BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Sosial Ekonomi Menurut Sajogyo dan Pujawati (2002) dalam Raka (2012) status sosial ekonomi keluarga dapat diukur melalui tingkat pendidikan, perbaikan lapangan pekerjaan, dan tingkat penghasilan keluarga. Indikator status sosial adalah kasta, umur, pendidikan, status perkawinan, aspirasi pendidikan, partisipasi sosial, hubungan organisasi pembangunan, kepemilikan lahan, pemilikan sarana pertanian, serta penghasilan sebelumnya. Selain itu, Melly G. Tan dalam Raka (2012) status sosial ekonomi seseorang diukur lewat pekerjaan, pendidikan dan pendapatan. Arsene Dumont, seorang ahli demografis bangsa Prancis dengan teorinya kapilaritas sosial (Theory of Social Capillarity) berpatokan kepada keinginan seseorang untuk mencapai kedudukan yang tinggi di masyarakat. Teori kapilaritas sosial dapat berkembang dengan baik di negara demokrasi karena setiap individunya memiliki kebebasan untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi di masyarakat. Adanya kebebasan untuk mencapai kedudukan yang tinggi di masyarakat, maka orang-orang akan berlomba-lomba untuk mencapai kedudukan tersebut dan sebagai akibatnya angka kelahiran akan turun dengan cepat (Mantra, 2000:58).
9
John Stuart Mill, seorang ahli filsafat dan ahli ekonomi bangsa Inggris berpendapat bahwa situasi tertentu manusia dapat mempengaruhi prilaku demografinya. Apabila produktivitas manusia tinggi maka ia akan cenderung memiliki keluarga yang kecil. Jadi, taraf hidup merupakan determinan dari fertilitas dan tinggi rendahnya fertilitas di tentukan oleh manusia itu sendiri. Memperhatikan bahwa tinggi rendahnya tingkat kelahiran ditentukan oleh manusia itu sendiri, maka Mill menyarankan untuk meningkatkan tingkat golongan yang tidak mampu dengan cara meningkatkan kualitas pendidikan. (Mantra, 2000:57).
2.1.2 Usia Kawin Pertama Menurut Utina, dkk (2014) Usia kawin yaitu usia ketika seseorang memulai atau melangsungkan pernikahan. Masalah pernikahan merupakan salah satu bagian dari masalah kependudukan yang perlu ditangani, hal ini disebabkan karena pernikahan akan menimbulkan masalah baru dibidang kependudukan yang akan menghambat pembangunan. Usia kawin pertama telah dianggap panduan untuk kebijakan publik karena dampaknya terhadap fertilitas dengan demikian, mempengaruhi pertumbuhan penduduk. Menurut BKKBN usia pernikahan pertama bagi remaja saat ini idealnya 21 hingga 25 tahun. Usia perkawinan yang rendah bagi seorang wanita berarti akan memperpanjang masa untuk melahirkan dimana usia tersebut dibawah usia ideal yakni 21 hingga 25 tahun. Seorang wanita mempunyai masa subur pada usia 1549 tahun. Wanita yang menikah pada usia tua yaitu pada pertengahan atau 10
mendekati umur 30 tahun atau lebih, cenderung mempunyai anak lebih sedikit dari wanita yang menikah pada usia muda (Anonym, 1995 dalam Utina, dkk, 2014).
2.1.3 Teori Fertilitas Davis dan Blake (1956) dalam tulisannya The Sosial Structure of Fertility: An
analytical
Framework,
menyatakan
bahwa
faktor
–
faktor
sosial
mempengaruhi fertilitas melalui variabel antara. Variabel antara yang disebutkan oleh Davis dan Blake adalah (1) Umur memulai hubungan kelamin, (2) Selibat permanen, yaitu proporsi perempuan yang tidak pernah mengadakan hubungan kelamin, (3) Lamanya masa reproduksi yang hilang, (4) Abstinensi sukarela, (5) Abstinensi karena terpaksa, (6) Frekuensi hubungan seks, (7) Kesuburan dan kemandulan biologis, (8) Menggunakan atau tidak alat kontrasepsi, (9) Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang disengaja, (10) Kematian janin karena faktor-faktor disengaja, (11) kematian janin karena faktor – faktor yang tidak disengaja. Kesebelas faktor – faktor tersebut mempunyai akibat postif maupun negatif terhadap fertilitas (Mantra 2000:168). Menurut Freedman, variabel antara yang mempengaruhi langsung terhadap fertilitas pada dasarnya juga dipengaruhi oleh norma-norma yang berlaku di suatu masyarakat. Pada akhirnya perilaku fertilitas seseorang dipengaruhi norma-norma yang ada yaitu norma tentang besarnya keluarga dan norma tentang variabel antara itu sendiri. Selanjutnya norma-norma tentang besarnya keluarga dan
11
variabel antara di pengaruhi oleh angka kematian (mortalitas) dan struktur sosial ekonomi yang ada di masyarakat. Lawson dan Mace (2010) menyatakan bahwa fertilitas dapat dikendalikan dengan cara memperhatikan faktor usia ibu saat pertama kali menikah, usia suami, pendidikan ibu, pendapatan rumah tangga, kepemilikan rumah dan dukungan sosial. Tournemaine dan Luangaram (2012) menyampaikan bahwa fertilitas di suatu kawasan sangat dipengaruhi oleh kebijakan sosial yang berlaku. Dukungan budaya setempat juga merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keputusan untuk menambah jumlah anak. Ijaiya (2009) yang melakukan penelitian di Afrika menunjukkan bahwa fertilitas sangat dipengaruhi oleh alat kontrasepsi.
2.1.4 Pengaruh Pendidikan terhadap Usia Kawin Pertama Pendidikan merupakan suatu proses yang unsur-unsurya terdiri dari masukan (input), yaitu sasaran pendidikan, dan keluaran (output) yaitu suatu bentuk perilaku baru atau kemampuan baru dari sasaran pendidikan dalam Darnita (2013). Masyarakat yang tergolong menengah ke bawah biasanya tidak mampu melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Terkadang hanya bisa melanjutkan sampai sekolah menengah saja atau bahkan tidak menempuh pendidikan sama sekali, sehingga menikah seakan-akan menjadi solusi yang mereka hadapi terutama pada perempuan. Kebanyakan penelitian di Asia dan Asia Tenggara telah menunjukkan bukti yang mendukung teori Goode mengubah usia kawin pertama yang salah satunya dengan pendidikan tinggi dan memiliki pekerjaan upah-produktif maka 12
seseorang akan cenderung menunda pernikahannya. Di Jepang, Korea, Taiwan, Malaysia, Singapura, Cina dan Thailand telah menunjukkan secara dramatis peningkatan usia kawin pertama namun, ini tidak terjadi untuk beberapa negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara seperti Indonesia, Vietnam, Bangladesh, India dan Nepal. (Islam, 1996; Islam, 1998; Nguyen, 1997; Savitridina, 1997 dalam Lung Vu, 2008). Meltem (2008) di Turki bersekolah memiliki dampak terhadap usia kawin pertama wanita. Sebagian besar studi lain juga menyebutkan bahwa terdapat hubungan positif antara sekolah dengan usia kawin pertama seseorang. Semakin tinggi preferensi seseorang untuk bersekolah maka semakin terlambat pula seseorang itu akan menikah. Jin et al. (2005) pendidikan sangat berperan penting dalam meningkatkan usia kawin pertama dengan melihat efek institusional dari pendidikan itu sendiri.
2.1.5 Pengaruh Status Bekerja terhadap Usia Kawin Pertama Bekerja adalah aktivitas fisik maupun pikiran dalam menyelesaikan sesuatu dengan suatu proses berdasarkan kriteria prosedur maupun aturan yang berlaku untuk mendapatkan imbalan. Assad dan Sami (2003) wanita yang memiliki partisipasi dalam bekerja akan memiliki pengaruh terhadap usia kawin pertamanya. Okech et al. (2011) di Kenya beberapa faktor demografi dan sosioekonomi dipertimbangkan dalam menggunakan alat kontrasepsi seperti, umur wanita, agama wanita, tingkat pendidikan wanita dan pasangannya, status pernikahan, jumlah anak masih hidup, keinginan untuk lebih banyak anak, 13
persetujuan pasangan, status kerja, dan rata-rata tingkat pendapatan. Status bekerja maupun tidak akan memengaruhi wanita dalam penetapan usia pernikahannya. Jika kesempatan kerja di suatu wilayah itu besar, maka wanita akan memilih untuk menunda pernikahan demi mengejar karir.
2.1.6 Pengaruh Pendapatan terhadap Usia Kawin Pertama Menurut Alfiyah (2010) dalam Darnita (2013) perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu. Hasil penelitian tersebut didukung pula dengan hasil penelitian Astuti (2012) serta Sunarko dan Dwi (2013) bahwa kondisi ekonomi keluarga yang rendah diikuti dengan usia kawin pertama yang rendah pula. Tidak hanya kondisi ekonomi keluarga yang mendorong usia kawin pertama tetapi juga pendapatan dari individu tersebut. Menurut Anonym dalam Policy Brieft BKKBN (2014) seseorang memutuskan untuk menikah dini karena memiliki alasan sendiri yakni yang salah satunya sudah berpenghasilan sendiri. Kemiskinan adalah faktor utama yang menyebabkan timbulnya pernikahan dini, ketika kemiskinan semakin tinggi remaja putri yang dianggap menjadi beban ekonomi keluarga akan dinikahkan dengan pria yang lebih tua darinya.
14
2.2 Hipotesis Berdasarkan uraian pada perumusan masalah dan tinjauan pustaka di atas maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1) Tingkat pendidikan, status bekerja, dan pendapatan berpengaruh signifikan secara simultan terhadap usia kawin pertama. 2) Tingkat pendidikan, status bekerja, dan pendapatan berpengaruh positif dan signifikan secara parsial terhadap usia kawin pertama.
15