipotesis ini digunakan statistik F dengan kriteria pengambilan keputusan sebagai berikut : a. Quick look : bila nilai F lebih besar daripada 4 (empat) maka Ho dapat ditolak pada derajat kepercayaan 5%. Dengan kata lain, kita menerima hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa semua variable independen secara serentak dan signifikan mempengaruhi variable dependen. b. Membandingkan nilai F hasil perhitungan dengan nilai F menurut tabel. Bila nilai F hitung lebih besar daripada nilai F tabel, maka Ho ditolak dan menerima Ha.