BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan utama bagi manusia. Di antara kebutuhan yang lainnya, pangan merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi agar kelangsungan hidup seseorang dapat terjamin. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang dulu hingga sekarang masih terkenal dengan mata pencaharian penduduknya sebagai petani atau bercocok tanam. Luas lahan pertanian pun tidak diragukan lagi. Namun, dewasa ini Indonesia justru menghadapi masalah serius dalam situasi pangan di mana yang menjadi kebutuhan pokok semua orang. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 mendefinisikan pangan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Definisi dari Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Karena pangan adalah hak asasi manusia, maka pangan yang sehat dan cukup akan menghasilkan sumberdaya manusia yang kuat sebagai basis ketahanan ekonomi dan ketahanan kedaulatan negara (Nganro, 2009). Definisi ketahanan pangan yang paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia adalah definisi versi Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization-FAO).
Konsep
ketahanan pangan
FAO
dikembangkan sejak
pertengahan 1970-an. Pada saat itu ketahanan pangan versi FAO ini hanya terfokus pada masalah ketersediaan pangan, yakni menjamin ketersediaan dan harga pangan utama yang stabil, baik di tingkat internasional maupun nasional. Titik fokus pada aspek ketersediaan pangan sebagai simpul sentral inilah yang dikemudian hari menandai lahirnya sebuah paradigma baru dalam produksi pangan. Mengacu dari konsep awal ketahanan pangan dan perkembangannya, pada dasarnya dalam ketahanan pangan terdapat empat pilar : aspek ketersediaan (food availability), aspek
1
stabilitas ketersediaan atau pasokan (stability of supplies), aspek keterjangkauan (acces to supplies), dan aspek konsumsi pangan (food utilization). Keempat pilar ini mengindikasikan bahwa pangan harus tersedia dalam jumlah yang cukup, baik di musim panen maupun paceklik, terdistribusi merata di seluruh pelosok negeri, harganya terjangkau oleh orang miskin sekalipun, dan aman serta bermutu. Definisi ketahanan pangan inilah yang diadopsi pemerintah Indonesia dalam UU Pangan No.7 tahun 1996 dan PP No.68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Makna yang terkandung dalam UU dan PP adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau (http://www.majalahpangan.com/2010/04 dalam Handewi 2010). Terkait
dengan
masalah
konsumsi,
kejadian
rawan
pangan
transien/sementara dapat disebabkan oleh faktor alam dan faktor sosial ekonomi (kejadian luar biasa), seperti fluktuasi harga pangan, kondisi ekonomi yang tidak stabil dan konflik sosial. Diantara Negara-negara ASEAN, Indonesia adalah Negara ketiga terbesar dalam kejadian rawan pangan transien, dan ada gejala peningkatan rawan pangan transien akibat konflik masyarakat. Penanggulangannya adalah dengan dukungan cadangan pangan nasional yang cukup serta sarana dan prasarana distribusi yang cukup. Pada kondisi demikian, daerah diharapkan membangun cadangan pangan, baik cadangan pangan pemerintah maupun cadangan pangan masyarakat untuk mengatasi rawan pangan transien di masing-masing wilayahnya. Dari berbagai masalah ketahanan pangan, ada berbagai hal yang perlu diperhatikan dalam kebijakan untuk memperkuat ketahanan pangan, ketahanan pangan tidak hanya menyangkut jangka pendek melainkan juga jangka panjang, yaitu bagaimana dapat menciptakan keadaan yang dapat mendorong produksi yang stabil dengan trend yang meningkat. Ketahanan pangan bukan hanya berurusan dengan ketersediaan melainkan juga keterjangkauan dan distribusi. Dalam hal ini baik jangka pendek (OPK) maupun jangka panjang (meningkatkan pemerataan dan mengurangi kemiskinan) harus direncanakan dalam pembangunan ekonomi keseluruhan. Pengalaman yang berhasil dalam stabilitas harga beras dari BULOG tidak selalu dapat dilaksanakan dengan cara yang sama dalam era reformasi dan libreralisasi, tetapi dengan potensi fasilitas dan pengalaman dapat digunakan untuk tetap berfungsi
2
sebagai alat stabilitas dan distribusi dalam melaksanakan kebijakan pemerintah. OPM (Operasi Pasar Murni) mungkin sudah kurang penting lagi, tetapi OPK (Operasi Pasar Khusus) kepada kelompok sasaran masih diperlukan (Widodo, 2006). Dalam kesepakatan MDGs dunia internasional telah mentargetkan pada tahun 2015 setiap Negara termasuk Indonesia telah sepakat menurunkan kemiskinan dan kelaparan sampai separuhnya. Pemerintah Indonesia memberikan perhatian besar dalam menjaga stabilitas perberasan nasional. Dalam 2 tahun terakhir, pengadaan stok beras dalam negeri yang dilakukan Perum Bulog tidak mencapai target, sekalipun dilaporkan ada peningkatan produksi beras. Namun Pemerintah konsisten menjaga stabilitas ketahanan pangan dengan melakukan impor yang dialokasikan untuk stok pangan nasional, diantaranya untuk memenuhi kebutuhan. Program Raskin, bukan untuk pasar bebas. Sejak krisis pangan pada tahun 1998, Pemerintah konsisten memberikan perhatian terhadap pemenuhan hak atas pangan masyarakat yang diimplementasikan melalui Operasi Pasar Khusus (OPK). Berbeda dengan pemberian subsidi pangan sebelumnya, OPK memberikan subsidi beras secara targeted kepada rumah tangga miskin dan rawan pangan. Pada tahun 2002 nama OPK diubah menjadi Program Beras untuk Keluarga Miskin (Program Raskin) yang bertujuan untuk lebih mempertajam sasaran penerima manfaat (Bulog, 2012). Permasalahan dalam konsumsi pangan antara lain adalah besarnya jumlah penduduk miskin dan pengangguran dengan kemampuan akses pangan yang rendah. Terkait dengan permasalahan tersebut, besarnya jumlah penduduk miskin dan pengangguran yang menyebabkan rendahnya akses terhadap pangan merupakan masalah yang sangat kompleks dan penyelesaiannya memerlukan koordinasi serta sinergi yang harmonis antar berbagai instansi. Salah satu program yang terkait akses penduduk miskin terhadap pangan adalah digulirmya program Raskin (program beras untuk keluarga miskin). Raskin merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk membantu penyediaan sebagian kebutuhan pangan pokok keluarga miskin. Melalui pelaksanaan program Raskin bersama program bantuan penanggulangan kemiskinan lainnya, diharapkan dapat memberikan manfaat yang nyata dalam peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat sosial rumah tangga. Selain itu program Raskin merupakan program transfer energi dalam bentuk kalori yang dapat
3
mendukung program lainnya seperti perbaikan gizi, peningkatan kesehatan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan dan peningkatan produktivitas keluarga miskin (Bulog, 2005 dalam., Handawi 2010). Program Raskin (Program Penyaluran Beras Untuk Keluarga Miskin) adalah sebuah program dari pemerintah. Program ini dilaksanakan di bawah tanggung jawab Departemen Dalam Negeri dan Perum Bulog sesuai dengan SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri Dalam Negeri dengan Direktur Utama Perum Bulog Nomor : 25 Tahun 2003 dan Nomor : PKK-12/07/2003, yang melibatkan instansi terkait, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Penyaluran Raskin (Beras untuk Rumah Tangga Miskin) sudah dimulai sejak 1998. Krisis moneter tahun 1998 merupakan awal pelaksanaan Raskin yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan rumah tangga terutama rumah tangga miskin. Pada awalnya disebut program Operasi Pasar Khusus (OPK), kemudian diubah menjadi Raskin mulai tahun 2002, Raskin diperluas fungsinya tidak lagi menjadi program darurat (social safety net) melainkan sebagai bagian dari program perlindungan sosial masyarakat. Melalui sebuah kajian ilmiah, penamaan Raskin menjadi nama program diharapkan akan menjadi lebih tepat sasaran dan mencapai tujuan Raskin (Anonim, 2010). Berikut merupakan tabel penyaluran raskin kecamatan Sokaraja tahun 2013 :
4
Tabel 1.1. Penyaluran Raskin Kecamatan Sokaraja tahun 2013 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kelurahan/Desa Kalikidang Wiradadi Karangkedawung Sokaraja Tengah Sokaraja Kidul Klahang Banjarsari Kidul Sokaraja Wetan Jompo Kulon Banjaranyar Lemberang Karangduren Sokaraja Lor Kedondong Pamijen Sokaraja Kulon Karangnanas Karangrau Jumlah
Jumlah RTS-PM 226 232 94 238 192 219 253 202 103 341 238 307 205 213 140 146 535 94 3978
Kuantum (kg) 3390 3480 1410 3570 2880 3285 3795 3030 1545 5115 3570 4605 3075 3195 2100 2190 8025 1410 59670
Sumber: Bulog, 2013
Untuk mencapai tepat sasaran, tepat harga, dan tepat waktu, beberapa penyempurnaan terus dilakukan. Salah satunya adalah dengan pola distribusi yang berkembang tidak hanya melalui titik distribusi yang langsung disalurkan kepada RTS (Rumah Tangga Sasaran), tetapi juga melalui Warung Desa (Wardes). Melalui Wardes, penyaluran Raskin menjadi lebih dekat kepada RTS dan RTS membeli beras secara bertahap sesuai daya belinya selama 1 bulan dengan harga sesuai dengan ketetapan. Penyaluran melalui Wardes berawal dari pilot project pada akhir tahun 2008 dan mulai diimplementasikan sejak tahun 2009. Peningkatan ketepatan sasaran juga terus ditingkatkan melalui pendampingan pola distribusi melalui kelompok masyarakat pada tahun 2009. Distribusi Raskin dilakukan oleh kelompok masyarakat miskin penerima manfaat Raskin (Anonim, 2011).
B. Rumusan Masalah Upaya memantapkan ketahanan pangan tidak hanya dilaksanakan pada level nasional. Ketahanan pangan nasional harus di dukung oleh ketahanan pangan
5
wilayah di tingkat propinsi maupun ketahanan pangan di daerah di tingkat kabupaten. Ketahanan yang dimaksud mencakup ketahanan pangan secara makro di tingkat daerah dan ketahanan pangan di tingkat individu dan rumah tangga. Program raskin merupakan salah satu wujud nyata komitmen pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan pangan bagi masyarakat miskin yang bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin, melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pokok dalam bentuk beras. Di samping itu, program ini dimaksudkan untuk meningkatkan akses masyarakat miskin dalam pemenuhan kebutuhan pokoknya. Kecamatan Sokaraja merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Banyumas yang rumah tangga di kecamatan ini menerima raskin. Bagaimana tingkat ketahanan pangan rumah tangga penerima raskin di kecamatan Sokaraja kabupaten Banyumas menjadi salah satu ketertarikan tersendiri bagi peneliti untuk meneliti dan mengkaji permasalahan ini. Karena diharapkan dengan adanya program raskin akan memperkuat ketahanan pangan rumah tangga terutama masyarakat miskin. Dari uraian tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, antara lain : 1. Bagaimana proporsi konsumsi raskin terhadap konsumsi beras rumah tangga penerima raskin di kecamatan Sokaraja kabupaten Banyumas. 2. Bagaimana tingkat kemiskinan rumah tangga penerima raskin / ketepatan sasaran raskin di kecamatan Sokaraja kabupaten Banyumas. 3. Bagaimana tingkat ketahanan pangan rumah tangga penerima raskin di kecamatan Sokaraja kabupaten Banyumas. 4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat ketahanan pangan rumah tangga penerima raskin di kecamatan Sokaraja kabupaten Banyumas. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dilakukan penelitian dengan judul “Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Penerima Raskin Di Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas“.
C. Tujuan Penelitian Mengacu pada uraian latar belakang dan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan :
6
1. Untuk mengetahui proporsi raskin terhadap konsumsi beras rumah tangga penerima raskin di kecamatan Sokaraja kabupaten Banyumas. 2. Untuk mengetahui tingkat kemiskinan rumah tangga penerima raskin / ketepatan sasaran raskin di kecamatan Sokaraja kabupaten Banyumas. 3. Untuk mengetahui tingkat ketahanan pangan rumah tangga penerima raskin di kecamatan Sokaraja kabupaten Banyumas 4. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat ketahanan pangan rumah tangga penerima raskin di kecamatan Sokaraja kabupaten Banyumas.
D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan ilmu serta untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian (S.P.) pada Program Studi Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. 2. Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan kebijakan yang berhubungan dengan ketahanan pangan dan program raskin. 3. Bagi pihak lain, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi dan dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian lebih lanjut.
7