9 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian teori
1. Efektivitas Pengertian efektif dalam menilai aktivitas seseorang dalam mengajar adalah relatif. Meskipun demikian terdapat pendapat beberapa ahli dalam mendefisikan efektivitas pembelajaran. Menurut sadiman dalam Irfa’i dalam Trianto (2009:20) “efektivitas pembelajaran adalah hasil guna yang diperoleh setelah pelaksanaan proses belajar mengajar”. Efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan. Semakin besar kontribusi output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektiv organisasi, program atau kegiatan. Jadi dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah suatu keadaan atau ukuran yang menunjukan adanya pengaruh atau hasil yang diharapkan. Menurut Soemosasmito dalam Al-Tabany (2014: 22) suatu pembelajaran dikatakan efektif apabila memenuhi persyaratan utama keefektifan pengajaran, yaitu: a) Presentasi waktu belajar peserta didik yang tinggi dicurahkan terhadap KBM; b) Rata-rata perilaku melaksanakan tugas yang tinggi diantara peserta didik; c) Ketetapan antara kandungan materi ajaran dengan kemampuan peserta didik (orientasi keberhasilan belajar) diutamakan; dan d) Mengembangkan suasana belajar yang akrab dan positif, mengembangkan struktur kelas yang mendukung butir b, tanpa mengabaikan butir d. Efektivitas menunjukan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Hasil yang mendekati sasaran berarti makin tinggi efektivitasnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah suatu keadaan atau ukuran yang menunjukan adanya pengaruh atau hasil yang diharapkan. Menurut Trianto (2009: 20) suatu pembelajaran dikatakan efektif apabila memenuhi persyaratan utama keefektifan pengajaran yaitu:
9
10
a. Presentasi waktu belajar siswa yang tinggi dicurahkan terhadap KBM b. Rata-rata perilaku melaksanakan tugas yang tinggi diantara siswa c. Ketepatan antara kandungan materi ajaran dengan kemampuan siswa (orientasi keberhasilan belajar) diutamakan d. Mengembangkan suasana belajar yang akrab dan positif, mengembangkan struktur kelas yang mendukung buktir tanpa mengabaikan butir. Menurut Soemosasmito dalam Trianto (2009: 20) “Guru yang efektif adalah guru yang menemukan cara dan selalu berusaha agar anak didiknya terlibat secara tepat dalam suatu mata pelajaran dengan presentasi waktu belajar akademis yang tinggi dan pelajaran berjalan tanpa menggunakan teknik yang memaksa, negatif atau hukuman”. Dengan asumsi bahwa kondisi kedua kelompok tersebut sama, untuk kedua kelompok diberi perlakuan yang berbeda, maka akan diketahui efektif tidaknya perlakuan tersebut dengan melihat perbedaan hasil belajar, dimana hasil belajar pada kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol.
2. Model Pembelajaran Menurut Trianto (2009: 21), Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat pembelajaran. Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, strategi pembelajaran ,metode, dan teknik pembelajaran.
11 Berkenaan dengan model pembelajaran mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran, yaitu: (1) model interaksi sosial; (2) model pengolahan informasi; (3) model personal-humanistik; dan (4) model modifikasi tingkah laku. Kendati demikian, seringkali penggunaan istilah model pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi pembelajaran.Untuk lebih jelasnya, posisi hierarkis dari masing-masing istilah tersebut, Kegiatan belajar mengajar yang bernilai edukatif selalu diwarnai dengan dua interaksi pelaku yakni guru dan siswa. Perilaku guru adalah mengajar sedangkan siswa adalah belajar. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru harus efisien dan efektif serta mengena pada tujuan yang diharapkan. Untuk mencapai sasaran sesuai yang diharapkan tersebut maka guru harus memiliki empat kompetisi pendidik, diantaranya kompetisi professional, kompetisi paedagogi, kompetisi kepribadian dan kompetisi sosial. Kemampuan Jika seorang guru sudah memiliki empat komponen dasar tersebut maka guru akan mampu merencanakan suatu pembelajaran dengan model dan metode yang sesuai dengan matri yang diajarkan dan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Joyce dan Weil dalam Sugiyanto (2009: 03) Hakikat mengajar adalah membantu siswa memperoleh informasi, ide, ketrampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya, dan cara-cara belajar bagaimana belajar. Tujuan jangka panjang kegiatan pembelajaran adalah membantu siswa mencapai kemampuan secara optimal untuk dapat belajar lebih mudah dan efektif dimasa datang. Teori pembelajaran konstruktivisme merupakan teori pembelajaran kognitif yang baru dalam psikologi pendidikan yang menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lam dam merevisinya apabila aturan-aturan itu tIdak sesuai lagi. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah,
12 menemukan sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Trianto (2007: 27). Menurut Graves dan Graves (Jacob, 2001, h. 7) bahwa konstruktivisme adalah suatu posisi filosofis dan psikologis yang banyak berperan apakah individu belajar dan mengerti yang dikonstruk oleh individu. Banyak konstruktivis juga menekankan peranan interaksi sosial (misalnya, guru dengan siswa, siswa dengan siswa) sehingga sangat mempengaruhi apa yang diperoleh siswa. Ada konstruktivis menelaah struktur mental sebagai reflektif realitas eksternal, sedangkan yang lain melihat bukan realitas independen di luar dunia mental individu. Dimensi konstruktivisme sangat berpengaruh pada psikologi dan pendidikan, bagaimanapun, berbagi dengan sebagian besar konstruktivis: idea bahwa siswa aktif dalam mengonstruksi pengetahuan mereka-sendiri dan bahwa interaksi sosial adalah penting untuk konstruk pengetahuan. Tujuan mengajar, dari suatu perspektif konstruktivis adalah tidak banyak memberikan informasi, tetapi cukup untuk mendorong formasi pengetahuan dan mengembangkan proses metakognitif
untuk
memutuskan,
mengorganisasikan,
dan
memperoleh
informasi/pengetahuan baru. Sedangkan pendekatan konstruktivis akan memanifestasikan diri-sendiri di kelas dalam sejumlah cara: dalam memilih materi pembelajaran (misalnya, menggunakan materi yang siswa dapat memanipulasikan atau menggunakan untuk berinteraksi dengan lingkungannya); dalam memilih aktivitas (misalnya, menolong siswa observasi, mengumpulkan data, menguji hipotesis, field trips), berwujud proses kelas (misalnya, menggunakan belajar kooperatif, diskusi), dan dalam usaha untuk mengintegrasikan kurikulum (misalnya, mengembangkan projek long-term thematic dalam suatu kelas yang mengintegrasikan matematika, sains, membaca, dan menulis). Dalam kelas konstruktivis; khususnya, siswa diajarkan untuk merencanakan dan langsung belajar sendiri sampai mungkin ke tingkat yang lebih luas. Guru membantu hanya sebagai pelatih dan fasilitator daripada sebagai sumber utama informasi, siswa didorong berperan aktif dalam belajarnya, tidak pasif.
13 Bloom dalam Sudjana (2010: 22) mengklasifikasikan hasil belajar menjadi tiga ranah yaitu : a. Ranah Kognitif yaitu ranah yang berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. b. Ranah Afektifyaitu ranah yang berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi dan internalisasi. c. Ranah Psikomotor yaitu ranah yang berkenaan dengan hasil belajar ketrampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek dalam ranah ini yaitu gerakan refleks, ketrampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan dan ketepatan, gerakan ketrampilan kompleks, gerakan ekspresif dan interpretatif.
Ketiga ranah tersebut menjadi aspek penilaian hasil belajar. Diantara ketiga ranah tersebut, ranah kognitif yang paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menguasai isi bahan.Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan dan pemahaman yang merupakan kognitif tingkat rendah sedangkan kognitif tingkat tinggi terdiri dari aplikasi, analisis, sintetis, dan evaluasi.Keenam aspek tersebut merupakan ejaan lama yang dikemukakan oleh Bloom sedangkan ejaan Bloom yang terbaru telah direvisi oleh Anderson dan Krathwohl yaitu Mengingat, Memahami, Mengaplikasikan, Menganalisis, Mengevaluasi, dan Mencipta. Ranah kognitif dalam pembelajaran menekankan pada sejauh mana tingkat pemahaman dan pengetahuan siswa terhadap materi pelajaran yang diingat dan dihafalnya sehingga diperlukan cara yang dapat memudahkan siswa untuk mengingat materi pelajaran.
14 Kenyataan menunjukkan bahwa seorang guru yang mengajar di kelas sering mendapatkan peserta didik mempunyai pemahaman yang berbeda tentang pengetahuan yang diperoleh dan dipelajarinya, pada hal Peserta didik belajar dalam lingkungan sekolah yang sama, guru yang sama, dan bahkan buku teks yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidak begitu saja di transfer dari guru ke siswa dalam bentuk tertentu, melainkan siswa membentuk sendiri pengetahuan itu dalam pikirannya masing-masing sehingga pengetahuan tentang sesuatu dipahami secara berbeda-beda oleh peserta didik. Pengetahuan tumbuh dan berkembang dari buah pikiran manusia melalui konstruksi berfikir, bukan melalui transfer dari guru kepada siswa. Berikut definisi pembelajaran yang akan digunakan dalam penelitian ini: a. Model Connecting, Reflecting, Organizing, Extending (CORE) Pandangan konsisten dengan teori lama konstruktivis dan pendekatan konstruktivis baru-baru ini mendukung proposisi bahwa pembelajar yang efektif adalah pemecah masalah yang aktif, yang melibatkan kognitif sekitar masalah di tangan dan dalam memahami proses berpikir sekitarnya solusi dari masalah. Kami percaya pelajar terlibat menunjukkan kesengajaan dan sadar pengambilan keputusan dalam mengambil "kontrol aktif selama proses kognitif" dan bahwa tingkat kesadaran dalam pengambilan keputusan harus dicapai melalui siswa yang mengarah untuk menjadi metakognitif selama pengalaman belajar mereka. Kami menggunakan deskripsi Pressley untuk metakognisi sebagai berpikir tentang pemikiran atau dengan kata lain, kesadaran seseorang proses berpikir yang mengevaluasi efektivitas pilihan yang dibuat di masa sekarang serta hasil jangka panjang. Tidak seperti kognisi, yang hanya merupakan tindakan mengetahui, metakognisi adalah refleksi pelajar tentang apa yang dia sudah tahu atau dalam proses belajar yang kami berpendapat merupakan missing link dalam instruksi di sebagian besar ruang kelas saat ini. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pengembangan lebih lanjut dari kognitif untuk berpikir metakognitif meningkatkan baik retensi dan pemahaman untuk pelajar, dan bahwa kemampuan berpikir metakognitif adalah perbedaan penting antara siswa mencapai rendah dan tinggi seperti pada siklus menulis dan membaca. (Jacob, 2011)
15 Dalam mengeksplorasi peran metakognisi dalam pemahaman, Pressley (Jacob, 2011) menegaskan itu adalah "pengetahuan tentang membaca
dan
bagaimana
membaca
dicapai".
Meskipun
penelitian
mendukung manfaat disempurnakan instruksi metakognitif dalam kelas, tanpa pengembangan profesi guru yang tepat, beberapa strategi pemahaman ini transfer ke atau tetap ada di banyak pengaturan kelas. Proyek ini berupaya untuk mengembangkan keterampilan guru dalam instruksi metakognisi cara naturalistik yang mudah bagi mereka untuk menerapkan dan efektif bagi siswa. Menurut Jacob, CORE adalah salah satu model yang berlandaskan pada konstruktivisme. Dengan kata lain, model pembelajaran CORE merupakan model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengaktifkan siswa
dalam
membangun
pengetahuannya
sendiri,
pegetahuannya.
siswa
diharuskan
Dalam
membangun
berinteraksi
dengan
lingkungannya. Pendapat di atas didukung oleh teori dari Benny A. Pribadi (2009: 158) berpendapat bahwa, “Konstruktivisme merupakan salah satu aliran yang berasal
dari teori
belajar kognitif. Tujuan
penggunaan pendekatan
konstruktivistik dalam pembelajaran adalah untuk membantu meningkatkan pemahaman siswa terhadap isi atau materi pelajaran”. Artinya, model pembelajaran CORE yang termasuk ke dalam teori belajar konstruktivisme dapat membantu meningkatkan pemahaman/penguasaan peserta didik terhadap isi atau materi pelajaran. Kognitivisme memberikan pengaruh dalam pengembangan prinsip-prinsip
pembelajaran. Pengaruh tersebut menurut
Aunurrahman (2010: 45) adalah sebagai berikut: a) Peserta didik akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu. b) Penyusunan materi pelajaran harus dari sederhana ke kompleks. Untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas dengan baik peserta didik harus terlebih dahulu telah mengetahui tugas-tugas yang bersifat lebih sederhana/mudah.
16 c) Belajar dengan memahami lebih baik dari pada dengan hanya mengahafal, apalagi tanpa pengertian. Sesuatu yang baru harus disesuaikan dengan apa yang telah diketahui peserta didik sebelumnya. d) Adanya perbedaan individual pada peserta didik perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi proses belajar peserta didik. Pendapat Aunurrahman mengenai pengaruh pembelajaran konstruktivisme di atas dapat dikatakan bahwa, dalam hal ini model pembelajaran CORE yang sesuai dengan teori konstruktivisme dapat memberikan pengaruh positif pada peserta didik dalam proses pembelajaran. Terutama pengaruh positif tersebut terhadap hasil belajar peserta didik yang meningkat dan tingkah laku peserta didik dapat berubah ke arah yang lebih baik. Model pembelajaran CORE merupakan suatu pembelajaran yang menekankan pada kemampuan berpikir kritis siswa. Model pembelajaran CORE dilakukan dalam empat tahapan. (1) Tahap connecting, artinya guru menyampaikan konsep lama yang akan dihubungkandengan konsep baru kepada siswa. (2) Tahap organizing, artinya siswa mengorganisasikan ideide untuk memahami materi yang akan dilakukan. (3) Tahap reflecting, artinya
siswa
bersama
anggota
kelompok
memikirkan
kembali,
mendalami, dan menggali informasi yang sudah didapat. (4) Tahap extending, artinya siswa mampu mengembangkan, memperluas, dan menemukan melalui mengerjakan tugas kelompok. We relied on the CORE Model of Instruction (Connect, Organize, Reflect, Extend; as the basis for our instructional design because of its applicability to all subject areas and its emphasis on a consistent cognitive strategy approach to all subject areas. The CORE model incorporates four essential constructivist elements; it connects to student knowledge, organizes new content for the student, provides opportunity for students to reflect strategically, and gives students occasions to extend learning. Using the CORE Model in teacher professional development in content area instruction in 2000, (Robert C. Calfee, 2010) Senada dengan pendapat di atas, Calfee, dkk (dalam Jacob, 2011) menyatakan bahwa model CORE merupakan suatu model pembelajaran yang dapat mempengaruhi perkembangan pengetahuan dengan cara
17 melibatkan siswa melalui kegiatan Connecting, Organizing, Reflecting dan Extending.
Connecting
artinya,
mengingat
informasi
untuk
menghubungkan dan menyusun ide-ide yang dimiliki siswa. Model pembelajaran CORE adalah model pembelajaran alternatif yang dapat digunakan untuk mengaktifkan siswa dalam membangun pengetahuannya sendiri. CORE sebagai model pembelajaran merupakan singkatan dari empat kata yang memiliki kesatuan fungsi dalam proses pembelajaran, yaitu connecting, organizing, reflecting, dan extending. Model CORE ini menggabungkan empat unsur penting konstruktivis, yaitu terhubung ke pengetahuan siswa, mengatur konten (pengetahuan) baru siswa, memberikan kesempatan bagi siswa untuk merefleksikannya, dan memberi kesempatan siswa untuk memperluas pengetahuan [5]. Pada tahap connecting, informasi baru yang diterima oleh siswa dihubungkan dengan apa yang diketahui sebelumnya. Referensi [3] menyatakan bahwa pada tahap connecting, guru mengidentifikasi apa yang siswa ketahui tentang pelajaran sebelumnya yang berkaitan dengan pelajaran yang akan dipelajari. Guru mengaktifkan kembali pengetahuan sebelumnya dengan mengondisikan siswa berbagi dengan orang lain, dan menulis pengetahuan dan pengalaman mereka karena berlaku untuk topik yang akan dipelajari. Selama tahap organizing, siswa mengambil kembali ide-ide mereka. Siswa secara aktif mengatur atau mengorganisasikan kembali pengetahuan mereka. Pada tahap reflecting, siswa dengan bimbingan guru bersamasama meluruskan kekeliruan siswa dalam mengorganisasikan pengetahuannya tadi. Sedangkan tahap extending yaitu tahap yang bertujuan untuk berpikir, mencari, menemukan, dan menggunakan konsep yang telah pelajari pada permasalahan-permasalahan dengan materi yang telah dipelajari, seperti permasalahan dalam kehidupan nyata (sehari-hari). Tahap extending meliputi kegiatan dimana siswa menunjukkan bahwa mereka dapat menerapkan belajar untuk masalah yang signifikan dalam pengaturan yang baru. (Fadhilah Al Humaira, 2014) Menururt Jacob, CORE terbagi menjadi 4 tahapan yaitu: 1) Connecting, yaitu diskusi menentukan koneksi untuk belajar. Pengetahuan yang berguna adalah kontekstual, dihubungkan dengan apa yang siswa telah ketahui. Diskusi yang baik digambarkan pada domain dan pengetahuan umum sebelum siswa ketahui dan membolehkan mereka untuk berbagai apa yang mereka ketahui tentang pola diskursus mereka. Untuk mengambil bagian secara efektif dalam diskusi,
siswa harus mengingat
informasi
dan menggunakan
18 pengetahuan kognitifnya untuk menghubungkan dan dan menyusun ide-idenya. 2) Organizing, yaitu diskusi membantu mengorganisasikan pengetahuan. Konstruksi pengetahuan, bukan merupakan hal sederhana dari faktafakta khusus yang terkumpul atau lengkap yang mengembangkan informasi baru. Hal ini meliputi mengorganisasi informasi lama ke dalam bentuk-bentuk baru. 3) Reflecting, yaitu diskusi yang baik dapat meningkatkan berpikir reflektif. Diskusi memajukan banyak kesempatan siswa dengan lebih belajar keterampilan dan meregulasi berpikir dan bertindak mereka. Seperti diskusi membutuhkan partisipan untuk berpikir eksternal dalam
hal
mempresentasikan,mengorganisasikan,mengklarifikasikan,mempertah ankan dan mendorong ide-ide proses kognitif siswa kedalam keterbukaan. 4) Ekstending, yaitu diskusi membantu memperluas pengetahuan. Seperti berbentuk diskusi yang mengobservasi bahwa diskusi siswa pada suatu topik dengan cepat diperluas kedalam topik yang berhubungan.
b. Model Problem Based Learning (PBL) Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu model pembelajaran yang berlandaskan pada teori kontruktivisme pembelajaran. Proses berpikir dalam pembelajaran PBL diperlukan untuk memecahkan masalah yang dihadapkan pada siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Sebagai suatu pembelajaran yang berdasar pada pengalaman siswa, PBL mengorganisasikan siswa agar terlibat secara langsung dalam kegiatan belajar mengajar. Salah satu rumusan mengenai PBL bahwa PBL merupakan metode instruksional yang menantang mahasiswa/siswa agar “belajar untuk belajar”, bekerja sama dalam kelompok untuk mencari solusi bagi masalah yang nyata. Masalah ini digunakan untuk mengaitkan rasa
19 keingintahuan serta kemampuan analisis siswa dan inisiatif atas materi pelajaran PBL. Melalui penerapan PBL, siswa mempelajari pengetahuan dan kemampuan dari bidang yang dipilihnya dengan mengerjakan sesuatu dibawah panduan guru, sampai nantinya siswa mampu menghasilkan karyanya sendiri. PBL education is based on the students' background, expectations, and interests. It is a very common experience that students are more motivated and work much harder with the PBL model than with traditional teaching methods. They also spend a great deal of time on PBL work. There is a connection between the teaching method and the depth and complexity of the learning, as the student may be expected to reach a level of analytically complex comprehension through the problem-based work that would not be possible in conventional classes. However, while students can be expected to reach this deep level of learning, it is still possible that they may miss parts of the broader perspective or breadth of knowledge. It is therefore an important part of PBL pedagogy to ensure that the student is in a position to fill in any potential `subject area gaps', if or when there is a need for that at a later point.( Erik De Graaf,2003) Problem Based Learning (PBL) mempunyai perbedaan penting dengan pembelajaran penemuan. Pada pembelajaran penemuan didasarkan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan disiplin ilmu dan penyelidikan siswa berlangsung di bawah bimbingan guru terbatas dalam ruang lingkup kelas, sedangkan Problem Based Learning (PBL) dimulai dengan masalah kehidupan nyata yang bermakna dimana siswa mempunyai kesempatan dalam memlilih dan melakukan penyelidikan apapun baik di dalam maupun di luar sekolah sejauh itu diperlukan untuk memecahkan masalah. Problem Based Learning (PBL) merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi, pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pada PBL siswa dilatih menyusun sendiri pengetahuannya, mengembangkan keterampilan memecahkan masalah. Selain itu, dengan pemberian masalah autentik, siswa dapat membentuk makna dari bahan pelajaran melalui proses
20 belajar dan menyimpannya dalam ingatan sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan lagi. Model PBL memiliki ciri-ciri: (1) mengajukan pertanyaan atau masalah yang terkait masalah kehidupan nyata, (2) melibatkan berbagai disiplin ilmu, (3) melakukan penyelidikan autentik, (4) menghasilkan produk atau karya serta mengkomukasikannya atau memamerkannya, dan (5) kerjasama dalam melakukan penyelidikan. Tujuan dari PBL adalah di samping siswa menguasai materi pelajaran yang dipelajari, yang dalam hal ini adalah biologi, juga melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Amir merangkum karakteristik yang tercakup dalam proses PBL yaitu masalah digunakan sebagai awal pembelajaran merupakan masalah dunia nyata yang disajikan secara mengambang (illstructured); masalah membuat siswa tertantang untuk mendapatkan pembelajaran
yang
baru;
sangat
mengutamakan
belajar
mandiri;
memanfaatkan sumber pengetahuan yang bervariasi; pembelajaran bersifat kolaboratif,
komunikatif,
dan
kooperatif.
Model
PBL
merupakan
pembelajaran yang dirancang berdasarkan masalah riil kehidupan yang bersifat tidak terstuktur, terbuka, dan mendua. Model PBL memiliki ciri siswa bekerja sama antara satu dengan lainnya dalam bentuk berpasangan atau berkelompok untuk bersama-sama memecahkan masalah yang dihadapi. Dalam belajar berkelompok, siswa akan termotivasi secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan berpeluang untuk berdialog dalam mengembangkan kemampuan sosial dan kemampuan berpikir. Pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Pembelajaran berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan kemampuan intelektual; belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi; dan menjadi pebelajar yang otonom dan
21 mandiri. Ibrahim & Nur (2000). Arends (2008: 57) mengemukakan bahwa secara jelas tahap-tahap model pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut: Tabel 2.1 fase atau tahap model Problem Based Learning Fase
Perlakuan
Guru membahas tujuan pembelajaran; Fase I : Memberikan orientasi mendiskripsikan berbagai kebutuhan logistic yang tentang permasalahannya penting dan memotivasi peserta didik untuk terlibat kepada peserta didik dalam kegiatan mengatasi masalah. Guru membantu peserta didik untuk mendefinisikan Fase II : Mengorganisasikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang peserta didik untuk meneliti terkait dengan pembelajarannya Guru mendorong peserta didik untuk mendapatkan Fase III : membantu investigasi info yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan mandiri atau kelompok mencari penjelasan serta solusi. Guru membantu peserta didik dalam merencanakan Fase IV : Mengembangkan dan dan menyiapkan artefak-artefak yang tepat seperti mempresentasikan artefak dan laporan, rekaman video, dan model-model yang exhibit membantu mereka untuk menyampaikan kepada orang lain.
Fase V : Menganalisa dan Guru membantu peserta didik untuk melakukan mengevaluasi proses mengatasi refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses masalah yang mereka gunakan
Sumber: Arends (2008: 57) c. Model Ekspositori Model pembelajaran Ekspositori atau tradisional menggunakan sudut pandang/pusat pembelajaran terletak pada guru (teacher centered approach) dengan strategi pendekatan ekspositori. Strategi pembelajaran ekspositori, yaitu sebagai berikut :
Strategi pembelajaran ekspositori adalah strategi
pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa
22 dapat menguasai materi pelajaran secara optimal.
Guru lebih banyak
memberikan informasi kepada peserta didik sehingga mengurangi keaktifan dalam proses pembelajaran. Model ini lebih menekankan proses penyampaian secara verbal oleh guru kepada peserta didik. Dengan demikian pembelajaran Ekspositori lebih dekat dengan metode ceramah, karena dalam metode ceramah guru yang menjadi penentu jalannya proses pembelajaran di dalam kelas serta sebagai sumber informasi sementara peserta didik hanya mendengarkan secara cermat dan mencatat hal yang dianggap penting. Model pembelajaran Ekspositori masih banyak digunakan pada pembelajaran geografi sekolah tingkat menengah karena model ini mampu mengatasi banyaknya peserta didik setiap kelas di sekolah dan terbatasnya waktu belajar di sekolah dalam menyampaikan pengetahuan sedangkan keterampilan dan kemampuan sikap peserta didik dilakukan dengan pemberian tugas. Pemberian tugas dilakukan guru sebagai penguasaan materi untuk membentuk kemampuan sikap yang dimiliki peserta didik. Dalam proses pembelajaran, model pembelajaran Ekspositori memadukan antara metode ceramah, tanya jawab serta diskusi. Karakteristik pembelajaran Ekspositori antara lain adalah : a. Guru menganggap kemampuan siswa sama. b. Menggunakan kelas sebagai satu – satunya tempat belajar. c. Mengajar lebih banyak menggunakan metode ceramah. Kelebihan pengajaran menggunakan model pembelajaran Ekspositori diantaranya: a. Menghemat waktu dan biaya serta peserta didik dapat belajar materi yang banyak. b. Peserta didik yang memiliki kemampuan lebih cepat dalam memahami materi dapat membantu temannya yang mengalami keterlambatan dalam menerima materi sehingga tidak perlu menemukan konsep secara mandiri. c. Guru lebih mudah memahami karakteristik peserta didik.
23
3. Partisipasi Siswa Partisipasi berasal dari bahasa Inggris participation yang berarti pengambilan bagian atau pengikutsertaan. Partisipasi adalah penyertaan mental dan emosi seseorang pada situasi kelompok yang mendorong mereka mengembangkan daya pikir dan perasaan agar tercapai tujuan bersama, serta bertanggung jawab terhadap tujuan tersebut. Partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional individu dalam situasi kelompok yang mendorongnya memberi sumbangan terhadap tujuan kelompok serta membagi tanggung jawab bersama mereka. Sumbangan dalam wujud partisipasi dalam diskusi berbentuk keaktifan siswa dalam memberikan ide dan gagasan dalam diskusi kelompok dan presentasi kelas. Heidjrachman Ranupandojo (2002). Though professors all tend to recognize ‘‘class participation,’’ and many use it in calculating students’ grades, what may or may not be counted as ‘‘participation’’ varies slightly with individual instructors and researchers. Participation can be seen as an active engagement process which can be sorted into five categories: preparation, contribution to discussion, group skills, communication skills, and attendance (Dancer & Kamvounias, dalam Kelly A. Rocca (2010) Menurut Moelyarto Tjokrowinoto dalam Suryosubroto (2002: 278) partisipasi adalah penyertaan mental dan emosi seseorang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk mengembangkan daya pikir dan perasaan mereka bagi tercapainya tujuan-tujuan, bersama bertanggung jawab terhadap tujuan tersebut. Tanggung jawab dalam partisipasi melalui kesediaan siswa dalam memberikan perhatian selama proses pembelajaran baik dalam diskusi kelompok dan kelas. Dalam defenisi partisipasi tersebut salah satu kunci pemikirannya adalah keterlibatan mental dan emosi. Dapat dikatakan bahwa sebenarnya partisipasi adalah suatu gejala demokrasi dimana orang diikutsertakan dalam suatu perencanaan serta dalam pelaksanaan dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya. Bentuk Keterlibatan
24 mental dan emosi dalam diskusi yaitu keterlibatan siswa dalam kesediaan dan keaktifan siswa dalam bertanya dan menjawab pertanyaan. Suparno (2001: 81) berpendapat bahwa partisipasi siswa merupakan kegiatan dimana siswa ikut terlibat dalam melaksanakan suatu kegiatan pembelajaran. Jumlah keterlibatan
siswa yang aktif dalam kegiatan belajar
merupakan indeks yang baik dari kualitas pembelajaran. Keterlibatan siswa yang baik ditunjukkan dengan
memberikan sumbangan dalam kegiatan belajar
mengajar demi tercapainya tujuan pembelajaran. Yamin (2007: 80) menjelaskan bahwa peran aktif dan partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan apabila pembelajaran yang dilakukan lebih berpusat pada siswa sedangkan guru berperan sebagai pembimbing supaya terjadi pengalaman dalam belajar. Selain itu tujuan kegiatan pembelajaran harus tercapai kemampuan minimal siswa (kompetensi dasar), dan pengelolaan kegiatan pembelajaran lebih menekankan pada kreativitas siswa, meningkatkan kemampuan minimalnya, mencipta siswa yang kreatif serta mampu menguasai konsep-konsep. Terdapat pengukuran secara kontinu terhadap berbagai aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Keterlibatan siswa merupakan hal yang sangat penting untuk menentukan keberhasilan pembelajaran. Partisipasi siswa dalam pembelajaran merupakan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran untuk mencapai sebuah tujuan yaitu hasil belajar siswa yang memuaskan. Paul D.Dierich dalam Martinis Yamin (2007: 84) mengklasifikasikan kegiatan partisipasi dalam proses pembelajaran adalah sebagai berikut: a
Kegiatan-kegiatan visual Membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, dan mengamati orang lain bekerja atau bermain.
b
Kegiatan-kegiatan lisan (oral) Mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu tujuan, mengajukan suatu pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi, dan interupsi.
25 c
Kegiatan-kegiatan
mendengarkan
Mendengarkan
penyajian
bahan,
mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permaianan, mendengarkan radio d
Kegiatan-kegiatan menulis Menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, bahanbahan kopi, membuat rangkuman, mengerjakan tes, dan mengisikan angket.
e
Kegiatan-kegiatan menggambar Menggambar, membuat grafik, chart, diagram peta dan pola.
f
Kegiatan metrik Melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pemeran, menari dan berkebun.
g
Kegiatan-kegiatan mental Merenungkan, mengingatkan, memecahkan masalah, menganalisis faktor-faktor, melihat hubungan-hubungan, dan membuat keputusan.
h
Kegiatan-kegiatan emosional Minat, membedakan, berani, tenang, dan lain-lain. Kegiatankegiatan dalam kelompok ini terdapat dalam semua jenis kegiatan overlap satu sama lain. Mc Keachie dalam Martinis Yamin (2007: 77) menjelaskan bahwa
terdapat 7 aspek yang dapat menimbulkan partisipasi dalam proses pembelajaran, yaitu: 1) Partisipasi siswa dalam menetapkan tujuan pembelajaran kegiatan pembelajaran, 2) Partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran, terutama yang berbentuk interaksi antar siswa, 3) Kekompakan kelas sebagai kelompok belajar,4) Kebebasan belajar yang diberikan kepada siswa, dan kesempatan untuk berbuat serta mengambil keputusan penting dalam proses pembelajaran, 5) Pemberian waktu untuk menanggulangi masalah pribadi siswa, baik berhubungan maupun tidak berhubungan dengan pembelajaran. Martinis Yamin (2007: 83) mengungkapkan bahwa aktivitas dan partisipasi siswa dalam pembelajaran dapat ditumbuhkan melalui 9 aspek berikut ini : a
Memberikan motivasi atau menarik perhatian siswa, sehingga mereka berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran.
b
Menjelaskan tujuan instruksional (kemampuan dasar) kepada siswa.
26 c
Mengingatkan kompetensi prasyarat.
d
Memberikan stimulus (masalah, topik, dan konsep) yang akan dipelajari.
e
Memberi petunjuk kepada siswa cara mempelajarinya.
f
Memunculkan aktivitas, partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran.
g
Memberikan umpan balik (feed back).
h
Melakukan
tagihan-tagihan
terhadap
siswa
berupa
tes,
sehingga
kemampuan siswa selalu terpantau dan terukur. i
Menyimpulkan setiap materi yang disampaikan di akhir pembelajaran.
Indikator kegiatan pembelajaran yang menunjukkan partisipasi aktif siswa, sebagaimana dikemukakan oleh Knowles (1970) dalam E. Mulyasa (2004: 156) adalah sebagai berikut 1) adanya keterlibatan emosional dan mental peserta didik (Keterlibatan), 2) adanya kesediaan peserta didik untuk memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan (dorongan memberikan sumbangan), 3) dalam kegiatan belajar terdapat hal yang menguntungkan peserta didik. Pelaksanaan pembelajaran partisipatif menurut E. Mulyasa (2004: 156) perlu memperhatikan beberapa prinsip berikut: Pertama, berdasarkan kebutuhan belajar (learning needs based) sebagai keinginan maupun kehendak yang dirasakan oleh peserta didik. Kedua, berorientasi kepada tujuan kegiatan belajar (learning goals and objectives oriented). Prinsip ini mengandung arti bahwa pelaksanaan pembelajaran partisipatif berorientasi kepada usaha pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Ketiga, berpusat kepada peserta didik (participant centered). Prinsip ini sering disebut learning centered, yang menunjukkan bahwa kegiatan belajar selalu bertolak dari kondisi riil dari peserta didik. Keempat, belajar berdasarkan pengalaman (experiental learning), bahwa kegiatan belajar harus selalu dihubungkan dengan pengalaman peserta didik. Berbagai macam partisipasi siswa di dalam kelas tersebut akan mempengaruhi proses pembelajaran itu sendiri, dimana dengan partisipasi yang tinggi akan tercipta suasana pembelajaran yang efektif. Partisipasi siswa pada pembelajaran dapat
membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan yang
27 bermakna.
Dengan
berpartisipasi
siswa
akan
berperan
dalam
proses
perkembangan dirinya sendiri sehingga secara sadar akan menuntun kemandirian sekaligus belajar bagaimana berinteraksi sosial dengan sesama. Tidak ada proses belajar tanpa partisipasi dan keaktifan anak didik yang belajar. Melalui beberapa teori dikemukaan diatas dapat dirangkum bahwa partisipasi berkaitan dengan Keterlibatan, Dorongan memberikan sumbangan, Tanggung jawab.
tabel 2.2 Indikator Partisipasi Peserta Didik Variabel yang dinilai
Indikator
Sub indikator
(adanya Peserta didik memperhatikan penjelasan guru. keterlibatan emosional Peserta didik mengajukan pertanyaan kepada guru. dan mental peserta Peserta didik menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru. didik) Keterlibatan,
Dorongan memberikan Peserta didik terlibat dalam diskusi. sumbangan, (adanya Peserta didik memperhatikan siswa lain ketika presentasi sedang kesediaan peserta berlangsung. Partisipasi peserta didik
didik untuk memberikan Peserta didik memberikan ide atau gagasan dalam diskusi besar atau kontribusi dalam diskusi kecil. mencapai tujuan) Tanggung jawab, (kegiatan
terdapat
hal
Siswa mengajukan pertanyaan kepada siswa lain ketika presentasi berlangsung. belajar Peserta didik menanggapi pendapat teman ketika presentasi berlangsung.
yang
menguntungkan peserta didik).
Peserta didik memperkuat jawaban kelompok diskusi dengan argumen, atau pernyataan.
Sumber: Knowles (1970) dalam Mulyasa (2004: 156) dimodifikasi
4. Hasil Belajar Hasil belajar adalah suatu aktivitas mental psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Berdasarkan pendapat
28 tersebut maka sesungguhnya belajar dapat dicapai melalui interaksi aktif antara siswa dengan lingkungan sekitar. Hamalik (2002: 154) mengatakan bahwa belajar merupakan perubahan prilaku yang relatif mantap berkat latihan dan pengalaman. Dimensi kompetensi yang
ingin di capai, pengalaman belajar siswa
meliputi psikomotorik, kognitif dan afektif. Ranah kognitif meliputi menghafal, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesakan. Berkenaan dengan ranah psikomotorik kompetensi meliputi tingkatan gerakan awal, semi rutin, gerakan meliputi rutin dan berkenaan ranah afektif, kompetensi yang ingin di capai
antara
lain
tingkatan
pemberian
respon
(responding),
apresiasi
(appreciating), penilaian (valuving), dan internalisasi (internalization). A successful assessment of student learning outcomes requires clear evidence of the achievement of learning outcomes at the individual student level and the academic program level. Evidence is collected in a multi-factorial manner and includes: 1) the quantitative results of the Primary Trait Analysis of research presentations at departmental paper or poster sessions across all learning goals; 2) the interpretation of the results of the Primary Trait Analysis integrated with qualitative findings; and 3) behavioral indicators of student outcomes, including the number of student research studies presented at peerreviewed professional conferences.(Bryce F. Sullivan,2007) Hasil belajar siswa dapat di ukur dengan menggunakan tes yang diselenggarakan oleh guru pada akhir pertemuan pelajaran atau dilakukan Depdiknas yang berupa ujian akhir nasional. Menurut Hamalik (2002: 159) evaluasi hasil belajar adalah keseluruhan kegiatan pengukuran (pengumpulan data dan informasi), pengolahan, penafsiran dan pertimbangan untuk membuat keputusan tentang tingkat hasil belajar yang di capai oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar. Belajar memegang peranan yang sangat penting dalam proses pengajaran. Belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas yaitu mengalami. Belajar tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, sejak lahir manusia telah memulai usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dan mengembangkan dirinya. Oleh karena itu, para ahli berusaha menjelaskan pengertian belajar menurut sudut
29 pandang yang berbeda-beda, walaupun demikian terdapat juga persamaan dalam definisi-definisi tersebut. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek yaitu pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesia dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yaitu penerimaan, jawaban atau refleksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar keterampilam dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotorik, yaitu : (a) gerak reflek, (b) keterampilan gerakan dasar, (c) kemampuan perseptual, (d) keharmonisan atau ketepatan, (e) gerakan keterampilam kompleks, dan (f) gerakan ekspresif dan interpretatif . Ketiga ranah tersebut menjadi aspek penilain hasil belajar. Di antara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menguasai isi bahan. Penilaian merupakan proses sistematik pengumpulan, penganalisaan, dan penafsiran informasi untuk menentukan sejauh mana siswa mnecapai tujuan pembelajaran.
Pencapaian
hasil
belajar
siswa
dapat
diketahui
dengan
menggunakan tes hasil belajar. Tepat tidaknya data yang diperoleh baru sebuah tes akan sangat bergantung pada kualitas tes yang di gunakan. Tes yang baik dapat menghasilkan data yang diharapkan yang memiliki 2 ciri yaitu: (1) Validitas yang tinggi. Validitas merupakan tingkat ketepatan dalam dalam mengungkap data yang semestinya diungkap (dapat menguji apa yang seharusnya di uji); (2) Reliabilitas, menunjukan tingkat ketepatan, keajegan, tingkat kesulitan dan kepraktisan menyangkut segi kemudahan dalam mengadministrasikan tes. Tinggi rendahnya hasil belajar siswa di pengaruhi oleh beberapa factor. Hasil belajar pada setiap orang dipengaruhi oleh faktor dari luar dan faktor dari dalam. Faktor dari luar meliputi lingkungan alam, lingkungan social, kurikulum.
30 Faktor dari dalam meliputi kondisi fisik, kondisi panca indra, bakat, minat, kecerdasan, motivasi dan kemampuan kognitif.
5. Pembelajaran dan Materi Geografi Manusia sebagai salah satu unsur geografi yang juga menjadi objek studi geografi, ada dalam konteks biosfer. Hanya dalam hal ini sebagai unsur pokok dalam geografi lainnya (man ecological dominant). Baik studi geografi maupun pengajaran geografi, hakikatnya berkenaan dengan aspek keruangan permukaan bumi (geosfer) dan faktor-faktor geografis alam lingkungan dan kehidupan manusia. Oleh karena itu, Sumaatmadja (2001: 12-13) menyatakan, ruang lingkup pengajaran geografi sama dengan ruang lingkup geografi meliputi: (1) alam lingkungan yang menjadi sumber daya kehidupan manusia; (2) penyebaran umat manusia dengan variasi kehidupannya; (3) interaksi keruangan umat manusia dengan alam lingkungan yang memberikan variasi terhadap ciri khas tempattempat di permukaan bumi; (4) kesatuan regional yang merupakan perpaduan antara darat, perairan, dan udara di atasnya. Sumaatmadja (2001: 13) menyatakan ruang lingkup tersebut menjadi ciri khas pengajaran geografi. Materi geografi selalu digali di permukaan bumi pada suatu lokasi untuk mengungkapkan corak kehidupan manusia yang memberikan ciri khas pada wilayah yang bersangkutan sebagai hasil interaksi faktor-faktor geografis pada lokasi yang bersangkutan. Berdasarkan Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk Jenjang Pendidikan SMA, tujuan mata pelajaran Geografi adalah sebagai berikut: a. Memahami pola spasial, lingkungan dan kewilayahan serta proses yang berkaitan, b. Menguasai keterampilan dasar dalam memperoleh data dan informasi, mengkomunikasikan dan menerapkan pengetahuan geografi,
31 c. Menampilkan
perilaku
peduli
terhadap
lingkungan
hidup
dan
memanfaatkan sumber daya alam secara arif serta memiliki toleransi terhadap keragaman budaya masyarakat. Memang dari segi substansi, kajian geografi membentang dari obyek/fenomena, litosfer, hidrosfer, atmosfer, biosfer, antroposfer.Bila diperhatikan secara seksama, substansi geografi memang dapat dikatakan hampir overlap dengan bidang ilmu lain. Hal yang membedakan adalah sudut pandang spasial. Geografi menelaah semua substanisnya dari sudut pandang spasial.
Geografi
Ekonomi
dan
Ilmu Ekonomi
memiliki
kemiripan
substansi.Hal yang membedakan adalah geografi ekonomi menelaah substansi itu dari pandangan spasial. Pandangan spasial inilah yang mengharuskan penggunaan peta; baik peta kerja, peta hasil maupun peta rekomendasi. Dalam bidang pembelajaran, peta digunakan untuk media internalisasi konsep spasial. Maka menggunakan peta sebagai media pembelajaran seluruh materi pembelajaran geografi adalah suatu keharusan. Dan perkembangan teknologi informasi memberikan keuntungan yang sangat berarti dalam teknologi informasi geospasial yang aplikasinya sangat membantu dalam penyiapan petapeta tematik (peta geografi) bagi media pembelajaran. Materi pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini pada Kompetensi Dasar Menjelaskan Sejarah Pembentukan Bumi. Indikator yang harus dicapai yaitu: a. Mendeskripsikan sejarah pembentukan muka bumi. b. Mengidentifikasi karakteristik lapisan bumi. c. Menjelaskan perkembangan bentuk muka bumi. d. Menganalisis teori lempeng tektonik dan kaitannya dengan persebaran gunung api dan gempa bumi.
32 6. Penelitian Relevan Sebenarnya banyak hasil – hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan ini. Di bawah ini dikemukakan beberapa hasil penelitian lainnya yang relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis baik sebagai bahan pembanding maupun sebagai penguat kerangka teoritis dan praktis dalam penelitian ini : a. Fadhilah Al Humaira (2014). Penerapan Model Pembelajaran CORE pada Pembelajaran Matematika Siswa Kelas X SMAN 9 Padang. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kurangnya siswa matematika kemampuan komunikasi kelas X SMAN 9 Padang. Keadaan ini berdampak pada hasil belajar matematika siswa. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan oleh menerapkan, Organizing, Mencerminkan, Memperluas (CORE) model pembelajaran Connecting yang diharapkan akan berorientasi untuk kegiatan mahasiswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kemampuan komunikasi matematika siswa belajar dengan menerapkan model pembelajaran CORE lebih baik dari kemampuan
komunikasi
matematika
siswa
yang belajar
dengan
pembelajaran konvensional pada siswa kelas X SMAN 9 Padang. Desain penelitian ini adalah kontrol acak kelompok hanya desain di mana penduduk adalah siswa kelas X SMAN 9 Padang tahun akademik 2013/2014. Instrumen penelitian adalah tes akhir dalam bentuk esai, sementara rubrik kemampuan komunikasi matematika itu digunakan digunakan sebagai referensi penilaian. Pengujian hipotesis dengan menggunakan uji-t satu pihak, nilai t = 2.090 lebih besar dari tabel = 1,669. Karena nilai t> t tabel maka H0 ditolak dan disimpulkan bahwa dengan signifikan tingkat 0,05, kemampuan komunikasi matematika siswa yang belajar matematika dengan menerapkan pembelajaran CORE model yang lebih baik daripada kemampuan komunikasi matematika siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional di kelas X SMAN 9 Padang.
33 b. Waryanto (2012).Penignkatan Ketrampilan Proses Sains dan Partisipasi Siswa padaPembelajaran Biologi melalui Penerapan Inkuiri Terbimbing di Kelas X.1 SMA Negeri 1 Sukoharjo. Penelitian ini dilatar belakangi oleh pembelajaran yang dilaksanakan belum dapat merangsang adanya partisipasi siswa sehingga hanya sedikit siswa yang merespon untuk berperan aktif dan pembelajaran belum sepenuhnya dapat mengoptimalkan keterampilan proses sains siswa yang berakibat rendahnya keterampilan proses sains siswa dalam pembelajaran Biologi. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterampilan proses sains dan partisipasi siswa kelas X.1 SMA Negeri 1 Sukoharjo melalui penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing pada pembelajaran Biologi tahun pelajaran 2011/2012. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus. Tiap siklus terdiri atas perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Teknik pengumpulan data penelitian menggunakan angket, lembarobservasi, tes, dan wawancara. Validitas data menggunakan teknik triangulasi metode. Analisis data menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan proses sains dan partisipasi siswa meningkat sesuai target pada siklus II. Persentase rata-rata capaian aspek keterampilan proses sains dan indikator partisipasi siswa pada pratindakan masih rendah karena pembelajaran didominasi dengan penyampaian materi oleh guru. Peningkatan kedua variabel terjadi pada siklus I, akan tetapi belum mencapai target. Persentase rata-rata capaian aspek keterampilan proses sains pada siklus II sebesar 77,73% berdasarkan lembar observasi, 78,55% berdasarkan angket, dan 87,17% berdasarkan tes. Persentase rata-rata capaian indikator partisipasi siswa pada siklus II sebesar 75,78% berdasarkan lembar observasi dan 77,05% berdasarkan angket. Penerapan inkuiri terbimbing melatih siswa menggunakan keterampilan proses sains dan menuntut siswa untuk berpartisipasi secara maksimal dalam pembelajaran. Simpulan dari penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing pada pembelajaran Biologi dapat meningkatkan keterampilan proses sains
34 dan partisipasi siswa kelas X.1 SMA Negeri 1 Sukoharjo tahun pelajaran 2011/2012.
c. Arifah Purnamaningrum (2012). Peningkatan Kemampuan Berpikir KreatifMelalui Problem Based LearningPada Pembelajaran Biologi SiswaKelas X-10 SMA 3 Surakarta Tahun Pelajaran 2011/2012. Latar belakang pada penelitian ini ialah kemampuan berfikir kreatif, menunjukkan bahwa pada saat pembelajaran di dalam kelas, kemampuan siswa untuk memberikan gagasan (fluency) belum begitu nampak, hal ini ditunjukkan ketika diberi pertanyaan oleh guru hanya 6,06% siswa yang menjawab dengan beberapa jawaban, disamping itu, sangat sedikit kesempatan yang diberikan oleh guru kepada para siswa untuk menyampaikan ide ide atas pertanyaan yang diberikan, ketika ada murid yang sudah menjawab, guru langsung beralih menerangkan materi selanjutnya. Dalam menyampaikan gagasannya, kebanyakan siswa masih terpaku pada teks buku atau hand out yang diberikan oleh guru, belum nampak adanya kreativitas siswa dalam menemukan idenya sendiri, hal ini menunjukkan aspek originality yang masih belum terlihat pada siswa. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa yang meliputi 5 aspek yaitu: kemampuan berpikir lancar (fluency),kemampuan berpikir luwes (flexibility), kemampuan berpikir orisinil (originality), kemampuan memperinci (elaborasi), kemampuan menilai (evaluasi) siswa kelasX-10 SMA Negeri 3 Surakarta tahun pelajaran 2011/2012 melalui pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) yang dilaksanakan dalam 3 siklus yang meliputi 4 tahapan (perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi). Subyek penelitian adalahsiswa kelas X-10 SMA Negeri 3 Surakarta semester genap tahun pelajaran 2011/2012. Data diperoleh dengan teknik tes dan non tes (observasi, wawancaradan angket). Data analisis secara deskriptif kualitatif. Validasi data menggunakantriangulasi metode. Hasil penelitian
35 menunjukkan persentase tiap
aspek kemampuan berpikir kreatif
berdasarkan tes pada siklus I belum memenuhi target, ketercapaian aspekfluency sebesar 69,70%, kemampuan berpikir luwes (flexibility) sebesar 63,64%, kemampuan berpikir orisinil (originality) sebesar 47,73%, kemampuan memperinci (elaborasi) 56,82%, kemampuan menilai (evaluasi) 49,24%. Hasilsiklus II meningkat, namun ada aspek yang belum mencapai target. Ketercapaianaspek pada siklus II yaitu fluency 79,55%, flexibility sebesar 73,11%, originalitysebesar 54,55%, elaborasi 60,23%, evaluasi 57,58%. Belum seluruhnya aspek memnuhi target, sehingga tindakan dilanjutkan ke siklus III. Hasil yang dicapaipada siklus III, aspek fluency 85,86%, flexibility sebesar 78,03%, originalitysebesar 63,64%, elaborasi 60,23%, evaluasi 62,12%. Seluruh aspek kemampuanberpikir kreatif sudah memenuhi target, sehingga tindakan dihentikan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penerapan model Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa kelas X-10 SMA Negeri 3 Surakarta tahun pelajaran 2011/2012.
d. Bayu Kurniaaji (2016). Efektivitas Penggunaan Model CORE, PBL, dan Ekspositori terhadap Partisipasi dan Hasil Belajar Peserta Didik Kelas X SMA Muhammadiyah 01 Karanganyar Tahun Ajaran 2015/2016. Latar belakang penelitian ini ingin melakukan inovasi terhadap penggunaan model di sekolah yang berorientasi ceramah dengan diskusi tetapi masih berpusat pada guru menjadi model pembelajaran yang berorientasi pada diskusi secara keseluruhan dengan peserta didik sebagai sumber pencari ilmu namun guru tetap sebagai pembimbing, selain itu pada penelitian ini juga mengikutsertakan partisipasi sebagai tolak ukur sikap peserta didik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui ada perbedaan penggunaan model Organizing, Reflecting, Extending (CORE), Problem Based Learning (PBL) dan Ekspositori terhadap patrisipasi dan hasil belajar peserta didik, serta untuk mengetahui perbedaan yang signifikan antara penggunaan model Organizing, Reflecting, Extending (CORE), Problem Based
36 Learning (PBL) dan
model Ekspositori terhadap partisipasi dan hasil
belajar peserta didik Kelas X SMA Muhammadiyah 01 Karanganyar tahun ajaran 2015/2016. Penelitian ini penelitian kuasi eksperimen (Quasi Experiment) dengan desain penelitian posttest only control. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas X SMA Muhammadiyah 01 Karanganyar Tahun Ajaran 2015/2014. Sampel penelitian diambil dengan teknik Random sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi dan tes. Teknik analisis data menggunakan anava dua jalan (twoway anava) dan dilanjutkan pasca anava (metode Tukey). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan antara Model Organizing, Reflecting, Extending (CORE), Problem Based Learning (PBL) dan Ekspositori terhadap partisipasi dan hasil belajar peserta didik pada partisipasi taraf signifikansi 5% yang menghasilkan nilai Fobs> Fα (121.562> 3,07). dan hasil belajar nilai Fobs> Fα (4,403>3,07); Model Organizing, Reflecting, Extending (CORE) lebih efektif dibandingkan model ekspositori terhadap partisipasi dan hasil belajar peserta didik pada partisipasi taraf signifikansi 5% yang menghasilkan nilai Sig
0,05).
37 B. Kerangka Berfikir Kerangka pemikiran disusun berdasarkan teori-teori yang telah di jelaskan diatas. Dalam pembelajaran yang akan diteliti ini ada tiga macam Model pembelajaran yaitu Model CORE (Connect, Organize, Reflect, Extend), PBL(Problem Based Learning), dan Ekspositori. Di SMA 01 Muhammadiyah Karanganyar ditemukan masalah hasil belajar siswa yang rendah dan kurang efektifnya model pembelajaran yang diberikan oleh guru. Keberhasilan kegiatan belajar dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah penggunaan model mengajar. Model yang efektif dan baik adalah model yang disesuaikan dengan bahan ajar, kondisi peserta didik, sarana yang tersedia serta tujuan pembelajarannya sehingga bisa mencapai tujuan pembelajaran secara tepat. Materi bentuk dan perkembangan bumi merupakan salah satu materi pokok dalam pelajaran geografi bagi siswa kelas X. Pada materi ini memuat konsep-konsep yang dianggap sulit oleh sebagian besar peserta didik SMA. Selain dituntut untuk mengetahui teori dasar, peserta didik juga dituntut untuk memahami konsep materi yang umumnya bersifat keterhubungan di lingkungan sekitar. Oleh karena itu, diperlukan model dan media ajar yang dapat mempermudah cara belajar peserta didik. Maka dari permasalahan di atas akan diadakan penelitian tentang ”Efektivitas Penggunaan Model Pembelajaran CORE dan PBL terhadap Partisipasi dan Hasil Belajar pada peserta didik Kelas X SMA Muhammadiyah 01 Karanganyar Tahun Ajaran 2015/2016 (Kompetensi Dasar Menjelaskan Sejarah Pembentukan Bumi)”. 1) Dalam penelitian ini Model pembelajaran yang digunakan adalah Model CORE (Connecting, Organizing, Reflecting, Extending)) sebagai kelas eksperimen 1, Model PBL (Problem Based Learning) sebagia kelas ekspermen 2, dan Ekspositori sebagai kelas kontrol. Setelah setiap kelas diberikan perlakuan hasil belajar siswa akan dihitung dengan uji Analisi Anava 2 arah dan untuk efektivitas diukur dengan cara pendekatan eksperimen
menurut
Gilbertsax.
Setelah
perhitungan
akan
dilakukan
perbandingan efektivitas model, hasil belajar dan tingkat partisipasi siswa dalam diskusi. Dan akan diperoleh hasil: 1) Ada perbedaan antara penggunaan model
38 Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE), Problem Based Learning (PBL), dan Ekspositori terhadap partisipasi dan hasil belajar peserta didik pada Kompetensi Dasar Menjelaskan Sejarah Pembentukan Bumi pada Kelas X SMA Muhammadiyah 01 Karanganyar tahun ajaran 2015/2016. 2) Penggunaan model Organizing, Reflecting, Extending (CORE) lebih efektif dibandingkan model Ekspositori terhadap partisipasi dan hasil belajar peserta didik pada Kompetensi Dasar Menjelaskan Sejarah Pembentukan Bumi pada Kelas X SMA Muhammadiyah 01 Karanganyar tahun ajaran 2015/2016. 3) Penggunaan model Problem Based Learning (PBL) lebih efektif dibandingkan model Ekspositori terhadap partisipasi dan hasil belajar peserta didik pada Kompetensi Dasar Menjelaskan Sejarah Pembentukan Bumi pada Kelas X SMA Muhammadiyah 01 Karanganyar tahun ajaran 2015/2016. 4) Penggunaan model Organizing, Reflecting, Extending (CORE) lebih efektif dibandingkan model Problem Based Learning (PBL) terhadap partisipasi dan hasil belajar peserta didik Kompetensi Dasar Menjelaskan Sejarah Pembentukan Bumi pada Kelas X SMA Muhammadiyah 01 Karanganyar tahun ajaran 2015/2016.
39 Berdasarkan pemikiran diatas dapat digambarkan alur penelitian sebagai berikut: Kondisi Awal Kondisi belum diterapkannya treatment pada suatu kelas dan situasi peserta didik dianggap sama sehingga pada saat pengukuran semua kelas memiliki probabilkitas yang sama untuk memulai pembelajaran.
Kelompok Eksperimen 1
Kelompok Eksperimen 2
Kelompok Kontrol
Model Pembelajaran CORE
Model Pembelajaran PBL
Model Pembelajaran Ekspositori
Partisipasi dan Hasil Belajar
Partisipasi dan Hasil Belajar
Partisipasi dan Hasil Belajar
Perbandingan Partisipasi dan Hasil Belajar Peserta Didik Peserta Didik
1. Ada perbedaan antara penggunaan model Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE), Problem Based Learning (PBL), dan Ekspositori terhadap partisipasi dan hasil belajar peserta didik. 2. Penggunaan model Organizing, Reflecting, Extending (CORE) lebih efektif dibandingkan model Ekspositori terhadap partisipasi dan hasil belajar peserta didik. 3. Penggunaan model Problem Based Learning (PBL) lebih efektif dibandingkan model Ekspositori terhadap partisipasi dan hasil belajarberpikir peserta didik. Gambar 2.4 Bagan kerangka 4. Penggunaan model Organizing, Reflecting, Extending (CORE) lebih efektif dibandingkan model Problem Based Learning (PBL) terhadap partisipasi dan hasil belajar peserta didik Kompetensi Dasar Menjelaskan Sejarah Pembentukan Bumi pada Kelas X SMA Muhammadiyah 01 Karanganyar tahun ajaran 2015/2016.
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
40 C. Hipotesis Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka berfikir yang telah teruraikan, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Ada perbedaan antara penggunaan model Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE), Problem Based Learning (PBL), dan Ekspositori terhadap partisipasi dan hasil belajar peserta didik Kompetensi Dasar Menjelaskan Sejarah Pembentukan Bumi pada Kelas X SMA Muhammadiyah 01 Karanganyar tahun ajaran 2015/2016. 2. Penggunaan model Organizing, Reflecting, Extending (CORE) lebih efektif dibandingkan model Ekspositori terhadap partisipasi dan hasil belajar
peserta
didik
Kompetensi
Dasar
Menjelaskan
Sejarah
Pembentukan Bumi pada Kelas X SMA Muhammadiyah 01 Karanganyar tahun ajaran 2015/2016. 3. Penggunaan model Problem Based Learning (PBL) lebih efektif dibandingkan model Ekspositori terhadap partisipasi dan hasil belajar peserta didik Kompetensi Dasar Menjelaskan Sejarah Pembentukan Bumi pada Kelas X SMA Muhammadiyah 01 Karanganyar tahun ajaran 2015/2016. 4. Penggunaan model Organizing, Reflecting, Extending (CORE) lebih efektif dibandingkan model Problem Based Learning (PBL) terhadap partisipasi dan hasil belajar peserta didik Kompetensi Dasar Menjelaskan Sejarah Pembentukan Bumi pada Kelas X SMA Muhammadiyah 01 Karanganyar tahun ajaran 2015/2016.