BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Kajian Tentang Anak Tuna Rungu a. Pengertian Anak Tunarungu Istilah tunarungu berasal dari kata “tuna” dan “rungu”, tuna yang berarti kurang dan rungu berarti pendengaran. Seseorang dikatakan tunarungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara. Kurang mampu mendengar disini dapat diartikan bahwa anak masih memiliki sisa-sisa pendengaran yang masih bisa dioptimalkan. Berkenaan dengan tunarungu, terutama tentang pengertian tunarungu terdapat beberapa pengertian sesuai dengan pandangan dan kepentingan masing-masing. Haenudin (2013 : 53), memaparkan bahwa “tunarungu adalah peristilahan secara umum kepada anak yang mengalami kehilangan atau kekurangmampuan mendengar, sehingga ia mengalami gangguan dalam melaksanakan kehidupannya sehari-hari. Secara garis besar tunarungu dibedakan menjadi dua yaitu tuli dan kurang dengar”. Hal itu sejalan dengan yang dikemukakan oleh Dwidjosumarto dalam Soemantri (1996 : 74) bahwa: Seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing). Tuli adalah anak yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah anak yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids). Ketunarunguan dapat dibedakan menjadi 2 kategori yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing). Disebutkan diatas bahwa tuli (deaf) adalah anak yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat, hal tersebut berakibat pada kehilangan kemampuan mendengar
8
9 sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran. Sedangakan seseorang yang kurang dengar (hard of hearing) biasanya menggunakan alat bantu mendengar karena masih memiliki sisa-sisa pendengaran yang dapat dipergunakan dalam proses informasi bahasa melalui pendengaran. Salim dalam Soemantri (2006 : 93 – 94) menjelaskan, “Anak tunarungu ialah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami
hambatan
dalam
perkembangan
bahasanya”.
Menurut
Muhammad (2008 : 55), “Kehilangan pendengaran adalah ancaman utama, bukan saja terhadap komunikasi, tetapi juga kepada kehidupan pribadi dan sosial”. Senada dengan Individual with Disability Education Act (IDEA) 04 dalam Taylor, Smiley dan Richards (2009:258) yang menyebutkan bahwa: Deafness means a hearing impairment that is so severe the child is impaired in processing linguistic information through hearing, with or without amplification, and that adversely affect a child’s educational performance. Hearing impairment means an impairment in hearing, whether permanent or fluctuating, that adversely affect a child’s educational performance but that is not included under the definition of deafness Pendapat tersebut mengemukakan bahwa tuli berarti gangguan pendengaran yang sangat parah, anak mengalami gangguan dalam memproses informasi linguistik dengan mengggunakan pendengaran mereka, baik dengan menggunakan alat bantu pendengaran ataupun tidak yang berdampak pada prestasi akademik anak. Ganguan pendengaran berarti gangguan pada pendengaran yang bersifat permanen atau berubah, yang berdampak pada prestasi akademik anak namun tidak dibawah definisi anak tuli. Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Uden (1997) dalam Winarsih (2010 : 6) yang menyebutkan bahwa:
10 A deaf person is one whose hearing is disabled to an extent (usually 70 dB ISO or greater) that precludes the understanding of speech through the ear alone without or with the use of hearing aid. A hard hearing person is whose hearing is disabled to an extent (usually 35 to 69 dB ISO) that makes difficult, but does not precludes the understanding of speech through the ear alone without or with the use of hearing aid. Berdasarkan pendapat tersebut dapat diartikan bahwa seseorang dikatakan tuli jika kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB atau lebih, sehingga tidak mampu mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri tanpa ataupun menggunakan alat bantu dengar. Sedangkan seseorang yang dikatakan kurang dengar jika kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 35 hingga 69 dB yang menyebabkan kesulitan untuk megerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri sendiri tanpa ataupun menggunakan alat bantu dengar. Istilah gangguan pendengaran (hearing impairment) dipakai dalam menjelaskan baik orang-orang yang benar-benar “tuli” maupun yang hanya “sulit mendengar”. Menurut definisi yang dikembangkan dalam PL-94-142 (Register dalam Smith, 2006: 271) : “Sulit mendengar” merupakan gangguan pendengaran (hearing impairment) yang bisa bersifat permanen maupun sementara, yang jelas berpengaruh pada prestasi pembelajaran anak, namun tidak termasuk definisi “tuli” pada bagian ini. “Tuli” berarti suatu gangguan pendengaran (hearing impairment) yang sangat berat sehingga si anak tidak bisa melakukan proses informasi bahasa melalui pendengaran, dengan ataupun tanpa alat pengeras suara, yang dengan jelas memperngaruhi prestasi pembelajaran akademis”. Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu ialah anak yang mengalami gangguan pendengaran baik sebagian ataupun keseluruhan yang mengakibatkan tidak bisa mendengar baik total maupun sebagian. Tunarungu dibedakan menjadi dua yakni tuli (deaf) dan kurang dengar (hearing impairment). Ketunarunguan tersebut
11 berdampak pada kehidupan sehari-hari terutama dalam aspek pemerolehan bahasa dan komunikasi anak. b. Klasifikasi Tunarungu Menurut
Dwidjosumarto
(dalam
Soemantri,
1996
:
74)
ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar
(hard of hearing). Tuli adalah mereka yang indera
pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, tetapi masih dapat
berfungsi
untuk
mendengar,
baik
dengan
maupun
tanpa
menggunakan alat bantu dengar (hearing aids). Uden dalam Winarsih (2007 : 26) mengklasifikasikan tunarungu menjadi 3 yakni berdasar waktu terjadinya ketunarunguan, berdasar tempat kerusakan pada organ pendengaran (anatomi dan fisiologi organ dengar), dan berdasar pada taraf penguasaan bahasa. 1) Berdasarkan waktu terjadinya ketunarunguan Senada dengan yang dikemukakan oleh Soemantri (1996 : 75) penyebab ketunarunguan disebabkan oleh beberapa faktor : a)
Pada saat sebelum dilahirkan (pre natal) Ketunarunguan terjadi saat sebelum anak dilahirkan atau saat masih di dalam kandungan. Ketunarunguan ini dapat disebabkan karena berbagai hal, seperti : Salah satu atau kedua orangtua anak mendertita tunarungu, mempunyai gen sel pembawa sifat abnormal misalnya: dominat genes, recesive gen, dan lain-lain. Penyebab lain adalah karena penyakit yang diderita oleh ibu sewaktu mengandung. Terutama penyakit-penyakit yang diderita saat kehamilan trisemester pertama yaitu rubila, morbili, dan lain-lain. Karena keracunan obat-obatan. Pada saat hamil ibu meminum obat-obatan melebihi dosis atau meminum obat penggugur kandungan serta mengkonsumsi alkohol.
12 b)
Pada saat kelahiran (natal) Ketunarunguan terjadi saat proses melahirkan. Hal tersebut dapat terjadi karena saat melahirkan ibu mengalami kesulitan sehingga dibantu dengan alat yakni alat penyedot (tang). Selain itu karena prematuritas (bayi yang lahir sebelum waktunya) juga dapat menyebabkan kecacatan.
c)
Pada saat setelah kelahiran (post natal) Ketunarunguan terjadi setelah proses melahirkan atau setelah anak dilahirkan. Ketunaan ini dapat disebabkan oleh halhal sebagai berikut : (1) Karena infeksi, misalnya infeksi pada otak (meningitis) atau infeksi umum seperti difteri, morbili, dan lain-lain (2) Karena kecelakaan atau trauma yang mengakibatkan rusaknya alat pendengaran bagian dalam (3) Pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak
2) Berdasarkan tempat kerusakan Sependapat dengan Haenudin (2013 : 62-63) menyebutkan bahwa ketunarunguan secara anatomi fisiologi dapat dikelompokkan menjadi tigas jenis yaitu : a)
Tunarungu Hantaran (Konduksi), yaitu ketunarunguan yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya alat-alat penghantar getaran suara pada telinga bagian tengah dan menyebabkan terhambatnya getaran suara untuk sampai di telinga bagian dalam yang terdapat syaraf pendengaran.
b)
Tunarungu Syaraf (Sensorineural), yaitu ketunarunguan yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya alat-alat pendengaran
bagian
dalam
syaraf
pendengaran
yang
menyalurkan getaran ke pusat pendengaran pada Lobus Temporali.
13 c)
Tunarungu Campuran, yaitu ketunarunguan yang disebabkan kerusakan pada penghantar suara dan kerusakan pada syaraf pendengaran.
3) Berdasarkan taraf penguasaan bahasa Uden dalam Winarsih (2007 : 27) membagi klasifikasi tunarungu berdasar taraf penguasaan bahasa menjadi 2, yaitu : a)
Tuli Pra Bahasa (Prelingually Deaf) yaitu mereka yang mengalami ketunarunguan sebelum menguasai suatu bahasa. Pada taraf ini, anak mampu menyamakan tanda (signal) tertentu seperti mengamati, menunjuk, dan meraih namun belum mampu membentuk sistem lambang.
b)
Tuli Purna Bahasa (Post Lingually Deaf) yaitu mereka yang mengalami ketunarunguan setelah mampu menguasai bahasa yakni telah menerapkan dan memahami sistem lambang yang berlaku di lingkungan. Ada beberapa ahli lain yang mengklasifikasikan tunarungu dengan
lebih rinci, Streng dalam Haenudin (2013 : 58) mengemukakan bahwa : 1) Kehilangan kemampuan mendengar 20-30 dB (Mild Losses) memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a)
Kehilangan kemampuan mendengar percakapan yang lemah, percakapan melalui pendengaran dan tidak mengalami kelainan bicara.
b)
Tidak mendapat kesulitan mendengar dalam suasana kelas biasa namun posisi tempat duduk harus diperhatikan.
c)
Kebutuhan dalam pendidikan memerlukan latihan membaca ujaran, perlu diperhatikan mengenai perkembangan penguasaan perbendahaannya.
d)
Jika kehilangan pendengaran melebihi 20 dB dan mendekati 30 dB perlu alat bantu dengar.
14 2) Kehilangan kemampuan mendengar 30-40 dB (Marginal Losses) memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a)
Mereka mengerti percakapan biasa pada jarak satu meter. Mereka sulit menangkap percakapan dengan jarak normal dan kadang-kadang mereka mendapat kesulitan dalam percakapan berkelompok.
b)
Mereka akan mengalami sedikit kelainan dalam bicara dan perbendaharaan terbatas.
c)
Kebutuhan dalam program pendidikan antara lain belajar membaca ujaran, latihan mendengar, penggunaan alat bantu dengar, latihan bicara, latihan artikulasi dan perhatian dalam perkembangan perbendaharaan kata.
d)
Bila kecerdasan diatas rata-rata maka dapat ditempatkan di kelas biasa asalkan tempat duduk di perhatikan. Bila
yang
kecerdasannya kurang memerlukan kelas khusus. 3) Kehilangan kemampuan mendengar 40 – 60 dB (Moderat Losses) memiliki cirri-ciri sebagai berikut : a)
Memiliki pendengaran yang cukup untuk mempelajari bahasa dan percakapan , memerlukan alat bantu dengar.
b)
Mengerti percakapan yang keras pada jarak satu meter.
c)
Sering salah faham, mengalami kesukaran di sekolah umum, mengalami kelainan bicara.
d)
Perbendaharaan kata terbatas.
e)
Untuk program pendidikan mereka membutuhkan alat bantu dengar untuk menguatkan sisa pendengaran dan penambahan alat bantu pengajaran yang sifatnya visual, perlu latihan artikulasi dan membaca ujaran, serta perly pertolongan khusus dalam bahasa.
f)
Perlu masuk sekolah luar biasa.
4) Kehilangan kemampuan mendengar 60 – 70 dB (Severe Losses) memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
15 a)
Mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu dengar, dan dengan cara khusus.
b)
Karena mereka tidak belajar bahasa dan percakapan secara spontan pada usia muda, mereka kadang-kadang disebut “tuli secara pendidikan yang berarti mereka dididik seperti orang sungguh-sungguh tuli.
c)
Mereka diajar pada suatu kelas khusus untuk anak-anak tunarungu karena mereka tidak cukup sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara melalui pendengaran.
d)
Kadang-kadang mereka dapat dilatih untuk dapat mendengar dengan
alat
bantu
mendengar,
dan
selanjutnya
dapat
digolongkan ke dalam kelompok kurang dengar. e)
Masih dapat mendengar suara keras pada jarak yang dekat, misalnya suara pesawat terbang, klakson mobil, dan lolongan anjing.
f)
Karena masih memiliki sisa pendengaran mereka dapat dilatih melalui latihan pendengaran.
g)
Dapat membedakan huruf hidup tapi tidak dapat membedakan bunyi-bunyi huruf konsonan.
h)
Diperlukan latihan membaca ujaran dan pelajaran yang dapat mengembangkan bahasa dan bicara dari guru khusus, karena itu mereka harus dimasukkan Sekolah Luar Biasa bagian B, kecuali bagi anak genius dapat mengikuti kelas normal.
5) Kehilangan kemampuan mendengar 75 dB ke atas (Profound Losses) memiliki cirri-ciri sebagai berikut : a)
Dapat mendengar suara yang keras dari jarak satu inchi atau sama sekali tidak dapat mendengar.
b)
Tidak sadar akan bunyi-bunyi keras, teapi mungkin ada reaksi kalau dekat dengan telinga, meskipun menggunakan pengeras
16 suara mereka tidak dapat menggukan pendengarannya dan memahami bahasa. c)
Mereka tidak belajar bahasa dan bicara melalui pendengaran, walaupun menggunakan alat bantu mendengar.
d)
Memerlukan pengajaran khusus yang intensif di segala bidang tanpa menggunakan mayoritas indra pendengaran.
e)
Dalam pendidikannya memerlukan perhatian khusus adalah: membeca ujaran, latihan mendengar, yang berfungsi untuk memepertahankan sisa pendengaran yang masih ada, meskipun hanya sedikit.
f)
Diperlukan teknik khusus untuk mengembangkan bicara dengan metode visual, taktil, kinestetik serta semua hal yang dapat membantu terhadap perkembangan bicara dan bahasanya.
c.
Karakteristik Tunarungu Menurut Uden dan Meadow, Bunawan dan Yuwati dalam Haenudin (2013 : 68) mengemukakan beberapa karakteristik atau sifat yang sering ditemukan pada anak tunarungu yaitu: 1)
Sifat egosentris yang lebih besar daripada anak mendengar. Sifat ini membuat mereka sulit menempatkan diri pada cara berfikir dan perasaan orang lain, serta kurang menyadari atau peduli tentang efek prilakunya terhadap orang lain
2)
Memiliki sifat impulsif, yaitu tindakannya tidak didasarkan pada perencanaan yang hati – hati dan jelas serta mengantisipasi akibat yang mungkin tumbul akibat perbuatannya
3)
Sifat kaku (rigidity), menunjuk pada sikap kurang luwes dalam memandang dunia dan tugas-tugas dalam kesehariannya
4)
Sifat lekas marah dan mudah tersinggung
5)
Perasaan ragu – ragu dan khawatir seiring dengan pengalaman yang dialaminya secara terus – menerus serta keinginan untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar sebagai upayanya untuk dapat tetap survived
17 Sementara menurut Sardjono
dalam Supini
(2009 :
14)
“Karakteristik yang paling cocok dari anak tunarungu yaitu terhambatnya perkembangan bahasa dan bicara mereka terbatas pada kosakata dan pengertian kata – kata yang abstrak”. Karakteristik yang menonjol menurut para ahli diatas adalah penguasaan kosakata anak tunarungu yang kurang sebagai akibat dari ketunaan dan terhambatnya perkembangan bahasa anak, sehingga berdampak pada kehidupan sehari-hari anak. Baik di sekolah maupun di masyarakat luas. Sebagai dampak dari ketunarunguan, anak tunarungu memiliki karakteristik yang khas, menurut Haenudin (2013 : 66 – 69), karakteristik anak tunarungu dapat dilihat dari segi intelegensi, bahasa dan bicara, serta emosi dan sosial, yaitu sebagai berikut: 1)
Karakteristik dalam Segi Intelegensi Secara umum, intelegensi anak tunarungu tidak berbeda dengan intelegensi anak yang mendengar seusianya. Segi intelegensi anak tunarungu secara potensial tidak berbeda dengan anak normal pada umumnya, namun dari segi fungsional intelegensi mereka berada di bawah anak yang mendengar karena anak yang tunarungu mengalami
kesulitan
dalam
memahami
bahasa.
Sehingga
perkembangan intelegensi anak tunarungu tidak sama dengan perkembangan intelegensi anak yang mendengar. Rendahnya prestasi belajar anak tunarungu bukan berasal dari kemampuan intelektual yang rendah, tetapi karena intelegensi anak tunarungu tidak mendapatkan kesempatan untuk berkembang optimal akibat ketunarunguan yang dialami. 2)
Karakteristik dalam Segi Bahasa dan Bicara Anak tunarungu dalam segi bahasa dan bicara memiliki karakteristik yaitu sangat terbatas dalam pemilihan kosakata , sulit mengartikan kiasan dan kata – kata yang bersifat abstrak.
18 3)
Karakteristik dalam Segi Emosi dan Sosial Dalam segi emosi dan sosial, anak tunarungu memiliki perasaan yang sangat peka dan sensitif. Anak tunarungu memiliki perasaan terasing dari lingkungannya karena anak tunarungu hanya mampu melihat kejadian tanpa bisa mendengar dari proses kejadian sehingga menimbulkan karakteristik sebagai berikut: a)
Egosentris yang melebihi anak normal
b)
Memiliki perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas
c)
Ketergantungan terhadap orang lain
d)
Perhatian mereka lebih sukar dialihkan
e)
Umumnya anak tunarungu memiliki sifat yang polos, sederhana, dan tidak banyak masalah
f)
Lebih mudah marah dan cepat tersinggung
Adapun karakteristik anak tunarungu dalam segi perbendaharaan kata atau bahasa antara lain: (a)
Perbendaharaan kata yang dimiliki terbatas dibandingkan dengan anak normal seusianya
(b)
Kesulitan mengartikan kata – kata yang mengandung arti kiasan
(c)
Kesulitan mengartikan kata – kata yang bersifat abstrak
(d)
Nada bicaranya kadang tidak teratur, ada yang monoton dan nada tinggi
(e)
Bicaranya terputus – putus akibat pernafasan dan penguasaan kosakata yang terbatas
(f)
Bicaranya cenderung diikuti gerakan anggota tubuh untuk memperjelas ucapannya (Supini, 2009 : 14)
Dari berbagai pedapat ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum karakteristik yang dimiliki oleh anak tunarungu dari segi inteligensi sama dengan anak dengar seusianya, namun prestasi belajar anak tunarungu cenderung rendah karena terhambatnya proses informasi akibat ketunarunguaannya. Dari segi emosi dan sosial anak tunarungu
19 cenderung memiliki perasaan yang sensitif sehingga cepat marah dan tersinggung. Dari segi pekembangan bahasa anak tunarungu jauh dibawah anak dengar seusianya terlebih dalam penguasaan kosakata dan perbendaharaan kata. d. Perkembangan Bahasa Anak Tunarungu Anak tunarungu mengalami perkembangan bahasa yang berbeda dari anak yang mendengar. Menurut Myklebust yang dikutip oleh Munir (2012 : 58) perbedaan perkembangan bahasa anak tunarungu dengan anak yang mendengar dijelaskan sebagai berikut : 1)
Pada tahap pertama pengenalan bahasa anak dengan pendengaran normal dengan anak tunarungu memiliki pengalaman bahasa melalui situasi, maksudnya pada tahap ini anak dikenalkan dengan lingkungan oleh ibu dengan pendekatan yang sama yaitu pendekatan seorang ibu yang mendidik anaknya.
2)
Pada
tahap
kedua,
anak
dengan
pendengaran
normal
mengembangkan bahasa melalui bahasa batin hubungan antara lambang pendengaran dengan kemampuan bahasa sehari – hari, yakni dengan mengartikan lingkungan dan apa yang didengarnya. Sedangkan anak tunarungu mengembangkan bahasanya melalui bahasa
batin
hubungan
antara
lambang
penglihatan
dan
pengalaman sehari – hari. Jadi anak tunarungu hanya mampu mengartikan apa yang terjadi di sekitarnya melalui indra penglihatannya. 3)
Pada tahap ketiga, anak dengan pendengaran normal akan mulai memasuki tahap Bahasa Reseptif Auditori (mendengarkan ujaran dan bahasa dengan perkembangan yang baru). Sedangkan pada anak tunarungu tahap ini merupakan tahap Bahasa Reseptif Visual (membaca ujaran dan isyarat). Pada tahap ini, anak tunarungu dikembangkan untuk dapat berbahasa dengan isyarat.
4)
Pada tahap keempat, anak dengan pendengaran normal akan mulai memasuki tahap Bahasa Ekspresif Auditori yaitu tahap anak sudah
20 mulai bisa mengekspresikan apa yang didengarnya dan mengerti apa yang didengarnya. Sedangkan pada anak tunarungu tahap ini merupakan tahap Bahasa Ekspresif Kinestetik yaitu tahap anak mulai memahami dan berbahasa dengan gerakan tubuh. 5)
Pada tahap kelima, anak dengan pendengaran normal dan anak tunarungu sama – sama memasuki tahap Bahasa Represif. Pada tahap ini anak dikembangkan lagi untuk dapat membaca.
6)
Pada tahap keenam, anak dengan pendengaran normal dan anak tunarungu sama – sama memasuki tahap Bahasa Ekspresif Visual yaitu tahap di mana anak dikembangkan lagi untuk dapat menuliskan apa yang dilihatnya.
7)
Tahap terakhir, anak dengan pendengaran normal dan anak tunarungu sama – sama memasuki tahap Perilaku Bahasa Verbal. Sedangkan menurut Carrol dalam Indah (2012: 43-44) menyatakan
bahwa perkembangan bahasa anak tunarungu dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu : 1) Tingkat kerusakan pendengaran 2) Status pendengaran orang tua ( apakah normal atau menderita tunarungu) dan 3) Usia diperkenalkan pada sistem komunikasi tertentu serta konsistensi latihan berkomunikasi. e.
Hambatan Khusus Bagi Tunarungu Widjaya dan Ardhi (2012 : 18) menjelaskan “apabila anak yang baru lahir menderita kurang pendengaran atau tunarungu, dan tidak segera diatasi, maka akan mengakibatkan anak menjadi lambat dalam berbicara. Yang lebih buruk lagi mengakibatkan anak menjadi tunawicara/ bisu”. Sementara itu, ada berbagai hambatan yang dialami oleh tunarungu, Myklebust dalam Bunawan dan Yuwati (2000 : 4) mengemukakan suatu konsep tentang sensory deprivation atau kehilangan/ kemiskinan penginderaan. Melalui kelima indera seseorang memperoleh informasi mengenai segala perubahan yang terjadi dalam lingkungannya, sehingga seseorang dapat mengatur keseimbangan antara kebutuhan diri
21 dengan keadaan luar. Kelima indera tetap bekerjasama, walaupun yang dirangsang hanya salah satu indera namun pengalaman penginderaan melalui indera tersebut akan diartikan berdasarkan pengalaman yang telah diperoleh sebelumnya melalui indera – indera lainnya. Maka jika salah satu indera tidak berfungsi akan terjadi kesalahan dalam perolehan informasi dari luar, sesuatu yang hilang atau kurang lengkap dalam keseluruhan dunia persepsi seseorang. Sejalan dengan pendapat dari Cruickshank dalam Efendi (2006 : 78) bahwa anak tunarungu seringkali memperlihatkan keterlambatan dalam belajar dan kadang-kadang tampak terbelakang. Kondisi ini tidak hanya disebabkan oleh derajat gangguan pendengaran yang dialami oleh anak, melainkan juga tergantung kepada potensi kecerdasan yang dimikinya. Tidak hanya mengalami hambatan dalam hal bahasa dan komunikasi, anak tunarungu juga mengalami hambatan dalam belajar. Slobin mengutip Furth (Bunawan dan Yuwati, 2000 : 38) yang menyimpulkan bahwa: 1)
Orang yang miskin dalam kemampuan dan pengalaman bahasa secara umum tidak akan menderita keterbelakangan dalam kemampuan intelektualnya. Namun bahasa secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan intelektual secara umum sehingga seseorang itu mungkin mengalami keterbelakangan sementara atau keterlambatan dalam fase perkembangan tertentu, sebagai akibat kurangnya pengalaman secara umum. Mungkin terbelakang pada tugas – tugas khusus dimana penyelesaiannya membutuhkan pengetahuan akan lambing kata – kata dan kebiasaan berbahasa.
2)
Bahasa dapat memberikan pengaruh secara tak langsung atau spesifik/
khusus
yaitu
melalui
adanya
kesempatan
guna
memperoleh pengalaman tambahan melalui tersedianya informasi dan penukaran ide serta lambang (berupa kata – kata) dan kebiasaan berbahasa dalam situasi khusus.
22 Dari berbagai kajian tunarungu menurut para ahli di atas, peneliti menyimpulkan bahwa hambatan khusus yang dimiliki oleh anak tunarungu tidak hanya dalam aspek bahasa dan komunikasi saja. Secara tidak langsung hambatan dalam aspek bahasa dan komunikasi mempengaruhi perkembangan intelektual anak secara umum dan perkembangan sosial anak dengan keluarga ataupun masyarakat luas.
2. Kajian Tentang Penguasaan Kosakata Bahasa Inggris a.
Pengertian Kosakata Bahasa Inggris Istilah kosakata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kosakata berarti pembendaharaan kata. Menurut Poerwadarminta dalam Nuryati (2005 : 18) “Kosakata adalah perbendaharaan kata. Dengan banyaknya perbendaharaan
kata
yang
dimiliki
akan
memudahkan
dalam
berkomunikasi dengan anggota masyarakat yang lain”. Kosakata Kosakata
adalah kunci utama dalam memahami suatu bahasa.
merupakan himpunan kata yang digunakan seseorang untuk
membuat suatu kalimat baru yang bertujuan untuk mempermudah komunikasi. Menurut Purwanto (2003: 1), “Vocabulary is one of the subjects taught when students are learning in language. It can be studied directly and indirectly”. Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa kosakata adalah salah satu dari subjek yang diajarkan ketika seseorang mempelajari bahasa. Kosakata disebut juga perbendaharaan kata (Tim Penyusun Kamus Pusat Bhasa 1995:527) mengemukakan bahwa “Kosakata adalah semua kata yang terdapat dalam suatu bahasa, kekayaan kata yang dimiliki oleh seseorang pembicara atau penulis, kata yang dipakai dalam suatu bidang ilmu pengetahuan”. Bahasa Inggris adalah mata pelajaran yang digunakan sebagai wahana untuk meningkatkan interaksi global dimana dalam interaksi itu memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi. Pentingnya bisa berbahasa Inggris karena bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa internasional.
23 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kosakata
bahasa Inggris
adalah seluruh kata yang ada dalam bahasa Inggris yang memiliki arti dan dapat digunakan untuk memperlajari bahasa Inggris. b. Jenis – Jenis Kosakata Bahasa Inggris Terdapat bebrapa jenis kosakata dalam bahasa Inggris, menurut Thornbury (2002 : 3-12) ada 6 jenis kosakata
dalam bahasa Inggris
diantaranya : 1.
Word Classes Word classes adalah kelas kata yang biasanya dipanggil dengan sebutan part of speech. Contoh dari word classes yaitu noun, pronoun, adjective, verb, adverb, preposition, dan conjunction.
2.
Word Families Word families adalah turunan kata yang membahas tentang imbuhan atau pergeseran bentuk sebuah kata yang mana bisa berupa inflection dan derivation.
3.
Word Formation Dalam bahasa Inggris ada beberapa jenis formasi atau bentuk gabungan kata seperti : Compounding: second-hand, word processor, typewriter Compounding: second-hand, word processor, typewriter Conversion: I always google every information I need. Kata google sebenarnya noun tapi diubah menjadi kata kerja Clipping: electronic mail = email, influenza = flu
4.
Multi-word Units Bentuk dari multi-word units umumnya berbentuk phrasal verbs dan idioms, contoh : Look for, look after, wipe off, throw on Famous last word, eat your words, jack me around
24 c.
Pentingnya Penguasaan Kosakata Bahasa Inggris Kosakata adalah hal yang paling dasar dan utama untuk seseorang dalam belajar bahasa. Purwanto (2003:2) memaparkan bahwa sebuah kalimat sering membuat siswa bingung dan salah mengartikan isi dari sebuah kalimat karena kata yang digunakan dalam kalimat tersebut tidak di pahami dan asing bagi siswa sehingga anak sulit dalam menangkap arti dari kalimat tersebut, walaupun hanya beberapa kata saja yang tidak dimengerti hal ini dapat menyebabkan siswa gagal dalam memahami ide pokok dari suatu kalimat. Purwanto (2003:3) juga menjelaskan bahwa “students are demanded to learn vocabulary seriously and productively”. Dari kutipan tersebut, disebutkan bahwa siswa dituntut untuk mempelajari vocabulary (Kosakata ) secara serius dan produktif. Berbeda dengan Hiebert dan Kamil (2005:27) mengemukakan bahwa dari banyaknya manfaat menguasai banyak vocabulary hal yang paling bernilai adalah bahwa vocabulary mempunyai kontribusi yang positif dalam pemahaman suatu bacaan. Hiebert dan Kamil juga memaparkan bahwa pemahaman seseorang terdiri dari dua keterampilan, yaitu word knowledge or vocabulary dan reasoning. Sedangkan Thornbury (2002:13) mengemukakan “without grammar very little can be conveyed, without
vocabulary
nothing
can
be
conveyed”.
Pernyataan
ini
mengemukakan bahwa kosakata adalah hal yang sangat penting dikuasai oleh siswa yang belajar bahasa asing. Pendapat
lain
tentang
pentingnya
penguasaan
kosakata
diungkapkan oleh Stahl dan Nagy (2005:5): Words divide the world; the more words we have, the more complex ways we can think about the world. A person who knows more words can speak, and even think, more precisely about the world. A person who knows the terms scarlet and crimson and azure and indigo can think about colors in a different way than a person who is limited to red and blue. A person who can label someone as pusillanimous or a recreant can better describe a person's cowardly behavior.
25 Nagy dan Stahl mengungkapkan bahwa orang yang mengetahui lebih banyak kata pasti bisa berbicara, dan bahkan bisa berpikir, lebih tepatnya, tentang dunia. Orang yang mengerti istilah scarlet (merah tua), azure (biru langit), dan indigo (biru laut) lebih bisa berpikir tentang warna dengan cara berbeda daripada orang yang (pengetahuannya) sebatas pada red (merah) dan blue (biru). Orang yang bisa menjuluki seseorang dengan nama pusillanimous (kecut hati) atau recreant (pengecut) lebih bisa mengungkapkan (menggambarkan) tentang watak pengecut seseorang. Kata-kata membagi sebuah dunia; semakin banyak kata kita kuasai, semakin bermacam-macam kita bisa berpikir tentang dunia. Semakin banyak kosakata
yang dimiliki seseorang maka akan
semakin mudah pula seseorang memahami pembicaraan atau tulisan orang lain dalam bahasa itu dan semakin mudah pula mengemukakan isi pikiran dalam suatu bahasa secara lisan maupun tulisan. Senada dengan Keraf (2010 : 64-65) yang menyatakan bahwa kosakata harus terus menerus diperbanyak dan diperluas, sesuai dengan perkembangan dan kemajuan masyarakat yang selalu menciptakan kata-kata baru. Semakin sedikit kosakata
bahasa Inggris yang dimiliki, akan
semakin sulit untuk memahami pembicaraan atau tulisan orang lain dalam bahasa Inggris dan akan semakin sulit pula mengungkapkan isi pikiran dalam bahasa Inggris, secara lisan maupun tulisan. yang akan berpengaruh pada kemampuan mendengarkan (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis (writing). Berdasarkan pernyataan diatas kosakata
merupakan salah satu
komponen yang sangat penting dalam mempelajari bahasa, karena kosakata
adalah hal dasar yang harus dipelajari dalam belajar atau
mengenal bahasa. Terlebih bahasa Inggris merupakan bahasa yang digunakan di dunia internasional, di era modern ini seseorang dituntut untuk menguasai bahasa Inggris agar dapat bersaing di dunia internasional.
26 d. Penguasaan Kosakata Bahasa Inggris Anak Tunarungu Agar dapat berbahasa dengan baik dan lancar harus ditunjang oleh fungsi pendengaran yang baik, sebab pemerolehan bahasa terbentuk melalui proses meniru dan mendengar. Bila fungsi pendengaran mengalami gangguan, maka proses pemerolehan bahasa akan terganggu, karena kemampuan ini berkembang melalui pendengaran. Anak yang fungsi pendengarannya mengalami hambatan dalam proses pemerolehan bahasa anak, akan mengalami hambatan pula dalam berkomunikasi. Kemampuan pemerolehan
kosakata
merupakan proses seorang anak
memperoleh kata-kata. Pemerolehan kosakata memungkinkan seseorang dapat berbahasa dengan baik dan benar. Dengan kata lain, kualitas keterampilan berbahasa seseorang jelas
bergantung pada kualitas dan
kuantitas kosakata yang dimilikinya. Semakin kaya kosakata semakin besar
pula
kemungkinan
keterampilan
berbahasa
kita.
Kosakata
merupakan unsur bahasa yang penting dan perlu dipelajari, dipahami, dan dimengerti agar dapat digunakan dengan baik dan benar. Masa pemerolehan bahasa anak tunarungu tidak dapat dilalui seperti halnya anak
yang bisa mendengar. Jika anak sehat mampu
menghubungkan pengalaman dan lambang bahasa melalui pendengaran, pada anak tunarungu tidak. Hal ini disebabkan karena adanya disfungsi pada pendengarannya. Jadi, anak tunarungu memperoleh bahasanya lebih difokuskan melalui fungsi penglihatannya. Tetapi tidak menutup kemungkinan dengan memaksimalkan fungsi pendengarannya, bagi siswa tunarungu yang kurang dengar. Paul (1996 : 3) mengemukakan “the low English reading achievement level of deaf students (with severe to profound hearing losses) has been well documented in there search and scholarly literature. It is suspected that these low levels are attributed to several language variables one of which is reading vocabulary knowledge”. Paul mengemukakan rendahnya prestasi membaca dari anak tunarungu telah didokumentasikan
27 dalam penelitian dan literature. Hal tersebut diduga berhubungan dengan variabel bahasa, salah satunya adalah pengetahuan kosakata .
Tabel 2.1. Nilai Rata-Rata Pelajaran Bahasa Inggris Siswa Tunarungu Kelas VIII di SLB-B YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016 No
Inisial Anak
Nilai Rata-rata
1
DL
77
2
HCW
78
3
PS
74
4
LY
74
5
AA
76
6
HA
75
7
ADW
72
8
INS
75
Dapat dilihat pada tabel rata-rata nilai bahasa Inggris anak tunarungu kelas VIII diatas, bahwa nilai pada mata pelajaran bahasa Inggris cenderung rendah. Hal tesebut dipengaruhi oleh tingkat penguasaan kosakata
bahasa Inggris anak tunarungu yang cenderung
rendah, hal ini dikarenakan bahasa Inggris bukan merupakan bahasa keseharian anak. Bahasa Inggris memiliki pelafalan yang berbeda jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia, anak tunarungu juga merasa kesulitan dalam mengingat kata dalam bahasa Inggris karena bahasa tersebut terasa asing bagi anak.
28 3.
Kajian Tentang Model Pembelajaran Word Square a. Pengertian Model Pembelajaran Word Square Menurut Winataputra dalam Sugiyanto (2009 : 3) “model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar peserta didik untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perencana pembelajaran dan guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktifitas belajar mengajar”. Model pembelajaran word square menurut Widodo (2009:13) adalah model pembelajaran yang memadukan kemampuan menjawab pertanyaan dengan kejelian dalam mencocokan jawaban pada kotak-kotak jawaban. Mirip seperti mengisi teka-teki silang tetapi bedanya jawabannya sudah ada namun disamarkan dengan menambahkan kotak tambahan dengan sembarang huruf atau angka penyamar atau pengecoh. Menurut Kurniasih dan Sani (2015:97), “Model pembelajaran word square adalah model pengembangan dari metode ceramah yang diperkaya sedemikian rupa dan berorientasi kepada keaktifan siswa dalam pembelajaran. Model ini juga memadukan kemampuan menjawab pertanyaan dengan kejelian dalam mencocokan jawaban pada kotak-kotak jawaban”. Sedangkan pendapat dari Winataputra (2009:27) mengenai pengertian dari model pembelajaran word square “merupakan salah satu model yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan siswa menjawab pertanyaan dengan kejelian dalam mencocokkan jawaban pada kotak-kotak jawaban. Dari pendapat-pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa Model Pembelajaran Word Square adalah model pembelajaran yang memadukan kemampuan menjawab pertanyaan dengan kejelian dalam mencocokkan jawaban pada kotak jawaban. Mirip seperti mengisi tekateki silang, bedanya dalam word square sudah terdapat jawaban namun disamarkan dengan menambah huruf/ angka penyamar atau pengecoh yang
29 bertujuan untuk menambah ketelian dan kejelian siswa sehingga melatih siswa berfikir kritis. Model pembelajaran ini dapat digunakan dalam semua mata pelajaran, tinggal bagaimana guru dapat menerapkan sesuai dengan kebutuhan siswa. b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Word Square Menurut
Widodo
(2009:4)
langkah-langkah
dalam
model
pembelajaran word square adalah sebagai berikut : 1)
Buat kotak sesuai keperluan, buat soal sesuai KD
2)
Guru menyampaikan materi sesuai kompetensi yang ingin dicapai
3)
Guru membagikan lembaran kegiatan sesuai contoh
4)
Siswa menjawab soal kemudian mengarsisr huruf dalam kotak sesuai jawaban
5)
Berikan poin setiap jawaban dalam kotak. Menurut
Uno
&
Mohammad,
(2011:130)
sintaks
model
pembelajaran word square adalah sebagai berikut: 1)
Guru menyiapkan materi sesuai kompetensi
2)
Guru memberikan motivasi kepada siswa
3)
Guru membagi lembar kegiatan sesuai contoh
4)
Siswa disuruh menjawab soal kemudian mengarsir huruf dalam kotak sesuai jawaban
5)
Berikan poin pada setiap jawaban dalam kotak Hal serupa juga dikemukakan oleh Aqib (2013 : 31) tentang
langkah-langkah model pembelajaran word square yaitu : 1)
Sampaikan materi sesuai TPK
2)
Bagikan lembar kegiatan sesuai contoh
3)
Siswa disuruh menjawab soal kemudian mengarsir huruf dalam kotak sesuai dengan jawaban
4)
Berikan point pada setiap jawaban dalam kotak
30 Contoh lembar jawab word square yang belum diisi: T
Y
E
N
I
O
K
N
R
A
U
A
N
K
U
O
A
B
A
R
T
E
R
M
N
A
N
I
R
R
S
I
S
D
G
I
I
T
G
N
A
O
N
L
S
A
I
A
K
L
A
A
I
S
R
L
S
A
C
E
K
B
O
S
I
R
I
N
G
G
I
T
Berikut ini adalah soalnya : 1.
Sebelum mengenal uang, orang melakukan pertukaran dengan cara ...
2.
... digunakan sebagai alat pembayaran yang sah
3.
Uang ... saat ini banyak dipalsukan
4.
Nilai bahan pembuatan uang disebut ...
5.
Kemampuan uang untuk ditukar dengan sejumlah barang atau jasa disebut nilai ...
6.
Nilai perbandingan uang dalam negara dengan mata uang asing disebut ...
7.
Nilai yang tertulis pada mata uang disebut nilai ...
8.
Dorongan seseorang menyimpan uang untuk keperluan jual beli disebut motif ...
9.
Perintah tertulis dari seseorang yang mempunyai rekening di bank untuk membayar sejumlah uang disebut ... Dari contoh kotak pada bagian awal, siswa diminta untuk menjawab pertanyaan dengan mengarsir jawaban yang sudah ditemukan dalam kotak dan selanjutnya akan menjadi seperti ini,
31 Contoh lembar jawab word square yang sudah terisi: 8) T
Y
6) K
7) N
R
A
U
O
A
1) B
A
5) R
T
E
R
M
N
A
N
I
R
R
S
I
S
D
G
I
I
T
G
N
A
O
N
L
S
A
I
A
K
L
A
A
I
S
R
L
S
A
9) C
E
K
B
O
S
I
R
I
N
G
G
I
T
2)
E
N
U
A
4) I N
O
3) K
c. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Word Square Dalam setiap model pembelajaran pasti terdapat kelebihan dan kekurangan yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam proses belajar mnegajar, Widodo (2009 : 15) menyatakan bahwa : Model pembelajaran word square dapat digunakan untuk mendorong pemahaman siswa terhadap materi pelajaran, dapat melatih kedisiplinan siswa, dapat melatih sikap teliti dan kritis, dan merangsang siswa untuk berfikir efektif. Model pembelajaran ini mampu sebagai pendorong dan penguat siswa terhadap materi yang disampaikan. Melatih ketelitian dan ketepatan dalam menjawab dan mencari jawaban dalam lembar kerja. Dan tentu saja yang ditekankan disini adalah dalam berfikir efektif, jawaban mana yang paling tepat. Menurut Supartono (2003 : 9) “Model pembelajaran word square merupakan salah satu model yang membutuhkan suatu kejelian dan ketelitian siswa yang dapat merangsang siswa untuk berfikir efektif melalui permainan acak huruf dalam pembelajaran”. Sesuai dengan pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa kelebihan model
32 pembelajaran word square adalah mampu melatih siswa untuk lebih jeli dan teliti serta melatih siswa untuk berfikir efektif. Dibalik kelebihan suatu model pembelajaran terdapat pula kelemahannya. Menurut Widodo (2009 : 15), “kelemahan model pembelajaran word square yaitu mematikan kreatifitas siswa, siswa tinggal menerima bahan mentah, siswa tidak dapat mengembangkan materi yang ada dengan kemampuan atau potensi yang dimilikinya”. Dari
penjelasan
tentang kelebihan
dan
kelemahan
model
pembelajaran word square, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kelebihan model pembelajaran word square adalah untuk melatih ketelian, kejelian siswa, dan melatih berfikir efektif. Sedangkan kelemahannya adalah mematikan kreatifitas siswa.
B. Kerangka Berfikir Berdasarkan pada kajian teori yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disusun kerangka pemikiran sebagai berikut: Siswa tunarungu memiliki hambatan dalam pemerolehan bahasa dikarenakan rendahnya pengalaman bahasa yang dimiliki, terlebih lagi pengalaman bahasa asing. Siswa tunarungu mengalami masalah dalam memahami bahasa Inggris karena rendahnya penguasaan kosakata yang dimiliki, bahasa Inggris bukanlah bahasa yang digunakan sehari-hari bagi anak tunarungu sehingga pemerolehan kosakata anak cenderung rendah. Bahasa Inggris merupakan salah satu mata pelajaran yang perlu dikuasai oleh siswa tunarungu kelas VIII, namun karena rendahnya penguasaan kosakata anak, pemahaman terhadap mata pelajaran bahasa Inggris pun kurang dan nilai siswa masih berada di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Model pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran bahasa Inggris siswa tunarungu kelas VIII di sekolah sebagian besar masih menggunakan model pembelajaran yang konvensional yakni ceramah dan pemberian tugas. Salah satu upaya untuk meningkatkan penguasaan kosakata bahasa Inggris siswa tunarungu adalah dengan penggunaan
33 model pembelajaran Word Square. Model pembelajaran word square merupakan model pembelajaran yang memadukan kemampuan menjawab pertanyaan dengan kejelian dalam mencocokkan jawaban pada kotak jawaban. Model pemebelajaran word square ini digunakan dan disesuaikan dengan materi ajar untuk melatih siswa memperlajari kosakata. Tidak hanya dapat melatih ingatan dan ejaan kata, word square merupakan permaianan yang menyenangkan dan banyak diminati. Word square digunakan sebagai model pembelajaran dalam mempelajari kosakata bahasa Inggris sehingga penguasaan kosakata bahasa Inggris siswa tunarungu dapat meningkat. Dari uraian diatas maka kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Anak tunarungu mengalami hambatan dalam pemerolehan bahasa
Kosakata bahasa Inggris anak tunarungu kelas VIII rendah sehingga prestasi belajar bahasa Inggris masih di bawah KKM
Penggunaan model pembelajaran word square sebagai model pembelajaran untuk meningkatkan penguasaan kosakata bahasa Inggris anak tunarungu kelas VIII
Penguasaan kosakata bahasa Inggris anak tunarungu kelas VIII meningkat
34
C. Hipotesis Hipotesis merupakan pernyataan atau dugaan sementara bahwa masalah penelitian yang kebenarannya masih lemah atau belum tentu benar sehingga harus diuji secara empiris (Purwanto & Sulistyastuti, 2007 : 137). Sejalan dengan pendapat tersebut Arikunto (2006 : 45) mengemukakan “Hipotesis adalah kebenaran yang masih berada dibawah (belum tentu benar) dan baru dapat diangkat menjadi suatu kebenaran jika memang telah disertai dengan bukti-bukti”. Berdasarkan landasan teori dan kerangka berfikir di atas maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: Model pembelajaran Word Square berpengaruh positif terhadap penguasaan kosakata Bahasa Inggris siswa tunarungu kelas VIII di SLB-B YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016.