BAB II ARAH PENGEMBANGAN SEKTOR SANITASI KOTA 2.1. Gambaran Umum Kondisi sanitasi Kondisi sanitasi yang menjadi pokok pembahasan dalam buku SSK ini meliputi air limbah, sampah,
limbah medis, air minum dan drainase. Untuk masing-masing
sector secara detail akan dibahas dalam sub bab –sub bab berikut : 2.1.1. Air Limbah Secara umum pengelompokan buagan limbah domestik Kabupaten Aceh Barat dibagi 2 macam yaitu : Limbah dari buangan manusia (jamban umum, pribadi atau jamban bersama) dan Limbah dari cuci dan mandi. Pada umumnya system limbah domestic rumah tangga tidak ditangani secara khusus melainkan dengan pengelolaan secara on site individual. Limbah yang dihasilkan pada umumnya berasal dari WC dan mandi-cici. Air mandi dan cuci masuk ke dalam air hujan sedangkan dari WC masuk kedalam septic tank yang tergabung dengan bidang resapan. Di dalam wilayah Kabupaten Aceh Barat, umumnya masyarakat menggunakan sistem pembuangan air limbah dengan metode on site sanitation. Dari hasil survei kesehatan lingkungan, di wilayah kerja Puskesmas Kaway XVI terdapat 5.834 atau 63,65 % rumah yang memiliki SPAL yang memenuhi syarat. Sedangkan sisanya sebanyak 3.345 atau 36,35% rumah memiliki SPAL yang tidak memenuhi syarat. Puskesmas Johan Pahlawan memiliki 225 rumah atau 2,4 % yang memiliki SPAL yang memenuhi syarat. Selebihnya masih dalam kondisi tidak memenuhi syarat atau sebanyak 97,6% rumah di wilayah Johan Pahlawan masih memiliki SPAL yang tidak memenuhi syarat. Untuk Puskemas Muereubo hanya sebanyak 4,8% memiliki SPAL yang memenuhi syarat dan 95,2 % memiliki SPAL yang tidak memenuhi syarat. Di Puskesmas Suak Timah, Samatiga terdapat 320 rumah yang memiliki SPAL yang memenuhi syarat, sisanya tidak memenuhi syarat.
Tabel 2.1 Hasil Rekapitulasi Pendataan Sistem Pembuangan Air Limbah (SPAL) Di Wilayah Kerja Di Kabupaten Aceh Barat Tahun 2008
NO
KECAMATAN
Jumlah Rumah
1 2 3 4 Ket: MS TMS
Johan Pahlawan Meureubo Samatiga Kaway XVI
9177 9178 9179 9180
JENIS AIR LIMBAH SPAL LAIN-LAIN MS TMS MS TMS 225 8952 0 0 441 8737 0 0 320 8859 0 0 5834 3346 0 0
: Memenuhi Syarat : Tidak Memenuhi Syarat
Dari tabel di atas diketahui bahwa di wilayah kerja Puskesmas Kaway XVI mempunyai persentase terbesar SPAL yang memenuhi syarat. Sedangkan wilayah Puskesmas Johan Pahlawan memiliki persentase terbesar tingkat SPAL yang tidak memenuhi syarat. Tanki septic setelah beberapa waktu kemudian akan penuh dengan Lumpur, dan akan di ambil oleh truk tinja. Pengelolaan limbah penanganan aktivitas MCK di kabuaten Aceh Barat di tinjau dari jumlah desa yang umumnya penduduk menggunakan sarana pribadi, jamban bersama, jamban umum atau tidak ada fasilitas, dan peninjauan lainnya tidak adalah dari sudut jenis pembuangan di desa/kecamatan. Pada umumnya lokasi di Aceh Barat mempunyai lahan yang cukup luas, sehingga apabila bila di perhitungkan sampai 10 tahun kedepan tidak terjadi tekanan penduduk dan masalah lingkungan berkaitan dengan system sanitasi baik perorangan maupun kolektif, kecuali yang bersifat kasuistis/lokasi dan sebab tertentu sehingga perlu di tanggulangi. Akibat dari Tsunami 26 Desember 2004 lalu, kerusakan yang terjadi pada kota pada kota /kabupaten yang tidak memiliki fasilitas unit instalasi pengelolaan Lumpur tinja (IPLT) pada umumnya hilangnya aksesbilitas
masyarakat terhadap pelayanan
sanitasi akibat hancurnya rumah termasuk rusaknya fasilitas jamban dan septic tank.
Salah satu dampak yang ditinggalkannya dan sampai saat ini belum dapat diatasi adalah fasilitas unit IPLT, secara umum instalasinya tidak dapat lagi dioperasionalkan sejak setelah bencana tsunami tersebut.. Pada umumnya masyarakat di wilayah Kabupaten Aceh Barat menggunakan dua sistem yaitu sistem terpisah dan sistem gabungan. Sistem terpisah yaitu terjadinya pemisahan antara penyaluran air limbah dan air hujan. Air limbah dialirkan ke dalam SPAL yang berbentuk septic tank. Air hujan umumnya disalurkan melalui saluran drainase kota. Sistem gabungan yaitu semua air limbah tersebut masuk ke dalam satu wadah (septic tank). Pemerintah Kota telah melakukan pengadaan sarana dan prasarana yang berhubungan dengan pengelolaan limbah ini. Dari data Badan Kebersihan dan Lingkungan Hidup bahwa Kabupaten Aceh Barat telah memiliki Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) sebanyak 1 unit. Pemerintah pun telah memiliki 2 unit mobil penyedot dan pengangkut tinja. Volume lumpur tinja yang dibuang ke ILPT ini berkisar 3 m3/hari. Pengelola air limbah di kabupaten Aceh Barat dilaksanakan oleh Badan Pengendali Dampak Lingkungan Hidup Kebersihan dan Pertamanan berdasarkan Qanun No. 8 Tahun 2007. Air limbah yang berasal dari tangki septic diangkut dengan mobil tinja kemudian dibuang ke Instalasi Pengolah Lumpur Tinja (IPLT) yang ada sampaing lokasi TPA Jalan Kayu Putih desa Lapang Kec. Johan Pahlawan, meskipun instalasi tersebut sudah tidak melayani pengolahan lagi sejak tahun 2005, hal ini dikarenakan belum adanya IPLT yang lain di kabupaten Aceh Barat Sekitar 62,1 % dari penduduk kabupaten Aceh Barat belum mengunakan sarana mandi, cuci dan kakus (MCK), 10,5 % menggunakan MCK bersama/umum sedangkan
penduduk menggunakan jamban pribadi sebanyak 27,4 % umumnya ada di daerah perkotaan. Penduduk yang tidak memiliki MCK ini umumnya membuang limbahnya melalui sungai, saluran drainase, pantai dan lain-lain. Sedangkan dari jumlah dari septic tank, cubluk dan cemblung yang ada belum diketahui berapa banyak yang masih layaj digunakan dan sesuaikan dengan kondisi tanah. Biaya pengelolaan Lumpur tinja diperoleh dari APBD Kabupaten Aceh Barat, biaya pengelolaan meliputi gaji pegawai dan operasional alat angkut. Sedangkan pendapatan yang diperoleh dari hasil pemungutan retribusi penyedotan kakus sebesar Rp. 14,5 juta. Pendapatan retribusi hanya mencapai 48 % dari target sebesar Rp. 50 juta. Besarnya tariff yang dikenakan sebesar antara Rp. 40.000 s/d Rp. 100.000,Tanki septic setelah beberapa waktu kemudian akan penuh dengan Lumpur, dan akan di ambil oleh truk tinja. Pengelolaan limbah penanganan aktivitas MCK di kabuaten Aceh Barat di tinjau dari jumlah desa yang umumnya penduduk menggunakan sarana pribadi, jamban bersama, jamban umum atau tidak ada fasilitas, dan peninjauan lainnya tidak adalah dari sudut jenis pembuangan di desa/kecamatan. .Sesuai dengan hasil survei kesehatan lingkungan maka di wilayah Kabupaten Aceh Barat dapat kita ketahui bahwa ada 22.481 jamban dengan jenis jamban leher angsa dan juga terdapat 36.714 unit SPAL. Secara umum semua fasilitas jamban dan SPAL dibangun oleh lembaga donor dan lembaga nasional dan internasional yang membangun rumah bantuan di kabupaten Aceh Barat.
Kondisi Fasilitas penanganan limbah domestic di Kabupaten Aceh Barat sebagai berikut : Kecamatan
Fasilitas
Fasilitas
Fasilitas
Tidak ada
individu
komunal
umum
fasilitas
(%)
(%)
(%)
(%)
Johan Pahlawan
82
17
0
2
Samatiga
33
8
47
11
Meureubo
55
3
4
38
Kaway XVI
39
2
7
52
Limbah yang dihasilkan pada umumnya berasal dari WC dan mandi-cici. Air mandi dan cuci masuk ke dalam air hujan sedangkan dari WC masuk kedalam septic tank yang tergabung dengan bidang resapan. Tanki septic setelah beberapa waktu kemudian akan penuh dengan Lumpur, dan akan di ambil oleh truk tinja. Satu unit MCK bisa terdiri dari 4-5 WC dengan satu septic tank. Pengelolaan secara individu atau on site sanitation yang dilakukan oleh satu atau lebih rumah secara bersama. Penyebaran lokasi fasilitas dengan angka tersebut diatas relative menyebar.
2.1.2. Persampahan Berbagai faktor yang mempengaruhi timbulan sampah adalah jenis bangunan, tingkat aktifitas, jumlah dan kepadatan penduduk serta kondisi social ekonomi suatu kota atau masyarakat dimana volume sampah yang dihasilkan sebanding dengan jumlah penduduk. Makin banyak jumlah penduduk disuatu daerah, makin banyak pula timbulan sampah. Demikian pula dengan tingkat kepadatan penduduknya, makin banyak penduduk yang tinggal disuatu daerah, makin banyak pula timbulan sampah. Adapun Sumber-sumber sampah di Kabupaten Aceh Barat antara lain berasal dari : 1. Sampah Permukiman. Sampah ini berasal dari rumah tangga. Sampah ini berasal dari aktivitas dapur, sampah pohon di halaman maupun kegiatan rumah tangga lain.
2. Sampah Pasar. Sampah ini berasal dari kegiatan pasar, yang kebanyakan merupakan sisa sayur-mayur dan buah-buahan. 3. Sampah Hotel dan Penginapan. Sampah ini berasal dari semua kegiatan hotel atau penginapan. Sampah yang dihasilkan biasanya berupa sampah kertas, makanan. sampah dapur dan lain-lain. 4. Sampah Rumah Sakit. Sampah yang berasal dari aktivitas rumah sakit baik termasuk sampah yang berasal dari kegiatan laboratorium. Biasanya sampah yang dibuang di TPA adalah sampah jenis non B3. 5. Sampah Jalan. Sampah yang berasal dari pejalan kaki, pengendara kendaraan maupun berasal dari pengguna jalan yang lain. Sampah jalan ditangani oleh penyapu jalan baik dalam pengumpulan maupun pengangkutan. 6. Sampah Perbengkelan. Sampah ini berasal dari kegiatan usaha perbengkelan yang berada di Kabupaten Aceh Barat. Sampah ini dapat berupa limbah cair seperti oli dan juga limbah padat seperti berbagai macam sisa onderdil kendaraan. 7. Sampah Perkantoran. Jumlah sarana perkantoran yang ada di kota memberikan kontribusi sampah yang umumnya berwujud kertas. 8. Sampah Sarana Pendidikan. Jenis sampah dari sarana pendidikan terdiri dari berbagai macam jenis sampah antara lain plastik, organik, kertas dan lain-lain. Biasanya untuk mengurangi volume sampah, sampah dibakar dahulu pada sore hari dan kemudian secara berkala dikubur disudut rumah. Umumnya pengelohan yang demikian akan efektif untuk penduduk dengan lahan perkarangan rumah yang luas > 1000 m² tetapi untuk penduduk yang mempunyai lahan kecil pembakaran sampah akan menganggu
lingkungan
apalagi
kalau
dilakukan
secara
serentak.
Sehingga
penanganan dengan cara tersebut tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan. Saat ini pelayanan persampahan secara terpusat masih mencakup sebagian kecil daerah terbangun kota, terutama di lokasi pertokoan/jalan utama kota Meulaboh dan di jalan yang dapat dilalu oleh kendaraan pengangkut sampah.
Pengelolaan persampahan individual memerlukan pralatan untuk pewadahan sampah dan pemusnahan sampah. Pada kondisi eksisting 38,7 % penduduk melakukan sendiri pewadahan dan pengelolaannya, Sebagaimana disebutkan diatas, pewadahan dilakukan pada kantong-kantong plastic dan dibuang dihalaman atau dikubur di lubang sampah. Diagram di atas menyajikan informasi tentang wadah sementara yang digunakan rumah tangga untuk menyimpan sampah. Secara umum, rumah tangga yang mewadahi sampahnya secara kurang aman terlihat cukup banyak, semisal penggunaan kantong plastik (38,7%) yang terdiri, 1) kantong plastik ditumpuk di luar rumah, kantong plastik di dalam pekarangan rumah dan di gantung dipagar. Dari opsi-opsi yang ada, wadah sampah berupa bak permanen yang tertutup merupakan yang paling aman. Namun, di Kabupaten Aceh Barat, proporsinya masih sedikit, yakni hanya sekitar 17,3% (Laporan Survey EHRA, 2010)
Organisasi
Pengelola persampahan di Kabupaten Aceh Barat sama dengan
pengelola limbah cair, yaitu Badan Pengendali Dampak Lingkungan, Kebersihan dan Pertamanan,
yang
merupakan
Institusi
yang
bertanggung
jawab
menangani
permasalahan kebersihan secara keseluruhan di Kabupaten Aceh Barat. Badan ini di pimpin oleh kepala Badan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati melalui Sektaris Daerah. Organisasi pelaksana pengelolaan kebersihan adalah Badan Pengendali Dampak Lingkungan, Kebersihan dan Pertamanan (BAPEDALKP). Pelaksanaan teknis operasional dilapangan adalah bidang Kebersihan. Pembentukan dan struktur organisasi Badan Pengendali Dampak Lingkungan, Kebersihan dan Pertamanan berdasarkan Qanun (Perda) Kabupaten Aceh Barat Nomor 2 Tahun 2008. Struktur organisasi terdiri dari : 1. Kepala Badan 2. Kepala Tata Usaha/Sekretaris 3. Bidang Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman 4. Bidang Penertiban 5. Bidang Lingkungan Hidup 6. Bidang Bina Program dan Penyuluhan 7. Kelompok Jabatan Funsuonal
Institusi pengelola yang ada, sudah sesuai dengan kondisi daerah dan beban kerja. Rencana pengembangan selanjutnya adalah mengoptimalkan kelembagaan dengan melengkapi Struktur Organisasi Kebersihan dengan staf (fungsional) yang menjadi penanggung jawab di bidang perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan penyuluhan uraian tugas dan tata laksana kerja baru sesuai dengan kelengkaan struktur organisasi. Jumlah personil seksi kebersihan adalah 63 orang, terdiri dari personil dengan status PNS, honorer dan pegawai harian lepas dengan kualifikasi pendidikan dari SMP sampai dengan Sarjana. Biaya operasional pesampahan/kebersihan di kabupaten Aceh Barat yang meliputi pengadaandan perawatan sarana dan prasarana serta gaji pegawai operasional bersumber dari APBD dan retribusi. Cakupan pelayanan persampahan di Kabupaten Aceh barat telah mencakup seluruh kecamatan. Dengan kondisi timbulan sampah yang berbeda, maka cakupan pelayanan menyesuaikan dengan eksisting persampahan setiap kecamatan tersebut. Kecamatan Johan Pahlawan misalnya sarana TPS/Drum yang tersedia mencapai 2.500 unit dan truk yang melayani wilayah ini mencapai 5 unit. Kalau dibandingkan dengan kecamatan lain, umumnya hanya dilayani oleh 1 unit truk, dan jumlah TPS/Drum yang tersedia berjumlah 2.500 yang tersebar di tiga kecamatan. Adapun TPS berbentuk container terdistribusi di masing-masing kecamatan secara berurut adalah sebagai berikut, Johan Pahlawan 8 Kontainer, Samatiga 1 Kontainer, Kaway XVI 1 kontainer dan Meureubo 2 kontainer. Menurut data dari Badan Pengendali Dampak Lingkungan, Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Aceh Barat, prioritas pelayanan sampah saat ini adalah pertokoan, perkantoran, pasar dan pelabuhan dengan tingkat pelayanan mencapai 46%, sedangkan menurut data yang diperoleh dari hasil survey EHRA ditemukan bahwa pelayanan baru mencapai 21,4%. Ditinjau dari jumlah penduduk yang dilayani dan jumlah penduduk total kecamatan maka pelayanan terpusat di kota Meulaboh dan sekitarnya. “Terkait dengan penerimaan layanan pengangkutan sampah, diagram di atas menunjukkan bahwa sekitar 21,4% dari total rumah tangga di Kabupaten Aceh Barat mengakui menerima
layanan pengangkutan. Sementara, sekitar 78,1% melaporkan belum menerima layanan pengangkutan dan sebesar 0,5% tidak memberikan komentarnya” (Laporan Survey EHRA, 2010)
Tabel 2.1 Struktur dan Besarnya Tariff Retribusi Persampahan di Kabupaten Aceh Barat No
Golongan Wajib Retribusi
Tarif/Bulan
1
Hotel Berbintang
Rp. 10.000,-
2
Hotel Melati
Rp. 7.500,-
3
PT/CV
Rp. 10.000,-
4
Kios/Los
Rp. 5.000,-
5
Toko Besar
Rp. 15.000,-
6
Toko Sedang
Rp. 10.000,-
7
Rumah Tangga
Rp. 7.500,-
8
Warung Nasi/Kopi
Rp. 7.500,-
9
Bengkel
Rp. 7.500,-
10
PDAM, PLN, Bank, Apotik
Rp. 20.000,-
Berdasarkan data Buku Putih Kabupaten Aceh Barat (2010), maka diperoleh angka penanganan sampah sebagai berikut :
Terpusat (%)
Per individu (%)
Dibuang ke sungai (%)
Dibiarkan begitu saja (%)
Johan Pahlawan
56
44
0
0
Samatiga
0
65
0
35
Meureubo
0
94
6
1
Kaway XVI
0
99
0
1
Kecamatan
Mekanisme Sistem pengelolaan sampah yang sedang terus dikampanyekan oleh pemerintah Kabupaten Aceh Barat supaya dapat diikuti oleh semua masyarakt adalah sebagai berikut: 1. Pewadahan Pola. Pewadahan yang direncanakan berupa pola pewadahan individual yang diletakkan dekat rumah untuk permukiman dan diletakkan di belakan untuk pertokoan serta pola pewadahan komunal yang diletakkan sedekat mungkin dengan sumber sampah di tepi jalan besar. 2. Pengumpulan Sampah. Sama dengan pola pewadahan, rencana sistem pengumpulan sampah akan mengunakan dua sistem juga yaitu pengumpulan individual yang dilakukan dengan sistem pelayanan door to door (dengan truk kecil dikumpulkan ke depo atau langsung diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir) dan sistem pelayanan door to door (dengan gerobak dan dikumpulkan di depo atau Tempat Pembuangan Sementara yang akan disediakan pada setiap pusat BWK). Cara lain dengan sistem individual adalah dengan cara mengumpulkan sekaligus memusnahkan sampah tersebut sendiri. Sistem pengumpulan komunal adalah dimana masyarakat mengantarkan sampah ke tempat yang telah ditentukan. 3. Pengangkutan Sampah. Pengangkutan dilakukan dengan dump truk, arm rool truk dan mobil patrol dari Tempat Pembuangan Sementara ke Tempat Pembuangan Akhir. 4. Tempat Pembuangan Akhir. Tempat pembuangan akhir berlokasi di Gampong (desa) Alue Lim dengan sistem open dumping, lokasi ini dianggap cukup representative karena jauh dari permukiman penduduk dan arealnya cukup luas. (Sumber : BAPEDALKP Aceh Barat, 2010)
Pelayanan pengangkutan persampahan di Kabupaten Aceh Barat dilakukan dalam 2 (dua) ship yaitu ship siang dan ship sore. Ship siang mulai beroperasi pukul 07.00 s/d 11.00 WIB, jam 13.00 s/d 16.00 WIB. Ship sore dimulai pukul 16.30 s/d 18.30 WIB, 19.30 s/d 22.30 WIB.
Sumber-sumber sampah di Kabupaten Aceh Barat antara lain berasal dari : 1. Sampah Permukiman. Sampah ini berasal dari rumah tangga. Sampah ini berasal dari aktivitas dapur, sampah pohon di halaman maupun kegiatan rumah tangga lain. 2. Sampah Pasar. Sampah ini berasal dari kegiatan pasar, yang kebanyakan merupakan sisa sayur-mayur dan buah-buahan. 3. Sampah Hotel dan Penginapan. Sampah ini berasal dari semua kegiatan hotel atau penginapan. Sampah yang dihasilkan biasanya berupa sampah kertas, makanan. sampah dapur dan lain-lain. 4. Sampah Rumah Sakit. Sampah yang berasal dari aktivitas rumah sakit baik termasuk sampah yang berasal dari kegiatan laboratorium. Biasanya sampah yang dibuang di TPA adalah sampah jenis non B3. 5. Sampah Jalan. Sampah yang berasal dari pejalan kaki, pengendara kendaraan maupun berasal dari pengguna jalan yang lain. Sampah jalan ditangani oleh penyapu jalan baik dalam pengumpulan maupun pengangkutan. 6. Sampah Perbengkelan. Sampah ini berasal dari kegiatan usaha perbengkelan yang berada di Kabupaten Aceh Barat. Sampah ini dapat berupa limbah cair seperti oli dan juga limbah padat seperti berbagai macam sisa onderdil kendaraan. 7. Sampah Perkantoran. Jumlah sarana perkantoran yang ada di kota memberikan kontribusi sampah yang umumnya berwujud kertas. 8. Sampah Sarana Pendidikan. Jenis sampah dari sarana pendidikan terdiri dari berbagai macam jenis sampah antara lain plastik, organik, kertas dan lain-lain. Belum ada instalasi pengkomposan, instalasi pembakaran sampah dan belum ada instalasi daur ulang sampah.
Tabel 2.3 Jumlah Timbulan dan Jumlah Sampah Per Kecamatan
NO KECAMATAN TOTAL TIMBULAN 1 JOHAN PAHLAWAN 5,69 kg/hari/rumah 2 MEUREUBO 2,02 kg/hari/rumah 3 KAWAY XVI 2,16 kg/hari/rumah 4 SAMATIGA 2,37 kg/hari/rumah Sumber: BAPEDALKP Kabupaten Aceh Barat, 2010 Tabel di atas memberikan gambaran bagaimana tingkat timbulan sampah tiap kecamatan di Kabupaten Aceh Barat per rumah tangga. Kecamatan Johan Pahlawan menyumbang timbulan sampah tertinggi di Kabupaten Aceh Barat dengan tingkat timbulan sampah mencapai 5,69 kg/hari/rumah. Hal ini didukung dengan jumlah kepadatan penduduk yang tinggi di kecamatan tersebut. Kecamatan Samatiga menyumbang timbulan sampah kedua terbesar
yaitu 2,37 kg/hari/rumah. Dua
kecamatan lainnya yaitu Kecamatan Kaway XVI dan Kecamatan Meureubo masingmasing menyumbang timbulan sampah sebesar 2,16 kg/hari/rumah dan 2,02 kg/hari/rumah. Tabel 3.9 Perkiraan Total Timbulan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga NO Jenis Sampah TOTAL TIMBULAN 1 Sampah Perbengkelan 332,76 kg/hari 2 Sampah Perhotelan 1.412,50 kg/hari 3 Sampah Rumah Sakit 85,06 kg/hari 4 Sampah Perkantoran 325,66 kg/hari 5 Sampah sarana Pendidikan 2.447,25 kg/hari 6 Sampah Pasar 1.100 kg/hari Sumber: BAPEDALKP Kabupaten Aceh Barat, tahun 2010 Sampah pasar adalah sampah yang paling banyak menimbulkan timbulan sampah di Kabupaten Aceh Barat. Sampah yang berasal dari pasar menghasilkan
timbulan sampah sampai 18.100 kg/hari. Pada posisi kedua, sampah sarana pendidikan menyumbangkan timbulan sampah mencapai 2.447,25 kg/hari. Secara berturut-turut terlihat bahwa sampah perhotelan, sampah rumah sakit, sampah perbengkelan dan sampah perkantoran menyumbangkan timbulan sampah dengan nilai 1.412,50 Kg/hari, 885,06 Kg/hari, 332,76 Kg/hari, dan 325,66 Kg/hari.
NO 1 2 3 4 5
Tabel 2.4 Perkiraan Total Timbulan Sampah Spesifik Jenis sampah TOTAL TIMBULAN Plastik 17.137.6 kg/hari Organik 89.183,54 kg/hari Kertas .132,67 kg/hari Kaca 5.157,38 kg/hari Besi 1.651,15 kg/hari
6 Jenis lainnya 209.85 kg/hari Sumber: BAPEDALKP Kabupaten Aceh Barat, tahun 2010
2.1.3. Air Minum Sumber air untuk penduduk di kabupaten Aceh Barat dibedakan untuk pemenuhan kebutuhan bagi air minum dan kebutuhan MCK. Untuk air minum umumnya penduduk mempunyai sumur dan sebagian kecil melalui dari PDAM/perpipaan, serta sebagian kecil mendapatkan air langsung dari sungai. Untuk MCK sebagian besar penduduk mendapatkan sumber air dari sumur, sungai atau menampung air hujan. Prosentase sumber air untuk berbagai sumber adalah : 1. SPAM
20 %
2. Pompa
0%
3. Sungai
0%
4. Mata Air
0%
5. Sumur
33%
6. Air Hujan
0%
7. Lain-lain
0%
Dari data survey tahun 2008 diketahui, air sumur cukup baik kualitasnya, pH berkisar antara 7,0 -8,1, airnya jernih dan tidak terintrusi air laut. Namun di beberapa tempat air mengandung Fe yang cukup tinggi. Kedalaman sumur antara 6 sampai dengan 18 meter, dan menurut keterangan beberaa pemilik sumur
tidak terdapat
fluktuasi yang nyata (sampai kering) pada saat musim kemarau. Selain sumber air tanah dangkal juga terdapat sumber air tanah dalam yaitu di peroleh dari sumur Bor yang dibuat oleh OXFAM, CARITAS dan SPANISH RED CROSS di Meulaboh bagian barat terdapat air yang kurang layak dikomsumsi padaa kedalaman sekitar 70meter. Debit kecil dan sedang yaitu 1-3 lpd perlubang. Mengingat bahwa bagian terbesar dari pelayanan air minum perpipaan belum ada pengelolanya, maka perlu tinjauan khusus terhadap pembentukan unit pengelola ini. Sedangkan untuk non perpipaan, dicirikan sebagai siste pedesaan karena umumnya tidak memerlukankan input teknologi tinggi, sebagai contohnya : •
Sumur gali
•
Sumur pompa tangan
•
Perlindungan mata air
•
Penampungan air hujan Sisitem penyediaan air minum dikelola oleh PDAM Aceh Barat. Layanan tingkat
pelayanan dengan system non perpipaan /individu, diperkotaan diasumsikan cenderung meningkat sampai tahun 2015 dan peningkatan ini di dasarkan pada perkembangan penduduk dimana hampir semua wilayah kecamatan dilayani secara merata. Mengingat bahwa bagian terbesar dari pelayanan air minum belum ada pengololanya, maka tinjauan khusus terhadap pembentukan unit pengelola ini. Sedangkan untuk non perpipaan, dicirikan sebagai sistem perdesaan karena umumnya tidak memerlukan input teknologi tinggi, seperti dijelaskan diatas. Penduduk Kabupaten Aceh Barat juga menggunakan air tanah, baik sumur bor maupun sumur terbuka. Air minum perdesaan ada juga dari perpipaan, dengan system
yang sederhana, antara lain sumur bor dan mata air gravitasi. System penyediaan air minum perdesaan ada pada umumnya dikelola secara swadaya oleh masyarakat atau individual. Layanan tingkat pelayanan dengan system non perpiaan /individu, di perkotaan dan Perdesaan diasumsikan cenderung menurun sampai tahun 2015. Selain itu Kondisi permukiman/perumahan penduduk yang relatif terpencar, menyebabkan sulitnya pembangunan saluran pembuangan. Pengelola air minum di kabupaten Aceh Barat adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Meulaboh. Tugas pokok secara garis besar dibagi menjadi fungsi Teknis dan fungsi Umum (Administrasi dan Keuangan). PDAM di pimpin oleh seorang Direktur Utama dengan dibantu oleh dua orang Direktur yaitu Direktur Administrasi & Keuangan dan Direktur Teknik di tingkat kantor pusat, kedua Direktur ini membawahi Kepala Bagian. Wilayah PDAM dibagi menjadi wilayah kota Meulaboh dan IKK Suak Timah, Peureumbe dan IKK Meureubo. Strukur PDAM dapat dilihat diagram terlampir. Institusi PDAM telah mengacu kepada Surat Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 Tahun 1984, No.28/KPTS/1984 tentang pedoman Organisasi Kelembagaan. Melihat dari status PDAM sebagai perusahaan
daerah
maka
PDAM
sangat
berperan
dalam
pelayanan
dan
pengembangan air minumdalam wilayah Kabupaten Aceh Barat mulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan,
pembangunan,
operasi
dan
pemeliharaan
serta
pengembangannya. Salah satu segi penting dari unsure sumber daya manusia adalah segi kuantitas dan kualitas, kuantitas menunjukkan jumlah, sedangkan kualitas dapat dicerminkan dari pendidikan formal, pengalaman kerja serta pelatihhan yang pernah diikuti. Pada pelaksanaan pekerjaan masih terdapat tumpang tindih karena penempatan karyawan yang kurang tepat dengan spesifikkasi bidang keahlian yang dibutuhkan sehigga terkesan kemampuan SDM masih sangat terbtas. Masalah yang tidak kalah pentingnya penerimaan karyawan dan mutasi karyawan yang terkesan sangat tergantung pada penentu kebijaksanaan, yang lebih atas. Kesemuanya ini memperlemah jalannya organisasi PDAM.
System dan prosedur baku yang berlaku masih mengacu pada system dan prosedur umum yang digunakan oleh PDAM, seperti system dan prosedur akuntasi, pecatatan
akuntasi,
system
pelaporan
(harian,
bulanan,
tahunan),
system
penganggaran, operasi dan pemeliharaan dan lain-lain. Namun dalam pelaksanaannya tidak semua prosedur yang akan dijalankan dan dipedomani salah satu penyebabnya adalah terbatasnya SDM yang ada dan terbatasnya biaya operasi dan pemeliharaan yang tersedia. Target yang ingin dicapai oleh PDAM saat ini adalah rehabilitasi dan pemulihan pelayan yang ada sebelum bencana tsunami sehingga belum ada pemasaran dan pengembangan daerah pelayanan. Permintaan sambungan baru dan pengembangan daerah pelayanan. Permintaan sambungan baru dan rencana pengembangan belum bisa dilakukan mengingat kondisi keuangan PDAM. Untuk masa mendatang setelah masa pemulihan selesai dilaksanakan. PDAM perlu menerapkan dan trik pemasaran hasil produksi layaknya perusahaan lain. Aspek komersialitas dalam rangka peningkatan kemandirian sebagai BUMD harus dilaksanakan yang selama ini terabaikan. Berdasarkan nilai jual secara ideal hasil produksi PDAM mampu menopang operasionalnya sendiri bahkan mampu memberikan kontribusinya kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun demikian dalam kondisi PDAM yang mengalami musibah tsunami segala hal yang menyangkut masalah keuangan belum berjalan sebagaimana yang telah ditetapkan. Teknis penangulangan tunggakan tagihan rekening pelanggan belum tegas, kepincangan yang sangat jelas terlihat dari biaya produksi dari tahun ketahun dan selama ini pula belum ada penyusuaian tariff. Beban keuangan meluas berupa tagihan oleh lembaga diluar PDAM seperti PLN berupa biaya listrik dan rekanan. Kesemuanya ini membuktikan masih lemahnya managemen pengelola PDAM. Minusnya neraca keuangan operasional lebih diakibatkan tingkat kebocoran yang tinggi, tinggiya biaya operasional dan rendahnya tariff air minum yang berlaku, rendahnya pelayanan, serta pembekakan beban karena tidak efisiennya jumlah karyawan yang ada.
Tarif air minum yang diterapkan sampai saat ini masih menggunakan struktur tariff yang lama. Dalam melakukan peninjauan dan kebijakan kenaikan tariff air minum PDAM
menunggu
Keputusan
Bupati,
dalam
hal
ini
Bupati
juga
harus
mempertimbangkan aspirasi masyarakat terutama dari kalangan DPRK. Disisi lain PDAM dutuntut mampu membiayai diri sediri dan memberikan kontribusinya kepada pendapatan asli daerah (PAD) serta memberikan pelayanan kepada semua masyarakat yang membutuhkan baik masyarakat yang mampu dan kurang mampu. Kesemuanya ini sangat mempengauhi kinerja keuangan PDAM. Sistem air minum dirancang sesuai dengan masing-masing unit yaitu air baku, Sistem Produksi, Transmisi, Distribusi dan daerah pelayanan, dimana sebagi sumber air minum lokasi ini secara garis besar adalah : •
Air Tanah
•
Air Permukaan Sumber air yang dipakai saat ini adalah Sungai Meurebo yang akan dipakai
sampai tahun 2026. Sebagaimana telah disebutkan maka tambahan kebutuhan air untuk 20 tahun kedepan untuk kecamatan Johan Pahlawan adalah 130L/dt. Sampai dengan tahun 20011 diperlukan debit 80L/dt. Secara umum lokasi pelayanan air minum dibagi 3 zone dimana masing-masing zone dilayani oleh sebuah sumber air yang berupa mata air. Pembagian zone tersebut adalah sebagai berikut: •
Zone Utara : Daerah pelayanan s/d desa Marek-Blang Beuregang kec. Kaway XVI.
•
Zone Tengah
: Daerah Pelayanan di Kabupaten Meulaboh.
•
Zone Barat : Daerah pelayanan s/d desa Suak Timah kec. Samatiga.
Sumber air mempunyai DAS Meurebo cukup besar yang terbatas yaitu antara 160-210 Km² dengan demikian sumber ar ini sedikit dipengaruhi oleh musim. Masalah yang ada pada intake yang ada adalah :
•
Adanya dindikasi interusi air laut pada intake
•
Inteke terkontaminasi oleh alur sungai dari rawa/organic tinggi yang ada diseberang intake.
•
Endapan Lumpur cukup tinggi. Untuk mengatasi hal itu Spanish Red Cross merehabilitasi intake dan menambah
prasedimentasi
dengan membangun intake baru 1 km kea rah hulu dengan
pertimbangan : •
Mengurangi efek endapan sunngai
•
Intake terhindar dari interusi air laut pada masa kering 1 bulan.
•
Terhindarnya intake dari terkontaminasi air dengan kadar organic tinggi dari rawa. Untuk mengantisipasi pelayanan di daerah utara yaitu di desa Marek-
Beureugang dan menjaga kemungkinan akan terjadi interusi air laut kelokasi ini maka perlu dibuat lagi intake 5 km kearah hulu ke desa Pasir Jambu. Penggunaan air bersih di Kabupaten Aceh Barat dimana layanan PDAM Tirta Meulaboh untuk pendistribusian air bersih ke semua kawasan masih sangat terbatas. Layanan PDAM baru mendistribusikan hanya terhadap sebagian Besar desa-desa yang ada di Kecamatan Johan Pahlawan saja, sementara 93% desa-desa lainnya masih memanfaatkan sumur sebagai sumber air minum. Dengan demikian sudah selayaknya Pemerintah memiliki fokus khusus mengenai air bersih secara keseluruhan. Sementara sumber air utama bagi kecamatan lain seperti Kecamatan Kaway XVI, sumber air utama berasal dari geunang (Rawa/Danau) dan Kecamatan Samatiga yang juga sekaligus sebagai kecamatan yang memiliki luas daerah rawa dan geunang pada tahun 2004 mencapai 850 ha, kemudian disusul oleh Kaway XVI dengan luas 750 ha. Melihat kondisi rawa dan geunang yang begitu luasnya, maka Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, berasumsi bahwa kondisi tersebut berpeluang bagus bila di manfaatkan
dengan
baik.
Disamping
sebagai
sumber
air
utama
juga
dapat
dikembangkan sebagai daerah perikanan air tawar bahkan kawasan wisata. Berdasarkan standar nasional yaitu SK mendagri nomor 47 Tahun 1999, setiap sambungan hidran umum ( kran Umum ) digunakan untuk 100 orang dan sambungan rumah tangga digunakan untuk 6 (enam) orang, dengan demikian berikut rincian pertahun Cakupan pelayanan PDAM Tirta Meulaboh
Jumlah Pelanggan PDAM Tirta Meulaboh DAERAH
JUMLAH PELANGGAN
PELAYANAN
2008
Wilayah PUSAT RUTEDOP KAWAY XVI Ranto Panjang Total Jumlah
2009
2010
959
1187
1234
1
12
15
3
444
487
963
1643
1736
Sumber: PDAM Tirta Meulaboh
Dari Tabel diatas jumlah pelanggan yang dilayani untuk Kabupaten Aceh Barat oleh PDAM Tirta Meulaboh meningkat setiap tahunnya dan pada tahun 2010 sudah dapat melayani sebanyak 1.736 pelanggan. Permasalahan air bersih di Kabupaten Aceh Barat dapat kita lihat dari bagaimana pola masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air bersihnya. Masyarakat menggunakan berbagai macam cara dalam memenuhi kebutuhan airnya. Dari data profil kesehatan lingkungan terlihat bahwa sebanyak 6.731 atau 42.437 % rumah menggunakan sumur gali (pada kategori memenuhi syarat). Sedangkan ada juga rumah yang menggunakan sumur gali yang tidak memenuhi syarat sebanyak 8. 451 atau 53.282% rumah. Metode lain yang digunakan masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan air bersihnya adalah dengan mengandalkan sumur pompa. Masyarakat yang menggunakan sumur jenis sebanyak 121 rumah atau 7,6% yang berada dalam kondisi memenuhi syarat. Namun ada juga masyarakat yang menggunakan sumur ini pada kategori tidak memenuhi syarat sebanyak 0,8 % atau 13 rumah. Sumber air bersih lainnya yang digunakan oleh masyarakat adalah PAH (penampungan air hujan). Menurut hasil survei, wilayah yang banyak menggunakan fasilitas ini adalah masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Samatiga dengan jumlah rumah adalah 545 (34%) rumah dengan kondisi memenuhi syarat. Tabel 2.5 Hasil Rekapitulasi Pendataan Sumber Air Bersih (SAB) Di Wilayah Kerja Di Kabupaten Aceh Barat Tahun 2008 Jenis Sarana Air Bersih Jumlah NO KECAMATAN Sumur Gali Sumur Pompa PAH Rumah MS TMS MS TMS MS TMS 1 Johan Pahlawan 516 470 46 0 0 0 0 2 Meureubo 2134 2008 126 0 0 0 0 3 Samatiga 1981 997 305 121 13 545 4 Kaway XVI 11230 3256 7974 0 0 0 0 Ket: MS : Memenuhi Syarat TMS : Tidak Memenuhi Syarat
Menurut survey EHRA yang dilakukan pada awal Desember 2010, sumber air minum di kabupaten Aceh Barat secara umum relative aman. Data terkait dengan keamanan sumber air minum, hasil analisis data EHRA menunjukkan bahwa mayoritas atau sekitar 98,5% rumah tangga di Kabupaten Aceh Barat memiliki sumber air minum relatif aman. Pengguna sumber air minum yang relatif tidak aman sekitar 2% seperti terlihat pada grafik 2.7 berikut ini :
Gambar 2.7. Sumber Air Minum Kabupaten Aceh Barat
Meskipun banyak rumah tangga mengeluarkan dana untuk mendapatkan air minum, tetapi secara kelayakan teknis dan kesehatan hasilnya menunjukan mayoritas rumah tangga mengkonsumsu air yang relative aman. Sekitar 55% melaporkan mengeluarkan uang untuk mendapatkan air minum. Sekitar 43% melaporkan sebaliknya, yakni tidak mengeluarkan dana untuk mendapatkan air minum.
2.1.4. Sistem Drainase Dalam rangka pengembangan dan penataan kawasan permukiman dan peningkatan taraf hidup masyarakat di Kabupaten Aceh Barat, penanganan drainase merupakan salah satu prioritas yang perlu mendapatkan penanganan. Karena gangguan dan kerugian akan masalah banjir dan genangan telah mengakibatkan dampak penurunan kondisi sosial ekonomi masyarakat, kerusakan lingkungan pemukiman dan sektor-sektor ekonomi yang potensial. Sistem drainase Kabupaten Aceh Barat saat ini masih jauh dari memadai, terutama untuk menanggulangi genangan air dalam wilayah kota serta pengendalian banjir. Kondisi ini dapat dilihat terutama di daerah pusat kota, yaitu masih adanya daerah-daerah genangan air pada beberapa kawasan pemukiman, begitupun dengan banyaknya rumah tangga yang masih belum memiliki saluran drainase. Dinas yang terkait dengan pengelolaan drainase adalah Dinas Cipta Karya dan Sumber Daya Air. Saat ini cakupan pelayanan drainase primer sudah mencakup hamper seluruh perkotaan di Kabupaten Aceh Barat. Sebelum dibangun drainase primer ini, kota Meulaboh terutama di Kecamatan Johan Pahlawan merupakan kawasan yang rawan banjir terutama pada saat musim penghujan yang disertai dengan naiknya air pasang dari laut. Namun setelah pembangunan drainase ini selesai dibangun dengan menggunakan sumber dana bantuan dari pemerintah Jepang melalui JICA, maka genangan disekitar wilayah ibukota kabupaten sudah dapat diatasi. Hasil pengamatan terhadap ada atau tidaknya genangan air di jalan didepan rumah terpilih dalam survey EHRA yang dibandingkan dengan kondisi permukaan jalan, indikator ini merupakan faktor risiko yang lebih dekat untuk terjadinya penyakit bersumber binatang dan bakteri yang berkembang biak pada genangan air yang tidak mengalir dan sulit mengering. Untuk lebar jalan, Survey EHRA menjumpai bahwa mayoritas rumah di Kabupaten Aceh Barat berada di depan jalan yang lebarnya antara 2 sampai dengan 10 meter. Hasil pengukuran emunerator menunjukkan bahwa cakupannya adalah sekitar
85% dari total rumah atau lebih setengah dari rumah tangga di Kabupaten Aceh Barat. Yang kedua adalah rumah yang terletak di jalan berlebar antara 10 meter atau lebih dengan cakupan sekitar 14%. Yang ketiga adalah rumah yang terletak di jalan yang lebarnya lebih kecil atau sama dengan 1 meter, dengan cakupan sekitar 1%. Rincian dapat disimak pada diagram di bawah.
Diagram 1: Lebar Jalan Depan Rumah
Ket: 1 = Lebar Jalan kurang dari 1 meter 2 = Lebar Jalan antara 2-10 meter 3 = lebarj jalan lebih besar dari 10 meter
Pengamatan emunerator terhadap lingkungan rumah menemukan bahwa sekitar 20% rumah tangga di Kabupaten Aceh Barat memiliki lingkungan yang terdapat genangan air. Seperti dapat dibaca pada diagram di atas, sekitar 80% rumah tangga dijumpai tidak memiliki genangan air di sekitar 10 m dari rumahnya. Di sini, secara umum dapat digambarkan bahwa risiko lingkungan akibat genangan air dilingkungan rumah tangga di Kabupaten Aceh Barat dapat dikategorikan rendah.
Diagram 2: Genangan Air
Keterangan: Ya = ada genangan air Tidak = tidak ada genangan air
Tabel Gampong 2.8 Distribusi Genangan Air Per Desa Kondisi Saluran (Genangan Air)
Ada
Tidak Ada
TOTAL
(%)
(%)
(%)
1 Suak Indra Puri
41
59
100
2 Pasar Aceh
47
53
100
3 Padang Seurahet
13
87
100
4 Panggong
42
58
100
5 Gampong Belakang
14
86
100
6 Ujung Kalak
35
65
100
7 Ujung Baroh
35
65
100
8 Rundeng
18
82
100
9 Kuta Padang
21
79
100
10 Suak Ribee
14
86
100
11 Blang Beurandang
31
69
100
12 Suak Raya
4
96
100
13 Suak Nie
14
86
100
14 Leuhan
27
73
100
15 Gampa
25
75
100
16 Drien Rampak
19
81
100
17 Suak Sigadeng
57
43
100
18 Kampung Darat
14
86
100
19 Seuneubok
17
83
100
KELURAHAN NO JOHAN PAHLAWAN
SAMATIGA
20 Suak Timah
9
91
100
21 Cot Darat
10
90
100
22 Cot Pluh
4
96
100
23 Pasi Pinang
29
71
100
24 Ujong Drien
0
100
100
25 Meureubo
7
93
100
26 Marek
32
68
100
27 Pasie Jambu
27
73
100
28 Alue Tampak
12
88
100
MEUREUBO
KAWAY XVI
2.1.5. Komponen Sanitasi Lainnya Selain penanganan dari komponen sanitasi yang tersebut diatas, keberadaan komponen sanitasi lainnya seperti limbah industri baik berupa limbah gas, cair dan padat juga sudah menjadi perhatian pemerintah kabupaten Aceh Barat dan penanganannya dilakukan oleh setiap pelaku Industri dalam pengawasan Badan Pengendali Dampak Lingkungan Hidup Kebersihan dan Pertamanan (BAPEDALKP) Kabupaten Aceh Barat. Menurut Depkes Republik Indonesia berbagai jenis buangan yang dihasilkan rumah sakit dan unit-unit pelayanan kesehatan yang mana dapat membahayakan dan menimbulkan gangguan kesehataan bagi pengunjung, masyarakat terutama petugas yang menanganinya disebut sebagai limbah klinis. Limbah klinis berasal dari pelayanan medis, perawatan, gigi, veterinary, farmasi atau yang sejenisnya serta limbah yang dihasilkan rumah sakit pada saat dilakukan perawatan, pengobatan atau penelitian. Berdasarkan potensi bahaya yang ditimbulkannya limbah klinis dapat digolongkan
dalam limbah benda tajam, infeksius, jaringan tubuh, citotoksik, farmasi, kimia, radio aktif dan limbah plastik a. Limbah Benda Tajam. Limbah benda tajam adalah obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit. Misalnya : jarum hipodermik, perlengkapan intervena, pipet pasteur, pecahan gelas, pisau bedah. Selain itu meliputi benda-benda tajam yang terbuang yang mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun atau radio aktif b. Limbah Infeksius. Limbah infeksius meliputi limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular serta limbah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik, ruang perawatan dan ruang isolasi penyakit menular. Yang termasuk limbah jenis ini antara lain : sampah mikrobiologis, produk sarah manusia, benda tajam, bangkai binatang terkontaminasi, bagian tubuh, sprei, limbah raung isolasi, limbah pembedahan, limbah unit dialisis dan peralatan terkontaminasi ( medical waste ). c. Limbah Jaringan Tubuh. Limbah jaringan tubuh meliputi jaringan tubuh, organ, anggota badan, placenta, darah dan cairan tubuh lain yang dibuang saat pembedahan dan autopsi. Limbah jaringan tubuh tidak memerlukan pengesahan penguburan dan hendaknya dikemas khusus, diberi label dan dibuang ke incinerator. d. Limbah Citotoksik. Limbah citotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi dengan obat citotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi citotoksik. Limbah yang terdapat limbah citotoksik didalamnya harus dibakar dalam incinerator dengan suhu diatas 1.000°C. e. Limbah Farmasi. Limbah farmasi berasal dari : obat-obatan kadaluwarsa, obatobatan yang terbuang karena batch tidak memenuhi spesifikasi atau telah terkontaminasi, obat-obatan yang terbuang atau dikembalikan oleh pasien, obat-
obatan yang sudah tidak dipakai lagi karena tidak diperlukan dan limbah hasil produksi obat-obatan. f. Limbah Kimia. Limbah kimia dihasilkan dari penggunaan kimia dalam tindakan medis, vetenary, laboratorium, proses sterilisasi dan riset. Limbah kimia juga meliputi limbah farmasi dan limbah citotoksik. g. Limbah Radio Aktif. Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radionucleida. Asal limbah ini antara lain dari tindakan kedokteran nuklir, radioimmunoassay dan bakteriologis yang daapt berupa padat, cair dan gas. h. Limbah Plastik. Limbah plastik adalah bahan plastik yang dibuang oleh klinik, rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lain seperti barang-barang dissposable yang terbuat dari plastik dan juga pelapis peralatan dan perlengkapan medis. Pengelolaan sampah medis akan memiliki penerapan pelaksanaan yang berbeda-beda antar fasilitas-fasilitas kesehatan, yang umumnya terdiri dari penimbulan, penampungan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan. a. Penimbulan (Pemisahan Dan Pengurangan ). Proses pemilahan dan reduksi sampah hendaknya merupakan proses yang kontinyu yang pelaksanaannya harus mempertimbangkan
:
kelancaran
penanganan
dan
penampungan
sampah,
pengurangan volume dengan perlakuan pemisahan limbah B3 dan non B3 serta menghindari penggunaan bahan kimia B3, pengemasan dan pemberian label yang jelas dari berbagai jenis sampah untuk efisiensi biaya, petugas dan pembuangan.
b. Penampungan. Penampungan sampah ini wadah yang memiliki sifat kuat, tidak mudah bocor atau berlumut, terhindar dari sobek atau pecah, mempunyai tutup dan tidak overload. Penampungan dalam pengelolaan sampah medis dilakukan perlakuan standarisasi kantong dan kontainer seperti dengan menggunakan kantong yang bermacam warna seperti telah ditetapkan dalam Permenkes RI no. 986/Men.Kes/Per/1992
dimana
kantong
berwarna
kuning
dengan
lambang
biohazard untuk sampah infeksius, kantong berwarna ungu dengan simbol citotoksik untuk limbah citotoksik, kantong berwarna merah dengan simbol radioaktif untuk limbah radioaktif dan kantong berwarna hitam dengan tulisan “domestik”. c. Pengangkutan. Pengangkutan dibedakan menjadi dua yaitu pengangkutan intenal dan eksternal. Pengangkutan internal berawal dari titik penampungan awal ke tempat pembuangan atau ke incinerator (pengolahan on-site). Dalam pengangkutan internal biasanya digunakan kereta dorong sebagai yang sudah diberi label, dan dibersihkan secara berkala serta petugas pelaksana dilengkapi dengan alat proteksi dan pakaian kerja khusus. Pengangkutan eksternal yaitu pengangkutan sampah medis ketempat pembuangan di luar (off-site). Pengangkutan eksternal memerlukan prosedur pelaksanaan yang tepat dan harus dipatuhi petugas yang terlibat. Prosedur tersebut termasuk memenuhi peraturan angkutan lokal. Sampah medis diangkut dalam kontainer khusus, harus kuat dan tidak bocor. d. Pengolahan dan Pembuangan. Metoda yang digunakan untuk mengolah dan membuang sampah medis tergantung pada faktor-faktor khusus yang sesuai dengan institusi yang berkaitan dengan peraturan yang berlaku dan aspek lingkungan yang berpengaruh terhadap masyarakat.
2.1.6. Sanitasi Lingkungan Kabupaten Aceh Barat Untuk
melihat
kondisi
kesehatan
lingkungan
di Wilayah
Pemerintahan
Kabupaten Aceh Barat ada beberapa indikator yang dapat dikemukakan, antara lain sebagai berikut: Tabel 2.7 Penderita Penyakit Berhubungan Dengan Lingkungan Menurut Kecamatan Tahun 2009-2010 TAHUN Kec 2009 2010 DBD ISPA DIARE DBD ISPA DIARE
NO 1 2 3 4
Johan Pahlawan
30
12
6
42
24
0
Meureubo
7
8
0
9
8
0
Samatiga
0
2
0
0
2
0
Kaway XVI
3
2
9
3
3
0
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat, 2010
Tabel 2.8 Rekapitulasi Pemantauan Status Gizi (PSG) Dinas Kesehatan Aceh Barat Tahun 2007 NO
PUSKESMAS
1 Johan Pahlawan 2 Meureubo 3 Samatiga 4 Kaway XVI
BALITA JUMLAH ANAK MENURUT STATUS GIZI YANG LAKI-LAKI PEREMPUAN DIUKUR TOTA BURU KURAN BAI BURU KURAN L P % % % % % L K G K K G 21 19 2, 14, 34, 1, 10 5 3 408 4 60 7 142 8 37 9,1 6 5 16 15 2, 12, 36, 4, 14, 9 8 1 319 8 39 2 116 3 13 1 45 1 10 12 1, 39, 0, 10, 4 9 4 233 7 14 6 91 1 2 9 24 3 19 17 0, 43, 3 8 2 370 8 34 9,2 161 5 0 0 29 7,8
Sumber : Seksi Karga & Gizi, Dinkes Aceh Barat, 2010
BAI % K 147 36 28, 91 5 42, 98 1 38, 143 6
3.1.1. Kesehatan dan Pola Hidup Masyarakat Tabel 2.9 Rekapitulasi Pendataan Rumah Sehat, Pekarangan Sehat dan Kadang Ternak Di Wilayah Kabupaten Aceh Barat Tahun 2008 Kondisi Perumahan NO Kecamatan
Jumlah Rumah
sehat Johan 1 Pahlawan
671
2 Meureubo 3 Samatiga 4 Kaway XVI
1.971 80 420
Kandang Ternak tidak sehat sehat tidak sehat ada tidak ada
Rumah
Pekarangan
508
163
504
167
0
671
1.446 49 399
525 31 21
1402 49 396
569 31 24
8 12 18
1963 68 402
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat, 2010 Dari profil kesehatan lingkungan di Kabupaten Aceh Barat pada tahun 2008 menunjukkan bahwa sebanyak 2.402 atau 76.5% rumah dalam kategori sehat dan 175 atau 23.5% rumah dalam kategori tidak sehat. Bila kita lihat dari pekarangan rumah, maka ada 2.351 pekarangan rumah atau 74.8% dalam keadaan sehat dan sisanya sebanyak 791 atau 23.2% pekarangan rumah dalam keadaan tidak sehat. Kandang ternak dalam kondisi terpisah atau tidak terpisah dari rumah juga dapat menunjukkan bagaimana kesehatan dan pola hidup masyarakat Kabupaten Aceh Barat. Dari survei kesehatan lingkungan tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 3.104 kandang ternak atau 98.8% telah terpisah dari rumah dan sisanya sebanyak 38 kandang atau 1.2% kandang ternak tidak terpisah dari rumah.
Tabel 2.10 Rekapitulasi Pendataan Jamban
NO 1 2 3 4
Di Kabupaten Aceh Barat Tahun 2008 Jens Jamban Jumlah Kecamatan Leher Angsa Plengsengan Rumah MS TMS MS TMS Johan Pahlawan 9.177 9.177 0 0 0 Meureubo 4.671 4.671 0 0 0 Samatiga 4.002 4.002 0 0 0 Kaway XVI 4.631 4.631 0 0 0
Cemplung MS TMS 0 0 0 0 0 0 0 0
Ket: : Memenuhi Syarat MS TMS : Tidak Memenuhi Syarat Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat, 2010
Penggunaan jamban juga merupakan salah satu indikator penting untuk melihat bagaimana kesehatan dan pola hidup masyarakat. Survei kesehatan lingkungan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa pada umumnya (100%) jamban yang digunakan oleh masyarakat Kabupaten Aceh Barat adalah tipe leher angsa. Karena pada umumnya perumahan penduduk di ke empat kecamatan tersebut merupakan bantuan dari Donor, International NGO dan lembaga-lembaga Nasional dan Nasional lainnya, maka semua jamban yang digunakan tersebut sudah memenuhi syarat kesehatan yang ditetapkan. Tabel 2.11 Persentase Rumah Tangga Berperilaku Hidup Bersih Sehat Kabupaten Aceh Barat tahun 2009 RUMAH TANGGA NO Kecamatan PUSKESMAS JUMLAH BER % DIPANTAU PHBS 1 Johan Pahlawan Johan Pahlawan 671 508 75,71 2 Meureubo Meureubo 1971 1446 73,36 3 Samatiga Suak Timah 80 49 61,25 4 Kaway XVI Kaway XVI 420 21 5,00 Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat, 2010
Survei rumah tangga berperilaku hidup bersih sehat tahun 2009 di Kabupaten Aceh Barat dilakukan berbasis puskesmas. Setiap puskesmas mengambil sampel berbeda-beda jumlah rumah. Dari hasil survei dapat diketahui bahwa rumah yang berperilaku hidup sehat di setiap puskesmas di atas 60 % kecuali Kecamatan Kaway XVI yang menunjukan angka sangat bertolak belakang (5%). Sedangkan untuk Puskesmas yang lain secara berturut-turut hasil survei dari yang terendah adalah puskesmas Suak Timah di Samatiga sebesar 61,25 %, Puskesmas Meureubo 73,36%, dan Puskesmas Johan Pahlawan 75,71%.
2.1.7. Kondisi PMJK Hasil studi PMJK tentang Pelibatan Masyarakat Miskin dan Jender dalam Pembangunan menyebutkan dari sisi pekerjaan yang memerlukan ketrampilan dikerjakan hanya oleh laki-laki, sedangkan perempuan mengerjakan pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan sementara pekerjaan yang dibayar hanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan hanya melakukan pekerjaan yang sifatnya sukarela. Namum berbeda halnya dengan pemeliharaan keterlibatan mereka praktis diperlukan dalam pemeliharaan yakni melalui lembaga/badan keswadayaan masyarakat di tingkat Kelurahan/Gampong yang dilaksanakan oleh UPL (Unit Pengelola Lingkungan) sebagai pelaksana teknis dalam pengelolaan lingkungan, keberadaan lembaga tersebut merupakan hasil dari intervensi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat/PNPM yang telah dilaksanakan di Kabupaten Aceh Barat, seperti PPK dan P2KP. Masyarakat mempunyai perannya masing-masing sesuai dengan tingkat kesadaran akan kesehatan lingkungan dan kemampuan finansialnya masing-masing. Masyarakat yang telah mampu, umumnya telah memiliki fasilitas penanganan limbah cair dengan baik. Namun masyarakat yang belum memiliki kemampuan finansial, penyediaan sarana ini menjadi sulit bagi mereka. Sehingga dapat kita katakan dengan kondisi masyarakat dengan berbagai latar belakang yang dimilikinya, penanganan
leimbah ini belum maksimal. Hal ini terlihat dari data kesehatan lingkungan bahwa 36.714 rumah yang disurvei, hanya 6.820 rumah (18%) yang memiliki SPAL memenuhi syarat, sedangkan sisanya sebesar 82 % berada dalam kondisi tidak memadai. Secara keseluruhan tingkat kesadaran penduduk Aceh Barat dalam hal penaganan air limbah khusunya limbah Lumpur tinja masih rendah hal ini dapat dilihat dari masyarakat yang memiliki sarana MCK baru mencapai 27,4 %. Sementara dalam sector air bersih, partisipasi masyarakat sebenarnya masih cukup tinggi, namun keterbatasan dan keseriusan menjawab dan menyelesaikan masalah yang menyangkut pelayanan konsumen dalam tubuh PDAM belum maksimal. Dilihat dari tingkat ketergantungan komsumtif, peran serrta dan tingkat kepedulian swasta dan masyarakat terhadap keberadaan dan operasional PDAM selama ini respon masyarakat menjadi semakin berkurang. Program dan kebijakan yang telah dilaksanakan lebih mengarah kepada pembinaan kedalam yaitu upaya meningkatkan kemampuan personil diantaranya dalam aspek financial, administrasi, teknis operasional dengan segala keterbaasan yang ada. Sedangkan kea rah luar melakukan pendekatan dan usulan program kepada Pemerintah Pusat melalui APBN untuk memulihkan pelayanan ke kondisi semua sebelumterjadinya tsunami dan kedepan meningkat kapasitas pelayanan PDAM. Masyarakat telah melakukan upaya pengelolaan sampah sesuai dengan kondisi kemampuan ataupun pengetahuan yang dimilikinya dalam upaya untuk berpartisipasi dalam penanganan sampah di kabupaten Aceh Barat. Menurut data dari Badan Pengendali dampak Lingkungan dan Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Aceh Barat tahun 2010, di beberapa kawasan pemukiman di kecamatan johan pahlawan telah mampu melakukan pemilihan sampah basah dan kering dengan bobot mencapai 0,5 m3/hari/35 rumah tangga. Data tersebut juga memberikan gambaran bahwa masyarakat juga telah mampu mengolah sampah di tempat (on site) di rumahnya sendiri atau dikawasan perumahannya sendiri. Meskipun demikian, tingkat kesadaran penduduk dalam menjaga kebersihan di kabupaten Aceh Barat perlu ditingkatkan terutama penduduk
yang bermukim di dekat aliran sungai, tepi pantai dan beberapa tempat padat penduduk, terminal dan pasar, demikian halnya dengan kesadaran masyarakat untuk membayar retribusi masih kurang.
2.1.7 Kampanye PHBS Perilaku Hidup Bersih dan Sehat adalah salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk menghasilkan kemandirian baik pada masyarakat maupun keluarga artinya masyarakat mampu berperilaku mencegah timbulnya masalah-masalah dan gangguan kesehatan. Dengan adanya pembinaan dan penyuluhan PHBS diharapkan : a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam bidang kesehatan. b. Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pencegahan penyakit dan upaya penyehatan lingkungan. c. Meningkatkan kemampuan dan kemauan masyarakat, institusi untuk melaksanakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. d. Meningkatkan derajat kesehatan terutama kesehatan ibu, bayi dan balita. e. Meningkatkan kemampuan penyebaran informasi bagi petugas kesehatan. Data kegiatan Promosi Kesehatan di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat pada tahun 2009 tergambarkan pada tabel berikut ini : Tabel 2.13 Kegiatan Promosi Kesehatan Program PHBS Tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7
Nama Kegiatan Penyuluhan Pola Hidup Bersih Sehat Peningkatan Pemanfaatan sarana Kesehatan Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan Penyuluhan Kesehatan Reproduksi
Jumlah (Rp) 10.400.000 50.500.000 16.750.000 17.725.000
Pelaksanaan Kerjasama bakti Sosial Kesehatan dan Promsi Kesehatan Advokasi ke lIntas sektoral terkait sanitasi
79.500.000
Pengembangan Upaya Kesehatan Bersumber masyarakat
25.000.000
2.500.000
8
Pembinaan dan penilaian Sekolah PHBS
5.350.000
9
Pengembangan Media Promosi dan Informasi Kesehatan Sadar Hidup Sehat
10 Sosialisasi Masalah Kesehatan Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat
15.700.000 27.500.000
2.1.8. Pembiayaan Sanitasi Kabupaten Aceh Barat Pembiayaan bidang sanitasi di Kabupaten Aceh Barat dilakukan oleh Badan Perencanaan
Pembangunan
Daerah
(BAPPEDA),
Badan
Lingkungan
Hidup
Kebersihan dan Pertamanan (BLHKP), Dinas Pekerjaan Umum (PU), dan Dinas Kesehatan. Dari hasil studi APBD Kabupaten Aceh Barat yang membahas beberapa aspek seperti Aspek kelembagaan, Aspek prioritas pendanaan, Perkembangan pendapatan dan belanja daerah, besaran pendapatan dari layanan sanitasi, Aspek pinjaman daerah, Aspek permasalahan pendanaan pembangunan dan pengelolaan sanitasi kota, dan besaran pendanaan sanitasi per kapita dapat di peroleh bahwa : Pada aspek Kelembagaan menjelaskan tugas dan fungsi masing-masing dinas dalam pengelolaan bidang sanitasi seperti BAPPEDA sebagai leading sector perencanan secara makro, BLHKP menyelenggarakan pelayanan bidang pelayanan kebersihan meliputi pengawasan terhadap kebersihan, dan jaringan sanitasi, mengembangkan program kelembagaan dan peningkatan kualitas dan kapasitas dalam bidang lingkungan hidup dan kebersihan di Kabupaten Aceh Barat. Dinas Pekerjaan Umum saat ini terus berupaya dalam menyelenggarakan pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana jaringan drainase, Dinas Kesehatan melaksanakan pembinaan dan pengendalian di bidang kesehatan meliputi bidang peningkatan upaya pelayanan kesehatan, pencegahan dan pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan dan permukiman dan promosi kesehatan, pemulihan kesehatan dan penelitian kesehatan. Prioritas pendanaan pembangunan sanitasi di Kabupaten Aceh Barat, jika diamati sejak Tahun 2005 hingga Tahun 2009 yang mendapatkan alokasi terbesar adalah pembangunan saluran drainase dan Pengembangan kinerja pengelolaan air minum dan air limbah.
Besaran Pendapatan dari layanan Sanitasi yang dijalankan dan ini merupakan bagian dari sumber PAD Kabupaten Aceh Barat salah satunya adalah pelayanan persampahan dan pelayanan sedot tinja, retribusi untuk pelayanan persampahan mendapatkan perolehan pendapatan masih sangat rendah sekitar 148,6 juta selain itu dari pelayanan sedot kakus tahun 2009 tercatat pemasukan
pendapatan yang
diperoleh dari hasil pemungutan retribusi penyedotan kakus sebesar Rp. 14,5 juta. Pendapatan retribusi
ini hanya mencapai 48 % dari target sebesar Rp. 50 juta.
Besarnya tariff yang dikenakan sebesar antara Rp. 40.000 s/d Rp. 100.000,-
2..2.. Visi Dan Misi Sanitasi Kabupaten Aceh Barat 2.2.1. Visi Visi sanitasi Kabupaten Aceh Barat dapat dirumuskan sebagai berikut : ”Mewujudkan
Segala
Sektor
Pembangunan
Infratruktur
Permukiman
Berbasis Sanitasi Sehat yang Partisipatif Menuju Lingkungan Masyarakat Bersih, Sehat, Makmur, Sejahtera dan Bersahaja”.
2.2.2. Misi 1. Meningkatkan kualitas lingkungan yang sehat dan bersih melalui pembangunan sarana prasarana air bersih, air limbah, drainase dan persampahan. 2. Meningkatkan peran serta secara aktif dan kesadaran masyarakat dalam pembangunan sanitasi . 3. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan membudayakan perilaku hidup sehat dan bersih. 4. Meningkatkan sistem pengelolaan, operasional dan pelayanan publik sektor sanitasi yang optimal dan berkelanjutan.
2.3. Kebijakan Umum dan Strategi Sanitasi Aceh Barat Tahun 2011-2015 Kebijakan sanitasi secara umum lebih didasarkan pada kegiatan fisik sector sanitasi beserta sarana dan prasarana pengelolaannya, dan juga perilaku masyarakat baik individu maupun kelompok seperti yang tertuang di bawah ini: 1. Pembangunan Sarana dan Prasarana Sanitasi; 2. Peningkatan Kesadaran Masyarakat terhadap pola hidup sehat dan bersih; 3. Pelaksanaan
partisifasi
pemangku
kepentingan
(stakeholders)
dalam
menciptakan lingkungan yang sehat; Sesuai aspek-aspek pendukung yang terkait dengan penanganan sanitasi, antara lain bidang kesehatan, perumahan, pekerjaan umum dan lingkungan hidup, maka strategi yang dilaksanakan diarahkan kepada : 1. Meningkatkan upaya lingkungan yang sehat dan perilaku hidup bersih serta sehat; 2. Meningkatkan kapasitas sistem, organisasi dan individu dalam meningkatkan kesehatan masyarakat; 3. Penataan lingkungan kawasan kumuh perumahan; 4. Mewujudkan keterpaduan perencanaan pembangunan drainase Kabupaten dengan perencanaan penataan ruang Kabupaten; 5. Meningkatkan dan memperhatikan relevansi kondisi kontur dalam perencanaan saluran drainase/gorong yang masih kurang diperhatikan; 6. Meningkatkan
kapasitas
dan
kualitas
pelayanan
saluran
drainase/gorong
perKabupatenan dengan meningkatkan ketegasan sanksi dalam mengoptimalkan saluran drainase; 7. Meningkatkan kualitas dan kuantitas saluran drainase perkotaan; 8. Meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana sanitasi Kabupaten melalui rencana induk sistem sanitasi; 9. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan sarana pengolahan air limbah dalam skala komunitas; 10. Meningkatkan aktivitas pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan.
Dari strategi sanitasi tersebut diaplikasikan dalam beberapa rencana program prioritas yang lebih operasional berikut indikator capaiannya, antara lain : 1. Meningkatnya pengetahuan, kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas hunian; 2. Meningkatnya kualitas infrastruktur perumahan/permukiman; 3. Tersusunnya masterplan drainase; 4. Terbangunnya dan terpeliharanya saluran drainase; 5. Terlaksananya pembangunan sarana dan prasarana perKabupatenan; 6. Terlengkapinya
lingkungan
permukiman
yang
memadai
pada
kawasan
permukiman; 7. Tersedianya TPA yang memenuhi standart teknis; 8. Meningkatnya sarana pengolah sampah di sumbernya Untuk pencapaian sararan pengelolaan sanitasi berbasis masyarakat, perlu adanya pembaharuan kebijakan pembangunan di bidang sanitasi dan meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan organisasi lokal melalui proses pendukung yang mengarah pada pengembangan kapasitas dan penguatan kelembagaan. Dalam pelaksanaan pengelolaan sanitasi berbasis masyarakat perlu dilengkapi dengan perangkat dan mekanisme kerja berupa pedoman manajemen aspek kelembagaan dan pembiayaan yang disepakati dan dipahami oleh semua stakeholder, untuk menjamin sistem pengelolaan yang optimal dan berkelanjutan. Kebijakan pembangunan sanitasi diarahkan pada peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap sarana dan prasarana sanitasi melalui peningkatan kesadaran masyarakat terhadap perilaku hidup bersih dan sehat, peningkatan peran serta seluruh pemangku kepentingan, serta pembangunan sarana dan prasarana sanitasi yang berbasis partisipasi masyarakat. Dalam upaya penyusunan pedoman kerja perlu terlebih dulu mengkaji terhadap kendala-kendala dan faktor-faktor keberhasilan di masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan
sanitasi yang
menyangkut
aspek,
yaitu
pola-pola
kelembagaan,
pembiayaan, operasional, dan peran serta masyarakat yang dilandasi oleh kearifan lokal yang ada. Tujuan 1. Terbangunnya Sarana dan Prasarana Sanitasi 2. Terciptanya kesadaran masyarakat akan pola hidup sehat dan bersih; 1. Terwujudnya
partisipasi
pemangku
kepentingan
(stakeholders)
dalam
menciptakan lingkungan yang sehat. Sasaran 1. Meningkatnya Sarana dan Prasarana Sanitasi 2. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pola hidup sehat dan bersih; 3. Meningkatnya
partisipasi
pemangku
kepentingan
(stakeholders)
dalam
menciptakan lingkungan yang sehat.
2..4.. Tujuan dan Sasaran Sanitasi dan Arahan Pentahapan Pencapaian Pembangunan sanitasi sasarannya diarahkan pada peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap sarana dan prasarana sanitasi melalui peningkatan kesadaran masyarakat terhadap perilaku hidup bersih dan sehat, peningkatan peran serta seluruh pemangku kepentingan, serta pembangunan sarana dan prasarana sanitasi yang berbasis partisipasi masyarakat. Untuk tercapainya sasaran pengelolaan sanitasi berbasis masyarakat, perlu adanya pembaharuan kebijakan pembangunan di bidang sanitasi dan meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan organisasi lokal melalui proses pendukung yang mengarah pada pengembangan kapasitas dan penguatan kelembagaan. Dalam pelaksanaan pengelolaan sanitasi berbasis masyarakat perlu dilengkapi dengan perangkat dan mekanisme kerja berupa pedoman manajemen aspek kelembagaan dan pembiayaan yang disepakati dan dipahami oleh semua stakeholder, untuk menjamin sistem pengelolaan yang optimal dan berkelanjutan.
Adapun tujuan yang ingin dicapai pada tahun 2011-2015 meliputi: a. Peningkatan kesadaran pemerintah daerah dan masyarakat mengenai sanitasi dasar dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan menuju kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. b. Peningkatan pelayanan prasarana dan sarana sanitasi mulai dari lingkup rumah tangga sampai dengan tingkat kota baik secara swadaya masyarakat maupun oleh pemerintah kota dan swasta yang sesuai standar pelayanan umum. c. Peningkatan kesadaran dan kepedulian dunia usaha terhadap sanitasi dasar masyarakat melalui advokasi, stimulasi dan donasi. Dalam upaya penyusunan pedoman kerja perlu terlebih dulu mengkaji terhadap kendala-kendala dan faktor-faktor keberhasilan di masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan sanitasi yang menyangkut aspek, yaitu pola-pola kelembagaan, pembiayaan, operasional, dan peran serta masyarakat yang dilandasi oleh kearifan lokal yang ada. Dari sasaran dan tujuan sanitasi tersebut diaplikasikan dalam beberapa rencana program prioritas yang lebih operasional berikut arahan tahapan pencapaian antara lain: 1. Terbangunnya unit Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) berserta tenaga operasional yang handal dan pemeliharaannya 2. Mengembangkan dan memantapkan kelembagaan pengelolaan air limbah melalui pembentukan unit pengelola air limbah, dinas atau perusahaan daerah serta mendorong kemitraan dengan dunia usaha dan masyarakat. 3. Mengembangkan sistem pengelolaan air limbah terpusat terutama di kawasan potensial, serta mengembangkan sistem perpipaan air limbah sederhana bagi kawasan kumuh dan padat 4. Mempercepat terwujudnya peraturan dan perundang-undangan yang menyangkut pengelolaan air limbah.
5. Menciptakan lingkungan perkotaan yang bersih terutama di daerah publik seperti jalan utama, pasar, lapangan olahraga, tempat hiburan. Diharapakan pada lokasilokasi publik kota tersebut di atas aman untuk berkegiatan/beraktivitas masyarakat dari resiko/gangguan kesehatan yang mungkin bisa menyebabkan sakit. 6. Tersedianya TPA yang memenuhi standart teknis; 7. Meningkatnya sarana pengolah sampah di sumbernya; 8. Meningkatnya
pengetahuan,
kesadaran
dan
partisipasi
masyarakat
dalam
meningkatkan kualitas hunian; 9. Meningkatnya kualitas infrastruktur perumahan/permukiman; 10. Tersusunnya masterplan drainase; 11. Terbangunnya dan terpeliharanya saluran drainase; 12. Terlaksananya pembangunan sarana dan prasarana perkotaan; 13. Terlengkapinya lingkungan permukiman yang memadai pada kawasan permukiman;