BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Definisi Pajak Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Banyak ahli yang memberikan pengertian pajak, namun dari semua itu memiliki makna yang sama. Berikut ini beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian pajak. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang – Undang No.6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang – Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disana dijelaskan mengenai pengertian Pajak yaitu, Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terhutang orang pribadi maupun badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang – Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar – sebesarnya kemakmuran rakyat. Difinisi pajak menurut P. J. A. Adriani adalah, Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)
6
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja, Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang uang dipungut oleh penguasa berdasarkan normanorma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H., Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang- undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum. Definisi pajak dalam Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang – Undang ( yang dapat dipaksakan ) dengan tiada mendapat jasa timbal balik ( kontraprestasi ) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1) Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 2) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 3) Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
7
4) Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukkannya masih terdapat surplus, digunakan untuk membiayai public investment.
2.1.2
Pengelompokan Pajak
Menurut Mardiasmo (2011:5) pajak dapat di golongkan ke dalam beberapa kelompok, yaitu: 1) Menurut Golongannya (a) Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Penghasilan (b) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai 2) Menurut Sifatnya (a) Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan (b) Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
8
Contoh:
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah 3) Menurut Lembaga Pemungutnya (a) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh:
Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materai (b) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas: (i). Pajak Provinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. (ii). Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan.
2.1.3 Fungsi Pajak Menurut Mardiasmo (2011:1) ada beberapa fungsi pajak antara lain: 1) Fungsi Budgetair (penerimaan) Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan.
9
2) Fungsi Regulerend (Pengatur) Pajak mempunyai fungsi mengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau meleksanakan kebijakan pemerintah dalam sosial dan ekonomi, mencapai tujuan – tujuan tertentu diluar bidang keuangan.
2.1.4
Sistem Pemungutan Pajak Ada tiga sistem pemungutan pajak, menurut Waluyo (2009:10) sebagai berikut: 1) Official Assesment System Official Assesment System adalah suatu sistem pemunggutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terhutang. 2) Self Assesment System Self Assesment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. 3) With Holding Tax System With Holding Tax System suatu sistem pemungutan Pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
10
2.1.5
Syarat Pemungutan Pajak Karena pajak merupakan peralihan kekayaan dari sector swasta ke sector negara, maka pemungutannya agar tidak menimbulkan berbagai hambatan atau perlawanan dari pihak yang dipungut, maka harus memenuhi beberapa syarat, antara lain yaitu : 1) Pemungutan Pajak Harus Adil ( Syarat Keadilan ) Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, Undang Undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan dari masingmasing wajib pajak. Sedang adil dalam pelaksanaannya, yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak atas utan pajak yang telah ditetapkan. 2) Pemungutan Pajak Harus Berdasarkan Undang Undang ( Syarat Yuridis ) Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hokum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun bagi warganya.
11
3) Pemungutan Pajak Tidak Mengganggu Perekonomian (Syarat Ekonomis ). Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat. 4) Pemungutan Pajak Harus Efisien ( Syarat Finansiil ) Syarat finansiil ini sejalan dengan fungsi budgetair, yaitu bahwa pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang akan digunakan untuk menutup sebagian pengeluaran negara. Dengan demikian maka pemungutan pajak harus diusahakan seefektif dan seefisien mungkin sehingga bisa memasukkan uang ke kas negara sebanyak-banyaknya dan meminimalkan biaya pemungutan sekecilkecilnya. 5) Sistem Pemungutan Pajak Harus Sederhana ( Syarat Sederhana ) Sistem pemungutan pajak yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh Undang Undang perpajakan yang baru.
2.1.6 Masa dan Tahun Pajak Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Masa Pajak adalah jangka waktu yang
12
menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP. Masa Pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender. Sedangkan Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
2.1.7 Surat Pemberitahuan (SPT) Menurut Mardiasmo (2011:29) Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang.
13
2.1.8
Pengertian Pajak Penghasilan Pajak penghasilan merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan
dalam tahun pajak. Penghasilan merupakan setiap tambahan kemapuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. (Undang – Undang No. 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan).
2.1.9
Subjek Pajak Penghasilan dan Wajib Pajak Menurut Mardiasmo (2011:129) Pajak Penghasilan dikenakan terhadap
Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak. Yang menjadi Subjek Pajak adalah: 1) a. Orang pribadi. b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. 2) Badan, terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
14
lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif. 3) Bentuk Usaha Tetap (BUT). Subjek Pajak dapat dibedakan menjadi: 1)
Subjek Pajak dalam negeri yang terdiri dari: a. Subjek Pajak orang pribadi, yaitu: 1. Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau 2. Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia. b. Subjek Pajak badan, yaitu: Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: 1. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. 2. Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. 3. Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. 4. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
15
c. Subjek Pajak warisan, yaitu: Warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. 2)
Subjek Pajak luar negeri yang terdiri dari: a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. Subjek Pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek Pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek Pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus
16
menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
2.1.10 Objek Pajak Penghasilan Objek pajak yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk: 1) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. 2) Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan. 3) Laba usaha. 4) Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta. 5) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.
17
6) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. 7) Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. 8) Royalti atau imbalan atas penggunaan hak. 9) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. 10) Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. 11) Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tetentu yang ditetapkan Peraturan Pemerintah. 12) Keuntungan selisih kurs mata uang asing. 13) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. 14) Premi asuransi. 15) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. 16) Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. 17) Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
18
18) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang–Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Tidak termasuk sebagai Objek Pajak berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Undang-Udang Nomor 36 Tahun 2008 adalah: 1) Bantuan sumbangan dan harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. 2) Warisan. 3) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal. 4) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah. 5) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa. 6) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara,
19
atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. 7) Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai. 8) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. 9) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi. 10) Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha. 11) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia.
2.1.11 Dasar Pengenaan Pajak Dan Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak
20
Didalam Mardiasmo (2011: 143) untuk dapat menghitung PPh, terlebih dahulu harus diketahui dasar pengenaan pajaknya. Untuk Wajib Pajak dalam negri dan Bentuk Usaha Tetap ( BUT ) yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Penghassilan Kena Pajak. Sedangkan untuk wajib pajak luar negri yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah penghasilan bruto. Besarnya Penghasilan Kena Pajak untuk Wajib Pajak badan dihitung sebesar penghasilan netto .sedangkan untuk Wajib Pajak badan dihitung sebesar penghasilan netto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
2.1.12 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Besarnya PTKP setahun yang berlaku saat ini adalah sebagai berikut : 1.) Rp. 24.300.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi. 2.) Rp. 2.025.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin. 3.) Rp. 24.300.000,00 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami, dengan syarat: (a) Penghasilan istri semata – mata diterima atau diterima atau diperoleh dari satu pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan dalam Undang – Undang PPh Pasal 21, dan (b) Pekerjaan istri yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga yang lain.
21
4.) Rp. 2.025.00,00, tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya ( maksimal 3 orang ). Penghitungan PTKP ditentukan menurut keadaan pada awal tahun pajak atau bagian awal tahun pajak . Penghitungan PTKP untuk pegawai lama (tahun sebelumnya sudah bekerja di Indonesia) dilakukan dengan melihat keadaan pada awal tahun takwim ( 1 Januari ). Bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan. Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri .dalam hal karyawati tidak kawin, pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri juga PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
2.1.13 Tarif Pajak 1) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
22
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negri adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp. 50.000.000,00
5%
Di atas Rp. 50.000.000,00 sampai
15%
dengan Rp. 250.000.000,00 Di atas Rp. 250.000.000,00 sampai
25%
dengan Rp. 500.000.00,00 Di atas Rp. 500.000.000,00
30%
Sumber: Mardiasmo (2011:150) Tarif tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% yang diatur melalui Peraturan Pemerintah.
2.1.14 Norma Perhitungan Penghasilan Netto Di dalam Mardiasmo (2011:148) menyebutkan apabila dalam menghitung Penghasilan Kena Pajaknya Wajib Pajak menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Netto, besarnya penghasilan netto adalah sama besarnya dengan besarnya (presentase) Norma Perhitungan Penghasilan Netto dikalikan jumlah peredaran usaha atau penerimaan bruto pekerjaan bebas setahun.
23
Pedoman
untuk
menentukan
penghasilan
netto,
dibuat
dan
disempurnakan terus– menerus serta diterbitkan oleh Direktorat Jendral Pajak berdasarkan pegangan yang ditetapkan oleh Mentri Keuangan.Wajib Pajak yang diperkenankan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Netto adalah Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi syarat sebagai berikut: 1.) Peredaran bruto kurang dari 4.800.000,00 per tahun 2.) Mengajukan permohonan dalam jangka waktu 3 (Tiga) bulan pertama dari tahun buku 3.) Menyelenggarakan pencatatan.
2.1.15 Norma Untuk Pedagang Eceran Berdasarkan
KeputusanDirjen
Pajak
nomer
KEP-536/PJ/2000
mengatur tentang pedagang eceran tekstil, pakaian jadi hasil pemintalan, pertenunan, perajutan, hasil pengolahan kulit, termasuk barang keperluan kaki.Seperti tekstil, pakain jadi, kain batik, macam-macam benang, talitemali, karpet/permadani dari bahan tekstil macam-macam hasil perajutan, kulit/kulit imitasi, barang-barang dari kulit dan barang-barang keperluan kaki untuk daerah 10 ibukota Provinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makasar dan Pontianak dikenakan tarif sebesar 30 %.
2.1.16 Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013
24
Peraturan pemerintah tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1.Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. 2.Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Pasal 2 1.Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. 2.Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a.Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
25
b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak. 3.Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya: a.menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan b.menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan. 4.Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)adalah: a.Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau b.Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Pasal 3
26
1.Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen). 2.Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan. 3.Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan. 4.Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pasal 4 1.Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. 2.Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 27
Pasal 5 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 6 Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pasal 7 Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya. Pasal 8 Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut: a.kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturutturut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak; b.Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a; 28
c.kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya. Pasal 9 Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 10 Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur sebagai berikut: 1.didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan; 2.didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini di bulan sebelum Peraturan Permerintah ini berlaku; 29
3.didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini. Pasal 11 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 46 Tahu 2013 merupakan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengenaan pajak yang penghasilan yang bersifat final dan penetapan besaran tarif pajak terhadap penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Pengenaan pajak penghasilan yang bersifat final tersebut
ditetapkan
dengan
berdasarkan
pada
pertimbangan
perlunya
kesederhanaan dalam pemungutan pajak. Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai pengenaan pajak yang bersifat final untuk peredaran bruto tertentu selain penghasilan yang telah dikenakan pajak penghasilan yang dikenai pajak penghasilan final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang – Undangan di bidang perpajakan. Adapun penghasilan yang tidak boleh dikenai peraturan pemerintah ini adalah sebagai berikut : a.) Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas b.) Penghasilan dari usaha dan kegiatan c.) Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak atau harta tak gerak
30
d.) Penghasilan lain – lain, seperti pembebasan utang dan hadiah e.) Penghasilan yang diperoleh dari orang pribadi yang melakukan kegiatan perdagangan dan atau jasa melalui suatu tempat usaha yang dapat dibongkar pasang. Dasar pengenaan pajak penghasilan yang bersifat final ini adalah 1% dikalikan jumlah penghasilan bruto pada satu masa pajak dengan catatan pada tahun sebelumnya peredaran bruto kegiatan usaha tersebut tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,00. Sedangkan jika jumlah penghasilan bruto dalam 1 tahun telah melebihi Rp. 4.800.000.000,00, wajib pajak dapat menggunakan PP No. 46 ini apabila penghasilan bruto tahun sebelumnya melebihi Rp. 4.800.000.000,00 dan untuk tahun pajak berikutnya wajib pajak tersebut wajib mengunakan tarif pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008.
31