BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi di era globalisasi yang semakin cepat seperti saat ini membawa dampak perubahan terhadap tingkat kesejahteraan di Indonesia. Dampak perubahan tersebut diikuti dengan perubahan pola penyakit yang mengalami transisi epidemiologi, yaitu beralihnya penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (non-communicable disease). Perubahan ini dapat terlihat pada hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 dan Survei Kesehatan Nasional (SKN) tahun 2000, dimana penyebab kematian tertinggi di antara orang dewasa adalah Kardiovaskuler (Kemenkes RI, 2008). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan 5 penyakit paru utama merupakan 17,6 % dari seluruh kematian yang ada di dunia. Infeksi paru 7,4 %, PPOK 4,8 %, tuberkulosis 3 %, kanker paru/trakea/bronkus 2,1 % dan asma 0,3 %. Bank Dunia menyatakan kelima penyakit tersebut merupakan 13,3 % dari seluruh Disability Adjusted Life Years (DALY) (Ditjen P2 & PL, 2008). Penyakit paru obstruktif kronik dan asma merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia dan pasien dengan penyakit ini terus meningkat. Diperkirakan pada tahun 2030, PPOK akan menjadi penyebab utama kematian ketiga setelah penyakit jantung iskemik dan stroke dan penyebab utama kecacatan kelima dari semua Disability Adjusted Life Years (DALY) (Musafiri et al., 2011). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 menunjukkan bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. Pada SKRT 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia (PDPI, 2011). Studi yang dilakukan The Latin American Project for the Investigation of Obstructive Lung Disease (PLATINO) di kota-kota negara Brasil, Chile,
1
2
Meksiko, Uruguay dan Venezuela diketahui bahwa di setiap negara, prevalensi PPOK meningkat tajam dengan pertambahan usia, dengan prevalensi tertinggi di antara mereka di atas usia 60 tahun, mulai total dari populasi yang rendah 18,4% di Mexico City, Meksiko sampai tertinggi di Montevideo, Uruguay sebesar 32,1% (GOLD, 2010). Jumlah pasien PPOK derajat sedang hingga berat di Asia tahun 2006 diperkirakan mencapai 56,6 juta pasien dengan prevalensi 6,3%. Angka prevalensi berkisar antara 3,5–6,7%, seperti di China dengan angka kasus mencapai 38,160 juta jiwa, Jepang sebanyak 5,014 juta jiwa, dan Vietnam sebesar 2,068 juta jiwa (PDPI, 2011). Di negara-negara lain prevalensi PPOK bervariasi dari studi-studi yang telah dilakukan. Studi yang dilakukan Al Zaabi et al. (2011) diketahui prevalensi PPOK di Abu Dhabi adalah 3,7% dan 95% CI (2,0 – 5,3). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin dan PPOK pada usia ≥70 tahun. Berbeda dengan pendapat Kurniawan et al. (2011) yang menyatakan bahwa prevalensi PPOK pada laki-laki sekitar 8,5-22,2% dan perempuan sekitar 5,1-16,7% secara global, sedangkan prevalensi PPOK pada orang dewasa dengan usia di atas 40 tahun sekitar 9-10%. Meskipun PPOK merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian di seluruh dunia, namun data prevalensinya sangat terbatas, khususnya di Asia (Kim et al., 2005). Pencatatan Departemen Kesehatan tidak mencantumkan PPOK sebagai penyakit yang dicatat dan sampai saat ini di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Hasil survei penyakit tidak menular oleh Dirjen PPM & PL di lima rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (Ditjen P2 & PL, 2008). Menurut PDPI (2011) di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta pasien dengan prevalensi 5,6%. Angka ini bisa meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok, karena 90% pasien PPOK adalah perokok atau mantan perokok. Penelitian pada penduduk di Kota Salzburg Austria yang berusia lebih besar sama dengan 40 tahun diketahui kurang lebih seperempatnya mengalami obstuktif saluran napas ringan (Schirnhofer et al., 2007). Hasil studi berbeda
3
dilakukan Kota Manchester Inggris yang melaporkan 11% orang dewasa berusia di atas 45 tahun mengalami obstruktif saluran napas yang tidak reversible. Studi Nasional di seluruh Inggris melaporkan 10% laki-laki dan 11% perempuan yang berusia 16-65 tahun mengalami obstuktif ringan (Devereux, 2006). Studi lain di Kota Kopenhagen Denmark tahun 1991-1994, di mana sekitar 3700 responden (2200 perempuan dan 1500 laki-laki) dengan usia rata-rata 76 tahun didapatkan bronkitis kronis sebesar 13% pada wanita dan 18,6% pada pria (Thorn et al., 2007). Chronic Obstructive Pulmonary Disease Uncovered memperkirakan pada tahun 2011 penderita PPOK sebanyak 210 juta orang dan kemungkinan setengahnya sudah didiagnosis. Baru-baru ini COPD Uncovered melaporkan temuan dari hasil survei internasional pasien di enam negara (Brasil, Cina, Jerman, Turki, Amerika Serikat, dan Inggris) dengan PPOK berusia 45-67 tahun sebanyak 2.400 orang. Disebutkan bahwa 624 orang harus berhenti bekerja, kerugian penghasilan individu seumur hidup akibat pensiun dini kurang lebih 316.000 dolar, biaya produktivitas tahunan hilang karena pensiun dini kurang lebih 556 juta Euro pertahun, 1.200 orang mengalami penurunan pendapatan, 552 orang menyatakan PPOK mempengaruhi produktivitas kerjanya, dan biaya ekonomi keseluruhan (pemanfaatan pelayanan kesehatan, kehilangan pajak, peningkatan keuntungan negara dan kehilangan produktivitas) sebesar 1,7 milliar Euro (Fletcher et al., 2011). Studi yang dilakukan oleh Lou et al. (2012) di China diketahui besaran beban rata-rata ekonomi langsung dan tak langsung masingmasing adalah 1.090 dan 20.605 Yuan. Biaya ekonomi langsung dihitung berdasarkan hasil wawancara dengan responden tentang besaran biaya rawat inap, biaya rawat jalan, akomodasi rawat jalan, biaya perawatan di rumah, dan biaya pengobatan jangka panjang, biaya pembelian obat dengan pengobatan sendiri, dan biaya terkait dengan kehilangan produktivitas dan kehilangan pekerjaan di tahun lalu (dengan memeriksa catatan pasien rumah sakit, catatan dari kota dan klinik desa). Biaya akomodasi rumah sakit termasuk biaya transportasi pasien dan makanan, biaya pendamping, dan biaya tenaga kerja yang dibayarkan kepada pengasuh. Sedangkan biaya ekonomi tak langsung diketahui dengan menghitung
4
pendapatan perkapita lokal dan harapan hidup untuk tahun 2008. Oleh karena itu diperlukan peningkatan pencegahan dan pengelolaan PPOK. Sementara Fletcher et al. (2011) menyatakan bahwa PPOK mempunyai dampak terhadap individu, ekonomi dan beban sosial pada usia produktif, maka diperlukan upaya lebih lanjut untuk manajemen dan meningkatkan diagnosis PPOK. Penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit (PDPI, 2011). Timbulnya kasus PPOK disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya paparan faktor risiko, antara lain semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan, dan di tempat kerja. Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang mempengaruhi/menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi faktor pejamu (host) yaitu genetik, jenis kelamin, dan anatomi saluran napas. Faktor paparan lingkungan meliputi merokok, status sosial ekonomi, hipereaktivitas saluran napas,
pekerjaan,
polusi
lingkungan,
kejadian
saat
perinatal,
infeksi
bronkopulmoner rekuren dan lain-lain (Kemenkes RI, 2008). Kejadian PPOK dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kebiasaan merokok, riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja, hiperreaktiviti bronkus, riwayat infeksi saluran napas bawah berulang, dan defisiensi alfa -1 antitripsin yang jarang terdapat di Indonesia (PDPI, 2003). Sementara itu faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan faal paru pada pekerja tambang dan sejenisnya adalah lama paparan debu dan karakteristik penambang seperti usia penambang, kebiasaan merokok, dan status gizi pekerja (Guyton & Hall, 2006). Polusi udara yang terus menerus merupakan salah satu predisposisi infeksi rekuren yang dapat memperlambat aktivitas silia dan fagositas (Price & Wilson, 1995). Sedangkan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi fungsi paru. Salah satu
5
polusi udara tersebut adalah hidrogen sulfida (H2S). Hidrogen sulfida merupakan gas tidak berwarna, sangat beracun, mudah terbakar, dan memiliki bau karakteristik seperti telur busuk (ATSDR, 2006). Gas ini menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan manusia. Pengamatan yang telah dilakukan terhadap kesehatan manusia, berikut paparan H2S termasuk kematian dan gangguan/infeksi pernapasan, mata, saraf, efek kardiovaskular, metabolisme, dan reproduksi (WHO, 2003). Gas H2S dengan cepat diserap oleh paru. Pada konsentrasi rendah dapat menyebabkan iritasi mata, hidung atau tenggorokan, bahkan dapat menyebabkan kesulitan bernapas pada penderita asma. Konsentrasi lebih dari 500 ppm dapat menyebabkan hilangnya kesadaran dan mungkin kematian. Hal ini disebabkan karena H2S menghambat enzim
cytochrome oxidase sebagai
penghasil oksigen. Metabolisme anaerobik menyebabkan akumulasi asam laktat yang
mendorong
ketidakseimbangan
asam-basa.
Sistem
jaringan
saraf
berhubungan dengan jantung yang peka sekali kepada gangguan metabolisme oksidasi, sehingga terjadi kematian dan terhentinya saluran napas (U.S. EPA, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Bhambani & Singh (1991) dalam WHO (2003) menyimpulkan bahwa dengan menghirup 2,8 – 14 mg/m3 gas H2S dalam waktu 16 – 30 menit tidak mempengaruhi fungsi paru yang sehat pada pria dan wanita. Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Hessel et al. (1997) dalam ATSDR (2006) yang menyatakan tidak ada perbedaan fungsi paru pekerja gas pada tiga kelompok terpapar gas H2S. Namun Guidotti (1996) yang menyebutkan paparan gas H2S konsentrasi 20-50 ppm dapat menyebabkan iritasi paru dan iritasi mukosa. Begitu juga dengan Drimal et al. (2010) menyatakan bahwa paparan gas H2S tingkat rendah dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan risiko inflamasi saluran pernapasan dan patologis gejala saluran pernapasan. Penelitian sebelumnya pada pekerja saluran pembuangan ditemukan bukti bahwa paparan gas H2S tingkat rendah dapat dikaitkan dengan gangguan fungsi paru (Richardson, 1995). Populasi yang tinggal di daerah dengan aktivitas vulkanik juga berisiko menderita bronkitis kronik jika dibandingkan dengan populasi yang tinggal di
6
daerah tanpa aktivitas vulkanik. Populasi laki-laki yang tinggal di daerah dengan aktivitas vulkanik berisiko hampir 4 kali dan perempuan hampir 11 kali menderita bronkitis kronik (Amaral & Rodrigues, 2007). Mata air belerang yang terdapat di Kawah Gunung Ijen selain mengeluarkan gas H2S yang berbahaya bagi manusia, namun terdapat sisi positif untuk kemaslahatan manusia, salah satunya belerang (Wittiri & Sumarti, 2013). Pengukuran gas belerang yang dilakukan oleh tim Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana dan Geologi (PVMBG) di Gunung Ijen tanggal 12 Januari 2013 pada tujuh titik, diketahui yang tertinggi di sekitar kawah, yaitu sebesar 47 ppm (batas normal 10 ppm) (BPPD Bondowoso, 2013). Penambangan belerang yang dilakukan oleh PT. X sudah berlangsung
sejak tahun 1968 sampai sekarang dan saat ini memperkerjakan sebanyak 379 penambang
(TEMPO.CO,
2013). Frekuensi penambang belerang untuk
melakukan penambangan tergantung dari kekuatan fisik masing-masing penambang. Paparan gas H2S yang terus menerus tentunya berdampak negatif bagi kesehatan penambang belerang yang bekerja menggunakan alat pelindung diri seadanya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan faal paru pada penambang belerang tersebut.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penambangan belerang di Kawah Ijen dan gas H2S yang berbahaya bila dihirup oleh manusia secara terus menerus, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut: “ Apakah lama paparan gas H2S, perilaku merokok, usia, dan lama bekerja berhubungan dengan gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen?”
7
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui perbedaan rerata faal paru antara penambang belerang yang bekerja ≥2 jam perhari dengan penambang belerang yang bekerja <2 jam perhari di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. b. Untuk mengetahui perbedaan rerata faal paru antara penambang belerang yang mempunyai masa kerja ≥5 tahun dengan penambang belerang yang mempunyai masa kerja <5 tahun di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. c. Untuk mengetahui perbedaan rerata faal paru antara penambang belerang yang berusia ≥40 tahun dengan penambang belerang yang berusia <40 tahun di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. d. Untuk mengetahui perbedaan rerata faal paru antara penambang belerang yang merokok (aktif, pasif, bekas perokok) dengan penambang belerang yang tidak merokok di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. e. Untuk mengetahui adanya interaksi antara lama paparan gas H2S dan lama bekerja terhadap gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. f. Untuk mengetahui adanya interaksi antara lama paparan gas H2S dengan perilaku merokok terhadap gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. g. Untuk mengetahui adanya interaksi antara lama paparan gas H2S dengan usia terhadap gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. h. Untuk mengetahui adanya interaksi antara lama bekerja dengan perilaku merokok terhadap gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi.
8
i. Untuk mengetahui adanya interaksi antara lama bekerja dengan usia terhadap gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. j. Untuk mengetahui adanya interaksi antara lama bekerja, lama paparan gas H2S dan perilaku merokok terhadap gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. k. Untuk mengetahui adanya interaksi antara lama bekerja, lama paparan gas H2S, dan usia terhadap gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. l. Untuk mengetahui adanya interaksi antara lama bekerja, perilaku merokok, dan usia terhadap gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. m. Untuk mengetahui adanya interaksi antara lama paparan gas H2S, perilaku merokok, dan usia terhadap gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. n. Untuk mengetahui adanya interaksi antara lama bekerja, lama paparan gas H2S, perilaku merokok, dan usia terhadap gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Masyarakat Dapat memberikan informasi tentang faktor risiko gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. 2. Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi Penelitian ini dapat memberikan masukan dalam menyusun langkah, strategi pencegahan dan penanganan gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. 3. Untuk Fakultas Sebagai tambahan kepustakaan kesehatan masyarakat terutama gangguan faal paru pada penambang belerang yang bekerja di daerah vulkanik.
9
4. Untuk Peneliti Lain Hasil kegiatan ini diharapkan dapat melengkapi penelitian tentang gangguan faal paru, khususnya pada penambang belerang. E. Keaslian Penelitian
Peneliti
Judul Penelitian
Persamaan
Gauderman et al. ( 2004)
Pengaruh polusi udara terhadap perkembangan fungsi paru pada anak usia 10 tahun sampai 18 tahun di California Selatan
Pemeriksaan fungsi paru
Amaral & Rodrigues (2007)
Chronic Exposure To Volcanic Environments And Chronic Bronchitis Incidence In The Azores, Portugal
Variabel: H2S
Jaén et al. (2006)
Occupation, smoking, and chronic obstructive respiratory disorders: a cross sectional study in an industrial area of Catalonia, Spain
Rancangan: Potong Lintang
Aviandari et al. (1994)
Prevalensi Gangguan Obstruksi Paru dan FaktorFaktor yang Berhubungan pada Pekerja Dermaga & Silo Gandum di PT X Jakarta
Rancangan: Potong Lintang Tujuan: mengetahui gangguan fungsi paru
Sianipar (2009)
Variabel: H2S Analisis Risiko Paparan Hidrogen Sulfida pada Rancangan: Masyarakat Sekitar TPA Potong Lintang Sampah Terjun Kecamatan Medan Marelan
Perbedaan Rancangan : kohor prospektif Subyek: usia 10 tahun Tujuan: mengetahui perkembangan fungsi paru anak usia 10 sampai 18 tahun Lokasi : California Selatan Rancangan: kohor retrospektif Subyek: masyarakat yang terkena aktivitas vulkanik Tujuan penelitian: mengetahui hubungan daerah vulkanik dg bronkitis kronik Lokasi: Portugal Subyek: pekerja tekstil Variabel: debu dan gas Tujuan penelitian: mengetahui hubungan paparan debu dan gas dg obstruktif aliran udara Lokasi: Spanyol Subyek: pekerja Dermaga & Silo Gandum Variabel: biji-bijian Lokasi: Jakarta
Subyek: masyarakat sekitar TPA Variabel: resiko gangguan kesehatan Tujuan: mengetahui perbedaan risiko kesehatan Lokasi: Medan