4
BAB II DATA DAN ANALISA
2.1 Sumber Data Data dan informasi yang dipakai dalam pembuatan tugas akhir ini dapat diperoleh dari beberapa sumber, antara lain : 1. Data Sumatif : Berasal dari survey dan beberapa artikel Internet. 2. Data Formulatif : Berasal dari literatur – literatur seperti buku, internet dan wawancara langsung dengan narasumber. Seperti dari Hasyim Asyari selaku manager serta teman dekat dari Dwiki Darmawan. Juga melalui MUSIKITA selaku pernaungan Dwiki Darmawan Management sebagai tempat yang mensupport dalam mengkomposisikan lagu dan FARABI Music Education Center sebagai sekolah musik yang didirikan oleh beliau. 3. Warta Jazz sebagai wadah media online yang memberitakan seluruh informasi mengenai seluruh musisi Jazz Indonesia yang berkembang dan kreatif di dunia Permusikan Jazz Indonesia serta event-event yang diada di Indonesia baik dalam negeri maupun mancanegara.
2.1.1 Kuesioner Berikut ini adalah data dari hasil survei yang telah diisi oleh 100 responden dari berbagai kalangan dan sesuai dari target tujuan melalui media online yaitu https://docs.google.com/spreadsheet dan berikut ini adalah hasil simpulan dari data survei yang telah diperoleh : - Dari 100 orang responden : 68% berumur 21 – 24 tahun, 15% berumur 16-20 tahun, 13% berumur 25-30 tahun, dan 4% berumur >30 tahun. - Dari 100 orang responden : Seimbang, 50% bergender Pria dan juga 50% bergender Wanita. - Dari 100 orang responden : 79% berprofesi sebagai mahasiswa, 18% berprofesi sebagai pekerja, 2% lain-lain dan 1% sebagai pelajar. - Dari 100 orang responden : 25% menyukai musik Jazz, 24% menyukai musik Pop, 17% menyukai musik Etnik / Jazz-Pop, 12% menyukai Rock / Alternatif, 11% menyukai musik Indie dan 11% lain-lain. - Dari 100 orang responden : 54% responden masih menyukai musik / lagu Indonesia saat ini dan 46% lainnya tidak menyukainya.
5 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Dari 100 orang responden : 32% beranggapan bahwa kondisi industri musik Indonesia buruk, 27% beranggapan biasa saja, 25% beranggapan cukup dan 16% beranggapan baik. Dari 100 orang responden : 55% beranggapan hanya pernah dengar saja akan Musik Etnik Indonesia, 24% beranggapan biasa saja, 11% beranggapan sangat kenal dan tahu, dan 10% responden beranggapan tidak tahu sama sekali akan Musik Etnik Indonesia. Dari 100 orang responden : 37% beranggapan bahwa popularitas musik Etnik rendah, 31% beranggapan biasa saja, 27% beranggapan sedang dan 5% beranggapan popularitas musik Etnik tinggi. Dari 100 orang responden : 49% beranggapan hanya tahu saja mengenai musisi Musik Etnik Jazz Dwiki Darmawan, 32% beranggapan tidak pernah mendengar dan 19% lainnya sangat mengetahui musik Etnik Jazz Dwiki Darmawan. Dari 100 orang responden : 31% mengetahui Musik Etnik Jazz Dwiki Darmawan melalui Konser / Festival Musik yang diadakan beliau, 22% mengetahui memalui Media Massa, 9% melalui Internet dan 6% sisanya melalui teman. Dari 100 orang responden : 98% memiliki keinginan untuk melestarikan musik etnik sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia, 2% lainnya memilih tidak. Dari 100 orang responden : 87% beranggapan sangat disayangkan karya Dwiki Darmawan kurang dihargai dan dipublikasikan dengan baik, 7% beranggapan biasa saja dan 6% sisanya beranggapan tidak peduli terhadap karya-karyanya. Dari 100 orang responden : 76% beranggapan tertarik untuk mendengarkan musik etnik jazz orkestra, 19% beranggapan biasa saja dan 5% beranggapan tidak tertarik. Dari 100 orang responden : 80% responden beranggapan tidak tahu mengenai buku biografi musisi Etnik Jazz yang terpublikasikan dengan baik dan 20% sisanya beranggapan tidak ada mengenai buku tersebut. Dari 100 orang responden : 65% beranggapan sangat perlu untuk mempublikasikan karya-karya Dwiki Darmawan sehingga sekaligus mendukung karyanya dibelantika musik Etnik Indonesia di manca negara, 34% beranggapan boleh saja dan 1% sisanya tidak perlu. Dari 100 orang responden : 63% beranggapan tertarik untuk membaca buku publikasi karya-karya Musik Etnik Jazz dari Dwiki Darmawan, 30% beranggapan biasa saja dan 7% beranggapan tidak tertarik. Dari 100 orang responden : 87% beranggapan mempertahankan desain dan konten dalam buku publikasi ini dengan perpaduan unsur etnik dan modern, 9% beranggapan lebih kuat pada unsur etnik, 2% lebih kuat unsur modern dan 2% lainnya.
6
2.1.2 Diagram Kuesioner
Gambar 2.1a Diagram Survei Kuisioner
7
Gambar 2.1b Diagram Survei Kuisioner
8
Gambar 2.1c Diagram Survei Kuisioner
2.1.3 Kompetitor - Simfoni Untuk Negeri, Twilight Orchestra – Magenta Orchestra
Gambar 2.2 Buku Simfoni Untuk Negeri
Dibuka dengan penampilan dari Andi Rianto dan kolaborasi antara Addie MS dan Oddie Agam yang membawakan ulang lagu “The Long and Winding Road” milik The Beatles, konferensi pers guna menandakan peluncuran resmi buku Simfoni untuk Negeri pun diadakan pada Kamis (24/11) siang di Otel Lobby, The Annex Building of Bakrie Tower, Jakarta. Simfoni untuk Negeri ini terdiri dari sepuluh bab yang membicarakan soal musik orkestra dengan Twilite Orchestra dan Magenta Orchestra sebagai dua tokoh utamanya, baik dari segi sejarah, ragam jenis, maupun koneksi antara musik dengan perkembangan karakter suatu bangsa. Selain itu, buku ini juga dimeriahkan dengan kumpulan foto dari setiap penampilan Twilite Orchestra, yang tahun ini menginjak usia 20 tahun, dan Magenta Orchestra, mulai dari suasana latihan, performance, hingga saat mendapatkan sebuah
9 penghargaan serta pose dengan pejabat-pejabat penting negeri ini. Menurut rilis pers yang diterima Rolling Stone, terbitnya Simfoni untuk Negeri didasari rasa cinta yang begitu dalam terhadap musik dan Indonesia, yang sekaligus merupakan sebuah bentuk apresiasi terhadap kemajuan dan keunggulan karya seni anak bangsa di dunia musik. Tujuan dari buku ini adalah untuk menghayati, menggali, dan mendokumentasikan nilai-nilai yang terkandung dalam musik orkestra, kemudian mencoba mewariskannya kepada generasi penerus agar musik orkestra meluas hingga seluruh lapisan masyarakat pencinta seni, khususnya seni musik. Hal senada diucapkan salah satu pendiri Twilite Orchestra, Indra Bakrie, saat konferensi pers: “Musik orkestra seringkali dianggap sebagai sebuah musik yang eksklusif, sehingga memiliki keterbatasan untuk disukai masyarakat yang lebih luas. Hari ini kita menjadi saksi sejarah kolaborasi Twilite Orchestra dan Magenta Orchestra dalam membuat mahakarya berupa buku Simfoni untuk Negeri yang bisa dirasakan bersama.” Buku ini pertama kali diprakarsai oleh istri Indra Bakrie sendiri, Gabby Bakrie, dan ditulis oleh wartawan dan sastrawan, Akmal Nasery Basral, yang sebelumnya dikenal atas buku Imperia, Sang Pencerah, dan Presiden Prawiranegara. Buku yang memiliki 186 halaman ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu sampul tipis dengan harga Rp 190.000,00 dan sampul tebal dengan harga Rp 345.000,00.
2.2 Data Proyek Pada saat ini musik memang tidak mungkin lepas dari kehidupan kita seharihari, setiap saat kita selalu bersinggungan dengan musik, entah dimulai dari rumah, di jalan, di toko, bahkan hingga kembali ke rumah pun kita selalu ditemani dengan musik. Kenyataan di atas, menunjukkan bahwa musik semakin diterima bahkan dibutuhkan masyarakat sebagai hiburan agar pikiran yang terbebani oleh pekerjaan rutin sehari-hari dapat menjadi segar kembali. Perkembangan musik yang pesat di Indonesia menumbuhkan berbagai jenis musik seperti musik keroncong, pop, dangdut, bahkan musik klasik yang dianggap serius oleh sebagian orang. Bentuk penyajian musik terus mengalami perluasan, apabila dahulu musik keroncong hanya dimainkan cukup dengan tujuh alat musik saja yaitu biola, seruling, cuk, cak, gitar, cello, dan bass, maka sekarang telah berkembang menjadi sebuah orkestra keroncong, yaitu dengan memasukkan alatalat musik orkestra standar seperti oboe, fagot, klarinet, penambahan jumlah biola dan sebagainya. Nampaknya grup-grup band di Indonesia saat ini yang secara umum hanya terdiri dari gitar, bass, keyboard, dan drum ikut terpengaruh untuk memasukkan alat-alat musik orkestra seperti penambahan instrumen strings (biola, cello, contra bass), woodwind (flute, oboe, clarinet), brass (terompet, trombone) bahkan percussion (timpani, bell tree, dan lain-lain). Sebagai contoh bisa didengar dalam album Badai Pasti Berlalu (Chrisye) yang diaransir oleh Erwin Gutawa dengan melibatkan orkestra dari Australia.
10
Trend memasukkan unsur-unsur orkestra ke dalam berbagai jenis musik yang lain menjadi hal yang biasa kita temui sekarang ini. Namun hal yang cukup penting dalam perjalanan orkestra itu sendiri, adalah terjadinya masa pasang-surut sejak keberadaannya di Indonesia sebagai pengaruh difusi kebudayaan. Graebner menyatakan dalam buku Sejarah Teori Antropologi I oleh Koentjaraningrat (1980: 112-113) bahwa unsur-unsur kebudayaan masa lampau adalah dengan membuat klasifikasi benda-benda menurut tempat asalnya, dan menyusunnya berdasarkan persamaan unsur-unsur tersebut. Sekumpulan lokasi tempat ditemukan benda-benda yang sama sifatnya disebut sebgai kulturkreis. Alat-alat musik yang dipergunakan orkestra di Indonesia mempunyai kesamaan unsur dengan alat-alat musik orkestra yang ada di budaya barat.
2.2.1 Mengenal Musik Orkestra Istilah orkestra menurut John Spitzer (Stanley Sadie. ed. 2001: 530) pada masa Yunani dan Romawi kuno menunjuk tentang tingkatan dasar dari sebuah panggung terbuka, yang digunakan kembali pada jaman Renaissance untuk menunjukan tempat di depan panggung. Pada awal abad XVII tempat ini digunakan untuk menempatkan para pemain musik yang mengiringi nyanyian dan tarian. Pada abad XVIII arti dari istilah orkestra diperluas untuk para pemain musik sendiri dan sebagai identitas mereka sebagai sebuah ansambel. Sebelum istilah orkestra menjadi mapan di dalam bahasa Eropa yang beragam, muncul berbagai ungkapan yang digunakan untuk mengindikasikan kelompok pemain musik yang besar. Di Italia kelompok pemain musik yang serupa disebut dengan capella, coro, concerto groso, simfonia atau gli stromenti. Hal serupa juga dapat ditemukan di Roma pada awal sampai akhir tahun 1679. Demikian pula di Perancis, juga terdapat istilah les violons, dan les concertantes. Analisis tentang orkestra sejak abad XVIII sampai sekarang mengungkapkan sebuah rangkaian ciri-ciri yang saling berhubungan, yang antara lain; a) orkestra didasarkan atas alat musik gesek yang terdiri dari keluarga biola dan double bass, b) kelompok alat musik gesek ini disusun ke dalam bagian-bagian di mana para pemusik selalu memainkan not yang sama dalam satu suara, c) alat musik tiup kayu, tiup logam, dan perkusi tampil dalam jumlah yang berbeda sesuai dengan periode dan lagu-lagu yang ditampilkan, d) orkestra sesuai dengan waktu, tempat, dan daftar lagu yang dimainkan selalu memperlihatkan standar instrumentasi yang luas, e) biasanya orkestra yang telah berdiri terorganisasi dengan anggota-anggota yang mapan, mengadakan latihan dan pentas yang rutin, mempunyai struktur organisasi dan dana, f) karena orkestra membutuhkan banyak pemain musik, untuk memainkan hal yang sama dalam waktu yang bersamaan, orkestra menuntut tingkat kecakapan musikal yang tinggi untuk memainkan dengan tepat pada
11 nada-nada yang tertulis, g) orkestra dikoordinasi langsung dengan satu pusat, yang berawal pada abad XVII dan XVIII oleh pemain utama biola pertama atau oleh pemain keyboard, yang selanjutnya mulai awal abad XVIII dikoordinasi oleh seorang conductor. Kelompok pemain alat musik yang mempunyai ciri-ciri seperti di atas dapat menunjukkan dengan jelas sebagai sebuah orkestra, dimana pun mereka ditemukan dan apapun sebutan mereka. Kelompok dengan jumlah banyak namun tidak memiliki ciri-ciri ini secara keseluruhan setidak-tidaknya dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang sama dengan orkestra. Orkestra selanjutnya dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis, termasuk di dalamnya adalah orkestra teater, orkestra symphony, orkestra gesek, orkestra kamar, orkestra café dan salon, orkestra radio, orkestra studio dan sebagainya. Instrumen musik yang dimainkan para musisi dalam sebuah orkestra modern terdiri dari empat seksi atau golongan jenis instrumen, yaitu seksi gesek, seksi tiup kayu (woodwind section), seksi tiup logam (brasswind section), dan seksi perkusi (percussion section). Perkembangan awal orkestra yaitu pada jaman Barok (1720) terdapat sebuah bentuk orkestra kecil yang hanya terdiri dari instrumen gesek (6 biola, 3 viola, dan 2 cello) dan continuo (harpsichord, merupakan instrumen yang berbunyi terus menerus dalam sebuah komposisi). Pada jaman Klasik (1790) instrumen terumpet, timpani, dan horn mulai digunakan walaupun masih jarang. Ciri tertentu dari orkestra klasik adalah tanpa menggunakan continuo, tapi diganti dengan seksi gesek yang lebih besar (14 biola, 6 biola, 4 cello, dan 2 double bass) dan 2 pemain untuk setiap instrumen flute, oboe, clarinet, horn, terumpet, dan timpani. Bentuk orkestra jaman Romantik (1850) memiliki seksi gesek yang lebih besar lagi (30 biola, 12 biola, 10 cello, dan 8 double bass), woodwind dan brass. Muncul instrumen musik baru seperti tuba dan harpa. Dua orang komposer terkenal yaitu Wagner dan Berlios adalah tokoh yang banyak menulis karya-karya untuk format orkestra yang sangat besar tersebut. Orkestra mempertahankan bentuknya yang besar ini sampai awal tahun 1900an, ketika kemudian mulai dikurangi karena alasan artistik dan ekonomi.
2.2.2 Sejarah Perkembangan Orkestra di Indonesia Hadirnya musik orkestra di Indonesia disebabkan oleh adanya kontak dengan bangsa-bangsa Barat. Pengaruh Barat dalam hal seni telah banyak terjadi seperti yang diungkapkan oleh R.M. Soedarsono berikut ini, Pengaruh Barat (Eropa) yang berawal sejak datangnya para pedagang Portugis, yang kemudian disusul oleh hadirnya orang-orang Belanda pada akhir abad XVI, sampai sekarang bisa kita saksikan dalam berbagai bentuk seni (Soedarsono, 2002: 61). Kontak awal musik Barat di pulau Jawa dapat diamati dari uraian Sumarsam yang menyebutkan adanya pelaut-pelaut Eropa yang merapat di pulau Jawa berikut ini, Pengenalan musik Eropa yang paling awal di Jawa
12 dapat ditelusuri akarnya dari musik yang dibawa oleh pelayar-pelayar kapal yang singgah di pulau Jawa pada abad XVI. Francis Drake adalah contohnya, mendarat di pantai selatan Jawa, ia menuliskan dalam buku perjalanannya bahwa musisi kapal memainkan musik untuk seorang raja (atau penguasa setempat), lalu seorang raja membalas dengan permainan musiknya. Tidak ada identifikasi musik lokal ini, apakah gamelan atau ansambel musik yang lain. Musisi kapal terdiri dari 1 pemain trumpet dan empat orang (kemungkinan pemain gesek). Trumpet adalah instrumen penting di kapal, untuk tanda-tanda penghormatan. Tahap kedua adalah musik yang dibawa oleh pedagang-pedagang Portugis . Musik mereka dibawa dan dimainkan oleh budak-budak mereka yang terdiri dari orang-orang India, Afrika dan Asia Tenggara (Sumarsam, 2003: 94). Musik Barat juga mengalami perkembangan di lingkungan keraton, sebagaimana dikemukakan Soedarsono dalam buku Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi di bawah ini: Pengaruh Barat terhadap musik sangat menonjol…Di istana-istana Jawa Tengah (termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta), musik Barat juga menyusup ke ansambel gamelan. Dalam beberapa komposisi gending atau lagu yang mengiringi tari putri bedaya dan serimpi dari keraton Yogyakarta, menyusup beberapa instrumen musik Barat, seperti genderang, trombone, terompet, dan kadang-kadang juga klarinet (Soedarsono, 2002: 61-62). Pertunjukan musik di Keraton Yogyakarta mengalami kemajuan pesat pada masa pemerintahan Sultan HB VIII (1921-1939), dengan kehadiran Walter Spies pada akhir November 1923. Spies mempunyai peran yang sangat besar terhadap perkembangan kehidupan musikal di Yogyakarta. Spies mendapat pekerjaan tetap sebagai instruktur musik dan dirigen Kraton Orkest Jogja dengan gaji 100 founsterling per bulan (John Stewell 1980: 21). Selain Kraton Orkest Jogja terdapat pula Orkes Societet de Vereeniging yang didirikan oleh tahun 1822 oleh pengusaha perkebunan di Yogjakarta. Orkes ini dipimpin oleh Attilio Genocchi dari Italia dan Carl Gotsch dari Austria (Butenweg 1966: 139-152). Perkembangan musik orkestra di Indonesia memang mengalami masa pasang-surut, pada tahun 50-an di Jakarta pernah menjadi jaman keemasan musik orkestra, namun sayang tidak ada bukti-bukti rekaman maupun catatan fisik tentang musik orkestra tersebut.
2.2.3 Apresiasi Musik Orkestra Masyarakat sebagai penikmat seni, mendapat pengalaman dengan melihat pertunjukan musik orkestra, diistilahkan dengan pengalaman seni atau respon estetik. Seperti dalam kehidupan sehari-hari, maka pengalaman seni juga merupakan sebuah pengalaman yang melibatkan perasaan, pikiran, penginderaan, dan berbagai intuisi pada manusia. Namun pengalaman seni
13 berlangsung dalam kualitas pengalaman tertentu yang kadang berbeda dengan kehidupan sehari-hari. Jakob Sumardjo (2000:16) menjelaskan, di dalam pengalaman seni, unsur perasaan merupakan kekuatan pokok yang dapat menggerakkan serta mendasari unsur-unsur potensi manusia yang lain. Dalam pengalaman seni, seseorang yang sedang menikmati karya seni kehilangan jati dirinya karena larut dalam nilai-nilai yang ditawarkan oleh benda seni. Hal ini disebut sebagai empati, yaitu melibatkan perasaan diri ke dalam sesuatu, atau memproyeksikan perasaan ke dalam benda seni lalu timbul perasaan senang. Di dalam proses empati ini, terjadi pengalaman dalam aliran dinamika kualitas seni yang menghasilkan kualitas seni yang mendatangkan rasa kepuasan, rasa penuh, rasa utuh, dan rasa sempurna dalam keselesaian. Kemampuan penguasaan teknik dalam memainkan alat musik mutlak diperlukan dalam sebuah orkestra, karena daya tarik utama dari musik adalah bunyi sebagai sumber estetik yang terus digali. Keindahan bunyi yang mempesona hanya bisa dimunculkan dengan teknik permainan yang baik pula. Pertunjukan musik orkestra ketika menampilkan 25 pemain biola yang bermain dengan gerakan serempak memunculkan pesona audio visual tersendiri. Permainan melodi yang lincah dan cemerlang oleh flute seperti burung yang berkicau dengan riangnya. Gerakan tangan conductor untuk memberikan aba-aba merupakan bagian dari pertunjukan orkestra. Yang bertugas memberikan stimulus kepada para musisi orkestra dalam upaya mengekspresikan ide-ide musikal kepada pendengar, dan para musisi pun bertindak sesuai perintah conductor dengan memainkan alat musiknya. Hal ini selaras dengan pendapat Jakob Sumardjo (2000: 74) yang menyatakan bahwa mereka (para musisi) berjuang dengan medium (alat musik) yang dipakainya, di sini dituntut ketrampilan atau penguasan teknik atas mediumnya itu. Seniman terkadang cenderung mempergunakan teknik seni yang telah baku untuk menuangkan gagasan nilai-nilai seninya. Namun perlu diingat bahwa teknik itu mempunyai keterbatasan dalam kaitannya dengan material seninya. Maka penguasaan teknik seni yang sudah baku hanya dapat merampungkan isi gagasan seni yang dibatasi oleh tekniknya. Karena terikat oleh teknik seninya, seniman hanya dapat berkutat dengan gagasan yang terbatas pula. Inilah sebabnya lahir berbagai teknik seni yang baru akibat adanya gagasan baru yang tidak mungkin dituangkan dalam teknik yang ituitu saja. Teknik seni bukanlah hal yang statis, teknologi terus berkembang demikian juga teknik seni juga terus mengalami perkembangan. Sebagai contoh pada abad XVII di Italia teknologi pembuatan senar biola yang mulai menggunakan bahan senar dengan lilitan metal. Penggunaan lilitan metal mampu membuat senar lebih kuat dalam ketegangan yang tinggi. Hal tersebut berdampak pada munculnya teknik permainan biola yang baru, seperti teknik gesekan martelle (gesekan dengan tekanan seperti pukulan martil/ palu), teknik gesekan ponticello (gesekan di dekat kam biola untuk menghasilkan
14 suara yang sengau) yang sebelumnya tidak dapat dilakukan pada senar yang bahannya masih terbuat dari usus binatang.
2.2.4 Biografi Singkat Dwiki Dharmawan
Gambar 2.3 Profile Dwiki Dharmawan
Sejak kecil Dwiki telah akrab dengan musik. Pada usia 6 tahun, ia telah belajar piano klasik dan belajar piano jazz kepada Elfa Secioria pada usia 13 tahun. Ia adalah lulusan SMA 3 Bandung Jurusan IPS, angkatan 1985. Karier profesionalnya bermula di tahun 1985 saat bergabung dengan grup musik Krakatau bersama Pra Budi Dharma, Donny Suhendra, dan Budhy Haryono. Pada tahun yang sama, Dwiki meraih penghargaan ‘The Best Keyboard Player’ pada Yamaha Light Music Contest 1985 di Tokyo, Jepang. Dwiki juga meraih Grand Prize Winner pada Asia Song Festival 2000 di Philipina. Pada tahun 1990, Dwiki memutuskan untuk menekuni berbagai musik tradisi Indonesia, dimulai dengan eksplorasinya dengan musik Sunda, tanah kelahirannya dan kemudian merilis album Mystical Mist serta Magical Match. Dwiki juga bereksplorasi dengan berbagai kekayaan tradisi mulai dari Aceh, Melayu, Jawa, Bali, dan musik-musik Indonesia Timur. Pada tahun 2005, Dwiki menjadi co-music director untuk pagelaran musik spektakular Megalithicum Quantum di Jakarta dan Bali.
15
Gambar 2.4 1st Album KRAKATAU
Bersama Krakatau, Dwiki telah melanglang buana ke berbagai benua, di antaranya, Midem-Cannes 2000 Perancis, Sziget Festival 2003 – Hongaria, Lincoln Center Out of Door Festival 2004 – New York, North Sea Jazz Festival 2005 – Belanda, Montreux Jazz Festival 2005 – Swiss serta puluhan penampilan lainnya di Cina, Jepang, Australia, Spanyol, Bulgaria, Romania, Serbia – Montenegro, Republik Ceko, Republik Slovakia, Venezuela, Malaysia, dan Singapura. Musik Krakatau telah mendapat pengakuan secara Internasional, antara lain dari Jurnal Worlds of Music yang diterbitkan di Amerika Serikat yang menyebut Krakatau sebagai bagian penting dari khazanah World Music. Hal ini karena Krakatau dianggap berhasil memadukan gamelan serta musikmusik tradisi Indonesia lainnya dengan jazz pencapaian musikal yang pas.
16
Gambar 2.5 Cover-cover Album Krakatau
Bersama Krakatau, hingga 2006 Dwiki telah merilis 8 album, yaitu First Album (1987), Second Album (1988), Kembali Satu (1989), Let There Be Life (1992), Mystical Mist (1994), Magical Match (2000), 2 Worlds (2006), dan Rhythm of Reformation (2006). Sedangkan album solo Dwiki adalah Nuansa (2002) didukung oleh musisi kaliber dunia seperti Mike Stern, Lincoln Goiness, Richie Morales, Neil Stubenhaus, Ricky Lawson dan Mike Thompson dari Amerika Serikat serta beberapa musisi Australia seperti Steve Hunter, David Jones dan Guy Strazullo. Dwiki juga bekerja sama dengan sutradara Indonesia, Garin Nugroho unutk mengerjakan tata musik dalam film-filmnya, antara lain Cinta dalam Sepotong Roti yang meraih penghargaan sebagai Penata Musik Terbaik Festival Film Indonesia 1991 serta film Rembulan di Ujung Dahan dan Rindu Kami PadaMu.
Gambar 2.6 Logo Sekolah Musik FARABI
Saat ini Dwiki mengelola sekolah Musik yang bernama Lembaga Pendidikan Musik Farabi yang memberikan pelajaran musik jazz, klasik maupun tradisional. Dwiki ingin Farabi menjadi duta penyebaran cross culture. Setiap murid akan dikenalkan tentang musik etnik dan modern. Jaringan sekolah Farabi kini tak hanya di Jakarta, namun mulai merambah Medan dan Denpasar. Total sampai tahun 2007 terdapat sembilan sekolah musik, yakni tujuh di Jakarta, dan masing-masing satu di Medan dan
17 Denpasar. Dwiki berharap dapat memperluas cabang sekolah musiknya, Farabi, hingga 45 cabang di Indonesia pada 2011. Sebagai insan musik, Dwiki juga aktif pada organisasi seni dengan menjadi anggota komite musik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) serta menjadi Ketua Bidang Luar Negeri Persatuan Artis, Penata Musik dan Pencipta Lagu Indonesia (PAPPRI). Kegiatan soosial juga dilakoninya, antara lain Dwiki menggagas konser amal 'Jazz for Aceh' yang melibatkan ratusan musisi jazz Indonesia di awal tahun 2005 dan konser 'Jazz for Jogja' ditahun 2006 bersama WartaJazz.com dan Dewan Kesenian Jakarta. Saat ini Dwiki telah bersama World Peace Orchestra dan kini 2009 ia pernah mengeluarkan album terbarunya dia launching album perdananya di GKJ (gedung kesenian jakarta) Dwiki Dharmawan World Peace Orchestra dengan peronilnya seperti Roger Burn, Walfrendo Reyes jr., Jimmy haslip (yellow jackets), Russel ferrante (yellowjackets), Indro Harjodikoro, Andy suzuki, Dewa Budjana (GIGI), Marc Antonie, Lewis Pragasam, & masih banyak lagi.
2.2.5 Keterlibatan Dwiki Dharmawan dalam Dunia Orkestra Negeri Dwiki Dharmawan sangat bangga dengan nasionalisme dan sangat percaya pada internasionalism, Dia ingin generasinya memiliki semangat untuk selalu mencari ide-ide baru dan inovasi berdasarkan kekayaan tradisi, keragaman dan pluralisme seperti yang diberikan. Karena kebesaran sebuah bangsa tercermin dalam seni dan budaya. Berbagai potongan musik Dwiki Dharmawan yang menampilkan sedikit "perubahan" saat ini sedang berlangsung dalam seni di Indonesia. Bagaimana seni tradisional mendefinisikan lingkungan budaya dapat-atau tidak mampu-untuk menghadapi tantangan membuat identitas nasional yang baru melalui kreativitas. Dwiki Dharmawan adalah salah satu musisi Indonesia yang selalu dalam pencarian kreatif gelisah, dan dia saat ini memfokuskan pada seni tradisional berbagai untuk mengembangkan ide-ide baru dan mencapai inovasi. Salah satu eksperimennya adalah sekering tari topeng (tari topeng) dengan jazz, yang dalam pikirannya merupakan perpaduan dari pengaruh nasional dan internasional. Dwiki telah menyajikan karya-karyanya di The Lincoln Center Festival Dari Pintu (New York), Chicago Cultural Center, Jazz Hot Summer, Festival Jazz Toronto, Vancouver Jazz Festival, Sziget Festival (Hungaria), Midem (Prancis), North Sea Jazz (Belanda ), Montreaux Jazz Festival (Switszerland), Temecula Jazz (AS), Java Jazz Festival serta dalam pertunjukan lain banyak di Cina, Jepang, Australia, Spanyol, Bulgaria,
18 Rumania, Serbia-Montenegro, Republik Ceko, Slovakia, Venezuela, Meksiko dan banyak lagi. Tumbuh di Bandung Jawa Barat, rumah Dwiki yang terletak di belakang Conservatory of Music Bandung, di mana ia akan pergi melihat siswa menari dengan musik gamelan. Sementara itu, yang dikelola pemerintah stasiun radio di ibu kota Bandung mengunjukkan dia kepada band-band seperti The Beatles, Rolling Stones, ELP, dan Kejadian. Ibunya, seorang penyanyi mantan, akan membawa dia ke kantor di mana ia bisa mendapatkan salinan catatan mereka. Dia mencoba mengikuti pemutaran, Keith Emerson, Rick Wakeman dan Bank Tony, dan mendapatkan inspirasi untuk belajar keyboard. Dwiki belajar musik klasik selama enam tahun sebelum mulai mengejar jazz pada usia 13 tahun, transisi bahwa mengunjukkan dia kepada John Coltrane, Charlie Parker, Joe Zawinul dan Laporan Cuaca. Pada tahun 1984, Dwiki bertemu bassis Pra Budidharma, yang akan menjadi mitra musiknya di Krakatau. Ketika ia dan Pra mulai Krakatau, tidak ada seperti itu di negara mereka. Musik yang memainkan Krakatau berasal dari sistem tonalitas gamelan, yang merupakan dasar untuk musik tradisional Sunda, Bali, dan Jawa. Krakatau menyesuaikan skala slendro dengan skala diatonis Barat dengan menggabungkan irama dan melodi unik dengan jazz, rock, dan funk, membuat kombinasi yang menarik dari budaya dan pengalaman mendengar yang bersemangat.
2.3 Data Khalayak Berikut ini merupakan target sasaran penulis dalam komunikasi visual yang akan diadakan untuk memperkenalkan serta menginformasikan perjalananperjalanan musik orkestra beliau di dunia musik Indonesia dan manca negara :
2.3.1 Target Konsumen Primer : a. Demografi - Pria dan Wanita - Usia 35 – 45 Tahun - Pekerjaan : Pekerja, Pemusik. - Kelas Sosial : B+ sampai A b. Geografi - Daerah perkotaan dan sekitarnya
19 c. Psikografi Personality - Para penggemar Dwiki Darmawan orkestra - Peduli dengan musik Etnik Indonesia - Peka terhadap situasi permusikan Indonesia Behavior - Para penikmat pertunjukkan seni musik etnik - Menyukai musik Jazz dan kolektif - Peduli terhadap kebudayaan Indonesia - Memiliki waktu luang untuk berpergian untuk menikmati musik - Kritis terhadap permusikan Indonesia Lifestyle - Suka menonton festival musik dan konser musik - Selektif dalam mendengarkan musik
2.3.2 Target Konsumen Sekunder a. Demografi - Pria dan Wanita - Usia 24 - 34 tahun - Kelas : Golongan B sampai A b. Geografi - Daerah perkotaan dan sekitarnya c. Psikografi Personality - Mencintai musik Tradisional Etnik Indonesia - Peduli dan bangga akan musik Indonesia - Konservatif dan para pemusik Behavior - Para Penikmat Musik Jazz Etnik - Kritis dalam dunia permusikan Indonesia - Hobi dan kolektif dalam buku musik Lifestyle - Para penggemar festival musik dan konser musik - Menyukai sesuatu yang baru dalam musik dan sebagai referensi - Para penikmat musik indie
20
2.4 Kerangka Buku Halaman Judul Dalam Colofon Daftar Isi Prologue Isi Buku Chapter One Etnik Jazz Sebagai Jati Diri Chapter Two Dulu Kini dan Nanti Chapter Three The Maturity Stage
2.5 Spesifikasi Buku Ukuran buku : 22.5 x 30 CM Halaman : 98 Halaman Full Color Binding : Perfect Binding Kertas : Spendorgel 160 gr.
2.6 Data Penerbit
Gambar 2.7 Logo R&W Publishing
R & W Publishing didirikan di Jakarta pada tahun 2004 dan dinamai warna bendera nasional Indonesia membawa semangat untuk mempromosikan seni dan sejarah bahasa Indonesia ke khalayak internasional. Ini mencakup seni, fotografi, desain, arsitektur-infrastruktur, budaya, musik dan fashion. R & W buku diakui atas berkualitas tinggi mereka, desain isi subjek, dan produksi.
21 2.7 Analisa Kasus Faktor S.W.O.T Strength (Kekuatan) - Memiliki unsur musik Jazz Eksperimental Kontemporer Etnik yang kental sehingga memiliki Stopping Power yang kuat. - Memiliki ciri khas dalam bidang orkestra musik. - Kuat dalam fotografi sehingga mampu memberikan mood terhadap para pembaca dan para penggemar. - Banyak penghargaan yang sering ia dapatkan baik dalam negeri sendiri maupun di luar negeri sehingga dapat dilihat didalam buku ini. - Melihat penghargaan yang sering diterima oleh beliau, membuat karyanya merupakan legenda yang harus dikembangkan.
Weakness (Kelemahan) - Banyak sekali karya-karyanya yang tidak terpublikasi sehingga tidak dapat masuk dalam buku karya ini. - Sosialisasi yang kurang menyebar saat promosi dan distribusi sehingga tidak menjadi bahan pembicaraan khalayak umum. - Kurang adanya minat masyarakat modern terhadap musik etnik tradisional sehingga buku ini tidak tersebar dengan baik.
Opportunity (Kesempatan) - Dengan keadaan masyarakat yang jenuh dengan kondisi industri musik Indonesia saat ini, Dwiki Dharmawan dapat hadir dengan memberikan warna baru di blantika musik Indonesia. - Masyarakat sudah mulai dapat mengapresiasikan musik jazz etnik lewat banyaknya konser musik jazz setiap tahunnya.
Threat (Ancaman) - Persaingan yang ketat antara sesama Orkestra yang berkembang secara modern sehingga mampu menutup berkembangnya musik tradisional di manca negara. - Tekanan dari industri musik dari musisi lain maupun dari dalam sehingga dapat menyebabkan kualitas musik etnik Dwiki menurun.