BAB II DATA AWAL PROYEK
Kasus
: Auditorium Musik Klasik
Sifat proyek
: Semi-Fiktif
Lokasi
: Jl. Profesor Sutami, Setrasari, Bandung
Luas lahan
: + 13500 m2
Luas bangunan
: + 6051.2 m2, dan parkir + 7590.7 m2
Batas lahan perancangan Utara
: Perumahan Penduduk,
Selatan
: Jl. Prof. Sutami, Setrasari Mall
Timur
: Sawah kering, Bengkel, Mesjid
Barat
: Sawah Kering, Jl. Prof. Surya Sumantri
Pemilik proyek
:
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal, dalam hal ini Bandung Choral Society (BCS), yang bekerjasama dengan lembaga donatur independen dan LSM internasional penyelenggara pertunjukan musik klasik berskala internasional seperti International Federation Choir Music(IFCM), Musica Mundi, dll. Pemilik dana
:
Interkultur Foundation dan lembaga donatur independen Garis Sepadan Bangunan (GSB): 15 dari pinggir jalan.
2.1 Lokasi 2.1.1
Pertimbangan Pemilihan Kota Lokasi perancangan auditorium musik ini terletak di kota Bandung. Kota Bandung merupakan salah satu kota di Propinsi Jawa Barat yang cukup potensial. Dalam Peraturan Pemerintah No.47 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Kota Bandung ditetapkan sebagai salah satu Pusat Kegiatan Nasional (PKN) bersama-sama dengan 14 kota lainnya. Peta tata guna lahan kota Bandung ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Auditorium Musik Klasik
11
Gambar 2. 1 Peta TGL. Sumber : Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung Tahun 2013
Bandung juga merupakan kota yang sangat padat penduduknya dan rata-rata memiliki kesibukan tersendiri di kesehariannya sehingga menyebabkan kota Bandung menjadi kota yang sibuk setiap waktu. Kota Bandung secara administratif merupakan ibukota propinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 16.729,65 ha. Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung tediri atas 6 wilayah pengembangan, 26 kecamatan, serta 139 kelurahan dan desa. Perluasan Kota Bandung dilakukan pada tahun 1987 berdasarkan PP No. 16 tahun 1987. Perluasan ini dilakukan untuk mengantisipasi masalah kekurangan lahan di Kotamadya Bandung lama. Selain itu perluasan Kotamadya Bandung ini diharapkan juga dapat menampung fungsi-fungsi utama Kotamadya Bandung.
Pertumbuhan penduduk Kotamadya Bandung setelah perluasan kota tahun 1987 mengalami peningkatan meskipun tidak pesat. Penduduk Kota Bandung berdasarkan hasil registrasi dari Dinas Kependudukan Pemda Kota Bandung pada akhir tahun 2001 adalah 1.844.119 jiwa (perempuan 914.181 jiwa dan laki-laki 929.938 jiwa). Menurut sensus penduduk tahun 2000 rata-rata kepadatan penduduk Kota Bandung 12.770 jiwa/km2, dilihat dari segi jumlah penduduk, kecamatan di kota Bandung memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia namun sampai saat ini fasilitas untuk publik yang memadai sebagai tempat berapresiasi, berekreasi bersama keluarga, berinteraksi dengan warga dan
Auditorium Musik Klasik
12
sebagainya masih kurang. Dari data Dinas Tata Kota, ternyata fasilitas–fasilitas di kota Bandung belum dapat berfungsi dan terencana dengan baik.
Citra kota Bandung sebagai kota tujuan wisata berskala nasional dapat menarik animo pengunjung baik dari luar kota maupun luar negeri untuk datang. Di samping dapat berbelanja, para wisatawan dan pengunjung pun dapat memanjakan diri, relaksasi, dan rekreasi sambil menikmati suasana asri kota. Pemilihan lokasi ini dianggap tepat dan diharapkan fasilitas ini bisa berdiri secara harmonis dengan bangunan-bangunan komersial yang fasilitasnya beragam.
Selain itu, pemilihan lokasi di kota Bandung juga dikarenakan kota Bandung dikenal sebagai kota yang sarat dengan seni. Banyak seniman yang dihasilkan dari kota ini. Bandung juga merupakan salah satu tujuan para wisatawan dalam negeri untuk menghabiskan akhir pekan. Karena keindahan yang masih terjaga di kota ini. Bandung sampai dijuluki orang sebagai ‘Paris van Java’, sense Paris yang melekat di kota Bandung karena indahnya.
Kota Bandung juga bisa dikatakan sebagai kota pengembang paduan suara di Indonesia, karena beberapa paduan suara yang berhasil berprestasi di Internasional
berasal
dari
kota
Bandung,
contohnya
PSM
Universitas
Parahyangan (WCG 2000, WCG 2002, Magdhobedoorf 2003), PSM Universitas Padjadjaran (WCG 2000, WCG 2002, Grand Prix di Inggris), PSM Universitas Kristen Maranatha (Kompetisi di Yunani, dan Prancis), PSM Institut Teknologi Bandung (WCG 2004, WCG 2006). Dari paduan suara-paduan suara inilah juga lahir tokoh-tokoh musik dan pelatih vokal yang terkenal di Indonesia. Seperti; Catharina W. Leimena, Avip Priatna, Indra Listiyanto, Yohanna Nurindro, Ivan Yohan, Ign. Bambang Jusana.
Selain itu, setiap tahunnya kota Bandung pasti akan selalu dikunjungi oleh para pecinta paduan suara dan musik klasik karena diadakannya kompetisi paduan suara dengan skala nasional yang paling bergengsi, dan simposium musik klasik.
Auditorium Musik Klasik
13
Kompetisi paduan suara yang dimaksud adalah Festival Paduan Suara ITB (diadakan pada tahun genap), dan Kompetisi Paduan Suara Unpar (diadakan pada tahun ganjil). Untuk symposium sendiri diadakan oleh Bandung Choral Society pada tahun ganjil (terakhir kali diadakan pada Juni 2007 ). Bandung Choral Society merupakan organisasi yang menaungi kegiatan paduan suara yang ada di kota Bandung. Melihat padatnya agenda kegiatan paduan suara di kota ini, maka sangat tepat bila auditorium ini dibangun di kota Bandung, selain mewadahi kegiatan tersebut juga sebagai sarana meningkatkan apresiasi masyarakat umum terhadap musik klasik di kota ini.
2.1.2
Lokasi Proyek Lokasi perancangan auditorium musik klasik ini berada di daerah Propinsi Jawa Barat, Kotamadya Bandung, Kelurahan Pasteur, Kecamatan Sukajadi, Jl. Prof. Sutami. Lokasi proyek ditunjukkan pada Gambar 2.2. Lokasi Proyek
Gambar 2.2 Lokasi Proyek. Sumber : RTRW Kota Bandung 2013
Auditorium Musik Klasik
14
2.2 Peraturan dan Standar yang Digunakan 2.2.1
Asumsi Beberapa asumsi yang diambil adalah: -
Pengadaan biaya untuk pembangunan fasilitas ini telah disanggupi dan ditanggung oleh pihak Direktorat Jendral Kebudayaan dan Pariwisata dengan bekerjasama dengan IFCM.
-
Studi kelayakan proyek telah dilakukan dan dinyatakan layak secara ekonomi dan sosial.
-
Bagaimana mengantisipasi timbulnya pedagang atau tukang ojek kagetan yang mengerumuni fasilitas ini sebagaimana yang seringkali terjadi pada fasilitas hiburan yang sedang ramai dikunjungi oleh wisatawan sehingga kerap mengganggu ketertiban fasilitas itu sendiri, juga kawasan di sekitarnya.
2.2.2
Standar yang Digunakan
2.2.2.1 Standar-standar akustik
Akustik lingkungan, atau pengendalian bunyi secara arsitektural merupakan suatu cabang pengendalian lingkungan pada ruang-ruang arsitektural yang dapat menciptakan suatu lingkungan yang kondisi mendengarkannya ideal untuk manusia. Bunyi yang ada dapat diserap, atau dipantulkan agar tetap terdengar dengan nyaman. Pengendalian bunyi secara arsitektural mempunyai dua sasaran, yaitu : a. Menyediakan keadaan yang paling disukai untuk produksi, perambatan, dan penerimaan bunyi yang diinginkan di dalam ruang. b. Peniadaan atau pengurangan bunyi yang tidak diinginkan di dalam ruangan. Dalam setiap situasi akustik, terdapat tiga elemen yang harus diperhatikan, sumber bunyi, jejak (perambatan bunyi) dan penerima bunyi (penonton).
Auditorium Musik Klasik
15
2.2.2.1.1 Pendengaran Manusia Telinga manusia dapat mendengar bunyi yang kekuatannya berada dalam jangkauan 20 sampai 20.000 Hz, namun hanya peka terhadap bunyi yang kekuatannya berada dalam jangkauan 400 sampai 5000 Hz, yaitu frekuensi yang penting untuk integibilitas pembicaraan dan kenikmatan musik yang sempurna. Pada kasus sekolah musik, bunyi-bunyian yang akan diperhatikan adalah bunyi alat musik. digunakan
mempunyai
Pada kenyataannya, skala Hertz yang banyak jangkauan
yang
lebar.
Skala
ini
tidak
memperhitungkan kenyataan bahwa telinga tidak tanggap terhadap perubahan tekanan bunyi pada semua tingkat intensitas. Karena alasan ini, tekanan bunyi diukur dalam skala logaritmatik, yang disebut skala decibel (dB). dB hampir sesuai dengan tanggapan manusia terhadap perubahan kekerasan bunyi. Hubungan antara Hz dan dB dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Hubungan antara Hz dan dB Sumber : Doelle, L. L. 1986. Akustik Lingkungan. Penerbit Erlangga : Jakarta.
2.2.2.1.2
Pemantulan dan Penyerapan Bunyi Benda-benda keras seperti beton, batu bata, plester, dan gelas memantulkan semua energi bunyi yang jatuh padanya. Sebaliknya bahan lembut, berpori seperti kain dan juga manusia menyerap sebagian besar gelombang bunyi yang jatuh padanya. Dalam auditorium, kondisi mendengar dapat diperbaiki dengan penggunaan pemantul-pemantul bunyi yang besar, yang ditempatkan
Auditorium Musik Klasik
16
di tempat yang sesuai. Pemantulan dan Penyerapan Bunyi ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Pemantulan dan Penyerapan Bunyi Sumber : Doelle, L. L. 1986. Akustik Lingkungan. Penerbit Erlangga : Jakarta.
Akustik ruangan dirancang agar bunyi tidak memantul pada permukaan pantul yang tidak diinginkan agar bunyi tidak terdengar saling menumpuk antara bunyi asli dan bunyi pantulan. Dalam akustik lingkungan unsur-unsur berikut dapat menunjang penyerapan bunyi: 1. Lapisan permukaan dinding, lantai dan atap. 2. Isi ruang seperti penonton, bahan tirai, tempat duduk dengan lapisan lunak dan karpet. 3. Udara dalam ruang1.
Difusi bunyi (penyebaran bunyi) yang cukup diperlukan pada jenis-jenis ruang tertentu untuk menghasilkan akustik ruang yang baik. Difusi bunyi dapat diciptakan dengan beberapa cara : 1. Pemakaian permukaan dan elemen penyebar tak teratur dalam jumlah yang banyak. 2. Penggunaan lapisan permukaan-permukaan pemantul bunyi dan penyerapan secara bergantian. 3. Distribusi lapisan penyerapan bunyi yang berbeda secara teratur dan acak1.
1
Doelle, L. L. 1986:26
Auditorium Musik Klasik
17
2.2.2.1.3. Bahan dan Konstruksi Penyerapan Bunyi2
Bahan-bahan dan konstruksi penyerapan bunyi yang digunakan dalam rancangan akustik dapat diklasifikasi menjadi bahan berpori-pori, penyerapan panel atau penyerap selaput, dan resonator tangga. 1. Bahan berpori a.
Unit akustik siap pakai Material yang termasuk di dalamnya adalah bermacam-macam ubin selulosa dan serat mineral yang berlubang maupun tak berlubang, bertekstur, panel penyisip, lembaran logam berlubang dengan bantalan penyerap. Penggunaan unit akustik siap pakai memberikan beberapa keuntungan : •
Penyerapan bunyi dapat diandalkan dan dijamin oleh pabrik pembuatnya.
•
Pemasangan dan perawatan mudah serta murah.
•
Dapat
dihias
kembali
tanpa
mempengaruhi
jumlah
penyerapannya. •
Penggunaan pada sistem langit-langit dapat digabungkan secara fungsional dan visual dengan persyaratan penerangan, pemanasan atau pengkondisian udara.
•
sebagian besar unit akustik.
Gambar 2.5 Macam-macam sambungan unit akustik siap pakai Sumber : Doelle, L. L. 1986. Akustik Lingkungan. Penerbit Erlangga : Jakarta. 2
Doelle, L. L. 1986:30-43
Auditorium Musik Klasik
18
b.
Plesteran akustik dan bahan yang disemprotkan Biasa digunakan jika usaha akustik lain tidak dapat dilakukan karena bentuk permukaan yang melengkung atau tidak teratur. Efisiensi akustiknya tergantung pada kondisi pekerjaan seperti ketebalan, komposisi campuran plesteran, jumlah perekat, keadaan lapisan dasar pada saat digunakan, dan cara lapisan digunakan.
c.
Selimut akustik Dibuat dari serat-sert karang, serat-serat gelas, serat-serat kayu, rambut dan sebagainya. Biasanya dipasang pada sistem rangka kayu atau logam dengan ketebalan bervariasi antara 25 hingga 125 mm. Penyerapan bergantung pada ketebalan lapisan.
d.
Karpet dan kain Mereduksi bahkan meniadakan dengan sempurna bising dari benturan atas, dan bising permukaan (langkah kaki, perpindahan perabot). Digunakan untuk dinding dan penutup lantai. Karpet pada dinding harus tahan api.
2. Penyerap panel Penyerap panel menyebabkan karakteristik dengung yang serba sama pada seluruh jangkauan frekuensi radio.
Gambar 2.6 Penyerapan bunyi pada plywood 6 mm dengan jarak pisah 75 mm. Sumber : Doelle, L. L. 1986. Akustik Lingkungan. Penerbit Erlangga : Jakarta.
Auditorium Musik Klasik
19
Beberapa bahan penyerap panel adalah panel kayu dan hard board, gypsum boards, langit-langit plesteran yang digantung, plesteran berbulu, plastic board tegar, jendela, kaca, pintu,lantai kayu dan panggung, pelatpelat logam (radiator). 3. Resonator tangga Terdiri dari sejumlah udara tertutup yang dibatasi oleh dinding-dinding tegar dan dihubungkan oleh lubang/celah sempit ke ruang sekitarnya, di mana gelombang bunyi merambat. a.
Resonator rongga individual. Balok beton standar yang menggunakan campuran yang biasa tetapi dengan rongga yang telah ditetapkan, disebut soundbox, merupakan jenis resonator berongga jaman sekarang. Balok dicor dalam dua seri, disebut tipe A dan tipe B. Unit tipe A mempunyai celah sekitar ¼ inci dan elemen pengisi yang tak mudah terbakar dalam rongganya. Dalam kedua tipe ini, rongga tertutup di atasnya, dan celah memungkinkan rongga tertutup tersebut berfungsi sebagai resonator Helmholtz. Balok dibuat dengan ketebalan 10, 15 dan 20 cm, semuanya mempunyai ukuran muka nominal 20x41 cm. Penyerapan bunyi maksimum terjadi pada frekuensi rendah, dan berkurang pada frekuensi yang lebih tinggi. Bagian permukaan balok yang terlihat dapat dicat dengan pengaruh pada penyerapan dapat diabaikan. Keuntungan yang besar terletak pada daya tahannya yang tinggi.
b.
Resonator panel berlubang Diletakkan pada lapisan penunjang padat yang diberi jarak pisah. Mempunyai jumlah leher yang banyak, yang membentuk lubanglubang panel. Lubang biasanya berbentuk lingkaran (kadang pipih). Rongga udara di belakang lubang membentuk bagian resonator yang tak terbagi, dan dipisahkan ke dalam lekukan oleh elemen-elemen system kerangka yang horizontal dan vertikal.
Auditorium Musik Klasik
20
Selimut isolasi menambah efisiensi penyerapan keseluruhan dengan memperlebar daerah frekuensi di mana penyerapan yang cukup besar dapat diharapkan.
Gambar 2.7 Resonator rongga individual Sumber : Doelle, L. L. 1986. Akustik Lingkungan. Penerbit Erlangga : Jakarta.
Gambar 2.8 Pemasangan resonator panel berlubang tertentu A) papan berlubang, (B) harboard, (C) logam atau plastik berlubang. Sumber : Doelle, L. L. 1986. Akustik Lingkungan. Penerbit Erlangga : Jakarta.
Karakteristik dengung yang cukup seimbang dan merata dapat diadakan dengan mengubah tebal panel berlubang, ukuran dan jarak antar lubang, ke dalam rongga udara di belakang panel berlubang, dan jarak pisah antara elemen-elemen sistem bulu (furring system).
Auditorium Musik Klasik
21
c.
Resonator celah Selimut isolasi membutuhkan perlindungan terhadap goresangoresan, memberikan kesempatan pada arsitek untuk merancang suatu lapisan permukaan atau layer perlindungan yang dekoratif, dengan elemen-elemen yang penampangnya relatif kecil dan dengan jarak antara yang cukup untuk memungkinkan gelombag bunyi
menembus
antara
elemen-elemen
layer
ke
bagian
belakangnya yang berpori.
Gambar 2.9 Resonator panel berlubang Sumber : Doelle, L. L. 1986. Akustik Lingkungan. Penerbit Erlangga : Jakarta.
2.2.2.1.3
Pemasangan dan Distribusi Bahan-bahan Penyerap
Karakteristik penyerapan bunyi sangat bergantung pada sifat-sifat fisik, detail pemasangan, dan kondisi lokal. Cara pemasangan bahan akustik mempunyai pengaruh yang besar pada sifat-sifat penyerapannya. Gambar berikut adalah beberapa cara pemasangan yang digunakan dalam melakukan percobaan penyerapan bunyi yang distandarisasi oleh The Acoustical and Insulating Material Association tahun 1968.
Auditorium Musik Klasik
22
Gambar 2.10 Bahan Penyerap Sumber : Doelle, L. L. 1986. Akustik Lingkungan. Penerbit Erlangga : Jakarta.
Tidak ada cara yang dapat dikatakan paling optimum untuk tiap pemasangan. Bermacam-macam perincian yang harus diperhatikan secara serentak adalah sebagai berikut : 1. Sifat-sifat bahan akustik 2. Kekuatan, tekstur permukaan, dan lokasi dinding-dinding ruangan di mana bahan akustik akan dipasang 3. Ruang yang tersedia untuk lapisan permukaan tersebut 4. Waktu yang dibutuhkan 5. Kemungkinan penggantiannya dalam waktu yang akan datang 6. Biaya
2.2.2.1.4
Pemilihan Bahan Penyerap Bunyi
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan lapisan-lapisan penyerap bunyi menurut Doelle tahun 1986 adalah 1. Koefisiensi penyerapan bunyi pada jangkauan frekuensi audio 2. Penampilan 3. Daya tahan terhadap kebakaran dan hambatan terhadap penyebaran api 4. Biaya instalasi Auditorium Musik Klasik
23
5. Kemudahan instalasi 6. Keawetan 7. Pemantulan cahaya 8. Perawatan, pembersihan, pengaruh dekorasi terhadap penyerapan bunyi 9. Kondisi pekerjaan (temperatur, kelembaban) 10. Kesatuan elemen-elemen ruang dengan lapisan akustik 11. Ketebalan dan berat 12. Tahanan terhadap uap lembab dan kondensasi 13. Kemungkinan adanya langit-langit gantung 14. Nilai insulasi termis 15. Daya tarik terhadap kutu, kutu busuk, jamur 16. Kemungkinan penggantiannya 17. Kebutuhan serentak akan insulasi bunyi yang cukup
2.2.2.2 Persyaratan Akustik dalam Rancangan Theatre
1. Tingkat kekerasan yang cukup dalam tiap bagian auditorium terutama ditempat-tempat duduk yang jauh. •
Penempatan penonton sedekat mungkin dengan sumber bunyi. Adanya balkon sangat membantu dalam medekatkan penonton sebanyak mungkin kepada sumber bunyi.
•
Sumber bunyi harus dinaikkan agar bunyi sebanyak mungkin dapat tersebar dengan merata
•
Lantai penonton harus miring tetapi cukup landai
•
Sumber-sumber bunyi harus dikelilingi oleh permukaan-permukaan pemantul bunyi
•
Permukaan pemantul bunyi yang paralel
•
Menghindari tempat duduk penonton yang terlalu lebar
Auditorium Musik Klasik
24
Gambar 2.11 Persyaratan Akustik Sumber : Doelle, L. L. 1986. Akustik Lingkungan. Penerbit Erlangga : Jakarta.
2. Energi bunyi yang didistribusi secara merata (difusi bunyi) Dua hal penting yang harus diperhatikan : a. Permukaan dinding tak teratur yang banyak (elemen-elemen bangunan yang ditonjolkan, langit-langit yang ditutup, dinding-dinding yang bergerigi, dekorasi permukaan yang dipahat, bukaan jendela yang dalam) b. Permukaaan dinding tak teratur yang besar
3. Karakteristik dengung yang optimum Gambar dibawah menunjukkan waktu dengung optimum pada berbagai volume ruang.
Gambar 2.12 Hubungan antara Volum Ruang dan Waktu Dengung Sumber : Doelle, L. L. 1986. Akustik Lingkungan. Penerbit Erlangga : Jakarta.
Auditorium Musik Klasik
25
Dalam perancangan akustik suatu auditorium, waktu dengung (RT) harus ditetapkan. Pengendalian dengung dilakukan dengan menetapkan jumlah penyerapan ruang total yang harus diberikan oleh lapisan-lapisan akustik, penghuni, isi ruang dan lainnya. RT =
0,16V A + xV
RT = waktu dengung, sekon V = volume ruang, m2 A = penyerapan ruang total, sabin/m2 x = koefisien penyerapan udara
4. Ruang yang bebas dari cacat akustik seperti gema, pemantulan yang berkepanjangan, gaung, pemusatan bunyi, distorsi, bayangan bunyi, dan resonansi ruang. 5. Menghindari bising dan getaran Konstruksi bangunan sangat berpengaruh dalam mengeliminasi bising dari luar. Tembok pemisah antara dinding bangunan harus terdiri dari dua lapisan terpisah, dan dibangun dari dasar bangunan sampai atap.
Gambar 2.13 Insulasi Bunyi
Auditorium Musik Klasik
26
Lantai dan langit-langit juga dapat mengeliminasi bising di udara dan bising benturan.
Gambar 2.14 Pemantul Bunyi
Gambar 2.15 Detil Lantai
Gambar 4.24 Hubungan antara Pintu
Pintu yang ditempatkan secara selang-seling dapat membantu secara efektif pada privasi akustik ruang-ruang yang ditempatkan sepanjang kedua sisi lorong.
Auditorium Musik Klasik
27
2.3
2.3.1
Pemahaman Tipologi Bangunan
Literatur
Beberapa Studi literatur yang digunakan adalah pada Walt Disney Concert Hall, Los Angeles, USA, Esplanade, Theatres on the Bay, Singpura, dan PPHUI.
2.3.1.1 Walt Disney Concert Hall, Los Angeles, USA, 2003
Arsitek bangunan ini adalah Frank Gehry, dan ahli akustik bernama Yasuhisa Toyota, dari Nagata Acoustics (Tokyo, Japan). Gehry sebagai sang arsitek, ingin merancang bangunan seperti patung yang menggambarkan musik, yang diharapkan dapat memberikan kesatuan antara pemain musik dan penonton. Toyota sebagai ahli akustik, ingin membangun sebuah ruangan yang dapat menciptakan musik yang hangat tanpa mengesampingkan kejernihan suara. Pihak owner, keluarga Walt Disney, menginginkan sebuah Concert Hall yang memiliki kualitas akustik yang terbaik di dunia. Walt Disney Concert Hall ditunjukkan pada Gambar 2.17 a, b, c, d, e, f, g, dan h.
Dalam perancangan akustik, tim perancang dan pemain orkestra (Los Angeles Philharmonic) mengunjungi beberapa concert hall di Berlin, Amsterdam dan Boston. Keputusan yang dibuat adalah Suntory Hall (Tokyo) akan dijadikan. standar akustik. Mereka menyukai keintiman yang diciptakan oleh lokasi panggung dengan lokasi tempat duduk penonton.
Gambar 2.17a Ruang konser
Auditorium Musik Klasik
Gambar 2.17b Panggung
28
Rancangan bangunan dimulai dengan merancang ruang pementasan yang merupakan ruang utama. Konsep desainnya adalah perpaduan antara bentuk tempat duduk penonton yang menyerupai patung yang dibentuk menjadi kotak. Gehry mendeskripsikannya seperti perahu yang terbuat dari kayu yang diletakkan disebuah boks, menggambarkan perjalanan penonton dalam musik (a journey through music). Idenya adalah musik bukanlah pendengaran semata, namun juga sebuah pengalaman. Kenyamanan duduk, kualitas visual dan suhu ruangan menggambarkan musik itu sendiri. Psychoacoustic berperan penting dalam pembangunan bangunan ini. Toyota memilih kayu sebagai material utama ruangan, sebagai metamorfosa dari sebuah perahu dan juga dapat memberikan akustik ruangan yang baik. Sebagai detail, layer yang seperti gelombang pada bagian ceiling dan dinding interior yang bergelombang. Kedua detail tersebut bertujuan juga untuk menyebarkan bunyi dan menciptakan lebih banyak pantulan bunyi.
Ruang pementasan utama yang berkapasitas 2265 penonton, dibentuk 360° untuk menciptakan kesatuan antara penonton dan performa dalam mengarungi perjalanan musik dalam satu kesatuan. Jendela yang diletakkan setinggi 36 kaki pada bagian North Window Terrace di atas balkon atas, memberikan pencahayaan alami pada siang hari.
Gambar 2.17c Ruang Tunggu
Auditorium Musik Klasik
Gambar 2.17d Ruang Lobby Utama
29
Walt Disney Concert Hall juga memiliki fasilitas edukasi, ruang theatre kedua yaitu Roy and Edna Disney/CalArts Theatre (REDCAT) berkapasitas 266 bangku, galeri seluas 3000 square foot yang dioperasikan oleh California Institute of the Arts.
Dalam memfasilitasi para pengunjung, Walt Disney Concert Hall juga memiliki reception hall, foyer yang berupa hall, perpustakaan musik, Starr Foundation Green Room yang dapat mempersatukan antara penonton, artis, konduktor dan pemain orkestra, The Founders Room yang dibuat untuk memfasilitasi penyandang dana utama, bar, restaurant yang dapat melayani fine dining pada saat ada pertunjukan dan pada saat tidak ada pertunjukan, dan sebuah café yang beroperasi untuk makan siang dan makan malam.
Bagian performa difasilitasi dengan ruang latihan yang banyak, ruang ganti, ruang baca, lounge dan café. Choral Hall adalah ruang gladi terbesar dengan kapasitas pemain musik sebanyak 109, 120 paduan suara dan 137 bangku untuk educational program dan special events. Untuk memfasilitasi konduktor dan music director disediakan ruang khusus untuk mempersiapkan pementasan. Bagian administrasi gedung diletakkan pada bagian selatan kompleks Concert Hall.
Gambar 2.17e Perspektif Eksterior
Gambar 2.18f Urban Park
Dinding eksterior bangunan ditutup menggunakan panel stainless steel. Orientasi bangunan yang dipadukan dengan rancangan blok plan memberikan tampak yang indah jika dilihat dari sisi manapun. Los Angeles Stairway dan Courtyard yang terletak di sudut First Street dan Grand Avenue akan menjadi jalan utama dalam
Auditorium Musik Klasik
30
Concert Hall dan akan memberikan kesinambungan antara bangunan eksisting dan bangunan baru. Tower panel kaca akan memberikan kesan spektakuler pada lobi utama. Backstage dapat diakses melalui Sempra Energy Grand Stariway dan Edison International Plaza dan akses public kearah Urban Park dan the W.M. Keck Foundation Children’s Amphitheatre.
Urban Park yang dibangun oleh pemerintah California merupakan taman publik yang luas, berwarna, dan memiliki ornamen landscape dan bentuk vegetasi yang mengitari Walt Disney Concert Hall. W.M. Keck Foundation Children’s Amphitheatre adalah sebuah amphitheatre outdoor yang berkapasitas 300 orang yang dapat menampung pementasan children and community programming.
Gambar 2.17g Amphitheatre Outdoor
2.3.1.2 Esplanade, Theatres on the Bay, Singapura
Esplande merupakan salah satu auditorium terbesar yang ada di Asia Tenggara. Fasilitas yang ada di dalamnya cukup banyak antara lain concert hall, theater, recital studio, outdoor theater, pertokoan, perpustakaan. Kapasitas yang dapat ditampung oleh concert hall 1600 orang dan theater 1600 orang. Recital studio dapat menampung 250 orang, sedangkan outdoor amphitheater 1000 orang.
Arsitek utamanya adalah Vikas M. Gore, yang kemudian dikembangkan oleh DP Architects of Singapore. Penyelesaian desain yang dilakukan juga sangat menarik, karena sangat user friendly untuk orang cacat. Karena biasanya orang cacat terhambat untuk menonton di gedung pertunjukan karena tempat duduk yang bertangga, namun di esplanade terdapat fasilitas khusus untuk orang-orang cacat.
Auditorium Musik Klasik
31
Dalam interior lobby terlihat bahwa Struktur sebuah bentang lebar dijadikan elemen dekoratif sehingga selain monumental tapi juga enak untuk dilihat. Dimana fasade bangunan yang terdiri atas 10998 duri ini menjadi elemen yang sangat menarik. Di siang hari sinar matahari dapat masuk, namun tidak menyilaukan hal itu dikarenakan oleh duri-duri yang saling menyirip dan transparan.
Gambar 2.18a Perspektif Eksterior
Gambar 2.18b Recital Hall
G a m Gambar 2.18c Interior
Gambar 2.18d Concert hall
Lobby
Auditorium Musik Klasik
32
2.3.2
Studi Banding Proyek Sejenis
2.3.2.1 Gedung Pertunjukan Usmar Ismail
Pusat Perfilman H. Usmar Ismail (PPHUI) di Jakarta yang didirikan pada tahun 1997 saat ini telah merenovasi gedungnya menjadi sebuah tempat pertunjukan dengan konsep the first integrated concert and cinema hall, diresmikan 16 Mei 2006.
Awalnya (PPHUI) merupakan tempat khusus untuk berbagai pertunjukan dan biasanya hanya dipakai kedutaan, namun mengingat tidak kondusifnya keadaan ini, maka tercipta ide sejak tahun 2005 lalu untuk membuat satu tempat yang benar-benar cocok untuk mengadakan berbagai pertunjukan seperti, konser, pertunjukan film, dan sebagainya. Ketiadaan gedung konser dengan standar Internasional di Jakarta menjadi ide utama renovasi gedung ini.
Berbagai fasilitas dan peralatan yang tersedia di gedung pertunjukan bertaraf internasional ini yaitu: acoustic concert hall, proyektor untuk pemutaran film, sound system, layar bioskop, panggung, ruang ganti, serta lobi dan ruang serbaguna.
Concert hall Usmar Ismail Hall ini berukuran 642 meter persegi dilengkapi panggung berukuran panjang 18,14 meter dan lebar 5,7 meter serta tinggi 0,8 meter. Gedung itu berkapasitas 500 tempat duduk. Sebagai gedung bioskop, gedung dilengkapi layar berukuran 13,5 x 5,5 meter. Jika digunakan untuk konser musik, maka layar akan ditutup dengan papan tebal.
Gambar 2.19a Langit-langit
Auditorium Musik Klasik
Gambar 2.19b Dinding belakang
33
Perancang akustik ruangan ini adalah Pakar akustik dari ITB, Prof Sugijanto. Menurut beliau concert hall ini memiliki tingkat akustik yang cukup untuk pertunjukan orkestra. Hal ini dibuktikan melalui konser Twilite Orchestra di gedung ini yang tidak dibantu oleh pengeras suara sama sekali.
Sebuah gedung konser, menurut Prof. Soegijanto, mempunyai beberapa persyaratan dan kondisi berbeda dengan gedung sinema. Untuk mendapat suasana yang lebih hidup, suara yang datang harus memiliki waktu dengung (reverberation time) lebih panjang. Waktu dengung adalah rentang waktu antara saat bunyi terdengar hingga melenyap. Untuk ruang konser, waktu dengung ideal adalah sekitar 1,6 detik.
Waktu dengung yang berlebihan akan mengakibatkan bertumbukannya antara satu not yang telah dimainkan dengan not yang sedang dimainkan. Bertumbukannya bunyi dengung not-not itu akan mengganggu kenikmatan penonton dan memecah konsentrasi musisi. Usmar Ismail Hall dirancang untuk menangkap utuh-utuh waktu dengung ideal.
Untuk itu, Usmar Ismail Hall dilengkapi pemantul bunyi (reflektor). Pemantul bunyi ini dipasang pada langit-langit di atas panggung, mulai dari depan layar hingga sedikit ke depan panggung. Reflektor berfungsi sebagai pemantul bunyi, khususnya ke bagian paling belakang dari gedung. Reflektor terbuat dari bahan plywood setebal 2 sentimeter.
Gambar 2.19c Dinding samping
Auditorium Musik Klasik
Gambar 2.19d Ruang Kontrol
34
Selain itu, medan suara harus menyebar (diffuse) secara merata. Caranya dengan membuat dinding dan langit-langit sedemikian rupa sehingga suara terpantul dan tersebar merata ke seluruh posisi penonton. Dengan demikian, suara yang datang akan melingkupi pendengar atau penonton di dalam gedung tersebut.
Untuk itu, dinding Usmar Ismail Hall dirancang tidak rata layaknya dinding rumah. Ada beberapa pilihan, antara lain tampak bentuk kotak-kotak serupa prisma dengan sedikit tonjolan.
Begitu pula langit-langit gedung dibuat tidak rata, tetapi dirancang dengan model bergelombang. Rancang artistik dinding dengan bentuk prisma dan langit-langit yang menggelombang itu sudah diperhitungkan dengan kaidah-kaidah akustik.
Untuk meminimalisasi penyerapan suara, gedung tidak seluruhnya dilapisi karpet. Karpet hanya dipasang di gang tengah yang membelah gedung dan sedikit pada bagian depan panggung.
Penataan sistem akustik menjadi lebih rumit karena gedung tersebut juga berfungsi sebagai gedung bioskop. Keduanya memerlukan syarat tersendiri. Untuk konser musik idealnya diperlukan waktu dengung sekitar 1,6 detik. Sedangkan untuk gedung bioskop sekitar 1,1 detik.
Tirai dipasang pada dinding samping kiri dan kanan serta dinding pada bagian belakang. Jika ditutup, tirai akan berfungsi sebagai penyerap suara dengan cara meletakkan gorden atau tirai penutup pada dinding.
Untuk urusan penyerapan suara, bahan jok dan sandaran kursi harus dipilih yang tidak menyerap suara, tetapi tetap membuat penonton nyaman. Prinsipnya, dalam keadaan kosong atau diduduki, diusahakan agar tingkat penyerapan suara sama.
Auditorium Musik Klasik
35
Rancangan akustik gedung konser juga mempertimbangkan faktor suara yang berasal dari luar gedung. Usmar Ismail Hall untungnya berjarak relatif cukup jauh dari Jalan Rasuna Said yang bising pada jam-jam padat. Getaran suara dari luar gedung berpotensi masuk melalui atap, dinding, atau ventilasi yang disebut sebagai airborne sound atau suara yang merembet melalui udara.
Potensi suara dari luar justru datang dari bagian belakang gedung yang merupakan lapangan sepak bola. Jika ada aktivitas di lapangan, suara gemuruh sorak berpotensi merambat ke dinding gedung. Untuk itu, dinding pada bagian belakang gedung dibuat dari bata tebal, rockwool yang meredam suara luar.
Gambar 2.19e dan 2.19f Interior dalam ruang konser (2.19e sisi dan 2.19f belakang)
2.3.2.2 Goethe House Institute Internationals
Merupakan bagian dari sebuah gedung pusat kebudayaan Jerman di Jakarta. Auditorium ini bukanlah fungsi utama bangunan ini, melainkan sebagai fungsi pendukung. Fungsi utamanya merupakan pelatihan bahasa Jerman.
Daya tampung auditorium ini sekitar 300 orang, dengan luas lebih kurang mencapai 350 m2. Bagi pengelola Goethe House Auditorium ini biasa digunakan untuk pertunjukan murid-murid dalam bermain musik, tari, dan teater. Namun bukan berarti tertutup bagi orang luar untuk menggunakan. Auditorium ini sering disewa oleh beberapa sekolah musik dan musisi untuk menampilkan karya-karya mereka. Atap auditorium melengkung seperti sebuah badan perahu. Ukuran
Auditorium Musik Klasik
36
panggung 4,5x10 m, dengan panggung kecil tambahan 2x10 m. Panggung dilapisi karpet yang bahannya menyerupai karet. auditorium juga dilengkapi dengan screen 6x8 m yang dapat digulung untuk keperluan menonton film bersama. Di dekat back stage terdapat ruang kecil yang dapat digunakan untuk menyimpan piano.
Lantai penonton terbuat dari bahan parket, dan pemantul terbuat dari kayu lengkung yang diletakan di dinding dan di langit-langit. Langit-langit balok diekspos untuk membantuk pemantulan suara, namun tidak begitu saja dibiarkan ’telanjang’ reflektor juga diletakan dipasang di langit-langit untuk membantu pemantulan.
Memiliki lobby dan foyer khusus untuk auditorium, namun karena pintu masuk utama bukan melalui lobby tersebut sering kali ketika ada pertunjukan orang lebih sering memilih lewat pintu utama dan masuk melalui inner court yang ada di belakang auditorium. Tabel 2.1 menampilkan perbandingan antara PPHUI dengan Goethe, Disney, dan Esplanade.
Auditorium Musik Klasik
37
Tabel 2.1 Perbandingan antara PPHUI dengan Goethe, Disney, dan Esplanade. Ruangan
-
PPHUI Lobby Cafetaria Concert hall Theater Perpustakaan
-
Material pembentuk Akustik
-
Kapasitas
2.4
Goethe Lobby Kantin Concert Hall Theater Foyer Perpustak aan Kelas
Kayu cembung 2cm Parket Gipsum Karet
Disney Lobby Cafetaria Concert hall Theater Foyer Perpustakaan Ruang kelas Choral Hall 2 Ampiteater Taman
-
Esplanade Lobby Cafetaria Concert hall Theater Perpustakaan Ruang kelas 1 Ampiteater Studio Recital Hall Pertokoan
Kayu Douglas
-
Kayu
- 2265 orang (CH) - 300 orang (Ampi) - 266 orang (teater)
-
1600orang (CH) 1000 orang (Ampi) 1600 orang (teater) 250 orang (resital)
-
-
Plywood 2cm Karpet Parket Kain
- 500 orang (Concert hall)
- 300 orang (Concert hall)
Tinjauan Teori3
Dalam perkembangan sejarahnya sebuah ruang pertunjukan mulai berkembang sejak jaman kerajaan Yunani. Seiring dengan perjalanannya sebuah ruang pertunjukan ditata sedemikian rupa sehingga sebuah ruang pertunjukan atau gedung pertunjukan menjadi bagian yang tidak terlupakan bahkan tidak bisa dipisahkan dari perkembangan kebudayaan dalam masyarakat. 1. Teater Yunani dengan panggung terbuka. Teater : ”the place from where one can see”. Diletakkan di luar kota, di lahan yang miring. Awalnya dibangun dengan menggunakan
bahan
kayu
dan
batu
yang
mulai
diperkenalkan sejak 4 SM. Area penonton diletakkan pada sisi lembah, di atur seperti bentuk kipas 1800, mengelilingi tempat pemain orkestra yang berbentuk lingkaran.
Gambar 2.20. Teater Yunani dengan panggung terbuka
3 Breton, G. 1989
Auditorium Musik Klasik
38
2. Teater Romawi berbentuk setengah lingkaran Teater di Romawi dipengaruhi oleh teater dari Yunani. Teater dibangun di dalam kota, di tanah yang datar. Daerah penonton ditutupi oleh portico.
Gambar 2.21. Teater Romawi
3. Teater Mediaeval Setelah kerajaan Romawi jatuh, teater diambil alih oleh
pihak
gereja.
Pada
abad
11,
drama
dipertunjukkan di depan altar atau tengah gereja. Kemudian, ketika pertunjukan dilakukan di gereja atau di area publik, walaupun instalasinya bersifat
Gambar 2.22. Teater Mediaeval
temporer, dibangun dengan agung. Panggungnya dari plat atau pedati. Pertunjukan menggabungkan lagu-lagu, musik dan puisi.
4. Galeri Elizabeth Pada pertengahan abad 16 di Inggris, pertunjukan dilakukan secara berpindah-pindah, dengan menaruh panggung di halaman penginapan. Penonton berdiri di halaman di sekitar panggung. Teater yang permanen dibangun di London pada zaman Elizabeth I, dengan denah yang poligonal atau lingkaran. Pada 1576, dibangun teater yang merupakan model teater Elizabeth dan kemudian bentukan itu diikuti oleh teater publik.
Gambar 2.23. Galeri Elizabeth
5. Amphiteater Renaisans Pada 1580, Paladio membuat teater permanen dengan area penonton yang berbentuk semi-elips di dalam hall berbentuk kotak. Terdapat dinding panggung yang didekorasi dan memiliki tiga pintu.
Auditorium Musik Klasik
Gambar 2.24. Amphiteater Renaisans
39
6. Masa kejayaan model dari Italia Pada akhir abad 18, pertunjukkan opera menyebar ke seluruh Eropa. Terdapat beberapa variasi bentuk geometri dari auditoria Italia (tapal kuda, lyre, U dan elips yang memepat). Bentuk auditorium dipengaruhi dari kebutuhan akustik dan garis pandang penonton. Teater menjadi sebuah bangunan yang berdiri sendiri, yang sebelumnya terdapat pada bangunan yang
Gambar 2.25. Auditorium dari Italia
sudah ada. Contoh dari model ini adalah La Scala di Milan.
7. Amphiteatre Konsep dari amphiteater adalah membangun kembali hubungan yang tidak terputus antara panggung dan auditorium.
Gambar 2.26. Amphiteater
2.5
Kriteria Perancangan
Kegiatan yang diwadahi dalam gedung auditorium ini: •
Pertunjukan/pementasan yang meliputi kegiatan pementasan rutin dan insidental dari kalangan musisi muda atau profesional dari Bandung dan seluruh Indonesia.
•
Mewadahi jumlah pengunjung yang besar dengan aktivitas yang beragam seperti : penonton pertunjukan, antrian untuk mendapatkan tiket, kepanitiaan atau Event organizer, kedatangan dan kepulangan para artis penampil, aktivitas kendali audio/visual effect, alur para official serta kegiatan administrasi pengelola.
•
Pendidikan musik melalui workshop rutin ataupun insidental baik yang diselenggarakan pengelola ataupun pihak lain.
•
Fungsi komersial seperti kafetaria, lounge bar, toko buku, serta toko musik.
•
Fungsi maintenance seperti jalur perawatan fasilitas dan area penyimpanan alat musik.
Auditorium Musik Klasik
40
2.5.1
Langit-Langit
Langit-langit auditorium dirancang tidak datar(permukaan dimiringkan atau dilengkungkan).
Hal
ini
diatur
sedemikian
rupa
sehingga
membantu
menghasilkan sebuah reverberation time yang cukup untuk sebuah auditorium musik klasik.
2.5.2
Ruang Duduk
•
Lorong antar tempat duduk tidak boleh tersusun pada Sumbu Longitudinal
•
Volume Tempat duduk; minimum 6,2 m3, optimal 7,8 m3, dan maksimum 10,8 m3
•
Pola tempat duduk; 7-14-7 (Tradisional), maksimum 100 (kontinental)
•
Lantai dibuat berundak, dimaksudkan agar pernerimaan suara dapat langsung dan optimal, selain itu juga memungkinkan untuk melihat ke depan dengan jelas.
2.5.3
Utilitas
•
Utilitas disamarkan dengan penggabungan pada elemen akustik ruang seperti dinding dan langit-langit.
•
Loftblocks ditambahkan pada struktur atap sebagai area maintenance utilitas.
2.5.4
Balkon
•
Sudut angkat lantai balkon Maksimum. 350 .
•
Ruang kontrol diletakkan di belakang balkon atau di sisi belakang lantai dasar auditorium
2.5.5
Panggung
•
Dimensi panggung; Panjang min. 12 m, dan lebar 16 m
•
Ketinggian dinamis dengan menggunakan sistem elevator, terutama untuk orchestra pit. Material yang digunakan kayu.
Auditorium Musik Klasik
41