BAB II DATA DAN ANALISA
2.1 Metode Penelitian Dalam proses pembuatan makalah ini, diperlukan beberapa beberapa metode, yaitu : 1. Kajian pustaka Berupa data yang didapat dari buku – buku mengenai etnis Tionghoa, Pecinan dan sejarah Kota Semarang, artikel di internet, dan media massa. 2. Hasil pengamatan langsung berupa foto dan wawancara di lapangan.
2.1.1
Referensi Buku “Riwayat Semarang” Buku ini mengisahkan tentang sejarah kota Semarang dari sudut masyarakat Tionghoa. Didalamnya terdiri dari berbagai macam catatan-catatan yang dibuat oleh bangsa Tionghoa pada zaman yang telah lalu, yang dikumpulkan dan disajikan kembali oleh penulis Liem Thian Joe. Buku ini ditulis tahun 1933. Dalam buku ini penulis mendapatkan informasi mengenai betapa kuatnya budaya Cina di kota Semarang pada masa lalu. Penulis mendapatkan data mengenai kapan datangnya orang Tionghoa pertama di kota Semarang, dan apa saja kegiatan, kejadian, pergerakan, perubahan, dan perkembangannya pada masa itu. Dalam buku ini juga terdapat kisah-kisah mengenai terbentuknya jalan-jalan dan gang-gang di Pecinan semarang.
2.1.2
Referensi Buku “Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa” Berbeda dengan buku Riwayat Semarang, Buku Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa menceritakan kisahnya dengan lebih ringan, namun tetap berisi. Buku ini terdiri dari tulisan-tulisan Onghokham mengenai Tionghoa Peranakan di Jawa. Buku ini menceritakan tentang awal mula penduduk Tionghoa masuk ke Jawa, hubungannya dengan pemerintahan kolonial dan penyatuannya dengan masyrakat Bumiputera. Dalam buku ini terdapat banyak fakta-fakta mengenai sejarah, kebiasaan, dan sifat masyrakat Tionghoa di tanah Jawa.
2.1.3
Referensi Buku “Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina” Satu lagi buku karya Onghokham mengenai etnis Tionghoa di Indonesia. Buku ini lebih banyak menyorot ke sisi sejarah dan politik pada masa itu. Penulis tidak banyak mengambil data dan informasi dalam buku ini, tetapi terdapat beberapa bagian yang cukup menjelaskan awal mula kedatangan masyarakat Cina di Indonesia. 3
4 2.1.4
Referensi Buku “Semarang Sepanjang Kenangan” Buku karya Djawir Muhammad ini dapat dikatakan cukup lengkap mengupas tentang seluk beluk kota Semarang. Sejarah singkat, wisata, hingga fakta-fakta menarik mengenai Kota Semarang.
2.1.5 Referensi Buku “Pecinan Semarang: Dari Boen Hian Tong sampai Kopi Semawis” Buku ini berisi informasi mengenai perkumpulan-perkumpulan Tionghoa di Kota Semarang. baik yang bergerak dibidang sosial, keagamaan, seni dan budaya, hobi, pendidikan, maupun kesehatan. Buku ini merupakan gambaran aktivitas orang-orang Tionghoa yang beragam dari tahun 1876 hingga sekarang. 2.1.6
Referensi Katalog “Pasar Imlek Semawis 2006” Katalog Pasar Imlek Semawis ini cukup banyak mengupas wilayah Pecinan Semarang. Didalamnya terdapat berbagai informasi mengenai segala sesuatu yang ada di Pecinan beserta peta kawasan Pecinan Semarang.
2.1.7 Referensi Karya Tulis Ilmiah “Pengembangan Pecinan Semarang Sebagai Kawasan Wisata Warisan Budaya Berdasarkan Persepsi Masyarakat Setempat” Hasil karya tulis ilmiah karya Ryanto, Jurusan Perencanaan Wilayah Dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro 2004 ini berisi tentang seputar pengembangan Pecinan Semarang sebagai kawasan wisata budaya. Topik karya tulis ini sangat relevan dengan perancangan yang Penulis lakukan, sehingga banyak data-data penting yang dapat Penulis ambil untuk kelengkapan data yang Penulis butuhkan. 2.1.8 Referensi Buku “Semarang City, A Glance into the Past” Buku karya Jongkie Tio ini membahas tentang sejarah kota Semarang dengan disertai foto-foto sebagai konten pendukung. Banyak chapter dalam buku ini yang membahas mengenai kedatangan bangsa Cina, sejarah pecinan, hingga hal-hal yang tidak banyak orang yang tahu mengenai seluk beluk Pecinan Semarang. Banyak materi dalam buku ini yang sangat relevan dengan kebutuhan karya Tugas Akhir Penulis, juga informasi dalam mencari objek menarik untuk didokumentasikan. 2.1.9 Referensi Karya Tulis Ilmiah “Melacak Sejarah Pecinan Semarang Melalui Toponim” Hasil karya tulis ilmiah karya Titiek Sulyanti ini berisi informasi mengenai asal kata gang-gang, jalan-jalan, dan desa-desa di Pecinan Semarang.
5 Informasi yang lengkap dan jelas menjadikan karya tulis ilmiah ini menjadi sumber yang sangat penting untuk penyusunan buku untuk kaya Tugas Akhir Penulis sekaligus sebagai tambahan konten informasi mengenai ganggang di Pecinan. 2.1.10 Literatur Internet Beberapa refrensi literatur yang di ambil dari internet antara lain: 1. http://asalusulbudayationghoa. blogspot.com Blog ini merupakan kumpulan dari kliping serta materi-materi menarik yang penulisnya, Utamin Irfan kumpulkan dari hasil pencarian asal-usul dari berbagai hal mengenai budaya masyarakat Tionghoa. Blog ini juga berisi tentang cerita rakyat dan legenda mulai zaman dinasti pertama sampai dengan asal mula perayaan masyarakat Tionghoa, terlepas dari kepercayaan dan unsur keagamaan yang dianut. 2. http://pecinan.net/ Situs ini membahas tentang pecinan, bukan saja hanya pada pengertiannya, tetapi juga perkembangan dan penyebarannya di Indonesia, hingga keberadaan kawasan Pecinan di beberapa negara di belahan dunia. 3. http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Semarang Artikel dari Wikipedia ini menjelaskan mengenai kota Semarang secara keseluruhan. Penulis mengambil artikel ini untuk dijadikan data untuk penjelasan mengenai Kota Semarang.
2.1.11 Wawancara Penulis menyadari bahwa diperlukannya sebuah wawancara untuk mendapatkan keotentikan data yang lebih akurat. Metode yang dipakai adalah diskusi dan perbincangan dengan Kasi Informasi dan Dokumentasi, Bidang Pemasaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, Ibu Tri Rahayu. Penulis sangat terbantu dengan informasi yang diperoleh, sehingga lebih memudahkan penulis untuk mengidentifikasi masalah. Ibu Tri Rahayu menjelaskan mengenai bagaimana potensialnya Semarang untuk dijadikan kota wisata, karena Semarang merupakan kota dengan akulturasi dari banyak budaya, Cina, Eropa, dan Arab. Wisata yang saat ini di unggulkan adalah Kota Lama Semarang, wisata religi, dan wisata kuliner. Wisata Semarang sedang gencar-gencarnya digalakan, melalui program Visit Jateng 2013. Upaya lain yang dilakukan untuk mendukung program tersebut adalah dengan menata infrastruktur yang ada, seperti menata jalan untuk pejalan kaki dan lampu-lampu jalan disekitar Jalan Pemuda, sebagai jalan utama di kota Semarang.
6 Sedangkan dalam hal promosi, beberapa promosi telah banyak dilakukan, seperti Iklan TV, iklan di airport TV, media cetak, koran, website, pameran, dan brosur. Ibu Tri dalam perbincangannya dengan Penulis, mengatakan bahwa Pecinan Semarang juga memiliki potensi wisata yang cukup besar, sebagian telah direalisasikan lewat Warueng Semawis, yaitu tempat wisata kuliner dan sovenir di Jalan Gang Warung, Pecinan Semarang. Dalam kesempatan ini Ibu Tri juga membagikan kepada Penulis beberapa brosur-brosur wisata Semarang, terdapat beberapa wisata, namun belum terdapat promosi wisata Pecinan. Selain itu, Penulis juga berkesempatan untuk melakukan tanya jawab seputar jumlah wisatawan yang berkunjung di Kota Semarang, selama kurun waktu 2010 hingga 2011, beserta target kunjungan wisata di tahun 2012-1014. Setya Darmawati dari bagian Perencanaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, yang biasa disapa Mbak Ati, memaparkan sejumlah data diantaranya adalah: Tahun Wisatawan Nusantara Wisatawan Mancanegara Total Jumlah Wisatawan
2010 1.887.673 22.230 1.909.933
2011 2073.046 27.880 2.100.926
Tabel 2.1
Mba Ati, memaparkan bahwa kenaikan jumlah wisatawan terjadi setiap tahunnya seiring dengan sejumlah promosi wisata yang dilakukan. Target yang ingin dicapai adalah kenaikan sebesar 6% dari jumlah wisatawan tahun sebelumnya setiap tahunnya. Dengan data yang disajikan dapat disimpulkan bahwa Semarang dengan telah berhasil menaikan kunjungan wisatawan setiap tahunnya dengan sarana promosi yang telah dilakukan oleh Bidang Pemasaran dinas ini, diharapkan dengan adanya buku publikasi Pecinan Semarang dapat meningkatkan lagi kunjungan wisatawan ke Kota Semarang. Selain itu, penulis juga mendapatkan kesempatan untuk bertemu budayawan Jongkie Tio yang juga merupakan penulis buku “Semarang City, a Glance into the Past”. Bertemu dengan beliau, Penulis mendapatkan banyak informasi, cerita, sejarah mengenai Pecinan Semarang yang sangat berguna dalam penulisan buku yang akan Penulis susun. Penulis bertemu dengan beliau di Restoran Semarang, yaitu restoran yang menjual kuliner khas Peranakan milik Bapak Jongkie Tio. Di sana Penulis disuguhkan keramahan, makanan lezat, dan ilmu pengetahuan dari Budayawan Semarang, Jongkie Tio.
7 2.1.12 Survei Lapangan Penulis juga menyadari pentingnya merasakan sendiri pengalaman, atmosfer dan suasana dari Kawasan Pecinan Semarang itu sendiri. Oleh karena itu penulis juga melakukan survei lapangan dengan metode pengamatan langsung dan dokumentasi. Penulis melakukan perjanan menyusuri daerah pertokoan di Pecinan; Jalan Wotgandul, Jalan Gang Pinggir, dan Jalan Gang Warung. Mengunjungi tempat-tempat kuliner terkenal, seperti lumpia yang terdapat di Jalan Gang Lombok, Pia Cap Bayi di Gang Pinggir dan berjalan-jalan sepanjang Gang Baru, Gang Gambiran, Gang Besen, Gang Belakang, Jalan Petudungan, Jalan Sebandaran, dan Jalan Petolongan. Melihat-lihat klenteng-klenteng di kawasan tersebut, dan mengunjungi klenteng terbesar, Tay Kak Sie, tertua Siu Hok Bio, See Hoo Kiong dan Hwie Wie Kiong di Jalan Sebandaran, Hoo Hok Bio, Tek Hay Bio, Ling Hok Bio, Tong Pek Bio dan Rumah Abu Kong Tik Soe. Dalam perjalanannya, Penulis bertemu dengan beberapa orang yang dapat di jadikan narasumber untuk membagi cerita seputar Pecinan, diantaranya adalah Bapak Ahmad, penjaga Klenteng Hwie Wie Kiong, Mbah Max dari Klenteng Hoo Hok Bio, Om Liem di Klenteng Siu Hok Bio, dan penguruspengurus klenteng yang bersedia membagi cerita yang sangat bermanfaat.
Gambar 2.1
8
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.4
9
Gambar 2.5
Gambar 2.6
Gambar 2.7
10
Gambar 2.8
Gambar 2.9
Gambar 2.10
11 2.2 Definisi Peranakan Tionghoa Menurut salah satu literatur dari Internet yaitu, http://asalusulbudayationghoa. blogspot.com. Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Sedangkan istilah peranakan Tionghoa pertama kali digunakan oleh Bangsa Belanda di abad ke 18 untuk menyebut para keturunan imigran Tionghoa yang datang dari Tiongkok beberapa waktu sebelumnya. Seiring dengan berjalannya waktu, istilah peranakan Tionghoa disingkat menjadi peranakan saja. Dalam bahasa Indonesia, semua sudah seperti sepakat bahwa sebutan Tionghoa adalah yang paling menyenangkan. Tionghoa sudah berarti ''orang dari ras Cina yang memilih tinggal dan menjadi warga negara Indonesia''. Kata Tionghoa sudah sangat enak bagi suku Cina tanpa terasa ada nada, persepsi, dan stigma mencina-cinakan. Kata Tionghoa sudah sangat pas untuk pengganti sebutan ''nonpri'' atau ''cina''. Masyarakat Tionghoa di Indonesia pernah terbagi dalam tiga golongan besar: totok, peranakan, dan hollands spreken. Yang tergolong totok adalah mereka yang baru satu turunan di Indonesia (orang tuanya masih lahir di Tiongkok) atau dia sendiri masih lahir di sana lalu ketika masih bayi diajak xia nan yang, atau istilah totok juga disebutkan kepada mereka yang saat ini masih memegang teguh adat istiadat leluhurnya. Sama seperti suku lainnya di Indonesia misalnya yang masih memegang teguh urutan upacara pernikahan, persalinan ataupun lainnya. Yang hollands spreken adalah yang dimana pun lahirnya- menggunakan bahasa Belanda, mengenakan jas dan dasi, kalau makan pakai sendok dan garpu, dan ketika Imlek tidak mau menghias rumah dengan pernik-pernik yang biasa dipergunakan oleh peranakan maupun totok karena dianggap kuno atau tidak sesuai atau tidak logis akibat tidak memahami sama sekali arti dibalik asal usul tersebut. Sedangkan yang disebut peranakan adalah yang sudah beberapa keturunan lahir di tanah yang kini bernama Indonesia, kebanyakan tidak lagi menggunakan bahasa suku (Hokkian, Hakka atau lainnya) ataupun Bahasa Mandarin sebagai bahasa ibu yang dipercakapkan dirumah. (Irfan Utamin, http://asalusulbudayationghoa. blogspot.com, 2012) Berdasarkan Volkstelling (sensus) pada masa Hindia Belanda, populasi TionghoaIndonesia mencapai1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia di tahun 1930. Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961. (Wikipedia, TionghoaIndonesia, 2012)
12 2.3 Sekilas Tentang Kota Semarang Kota Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Semarang merupakan kota yang dipimpin oleh wali kota Drs. H. Soemarmo HS, MSi dan wakil wali kota Hendrar Prihadi, SE, MM. Kota ini terletak sekitar 466 km sebelah timur Jakarta, atau 312 km sebelah barat Surabaya, atau 624 km sebalah barat daya Banjarmasin. Semarang berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Demak di timur, Kabupaten Semarang di selatan, dan Kabupaten Kendal di barat. Sejarah Semarang berawal kurang lebih pada abad ke-8 M, yaitu daerah pesisir yang bernama Pragota (sekarang menjadi Bergota) dan merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Daerah tersebut pada masa itu merupakan pelabuhan dan di depannya terdapat gugusan pulau-pulau kecil. Akibat pengendapan, yang hingga sekarang masih terus berlangsung, gugusan tersebut sekarang menyatu membentuk daratan. Bagian kota Semarang Bawah yang dikenal sekarang ini dengan demikian dahulu merupakan laut. Pelabuhan tersebut diperkirakan berada di daerah Pasar Bulu sekarang dan memanjang masuk ke Pelabuhan Simongan, tempat armada Laksamana Cheng Ho bersandar pada tahun 1405 M. Di tempat pendaratannya, Laksamana Cheng Ho mendirikan kelenteng dan mesjid yang sampai sekarang masih dikunjungi dan disebut Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu). Penduduk Semarang umumnya adalah suku Jawa dan menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Agama mayoritas yang dianut adalah Islam. Semarang memiliki komunitas Tionghoa yang besar. Seperti di daerah lainnya di Jawa, terutama di Jawa Tengah, mereka sudah berbaur erat dengan penduduk setempat dan menggunakan Bahasa Jawa dalam berkomunikasi sejak ratusan tahun silam. (Wikipedia.org, Kota Semarang, 2012) 2.4 Sekilas Sejarah Peranakan Tionghoa di Semarang Kota Semarang seperti diketahui merupakan kota nomor tiga di Jawa tengah. Pada Tahun 1930 penduduknya berjumlah 217.775 jiwa dengan keturunan Tionghoa berjumlah 27.451 orang. Meskipun dalam sejarah telah diakui bahwa hubungan antara orang Tiongkok dan Jawa sudah terjadi beratus-ratus tahun lamanya, tetapi diperkirakan pada tahun 1416 sudah ada orang Tionghoa yang menginjakan kakinya di daerah Semarang. (Liem Thian Joe, 2004: 1) Pada tahun 1672 jumlah orang Tionghoa di Semarang sudah jauh lebih besar. Beberapa di antara rumah-rumah mereka mulai dibangun dari tembok dan berpayon genteng. Tukang-tukang-nya pun terdiri dari orang-orang Tionghoa yang diundang dari Batavia. Menurut keterangan Tuan J.H. Tops dalam buku Overzicht van de Javaaesche Geschiedenis, sejak tahun 1530 di Batavia telah banyak orang Tionghoa yang mendirikan gedung-gedung mereka yang indah. Dengan demikian kira-kira satu abad terakhir di Semarang baru berdiri gedung-gedung dengan gaya Tionghoa. Rumah tembok yang terlebih dulu didirikan di Semarang ialah Pacinan Lor dan Pacinan Wetan, atau yang sekarang disebut Gang Warung dan Gang Pinggir. (Liem Thian Joe, 2004: 14)
13 Perdagangan yang dilakukan orang Tionghoa atau perdagangan dari Tiongkok semakin banyak saja, terutama kertas kain, sutera dan barang tanah (mangkuk dan piring). Hal lain yang perlu dicatat adalah pada masa itu, di Semarang terdapat banyak nyonya Tionghoa. Yang berasal dari ayah Tionghoa dan ibu Pribumi. Sifatsifat kelompok nyonya ini tidak berbeda jauh dengan perempuan Pribumi asli. Terlebih lagi adat-istiadat dari kaum Pribumi banyak digunakan di kalangan ibu-ibu Tionghoa (peranakan) di Jawa. Contohnya saja kebiasaan memakai kain dan baju kurung (sekarang disebut kebaya encim), potong gigi (digusar), mengunyah sirih, menghitamkan gigi, jongkok, yang tidak terdapat di kebiasaan perempuan Tiongkok. (Liem Thian Joe, 2004: 15) 2.5 Definisi Pecinan Pecinan berasal dari bahasa Jawa yang berarti suatu wilayah (tempat tinggal) yang mayoritas penghuninya adalah warga Tionghoa atau warga keturunan China. Selain sebagai pusat hunian warga keturunan Tionghoa, pecinan juga berfungsi sebagai pusat ekonomi dan perdagangan. Dalam bahasa Inggris, Pecinan disebut Chinatown. Hampir di setiap kota besar terdapat wilayah Pecinan, yang sering disebut juga sebagai Kampung Cina. Pecinan yang terkenal di Jawa adalah Pecinan di kota Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta dan Magelang. Di daerah Pecinan umumnya terdiri dari ruko (singkatan dari “rumah toko”) dan terdapat klenteng (dulunya disebut kuil) yang merupakan tempat bersembahyang / tempat pemujaan dewa-dewi kepercayaan warga Tionghoa. Ruko yang ada di sepanjang Pecinan digunakan untuk tempat berdagang atau berjualan sekaligus tempat tinggal warga Tionghoa. Bangunan dan rumah yang ada di kawasan Pecinan dapat terlihat dari ciri – ciri fisiknya yang pada umumnya berupa bangunan berlantai dua. Lantai satu pada umumnya dipakai sebagai tempat usaha, sedangkan lantai dua sebagai tempat tinggal. (pecinan.net, 2012) 2.6 Sekilas Mengenai Pecinan di Semarang Warisan budaya Cina masih dapat dirasakan di kawasan Pecinan yang dimulai dari sejumlah gang antara lain Gang Baru, Gang Mangkok, Gang Pinggir, Gang Warung, Gang Tengah, Gang Besen, dan lain-lain. Nuansa etnis Cina makin terasa dengan keberadaan Klenteng yaitu tempat sembahyang untuk umat Tridarma (Khong Hu Cu, Tao dan Budha). Kawasan Pecinan Semarang mempunyai 9 klenteng yang letaknya tersebar di kawasan tersebut dan diantara kesembilan klenteng tersebut yang terbesar adalah Klenteng Tay Kak Sie di Gang Lombok. Keberadaan Klenteng-klenteng tersebut merupakan salah satu keunikan yang dimiliki Pecinan Semarang dibandingkan dengan kawasan Pecinan lain di nusantara, bahkan ada yang menyebut kawasan Pecinan di Semarang sebagai surganya Pecinan di Indonesia dengan eksotika 1001 klenteng dimana hampir di setiap ujung gang di kawasan ini terdapat klenteng yang masing-masing mempunyai keistimewaan tersendiri.
14 Selain keberadaan klenteng, keunikan lain adalah masih banyak ditemukannya bangunan tempat tinggal yang bercorak ke-Cinaan dengan bentuk atapnya yang khas dan ornamen-ornamen detail lainnya seperti bentuk konsol, daun pintu dan jendela. Kawasan Pecinan Kota Semarang tidak hanya kaya dari segi arsitekturnya yang khas seperti bangunan klenteng, namun sekaligus kaya juga dengan berbagai budaya-budaya ke-Cinaan yang masi terasa disetiap sudut gang-gang di kawasan tersebut. (Riyanto, 2004:3)
2.7 Spesifikasi Buku Naskah Penyelenggara Penerbit Kerangka buku
: Anastasia Dwirahmi : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang : R&W Publishing : 1. Cover 2. Halaman judul dalam 3. Pembuka 4. Daftar Isi 5. Pengantar 6. Peta Pecinan 7. Sekilas Mengenai Pecinan Semarang 8. Isi 9. Daftar Pustaka
2.8 Target Audience Geografis • Tinggal di daerah perkotaan • Wilayah kota-kota besar di Indonesia Demografis • Jenis kelamin pria dan wanita • Usia 20 - 40 tahun • Status ekonomi atas dan menengah (A-B) Psikografis Secara lebih lanjut memiliki kepribadian sebagai berikut : • Menyukai kegiatan wisata/ travelling • Tertarik pada hal-hal yang berhubungan dengan sejarah dan budaya • Memiliki kecintaan pada warisan budaya Indonesia • Memiliki ketertarikan pada budaya Peranakan Tionghoa • Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi • Menyukai menemukan dan menjelajahi tempat baru • Mengapresiasi seni dan kerajinan tangan • Menyukai hal-hal yang otentik dan antik • Berwawasan luas
15 • • • • • •
Tertarik dengan fotografi Kolektor barang – barang tertentu Menyukai tempat-tempat berbelanja seperti, Alun-alun Indonesia Memilih tempat perbelanjaan seperti Plaza Indonesia, Grand Indonesia, Senayan City, Pondok Indah Mall Membeli buku di toko buku Aksara, Kinokuniya atau Periplus Menghabiskan waktu luang dengan bersantai di café, seperti Starbuck
2.9 Data Penerbit
Buku ini akan diterbitkan oleh Red and White Publishing yang merupakan penerbit internasional dengan fokus menerbitkan buku-buku visual arts bersubjek tentang Indonesia. Penerbit yang namanya diambil dari warna bendera nasional Indonesia telah berdiri sejak 2004 ini memang memfokuskan diri untuk mempromosikan seni budaya dan sejarah Indonesia ke dunia internasional. Buku terbitannya terfokus pada bidang seni, fotografi, desain arsitekstur, budaya, musik, dan fashion. Atas dasar inilah Red & White Publishing merupakan penerbit yang tepat karena sesuai dengan visi misi-nya untuk mengangkat salah satu kekayaan budaya di Indonesia mengenai wisata budaya dan sejarah di Kota Semarang.
2.10 SWOT 2.9.1 Strength •
Belum ada buku yang membahas mengenai pengalaman menyusuri peninggalan sejarah dan budaya Pecinan di Semarang
•
Memberikan informasi wisata mengenai sejarah dan budaya Pecinan Semarang melalui visual buku yang menarik tidak terpaku dengan teks
•
Buku dapat digunakan sebagai panduan wisata sekaligus alat promosi wisata mengenai daerah Pecinan di Semarang
•
Ringan, tanpa muatan informasi yang berat, mudah dipahami oleh masyarakat umum, tidak harus mengerti sejarah dan budaya
•
Didukung nilai tambah berupa visual yang memanjakan mata
2.9.2 Weakness •
Buku ini sebagai panduan wisata kurang bersifat praktis
16 2.9.3 Opportunity •
Terdapat grup seperti ASPERTINA (Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia), KOPI SEMAWIS (Komunitas Pecinan Semarang untuk Wisata) dan DJEJAK PECINAN sehingga ada potensi buku ini dapat diterima baik oleh publik
•
Belum ada kompetitor buku lokal yang mengangkat tema Pecinan di Semarang ditujukan bagi masyarakat menengah ke atas
•
Semarang telah menjadi salah satu destinasi wisata Indonesia, sehingga buku ini dapat dijadikan salah satu media promosi wisata Semarang
2.9.4 Threat •
Kurangnya perhatian masyarakat umum terhadap pentingnya keberadaan dan kelestarian budaya Pecinan Semarang sebagai salah satu warisan dari kekayaan historis milik Indonesia
•
Terdapat buku-buku panduan wisata yang bersifat lebih praktis dan meluas hingga seluruh wisata di Semarang
48
54