BAB II DATA DAN ANALISA
2.1 Sumber Data Untuk mendukung latar belakang pembuatan proyek, penulis telah melakukan survey pada masyarakat Indonesia terutama remaja dewasa melalui web dan menyebarkan angket di sekolah-sekolah. Sumber data untuk penelitian cerita didapat dari berbagai buku tentang kebudayaan Indonesia beserta bahasa, dan rumah adat. Lokasi yang telah dikunjungi untuk referensi adalah TM II dan beberapa museum budaya. Ada pula beberapa website yang juga memiliki database tentang kebudayaan Indonesia. 1. M anusia dan kebudayaan di Indonesia 2. Kompendium Sejarah Arsitektur Jilid 1 3. Sadur-Sejarah Terjemahan di Indonesia dan M alaysia 4. Kepulauan Nusantara-Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian M anusia dan Alam 5. M inangkabau-Tradisi dan Perubahan 6. Anjungan daerah di TM II Jakarta 7. organisasi.org Untuk mendukung data karakter, penulis juga telah mewawancarai seorang orang asli M inang di anjungan M inangkabau di TM II tentang budaya M inang dulu dan sekarang.
3
Untuk data tentang animasi dan seri animasi di dalam dan luar negeri, penulis mengumpulkan data dari artikel dan web.
2.2 Hasil Survey Berikut merupakan hasil survey terhadap 160 responden penduduk Indonesia dengan perbandingan 89 orang perempuan dan 71 orang laki-laki. Survey dilakukan secara online menggunakan KwikSurvey dan manual. Penulis menginput hasil survey secara manual ke web supaya lebih mudah untuk dikalkulasi. Rasio usia adalah sebagai berikut: 1% (1 orang) berusia kurang dari 13 tahun, 26% (42 orang) berusia 13-16 tahun, 21% (34 orang) berusia 17-20 tahun, 34% (55 orang) berusia 21-25 tahun, 14% (22 orang) berusia 26-30 tahun, dan 4% (6 orang) berusia lebih dari 30 tahun. Ini berarti 95% dari responden adalah sasaran khalayak dengan perbandingan 60% dari total responden adalah sasaran primer dan 35% adalah sasaran sekunder. Penulis akan membahas pertanyaan-pertanyaan vital saja di bagian ini sedangkan untuk hasil survey secara keseluruhan dapat dilihat di lampiran.
Berikut merupakan hasil pertanyaan ketiga mengenai kesukaan terhadap film animasi:
160
Gambar 2.1 Perbandingan jawaban pertanyaan survey ketiga
140 120 100 80
Ya
60
Tidak
40 20 0 Jumlah
4
93% menjawab "ya" sedangkan 7% menjawab "tidak" maka bisa disimpulkan hampir semua orang menyukai film animasi.
Berikut merupakan hasil pertanyaan keempat mengenai seberapa seringnya mereka menonton film animasi:
60
Gambar 2.2 Perbandingan jawaban pertanyaan survey keempat
50 40 rutin 30
kadang
20
jarang
10 0 Jumlah
Dalam opsi ini, yang didefinisikan sebagai "jarang" adalah sebulan sekali atau kurang sedangkan "kadang-kadang" adalah seminggu atau dua minggu sekali dan "rutin" adalah seminggu sekali atau lebih. 43% dari mereka punya frekuensi menonton yang rutin dan 33%nya kadang-kadang sisanya 24% mengatakan jarang. Orang-orang yang menjawab rutin kemungkinan besar adalah orang yang mengikuti sebuah serial animasi minimal satu judul per minggunya, statistik ini memperkirakan besarnya pasar potensial terhadap produk animasi serial di kalangan sasaran khalayak.
Berikut merupakan hasil pertanyaan ketujuh mengenai seberapa banyaknya orang pernah tertarik pada sebuah tema yang dibawakan oleh film animasi:
5
12 0
Gambar 2.3 Perbandingan jawaban pertanyaan survey ketujuh
10 0 80 Ya
60
Tidak 40 20 0 J um la h
Yang menjawab "Ya" berjumlah 71%nya sehingga dapat kita simpulkan, animasi adalah sebuah medium yang dapat mempengaruhi seseorang.
Berikut merupakan hasil pertanyaan kedelapan yang merupakan lanjutan dari nomor tujuh mengenai seberapa jauh mereka menanggapi rasa ingin tahu tersebut:
Gambar 2.4 Perbandingan jawaban pertanyaan survey kedelapan
70 60 50 40
Ya
30
Tidak
20 10 0 Jumlah
65% menjawab "Ya", akhirnya mereka mencari sendiri informasi lebih lajut jika mereka tertarik terhadap sebuah tema. Ini menggambarkan sebuah pasar yang tidak pasif dan
6
cukup diberi sedikit informasi karena bila mereka sudah tertarik, mereka dapat mencari tahu sendiri informasi-informasi selanjutnya.
Berikut merupakan hasil pertanyaan kesembilan mengenai kepopuleran animasi produksi dalam negeri di kalangan masyarakat terutama sasaran khalayak:
Gambar 2.5 Perbandingan jawaban pertanyaan survey kesembilan
10 0 80 60
Ya Tidak
40 20 0 J um la h
Yang menjawab "Ya" (pernah menonton animasi produksi dalam negeri) berjumlah 63%.
Berikut merupakan hasil pertanyaan kesepuluh yang merupakan lanjutan dari nomor sembilan mengenai film animasi produksi lokal jenis apakah yang pernah mereka tonton:
7
60
serial pendidika n
50
iklan
40
origina l short
30
Gambar 2.6 Perbandingan jawaban pertanyaan survey kesepuluh
cerita tradisional
20
film laya r leba r 10 serial original
0 Jumlah
lainnya
Ini adalah jumlah yang memprihatinkan karena bahkan untuk bagian iklan yang telah banyak menggunakan animasi lokal, hanya 33,75% dari total responden yang pernah menonton atau menyadari bahwa itu karya lokal. Ini lebih jauh membuktikan bahwa film animasi buatan Indonesia tidak terlalu dikenal di kalangan masyarakat.
Delapan nomor berikutnya merupakan pertanyaan untuk mengetahui sebanyak apa responden mengetahui tentang budaya Indonesia yang populer dengan menanyakan pengetahuan tentang bahasa daerah, lagu tradisional, tarian adat dan rumah adat. Hasil untuk bahasa daerah tidak terlalu baik karena hampir setengah dari responden tidak menguasai satu bahasa daerahpun. Hasil untuk lagu tradisional cukup baik karena lebih dari setengah responden mengenali setengah dari jumlah lagu khas daerah yang diberikan. Tetapi hasil untuk nama tarian daerah dan rumah adat lebih buruk karena hanya kurang dari setengah yang menjawab pertanyaan gambar yang diberikan dan jawabannya pun ada yang tidak tepat atau hanya menjawab dengan nama daerah yang tak spesifik atau nama suku. Detil nomor-nomor ini dapat dilihat di lampiran. Dari sini kita
8
dapat menarik kesimpulan bahwa para responden pada umumnya kurang mengetahui tentang kebudayaan Indonesia bahkan dalam bidang umum yang kemungkinan besar sudah diajarkan di lembaga pendidikan.
2.3 Suku dan Kebudayaan di Indonesia Ada begitu banyak suku tersebar di seluruh kepulauan Indonesia, mulai dari Dayak, M entawai, Bugis, Toraja, M inangkabau dan lain-lain. M ereka masing-masing memiliki budaya dan kekhasan tersendiri yang telah membuat bangsa Indonesia unik dibandingkan seluruh bangsa lain di dunia. Dengan suku yang begitu banyak, ada berbagai macam bahasa daerah, lagu daerah, tarian adat, rumah adat dan bahkan kebiasaan unik yang bila kita ketahui dan pelajari, sangat mungkin bermanfaat untuk kemajuan bangsa saat ini. Pada umumnya, kebudayaan suku yang tinggal di sekitar Jawa, Sumatera dan Kalimantan banyak mendapat pengaruh agama karena mereka merupakan wilayah perdagangan sejak sebelum masehi. Pengaruh Hindu adalah yang pertama masuk dan berakar kuat meskipun pada perkembangannya agama Islam juga ikut menambah kekayaan budaya dan keunikan asimilasi di Indonesia. Perdagangan membuka jalan untuk perkembangan dan kemajuan peradaban suku-suku di Indonesia. M ereka membawa paham-paham kepercayaan, ilmu pengetahuan, budaya berpakaian yang lebih praktis, bahasa dan tulisan dan tentu saja, komoditi yang akhirnya dipakai pula oleh penduduk setempat. Zaman keemasan kebudayaan Indonesia dikatakan adalah pada masa kebudayaan Hindu berakar dan berasimilasi yaitu sekitar abad ke-12-15, tetapi penulis akan mengambil basis latar sekitar abad ke-15-17 di mana pedagang-pedagang dari luar
9
mulai masuk ke daerah Indonesia dan membawa pegaruh Islam. Alasannya adalah karena saat itu adalah masa di mana agama Islam mulai berkembang dan pengaruh modern mulai masuk. Asimilasi budayanya akan menarik untuk diikuti di samping akan menambah kekayaan visual yang bisa ditampilkan. Dari keterangan yang telah dikumpulkan tentang suku-suku di Indonesia, diketahui bahwa suku M inang adalah suku yang memiliki semangat perantauan yang paling kuat dibandingkan suku lain. M eskipun suku lain punya sejarah perantauan dan imigrasi tapi biasanya mereka hanya melakukannya karena terpaksa atau ada kejadian yang mendorong mereka. Hal ini dirasa sangat mendukung untuk pembentukan karakter tokoh utama yang berjiwa petualang. Pada zaman niaga dahulu, pulau Jawa adalah yang paling terkenal keindahan dan kekayaan alamnya, ini mendasari penulis untuk mengambil latar Jawa untuk beberapa episode pertama. Karena tokoh utama kedua direncanakan untuk punya latar budaya yang berbeda dari tokoh pertama maka diambillah budaya Jawa. Daerah-daerah lain yang akan ikut dibahas adalah Yogyakarta, Bali, dan Flores. Daerah-daerah ini dipilih secara spesifik untuk tiga belas episode season pertama karena dinilai cukup dapat mewakili kebudayaan yang ada di sekitarnya. yaitu Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Kejawen, Bali sebagai pusat wakil dari kebudayaan Bali dan NTB dan Flores (suku M anggarai) sebagai wakil dari kebudayaan NTT.
2.3.1 Kebudayaan Minangkabau
2.3.1.1 Minangkabau S aat Ini
10
Suku M inang adalah suku yang sudah banyak menyebar ke seluruh penjuru Indonesia, jadi para pembawa kebudayaan M inangkabau tidak hanya ada di Sumatera Barat. Bahkan sebenarnya suku M inangkabau yang ada di Sumatera Baratpun tidak selalu membawa kebudayaan lama asli M inang. Kebanyakan sudah terpengaruh asimilasi kebudayaan dari segi agama dan daerah yang seringkali menjadi tempat perantauan. Para pendatang juga membawa budayanya sendiri yang akhirnya sedikit banyak mengubah kebudayaan M inang pula. Dan karena hal-hal inilah sekarang rumah adatnya, rumah Gadang, sudah terancam punah karena tidak ada lagi yang mendirikan yang baru.
2.3.1.2 Paham dan S usunan S osial M asyarakat M inang bersifat desentralistis. Kekuasaan ada di nagari-nagari (republik-republik kecil di desa). Kekuasaan dibagi dengan fungsional: ninik-mamak mengurus adat, alim ulama mengurus agama, cerdik-pandai mengurus masalah keduniawian, dan manti/dubalang mengurus keamanan nagari. Keselarasan terdapat dalam hubungan fungsi eksistensi masing-masing. Saling berhubungan tapi tidak saling mengikat, saling berbenturan tapi tidak saling melenyapkan, saling mengelompok tapi tidak saling meleburkan. Orang M inangkabau menyebut tempat tinggalnya dengan alam M inangkabau dan menyebut
kebudayaannya dengan
Adat
M inangkabau.
Penyebutan
seperti itu
menunjukkan bahwa orang M inangkabau melihat diri dan masyarakat mereka sebagai bagian dari alam, maka hukum-hukum alam yang ada juga berlaku bagi masyarakat (alam) M inangkabau. Dasar filsafat mereka juga menunjukkan hal itu: Alam takambang (terkembang) jadi guru.
11
Awalnya, suku dalam kekerabatan M inang menyerupai suatu klen matrilineal dan jodoh harus dipilih di luar suku. Di beberapa daerah, orang hanya dilarang untuk kawin dalam kampungnya sendiri, di tempat lain, harus di luar suku. Pada masa dulu ada adat bahwa orang sedapat mungkin kawin dengan anak perempuan mamaknya atau gadisgadis yang dapat digolongkan demikian tetapi karena beberapa keadaan, timbul bentuk lain, seperti kawin dengan kemenakan (anak saudara perempuan) perempuan ayahnya. Seseorang juga boleh kawin dengan saudara perempuan suami saudara perempuannya sendiri (bride exchange). Antara nagari dan nagari lain bisa jadi berbeda kebudayaannya meskipun masih sama-sama suku M inang dan mereka saling menganggap orang asing. Keturunan laki-laki mereka punya kecenderungan untuk pergi keluar daerah karena tanah milik mereka akan diusahakan untuk keluarga ibunya. Alasan lainnya adalah, orang yang merasa dikalahkan karena perselisihan (sering terjadi, biasanya karena memperebutkan batas wilayah atau perempuan) akan meninggalkan kampung dan keluarga untuk menetap di tempat lain. Adat mereka berpegang pada perubahan dan adaptasi sehingga mereka memang selalu terbuka pada kebudayaan baru apalagi bila hal itu dirasa baik. Semenjak zaman kerajaan Pagaruyuang, ada tiga sistem adat yang dianut oleh suku M inagkabau yaitu : 1. Sistem Kelarasan Koto Piliang Sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Ketumanggungan. Ciri yang menonjol dari adat Koto Piliang adalah otokrasi atau kepemimpinan menurut garis keturunan yang dalam istilah adat disebut sebagai "menetes dari langit, bertangga naik, berjenjang turun" Sistem adat ini banyak dianut oleh suku M inang di daerah Tanah
12
Datar dan sekitarnya. Ciri-ciri rumah gadangnya adalah berlantai dengan ketinggian bertingkat-tingkat. 2. Sistem Kelarasan Bodi Caniago Sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang. Sistem adatnya merupakan antitesis terhadap sistem adat Koto Piliang dengan menganut paham demokrasi yang dalam istilah adat disebut sebagai "yang membersit dari bumi, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi". Sistem adat ini banyak dianut oleh suku M inang di daerah Lima Puluh Kota. Cirinya tampak pada lantai rumah gadang yang rata. 3. Sistem Kelarasan Panjang Sistem ini digagas oleh adik laki-laki dari dua tokoh diatas yang bernama M ambang Sutan Datuk Suri Dirajo nan Bamego-mego. Dalam adatnya dipantangkan pernikahan dalam nagari yang sama. Sistem ini banyak dianut oleh luhak Agam dan sekitarnya. Segala macam administrasi dari pemerintah pusat seringkali disalurkan lewat panghulu suku dan panghulu andiko. Selain Panghulu ada Dubalang yang bertugas atas keamanan suku dan Manti yang bertugas atas keamanan. Panghulu ada yang dipilih berdasarkan keturunan, ada yang disepakati. Budaya Islam yang masuk kemudian cukup banyak mengubah kebudayaan dan cara hidup suku-suku M inangkabau. Asas hidup mereka menjadi berlandaskan hukum Islam dan perlahan-lahan peraturan-peraturan adat M inang yang tidak sejalan dengan agama Islam mulai dipertanyakan dan ditinggalkan. Pada awalnya masyarakat M inang mengenal stratifikasi sosial yaitu berupa golongan keturunan asli yang merupakan keluarga leluhur pendiri desa, lalu ada
13
pendatang dan terakhir ada budak yang merupakan pendatang tapi sama sekali tak punya modal dan hidup dari membantu urusan rumah tangga keluarga-keluarga lain. Gelar kebangsawanan paling terlihat pengaruhnya dalam upacara perkawinan karena bila pihak laki-laki yang seharusnya memberikan mahar merupakan bangsawan atau raja, maka pihak wanitalah yang memberikan uang jemputan. Tetapi semakin lama stratifikasi sosial inipun semakin dilupakan dan batas-batasnya semakin kabur.
2.3.1.3 Tata Desa dan Rumah
Gambar 2.7 Replika rumah adat M inang di TM II Penyebaran rumah di kampung tidak teratur dan lahannya dilkelilingi pagar tinggi. Pohon kelapa yang tinggi menjulang, tumbuh subur di antara rumah-rumah
14
tersebut, Jalanannya halus karena sering dilalui. Rumah-rumah berdiri di atas tiang setinggi enam kaki. Rumah paling barus seluruhnya dibangun dari papan, sedangkan yang lain berdinding bambu. Di rumah utama selalu didapat hiasan ukir-ukiran dan punya atap rumah dan penyangga atap yang tinggi. Sudut rumah dan semua penyangga utama diukir. Ukirannya biasanya mengambil bentuk-bentuk alam dan tidak tetap. Lantai dibuat dari bambu yang dibelah, yang masih bergoyang jika diinjak. Tak ada perabot dalam rumah, hanya ada lantai yang ditutup tikar sebagai tempat duduk. Keadaan kampung sangat bersih, halaman depan rumah utama sering disapu. Ada masa di mana ternak dipelihara di bawah rumah, di anatara tiang-tiang dan dipagari untuk menghindari binatang buas. Tetapi akhirnya ternak memiliki kandangnya sendiri dan tanah di bawah dibuat menjadi ruangan juga (seperti rumah dua lantai).
2.3.1.4 Bahasa dan Tulisan Bahasa mereka boleh dikatakan sebagai bahasa sendiri atau suatu dialek dari bahasa M elayu, dibuktikan dengan banyaknya kata-kata yang bisa dihubungkan asalnya dengan bahasa M elayu. Ada empat dialek yang terkenal yaitu Dialek Tanah Datar, Dialek Agam, Dialek Lima Puluh Koto dan Dialek Pesisir. Penamaan tersebut didasarkan pada pembagian daerah yang terdiri dari tiga Luhak (Tanah Datar, A gam, Lima Puluh Koto) dan daerah rantau, termasuk pesisir. Ada sumber yang mengatakan mereka mungkin punya sistem tulisan sendiri sebelum pengaruh penyebaran agama mulai terasa meskipun saat ini sistem tulisan tersebut telah lama hilang. Tulisan Batak dikatakan merupakan semacam pengembangan dari tulisan M inangkabau.
15
2.3.1.5 Mata Pencaharian M ata pencaharian hidup mereka awalnya adalah bertani, berkebun, dan kadangkadang menangkap ikan di sungai atau danau. Di pantai, bila mereka bertani, mereka juga mengambil hasil kelapa. Berbagai hal menyebabkan orang M inang meninggalkan pertanian. Ada yang yang disebabkan tak ada tanah yang memberikan cukup hasil, ada yang karena sadar bahwa dengan bertani tidak mungkin menjadi kaya. Orang-orang tersebut biasanya akan masuk ke sektor perdagangan ada pula yang karena pendidikan tidak kembali pada pertanian lagi dan menjadi pegawai digaji. Yang berdagang biasanya memilih antara tiga lapangan yaitu tekstil, kelontong atau rumah makan. Selain bertani, ada juga yang hidup dari kerajinan tangan seperti perak bakar dan pembuatan songket yang berhasil sampai ke luar sedangkan jenis lainnya seperti sulaman, ukir rumah, anyaman dan pengrajin kuningan hanya dikenal dalam lingkungan M inangkabau saja.
2.3.1.6 Seni Bela Diri (Silek)
16
Gambar 2.8 Pendekar silek aliran Sitaralak dalam posisi kudo-kudo Di M inang, ada sebuah gaya silat yang mereka sebut Silek yang diwariskan turun temurun. Silat ini dikembangkan untuk pertahanan diri pada masa merantau dan sebagai pertahanan nagari. Silek ini juga digunakan dalam berbagai tarian dan randai (drama M inangkabau). Kata pencak silat di dalam pengertian para tuo silek (guru besar silat) adalah mancak dan silek. Perbedaan dari kata itu adalah: 1.
Kata mancak atau dikatakan juga sebagai bungo silek (bunga silat) adalah berupa gerakan-gerakan tarian silat yang dipamerkan di dalam acara-acara adat atau acara-acara seremoni lainnya. Gerakan-gerakan untuk mancak diupayakan seindah dan sebagus mungkin karena untuk pertunjukkan
2.
Kata silek itu sendiri bukanlah untuk tari-tarian itu lagi, melainkan suatu seni pertempuran yang dipergunakan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, sehingga gerakan-gerakan diupayakan sesedikit mungkin, cepat, tepat, dan melumpuhkan lawan.
2.3.1.7 Kesenian
17
Di masyarakat M inang, berkembang berbagai macam kesenian seperti seni suara, seni tari dan gerak, seni lukis dan seni sastra. Seni suara termasuk dendang (nyanyian), indang (dzikir), salawat,dan lain-lain. Penyajiannya biasanya diiringi alat-alat musik yang seluruhnya menirukan suara alam seperti Saluang, Bansi, Talam, Eabana, Gendang, Kecapi dan Biola. Ada pula teater bernama Randai yang dulunya hanya dimainkan oleh laki-laki dan gerakannya menggunakan gerakan bela diri yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya. Kerajinan dari M inang ada yang berasal dari bambu, pandan, rotan dan logam. Umumnya mereka dibuat untuk kebutuhan perabotan atau aksesoris sehari-hari. Selain itu ada pembuatan peralatan mesin tenun dan cetakan-cetakan kue. Kerajinan yang terkenal sampai sekarang adalah tenun songket yang berasal dari Silungkang dan Pandai Sikek.
2.3.1.8 Busana Adat
Gambar 2.9 Wanita dengan busana M inang
Pakaian sehari-hari pria umumnya terdiri dari celana dan baju. Hanya kaum lakilaki yang sudah berumur yang mesih memakai sarawa (semacam celana kolor panjang) dan baju Gunting Cono atau teluk Belanga, ditambah dengan sarung dan penutup kepala
18
(peci atau destar). Kaum wanita biasanya menggunakan arung yang biasa disebut kain Jawa dan baju kebaya panjang (baju kurung). Untuk penutup kepala digunakan salendang tingkuluak yang dililitkan menutupi rambut
Gambar 2.10 Pemuda dengan busana M inang Pakaian adat pria terdiri atas baju model Teluk Belanga yang berlengan agak pendek dan melebar pada ujungnya, celana panjang, kain songket yang dikenakan dari pinggang sampai ke atas lutut, serta selembar kain yang diselempangkan pada bahu. Sebagai pelengkap ada tutup kepala yang disebut Saluak dan sebilah keris yang terselip di depan perut. Sedangkan untuk wanita ada tutup kepala yang disebut bergonjong, baju kurung, kain songket panjang, serta selembar kain songket bermotif dan warnanya sama untuk diselempangkan di bahu. Sebagai perhiasan ada anting-anting, kalung bersusun dan gelang pada kedua belah tangan.
19
Gambar 2.11 Baju tradisional M inangkabau, paling kiri adalah baju Bundo Kanduang, tengah baju Datuk dan paling kanan baju daerah wanita M inang
2.3.1.9 Senjata Tradisional
Gambar 2.12 Sikamba, jenis senjata bermata kembar yang termasuk senjata rahasia Senjata tradisional M inang adalah sejenis golok bernama Ruduih. Senjata ini dapat dikatakan sebagai senjata perang. Sedangkan untuk berburu digunakan Sumpitan. Sejenis senjata tradisional yang sangat terkenal di Sumatera Barat adalah karih yang
20
merupakan sejata tikam di samping belati. Karih ini juga merupakan pelengkap pakaian adat pria, yang bentunya seperti keris tapi tak berlekuk. Hulunya yang berukir agak melengkung ke bawah sehingga lebih mudah untuk menggenggam. Di samping itu ada juga sejenis pisau yang disebut Lading. Fungsinya untuk memotong, baik dalam pekerjaan rumah tangga ataupun pekerjaan lainnya. Ada pula sejenis tombak bermata tiga disebut Piarik, yang biasa dimafaatkan untuk berburu binatang-binatang buruan besar. Ada pula senjata-senjata rahasia dalam ilmu bela dirinya seperti sikamba, sirauk dan kerambit. Ketiganya berukuran kurang lebih sepanjang telapak tangan sehingga mudah disembunyikan. Sikamba bahkan tidak terlihat seperti pisau saat disarungkan.
2.3.2 Kebudayaan S unda/Jawa Barat
2.3.2.1 Susunan S osial Sebagai suatu kesatuan hidup di suatu wilayah tertentu, desa Jawa punya beberapa sifat umum. Orang hidup dari pertanian berteknologi lama. Karena sebagian besar penduduk desa lahir di sana dan biasanya tidak melebihi tiga sampai empat ribu jiwa maka biasanya mereka saling mengenal dan bergaul dengan mengetahui latar belakang masing-masing. Perkawinan di dalam desa sering diadakan di anatar warganya sehingga ada hubungan kekerabatan yang erat. Penduduk aslinya hidup sebagai petani, taka ada pegawai negeri ataupun pedagang. Penduduk seluruhnya beragama Islam tetapi mereka juga percaya pada makam-makam keramat. Desa di Jawa Barat dapat dilihat sebagai suatu kesatuan adminisratif yang terkecil yang menempati tingkat paling bawah dalam susunan pemerintahan nasional. Di samping
21
itu juga dipandang sebagai kesatuan hidup yang kecil sifatnya di suatu wilayah tertentu sehingga dapat menyebabkan sebuah rangkaian sifat yang khas. Desa dikepalai seorang kuwu yang dipilih rakyatnya. Dalam melaksanakan tugas, ia didampingi juru tulis, tiga orang kokolot, seorang kulisi, seorang ulu-ulu, seorang amil, dan tiga orang pembina desa (seorang dari angkatan kepolisian dan dua dari Angkatan Darat). Kuwu berkewajiban mengurus rumah tangga desa, mengadakan musyawarah, mengurus harta desa dan pekerjaan umum. Kokolot adalah perantara antara pamong desa dengan orang desa. Juru tulis mengurus administrasi desa. Ulu-ulu mengurus pembagian air dan memelihara selokan. Amil berjewajiban mengurus pendaftaran kelahiran, kematian, pernikahan, talak, rujuk, doa, mengurus mesjid dan langgar, dan memelihara kuburan. Kulisi bertugas memelihara keamanan. Dukuh adalah sebuah desa yang terpencil. Komunikasi dengan kampungkampung lain sulit dilakukan dan butuh waktu lama. Letaknya yang jauh dari sungai menyebabkan mereka harus mempertahankan sumber air terbatas pada daerah sekitarnya. Di samping air, penduduk juga butuh kayu untuk membangun dan kayu bakar. Kayukayu yang baik untuk bangunan adalah yang besar dan tua, demikian jika pohon bawah sudah habis ditebang, mereka akan menebangi pohon di bukit. Jika dilakukan, sumber air akan kering dan berakhirlah kehidupan masyarakat di sana. Oleh sebab itu orang-orang mebuat pantangan-pantangan dengan dalih kepercayaan dan malam keramat supaya pohon di sana tak ditebangi. Berdasarkan fungsinya, penduduk dapat dipisahkan menjadi golongan juragan atau majikan, golongan buruh nelayan atau anak payang. Kepemilikan tanah juga menetukan kedudukan.
22
Sistem kekerabatan orang Sunda dipengaruhi adat yang diteruskan turun-menurun dan agama Islam. Sedangkan sistem istilah kekerabatannya menunjukkan sistem klasifikasi menurut angkatan-angkatan. Yang pasti adalah perkawinan dalam keluarga batih dilarang.
2.3.2.2 Tata Desa dan Rumah
Gambar 2.13 Salah satu rumah di Jawa
Gambar 2.14 Halaman perumahan di Jawa
23
Dipandang dari bahan dan bentuknya ada beberapa macam rumah. Bahan yang digunakan ada yang berkerangka bambu, glugu (batang pohon nyiur), atau kayu jati. Dindingnya menggunakan gedek (anyaman belahan bambu), papan atau tembok, dan atapnya berupa anyaman daun kelapa kering (blarak). Bagian dalam rumah dibagi-bagi menjadi ruangan kecil dengan gedek yang bisa digeser atau dipindahkan, pintunya berupa pintu seret dan tidak ada jendela. Sinar matahari masuk melalui celah-celah dinding atau atap.
Gambar 2.15 Pekarangan rumah Jawa di pegunungan
Bentuk rumah ditentukan bangun atapnya yaitu limasan, serotong, joglo, panggangepe, daragepak, macan jerum, kalbang nyander, tajuk, kutuk ngambang, dan sinom. Dari itu semua, limasan adalah yang paling umum ditemui dan merupakan bangunan pembangun desa pertama selain serotong. Tipe joglo adalah prototipe rumah bangsawan.
2.3.2.3 Bahasa dan Tulisan
24
Tulisan Jawa telah dipakai sejak pertengahan abad ke-8 hingga pertengahan abad ke-20 yang diganti oleh tulisan latin. Sistem tulisan Jawa yang lebih tua telah ada sejak sebelum tahun 750. Tulisan jawa berasal dari India, ini terlihat dari ciri-ciri tulisan yang mirip dengan tulisan di daerah lain di Asia Tenggara yang juga terpengaruh kebudayan India. Data ditemukan mulai dari periode ke-17 di mana dikatakan bahasa jawa tidak terbatas hanya di Jawa tapi di tempat-tempat lain yang juga berbahasa Sunda, di keraton Palembang dan Lombok. Di sana kebudayaan Jawa sangat dihargai, sastra Jawa dibaca dan bahasa Jawa kadang digunakan sebagai bahasa resmi. Bahasa jawa juga dipakai menuliskan bahasa sunda, madura dan sasak. Sebelum diganti tulisan Latin, bahasa jawa pernah ditulis dengan sistem tulisan Bali dan Arab. Ada masa sebelum abad 17 di mana Bali menyerap secara keseluruhan sastra dari Jawa tapi ia tetap menggunakan bahasa Bali. Tulisan Arab masuk ke Jawa bersama dengan agama Islam tetapi tetap tidak menjadi tulisan utama.
2.3.2.4 Mata Pencaharian Penduduk pelabuhan hidup dari menangkap ikan dan sebagian hidup dari pertanian. Sebagian besar nelayan adalah pendatang sehingga dapat disimpulkan pekerjaan utama orang asli Jawa adalah bercocok tanam dan mencari hasil hutan, menangkap ikan hanya merupakan sampingan. Perkebunan terlihat sebagai daerah-daerah dengan ciri khas di tengah-tengah daerah pertanian pedesaan. Tanah yang subur dan iklim yang baik membuat Jawa Barat sebagai daerah perkebunan terpenting di Indonesia.
25
Di Jawa Barat ada dua macam tanah pertaian yaitu yang menggunakan irigasi sebagai pengairan dan menggunakan air hujan (sawah tadah hujan). Awalnya tanah itu digarap oleh satu orang atau lebih dan tanahnya ada yang dibuat bertingkat-tingkat atau datar saja dengan diberi pematang sebagai penahan air. Selain menanam padi, sebagian besar juga mengusahakan palawija seperti kacang kedelai dan brol. Palawija itu ditaman saat mendekati musim kemarau. Saat padi akan dipotong, akan dilakukan upacara dan perhitungan hari baik. Dilihat dari pengerjaan sawah, dapat dibedakan atara yang memiliki sawah yang cukup luas, yang memiliki tanah beberapa petak saja dan hanya cukup untuk konsumsi sendiri, mereka yang tinggal di tanah orang dan mengerjakan sawahnya, dan mereka yang tak punya sawah atau tegalan dan bekerja untuk orang lain dengan membagi hasilnya nanti.
2.3.2.5 Kesenian Kesenian dari Jawa Barat yang terkenal antara lain musik gamelan, pertunjukan wayang golek, tari Jaipongan dan tari M erak. Cerita rakyatnya yang terkenal antara lain Lutung Kasarung dan Sangkuriang. Untuk kerajinan, ada pembuatan batik dan wayang golek.
2.3.2.6 Busana Adat
26
Gambar 2.16 Baju model kemben Pada masyarakat Jawa Barat khususnya di Priangan dan Cirebon, kaum perempuan lapisan masyarakat atas sampai bawahnya berkain kebaya. M eskipun bentuk dasarnya sama tapi ada variasi tergantung kebutuhan atau keinginan pemakai. Di kalangan istri pembesar, kebaya yang dipakai biasanya berbahan lebih halus dan bercorak hias lebih anggun. Adapun masyarakat Cirebon baik rakyat biasa maupun bangsawan menggunakan baju kurung atau baju sarong. Sama halnya dengan kebaya, kain batikpun dipakai di semua lapisan masyarakat. Penggunaan kain batik dililitkan pada bagian bawah badan dari pinggang hingga pergelangan kaki. Untuk memperkuat, dililitkan beuletan atau sabuk di pinggang pemakai.
27
Gambar 2.17 Baju sehari-hari masyarakat Jawa, sarong dari kain batik Di kalangan rakyat biasa, baju laki-laki yang dikenakan adalah potongan kampret warna hitam atau putih. Laki-laki di Priangan dan Cirebon biasanya menggunakan sarung (poleng, polekat). Cara menggunakan sarung ini sangat bervariasi sesuai kebutuhan. Ada kalanya dikerudungkan, diikatkan pada pinggang atau dililitkan. Tetapi biasanya kalangan bangsawan tidak menggunakan sarung pada acara-acara resmi. Celana panjang yang digunakan model komprang yang merupakan bentuk dasar celana bangsawan yang dihias.
Gambar 2.18 Baju adat Jawa dan bagian-bagiannya Sebagai penutup kepala, ada iket. Iket pada bangsawan Cirebon berubah menjadi bendo yaitu kain batik yang dicetak menurut ukuran kepala tertentu. Bendo di Priangan dan Cirebon berbeda terutama di bagian depan. M ilik Cirebon punya garis selebar 4 cm 28
yang makin ke dalam makin kecil. Di belakang bendo Priangan ada simpul ujung-ujung kain. Bendo biasanya digunakan pejabat pemerintahan atau bangsawan sedangkan rakyat biasa tetap memakai iket. Kaum perempuan di kalangan rakyat kebanyakan menggunakan busana sederhana, dengan perhiasan gelang emas atau perak, gelang bahar, suweng pelenis dari emas ataupun perak dan ali meneng untuk tampil cantik. Dahulunya perempuan Jawa tidak beralas kaki tetapi sekarang sandal, selop atau kelom sudah menjadi bagian dari busana.
2.3.2.7 Flora dan Alam
Gambar 2.19 Cukang Taneuh atau Green Canyon di Desa Kertayasa Kecamatan Cijulang, ± 31 km dari Pangandaran.
Dahulu, Jawa adalah pulau tropis yang terkenal akan keindahan dan kesuburannya. Penduduknya paling padat di wilayah tropis. Permukaan pulau Jawa dipenuhi gunung dan hutan. Kelembapan yang tinggi dan iklim yang panas menyebabkan gunung-gunung diselimuti tumbuhan yang kadang sampai ke puncaknya. Lereng gunung yang lebih rendah diselimuti tanaman dan hutan. Terdapat beraneka jenis hewan, terutama burung dan serangga hidup di sini. Sejumlah besar hewan di sini bahkan tak
29
mungkin ditemui di tempat lain.. Tanah di seluruh pulau sangat subur sehingga semua tumbuhan daerah tropis dan sedang dapat tumbuh dengan mudah. Pepohonan di hutan berukuran besar dan di bawah pohon ada banyak tumbuhan paku dan semak-semak. Daerah kaki gunung Jawa punya iklim paling baik dan tanah paling subur, cocok untuk tempat tinggal. Di ketinggian 2000-5000 kaki, hutan dan jurang memperlihatkan keindahan dan kesuburan daerah tropis. Ada banyak pohon paku di berbagai tempat dan tingginya mencapai 50 kaki. Di beberapa jurang yang dalam di mana tidak ada pepohonan, pohon paku memenuhinya dari atas sampai bawah. Beberapa tumbuhtumbuhan yang umum adalah Musaceae, Zingiberaceae, Begonia dan Melastoma. Di antara pepohonan dan di setiap cabang, tumbuh rumpun-rumpun anggrek, paku dan lumut (lycopod). Di ketinggian 5000 kaki ada rumput ekor kuda yang sangat mirip dengan yang di Inggris. Di ketinggian 6000 kaki tumbuh rasberi dalam jumlah banyak. Di puncak gunung, ditemukan tiga jenis Rubus (sejenis belukar) yang buahnya bisa dimakan. Di 7000 kaki, pohon cemara (cypress) mulai terlihat dan pohon-pohon relatif lebih kecil dan ditumbuhi lumut. Banyak batu-batu vulkanik di lereng gunung sepenuhnya tertutup lumut. Di ketinggian 8000 kaki, tumbuhan khas Eropa bertambah banyak, seperti beberapa jenis kamferluli, St. John's wort (Hypervicum perforatum) dan Guelder-rose (Viburnum opulus). Kabut, hujan dan cuaca berawan adalah kejadian yang biasa di pedalaman Jawa Barat. Hujan turun hampir setiap sore, kabut tebal turun dari pegunungan.
2.3.3 Kebudayaan Jawa/Kejawen
30
Daerah yang termasuk kebudayaan Jawa ada pada pulau Jawa bagian tengah dan timur. Ada pula daerah-daerah yang sering disebut Kejawen. Daerah-daerah tersebut dlunya adalah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, M adiun, M alang dan Kediri. Faeah-daerah di luar itu disebut pesisir dan Ujung Timur. Dua daerah yang merupakan bagian dari kerajaan M ataram (Yogyakarta dan Surakarta) adalah pusat dari kebudayaan Jawa.
2.3.3.1 Susunan S osial & Kepercayaan Dalam kenyataan hidupnya, masyarakat Jawa masih membeda-bedakan antara priyayi (pegawai negeri dan kaum terpelajar) dengan orang kebanyakan yang disebut wong cilik. Dalam golongan wong cilik juga ada pembedaan. Yang tertinggi adalah wong baku. M ereka adalah orang yang dulu datang pertama-tama dan menetap di desa. M erekalah yang memiliki sawah, rumah dengan pekarangannya. Lapisan kedua adalah kuli gandok atau lindung. M ereka adalah orang-orang yang telah menikah tapi tak punya tempat tinggal sendiri sehingga terpaksa tinggal di tempat mertuanya. Tapi hal ini tak berarti mereka tak punya tanah pertanian sendiri, mereka bisa mendapatkannya dari warisan atau pembelian. Lapisan ketiga adalah joko, sinoman atau bujangan. Golongan bujangan ini bisa mendapat atau memiliki tanah pertanian, rumah dan pekarangan dari warisan atau pembelian. Sistem penggolongan ini pada akhirnya akan membuat perbedaan pada hak dan kewajiban setiap golongannya. M enurut agamanya, mereka membedakannya menurut orang santri dan agama kejawen. Golongan kedua adalah orang yang percaya akan agama Islam tapi tidak secara patuh menjalankan rukun-rukun agamanya. Persentase orang yang beragama kejawen
31
dengan santri berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain. Selain kedua agama itu ada pula yang memeluk agama nasrani atau agama besar lainnya. Bersama-sama dengan pandangan alam pikiran partisipasi tersebut, orang Jawa percaya kepada suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan yang pernah dikenal, yaitu kasakten, kemudian arwah atau roh leluhur, dan makhluk-makhluk halus seperti misalnya memedi, lelembut, tuyuldemit, serta jin dan lainnya yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka. M enurut kerpercayaan masing-masing makhluk halus tersebut dapat mendatangkan sukses, kebahagiaan, ketentraman ataupun keselaman, tapi sebaliknya bisa juga menimbulkan gangguan pikiran, kesehatan ataupun kematian. M aka bila seseorang ingin hidup tanpa ganguan tersebut, ia harus berbbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta seperti berprihatin, berpuasa, berpantang melakukan perbuatan serta makanan tertentu, selamatan dan bersaji. Kedua cara terakhir sering dijalankan masyarakat Jawa di desa-desa di waktu tertentu dalam peristiwa kehidupan sehari-hari.
2.3.3.2 Tata Desa dan Rumah Tata desa dan bentuk rumah pada umumnya mirip dengan kebudayaan Sunda hanya berbeda pada identifikasi kelas sosial dan bahan yang digunakan pada rumah. Besar dan gaya atap sebuah rumah seringkali menjadi tanda gengsi dan kedudukan sosial. Selain itu perbedaan juga terdapat pada ukiran-ukiran yang dipakai. Rumah di Jawa Timur dan Yogyakarta lebih sering memiliki ukiran, baik sederhana ataupun mewah. Ukiran-ukiran tersebut punya arti tersendiri meskipun saat ini sudah tidak diketahui lagi secara pasti. Secara administratif, desa langsung berada di bawah pemerintahan kecamatan yang terdiri atas dukuh-dukuh. Tiap bagiannya dikepalai seorang kepala
32
dukuh.
Di sini dijumpai sejumlah
perumahan
penduduk
beserta tanah-tanah
pekarangannya yang satu sama lain dipisahkan oleh pagar bambu atau tumbuhan. Ada di antara rumah tersebut yang dilengkapi lumbung padi, kandang ternak, perigi di dekat rumah atau halaman belakang. Sebuah dukuh dengan dukuh lainnya dihubungkan oleh sebuah jalan dan lebarnya seringkali tak lebih dari dua meter. Ada pula balai desa, tempat pemerintahan berkumpul atau mengadakan rapat desa yang diadakan tiap 35 hari sekali. Untuk menampung kegiatan pendidikan keagamaan dan kegiatan sosial ekonomi rakyat biasanya ada sekolah-sekolah, langgar atau mesjid. Kecuali itu ada pasar yang kelihatan ramai pada hari pasaran. Kuburan desa berada di lingkungan wilayah salah satu dukuh, sedangakan tanah pertanian berupa sawah atau ladang-ladang terdapat di sekeliling desa.
2.3.3.3 Bahasa dan Tulisan Dalam pergaulan hidup sehari-hari, mereka berbahasa Jawa dan pada waktu pengucapannya, harus memperhatikan keadaan orang yang diajak berbicara atau orang yang dibicarakan berdasarkan usia dan status sosialnya. Pada prinsipnya ada dua macam bahasa Jawa bila ditinjau dari tingkatannya yaitu bahasa Ngoko dan Krama. Tulisan Jawa telah dibahas pada subbab terdahulu.
2.3.3.4 Mata Pencaharian Sumber penghidupan sebagian besar masyarakat desa adalah pertanian selain pekerjaan kepegawaian dan perdagangan. Dalam menggarap pertanian ada yang dibuat kebun kering (tegalan), terutama mereka yang hidup di pegunungan sedangkan yang berada di dataran rendah mengolahnya menjadi sawah. Di samping tanaman padi, ada
33
beberapa jenis palawija yang juga ditanam pada saat musim kemarau atau sebagai tanaman utama di pegunungan.
2.3.3.5 Pemerintahan Kerajaan Pemerintahan
Kasultanan
Yogyakarta
mulanya
diselenggarakan
dengan
menggunakan susunan pemerintahan warisan dari M ataram. Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan besar yaitu Parentah Lebet (urusan dalam) yang juga disebut Parentah Ageng Karaton dan Parentah Jawi (urusan luar) yang juga disebut Parentah Nagari. Sultan memegang seluruh kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan kewajibannya sehari-hari Sultan dibantu lembaga Pepatih Dalem yang bersifat personal. M ulanya terdapat dua pepatih yaitu Pepatih Lebet dan Pepatih Jawi. Dalam perkembangannya Pepatih lebet dihapuskan dan Pepatih jawi disebut sebagai Pepatih Dalem. Pada mulanya pemerintahan urusan dalam dan urusan luar masing-masing dibagi menjadi empat kementerian yang dinamakan Kanayakan. Kementerian urusan dalam adalah Kanayakan Keparak Kiwo dan Kanayakan Keparak Tengen, yang keduanya mengurusi bangunan dan pekerjaan umum; Kanayakan Gedhong Kiwo dan Kanayakan Gedhong Tengen, yang keduanya mengurusi penghasilan dan keuangan. Kementerian urusan luar adalah
Kanayakan Siti Sewu dan Kanayakan Bumijo, yang keduanya
mengurusi tanah dan pemerintahan; Kanayakan Panumping dan Kanayakan Numbak Anyar, yang keduanya mengurusi pertahanan. M asing masing kementerian dipimpin oleh Bupati Nayaka yang karena jabatannya juga merupakan komandan militer yang memimpin pasukan kerajaan dalam peperangan.
34
Untuk menangani urusan agama Sultan membentuk sebuah badan khusus yang disebut dengan Kawedanan Pengulon. Badan ini mengurus masalah peribadatan, perawatan masjid-masjid kerajaan, dan upacara-upacara keagamaan istana, serta urusan peradilan kerajaan dalam lingkungan peradilan syariat Islam. Urusan regional di luar ibukota dibagi menjadi beberapa daerah administratif yang dikepalai oleh pejabat senior dengan pangkat Bupati. M ereka dikoordinasi oleh Pepatih Dalem. Tugas-tugasnya meliputi pengelolaan administrasi lokal, hukum dan peradilan, pemungutan pajak dan pengiriman hasil panenan melalui bawahannya, Demang dan Bekel.
2.3.3.6 Busana Adat
Gambar 2.20 Busana pejabat dalam keraton (kiri) dan busana masyarakat Jogja seharihari pada zaman dahulu (kanan)
35
Secara umum, pakaian masyarakat umumnya sama dengan bagian Jawa yang lain, termasuk Sunda. Pada baju keraton, ada sedikit perbedaan pada aksesoris busana. Pada pengurus keraton, ada tambahan semacam scarf di leher. Sedangkan pakaian para prajurit keraton bervariasi dalam keseluruhan kostum dan
kelengkapannya tergantung
golongannya.
2.3.3.7 Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat M eskipun dari latar waktunya Kerajaan M ataram masih belum benar-benar terpecah, tapi karena keterbatasan bahan, maka keraton Ngayogya yang merupakan hasil perpecahan dari kerjaan M ataram selanjutnya akan dijadikan sebagai acuan untuk latar keraton. Keraton Nyayogya dengan Keraton Surakarta memiliki banyak kesamaan dalam tata ruangnya karena itu kemungkinan besar tata ruang itu adalah yang juga digunakan pada kerajan M ataram terdahulu. Luas Keraton mencapai kurang lebih 14.000 m2, dan terdiri dari 7 bagian. Ada satu asumsi peninggalan agama Hindu, bahwa angka 7 merupakan angka yang sempurna. Hal ini juga sesuai dengan prinsip kosmologi Jawa, bahwa dunia terdiri dari 3 lapisan, yaitu dunia atas, tempat bersemayamnya para dewa dan supreme being; dunia tengah, tempat manusia; dan dunia bawah, tempat dimana kekuatan-kekuatan jahat bersemayam. Dunia atas dan bawah masing-masing terdiri dari 3 bagian, sehingga lapisan dunia ini pun menjadi 7 lapisan. Ketujuh bagian (seven steps to heaven) Keraton adalah: Lingkungan I : Alun-alun Utara sampai Siti Hinggil Utara Lingkungan II : Keben atau Kemandungan Utara
36
Lingkungan III : Srimanganti Lingkungan IV : Pusat Keraton Lingkungan V : Kemagangan Lingkungan VI : Kemagangan Kidul (Kemagangan Selatan) Lingkungan VII : Alun-alun Selatan sampai Siti Hinggil Selatan
Sembilan Gerbang = Sembilan Lubang di Tubuh Manusia Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki 9 buah gerbang/ pintu masuk, yang masing-masing menghubungkan 9 pelataran yang ada di wilayah Keraton. Sembilan gerbang itu sendiri melambangkan 9 buah lubang di tubuh manusia. Jika seseorang mampu menutup seluruh lubang yang ada di tubuhnya, maka ia dianggap telah mencapai tingkat meditasi tertinggi. Kesembilan gerbang itu adalah: 1. Gerbang Pangarukan 2. Gerbang Tarub Hagung 3. Gerbang Brajanala 4. Gerbang Srimanganti 5. Gerbang Danapratapa 6. Gerbang Kemagangan 7. Gerbang Gadung M lati 8. Gerbang Kemandungan 9. Gerbang Plengkung Gading
37
Gambar 2.21 Lorong di depan Gedong Kuning di Keraton Ngayogya
Pola Konsentris Tata Ruang dan Makna Arsitektur Keraton Kalau kita potret seluruh kompleks Keraton Yogyakarta, maka akan jelas terlihat bahwa semua bagian di dalamnya membentuk suatu pola/tatanan yang konsentris. Dalam tatanan ini kedudukan titik pusat sangat dominan, sebagai penjaga kestabilan keseluruhan tatanan. Pada keraton-keraton Dinasti M ataram, keberadaan pusat ini diwujudkan dalam bentuk Bangsal Purbayeksa/ Prabuyasa, yang berfungsi sebagai persemayaman pusat kerajaan dan tempat tinggal resmi raja. Bangsal ini dikelilingi oleh pelataran Kedaton, kemudian berturut-turut adalah pelataran Kemagangan, Kemandungan, Siti Hinggil, dan Alun-Alun pada lingkup terluar. Lapisan Terluar
38
Pada lapisan ini terdapat Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan. Di Alun-alun Utara terdapat M asjid Agung, Pekapalan, Pagelaran, dan Pasar, yang seluruhnya membentuk Catur Gatara Tunggal. Sedangkan di Alun-alun Selatan, terdapat sebuah Kandang Gajah. Satu ciri utama dari Alun-alun adalah, adanya dua buah pohon beringin bernama “Wok”, yang berarti gadis. Di tengah Alun-alun juga ada dua pohon beringin, yang ditutupi oleh dinding. Kedua pohon ini dinamakan “Supit-urang” (Supit artinya khitanan). Supit-urang itu melambangkan bagian yang paling rahasia dari tubuh manusia. Itulah kenapa kedua pohon itu ditutupi oleh dinding. Alun-alun dibatasi oleh pohon Pakel dan Kuweni (keduanya adalah jenis mangga). Dalam bahasa Jawa, Pakel sama artinya dengan akil-balik, yang melambangkan kedewasaan. Dan Kuweni diambil dari kata ‘wani’ yang berarti berani. Lapisan Kedua Pada lapisan ini terdapat Siti Hinggil Utara dan Siti Hinggil Selatan. Dalam bahasa krama hinggil, kata “siti” berarti tanah, dan “hinggil” berarti tinggi. Jadi secara harafiah Siti Hinggil artinya adalah tanah tinggi. Tapi maksud sebenarnya adalah lokasi dan posisi bangsal dengan lingkungannya lebih tinggi dari bangsal-bangsal yang ada di sekitarnya. Di Siti Hinggil Utara terdapat antara lain, Bangsal Witana dan Bangsal Manguntur, yang digunakan sultan untuk upacara kenegaraan. Sedangkan di Siti Hinggil Selatan, kita akan menemukan sebuah “bangsal” (ruangan terbuka), yang dipergunakan untuk kepentingan sultan yang sifatnya lebih privat, seperti menyaksikan latihan keprajuritan, sampai adu macan dengan manus ia (rampogan) atau banteng. Di tengah-tengah bangsal tersebut terdapat “gilang” (semacam pendopo), yang digunakan sebagai singgasana sultan. Siti Hinggil dikelilingi oleh pohon gayam, melambangkan anak muda yang sedang jatuh
39
cinta, merasa aman, dan bahagia. Sementara bagian halamannya ditanami pohon mangga dan soka, yang memiliki bunga sangat indah, dan melambangkan asal-usul manusia. Siti Hinggil dikelilingi oleh jalan yang disebut “Pamengkang” (melambangkan kedua kaki manusia). Pamengkang berasal dari kata “mengangkang”, yang berarti posisi kaki kita ketika direntangkan melebar. Lapisan Ketiga Pada lapisan ini terdapat Pelataran Kemandungan Utara dan Pelataran Kemandungan Selatan, yang merupakan ruang transisi menuju pusat. Kemandungan itu sendiri berasal dari kata “ngandung” yang berarti kehamilan. Pada Pelataran Kemandungan Utara kita akan menemukan salah satunya adalah Bangsal Pancaniti, dan di Pelataran Kemandungan Selatan terdapat Bangsal Kemandungan. Secara harafiah, Bangsal Pancaniti berarti memeriksa lima. Di sinilah Sultan melakukan pengadilan. Bangsal ini juga digunakan oleh sebagian Abdi Dalem menunggu untuk menghadap Sultan. Pada dinding sebelah kanan dan kiri Kemandungan ada dua buah pintu yang membawa kita menuju lorong keluar. Keduanya melambangkan pengaruh negatif yang dapat membahayakan seorang anak. Bagian halaman Kemandungan ditanami oleh pohon Kepel, Cengkir gading, Pelem, dan Jambu Dersana. Pemilihan jenis pohon ini juga bukan tanpa makna. Kepel berasal dari kata berbahasa Jawa, “kempel” yang berarti bersatu. Cengkir gading adalah jenis kelapa yang paling indah, kecil, dan berwarna kuning. Ia digunakan untuk upacara “nujuh bulan” (sebuah upacara ketika seorang anak menginjak usia 7 bulan). Pelem berasal dari
40
kata “gelem”, berarti saling pengertian. Sedangkan jambu Dersana berasal dari kata “darsana” yang berarti hal terbaik dari seorang manusia. Lapisan Keempat Di sebelah utara, kita akan menemukan Pelataran Srimanganti, tempat Sultan sering menerima tamu yang tidak terlalu formal dan semi formal. Di wilayah ini terdapat antara lain Bangsal Trajumas di sisi utara, dan Bangsal Srimanganti di sisi selatan, yang berfungsi sebagai ruang tunggu untuk menghadap raja. Untuk masuk ke Pelataran Srimanganti, kita harus terlebih dulu melewati Gerbang Srimanganti. Di sebelah selatan lapisan ini terdapat Pelataran Kemagangan. Kemagangan berasal dari kata berbahasa Jawa, “magang”, yang berarti kedatangan. Kalau kita berjalan dari arah selatan (Alun-alun Selatan), maka untuk masuk ke dalam Pelataran Kemagangan ini kita harus melewati Gerbang Gadung Mlati. Arti kata Gadung Mlati itu sendiri adalah bayi akan dilahirkan. M akanan untuk bayi itu pun sudah disiapkan. Hal ini disimbolkan dengan keberadaan dapur Gebulen dan Sekullanggen, di sisi kiri dan kanan pelataran. Pusat Konsentrik Pusat konsentrik dari tata ruang keraton adalah Pelataran Kedaton yang merupakan tempat paling dalam dan keramat. Pelataran Kedaton merepresentasikan gunung keramat, tempat bersemayamnya para dewa. Di pusatnya terdapat rumah segala pusaka milik Keraton, Prabayeksa, dan Bangsal Kencana, tempat dimana Sultan bertahta dan memerintah sepanjang tahun. Di tempat ini Sultan menerima tamu paling penting setara Residen dan Gubernur. Di komplek ini jugalah Sultan dan keluarganya tinggal. Tempat tinggal Sultan kita kenal dengan nama Gedong Jene, terletak di sebelah utara Kedaton.
41
Kedaton itu sendiri merupakan simbol kedewasaan pikiran dan jiwa seorang manusia. Bila kita selalu bersikap baik dan melayani, berpikiran dan berhati baik, kita akan memperoleh segala sesuatu sesuai dengan apa yang kita harapkan sesuai dengan cita-cita dan ambisi kita. Itulah makna Kedaton.
2.3.4 Kebudayaan Bali Suku bangsa Bali merupakan suatu kelompok manusia yang terikat suatu kesadaran akan kesatuan budayanya dan diperkuat dengan bahasa yang sama. M eskipun begitu, ada banyak variasi dan perbedaan setempat. Agama Hindu juga telah lama terintegrasi ke dalam kebudayaan Bali, dirasakan pula sebagai suatu unsur yang memperkuat adanya kesadaran akan kesatuan itu. Secara garis besar ada Bali-Aga dan Bali-Majapahit. M asyarakat Bali-Aga punya struktur tersendiri yang tidak terpengaruh budaya Jawa-Hindu dari M ajapahit dan mereka biasanya mendiami daerah pegunungan. Bali-M ajapahit adalah mayoritas dari penduduk Bali
2.3.4.1 S truktur dan S istem Sosial Di samping kelompok-kelompok kerabat partilineal yang mengikat atas dasar prinsip keturunan, ada juga kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan kesatuan wilayah, yaitu desa. Kesatuan tersebut diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara-upacara keagamaan yang keramat. Pada umumnya tampak beberapa perbedaan antara desa-desa adat di pegunungan dan di tanah datar. Sistem pelapisan di Bali didasarkan atas keturunan; karena itu tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai kelompok-kelompok kerabat bersifat patrilineal.
42
Ada berbagai klen yang punya sejarah keturunan sendiri-sendiri yang masing-masing kembali sapai sejarah penaklukan M ajapahit di abad ke-14. Orang-orang bangga bila dapat menyusuri nenek moyangnya sampai pada raja-raja atau bangsawan M ajapahit. Berbagai keturunan inilah yang memberikan susunan yang lebih kompleks pada klen patrilineal yang terdapat pada Bali daratan. Di Bali daerah pegunungan, susunan klen berlapis itu tak ada bahkan batas-batas klen tidak terlihat begitu nyata. Susunan gelar tinggi rendah di klen-klen di daerah dataran tampak pada gelargelar yang dipakai oleh warganya di depan nama mereka. Gelar-gelar tersebut digolongkan menjadi tiga atas sistem pelapisan wangsa. Sistem ini terpengaruh sistem kast ayang tertulis dalam kitab-kitab suci agama Hindu Kuno yaitu: Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra Tiga lapisan pertama disebut Triwangsa sedangkan yang keempat disebut Jaba, klen yang termasuk Jaba tinggal lebih terpusat pada daerah terbatas. Peraturan dahulu menghukum gadis yang menikah dengan laki-laki yang wangsanya lebih rendah.
2.3.4.2 Tata Desa dan Rumah Pulau Bali terbagi dua oleh pegunungan yang membujur dari barat ke timur sehingga membentuk dataran yang agak sempit di sebelah utara dan yang lebih luas di sebelah selatan. Pegunungan yang sebagian besar masih tertutup hutan rimba itu punya arti penting dalam pandangan hidup dan kepercayan penduduk. Di pegunungan itulah terdapat kuil-kuil (pura) yang dianggap suci oleh orang Bali. Arah membujur dari deretan gunung itu juga telah menyebabkan penunjukan arah yang berbeda bagi orang Bali Utara dengan Bali Selatan. Dalam Bahasa Bali, kaja berarti ke gunung dan kelod berarti ke laut.
43
Untuk Bali Utara, "kaja" berarti "selatan" sedangakan untuk Bali Selatan "kaja" berarti "utara". Perbedaan ini tak hanya tampak dalam penunjukan arah tapi juga kesenian dan bahasa. Arti dari konsep kaja-kelod dalam masyarakat Bali itu tampak pula dalam kehidupan sehari-hari, dalam upacara agama, letak susunan bangunan rumah-rumah kuil dan lain-lain. Desa-desa pegunungan biasanya mempunyai sistem banjar dan desa-desa di daerah dataran biasanya terpencar. Di samping kesatuan wilayah, maka sebuah desa merupakan suatu pola kesatuan yang ditentukan suatu kompleks kuil desa yang disebut kayangan. Seperti yang sudah disinggung, konsep mengenai arah penting artinya dalam agama orang Bali. Hal-hal yang keramat diletakkan di gunung dan yang biasa atau tak keramat ke arah laut. Sedapat mungkin letak dari bangunan-bangunan pusat dari desa diusahakan mengikuti arah tersebut. Ciri-ciri struktur bangunan Baliberdasarkan suatu prinsip yang menunjukkan ciri tersendiri dan lazim disebut Triangga. Konsep arsitektur ini terdiri atas hulu, badan dan kaki. Dilihat secara vertikal, sebuah rumah punya beberapa tingkatan: bagian aatap yang melambangkan dunia maya, bagian tengah yang merupkan tempat tinggal manusia atau dunia manusia, dan bagian bawah yang merupakan dunia binatang. Atap rumah Bali berbentuk payung bertingkat dengan jumlah ganjil. Semakin tinggi tingkatannya, semakin tinggilah kedudukan sosial penghuninya.
2.3.4.3 Bahasa dan Tulisan
44
Bahasa Bali termasuk keluarga bahasa-bahasa Indonesia. Dilihat dari sudut perbendaharaan kata-kata dan struktturnya, maka bahasa Bali tak jauh berbeda dari bahasa Indonesia lainnya. Peninggalan prasasti dari zaman Bali-Hindu menunjukkan adanya suatu bahasa Bali Kuno yang agak berbeda dari bahasa Bali sekarang. Bahasa Bali Kuno tersebut di samping memiliki banyak bahasa sansekerta, pada akhirnya terpengaruhbahasa Jawa Kuno dari zaman M ajapahit. Sasat itu adalah saat di mana kebudayaan Jawa berpengaruh sangat besar di Bali. Bali mengenal juga apa yang disebut 'perbendaharaan kata-kata hormat', walaupun tak sebanyak di bahasa Jawa. Di Bali pun berkembang kesusastraan lisan dan tulisan baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Di samping itu, sampai kini Bali didapati juga sejumlah hasil kesusastraan Jawa Kuno (Kawi) baik dalam bentuk puisi maupun prosa yang dibawa ke Bali ketika Bali dalam kuasa M ajapahit.
2.3.4.4 Mata Pencaharian Bercocok tanam adalah mata pencaharian pokok. 70% dari mereka bercocok tanan dan 30% sisanya berdagang, peternakan, jadi buruh, pegawai negeri, dan lain. Terdapat perbedaan teknik bercocok tanam di bagian utara dengan selatan karena perbedaan luasnya tanah yang bisa digarap. Peternakan adalah usaha yang penting di desa Bali. Binatang yang dipelihara biasanya babi dan sapi. Babi biasanya dipelihara wanita sebagai sampingan dalam kehidupan rumah tangga sedangkan sapi ada hubungannya dengan pertanian. Selain itu ada pula ternak kerbau, kuda, kambing, tapi hasilnya reatlif jauh lebih kecil.
45
Perikanan sebagai mata pencaharian lain dapat dilakukan di darat maupun laut. Untuk di darat biasanya adalah sampingan dari penanaman padi di daerah-daerah yang airnya cukup. Perikanan laut dilakukan nelayan dengan jukung (perahu penangkap ikan) dengan alat-alat seperti jala, pancing dan jerat. Ada pula yang mengusahakan kerajinan baik secara perseorangan atau kelompok.
2.3.4.5 Busana Adat
Gambar 2.22 Busana keseharian warga Bali dahulu
Pakaian adat tradisional sangat terkait dengan pola ideal spiritual yang didasarkan pada ajaran agama Hindu. Pakaian yang sudah dipakai secara turun temurun merupakan suatu identitas dan dapat dibanggakan sebagoan besar pendukung kebudayaan. Pakaian
46
adat Bali bervariasi jenisnya dari pakaian sehari-hari sampai upacara. M ereka dapat dikategorikan lagi menurut jenis kelamin, umur, dan lapisan sosialnya. Ada pakaian yang menonjolkan ciri tertentu yang biasa dipakai di bagian kepala, badan, dan kaki. Kemben merupakan jenis pakaian berupa kain pembalut tubuh yang menjadi model dasar busana Bali baik pria atau wanita dari kasta manapun dan usia berapapun. Bagi wanita Bali, kemben bukanlah penutup dada tapi lebih sebagai penyangga payudara sehingga keindahan bentuknya tetap terjaga. Pada masa lalu, bepergian atau beraktivitas tanpa penutup dada adalah hal yang biasa bahkan untuk kaum wanita, meskipun begitu, pada saat-saat tertentu mereka menggunakan penutup dada. M eskipun di masa lalu perangkat busana Bali lazimnya adalah tanpa baju, mereka mengenal baik kebisaan memakai baju. Kaum wanitanya sering mengenakan kebaya. Budaya ini tumbuh dari lingkungan masyarakat yang mendapat pengaruh dari luar. Kain-kain yang dipakai untuk busana bali terdiri dari berbagai jenis: Songket, Perada, endek, batik dan sutra adalah beberapa di antaranya. Kain geringsing merupakan salah satu yang terkenal karena keindahannya. Untuk bagian penutup kepala, anak laki-laki wajib memakai Destar atau Udeng. Sedangkan untuk perempuan lazimnya disebut Tengkuluk atau Kancrik yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari dalam bermain dan bekerja. Bagi wanita yang menyusui, diwajibkan memakai pakaian khusus yang disebut Anteng, yang berfungsi sebagai penutup bagian dada dari pencemaran, juga sebagai penangkal kekuatan magic yang dikenal sebagai Desti. Anteng juga dipakai pada upacaraupacara tertentu dengan melilitkannya pada bagian pinggang untuk maksud kesucian pelayanan peribadatan dan bukan sekedar kesopanan dalam berpakaian. Pada umumnya
47
masyarakat Bali menyukai kesederhanaan dalam hal berbusana tetapi menyukai kemewahan dalam upacara. Busana yang diapakai seorang pendeta bercorak khusus dengan pakaian yang disebut Wastra yang berwarna putih atau kuning disebut juga Kapuh dengan memakai ikat pinggang yang disebut petet serta memakai kemeja putih yang disebut Kawaca Sementara itu, pakaiana pendeta wanita menggunakan kain Plekat dengan warna coklat dan berselendang putih atau kuning. Kebanyakan orang Bali menghias diri dengan bunga yang disebut Sumpang. Jenis bunga yang dipergunakan lazimnya merupakan pilihan terhadap bunga yang berbau harum, berbentuk dan berwarna. Warana dapat diasosiasikan dengan simbol dewa-dewa. Bagi kaum wanita, perhiasan bunga disisipkan pada rambut yang tersusun rapi, bagi kaum pria disispkan pada daun telinga kiri dan kadang keduanya. Penggunaan bunga alami ini dilakukan hampir pada setiap kesempatan terutama sesudah upacara persembahyangan yang menerangkan bunga sebagai simbol berkah. Penggunaan bunga alami tersebut akan mudah kita temui saat berlangsungnya berbagai upacara adat.
2.3.5 Kebudayaan Manggarai
2.3.5.1 Sejarah Suku bangsa M anggarai telah mengenal suatu sistem kenegaraan sejak lama, yaitu sejak abad ke-17, saat kerajaan Bima dari Sumbawa Timur menguasai bagian utara dari Flores Barat. Pegawai-pegawai Bima di Reo telah menulis tentang wilayah Bima di Flores dalam bahasa M elayu. Dari tulisan itu pula diketahui ada suatu kerajaan pribumi
48
M anggarai yang berpusat di daerah Cibal di bagian tengah Flores Barat dan ada sekitar 1666 orang M akasssar berusaha menguasai bagian selatan Flores Barat. Penduduk bagian selatan ini karanya sudah banyak yang beragama Islam dengan usaha penyiaran agama Islam oleh imigran-imigaran M inangkabau. Dalam tahun 1762, kerajaan Bima berhasil menguasai M anggarai Selatan dan mengusir orang M akassar, bahkan dalam tahun-tahun sesudah itu Bima bisa menguasai kerajaan M anggarai asli di Cibal.
2.3.5.2 S truktur dan S istem Sosial Kerajaan Manggarai Asli Dulu kerajaan M anggarai terdiri dari kurang lebih 39 daerah kecil yang disebut dalu. Tiap dalu terdiri dari sejumlah daerah khusus yang disebut glarang sedangkan tiap glarang terdiri dari sejumlah desa atau beo. Ada beberapa dalu yang membawahi beberapa sub-dalu, tapi dalam prakteknya sub-dalu itu adalah dalu yang otonom. Tiap dalu biasanya dikuasai satu klen atau wau tertentu dan warga klen dominan dalam dalu ini, menganggap dirinya bangsawan. Beberapa dari klen-keln bangsawan ini terikat satu sama lain dengan perkawinan tungku (kawin silang sepupu asimetris). Demikian dalu-dalu di mana klen tersebut berkuasa merupakan kawan menurut adat. Pola ini juga berulang dalam lingkup glarang. Kepala dari suatu dalu biasanya disebut dengan gelar kraeng atau kraeng adak, sedangkan beberapa dari kepala dalu yang terpenting seperti kepala dalu Todo dan kepala dalu Bayo, disebut dengan gelar untuk raja, yaitu sangaji. Dalam kerajaan M anggarai asli ada beberapa pejabat kerajaan yang penting. Salah satu dari mereka adalah tu'a tana (atau tuan tanah). Pejabat ini adalah ahli adat mengenai
49
tanah, yang biasanya punya pengetahuan luas mengenai sejarah dari tiap-tiap bidang tanah yang dikuasai klen. Jabatannya adalah jabatan keturunan. Pejabat kerajaan lain adalah raja bicara yang bertugas menjadi perantara antara klen raja dan klan bangsawan lain. Karena mereka dianggap sebagai orang yang pandai berdiplomasi maka ia sering diminta sebagai perantara merundingkan mas kawin atau paca-wina. Kedua tokoh sebelumnya ada di tingkat kerajaan dulu, tingkat dalu, dan di tingkat glarang. Kecuali kedua tokoh tadi masih ada di semua tingkat beberapa pejabat pembantu seperti perwis, punggawa dan lain-lain. Ada suatu sistem stratifikasi sosial kuno yang terdiri dari tiga lapisan. Dasar pelapisan itu adalah keturunan dari klen-klen yang dianggap punya sifat keaslian atau senior. Pada orang M anggarai ada lapisan kraeng, ata lehe dan budak. Lapisan kraeng adalah lapisan bangsawan yang terbagi lagi menurut sifat keasliannya. Lapisan ata leke adalah lapisan orang biasa yang bukan keturunan klen senior. M ereka biasanya bekerja sebagai petani, tukang atau pedagang meskipun banyak juga orang bangsawan yang sehari-harinya menjadi petani saja. Lapisan budak adalah orang-orang yang ditangkap dalam peperangan, baik dari suku bangsa sendiri atau tidak atau pulau lain atau orang yang punya hutang dan tak mampu membayar, dan yang terakhir adalah orang yang melanggar adat. Secara lahir perbedaan gaya hidup dari warga lapisan sosial itu tak ada tapi ada perbedaan dalam sopan santun pergaulan dan hak-hak tertentu dalam upacara adat.
2.3.5.3 Tata Desa dan Rumah
50
Gambar 2.23 Pemandangan desa Ruteng di M anggarai
Desa-desa di Flores (Beo di M anggarai), dulu biasanya dibangun di atas bukit untuk keperluan pertahanan. Pola perkampungan dari desa tersebut biasanya merupakan lingkaran dengan tiga bagian, yaitu depan, tengah dan belakang. Di M anggarai masih ada sebutan khusus untuk bagian dean yaitu pa'ang, bagian tengah beo dan bagian belakang ngaung. Dulu di tiap rumah ada tempat keramat yang berupa timbunan batu-batu besar disusun seperti piramida bertangga dengan beberapa batu pipih tersusun seperti meja di puncaknya dan dianggap tempat roh-roh penjaga desa dapat turun. Seluruh timbunan itu disebut kota. Di hadapan timpunan batu itu biasanya ada bangunan balai desa yang juga bersifat keramat bernama mbaru gendang, karena di dalamnya disimpan sebuah genderang yang keramat.
51
Di sekeliling desa di Flores dahulu selalu dikelilingi sebuah pagar bambu setinggi dua sampai tiga meter dan seringkali dikelilingi lagi dengan tumbuhan belukar berduri. Nantinya lebih banyak desa-desa dibangun di tanah datar di kaki bukit, lebih terbuka, seringkali tanpa pagar dan pola lingkaran ditinggalkan.
Gambar 2.24 Rumah mbaru gendang
Di M anggarai, rumah kuno berbentuk lingkaran di atas tiang-tiang yang tingginya kira-kira satu meter. Atapnya dibuat dari lapisan-lapisan ikatan-ikatan jerami itu berbentuk kerucut yang menjulang tinggi, kadang lebih dari lima meter dari atas tanah.. Ruang di bawah lantai, di kolong rumah dipakai untuk tempat menyimpan alat pertanian dan sebagai tempat untuk ternak seperti babi, kambing, domba dan ayam. Tingkat tengah adalah tempat tinggal manusia dan tingkat atap diangap bagian keramat dari rumah, tempat untuk roh-roh. M aka di tempat tersebut disimpan benda-benda keramat dan pusaka dan juga bahan makanan
52
2.3.5.4 Mata Pencaharian M ata pencaharian hidup yang utama dari orang Flores adalah bercocok tanam di ladang. Pada warga lelaki dari sejumlah keluarga biasanya bekerja sama dalam hal membuka ladang dalam hutan. Setelah itu tanah yang telah dibuka itu akan dibagibagi.Tanahnya akan dibatasi dengan pohon-phon dan batang-batang yang tidak terbakar saat pembukaan lahan. Tanaman yang ditanam adalah jagung dan padi. Selain bercocok tanam, berternak adalah mata pencaharian yang penting pula. Binatang tak dipelihara untuk tujuan ekonomis tapi untuk membayar mas kawin, disembelih, konsumsi upacara adat dan untuk perlambang kekayaan dan gengsi. Binatang peliharaan yang penting adalah kuda yang sering dipakai untuk memuat barang atau menghela juga untuk harta mas kawin. Kerbau dan sapi dimasukkan ke kandang umum di desa dan digembala di padangpadang yang juga milik umum desa. Kuda biasanya dibiarkan siang malam berkeliaran lepas di padang rumput desa, hanya jika dibutuhkan ditangkap, setelah dipakai dilepas lagi. Pemeliharaan babi, kambing, domba atau ayam dilakukan di pekarangan rumah dan di M anggarai pada malam hari, mereka dimasukkan ke kolong rumah.
2.3.5.5 Busana Adat
53
Gambar 2.25 Busana keseharian orang M anggarai
Kaum wanita Flores dalam berpakaian kelihatan seperti pakaian tradisional Sulawesi Selatan terutama daerah Bugis-M akassar degan baju Bodo-nya. Secara tradisional masyaralat NTT megenal dua jenis pakaian yaitu yang dikenakan kaum lelaki dan wanita. Bahan yang dipakai umumnya ditenun sendiri. Di beberapa tempat di Sumba Sabu dan beberapa tempat di Flores, pakaian sehari-hari hampir tidak berbeda dengan pakaian untuk pesta, hanya saja lebih sederhana atau kurang hiasannya dan kain tenun yang sudah tua. Sebagai perlengkapan pakaian wanita di beberapa daerah seperti Sumba, Sabu, Timor, Alor dan M anggarai mengenakan mahkota yang berbagai bentuk sedangkan lelakinya menggunakan destar.
54
2.3.5.6 Flora dan Alam Daerah padang rumput luas (sabana) yang terutama terhampar di beberapa pulau besar seperti Sumba, Flores dan Timor berpotensi besar untuk peternakan. Kondisi alam, iklim dan potensi air di NTT, yang pada umumnya kurang mendukung bagi pertumbuhan tanaman ataupun kehidupan hewan, menyebabkan keragaman flora dan fauna di wilayah ini, tidak sebanyak yang terdapat di wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Flora selain jenis tumbuh-tumbuhan yang telah dibudidayakan oleh penduduk seperti tanaman padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang kedelai, kacang tanah, sayur mayur, tanaman buahbuahan, kelapa, cengkeh, vanili, jambu mete, kapas, apel, kapuk, kemiri, dan lain-lain, juga terdapat jenis tumbuhan lain di kawasan hutan seperti akasia, kayu putih, kayu cendana, kayu lontar, kayu gaharu, asam dan alin-lain. Dari jenis-jenis ini yang terkenal adalah cendana. Di wilayah ini terdapat juga berbagai jenis fauna dari yang sudah diternakkan penduduk (kuda, sapi, kerbau, kambing dan berbagai jenis unggas, babi dan lain-lain) dan binatang liar di hutan seperti rusa, babi hutan, berbagai jenis ular, kambing hutan, kerbau liar, kuda liar, kera dan beraneka jenis burung seperti bueung nuri, kakatua dan burung Bayan. Yang terkenal adalah komodo dan bayan.
2.3.6 Kebudayaan Bugis-Makassar
2.3.5.1 S truktur dan S istem Sosial
55
H.J Friedericy pernah menulis desertasi di mana ia menggambarkan pelapisan masyarakat orang Bugis-M akassar dari zaman sebelum pemerintah kolonial Belanda menguasai Sulawesi Selatan. M enurutnya dulu ada 3 lapisan pokok yaitu Anakarung (ana' karaeng dalam bahasa M akassar) yang merupakan lapisan kaum kerabat raja-raja, To-maradeka (Tu-mara-deka dalam bahasa M akassar) yang merupakan lapisan orang merdeka sebagai sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan dan Ata yang merupakan lapisan budak sebagai orang yang ditangkap dalam peperangan, tak dapat membayar hutang dan pelanggar pantangan adat. Setelah pemerintah kolonial Belanda masuk, lapisan ata mulai hilang dan setelah PD kedua perbedaan lapisan semakin tak berarti lagi.
2.3.5.2 Mata Pencaharian Penduduk Sulawesi Selatan, pada umumnya adalah petani seperti pendudukpenduduk dari daerah lain di Indonesia. M ereka menanam padi bergiliran dengan palawija di sawah. Di berbagai tempat di pegunungan, pedalaman dan tempat terpencil seperti Toraja, banyak penduduk masih melakukan cocok tanam dengan teknik perladangan. Orang-orang Bugis-M akassar yang tinggal di daerah pantai bermata pencaharian utama menangkap ikan. M ereka dapat menangkap ikan denga perahu layar sampai jauh ke laut. M emang suku mereka telah terkenal sebagai suku bangsa pelaut di Indonesia yagn telah mengembangkan kebudayaan maritim beberapa abad lamanya. Perahu-perahu layar mereka adalah tipe penisi dan lambo yang telah mengarungi perairan nusantara bahkan sampai ke Srilanka dan Filipina untuk berdagang. Kebudayaan maritim Bugis-
56
M akassar tak hanya mengembangkan perahu layar dan kepandaian berlayar yang cukup tinggi tapi juga meninggalkan hukum niaga dalam pelayaran. Selain berlayar mencari ikan menyusuri pantai-pantai Sulawesi Selatan atau berdagang ke berbagai tempat di nusantara, orang Bugis-M akassar juga banyak menangkap teripang yang dijual ke tengkulak-tengkulak untuk dieksport ke Cina. Untuk menangkap teripang, mereka berlayar jauh sampai kepulauan Tanimbar, pantai Irian Barat dan ke Australia utara.
2.3.5.3 Adat Keramat Orang Bugis M akassar terutama yang hidup di luar kota, dalam kehidupannya sehari-hari masih banyak terikat norma dan aturan-aturan adatnya yang keramat dan sakral, disebut panngaderreng (atau panngadakkang dalam bahasa M akassar). Sistem adat keramat itu berdasarkan atas lime unsur pokok: Ade' (ada' dalam bahasa M akassar), Bicara, Rapang, Wari', Sara'. Unsur-unsur pokok dari adat keramat tersebut terjalin satu sama lain dalam alam pikiran orang Bugis-M akassar, yang memberi rasa sentimen kewargaan, identitas sosial, juga martabat dan harga diri dalam konsep siri'. Ade' adalah unsur bagian dari panngaderreng yang secara khusus terdiri dari dua bagian. Ade' akkalabinengeng, atau norma mengenai hal-hal perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban warga rumah tangga, etika dalam berumah tangga dan sopan satun pergaulan kaum kerabat. Ade' tana, atau norma-norma mengenai hal-ikhwal bernegara dan memerintah negara dan berwujud sebagai hukum negara, hukum antar negara, serta etika dan pembinaan insan politik. Pembinaan dan pengawasan ade'dalam masyarakat dilaksanakan beberapa pejabat adat.
57
Bicara adalah unsur bagian dari panngaderreng, yang mengenai semua aktivitas dan konsep-konsep yang bersangkut paut dengan peradilan, maka kurang lebih sama dengan hukum acara. Rapang berarti contoh, perumpamaan, kias, atau analogi. Sebagai bagian unsur panngaderreng, rapang menjaga kepastian dan kontinuitas dari sisi keputusan hukum tak tertulis dalam masa lampau sampai sekarang, dengan membuat analogi antara kasus dari masa lampau dengan yang sekarang sedang terjadi. Rapang juga berwujud sebagai perumpamaan yang mengajurkan kelakuan ideal dan etika dalam lapangan hidup tertentu seperti berkeluarga, berpolitik, memerintah negara dan sebagainya. Wari'
adalah
mengklasifikasikan
unsur
dari
segala benda,
unsur
bagian
dari
panngaderreng,
yang
peristiwa dan aktivitasnya dalam kehidupan
masyarakat. M isalnya untuk memelihara susunan dan penempatan hal dan binda dalam kehidupan masyarakat, untuk memelihara jalur dan garis keturunan yang mewujudkan pelapisan sosial, untuk memelihara hubungan kekerabatan antara raja suatu negara dengan negara lain. Sara' adalah unsur bagian dari panngaderreng, yang mengandung pranata dan hukum Islam dan yang melengkapkan unsurnya menjadi lima. Hukum Islam atau syari'ah diintegrasikan dalam pannganderreng dan menjadu sara' sebagai sutu unsur pokok darinya kemudian malah menjiwai keseluruhannya. Unsur-unsur dari kepercayaan lama seperti pemujaan dan upacara bersaji kepada roh mnenek moyang atau attoriolong, pemeliharaan tempat keramat atau saukung, upacara turun ke sawah, upacara medirikan dan meresmikan rumah dan sebagainya semuanya dijiwai konsep-konsep agama Islam.
58
Konsep siri' mengintegrasikan secara organis semua unsur pokok dari panngaderreng. Dari hasil penelitian para ahli ilmu sosial dapat diketahui bahwa konsep siri' meliputi banyak aspek dalam kehicupan masyarakat dan kebudayaan orang Bugis M akassar. beberapa artinya dikatakan sebagai rasa malu, daya pendorong untuk membinasakan siapa saja yang telah menyinggung rasa kehormatan seseorang atau daya pendorong untuk bekerja atau berusaha sebanyak mungkin. Lainnya adalah perasaan mau yang memberi kewajiban moril untuk membunuh pihak yang melanggar adat terutama dalam soal-soal hubungan perkawinan. Siri' adalah suatu hal yang abstrakdan hanya akibatnya yang dapat diobservasi. Balam kenyataan sosial, orang Bugis-M akassar cepat merasa tersinggung, lekas menggunakan kekerasan dan membalas dendam dengan membunuh. Secara lahir, sering tampak seolah-olah orang Bugis-M akassar itu merasa siri' sehinga rela membunuh atau dibunuh karena alasan-alasan sepele atau karena pelanggaran adat perkawinan.
2.3.7 Keris
2.3.7.1 Bagian-Bagian Keris & Arti Magisnya
59
Gambar 2.26 Bagian-bagian dalam keris Jawa
Pusaka warisan paling terkenal bagi orang Jawa adalah keris. Pada zaman dahulu, seorang pria tidak akan dianggapa sebagai pria jika tak memiliki keris. Keris dihargai tinggi, dirawat dan dihomati. Pusaka ini biasanya diturunkan dari ayah. M enurut adat tradisional Jawa, terutama keluarga kerajaan, seorang ayah wajib memberikan warisan kepada anak laki-laki dewasanya setidaknya sebuah keris. Umumnya, keris dibagi menjadi dua bagian besar, bilahnya (wilah) dan sarungnya (warangka). Pembuatan keris bisa memakan satu tahun hanya untuk membuat sebuah keris. Pembuat keris disebut Empu dan hanya Empu yang terhormat yang bisa membuat keris berkualitas tinggi, secara fisik dan spiritual. Empu harus melakukan beberapa
60
kegiatan spiritual untuk menyiapkan sebuah keris seperti berpuasa, tak tidur selama beberapa hari dan malam, meditasi, dan lain-lain. Dalam prinsipnya, keris adalah senjata pribadi yang suci yang dibuat empu untuk memenuhi keinginan pemesan. Selain tampak fisiknya, keris memiliki misi spiritual. 1. Kekuatan spriritual aslinya adalah kekuatan doa Empu, pembuatnya. Ketika menyiapkan keris, Empu dalam keadaan suci, berdoa dengan khushuk pada Tuhan, kerisnya akan memiliki kekuatan seperti harapan Empu atau pemesan. 2. Kekuatan tambahan atau kekuatan lain dari keris didapat dari jin atau godam yang mungkin dimasukkan dalam kerisnya untuk melindungi pemilik keris. Bentuk fisik keris juga enyimbolkan tujuannya 1. Dapur: Jalak Ngucup M adu yaitu untuk kemakmuran pemiliknya 2. Pamor: Udan M as yaitu untuk mendapatkan harta yang banyak 3. Bentuk lekuk keris: -Lurus menyimbolkan kepercayaan diri, mental yang kuat -Luk 3 supaya sukses untuk mencapai beberapa keinginan -Luk 5 supaya dicintai orang-orang -Luk 7 menyimbolkan kehormatan -Luk9 menyimbolkan kehormatan, kharisma dan kepemimpinan -Luk 11 untuk menggapai posisi tinggi -Luk 13 untuk kedamaian dan stabilitas hidup Keris akan dianggap baik bila memiliki bentuk fisik yang sempurna dan memiliki kekuatan spiritual yang kuat dan baik.
2.3.7.2 Empu Keris & Pembuatan Keris 61
Berdasarkan ilmu perkerisan, bisa disimpulkan, bahwa para empu zaman dulu adalah seorang ahli batin, sehingga mereka mampu menciptakan sebilah keris dengan memasukkan ilmu aji pada tiap tempaannya sehingga serat keris itu jadi mempunyai suatu daya magis yang sangat besar pengaruhnya. Keris-keris ciptaan Empu itu setiap zaman mempunyai ciri-ciri khas tersendiri sehingga para Pendata benda pusaka itu tidak kebingungan. Ciri khas terletak pada segi pengggarapan dan kusalitas besinya. Kualitas besi merupakan ciri khas yang paling menonjol, sesuai dengan tingkat sistem pengolahan besi pada zaman itu, juga penggunaan bahan ‘Pamor’ yang mempunyai tahapan-tahapan pula. Bahan pamor yang mula-mula dipergunakan batu ‘meteor atau batu bintang’ yang dihancurkan dengan menumbuknya hingga seperti tepung kemudian kita mengenali titanium semacam besi warnanya keputihan seperti perak, besi titanium dipergunakan pula sebagai bahan pamor. Titanium mempunyai sifat keras dan tidak dapat berkarat, sehingga baik sekali untuk bahan pamor. Sesuai dengan asalnya di Prambanan maka pamor tersebut dinamakan pamor Prambanan. Keris dengan pamor Prambanan dapat dipastikan bahwa keris tersebut termasuk bertangguh Nom. Karena diketemukannya bahan pamor Prambanan itu pada jaman Kerajaan M ataram Kartasura (1680-1744).
2.4 Kebudayaan dan Masyarakat In donesia saat ini Suku bangsa di Indonesia ada 1.128 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) sebagaimana yang dikemukakan dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI tanggal 3 Februari 2010. (afz/jpnn, 2010). Ini berarti budaya Indonesia yang
62
beragam dari satu suku ke suku lain tidak terhitung banyaknya. Sayangnya lambat laun semua budaya tradisional itu semakin dilupakan oleh masyarakat kita sendiri, terutama generasi mudanya. Fakta ini dikemukakan oleh Koordinator IndoWYN Lenny Hidayat, Program Specialist Unesco Office, Jakarta, M asanori Nagaoka, dan Wakil Koordinator IndoWYN Hindra Liu, pada jumpa pers Pelatihan dan Pendidikan Warisan Budaya untuk Kaum M uda Indonesia. Rabu, 26 November 2008 di Jakarta. (Yurnaldi, 2010) Semua peninggalan adat dan budaya adalah harta yang seharusnya dijaga dan bila mungkin, terus dilestarikan karena mereka adalah bagian dari identitas masyarakat Indonesia, harta yang tidak ternilai harganya. Dalam seminar HAKI berjudul "Sudah Dilindungi dan Dilestarikankah Budaya Kita?" pada tanggal 22 Februari 2010 lalu yang bertempat di gedung Dirjen Kebudayaan dan Pariwisata di Jalan M erdeka Barat yang diselenggarakan oleh Universitas Tarumanegara, juga dikatakan bahwa saat ini kebudayaan tradisional semakin punah, perlu ada dorongan dari media dan masyarakat untuk memulihkan kesadaran akan budaya Indonesia yang kaya dan sangat berpotensi untuk menjadi sumber pemasukan negara bila diberdayakan dengan baik.
2.5 Industri Animasi di Indonesia Dikatakan sejak tahun 1933, Indonesia telah menjadi pasar produk animasi Walt Disney. Tahun 1955, presiden Bung Karno, mengirim Dukut Endranoto untuk belajar animasi di studio Disney. Setelah tiga bulan, ia kembali ke Indonesia dan membuat animasi untuk kampanye politik berjudul "Si Doel M emilih". Tahun 1963, Pak Dukut pindah ke TVRI. Tetapi belakangan, program acara niaga yang memuat semacam iklan
63
ditutup karena terlalu konsumtif padahal program tersebut bisa membantu perkembangan animasi. Sekitar tahun 70-an ada satu studio yang didirikan orang Amerika di Jakarta bernama Anima Indah yang khusus untuk pengerjaan iklan saja. Studio ini termasuk studio yang mempeopori berkembangnya animasi di Indonesia karena banyak menyekolahkan kru-nya belajar animasi ke Jepang, Inggris, Amerika dan lain-lain. Selain itu, banyak pula film saat itu yang dibuat dengan kamera film seluloid 8mm. Hal ini melahirkan sebuah karya seni baru dan mengawali ide munculnya sebuah festival film. Di festival film itu juga muncul karya animasi dan membuka jalan bagi judul-judul kemudian seperti "Batu Setahun", "Trondolo", "Impulse" dan"Timun M as". Tahun 80-an adalah tahun maraknya animasi Indonesia. Ada seri animasi berjudul "Petualangan Si Huma"yang diproduksi PPFN (Pusat Produksi Film Negara), ada pula "Rimba Si Anak Angkasa" yang merupakan hasil kolaborasi animator-animator lokal. Tahun 80-90 an adalah saat di mana banyak studio-studio animasi tercipta, ada yang sepenuhnya lokal tapi ada pula yang bekerja sama dengan studio animasi luar. Tumbuhnya beberapa stasiun televisi juga membantu perkembangan film animasi saat itu tapi kebanyakan hanya sebatas iklan. TPI sempat memutar dua film seri animasi berjudul "Satria Nusantara"dan "Hela Heli Helo" tapi keduanya tidak bertahan lama. Hela Heli Helo adalah film animasi 3D pertama yang dibuat studio animasi Surabaya. Akhir tahun 90-an, muncul film-film animasi dengan basis cerita daerah. Untuk mendukung perkembangan industri animasi lokal, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menggelar Pekan Komik dan Animasi Naisonal yang pertama tahun 1997.
64
M emasuki milenium kedua, Red Rocket Animation dan Bening Animation Studio memproduksi film-film animasi yang berbasiskan cerita daerah. Serial animasi 3D mulai memasuki bioskop, seperti "Janus Prajurit Terakhir" dan "Homeland". Pada era ini, software dan komputer sudah lebih murah sehingga para animator lebih mudah membuat karyanya sendiri. Banyaknya sarana dan festival juga membantu industri ini untuk semakin berkembang. Saat ini di Indonesia, film animasi dari luar negeri, terutama Jepang, cukup marak dan tidak diragukan lagi diminati oleh masyarakat Indonesia. Hal ini juga dikemukakan M enteri Perdagangan (M endag), M ari Elka Pangestu Rabu, 10 Februari 2010 lalu Ia menilai, para produsen film animasi asing sepertinya menangkap, bahwa segmen penonton film animasi di Indonesia memang cukup besar. "Sebab, sekitar 50 persen penduduk Indonesia berusia di bawah 29 tahun," katanya. (Ant/tvOne, 2010) Hal ini menjadikannya media yang bagus untuk menarik perhatian generasi muda pada umumnya. Yang patut menjadi perhatian adalah tidak bergaungnya film-film animasi yang memasukkan unsur budaya Indonesia sendiri. M aksudnya, bukan tidak ada film animasi yang mengangkat unsur budaya Indonesia tetapi masih jarangnya animasi dengan cerita fantasi yang original dan menarik untuk diikuti tapi juga mengenalkan unsur-unsur budaya Indonesia di dalamnya. Halangan yang menghambat industri ini untuk maju adalah tidak seimbangnya harga animasi impor dengan yang diproduksi lokal serta masih belum percayanya industri terhadap kemampuan animator lokal. Hal ini pula yang telah ditegaskan oleh Bapak Ichal, pengajar di HelloM otion di seminar berjudul "Industri Animasi & Beasiswa ke Jepang" yang diselenggarakan oleh Nippon Club di Bina Nusantara 3 April 2010 yang
65
lalu dan juga oleh Bapak Denny selaku ketua dari AINAKI. Animasi impor dapat dibeli dengan jumlah episode yang pasti, rating penonton yang pasti dan dengan harga sekitar 5 jt rupiah per episodenya. Sedangkan animasi buatan lokal hampir pasti akan melebihi jumlah tersebut dan belum tentu menjual.
2.6 S asaran Khalayak
Secara keseluruhan, targetnya adalah generasi muda Indonesia tetapi sasaran utamanya adalah remaja-dewasa, pelajar SM A dan universitas dan yang baru memasuki dunia kerja. Sebagai masyarakat kota, mereka mudah lelah dengan rutinitas sehingga biasanya waktu kosong yang ada digunakan sebaik-baiknya untuk refreshing. Untuk hiburan biasanya mereka berbelanja di mall, jalan-jalan bersama teman, bermain game, membaca buku komik, menonton film di bioskop atau film yang sumbernya dari D VD, VCD dan download dari web. M ereka agak jarang mengikuti acara di TV karena keterbatasan waktu dan jadwal, kalaupun ada, mereka umumnya menonton TV saat sore sampai malam hari. Beberapa orang dewasa terkadang menonton berita pagi. Cakupan pasar ini umumnya cukup luas di perkotaan atau setidaknya cukup banyak di kota Jakarta.
2.7 Analisa Kasus (Strength Weakness Opportunity Threat) Strength: Remaja Indonesia saat ini baik lelaki dan perempuan menyukai film animasi, ini terbukti dari larisnya film animasi di bioskop maupun maraknya anime yang
66
ditayangkan di stasiun televisi. Hal ini akan dapat mendukung konten yang akan dibawa seri animasi penulis supaya lebih mudah diterima oleh konsumen. Weakness: Selama ini tidak ada seri animasi lokal yang benar-benar bagus dan berhasil sehingga kepercayaan masyarakat terhadap produksi animasi lokal pun rendah. Ini juga berpengaruh pada modal yang tersedia, jika dukungan sedikit maka tidak ada juga pemodal yang akan mau menginvestasikan hartanya untuk proyek ini. Belum lagi seri ini termasuk akan memakan waktu dalam penyiapan cerita karena perlu riset mendalam dahulu sebelum mulai menyusun rangkaian cerita untuk seri satu daerah. Opportunity: Cerita original (baru), bukan disadur dari sebuah cerita tradisional sehingga akan lebih banyak menarik minat, ini terbukti dari lebih terkenalnya karya animasi yang tidak secara sengaja mengangkat unsur daerahnya daripada yang dipromosikan sebagai modul pembelajaran.
Gambar 2.27 Logotype judul Kabayan dan Liplap Threat: Adanya sebuah karya animasi dalam negeri yang memiliki kemiripan ide awal dengan proyek ini, yaitu Kabayan dan Liplap. M ereka juga mengangkat subjek kebudayaan Indonesia untuk diperkenalkan sepanjang ceritanya tetapi dari cara bercerita akan berbeda karena mereka menggunakan metode bercerita yang lebih mendekati edutainment sedangkan proyek ini menggunakan cerita fiksi fantasi sebagai unsur penarik utama. 67
Saat ini, tidak banyak animasi produksi dalam negeri yang dikenal masyarakat, kebanyakan dari mereka hanya melihat karya animasi lokal dari iklan sehingga saingan dapat dikatakan hanya datang dari animasi luar negeri. Dengan banyaknya animasi luar negeri yang masuk Indonesia, berarti akan ada persaingan dalam hal penjualan.
68