BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Komitmen Organisasional
2.1.1.1 Definisi Komitmen Organisasional Komitmen organisasi didefinisikan sebagai pendekatan psikologis antara karyawan dan organisasi yang berimplikasi terhadap keputusan untuk bertahan atau keluar dari organisasi (Meyer dan Allen, 1991). Adekola (2012) mendefinisikan bahwa komitmen organisasi merupakan sikap karyawan atau kekuatan organisasi dalam mengikat karyawan agar tetap berada di dalam organisasi. Schultz (2002) mengatakan bahwa komitmen organisasi berperan penting
dalam
studi
perilaku
organisasi
karena
komitmen
organisasi
mempengaruhi sikap dan perilaku karyawan di tempat kerja. Salami (2008) mengatakan bahwa komitmen organisasi memiliki hubungan yang timbal balik antara atasan dan karyawan didalam sebuah organisasi. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Mohamed (2012) bahwa harus ada korelasi yang positif antara atasan dengan bawahan untuk meningkatkan komitmen di dalam organisasi untuk mencapai kesuksesan. Adiapsari (2012) mengatakan karyawan yang memiliki komitmen akan menunjukkan kemauan bekerja keras untuk mencapai tujuan organisasi dan memiliki keinginan yang kuat untuk bekerja dan tetap bertahan di lembaga tempatnya bekerja. Menurut Wibowo (2012:300) komitmen tidak dapat dibentuk secara cepat tetapi perlu dibangun secara bertahap,
11
komitmen diawali dengan membangun hubungan antar individu, sehingga timbul kepedulian. Meyer dan Allen (1991) menjelaskan bahwa terdapat tiga dimensi komitmen organisasional, yaitu : 1) Komitmen afektif – perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam nilai-nilainya. 2) Komitmen berkelanjutan – nilai ekonomi yang dirasakan apabila bertahan dalam suatu organisasi dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut. 3) Komitmen normatif – kewajiban untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan-alasan moral atau etis. 2.1.1.2 Indikator Komitmen Organisasional Meyer dan Allen (1991) membagi komitmen organisasi ke dalam tiga dimensi yaitu komitmen afektif, kalkulatif dan normatif. Indikator dari masing masing jenis komitmen tersebut adalah: 1) Komitmen afektif a) Setia dengan organisasi, adalah ketika seorang individu merasa ingin berada di dalam sebuah organisasi tersebut karena keinginannya sendiri. Hal ini disebabkan karena lingkungan yang sesuai dengan pribadi individu, rekan kerja yang mendukung dan perasaan dihargai di dalam organisasi. b) Ikatan emosional dengan perusahaan, yaitu adanya keterikatan secara emosional dengan segala yang terjadi di perusahaan. Seseorang yang
12
mengalami keterikatan secara emosional tidak jarang akan bersedia meluangkan waktu diluar jam kerja untuk kepentingan perusahaan. c) Menjadi bagian di dalam perusahaan, yaitu adanya perasaan menjadi satu dengan perusahaan. Hubungan antara rekan kerja dan individu sangat dekat dan tidak sungkan ketika melakukan kegiatan yang berhubungan dengan perusahaan. 2) Komitmen Kontinuan a) Kebutuhan untuk berada didalam perusahaan, yaitu seorang individu harus berada di dalam perusahaan karena membutuhkan benefit yang diberikan oleh perusahaan. b) Kerugian ketika meninggalkan perusahaan, yaitu adanya perasaan rugi ketika keluar dari perusahaan. Misalnya, ketika individu keluar perusahaan, dia tidak akan menerima sesuatu yang sepadan ketika berada di dalam perusahaan. c) Keterikatan
dengan
organisasi,
yaitu
adanya
keterikatan
dengan
perusahaan, baik dengan kegiatan perusahaan dan tugas dari perusahaan. Keterikatan dengan perusahaan terjadi bisa karena kontrak kerja, dan tuntutan dari luar untuk berada di perusahaan. 3) Komitmen Normatif a) Perasaan hutang budi dengan perusahaan, yaitu adanya keinginan untuk memberikan sesuatu karena merasa telah diberikan keuntungan oleh perusahaan. Perasaan hutang budi sama seperti membalas jasa yang diberikan perusahaan.
13
b) Kewajiban berada di organisasi, yaitu adanya rasa untuk tetap berada di dalam perusahaan karena belum memberikan apa yang sesuai dengan perusahaan berikan kepada individu. Keeratan ikatan dengan anggota organisasi, yaitu adanya hubungan dengan anggota perusahaan atau organisasi dikarenakan tugas yang belum selesai atau tanggung jawab yang masih dipegang. 2.1.2
Job Involvement
2.1.2.1 Definisi Job Involvement Menurut Faslah (2010) job involvement atau yang sering disebut dengan keterlibatan kerja adalah derajat dimana seseorang mengidentifikasi secara psikologis terhadap pekerjaannya, atau pentingnya pekerjaan tersebut terhadap keseluruhan citra diri. Robbins dan Judge (2008:100) mengatakan bahwa job involvement diartikan sebagai suatu ukuran sampai dimana individu secara psikologis memihak pekerjaan mereka dan menganggap penting tingkat kinerja yang dicapai sebagai penghargaan diri. Menurut Rahmi et. al. (2014), job involvement
merupakan partisipasi seorang karyawan terhadap pekerjaannya
yang ditandai dengan karyawan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan, adanya perasaan terikat secara psikologis terhadap pekerjaan yang dilakukan, keyakinan yang kuat terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan pekerjaan. Sanger (2013) menjelaskan tuntutan inisiatif dan kreativitas dalam melaksanakan pekerjaan, secara tidak langsung membuat karyawan harus bisa meluangkan
sebagian besar waktu, tenaga, dan pikiran untuk pekerjaannya.
Menurut Asnawi dan Bachroni (1999) dalam bekerja seseorang akan terikat secara
14
psikologis terhadap situasi dan beberapa orang yang terlibat egonya. Keterlibatan ego ini berkaitan dengan perasaan yang dimiliki, tanggung jawab,sadar pada usaha yang berharga, sadar untuk memanfaatkan kesempatan untuk berkembang dan selalu berusaha memberikan sumbangan atau kontribusi bagi kepentingan organisasi. 2.1.2.2 Indikator Job Involvement Govender (2010) mengatakan bahwa ada empat indikator untuk mengukur job involvement : 1) Respon untuk bekerja Karyawan memiliki harapan tentang pekerjaan dan sejauh mana harapan tersebut terpenuhi.Menentukan tingkat job involvement yang karyawan alami dapat diukur dengan respon karyawan terhadap pekerjaan. 2) Perilaku melibatkan diri dalam pekerjaan Cara dimana karyawan mengungkapkan job involvement berbeda dari orang ke orang dan disesuaikan dengan tingkat job involvement berpengalaman. Contoh : beberapa karyawan mungkin mengungkapkan job involvement tinggi cenderung memikirkan pekerjaan bahkan ketika mereka tidak berada di tempat kerja, merasa terbebani apabila gagal dalam sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan. 3) Rasa bertanggung jawab terhadap pekerjaan Karyawan yang memiliki job involvement yang tinggi akan bertanggung jawab atas tugas atau pekerjaan yang dibebankan. Contoh : karyawan
15
bersedia bekerja lembur tanpa dibayar untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. 4) Perasaan tentang pekerjaan yang belum terselesaikan dan absensi Karyawan yang memiliki job involvement, menghindari absen dari kerja dan merasa bersalah apabila pekerjaan belum terselesaikan.
2.1.3
Keadilan Organisasional
2.1.3.1. Definisi Keadilan Organisasional Keadilan organisasi adalah suatu konsep keseimbangan yang diharapkan mampu diterapkan oleh organisasi dalam memperlakukan karyawan dengan tujuan memicu tumbuhnya rasa berkomitmen dalam diri karyawan (Sutrisna dan Rahyuda, 2014). Keadilan organisasi merupakan persepsi keseluruhan dari apa yang adil di tempat kerja Robbins dan Judge (2008:249).Secara umum keadilan digunakan untuk menjelaskan pandangan dan perasaan pekerja tentang sikap mereka sendiri dalam organisasi, dan hal itu dihubungkan dengan pemahaman mereka dalam menyatukan persepsi secara subyektif yang dihasilkan dari hasil keputusan yang diambil organisasi, prosedur dan proses yang digunakan untuk menuju pada keputusan-keputusan ini serta implementasinya (Nugraheni dan Wijayanti, 2009). Keadilan organisasi terdiri dari beberapa unsur utama. Menurut Bakshi et al. (2009) menyebutkan bahwa keadilan organisasi terbentuk dari tiga unsur, yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional.
16
1)
Keadilan Distributif Menurut Colquitt (2001) keadilan distributif menjelaskan mengenai
alokasi hasil-hasil yang konsisten, yang berhubungan dengan teori ekuitas yang menjelaskan bahwa seseorang akan mendapatkan hasil-hasil (outcomes) dan penghargaan (reward) yang sesuai dengan kontribusi yang diberikan. 2)
Keadilan Prosedural Menurut Nowakowski et al. (2005) para karyawan tidak hanya
memberikan reaksi terhadap hasil-hasil (outcomes) yang mereka dapatkan, namun juga terhadap proses-proses bagaimana mereka mendapatkan hasil-hasil tersebut merupakan definisi dari keadilan prosedural yang merupakan salah satu dimensi dari keadilan organisasional. 3)
Keadilan Interaksional Menurut Suhartini dan Ikwanul (2010) keadilan interaksional merupakan
nilai keadilan yang dirasakan karyawan karena adanya proses interaksi dengan pihak lain dalam organisasi baik dari pimpinan maupun rekan sekerja, seorang karyawan merasa diperlakukan secara wajar. Hassan (2002) berpendapat bahwa keadilan yang dirasakan setiap individu terhadap jumlah pemberian penghargaan dan proses yang digunakan untuk menentukan distribusi penghargaan sangat menentukan komitmen individu untuk tetap berkontribusi atau meninggalkan organisasi. Ravangard et al. (2013) menyatakan bahwa keadilan organisasi menjadi alat motivasi dan faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi.
17
2.1.3.2 Indikator Keadilan Organisasional Robbins dan Judge (2008:249-251) menyatakan bahwa keadilan organisasi terdiri atas tiga bagian yang bias digunakan sebagai indikator yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural dan keadilan interaksional. 1)
Keadilan distributif (1)
Keadilan tentang jumlah dan pemberian imbalan yang dirasakan diantara individu.
(2)
Keadilan mengenai kepercayaan dalam mengemban tugas yang diberikan perusahaan.
2)
Keadilan prosedural (1)
Keadilan mengenai prosedur yang konsisten dalam bekerja bagi setiap karyawan.
(2)
Keadilan mengenai prosedur dalam melibatkan setiap karyawan perusahaan dalam pengambilan keputusan.
3)
Keadilan interaksional (1)
Keadilan yang berupa kepedulian perusahaan dan memperlakukan karyawan dengan baik.
(2)
Keadilan yang menunjukkan penghormatan terhadap hak – hak setiap karyawan.
2.1.3.3 Teori Keadilan ( Equity Theory) Menurut Equity Theory yang dikemukakan oleh Gibson et al. (1995:150) mengatakan bahwa inti dari teori keadilan ialah karyawan membandingkan usaha
18
mereka terhadap imbalan dengan imbalan karyawan lainnya dalam situasi kerja yang sama. Teori keadilan (equity theory) merupakan persepsi karyawan yang menilai suatu organisasi adil atau tidak adil melalui perbandingan antara kontribusi karyawan kepada organisasi (misalnya, pengetahuan dan usaha) dan hasil yang diberikan oleh organisasi seperti pembayaran atau gaji dan pengakuan (Ibrahim dan Perez, 2014).
Givarian dan Farkoush (2011) mengatakan, berdasarkan teori keadilan ketika karyawan merasakan ketidakadilan, mereka bisa diperkirakan akan memilih satu dari enam pilihan berikut : 1) Mengubah masukan-masukan mereka (misalnya, tidak mengerahkan usaha yang banyak). 2) Mengubah hasil-hasil mereka (misalnya, individu yang dibayar berdasarkan tarif per bagian bisa meningkatkan imbalan kerja mereka dengan memproduksi kuantitas yang lebih tinggi dari unit kualitas yang lebih rendah). 3) Mengubah persepsi-persepsi diri (misalnya, karyawan biasanya berpikir ia bekerja dengan kecepatan sedang, tetapi sekarang ia bekerja jauh lebih keras dari siapapun). 4) Mengubah persepsi-persepsi individu lain (misalnya, pekerjaan individu lain yang sudah tidak begitu diinginkan seperti yang ia kira sebelumnya).
19
5) Memilih rujukan yang berbeda (misalnya, mungkin karyawan tidak mendapatkan penghasilan sebanyak rekan/individu lainnya, tetapi ia bekerja jauh lebih baik daripada rekannya/individu tersebut). 6) Meninggalkan bidang tersebut (misalnya, meninggalkan pekerjaan tersebut).
2.2
Rumusan Hipotesis
2.2.1
Pengaruh Job Involvement terhadap Komitmen Organisasional Chin (2012) dari hasil penelitiannya menunjukkan adanya kontribusi
secara signifikan job involvement terhadap komitmen organisasi. Logahan (2014) mendapatkan hasil dari penelitiannya dengan menunjukkan bahwa job involvement (keterlibatan kerja) memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap komitmen organisasi. Hal tersebut memiliki arti bahwa semakin besar tingkat job involvement karyawan, maka sudah pasti komitmen organisasi yang dimiliki karyawan semakin meningkat. Karyawan perlu diikutsertakan dalam kegiatan
yang
menunjang
pengetahuan
mengenai
pekerjaannya
dapat
menimbulkan komitmen yang kuat terhadap organisasi. Penelitian Khan (2011) memperoleh hasil yang
positif signifikan antara job involvement dengan
komitmen organisasi. Terbukti bahwa job involvement berhubungan positif dengan komitmen afektif, komitmen kontinuan, dan komitmen normatif yang berlokasi di Pakistan. Organisasi -organisasi yang memiliki budaya job involvement, karyawan lebih berkomitmen dengan
organisasi dibandingkan
dengan organisasi-organisasi yang tidak melibatkan karyawan mereka.
20
Uygur (2009) juga mengatakan pada penelitiannya bahwa memperoleh hasil yang signifikan positif antara job involvement dengan komitmen organisasional. Penelitian Chungtai (2008) menguatkan bahwa keterlibatan kerja akan meningkatkan komitmen organisasional diantara karyawan, karyawan yang berkomitmen akan memberikan usaha yang lebih lagi sebagai perwakilan dari organisasi, yang selanjutnya secara konsekuen akan membawa kepada level yang lebih tinggi lagi dari pekerjaannya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut H1 :
Job involvement memiliki pengaruh positif terhadap komitmen afektif
H2 :
Job involvement memiliki pengaruh positif terhadap komitmen kontinuan
H3 :
Job involvement memiliki pengaruh positif terhadap komitmen normatif
2.2.2
Pengaruh keadilan organisasional terhadap komitmen organisasional Penelitian yang dilakukan oleh Dehkordi et al. (2013) menemukan bahwa
keadilan organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasi, kurangnya keadilan dalam organisasi akan menciptakan komitmen organisasi yang rendah. Kristanto (2015) memperoleh hasil dari penelitiannya bahwa
keadilan
organisasional
berpengaruh
positif
terhadap
komitmen
organisasional. Adanya perlakuan yang adil pada setiap karyawan dianggap karyawan dapat menciptakan situasi kerja yang baik, sehingga karyawan merasa
21
betah bekerja di perusahaan. Bakhshi (2009) dengan hasil analisis regresi dari data menunjukkan bahwa keadilan distributif dan keadilan prosedural ditemukan secara signifikan berhubungan dengan komitmen organisasi. Karim dan Rehman (2012) bahkan menemukan korelasi yang kuat antara keadilan organisasi dengan komitmen organisasi. Karyawan akan merasa patuh pada perlakuan yang adil dari organisasi jika kebijakan, prosedur dan pelaksanaan sudah adil dan tidak bias. Dengan demikian, karyawan akan memiliki keyakinan terhadap keadilan yang dirasakan dan mampu menghasilkan komitmen organisasi yang lebih besar. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut : H4 :
Keadilan
organisasional
memiliki
pengaruh
positif
terhadap
memiliki
pengaruh
positif
terhadap
memiliki
pengaruh
positif
terhadap
komitmen afektif H5 :
Keadilan
organisasional
komitmen kontinuan H6 :
Keadilan
organisasional
komitmen normatif 2.3
Kerangka Berpikir Untuk memperjelas keterkaitan antara job involvement, keadilan
organisasional dan komitmen organisasional, maka perlu dibuat model konseptual yang menggambarkan secara ringkas hubungan antara masing-masing variabel sebagai berikut:
22
H1
Job Involvement
Komitmen Afektif (Y1)
H2
(X1)
H3
Komitmen Kontinuan (Y2) H4
Keadilan Organisasional
H5
(X2)
Komitmen Normatif
H6
(Y3)
Gambar 2.1 Model Konseptual Penelitian Sumber : H1, H2 dan H3
: Chin (2012), Logahan (2014), Khan (2011), Uygur (2009), dan Chungtai (2008)
H4, H5 dan H6
: Dehkordi et al. (2013), Kristanto (2015), Karim dan Rehman (2012) dan Bakhshi (2009)
Pada model konseptual digambarkan tentang jalur pengaruh antara variabel independen yaitu: job involvement dan keadilan organisasional terhadap variabel dependen yaitu : komitmen afektif, komitmen kontinuan dan komitmen normatif.
23