BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Permainan Bolavoli a. Pengertian Permainan Bolavoli Permainan bolavoli adalah permainan beregu atau kelompok yang dimainkan oleh dua regu yang saling berhadapan dan masing-masing regu terdiri enam orang pemain dalam lapangan berukuran 18 meter x 9 meter. Permainan bolavoli memerlukan kerjasama tim dan kreatifitas dalam permainannya untuk dapat menyerang lawan dengan sempurna. Permainan bolavoli dilakukan dengan cara bola dipantulkan sebanyak-banyaknya tiga kali. Syarat pantulan bola tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Tujuan dari permainan bolavoli adalah melewatkan bola di atas net agar jatuh menyentuh lantai lapangan lawan dan untuk mencegah usaha yang sama dari lawan. Untuk memantulkan atau memainkan bola dapat menggunakan seluruh tubuh. Amung Ma’mun & Toto Subroto (2001:37) bahwa, “Semula bagian tubuh yang sah untuk memainkan bola batasannya dari lutut
ke atas. Sekarang seluruh bagian tubuh
diperkenankan untuk memainkan bola”. b. Teknik Keterampilan Bermain Bolavoli Teknik keterampilan bermain bolavoli merupakan komponen yang harus dikuasai agar dapat bermain bolavoli. Pada dasarnya merupakan suatu upaya seseorang pemain untuk memainkan bola berdasarkan peraturan yang berlaku dalam permainan bolavoli. Menurut M. Yunus (1992:68) bahwa, “Teknik adalah cara melakukan atau melaksanakan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien”. Sehingga teknik dalam permainan bolavoli dapat diartikan sebagai cara memainkan bola dengan efektif dan efisien sesuai dengan peraturan permainan yang berlaku untuk mencapai hasil yang optimal. Teknik yang
7
8
dikembangkan dalam permainan bolavoli juga harus mengacu pada peraturan permainan bolavoli. 1) Servis Sunardi & Kardiyanto (2013:15) bahwa, “Servis adalah suatu upaya memasukkan bola ke daerah lapangan lawan dengan cara memukul bola menggunakan satu tangan atau lengan oleh pemain baris belakang yang dilakukan di daerah servis”. Dibagi dua macam servis yaitu : a) Servis Bawah, melambungkan bola menuju lapangan lawan melintasi atas jaring. Merupakan bentuk servis yang mudah dilakukan dan relatif lebih mudah juga diterima oleh lawan. Saat servis perkenaan bola pada bagian bawah menggunakan lengan tangan. Menurut Amung Ma’mum dan Toto Subroto (2001:61), “Servis bawah merupakan bentuk servis yang paling mudah dilakukan. Tujuan servis ini adalah melambungkan bola menuju lapangan lawan melintas jarring”. Dengan cara servis bawah, kriteria mempercepat jalannya bola tidak akan mungkin, demikian pula menukikkan bola dari atas ke bawah. b) Servis Atas, perkenaan bola pada bagian belakang bola menggunakan telapak tangan setelah bola dilambungkan ke atas. Servis atas dapat juga digunakan untuk penyerangan ketika bola yang dipukul keras menukik ke daerah lawan. Semakin baik dalam menguasai teknik servis atas mempunyai peluang yang besar untuk mendapatkan poin melalui servis. 2) Passing Passing adalah mengoperkan bola kepada teman sendiri dalam satu regu menggunakan suatu teknik tertentu, sebagai langkah awal untuk menyusun pola serangan kepada regu lawan. Passing dibagi menjadi dua yaitu : a) Passing bawah, menurut Kokasih (1992:38) bahwa, “perkenaan bola dengan bagian sebelah atas pergelangan tangan ke arah ibu
9
jari
(bagian
proksimal
pergelangan
tangan)”
(Sunardi
&
Kardiyanto, 2013:24). Menurut Nuril Ahmadi (2007:23), “Passing bawah adalah teknik memainkan bola dengan sisi lengan bawah bagian dalam baik dengan menggunakan satu atau pun dua lengan secara bersamaan. b) Passing Atas, adalah operan yang dilakukan pada saat bola setinggi atau lebih tinggi dari bahu menggunakan jari-jari kedua tangan. Amung Ma’mum & Toto Subroto (2001:56) berpendapat, “Passing atas dilakukan lebih banyak sebagai persiapan serangan dan pelakuknya adalah didominasi oleh seorang pengumpan yang dalam satu regu pada umumnya hanya satu orang saja”. 3) Smash Smash yaitu pukulan melewati jaring kearah lapangan lawan sedemikian rupa, sehingga lawan sulit atau tidak dapat mengembalikan bola atau menangkisnya. Menurut Sunardi dan Kardiyanto (2013:39) bahwa, “Smash adalah pukulan bola yang keras/pelan sebagai bagaian dari sebuah serangan dalam permainan dengan tujuan untuk mematikan lawan dan mendapatkan poin, merupakan pukulan yang utama dalam menyerang”. Untuk melakukan dengan baik perlu memperhatikan faktor-faktor seperti awalan, tolakan, pukulan, dan pendaratan. 4) Block atau Bendungan Block adalah suatu upaya dari pemain dekat net (garis depan) untuk menutup arah datangnya bola yang berasal dari daerah lawan dengan cara melompat dan meraih ketinggian jangkauan yang lebih tinggi di atas net. Block merupakan benteng pertahanan yang utama untuk menahan serangan lawan. Menurut Ma’mum dan Subroto (2001:68), “Bendungan dalam permainan bolavoli pada hakikatnya adalah merintangi atau menghalangi musuh ketika sedang melakukan serangan di depan jarring dengan cara mengangkat lengan tinggi-tinggi di atas jaring”.
10
2. Belajar a. Pengertian Belajar Banyak definisi dari belajar yang telah di kemukakan oleh beberapa ahli. Slamerto (2003) menyatakan bahwa, “Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. (Hamdani, 2011:20). Suyono dan Haryanto (2014:9) menyatakan bahwa, “Belajar adalah suatu aktivitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan
keterampilan,
memperbaiki
perilaku,
sikap,
dan
mengkokohkan kepribadian. Menurut Hilgard (1962) dalam Hamdani (2011:21) menjelaskan, “Belajar adalah proses muncul atau berubahnya suatu perilaku karena adanya respons terhadap suatu situasi”. Jadi, belajar merupakan perubahan proses tingkah laku yang di peroleh dari latihan dan perubahan itu di sebabkan karena adanya dukungan dari lingkungan yang positif yang menyebabkan terjadi interaksi edukatif. Definisi umum dari belajar itu sendiri adalah bahwa belajar merupakan suatu usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru, secara keseluruhan sebagai pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dalam lingkungan. Ciri belajar yaitu proses, perubahan perilaku, dan pengalaman. b. Hakekat Belajar Pernyataan Hamdani (mengutip simpulan Anita, dkk, 2007) bahwa, “belajar merupakan suatu proses, artinya dalam belajar akan terjadi proses melihat, membuat, mengamati, menyelesaikan masalah atau persoalan, menyimak dan latihan”. Guru harus dapat memberikan bimbingan dan fasilitas kepada peserta didik supaya peserta didik dapat melakukan proses-proses tersebut lebih efektif. Hamdani (2011:23) menjelaskan bahwa,
“Pada dasarnya semua
peserta didik
memiliki gagasan
pengetahuan awal yang sudah terbangun dalam wujud skemata”. Dari
11
pengetahuan awal dan pengalaman yang ada, peserta didik menggunakan informasi yang berasal dari lingkungannya dalam rangka mengkonstruksi interpretasi pribadi serta makna-maknanya. Belajar akan terjadi apabila terjadi proses interaksi dengan lingkungan. Lingkungan yang disebut adalah narasumber, teman, guru, situasi dan kondisi nyata, lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lainlain yang dapat digunakan sebagai sumber belajar peserta didik. c. Unsur-unsur Belajar Unsur-unsur belajar adalah faktor-faktor yang menjadi indikator keberlangsungan proses belajar. Setiap ahli pendidikan sesuai dengan aliran teori belajar yang dianutnya memberikan aksentuasi sendiri tentang hal-hal yang penting dipahami dan dilakukan agar belajar benar-benar belajar. Cronbach (1954) menyatakan dalam Suyono dan Hariyanto (2014:126) ada tujuh unsur dalam proses belajar, yang meliputi: 1) Tujuan Belajar dimulai karena adanya suatu tujuan yang ingin dicapai. Tujuan ini muncul karena adanya suatu kebutuhan. Perbuatan belajar atau pengalaman belajar akan efektif bila diarahkan kepada tujuan yang jelas dan bermakna bagi individu. 2) Kesiapan Agar mampu melaksanakan perbuatan belajar dengan baik, anak perlu memiliki kesiapan, baik kesiapan fisik, psikis, maupun kesiapan yang berupa kematangan untuk melakukan sesuatu yang terkait dengan pengalaman belajar. 3) Situasi Kegiatan belajar berlangsung dalam situasi belajar. Adapun yang dimaksud situasi belajar ini adalah tempat, lingkungan sekitar, alat dan bahan yang dipelajari, guru, kepala sekolah, pegawai administrasi, dan seluruh warga sekolah yang lain. 4) Interpretasi Di sini anak melakukan interpretasi yaitu melihat hubungan antara komponen-komponen situasi belajar, melihat mana dari hubungan tersebut dan menghubungkannya dengan kemungkinan pencapaian tujuan. 5) Respon Berlandaskan hasil interpretasi tentang kemugkinannya dalam mencapai tujuan belajar, maka anak membuat respon. Respon ini dapat berupa usaha yang terencana dan sistematis, baik juga berupa usaha coba-coba, (trial and error).
12
6) Konsekuensi Berupa hasil, dapat hasil positif (keberhasilan) maupun hasil negatif (kegagalan) sebagai konsekuensi respon yang diplih peserta didik. 7) Reaksi terhadap kegagalan Kegagalan dapat menurunkan semangat, motivasi, memperkecil usaha-usaha belajar selanjutnya. Namun dapat juga membangkitkan peserta didik karena dia mau belajar dari kegagalan. d. Prinsip Umum Belajar Sukmadinata (2004:165-166) menjelaskan dalam Suyono dan Hariyanto (2014:128-129) prinsip umum belajar yaitu: 1) Belajar
merupakan
bagian
dari
perkembangan.
Belajar
dan
berkembang merupakan dua hal yang berbeda tetapi erat hubungannya. Dalam perkembangan dituntut belajar, sedangkan melalui belajar terjadi perkembangan individu yang pesat. 2) Belajar berlangsung seumur hidup. Hal ini sesuai dengan prinsip pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning). 3) Keberhasilan
belajar
dipengaruhi
oleh
faktor-faktor
bawaan,
lingkungan, kematangan, serta usaha dari idividu secara aktif. 4) Belajar mencakup semua aspek kehidupan. Oleh sebab itu, belajar harus mengembangkan aspek kognitif, afektif, psikomotor, dan keterampilan hidup (life skill). 5) Kegiatan belajar berlangsung di sembarang tempat dan waktu. Berlangsung di sekolah (kelas dan halaman sekolah), di rumah, di masyarakat, di tempat rekreasi, di alam sekitar, dalam bengkel kerja, di dunia industri, dan sebagainya. 6) Belajar
berlangsung baik dengan guru maupun tanpa guru.
Berlangsung dalam situasi formal, informal, dan non formal. 7) Belajar yang direncana dan disengaja menuntut motivasi yang tinggi. Biasanya terkait dengan pemenuhan tujuan yang kompleks, diarahkan kepada penguasaan, pemecahan masalah, atau pencapaian sesuatu yang bernilai tinggi.
13
8) Perbuatan belajar bervariasi dari yang paling sederhana sampai dengan yang amat kompleks. 9) Dalam belajar dapat terjadi hambatan-hambatan. Hambatan dapat terjadi karena belum adanya penyesuaian individu dengan tugasnya, adanya hambatan dari lingkungan, kurangnya motivasi, kelelahan atau kejenuhan belajar. 10) Dalam hal tertentu belajar memerlukan adanya bantuan dan bimbingan dari orang lain. Orang lain itu dapat guru, orang tua, teman sebaya yang kompeten dan lainnya. 3. Pembelajaran a. Pengertian Pembelajaran Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada peserta didik agar terbangun pengetahuan di dalam diri peserta didik. Pendidik dalam hal ini dapat membantu dengan cara membelajarkan, yang dapat membuat informasi lebih bermakna dan relevan bagi peserta didik. Pembelajaran sebagai suatu sistem yang bertujuan membantu proses belajar peserta didik, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang dan disusun sedemikian rupa untuk mendukung dan mempengaruhi terjadinya proses belajar peserta didik yang bersifat internal. Beberapa definisi dari para ahli berkaitan dengan pembelajaran yang dikutip dalam Sutikno (2014:11-12), di antaranya adalah: Dimyati dan Mujiono (1999) mengartikan, “Pembelajaran sebagai kegiatan yang ditujukan untuk membelajarkan peserta didik”. Sadiman (1990) menjelaskan bahwa, “Pembelajaran adalah usaha-usaha terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar dalam diri peserta didik.” Menurut Winkel (1991), “Pembelajaran merupakan seperangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar peserta didik, dengan memperhitungkan kejadian-kejadian eksternal yang
14
berperanan terhadap rangkaian kejadian internal yang berlangsung di dalam peserta didik”. Dari beberapa pengertian pembelajaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa inti dari pembelajaran adalah segala upaya yang dilakukan oleh guru (pendidik) agar terjadi proses belajar pada diri peserta didik. b. Ciri-ciri Pembelajaran Sutikno (2014:14) menjelaskan tiga ciri khas yang terkandung dalam sistem pembelajaran (mengutip pernyataan Oemar Hamalik,1999) sebagai berikut: 1) Rencana. Rencana ialah penataan ketenagaan, material, dan prosedur, yang merupakan unsur-unsur sistem pembelajaran dalam suatu rencana khusus. 2) Kesalingtergantungan. Ciri ini adalah mengenai kesalingtergantungan di antara unsur-unsur sistem pembelajaran yang serasi dalam suatu keseluruhan. Tiap unsur bersifat esensial dan masing-masing memberikan sumbangan kepada sistem pembelajaran. 3) Tujuan. Sistem pembelajaran mempunyai tujuan tertentu yang hendak dicapai. Selanjunya ciri-ciri pembelajaran, lebih detail sebagai berikut: 1) Memiliki tujuan, yaitu untuk membentuk peserta didik dalam suatu perkembangan tertentu. 2) Terdapat mekanisme, langkah-langkah, metode, dan teknik yang direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 3) Fokus materi jelas, terarah dan terencana dengan baik. 4) Adanya aktivitas peserta didik merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya kegiatan pembelajaran. 5) Tindakan guru yang cermat dan tepat. 6) Terdapat pola aturan yang ditaati guru dan peserta didik dalam proporsi masing-masing. 7) Limit waktu untuk mencapai tujuan pembelajaran. 8) Evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi produk atau hasil. c. Unsur-unsur Pembelajaran Pembelajaran
merupakan
suatu
kesatuan
dari
unsur-unsur
pembelajaran yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, karena satu sama lain saling mendukung.unsur-unsur tersebut menunjang kualitas pembelajaran. Sutikno (2014:25) menyatakan, “Unsur-unsur
15
pembelajaran meliputi beberapa aspek yaitu: 1) tujuan pembelajaran, 2) materi pembelajaran, 3) kegiatan pembelajaran, 4) metode, 5) media, 6) sumber belajar, 7) evaluasi”. Untuk lebih jelasnya unsur-unsur pembelajaran diuraikan sebagai berikut: 1) Tujuan Pembelajaran Tujuan pembelajaran pada dasarnya adalah kemampuankemampuan yang diharapkan dimiliki peserta didik setelah memperoleh pengalaman belajar. Dengan kata lain, tujuan pembelajaran merupakan suatu cita-cita yang ingin dicapai dari pelaksanaan pembelajaran. Tujuan mempunyai jenjang dari yang umum hingga khusus. Semua tujuan itu saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya, dan tujuan di atasnya. Bila tujuan terendah tidak tercapai, maka tujuan diatasnya juga tidak akan tercapai pula. Hal ini disebabkan karena tujuan berikutnya merupakan turunan dari tujuan sebelumnya. Oleh karena itu, tujuan pembelajaran merupakan aspek yang paling utama, yang dirumuskan secara jelas dan spesifik karena dapat menentukan arah. Tujuan-tujuan pembelajaran harus berpusat pada perubahan perilaku peserta didik yang diinginkan, dan karenanya harus dirumuskan secara operasional, dapat diukur, dan dapat diamati ketercapaiannya. 2) Materi Pembelajaran Penentuan materi pembelajaran harus berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, misalnya berupa pengetahuan, keterampilan, sikap, dan pengalaman lainnya. Materi pembelajaran yang diterima peserta didik harus mampu merespon setiap perubahan dan mengantisipasi setiap perkembangan yang akan terjadi di masa depan. Menurut Suharsimi Arikunto (1990), “Materi pembelajaran merupakan unsur inti yang ada di dalam kegiatan pembelajaran, karena memang materi pembelajaran itulah yang diupayakan untuk dikuasai oleh peserta didik”. Oleh karena itu, guru harus memikirkan sejauh mana bahan-bahan atau topik yang tertera dalam silabus berkaitan dengan kebutuhan peserta didik di masa depan. Sebab, minat peserta didik akan bangkit bila materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhannya. 3) Kegiatan Pembelajaran Dalam kegiatan pembelajarannya, guru dan peserta didik terlibat dalam sebuah interaksi dengan materi pembelajaran sebagai mediumnya. Dalam interaksi itu peserta didiklah yang lebih aktif, bukan guru. Keaktifan peserta didik tentu mencakup kegiatan fisik dan mental, individual dan kelompok. Oleh karena itu interaksi dikatakan maksimal bila terjadi antara guru dengan semua peserta didik, antara peserta didik dengan guru, antara peserta didik dengan peserta didik, peserta didik dengan materi
16
pembelajaran dan media pembelajaran, bahkan peserta didik dengan dirinya sendiri, namun tetap dalam kerangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Agar memperoleh hasil optimal, sebaiknya guru memperhatikan perbedaan individual peserta didik, yang meliputi aspek biologis, intelektual, dan psikologis. Ketiga aspek ini diharapkan memberikan informasi pada guru, bahwa setiap peserta didik dapat mencapai prestasi belajar yang optimal, sekalipun dalam tempat yang berlainan. Guru harus mampu membangun suasana belajar yang kondusif sehingga peserta didik mampu belajar mandiri. Guru juga harus mampu menjadikan proses pembelajaran sebagai salah satu sumber yang penting dalam kegiatan eksplorasi. 4) Metode Metode merupakan suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan pembelajaran, metode diperlukan oleh guru dengan penggunaan yang bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. 5) Media Media merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Dwyer (1967) berpendapat bahwa belajar yang sempurna hanya dapat tercapai jika menggunakan bahan-bahan audio-visual yang mendekati realitas. 6) Sumber Belajar Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai tempat dimana materi pelajaran terdapat. Menurut M. Sobry Sutikno (2014:29) bahwa, “sumber belajar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber belajar yang direncanakan dan sumber belajar karena dimanfaatkan”. Sumber belajar yang direncanakan adalah sumber belajar yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen sistem pembelajaran, untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal. Sedangkan sumber belajar karena dimanfaatkan adalah sumber-sumber yang tidak secara khusus didesain untuk keperluan pembelajaran, namun dapat ditemukan, diaplikasi, dan digunakan untuk keperluan belajar. 7) Evaluasi Menurut Wand dan Brown yang dikutip dalam Pupuh Fathurrohman dan M. Sobry Sutikno (2007:17), “evaluasi adalah suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai dari suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai dari suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Rumusan yang bersifat operasional dikemukakan Roestyah (1989) bahwa evaluasi adalah kegiatan mengumpulkan data seluas-luasnya dan
17
sedalam-dalamnya mengenai kapabilitas peserta didik guna mengetahui sebab akibat dan hasil belajar peserta didik guna mendorong atau mengembangkan kemampuan belajar. Evaluasi merupakan aspek yang penting, yang berguna untuk mengukur dan menilai seberapa jauh tujuan pembelajaran telah tercapai atau sampai mana kemajuan belajar peserta didik, dan bagaimana tingkat keberhasilannya. d. Komponen Pembelajaran Komponen merupakan bagian dari suatu sistem yang memiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu proses untuk mencapai tujuan sistem. Jadi, komponen pendidikan adalah bagianbagian dari sistem proses pendidikan yang menentukan berhasil atau tidaknya proses pendidikan (Slameto, 2010). Adapun komponen-komponen tersebut meliputi: 1) Tujuan pendidikan 2) Peserta didik 3) Pendidik 4) Bahan atau materi pelajaran 5) Pendekatan dan metode 6) Media atau alat 7) Sumber belajar 8) Evaluasi Semua komponen dalam sistem pengajaran saling berhubungan dan saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pengajaran. Pada dasarnya, proses pengajaran dapat terselenggara secara lancar, efisien, dan efektif berkat adanya interaksi yang positif, konstruktif, dan produktif antara berbagai komponen yang terkandung di dalam sistem pengajaran tersebut. 4. Model Pembelajaran a. Model Pembelajaran Model pembelajaran ialah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran dikelas maupun tutorial. Menurut pendapat Arends (1997) yang dikutip Agus Suprijono (2009:46) dikatakan bahwa, “model pembelajaran ialah mengacu pada pendekatan yang digunakan, termasuk didalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap
18
dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas. Model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Menurut Joyce dan Weil (1990) yang dikutip Isjoni (2013:50), bahwa “model pembelajaran adalah suatu pola atau rencana yang sudah direncanakan sedemikian rupa dan digunakan untuk menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelasnya”. Berdasarkan dua pengertian diatas penulis mengambil kesimpulan bahwa model pembelajaran adalah suatu konsep belajar yang sebelumnya sudah direncanakan dengan teori belajar yang sudah dirancang untuk mencapai tujuan pembelajaran. b. Prinsip Model Pembelajaran Menurut Hasan (1990) yang dikutip Rusman (2013:50) semua model pembelajaran bisa dikatakan baik jika memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) Semakin kecil upaya yang dilakukan guru dan semakin besar aktivitas belajar peserta didik, maka hal itu semakin baik. 2) Semakin sedikit waktu yang diperlukan guru untuk mengaktifkan peserta didik belajar juga semakin baik. 3) Sesuai dengan cara belajar peserta didik yang dilakukan. 4) Dapat dilaksanakan dengan baik oleh guru. 5) Tidak ada satupun metode yang paling sesuai untuk segala tujuan, jenis materi, dan proses belajar yang ada. c. Model-model Pembelajaran Menurut Rusman (2013:213-227) Ada beberapa variasi jenis model dalam pembelajaran kooperatif,adalah sebagai berikut: (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Model Student Teams Achievement Division (STAD) Model Jigsaw Investigasi Kelompok ( Group Investigation) Model Make a Match (Membuat Pasangan) Model Struktural Model Teaching Game for Understanding (TGfU) Model TGT (Team Games Tournament)
19
5. Teaching Game for Understanding a. Model Pembelajaran Teaching Game for Understanding (TGfU) TGfU
adalah
suatu
model
pembelajaran
yang
awalnya
dikembangkan di Universitas Loughborough, Inggris oleh Bunker dan Thorpe pada tahun 1982. TGfU merupakan suatu model pembelajaran yang tidak memfokuskan pembelajaran pada teknik bermain olahraga sehingga pembelajaran tidak menjadi membosankan bagi anak. TGfU sangat efektif bagi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Model pembelajaran ini menuntut peserta didik untuk mengerti tentang taktik dan strategi bermain olahraga terlebih dahulu sebelum belajar tentang teknik yang digunakan. Griffin, Mitchell, dan Oslin menyatakan bahwa, “Teaching Game for Understanding merupakan pendekatan pembelajaran yang berfokus pada kemampuan taktik untuk meningkatkan penggunaan keterampilan teknik, bukan keterampilan teknik untuk meningkatkan kemampuan taktik” (Saryono dan Nopembri 2009:88). Griffin dan Butler (2005:1) menjelaskan bahwa, “Pembelajaran pendekatan taktik adalah sebuah pendekatan yang berpusat pada peserta didikdan permainan untuk pembelajaran permainan yang berkaitan dengan olahraga yang berhubungan kuat dengan sebuah pendekatan konstruktifis dalam pembelajaran”. Menurut Saryono dan Nopembri (2009:6), “Teaching Game for Understanding adalah suatu pendekatan pembelajaran pendidikan jasmani untuk memperkenalkan bagaimana anak mengerti olahraga melalui konsep dasar bermain”. Menurut Thorpe (2001) dalam Griffin dan Butler (2005:50) bahwa, “Pendekatan taktik mempermudah peserta didik untuk mempelajari tentang perminan dan mempraktikkan teknik dalam konteks permainan bukannya terpisah dari permainan tersebut”. Model Pembelajaran TGfU merupakan salah satu pembelajaran yang mengakomodir kebutuhan anak dalam bermain. Guru penjas lebih berperan sebagai fasilitator pembelajaran dan tidak menjadi dominan
20
dengan
memberikan
contoh-contoh
seperti
yang
terjadi
pada
pembelajaran yang berbasis teknik. Model pembelajaran TGfU juga dapat dijadikan sebagai sebuah inovasi yang menuju kepada perbaikan pembelajaran PJOK di sekolah. TGfU berkaitan erat dengan pengajaran kognitif, ketika model itu terangkum dalam model pembelajaran permainan taktikal dalam pengajaran PJOK. Pada model pengajaran PJOK taktikal, guru merencanakan urutan tugas mengajar dalam konteks pengembagan keterampilan dan taktis bermain peserta didik, mengarah pada permainan yang sebenarnya. Tugas-tugas belajar menyerupai permainan dalam modifikasi bermain sering disebut sebagai bentuk-bentuk permainan. Dalam permainan taktikal guru harus mampu mengundang peserta didik untuk memecahkan masalah taktis bermain, guru harus menunjukkan masalah-masalah taktik yang diperlukan dalam situasi bermain. Sedangkan peserta didik sangat penting untuk mengenali posisi bermain di lapangan secara benar, pilihan-pilihan gerak yang mungkin dilakukan, dan situasi-situasi bermain yang dihadapi peserta didik. Model
pembelajaran
Teaching
Game
for
Understanding
mendorong peserta didik untuk mengkonstruksi makna dari situasi dimana mereka berada. Dengan kata lain, mendorong peserta didik untuk mengaplikasikan keterampilan permainan secara efektif dalam konteks permainan, hal ini akan membutuhkan perhatian pada pemahaman yang lebih dalam tentang permainan, seperti yang ada pada pembelajaran taktik. Griffin dan Butler (2005:40) menyatakan bahwa, “Tujuan guru dalam model pembelajaran pendekatan taktik adalah untuk menawarkan kepada semua peserta didik kesempatan untuk mengalami secara aktif, menikmati dan memahami permainan, dengan mengabaikan level kemampuan atau keterampilan”.
21
b. Konsep Pembelajaran Teaching Game for Understanding (TGfU) Konsep pembelajaran berbasis Teaching Game for Understanding lebih menekankan pada keaktifan peserta didik. Peserta didik mampu mengembangkan tidak hanya sebagian besar psikomotornya tetapi juga ranah afektif dan kognitifnya berkembang dengan baik. Bunker dan Thorpe menggambarkan skema proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh peserta didik dalam TGfU adalah sebagai berikut:
1. Permainan
2. Apresiasi Permainan
3. Kesadaran Taktik
6. Penampilan
Peserta Didik 4. Membuat Keputusan yang Tepat Apa yang dilakukan?
5. Eksekusi Keterampilan
Bagaimana Melakukan nya?
Gambar 2.1. Pengambilan Keputusan Peserta Didik dalam TGfU Sumber : Griffin & Butler (2005:3)
Penjelasan dari proses pengambilan keputusan peserta didik dalam TGfU menurut Saryono dan Nopembri (2009:8-10) adalah sebagai berikut: 1) Permainan Peraturan dan bentuk olahraga yang sesungguhnya menjadi acuan dalam tahap ini. Guru perlu memperkenalkan pada anak-anak tentang berbagai macam bentuk olahraga permainan yang sesuai dengan usia dan pengalaman mereka. Oleh karena itu, sangat penting
22
bagi guru untuk berpikir secara serius tentang lapangan, jumlah pemain, dan peralatan yang ditujukan agar anak mengenal berbagai masalah yang muncul dalam permainan. 2) Apresiasi Permainan Sejak
awal
anak-anak
harus
memahami
peraturan
permainan yang akan dimainkan, walaupun peraturan yang sederhana sekalipun. Penting untuk diketahui bahwa peraturan memberi bentuk pada permainan. Semakin tinggi net akan memperlambat permainan dan memperlama durasi reli permainan. Selain itu, aturan akan memberikan batasan waktu dan ruang, akan menentukan bagaimana poin dinilai, dan yang lebih penting lagi akan menentukan serangkaian keterampilan yang diperlukan. Modifikasi peraturan permainan akan berimplikasi pada taktik apa yang akan digunakan dalam permainan. 3) Kesadaran Taktik. Jika anak-anak sudah diberi informasi dan pemahaman tentang
peraturan
permainan,
maka
saatnya
untuk
mempertimbangkan taktik yang dipakai dalam permainan. Berbagai cara untuk menciptakan ruang dan menutup ruang harus ditemukan untuk menghadapi lawan. Prinsip-prinsip bermain, berlaku untuk semua olahraga permainan, membentuk dasar bagi pembelajaran taktis pada permainan tersebut, misalnya melakukan tekanan ke daerah lawan lebih banyak sebagai hasil belajar taktis tentang bagaimana melakukan serangan balik. Tentu saja berbagai rencana dalam permainan tidak selalu berjalan mulus dan taktik mesti diubah sesuai kebutuhan saat itu. Perlu ditambahkan bahwa kesadaran taktis harus menjadi pemahaman awal dari kelemahan lawan misalnya passing yang jelek, smash yang tidak sesuai, segan menerima bola yang sulit (hard ball), namun hal ini tidak boleh merusak permainan yang mestinya dimodifikasi untuk memulihkan sifat kompetitif dari sebuah permainan.
23
4) Pengambilan Keputusan. Para pemain yang handal hanya butuh beberapa detik untuk mengambil keputusan dan mereka tidak lagi membedakan antara “apa?” dan “bagaimana?”. Dalam pembelajaran ini terdapat perbedaan antara keputusan berdasarkan “apa yang dilakukan?” dan “bagaimana melakukannya?” sehingga memungkinkan peserta didik maupun guru untuk mengenali dan menghubungkan kekurangankekurangan dalam pengambilan keputusan. “Apa yang dilakukan?” (what to do), sebagaimana kita semua mengerti bahwa kesadaran taktik sangat diperlukan saat pengambilan keputusan, situasi permainan terus-menerus berubah merupakan hal yang sangat alamiah dalam permainan. Dalam memutuskan apa yang seharusnya dilakukan di setiap situasi harus dinilai dan selanjutnya kemampuan untuk memahami isyarat (termasuk proses perhatian yang selektif, pengulangan isyarat, persepsi, dan sebagainya) serta kemampuan memprediksi hasil-hasil yang mungkin (termasuk antisipasi dari berbagai macam hal) menjadi begitu penting. Contohnya, ketika melakukan penyerangan ke daerah lawan dan saat mendekati gawang dalam sebuah invasion games mungkin sangat menggiurkan untuk mencetak gol. Tetapi hal ini mungkin bisa membawa resiko besar seperti kehilangan bola (ball possessions), jika isyarat tidak bisa segera ditangkap. “Bagaimana melakukannya?” (how to do), dalam tahap ini masih terdapat keputusan tentang apa cara terbaik melakukannya dan pemilihan respon yang tepat masih menjadi hal yang sangat penting. 5) Eksekusi Keterampilan. Eksekusi keterampilan atau skill execution dipakai untuk mendeskripsikan hasil
nyata
dari gerakan
yang
diperlukan
sebagaimana telah digambarkan oleh guru dan sebagaimana terlihat dalam konteks peserta didik itu sendiri serta menyadari keterbatasan peserta didik. Hal tersebut harus dipandang sebagai hal yang terpisah
24
dari “performance” dan melibatkan aspek-aspek kualitatif, baik dari efisiensi mekanika gerakan maupun relevansinya dalam situasi permainan tertentu. 6) Penampilan. Pada tahap penampilan atau performance adalah hasil pengamatan dari proses-proses sebelumnya yang diukur berdasar kriteria yang bersifat individual dari peserta didik. Itulah cara mengklasifikasikan bagus tidaknya anak berdasar pada ukuran ketepatan respon dan juga ukuran efisiensi teknik. c. Prinsip-prinsip Pedagogik Teaching Game for Understanding (TGfU) Thorpe dan Bunker (1989) yang dikutip oleh Griffin & Butler (2005:3) juga memperkenalkan empat prinsip pedagogik (sampling, representasi, eksagerasi, dan kompleksitas taktik) yang berhubungan dengan pembelajaran pendekatan taktik. 1) Sampling permainan memberikan kepada peserta didik untuk memberikan kesempatan dalammengeksplor persamaan dan perbedaan diantara berbagai permainan (Thorpe, Bunker, & Almond, 1984). Ekspos pada berbagai bentuk permainan membantu peserta didik belajarmentransfer pembelajaran mereka dari satu permainan ke permainan yang lain. 2) Representasi meliputi pengembangan permainan yang dipadatkan yang mengandungstruktur taktikal yang sama dari bentuk yang lebih maju dari permainan tersebut (jumlahpemain yang dikurangi, peralatan yang dimodifikasi). Sistem klasifikasi permainan yang dideskripsikan oleh Thorpe, Bunker, dan Almond (1984) dapat memfasilitasi proses representasi dengan adanya seleksi berbagai macam permainan dengan masalah taktikal yang serupa daripada seleksi tradisional pengajaran satu olahraga yang spesifik sebagai sebuah topik unit. 3) Eksagerasi meliputi perubahan aturan sekunder permainan menjadi lebih menekankan masalah taktik yang spesifik (lingkungan yang panjang dan sempit, tujuan yang sempit atau luas). 4) Kompleksitas taktik meliputi kesesuaian permainan terhadap level perkembangan peserta didik. Beberapa masalah taktik terlalu kompleks untuk dipahami pemain-pemain pemula, tetapi ketika peserta didik mengembangkan pemahaman mengenai masalah taktik dan solusi yang sesuai, kompleksitas permainan
25
dapat bertambah. Maka, semua permainan dan bentuk permainan didisain untuk sesuai dengan perkembangan peserta didik. d. Pandangan Tentang Teaching Game for Understanding (TGfU) Perbedaan antara pembelajaran teknik dengan pembelajaran TGfU dapat dilihat lebih jelas dan rinci pada tabel. Tabel 2.1 Perbedaan Antara Pembelajaran Teknik dengan Pembelajaran TGfU Teknik (behaviorst)
TGfU (contrutivist)
Mengapa ini diajarkan (filosofi dan pandangan sejarah) Kebudayaan
Pabrik/model hasil
Pendewasaan/pendidikan yang progresif
Sistem kepercayaan
Dualisme
Mengintegrasikan
akal,
tubuh dan jiwa Keadaan/suasana
Tertutup, dengan
berhubungan Mengintegrasikan pelatihan
sekolah
dan dan masyarakat
olahraga propesional Latihan
Efesiensi/dipengaruhi
Pendidikan gerak
sistem kemiliteran Pengalaman
Kekhususan/olahraga
Integrasi
dan
bersifat
inklusif Apa yang diajarkan (kurikulum) Tujuan
Kemahiran pengetahuan
Sasaran
Menjelaskan apa yang Menemukan apa yang kita kita tahu
Kontruksi dari arti
tidak tahu dan menerapkan apa yang kita tahu
Hasil keluaran
Penampilan
Pemikiran dan pengambilan keputusan
Kerangka permainan
Aktivitas musiman
Pembegian tingkat
26
Bagaimana ini diajarkan (pedagogik) Pembelajaran
Berpusat pada guru
Berpusat pada peserta didik, perkembangan dan progresif
Strategi
Bagian – keseluruhan
Keseluruhan – bagian – keseluruhan
Isi
Berbasis teknik
Berbasis konsep
Konteks/keadaan
Interaksi guru ke murid
Interaksi multidimensi
Peran guru
Transmisi informasi
Fasilitator dan membantu memecahkan masalah
Peran peserta didik
Pembelajaran pasif
Pembelajaran aktif
Evaluasi
Penguasaan
Mempraktekkan
dari
pemahaman dan sumbangan dari proses (Griffin & Butler, 2005:37) e. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Teaching Game for Understanding (TGfU) 1) Kelebihan Model Pembelajaran Teaching Game for Understanding (TGfU) a) Memberi peluang pada peserta didik untuk menerka permainan yang telah diubah sesuai berdasarkan umur dan tahap pengetahuan mereka. b) Lebih sistematik daripada kaedah pengajaran berbasis teknik. c) Model pembelajaran merangkum semua aspek yang perlu diterapkan kepada peserta didik dalam sebuah permainan. d) Peserta didik dapat menerka permainan yang dirangkai sesuai ntahap demi tahap. 2) Kelemahan Model Pembelajaran Teaching Game for Understanding (TGfU) a) Mengubah aturan dalam suatu permainan mungkin dapat mengubah sifat asal sesuatu permainan itu.
27
b) Peralatan yang digunakan mungkin tidak sesuai untuk permainan. 6. Pembelajaran Permainan Bolavoli dengan Model Pembelajaran Teaching Game for Understanding Permainan bolavoli merupakan salah satu aktivitas fisik yang berbeda dalam kelompok aktivitas permainan dan olahraga. Kompetensi yang diharapkan tercapai oleh pembelajaran permainan bolavoli di SMA sederajat, secara spesifik diwujudkan dalam bentuk indikator keberhasilan belajar. Indikator keberhasilan belajar tersebut tidak cukup dapat tercapai oleh permainan bolavoli itu sendiri, namun menuntut pula kecerdasan guru dalam berbagai model pembelajaran, gaya mengajar, metode yang tepat termasuk daya pendukung sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai. Model pembelajaran Teaching Game for Understanding merupakan bentuk pembelajaran pendidikan jasmani yang dikonsep dalam bentuk permainan. Pelaksanaan pembelajaran permainan bolavoli dengan model pembelajaran TGfU yaitu pembelajaran yang mana seorang guru harus mengarah pada enam konsep dalam pembelajaran TGfU, yakni 1) game, 2) game aprreciation, 3) tactical awarness, 4) making apropriate decisions, 5) skill execution dan 6) performance. Model pembelajaran TGfU dapat memupuk minat dan kegembiraan dalam proses pembelajaran bolavoli. Melalui model pembelajaran TGfU, peserta didik dapat dirangsang untuk dapat berpikir dan juga menghadapkan peserta didik belajar dengan cara bermain. Sangat diharapkan dengan model pembelajaran TGfU adanya peningkatan kemampuan peserta didik pada permainan bolavoli dengan sesungguhnya. Guna memudahkan dalam merancang kegiatan pembelajaran dalam bolavoli dengan mengguanakan model pembelajaran TGfU, maka perlu pemahaman terlebih dahulu tentang tingkat kompleksitas taktik dalam permainan bolavoli. Berdasarkan hal tersebut tidak akan terlalu sulit untuk merancang kegiatan belajar mengajar, khususnya perjenjangan bagi peserta didik SD hingga SMA bahkan perguruan tinggi. Untuk jenjang yang lebih rendah , jenis latihan bermain yang diciptakan lebih banyak pada tingkat
28
kompleksitas taktik pada level rendah, demikian seterusnya untuk jenjang sekolah yang tinggi bentuk latihan bermain yang diciptakan lebih banyak pada tingkat kompleksitas taktik yang lebih tinggi. Tabel 2.2. Empat Elemen Permainan Tim yang Dipecahkan Berdasarkan Strategi dan Taktik Oposisi
Strategi (Praperencanaan Permainan
Taktik (respon dalam permainan)
Rencana Ofensif dan Defesif Penilaian Oposisi
Kerjasama
Penyerangan
Pertahanan
Peran individual dan perencanaan tim
Perencanaan penyerangan (dengan memikirkan pertahanan lawan)
Perencanaan pertahanan (dengan memikirkan penyerangan lawan)
Penyerangan dalam respon pada penyerangan dari tim sendiri dan permainan lawan
Pertahanan dalam respon pada pertahanan sendiri dan permainan lawan
Penilaian mandiri tentang kekuatan dan kelemahan Aplikasi dan Respon penyesuaian individual perencanaan dan tim pada pada penampilan perubahan tim yang situasi sesungguhnya permainan
(Griffin & Butler, 2005:94)
Untuk pembelajaran permainan bolavoli model permainan taktis dilakukan sebagai salah satu strategi penerapan model pembelajarannya. Karena dalam model permainan taktis peserta didik diarahkan kepada pemahaman tentang teknik bermain bolavoli. Melalui pembelajaran taktis kesadaran peserta didik akan konsep bermain bolavoli ditingkatkan, walaupun dalam penerapannya dibutuhkan teknik yang tepat dengan masalah atau situasi dalam permainan. Artinya dalam pembelajaran permainan bolavoli melalui pembelajaran taktis, peserta didik diarahkan kepada kesadaran taktis.
29
Penampilan bermainnya dilaksanakan secara kritis yaitu peserta didik diarahkan kepada kemampuan untuk mengidentifikasi masalah-masalah teknik yang muncul selama dalam permainan, dan sekaligus dapat memilih respon yang tepat untuk memecahkannya. Respon tersebut mungkin terletak pada keterampilan menguasai bola, seperti pada passing, smash, block, dan servis atau gerak tanpa bola seperti mendukung pemain yang memainkan bola. 7. Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan a. Pengertian Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan Pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan sebagai suatu proses pendidikan yang ditujukan untuk mencapai tujuan pendidikan melalui gerakan fisik yang merupakan media untuk mendorong perkembangan motorik, kemampuan fisik, pengetahuan dan penalaran penghayatan nilainilai (sikap, mental, emosional, spiritual, dan sosial), serta pembiasaan hidup sehat yang bermuara untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan yang seimbang. b. Fungsi Pendidikan Olahraga Menurut Mutohir dan Lutan (2001:9), Pendidikan olahraga dapat difungsikan sebagai proses yang potensial untuk mendidik agar anak-anak memiliki perilaku olahaga yang baik (good sporting behavior) dengan ciriciri antara lain sebagai berikut : 1) Mengenal adanya musim-musim pertandingan olahraga di samping unit-unit pelajaran penjas 2) Mengenal adanya jadwal formal secara khusus untuk pertandingan/perlombaan 3) Menghayati adanya kelompok-kelompok (tim) yang seimbang 4) Menumbuhkan rasa seperti tanggungjawab, kemandirian, kejujuran, dan kedisiplinan 5) Memodifikasikan aturan-aturan pertandingan termasuk alat, ukuran lapangan, dan jumlah tim 6) Mencatat dan mempublikasikan prestasi atau hasil-hasil pertandingan/perlombaan 7) Menghayati dan mengikuti secara aktif pertandingan/perlombaan dalam pekan olahraga yang merupakan kulminasi kegiatan
30
Dengan adanya pendidikan olahraga maka peserta didik akan lebih erat mengenali bagaimana olahraga secara menyeluruh. Pendidikan olahraga sebagai suatu model alternatif dalam pendidikan jasmani yang digunakan sebagai suatu suplemen efektif dari program pendidikan jasmani secara langsung. c. Tujuan Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan Dalam hal pembelajaran dan pengajaran tujuan penjasorkes harus berorientasi pada setiap peserta didik. Pendekatan pemecahan masalah merupakan cara yang baik apabila digunakan dalam pengajaran atau pelajaran pendidikan jasmani. Karena pendekatan ini dapat meningkatkan partisipasi secara maksimal, memberikan keleluasaan gerak yang memadai dan meningkatkan kemungkinan keberhasilan pendidikan jasmani. Mutohir dan Lutan (2001:30) menjelaskan bahwa tujuan dari pendidikan jasmani biasanya mencakup butir-butir sebagai berikut: 1) Perkembangan Pribadi a) Pertumbuhan fisik optimal b) Sehat fisik, mental, dan sosial c) Kesegaran jasmani optimal d) Cerdas e) Kreatif dan inovatif f) Terampil dalam gerak dan memecahkan masalah g) Jujur, disiplin, percaya diri, dan tanggungjawab 2) Hubungan Antar Pribadi dan Lingkungan a) Hormat pada sesama b) Gotong royong c) Luwes (mudah menyesuaikan diri) d) Komunikatif dalam ide (konsep dan pemikiran) e) Etika (sopan santun) f) Menghargai kondisi lingkungan g) Melestarikan lingkungan yang sehat dan harmonis 3) Ketahanan Nasional Politik: a) Cinta tanah air b) Demokrasi Pancasila c) Loyal pada Pancasila dan UUD 1945 a. Ekonomi : d) Penguasaan informasi dan teknologi e) Etos kerja
31
Sosial Budaya: a) Tertib hukum b) Kesetiakawanan sosial Budaya: a) Menghargai karya orang lain b) Berfikir kritis c) Toleransi penerapan Iptek Hankam: a) Kesiapan membela negara b) Partisipasi dalam Hankamrata d. Hakekat Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan Dalam pendidikan dianjurkan agar peserta didik menemukan diri mereka sendiri, menentukan nilai dan tujuan, serta menemukan kebenaran mereka sendiri. Pendidikan pada hakekatnya adalah proses individual karena setiap individu memiliki perbedaan karakteristik. Peserta didik dapat memilih dan menentukan subjek yang dipelajarinya. Guru bertindak sebagai simulator yang memberikan dorongan kepada anak untuk belajar. Program pendidikan jasmani di sekolah harus diupayakan pada pengembangan pribadi anak secara menyeluruh karena pembatasan aktivitas gerak pada anak hanya akan merugikan pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh. Mutohir dan Lutan (2001:25) menjelaskan bahwa, “Pada hakekatnya pendidikan jasmani adalah proses pendidikan yang melibatkan interaksi antara peserta didik dengan lingkungan yang dikelola melalui aktivitas jasmani secara sistematik menuju pembentukan manusia seutuhnya”. Pendidikan jasmani memberlakukan anak sebagai sebuah kesatuan yang utuh, makhluk total daripada hanya menganggap sebagai seseorang yang terpisah kualitas fisik dan mentalnya. Secara ilmiah pelaksanaan pendidikan jasmani mendapat dukungan dari berbagai dukungan ilmu, dimana dari pandangan-pandangan setiap disiplin ilmu tersebut dapat dijadikan sebagai landasan bagi berlangsungnya program penjasorkes di sekolah.
32
B. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir merupakan arahan penalaran untuk mengetahui sampai mana dapat memberi jawaban sementara atas masalah yang telah dirumuskan. Untuk mencapai kompetensi hasil yang optimal, teori yang telah dikemukakan sebelumnya dapat diuraikan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan kompetensi peserta didik. Dalam pembelajaran pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan banyak dijumpai permasalahan yang dihadapi oleh guru, salah satunya adalah bagaimana cara guru dalam penyampaian materi pelajaran. Permasalahan ini muncul pada pembelajaran bolavoli di SMK Bhinneka Karya Surakarta pada kelas XI Mesin A. secara materi yang diajarkan pada peserta didik telah sesuai pada materi yang akan disampaikan, tetapi cara menyampaikan materi masih berpusat pada guru yang menekankan pada penguasaan teknik dasar yang dilakukan secara berulangulang. Pembelajaran seperti ini cenderung menjenuhkan bagi peserta didik karena hanya dihadapkan pada satu teknik hingga peserta didik benar-benar menguasai. Peserta didik juga kurang berpartisipasi aktif dalam proses pembelajarannya karena peserta didik hanya mengikuti instruksi dari guru saja sehingga kurang dapat mengembangkan potensi dari dirinya secara maksimal. Penggunaan model pembelajaran Teaching Game for Understanding adalah sebagai sarana membantu guru dalam melaksanakan pembelajaran yang efektif. Melalui model pembelajaran Teaching Game for Understanding akan lebih mengembangkan potensi-potensi dari peserta didik yang akan dilatih melalui permainan-permainan bolavoli yang dimodifikasi sehingga peserta didik tidak lagi merasa jenuh untuk mengikuti olahraga serta akan tumbuh minat dari peserta didik untuk mengembangkan sendiri potensi belajar permainan bolavoli yang tentunya dengan teknik yang baik dan benar. Maka untuk dapat memaksimalkan pembelajaran permainan bolavoli, diharapkan guru dapat menggunakan atau memanfaatkan model pembelajaran Teaching Game for Understanding untuk membantu dalam proses penyampaian
33
materi sehingga proses pembelajaran permainan bolavoli data berjalan secara maksimal. Secara garis besar kerangka berpikir dalam Penelitian Tindakan Kelas ini dapat dijabarkan dalam diagram berikut: Kondisi awal
Guru : Pembelajaran monoton, kurang kreatif dan inovatif dalam mengajar
Peserta didik : -
Peserta didik kurang tertarik dan cepat bosan Keterampilan bermain bolavoli masih rendah Peserta didik kurang menguasai keterampilan bermain bolavoli
Siklus I :
Tindakan
Kondisi akhir
Meningkatkan keterampilan bermain bolavoli melalui model pembelajaran TGfU Melalui model pembelajaran TGfU peserta didik mampu membuat keputusan yang tepat apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukan tindakan dalam permainan bolavoli
Guru dan kolaborator menyusun bentuk taktik dan game dengan menggunakan model pembelajaran TGfU dengan tujuan peserta didik mampu mengusai keterampilan bermain bolavoli dan meningkatkan hasil belajar Siklus II : Upaya perbaikan dari siklus I sehingga melalui model pembelajaran TGfU peserta didik mampu menguasai keterampilan bermain bolavoli dan meningkatkan hasil belajar