BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Konsep dan Teori Perdagangan Internasional Boediono (1993 : 10), mendefinisikan perdagangan sebagai proses tukar
menukar yang didasarkan atas kehendak suka rela dari masing-masing pihak. Masing-masing pihak harus mempunyai kebebasan untuk menentukan untung rugi pertukaran tersebut dari sudut kepentingan masing-masing dan kemudian menentukan apakah ia mau melakukan pertukaran atau tidak. Pada dasarnya pertukaran atau perdagangan timbul karena kedua belah pihak melihat adanya manfaat atau keuntungan tambahan yang bisa diperolah dari pertukaran tersebut (gains from trade). Menurut Tambunan (2001 : 1), perdagangan internasional diartikan sebagai perdagangan antara atau lintas negara yang meliputi kegiatan ekspor dan impor. Perdagangan internasional dibagi menjadi dua kategori, yakni perdagangan barang (fisik) dan perdagangan jasa. Perdagangan jasa antara lain terdiri dari jasa transportasi, jasa perjalanan (travel), jasa asuransi, jasa pembayaran bunga dan remitance seperti gaji tenaga verja serta fee atau royalty teknologi (lisensi). Nopirin ( 1996 : 26), mendefinisikan bahwa perdagangan internasional yang dilakukan antar dua negara timbul karena adanya perbedaan permintaan dan penawaran. Perbedaan permintaan bisa disebabkan oleh jumlah dan jenis kebutuhan, jumlah pendapatan, kebudayaan, selera dan sebagainya. Dari segi penawaran perbedaan disebabkan oleh perbedaan faktor produksi baik kualitas,
kuantitas maupun dalam hal komposisi faktor produksi tersebut. Perbedaan faktor produksi akan membedakan tingkat produktivitas tiap negara. Faktor harga juga menentukan adanya perbedaan harga komparatif antar negara yang menyebabkan timbulnya arus perdagangan internasional. Jadi, perdagangan internasional secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang mencakup ekspor dan impor, baik berupa barang maupun jasa yang dilakukan antar negara atas pertimbangan tertentu (keuntungan) dan dilakukan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun juga. Menurut Hamdy (2001 : 24) teori perdagangan internasional dapat digolongkan ke dalam 4 kelompok, yaitu : 1) Teori Pra Klasik (Merkantilisme) Menurut Hamdy (2001 : 24), ide pokok merkantilisme adalah negara atau raja akan kaya raya atau makmur dan kuat apabila ekspor lebih besar daripada impor (X>M). Surplus dari X-M (ekspor netto) dihasilkan dari pemasukan logam mulia terutama emas dan perak dari luar negeri. Hal ini disebabkan karena pada waktu itu logam mulia dipakai sebagai alat pembayaran. Kebijakan perdagangan dilakukan oleh merkantilisme dalam melaksanakan ide pokok tersebut dengan cara melaksanakan ekspor sebesar-besarnya kecuali logam mulia dan melarang atau membatasi impor dengan ketat kecuali logam mulia. 2) a)
Teori klasik
Teori keunggulan mutlak (absolut advantage) Adam Smith
Setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan internasional (gain from trade) karena melakukan spesiaslisasi produksi, dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak (absolut advantage),
serta mengimpor barang jika negara tersebut memiliki ketidakunggulan mutlak (absolut disadvantage). Lebih lanjut Smith menganjurkan perdagangan bebas sebagai suatu kebijaksanaan yang paling baik untuk negara-negara di dunia, sehingga dengan perdagangan bebas setiap negara dapat berspesialisasi dalam produksi komoditi yang mempunyai keunggulan absolut dan mengimpor komoditi yang mengalami kerugian absolut. Produksi ini akan menghasilkan pertambahan produksi dunia dan dapat dimanfaatkan bersamasama melalui perdagangan antar negara, sehingga keuntungan suatu negara tidak diperoleh dari pengorbanan negara-negara lain, tetapi semua negara dapat memperolehnya secara serempak. Perdagangan internasional akan terjadi dan akan menguntungkan apabila masing-masing negara memiliki keunggulan absolut yang berbeda. Dan apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut maka tidak akan terjadi perdagangan internasional yang menguntungkan. Kelemahan teori Adam Smith ini disempurnakan oleh David Ricardo dengan Teori Keunggulan Komparatif. b) Teori keunggulan komparatif (comparative advantage) David Ricardo Teori David Ricardo didasarkan pada nilai tenaga kerja atau Theory of Labour Value yang menyatakan bahwa nilai atau harga suatu produk ditentukan oleh jumlah waktu atau jam kerja yang diperlukan untuk memproduksinya (Hamdy, 2001 : 32). Suatu negara akan mendapatkan manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang-barang dimana negara tersebut dapat berproduksi
lebih efisien dan mengimpor barang yang produksinya kurang efisien. Sekalipun
suatu
negara
tidak
memiliki
keunggulan
mutlak
dalam
memproduksi suatu barang jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan masih bisa berlangsung dan saling menguntungkan.Apabila negara tersebut memiliki keunggulan Comparative dalam menghasilkan suatu barang contoh hipotesis pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Data Hipotesis Cost Comparative Produksi Negara
Anggur
Pakaian
Portugis
3 Hari Kerja
4 Hari Kerja
6 Hari Kerja
5 Hari Kerja
Inggris Sumber : Nopirin (1996:14)
Berdasarkan Tabel 2.1 jika ditinjau dari keunggulan absolut Adam Smith maka Portugis unggul mutlak karena labor-costnya lebih efisien dibandingkan dengan Inggris, baik dalam produksi anggur maupun pakaian. Dengan demikian tentu tidak akan terjadi perdagangan antara kedua negara jika didasarkan pada teori Smith. Akan tetapi, berdasarkan teori Ricardo walaupun Portugis memiliki keunggulan absolut dibandingkan dengan Inggris untuk kedua produk namun tetap dapat terjadi perdagangan internasional yang menguntungkan kedua negara melalui spesialisasi jika negara-negara tersebut memiliki comparative advantage atau labor efficiency.
Berdasarkan perbandingan cost comparative advantage, dapat dilihat bahwa tenaga kerja Portugis lebih efisien dibandingkan tenaga kerja Inggris dalam produksi anggur (3/6 atau ½ hari kerja) daripada produksi pakaian (4/5 hari kerja). Hal ini akan mendorong Portugis melakukan spesialisasi produksi dan ekspor anggur. Sebaliknya, tenaga kerja Inggris tersignifikan lebih efisien dibandingkan tenaga kerja Portugis dalam memproduksi pakaian (5/4 hari kerja) daripada produksi anggur (6/3 atau 2 hari kerja). Hal ini mendorong Inggris melakukan spesialisasi produksi.
Tabel 2.2 Data Perhitungan Cost Comparative (Labor Efficiency) Perhitungan Cost Comparative Advantage (Labor Efficiency) Perbadingan Cost
Anggur
Pakaian
Portugis Inggris
3/6 Hari Kerja
4/5 Hari Kerja
Inggris 6/3 Hari Kerja Portugis Sumber : Nopirin (1996: 14)
5/4 Hari Kerja
3) Teori Modern : Teori Heckscher-Ohlin (Teori H-O) Teori perdagangan selanjutnya dikembangkan oleh ahli ekonomi dari Swedia, yaitu Eli Heckscher dan Bertil Ohlin yang terkenal dengan teori Heckscher-Ohlin. Teori yang lebih modern ini menyatakan, bahwa terjadinya perdagangan internasional disebabkan karena adanya perbedan relatif faktorfaktor pemberian alam dan intensitas penggunaan faktor produksi. H-O menyatakan bahwa setiap negara akan mengekspor barang yang diproduksinya menggunakan faktor produksi yang persediaanya melimpah dan
murah secara intensif serta mengimpor barang yang produksinya menggunakan faktor produksi yang persediaanya langka dan mahal secara intensif (Hamdy, 2001 : 39) 4) Paradigma baru Perdagangan Internasional Perkembangan ekspor dari suatu negara tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor keunggulan komparatif tetapi juga oleh faktor-faktor keunggulan kompetitif. Inti daripada paradigma keunggulan kompetitif adalah keunggulan suatu negara di dalam persaingan global selain ditentukan oleh keunggulan komparatif (teori-teori klasik dan H-O) yang dimilikinya dan juga karena adanya proteksi atau bantuan fasilitas dari pemerintah, juga sangat ditentukan oleh keunggulan kompetitifnya. Keunggulan kompetitif tidak hanya dimiliki oleh suatu negara, tetapi juga dimiliki oleh perusahaan-perusahaan di negara tersebut secara individu atau kelompok. Perbedaan lainnya dengan keunggulan komparatif adalah bahwa keunggulan kompetitif sifatnya lebih dinamis dengan perubahan misalnya teknologi dan sumber daya manusia (Tambunan, 2001 : 130). 2.1.2
Konsep Ekspor Menurut Amir M.S (2003 : 100) kegiatan ekspor diartikan dengan
pengeluaran barang-barang dari peredaran masyarakat dan mengirimkan keluar negeri sesuai dengan ketentuan pemerintah dan
mengharapkan pembayaran
dalam bentuk valuta asing. Amir M.S (2003 : 1 ) juga menjelaskan ekspor sebagai upaya melakukan penjualan komoditi yang dimiliki kepada bangsa lain atau negara asing dengan mengharapkan pembayaran dalam valuta asing.
Menurut Hutabarat (1995 : 307), pelaksanaan kegiatan ekspor setiap negara memiliki peraturan yang berbeda-beda yang dilengkapi dengan ketentuan serta prosedur pelaksanaan transaksi khususnya yang disesuaikan dengan kondisi dalam negeri. Menurut Collins (1994 : 218) pengertian ekspor dapat dibagi menjadi tiga yaitu : 1) Suatu barang yang diproduksi dan secara fisik diangkut dan dijual di pasar luar negeri, kemudian diperoleh penerimaan dalam mata uang asing. Ekspor seperti ini disebut ekspor yang dapat dilihat (Visible Export). 2) Suatu jasa yang disediakan bagi orang asing baik di dalam negeri (sebagai contoh, kunjunagnwisatawan mwncanegara) mupun di luar negeri (sebagai contoh, perbankan dan asuransi) yang keduanya menghasilkan mata uang asing. Ekspor ini disebut ekspor yang tidak dapat dilihat (Invisible Export). 3) Modal yang ditempatkan di luar negeri dalam bentuk investasi portofolio, investasi langsung luar negeri dalam bentuk aset fisik dan deposito bank disebut ekspor modal. Pengertian ekspor menurut Mankiw (2000 : 25), ekspor netto diartikan sebagai barang dan jasa yang diekspor ke negara lain. Dimana ekspor netto ini menunjukan pengeluaran bersih dari luar negeri pada barang dan jasa suatu negara yang memberikan pendapatan bagi produsen domestik. Ekspor merupakan salah satu komponen atau bagian dari pendapatan agregat dan makin tinggi pula pendapatan nasional negara yang bersangkutan, dengan demikian dapat dikatakan ekspor merupakan salah satu sumber devisa. Untuk dapat mengekspor, negara
tersebut harus mampu menghasilkan barang-barang dan jasa yang mampu bersaing di pasaran internasional. Menurut Sukirno (2000 : 109), faktor-faktor yang menentukan ekspor adalah sebagai berikut. 1) Daya Saing dan Keadaan Ekonomi Negara Lain Dalam suatu sistem perdagangan internasional yang bebas, kemampuan suatu negara menjual barang ke luar negeri tergantung pada kemampuannya menyaingi barang-barang sejenis di pasar internasional. Besarnya pasaran barang di luar negeri sangat ditentukan oleh pendapatan penduduk di negara lain dan kemajuan yang pesat di suatu negara akan meningkatkan ekspor negara tersebut. 2) Proteksi di Negara-Negara Lain Proteksi di negara-negara lain akan mengurangi tingkat ekspor suatu negara. 3) Kurs valuta Asing Peningkatan kurs mata uang negara pengimpor terhadap mata uang negara pengekspor dapat meningkatkan daya beli negara pengimpor yang mengakibatkan nilai ekspor negara pengekspor meningkat. Ekspor adalah penting dalam hal utama, yaitu bersama-sama dengan impor menghasilkan neraca pembayaran dari suatu negara (suatu negara harus mengekspor untuk dapat membiayai impornya yang dibayar dengan mata uang asing) dan ekspor menggambarkan suntikan dana dalam aliran sirkulasi pendapatan nasional. Berdasarkan keputusan
Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 10/MPP/SK/5/1996 dan nomor 228/MPP/SK/7/1997, barang-barang yang diekspor digolongkan dalam empat kelompok, yaitu : 1. Barang yang diatur ekspornya adalah barang yang ekspornya hanya dapat dilakukan oleh eksportir terdaftar, seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), kayu dan produk kayu (kayu lapis), barang hasil industri dan kerajinan dari kayu cendana dan kopi. 2. Barang yang diawasi ekspornya adalah barang yang ekspornya hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Menteri Perindustrian dan Perdagangan atau pejabat yang ditunjuk, seperti kacang kedelai, padi, beras, ternak hidup, pupuk urea, perak yang ditempa minyak dan gas bumi, timah, dan inti kelapa sawit. 3. Barang yang dilarang ekspornya adalah barang yang tidak boleh diekspor, seperti jenis perikanan dalam keadaan hidup (arwana, benih ikan sidat), binatang liar dan tumbuhan alam yang dilindungi secara mutlak, kulit mentah (pickled dan kulit binatang melata), bongkah serta barang-barang kuno bernilai kebudayaan. 4. Barang yang bebas ekspornya adalah barang yang tidak termasuk dalam barang yang diatur ekspornya, barang yang diawasi ekspornya maupun barang yang dilarang ekspornya, seperti kerajinan perak, ikan tuna beku, kerajinan bambu, dan lain-lain. Dalam kelangsungan kegiatan ekspor perlu dilakukan kebijaksanaan pada peningkatan daya saing serta perluasan pasar luar negeri. Kebijaksanaan tersebut dapat ditempuh antara lain dengan upaya-upaya peningkatan efisiensi produksi,
perbaikan mutu komoditas, jaminan kesinambungan dan ketepatan waktu penyerahan serta melakukan penganekaragaman barang produksi di pasar. Agar mendukung semua itu dilakukan penyempurnaan sarana dan prasarana perdagangan termasuk informasi pasar, serta pemantapan sarana dan prasarana penunjang ekspor, seperti perkreditan, asuransi, lalu lintas keuangan dan perangkat hukum. 2.1.3 Konsep Produksi Produksi adalah setiap usaha atau kegiatan untuk menambah nilai suatu barang. Jumlah produksi suatu barang yang dapat di hasilkan sangat tergantung pada faktor produksi yang digunakan hubungan faktor produksi dengan produksi inilah yang disebut fungsi produksi. Menurut Sukirno (1996 : 194) yang disebut sebagai fungsi produksi yaitu suatu perkaitan di antara faktor-faktor produksi dan tingkat produksi yang diciptakannya dimana fungsi produksi merupakan suatu hubungan fisik antara input sumber daya perusahaan (faktor-faktor produksi) dan keluarannya (output) yang berupa barang dan jasa per unit waktu atau dapat dibuat formulasinya sebagai berikut. Q= f ( K, L, R, T ) Keterangan: Q= Barang yang di produksi K= Kapital/Modal L= Labour/ Tenaga Kerja R= Resources/ Alam T= Teknologi/ Entreprenuer 2.1.4
Hubungan Jumlah Produksi Dengan Ekspor Perlu diketahui bahwa setiap kenaikan produksi haruslah disertai dengan
adanya peningkatan luas lahan, jumlah tenaga kerja, dan investasi pemerintah atau
pengeluaran pembangunan pemerintah pada sektor ini. Jika produksi meningkat maka volume ekspor juga meningkat. Dimana dengan peningkatan produksi maka akan mampu untuk mencukupi kebituhan dalam negeri dan sebagian dari produksi tersebut dapat di ekspor. Peningkatan ekspor ini akan menyebabkan pendapatan negara berupa mata uang asing (devisa) menjadi meningkat juga. Jadi, antara jumlah produksi dengan ekspor memiliki hubungan yang positif. 2.1.5
Teori Harga Harga adalah nilai tukar suatu barang hanya terjadi jika Menurut Sukirno
(1996 : 86), hukum penawaran adalah suatu pernyataan yang menjelaskan sifat perkiraan di antara sesuatu barang dan jumlah barang tersebut yang di tawarkan para penjual. Di dalam hukum penawaran ini dinyatakan bagaimana keinginana para penjual untuk menawarkan barangnya apabila harganya tinggi, dan bagaimana pula keinginan untuk menawarkan barangnya tersebut apabila harganya rendah. (Sukirno,2001 : 78) juga menyebutkan bahwa dengan menggabungkan permintaan pembeli dan penawaran penjual inilah yang dapat menetapkan harga keseimbamgan atau harga pasar dan jumlah barang yang akan diperjaul belikan. Hukum penawaran pada dasarnya mengatakan makin tinggi harga sesuatu barang, makin banyak jumlah barang tersebut yang akan di tawarkan oleh para penjual, sebaliknya makin rendah harga sesuatu barang, makin sedikit jumlah barang tersebut yang ditawarkan oleh para penjual. Sampai dimana keinginan para penjual menawarkan barangnya pada berbagai tingkat harga ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain:
1) Harga barang itu sendiri. 2) Harga barang-barang lain. 3) Ongkos produksi, yaitu biaya untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan mentah. 4) Tujuan-tujuan dari perusahaan tersebut. 5) Tingkat teknologi yang digunakan. 2.1.6
Hubungan Harga Dengan Ekspor Teori penawaran adalah suatu teori yang menyatakan suatu hubungan
antara harga dengan jumlah barang yang ditawarkan. Dimana dalam teori penawaran dinyatakan bahwa ”semakin tinggi harga suatu barang, maka makin banyak jumlah barang yang ditawarkan. Sebaliknya, semakin rendah harga suatu barang, maka makin sedikit jumlah barang yang ditawarkan ” (Sukirno,1996 : 86). Dalam perdagangan internasional, volume ekspor menggambarkan jumlah barang yang ditawarkan. Sehingga semakin tinggi harga ekspor suatu barang, maka volume ekspor untuk barang tersebut akan semakin tinggi, demikian sebaliknya semakin rendah harga ekspor suatu barang maka semakin sedikit volume ekspor dari barang tersebut. Jadi, antara harga ekspor suatu barang dengan volume ekspor barang tersebut terdapat suatu hubungan yang positif 2.1.7
Konsep Kurs Valuta Asing Valuta asing merupakan mata uang dari tiap-tiap negara yang
dipergunakan untuk melakukan aktivitas atau kegiatan ekonomi misalnya Euro untuk mata uang negara-negara eropa, US$ untuk Amerika, Yen untuk Jepang, serta Poundsterling untuk Inggris. Perubahan yang terjadi antara permintaan dan
penawaran terhadap mata uang asing dalam pasar valuta asing akan merubah kurs valuta asing. Kurs valuta asing merupakan mata uang negara lain yang dinilai dengan mata uang dalam negeri. Nopirin (1987 : 163), mendefinisikan kurs valuta asing adalah perbandingan atau harga antara dua mata uang. Pertukaran antara mata uang yang berbeda,maka akan terdapat perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uang tersebut. Perbandingan nilai inilah yang disebut dengan kurs atau exchange rate, misalnya pada saat kurs valuta asing (Dollar Amerika serikat) tahu 2000 senilai US$ Rp 9.595,- berarti untuk mendapatkan sejumlah US$ 1.00 maka Rupiah yang diperlukan adalah sebesar Rp 9.595,-. Kestabilan nilai tukar rupiah sangatlah diperlukan agar kegiatan ekonomi dapat berlangsung lebih mantap. Hal ini disebkan karena produsen atau ekportir dapat merencanakan kegiatan mereka secara lebih pasti. Ada beberapa sistem kurs yang dapat menjaga kesetabilan nilai tukar, antara lain : 1) Sistem Kurs Tetap ( fixed exchange Rate System ) Sistem kurs tetap atau Fixed exchange rate sistem adalah kurs yang ditentukan oleh badan yang berwenang di bidang moneter ( otoritas moneter ), untuk waktu tertentu kurs ini tidak berubah-ubah. Apabila nilai mata uang negara tersebut berubah maka otoritas moneter yang berhak mengambil kebijakan untuk mengembalikan nilai tukar ke nilai yang ditetapkan. Konsekuensi dari kebijakan nilai tukar tetap adalah otoritas moneter harus bisa memperkirakan dengan tepat nilai tukar equlibrium yang harus di pertahankan agar tidak over value, sehingga
di butuhkan cadangan devisa yang besar untuk melakukan intervensi serta di butuhkan koordinasi kebijakan moneter antar negara. 2) Sistem Kurs Mengambang atau berubah (Floating Exchange Rate System ) Kebijakan sistem kurs ini adalah dengan memberikan kebebasan atau mengambangkan pada pasar untuk mencapai nilai keseimbangan, sehingga tinggi rendahnya kurs tergantung dari permintaan dan penawaran. Sistem kurs mengambang terdiri dari : a. Sistem Kurs Mengambang Bebas penentuan nilai tukar ini terjadi tanpa adanya campur tangan dari otoritas moneter. Oleh sebab itu, kebijakan moneter dapat lebih independen. Otoritas moneter dapat menetapkan supply Rupiah dan membiarkan pasar valuta asing menentukan nilai tukar. Sehingga sasaran kebijakan moneter terfokus dan lebih efektif dalam mengendalikan inflasi. b. Sistem Kurs Mengambang Terkendali penentuan nilai tukar ini dibiarkan secara bebas sesuai dengan permintaan dan penawaran pasar tetapi berbagai intervensi kebijakan masih dipakai untuk menjaga agar nilai tersebut berada pada target nilai yang ditentukan. 3) Sistem Kurs Terkait Sistem nilai tukar yang ditetapkan dengan cara mengaitkan nilai tukar uang suatu negara dengan nilai tukar negara lain atau sejumlah mata
uang tertentu. Salah satu variasi dari sitem kurs tekait adalah Currency Board System (CBS) yang diterapkan oleh beberapa negara yang mengalami kesulitan moneter. Cerrency Board System (CBS) dilaksanakan dengan cara mengaitkan dan menetapkan nilai tukar tetap antara suatu negara dengan Hard currency tertentu didasarkan kepada jumlah mata uang beredar dan cadngan devisa yang dimilikinya (dalam bentuk mata uang hard currency) (Hamdy,2001 : 20). Winarno (2006 : 83) menyatakan, ada beberapa faktor yang dapat dijadikan pedoman untuk menentukan sistem kurs, yaitu : 1) Besarnya perekonomian dan tingkat keterbukaan Pada struktur ekonomi sebuah negara, perdagangan internasional merupakan bagan terbesar dalam konfigurasi PDB, gejolak kurs mata uang bisa merepotkan. Hal itu disebabkan oleh potensi pengaruh yang bisa mengena pada sektor perokonomian. 2) Tingkat Inflasi Jika inflasi suatu negara lebih besar dari pada nilai inflasi mitra dagangnya, sistem kurs fleksibel lebih mudah untuk menyesuaikan ketika terjadi penurunan daya saing. 3) Sifat Peraturan Perburuhan Pada peraturan perburuhan yang fleksibel, adaptasi lebih mudah sehingga dapat berdaya saing. 4) Tingkat Kemajuan Pasar Uang
Di negara berkembang dengan pasar uang yang belum terlalu maju,sistem kurs bebas kurang cocok, karena volume perdagangan yang kecil dapat menimbulkan gejolak yang cukup besar. 5) Kredibilitas Otoritas Moneter Bila otoritas moneter dianggap kurang memiliki kredibilitas, sistem kurs bebas mengakibatkan lonjakan kurs yang tinggi. 6) Mobilitas Modal Di negara yang lalu lintas modalnya tidak memiliki mekanisme pembatasan akan sulit mempertahankan sistem kurs tetap. 2.1.8
Hubungan Kurs Dollar Dengan Ekspor Dalam depresiasi atau apresiasi nilai mata uang akan mengakibatkan
perubahan keatas ekspor maupun inpor. Jika kurs dollar amerika serikat mengalami depresiasi, yaitu nilai mata uang dalam negeri melemah dan berarti nilai mata uang asing menguat kursnya (harganya) akan menyebabkan ekspor meningkat dan impor cenderung menurun. Dimana dengan peningkatan kurs Dollar maka konsumen di luar negeri memiliki kemampuan membeli lebih banyak, sehingga penawaran produsen untuk melakukan ekspor meningkat. Jadi kurs valuta asing mempunyai hubungan yang searah dengan volume ekspor. Apabila nilai kurs Dollar Amerika meningkat, maka volume ekspor juga akan meningkat (Sukirno,2000 : 319). Jadi, antara kurs Dollar dengan ekspor memiliki hubungan yang positif.
2.2
Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya
Penelitian Pusparini (2005) yang berjudul ”Analisis Pengaruh Harga, Investasi Swasta Sektor Industri Dan Kurs Dollar Amerika Serikat Terhadap Volume ekspor Komoditi Kerajinan Propinsi Bali Tahun 1999-2003”. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear barganda dan analisis koefisien determinasi. Hasil regresi yang dilakukan dengan menggunakan teknik analisis t-test ternyata harga,bila variabel lain dianggap konstan memberikan pengaruh tidak nyata terhadap volume ekspor komoditi kerajinan propinsi Bali dengan t-hitung = 0,357 < t-tabel = 1,860. investasi swasta sektor industri juga berpengaruh tidak nyata terhadap volume ekspor komoditi kerajinan propinsi Bali dengan t-hitumg = -0,899 < t-tabel = 1,860. sedangkan kurs Dollar Amerika berpengaruh positif dan nyata terhadap volume ekspor komoditi kerajinan propinsi Bali dengan t-hitung = 7,159 > t-tabel = 1,860. Berdasarkan hasil analisis uji-F diperoleh F-hitung = 20,681 > F-tabel = 4,07 pada α = 5 persen. Ini berarti harga rata-rata, investasi swasta sektor industri dan kurs Dollar Amerika secara serempak berpengaruh nyata terhadap volume ekspor komoditi kerajinan propinsi Bali. Analisis koefisien deterninasi diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 0,886 yang berarti bahwa 88,6 persen variasi volume ekspor komoditi kerajinan propinsi Bali mampu dijelaskan oleh variasi harga rata-rata, investasi swasta sektor industri dan kurs Dollar Amerika, dan sisanya sebesar 11,4 persen dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dimasukan dalam model.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu terletak pada variabel bebasnya. Pada penelitain sebelumnya menggunakan harga rata-rata, investasi swasta sektor industri dan kurs Dollar Amerika serikat sebagai variabel bebasnya, sedangkan pada penelitian ini menggunakan jumlah produksi timah, harga dan kurs Dollar Amerika sebagai variabel bebasnya dan juga lokasi penelitian sebelumnya pada propinsi Bali sedangkan penelitian ini lokasi penelitiannya di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pesamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sama-sama menggunakan ekspor sebagai varibel terikat dan persamaan pada teknik analisis data yang menggunakan analisis regresi linier berganda (uji-t dan uji-F) dan analisis koefesien determinasi. Airlangga, Brahma (2007) dengan judul ” Analisis Pengaruh Jumlah Produksi Kelapa Sawit, harga dan Kurs Dollar Amerika Terhadap Volume Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia Periode 1994-2006 ”. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda dengan uji-t dan uji-F. Hasil regresi yang dilakukan dengan menggunakan teknik analisis t-test ternyata produksi, dimana variabel lain dianggap konstan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap volume ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia periode 19942006 dengan t-hitung = 12,269 > t-tabel = 1,833. harga komoditi kelapa sawit indonesia bila variabel lain dianggap konstan memberikan pengaruh yang positif dan tidak signifikan terhadap volume kelapa sawit indonesia tahun 1994-2006 dengan t-hitung = 0,117 < t-tabel =1,833. Sedangkan kurs Dollar Amerika dimana variabel lain dianggap konstan memberikan pengaruh negatif dan tidak signifikan
secara parsial terhadap volume ekspor kelapa sawit indonesia periode 1994-2006 dengan niali t-hitung -1,831 < t-tabel = 1,833. Analisis koefisien determinasi diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 0,963 yang berarti bahwa 96,30 persen variasi volume ekspor kelapa sawit indonesia mampu dijelaskan oleh variasi produksi, harga komoditi, dan kurs Dollar Amerika dan sisanya sebesar 3,70 persen dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model. Hal ini menunjukkan variabel bebas mempunyai pengaruh yang kuat terhadap variabel terikat. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu terletak pada variabel terikatnya dimana pada penelitian sebelumnya menggunakan volume ekspor kelapa sawit indonesia periode 1994-2006 sedangkan pada penelitian ini menggunakan volume ekspor timah indonesia periode 1989-2005. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sama-sama menggunakan variabel produksi, harga dan kurs Dollar Amerika sebagai variabel terikatnya, serta Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai lokasi penelitian. Penelitian ini juga menggunakan teknik analisis data yang sama yaitu dengan menggunakan teknik analisis regresi linear berganda dengan uji-t dan uji-F.
2.3
Rumusan Hipotesis Berdasarkan pokok masalah dan kajian pustaka yang telah diuraikan, maka
dapat dirumuskan hipotesis yang akan diuji pada penelitian ini sebagai berikut. 1) Diduga bahwa jumlah produksi timah, harga dan kurs Dollar Amerika secara serempak berpengaruh signifikan terhadap volume ekspor timah Indonesia periode 1990-2005.
2) Diduga bahwa jumlah produksi timah, harga dan kurs Dollar Amerika secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap volume ekspor timah Indonesia periode 1990-2005. 3) Diduga bahwa jumlah produksi timah, harga dan kurs Dollar Amerika mempunyai pengaruh yang besar terhadap volume ekspor timah Indonesia 1990-2005.