BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Konsep dan Definisi Bekerja Menurut Statistik Ketenagakerjaan Provinsi Bali (2012:10) konsep dan definisi yang digunakan dalam pengumpulan data ketenagakerjaan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) adalah The Labor Force Concept yang disarankan oleh the International Labor Organitation (ILO). Konsep ini membagi penduduk menjadi dua kelompok, yaitu penduduk usia kerja dan penduduk bukan usia kerja. Penduduk usia kerja dibagi menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Pembagian Penduduk Usia Kerja (PUK) dapat dilihat pada Gambar 2.1, selanjutnya definisi masing-masing poin dari bagan di atas sebagai berikut (Statistik Ketenagakerjaan Provinsi Bali, 2012:10) : 1. Penduduk usia kerja adalah penduduk berumur 15 tahun dan lebih. 2. Angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun atau lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan sementara tidak bekerja dan pengangguran. 3. Bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun atau lebih) yang masih sekolah, mengurus rumah tangga atau kegiatan lainnya selain kegiatan pribadi. 4.Bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak putus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja tidak dibayar yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi. 5. Setengah menganggur adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam/minggu).
6. Mencari pekerjaan adalah kegiatan seseorang yang dilakukan dalam upaya untuk mencari pekerjaan dalam suatu periode rujukan, seperti : 1) Mereka yang belum pernah bekerja dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan 2) Mereka yang sudah pernah bekerja, karena sesuatu hal berhenti atau diberhentikan dan sedang berusaha untuk mendapatkan pekerjaan. 3) Mereka yang bekerja atau mempunyai pekerjaan tetapi karena sesuatu hal masih berusaha untuk mencari pekerjaan lain. 7. Pengangguran terbuka terdiri dari : 1) Mereka yang tidak punya pekerjaan dan mencari pekerjaan. 2) Mereka yang tidak punya pekerjaan dan mempersiapkan usaha. 3) Mereka yang tidak punya pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. 4) Mereka yang sudah memiliki pekerjaan namun belum mulai bekerja.
Gambar 2.1 Bagan Penduduk Usia Kerja Penduduk Usia Kerja (Usia 15+) Bukan Angkatan Kerja
Angkatan Kerja Sedang cari kerja
Bekerja
Status Pekerjaan
Mengurus Rumah Tangga
Lainlain
Bekerja Tidak Penuh (setengah menganggur)
Bekerja Penuh
Lapangan Pekerjaan
Sekolah
Jenis Pekerjaan
Setengah Menganggur Setengah Menganggur
Setengah menganggur terpaksa aktif
Setengah Menganggur Tipe Pekerjaan
Penuh Waktu
Paruh Waktu
Sumber : Mantra (2000:227)
2.1.2 Tenaga Kerja Perempuan dan Pembangunan Ekonomi Ketenagakerjaan merupakan aspek yang penting untuk dibahas karena sebagai salah satu indikator pembangunan ekonomi. Kondisi ketenagakerjaan yang baik berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Permasalahan ketenagakerjaan yang masih menjadi hambatan di Indonesia diantaranya adalah tingginya tingkat pengangguran, rendahnya kualitas tenaga kerja, pekerja dibawah umur dan lain sebagainya. Terkait dengan kualitas tenaga kerja, partisipasi penduduk dalam dunia kerja harus didukung oleh kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai. Hal ini karena tuntutan pada tenaga kerja tidak hanya sebatas kemampuan untuk bekerja, namun dihadapkan pula pada kemampuan untuk berkompetisi sesuai dengan kondisi kerja dan persaingan lapangan kerja.
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting di samping sumber daya alam, modal dan teknologi, jika ditinjau secara umum pengertian tenaga kerja adalah menyangkut manusia yang mampu bekerja untuk menghasilkan barang atau jasa dan mempunyai nilai ekonomis yang dapat berguna bagi kebutuhan masyarakat. Perkembangan peran perempuan dan posisi kaum perempuan dalam ketenagakerjaan sejak masa lampau hingga saat ini telah menempatkan perempuan sebagai mitra sejajar dengan kaum pria. Perempuan memiliki kesempatan dan mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara demi majunya pembangunan, untuk tingkat pekerjaan, jabatan perempuan juga tidak kalah tinggi dibandingkan dengan yang diraih oleh kaum laki-laki. Hal ini menandakan bahwa kesetaraan gender telah berjalan dengan baik (Ayu, 2012). Perempuan memiliki peran di luar rumah tangga atau disebut wanita karier. Peran-peran ini menunjukkan bahwa perempuan baik langsung maupun tidak langsung mempunyai kontribusi yang besar terhadap pembangunan bangsa. Pemerintah telah menempatkan kaum perempuan sebagai penyumbang yang tepat bagi pembangunan. Peran perempuan di dalam membangun ketahanan ekonomi, sudah dirasakan dampaknya, terutama dalam sektor informal. Perempuan yang populasinya hampir sama dengan laki-laki adalah sumber daya manusia yang potensial bagi pembangunan. Sayogyo (dalam Yunilas, 2005) menyatakan bahwa dalam proses pembangunan sewajarnya perempuan berpartisipasi yang sama nilainya dengan laki-laki sehingga sumber daya manusia dengan potensi yang tinggi sudah dimanfaatkan dengan baik. Pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi adalah salah satu indikator meningkatnya kesejahteraan. Saat perempuan menjadi kaum terdidik, mempunyai hak-hak kepemilikan, dan bebas untuk bekerja di luar rumah serta mempunyai pendapatan sendiri, inilah tanda kesejahteraan rumah tangga meningkat. Sudah
semestinya perempuan memiliki kemandirian secara ekonomi, agar dirinya punya kuasa dan posisi dalam hubungan domestik, keluarga, dan lingkungan sosial. Menurut Yabiku and Sarah (2009), peningkatan partisipasi perempuan dalam kegiatan ekonomi karena pertama, adanya perubahan pandangan dan sikap masyarakat tentang sama pentingnya kesetaraan pendidikan bagi kaum perempuan dan laki-laki, serta makin disadarinya perlunya kaum perempuan ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Peningkatan jumlah masyarakat yang lebih berpendidikan adalah jawaban untuk memecahkan masalah ekonomi negara dan akan mengakibatkan adanya pertumbuhan ekonomi. Kedua, adanya kemauan perempuan untuk mandiri dalam bidang ekonomi yaitu berusaha membiayai kebutuhan hidupnya dan kebutuhan hidup dari orang-orang yang menjadi tanggungannya dengan penghasilan sendiri. Kemungkinan lain yang menyebabkan peningkatan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja adalah makin luasnya kesempatan kerja (Haryanto, 2008). Menurut Ardiyan (2012) untuk dapat melihat definisi dan makna kerja dengan lebih jelas lagi, maka perlu dijelaskan juga tentang kerja dengan membaginya menjadi dua bentuk kerja yaitu : 1. Kerja produksi : Kerja produktif berfungsi memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, papan. 2. Kerja reproduksi : Kerja reproduktif bukan hanya sebatas masalah reproduksi biologis perempuan, hamil, melahirkan, menyusui, namun mencakup pula pengasuhan, perawatan sehari-hari manusia baik fisik dan mental, semuanya berperan penting dalam melahirkan dan menjadikan seseorang untuk berfungsi sebagaimana mestinya dalam struktur sosial masyarakat.
Makna bekerja untuk mendapatkan upah atau gaji seringkali berbenturan dengan pekerjaan mengurus rumah tangga sendiri tanpa mendapatkan upah. Tinggi rendahnya angka Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan banyak berhubungan dengan aspek sosial budaya dan modernisasi dalam hubungannya dengan hakekat bekerja (Tukiran, 2005).
2.1.3 Teori Alokasi Waktu Becker (1965) dengan teori A Theory of the Allocation of Time menyatakan bahwa semua orang memiliki waktu yang akan dialokasikan untuk bekerja ataupun untuk kegiatan lainnya. Tentu saja karena seluruh waktu tidak hanya dialokasikan untuk kegiatan makan, tidur, rekreasi, waktu lainnya sebaiknya dialokasikan untuk kegiatan memaksimumkan pendapatan. Penurunan pendapatan akan mempengaruhi penurunan waktu di kegiatan konsumsi karena waktu akan menjadi semakin mahal. Teori lainnya yang mendukung adalah teori tentang keputusan bekerja (A Theory of The Decision to Work). Menurut Ehrenberg dan Smith (2012: 171) pengalokasian waktu untuk bekerja atau waktu luang dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu : 1. Biaya kesempatan (opportunity cost). Dilihat seseorang yang mengalokasikan waktunya untuk bekerja, maka ia perlu waktu untuk tidak bekerja. Dimana harga dari waktu luang yang mereka miliki tergantung dari besarnya tingkat upah yang diterima. Bila penghasilan meningkat dengan biaya kesempatan waktu luang konstan maka seseorang akan menginginkan menghabiskan lebih banyak waktu luang. 2. Tingkat kesejahteraan seseorang. Kesejahteraan seseorang dapat dilihat dari jumlah tabungannya di bank, investasi finansial, dan harta benda fisik lainnya. Keahlian dari pekerja dapat diperhitungkan sebagai sesuatu yang dapat diharapkan. Bila seorang
pekerja memiliki banyak tabungan yang dapat dihargakan maka cenderung memilih meningkatkan waktu luang dibandingkan waktu kerja. 3. Seperangkat pilihan dari seseorang. Pilihan-pilihan tersebut biasanya ditentukan sendiri dan tidak secara seketika. Seseorang memutuskan untuk mempergunakan waktunya lebih banyak untuk bekerja atau lebih banyak waktu luang tergantung pada pilihan –pilihan yang tersedia. Waktu yang dimiliki individu dibagi dan dialokasikan ke dalam dua aktivitas yaitu untuk waktu luang dan waktu kerja. Waktu yang dimiliki individu akan digunakan untuk bekerja sebanyak X jam, maka waktu luang yang dimiliki adalah sebesar (24-X) jam perhari (Sudarsono dalam Marhaeni dan Manuati, 2004:11). Waktu luang ini akan digunakan untuk makan, tidur, mengurus rumah, mengasuh anak, rekreasi dan sebagainya. Secara ekonomi dapat dikatakan orang yang menggunakan waktuya untuk waktu luang dapat disebut mengkonsumsi waktu luang dan dia akan memperoleh kepuasan atau utilitas, sedangkan individu yang menggunakan sebagian waktunya utuk bekerja juga akan memperoleh kepuasan atau utilitas karena dapat mengkonsumsi barang dan jasa dari upah yang didapat karena bekerja. Keputusan untuk bekerja pada dasarnya adalah sebuah keputusan tentang bagaimana menggunakan waktu yang dimiliki. Seseorang dapat menggunakan waktu yang tersisa untuk aktivitas-aktivitas waktu luang seperti aktif dalam kegiatan sosial, budaya, mengurus rumah tangga, mengurus anak ataupun untuk berlibur sambil menjalankan hobi dari individu tersebut. Hal-hal yang dapat mempengaruhi waktu untuk bekerja antara lain jumlah beban tanggungan, kepemilikan pendapatan non kerja. Budaya suatu daerah juga dapat menentukan keterlibatan perempuan dalam pasar kerja (Marhaeni dan Manuati, 2004:36). Pada kenyataannya tiap individu mencoba menyeimbangkan antara pekerjaan dan kegiatan rumah misalkan saat rapat di
pagi hari dijadwalkan sama dengan waktu untuk mengantarkan anak sekolah (Grant and Stewart, 2001). 2.1.4 Pengaruh Jumlah Beban Tanggungan Keluarga terhadap Alokasi Waktu di Sektor Publik Meningkatnya jumlah anak, maka meningkat pula beban tanggungan keluarga. Menurut Adioetomo dan Omas (2010:30) rasio ketergantungan merupakan angka yang menyatakan perbandingan antara banyaknya penduduk usia nonproduktif (penduduk usia di bawah 15 tahun dan penduduk usia 65 tahun atau lebih) dengan banyaknya penduduk usia produktif (15-64 tahun). Jadi, mereka yang berusia non produktif akan menjadi tanggungan usia produktif sehingga dapat mempengaruhi keputusan perempuan bekerja secara sukarela agar mendapatkan pendapatan lebih bagi keluarganya serta kebutuhan hidup keluarganya terpenuhi. Menurut hasil penelitian Komala dan Sudibia (2012) secara parsial didapat bahwa variabel jumlah tanggungan rumah tangga berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi waktu kerja perempuan pada sektor informal perdagangan. Semakin banyak seseorang memiliki tanggungan rumah tangga, maka seseorang tersebut akan memiliki tanggung jawab yang lebih terhadap orang yang ditanggungnya tersebut . Hal ini akan memotivasi para perempuan untuk lebih giat bekerja, sehingga waktu yang dialokasikan untuk bekerja juga akan meningkat. Perempuan yang memiliki jumlah tanggungan rumah tangga lebih dari tiga orang cenderung lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk bekerja lebih dari 55 jam/minggu yakni sebanyak 86,69 persen. Sementara itu, perempuan yang hanya memiliki jumlah tanggungan sebanyak satu orang tampak lebih rendah mengalokasikan waktunya untuk bekerja yakni kurang dari 49 jam/minggu.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Susanti dan Nenik (2014) bahwa variabel jumlah tanggungan keluarga perempuan menikah berpengaruh positif terhadap curahan jam kerja perempuan menikah sebesar 7,338. Hal ini mengandung arti apabila jumlah tanggungan keluarga perempuan menikah di IKM Mebel Kabupaten Jepara mengalami peningkatan sebesar 1 orang, maka dapat meningkatkan curahan jam kerja sebesar 7,388 jam karena jika jumlah anak dan tanggungan semakin besar, maka biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan sehari-hari juga semakin tinggi dan biaya sekolah yang relatif mahal. Jumlah tanggungan keluarga mempunyai hubungan positif terhadap curahan jam kerja wanita, artinya setiap penambahan jumlah tanggungan keluarga dalam keluarga, akan pekerja wanita tersebut akan menambah jam kerja dirinya, dikarenakan tingginya biaya keperluan keluarganya, seperti sekolah, makan, dan lain-lain (Payaman dalam Riana, 2013).
2.1.5 Pengaruh Pendapatan Non Kerja terhadap Alokasi Waktu di Sektor Publik Pendapatan non kerja merupakan pendapatan yang diperoleh individu bukan karena bekerja, melainkan pendapatan dari hasil penyewaan rumah, bunga tabungan dan bunga deposito. Secara teoritis jika pendapatan non kerja (kekayaan) meningkat dan opportunity cost of leisure time tetap, maka seseorang akan mengkonsumsi waktu luang lebih banyak, sehingga akan mengurangi alokasi waktu kerja. Hal ini berarti meningkatnya pendapatan non kerja seseorang akan menyebabkan penurunan jam kerja, kenaikan pendapatan non kerja yang mengakibatkan penurunan jam kerja disebut dengan income effect (Marhaeni dan Manuati, 2004:25).
Gambar 2.2 Pengaruh Pendapatan Non Kerja Terhadap Jam Kerja C Barang dan jasa
U1 B
0
U
E
D
E1
A
Waktu Luang
Sumber : Marhaeni dan Manuati (2004:25)
Gambar 2.2 menunjukkan ultilitas seseorang mengalami kenaikan dari titik U ke titik U1 karena meningkatnya pendapatan non kerja. Kenaikan pendapatan non kerja menyebabkan bertambahnya konsumsi waktu luang sejumlah EE1. Konsumsi waktu luang sebelumnya ada pada OE menjadi OE1 setelah bertambahnya pendapatan non kerja. Dengan tercukupinya pendapatan seseorang melalui pendapatan non kerja maka akan cenderung mengurangi waktunya untuk bekerja dan lebih memilih mengisi waktu luang dengan kegiatan lainnya yang tidak memiliki nilai ekonomis (Marhaeni dan Manuati, 2004:25).
2.1.6 Pengaruh Kegiatan Adat terhadap Alokasi Waktu di Sektor Publik Salah satu kegiatan di sektor domestik non kodrati yang dikerjakan perempuan Bali selain mengurus rumah tangga adalah menjalankan kegiatan sosial berupa partisipasi dalam kegiatan adat istiadat yang berlaku di lingkungannya. Peranan ganda seorang perempuan juga mengacu pada masyarakat luas (public role), salah satunya adalah peran kekerabatan (kin role) dan peran dalam masyarakat (community role) (Juliartini, 2012). Hal ini lumrah terjadi di Bali dan sangat dikenal dengan kegiatan menyama-braya. Kuta terkenal dengan potensi pariwisata yang sangat
besar turut menyebabkan perempuan memanfaatkan kesempatan tersebut untuk bekerja. Di sektor pariwisata mereka dapat memilih berdagang dengan tujuan membagi waktu dengan mudah antara bekerja, mengurus rumah tangga dan berkontribusi dalam kegiatan sosial budaya di lingkungan tempat tinggalnya. Peranan perempuan Bali begitu terlihat di dalam berbagai kegiatan upacara di Bali bahkan dalam upacara-upacara tertentu yang rutin setiap bulan seperti upacara bulan purnama, tilem, kajeng kliwon dan menyiapkan sajen berupa banten nasi dengan lauk pauk yang disebut dengan banten saiban, segehan dan canang sari hampir semuanya dilaksanakan dan disiapkan oleh perempuan (Murjana, 2000). Aktivitas adat dan keagamaan yang biasanya memakan waktu lumayan lama adalah upacara Panca Yadnya meliputi persiapan sampai dengan pelaksanaannya. Yang termasuk ke dalam upacara Panca Yadnya adalah Bhuta Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya dan Dewa Yadnya. Kegiatan khusus lainnya yang dilaksanakan oleh para perempuan Bali yakni menyanyikan lagu suci pada saat rangkaian upacara yang disebut dengan mekidung, itulah beberapa peranan perempuan Bali yang menonjol dalam kegiatan adat. Jika intensitas untuk kegiatan adat tinggi, waktu kerja di sektor publik khususnya untuk bekerja akan berkurang. Menurut Marhaeni (dalam Riana, 2013) dari hasil penelitiannya bahwa ada 3 variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap alokasi jam kerja publik tenaga kerja wanita, yaitu umur anak terakhir berpengaruh positif, rata-rata upah per jam berpengaruh positif dan budaya berpengaruh negatif. Konflik yang terjadi pada perempuan pedagang cenderamata di Pasar Seni Mertha Nadi Legian adalah mereka harus membagi waktu antara kegiatan adat dan waktu untuk membuka kios, sehingga mereka akan cenderung menutup kios agar dapat mengikuti kegiatan adat sebagaimana mestinya.
Berdasarkan kajian pustaka dan hasil penelitian sebelumnya, dapat dibentuk kerangka konsep variabel penelitian seperti pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Variabel Penelitian Jumlah Beban Tanggungan Keluarga (X1)
(+) Pendapatan Non Kerja (X2)
(-)
Alokasi Waktu di Sektor Publik (Y)
(-)
Kegiatan Adat X3)
2.2 Hipotesis Berdasarkan kajian pustaka dan penelitian terdahulu maka dapat dirumuskan hipotesis, yaitu: 1. Jumlah beban tanggungan keluarga, pendapatan non kerja dan intensitas kegiatan adat berpengaruh signifikan secara simultan terhadap alokasi waktu sektor publik perempuan pedagang cenderamata di Pasar Seni Mertha Nadi Legian. 2. Jumlah beban tanggungan keluarga berpengaruh positif dan signifikan secara parsial terhadap alokasi waktu sektor publik perempuan pedagang cenderamata di Pasar Seni
Mertha Nadi Legian, sedangkan pendapatan non kerja dan intensitas kegiatan adat masing-masing berpengaruh negatif dan signifikan secara parsial terhadap alokasi waktu sektor publik perempuan pedagang cenderamata di Pasar Seni Mertha Nadi Legian.