BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis (mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas (Widoyono, 2008). Penyebab tuberculosis paru adalah kuman mycobacterium tuberculosa, yang berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab. Oleh karena itu dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman (tidur), tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes, 2002). Para ahli percaya bahwa sepertiga populasi dunia telah terinfeksi oleh mycobacterium tuberculosa, dan infeksi baru terjadi dengan kecepatan satu orang per satu detik. Pada tahun 2007, diperkirakan ada 13,7 juta kasus kronis yang aktif di tingkat global. Pada tahun 2010, diperkirakan terjadi pertambahan kasus baru sebanyak 8,8 juta kasus, dan 1,5 juta kematian yang mayoritas terjadi di negara berkembang. Angka mutlak kasus Tuberkulosis mulai menurun semenjak tahun 2006, sementara kasus baru mulai menurun sejak tahun 2002. Tuberkulosis tidak tersebar secara merata di seluruh dunia. Dari populasi di berbagai negara di Asia dan Afrika yang melakukan tes tuberkulin, 80% menunjukkan hasil positif, sementara di Amerika Serikat, hanya 5–10% saja yang menunjukkan hasil positif. Masyarakat di dunia berkembang semakin banyak yang menderita tuberkulosis karena kekebalan tubuh mereka yang lemah. Biasanya, mereka mengidap Tuberkulosis akibat terinfeksi virus HIV dan berkembang menjadi AIDS. Pada tahun 1990-an Indonesia berada pada peringkat 3 dunia penderita TB, tetapi 1
keadaan telah membaik dan pada tahun 2013 menjadi peringkat 5 dunia (Wikipedia, 2014). Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan global. Indonesia merupakan negara pertama di negaranegara dengan beban TB yang tinggi di wilayah Asia Tenggara yang berhasil mencapai target Millenium Development Goals (MDG) untuk TB pada tahun 2006, yaitu 70% penemuan kasus baru BTA positif dan 85% kesembuhan. Saat ini Indonesia telah turun dari urutan ke tiga menjadi urutan ke lima negara dengan beban TB tertinggi di dunia (WHO, 2010). Di level global, situasi penyakit tuberkulosis semakin memburuk, jumlah kasus penyakit tuberkulosis meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah penyakit tuberkulosis besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan penyakit tuberkulosis sebagai kedaruratan dunia (global emergency) (Kemenkes RI, 2012). Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit menular kronis yang menjadi isu global yang menjadi sasaran di dalam MDGs dan juga tercantum di dalam SPM kesehatan. Di Indonesia penyakit ini termasuk salah satu prioritas nasional untuk program pengendalian penyakit karena berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi, serta sering mengakibatkan kematian (Laksono, 2012). Indonesia menduduki ranking ke 5 dari 22 negara-negara yang mempunyai beban tinggi untuk TB dan memberikan kontribusi jumlah kasus TB di dunia sebesar 4,7%. Pada tahun 2009, perkiraan insidensi TB semua tipe adalah 189 kasus per 100.000 penduduk per tahun dengan penemuan kasus TB baru dan kambuh adalah 127 per 100.000 penduduk per tahun dan angka prevalensi sebesar 285 per 100.000 penduduk per tahun. Angka kematian karena TB diperkirakan sebesar 27 per 100.000 penduduk per tahun. Dengan jumlah penduduk 230 juta, angka ini didukung dengan penemuan 660.000 total kasus, penemuan kasus baru semua tipe 430.000 dengan 169.213 kasus baru BTA-positif dan jumlah kematian 61.000 (WHO, 2010). 2
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15 - 50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Kemenkes RI, 2009). Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 terdapat Lima provinsi yang memiliki angka prevalensi tertinggi yaitu Papua 1.441 per 100.000 penduduk, Banten 1.282 per 100.000 penduduk, Sulawesi Utara 1.221 per 100.000 penduduk, Gorontalo 1.200 per 100.000 penduduk, dan DKI Jakarta 1.032 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2010). Data dari hasil Riskesdas tahun 2013 prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan adalah 0,4 persen, tidak berbeda dengan tahun 2007. Lima provinsi dengan TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0,7%), Papua (0,6%), DKI Jakarta (0,6%), Gorontalo (0,5%), dan Papua Barat (0,4%) (Kemenkes RI, 2013). Pada tahun 2013 ditemukan jumlah kasus baru BTA positif (BTA+) sebanyak 196.310 kasus, menurun bila dibandingkan kasus baru BTA+ yang ditemukan tahun 2012 yang sebesar 202.301 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus baru BTA+ di tiga provinsi tersebut hampir sebesar 40% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia (Kemenkes RI, 2014). Sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2012 proporsi pasien baru BTA positif di antara seluruh kasus belum mencapai target yang diharapkan meskipun tidak terlalu jauh berada di bawah target minimal (yang sebesar 65%). Hal itu mengindikasikan kurangnya prioritas menemukan kasus BTA positif. Proporsi BTA positif pada tahun 2012 di antara seluruh kasus TB paru tertinggi dicapai oleh Provinsi Sulawesi Tenggara (94%), Sulawesi Utara dan Jambi masingmasing 92%. Sedangkan capaian terendah yaitu Provinsi Papua Barat (31%), DKI Jakarta (33%) dan Papua (38%). Jawa Barat termasuk diantara provinsi yang 3
proporsi pencapaiannya masih rendah yaitu sebesar 55% (Kemenkes RI, 2013). Di Provinsi Jawa Barat, persentase pasien TB Paru BTA positif terhadap suspek TB Paru sebesar 11,5%, dengan kasus TB Paru BTA positif sebanyak 29.413 kasus (Dinkes Jawa Barat, 2008). Di tahun 2011 terdapat 34.658 kasus tuberkulosis di Provinsi Jawa Barat, dengan jumlah terbesar terjadi di Kabupaten Bogor sebanyak 3.835 kasus (Dinkes Jawa Barat, 2012). Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain karakteristik individu, memburuknya kondisi sosial ekonomi, lingkungan fisik yang kurang memadai, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC (Girsang, 2011). Kriteria rumah sehat yang digunakan bila memenuhi tujuh kriteria, yaitu atap berplafon, dinding permanen (tembok/papan), jenis lantai bukan tanah, tersedia jendela, ventilasi cukup, pencahayaan alami cukup, dan tidak padat huni (lebih besar atau sama dengan 8 m²/orang). Sebanyak 24,9% rumah penduduk di Indonesia termasuk dalam kriteria rumah sehat. Provinsi yang paling rendah persentasenya yaitu Nusa Tenggara Timur (7,50%), sedangkan provinsi yang persentasenya paling tinggi yaitu Kalimantan Timur (43,60%). Sedangkan untuk provinsi Jawa Barat memiliki persentase dengan kriteria rumah sehat sebesar 24,40% (Kemenkes RI, 2012). Hasil penelitian Lismarni (2004), menunjukkan bahwa jumlah tersangka penderita TB paru di Indonesia sebanyak 6.17%, dengan kasus di daerah pedesaan sebesar 3,41%, lebih tinggi dari daerah perkotaan yang sebesar 2,76%. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa faktor lingkungan fisik rumah yaitu kepadatan hunian, ventilasi dan pencahayaan alami dalam rumah merupakan faktor risiko terhadap tersangka penderita TB paru dengan nilai yang bervariasi antar wilayah. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Darwel (2012), yang menemukan bahwa faktor lingkungan fisik rumah yang berisiko terhadap 4
kejadian TB paru di Sumatera adalah ventilasi rumah, pencahayaan, dan kepadatan hunian. Dari penelitian tersebut juga ditemukan bahwa hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian TB paru berbeda signifikan berdasarkan faktor umur dan jenis kelamin. Berdasarkan permasalahan di atas dan merujuk pada hasil penelitianpenelitian terdahulu maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat akan menjadi faktor risiko yang tinggi terhadap penularan dan kejadian tuberkulosis paru di Indonesia. Di antara faktor-faktor risiko lingkungan fisik rumah yang dapat mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru di antaranya adalah terdapatnya ventilasi, pencahayaan alami yang cukup, jenis lantai rumah yang bukan tanah, serta kepadatan hunian yang memadai dengan luas rumah yang ditempati. Ke empat faktor tersebut dijadikan variabel dalam penelitian ini karena merupakan faktor-faktor lingkungan fisik rumah yang paling sering menjadi faktor risiko terhadap kejadian TB paru di Indonesia, seperti penelitian Versitaria (2004) yang menunjukkan bahwa lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan TB paru adalah ventilasi kamar (OR=3), sinar matahari langsung (OR=2), dan kepadatan hunian (OR=2). Sedangkan penelitian Darwel (2012) menemukan bahwa faktor lingkungan fisik rumah yang berisiko terhadap kejadian TB paru adalah ventilasi rumah (PR=1,3), pencahayaan (PR=1,5), jenis lantai rumah (PR=0,8)serta kepadatan hunian (PR=1). Provinsi Jawa Barat dipilih sebagai terget populasi yang akan diteliti karena berdasarkan data Riskesdas 2013 prevalensi penduduknya yang didiagnosis terkena TB paru adalah sebesar 0,7%, cukup jauh di atas prevalensi di tingkat nasional yang sebesar 0,4%. Angka tersebut juga menunjukkan bahwa Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah prevalensi tertinggi dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru yang menjadi faktor risiko selain lingkungan fisik rumah. Berdasarkan uraian tersebut di atas peneliti ingin melakukan penelitian mengenai hubungan kondisi lingkungan fisik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di Jawa Barat.
5
B. Perumusan Masalah Mengacu pada latar belakang di atas dapat diketahui bahwa banyak faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru diantaranya faktor lingkungan fisik rumah seperti ventilasi, pencahayaan, jenis lantai, dan kepadatan hunian. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini yaitu, apakah terdapat hubungan antara kondisi lingkungan fisik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru pada penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Barat. C. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan fisik rumah dengan kejadian TB paru pada penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Barat. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui hubungan ventilasi ruangan dalam rumah dengan kejadian TB paru pada penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Barat. b. Untuk mengetahui hubungan pencahayaan alami ruangan dengan kejadian TB paru pada penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Barat. c. Untuk mengetahui hubungan jenis lantai rumah dengan kejadian TB paru pada penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Barat. d. Untuk mengetahui hubungan kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB paru pada penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Barat. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Keilmuan Memberikan informasi ilmiah tentang faktor-faktor yang berkolerasi terhadap hubungan kondisi lingkungan fisik rumah dengan kejadian TB paru di Jawa Barat. 6
2. Manfaat untuk Program Kesehatan Sebagai bahan masukan bagi pembuat kebijakan program TB paru dalam menyusun strategi pengendalian TB paru di Indonesia. 3. Manfaat Bagi Peneliti Meningkatkan pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan penelitian sehingga dapat memperkaya hasil-hasil penelitian sebelumnya. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai hubungan kondisi lingkungan fisik rumah dengan kejadian TB paru di daerah Jawa Barat dengan menggunakan data yang bersumber dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 sepanjang pengetahuan penulis sampai saat ini belum pernah diteliti. Terdapat beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, di antaranya: 1.
Darwel (2012), dengan judul penelitian Faktor-faktor yang Berkolerasi terhadap hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Sumatera (Analisis Data Riskesdas 2010). Jenis penelitian kuantitatif analitik dengan rancangan cross sectional non intervensi atau observasi. Persamaannya dengan penelitian ini adalah pada jenis penelitian kuantitatif analitik yang mengolah data hasil Riset Kesehatan Dasar. Perbedaannya terletak pada objek dan lokasi penelitian serta pengolahan sumber analisis data dari tahun yang berbeda.
2.
Lismarni (2004), melaporkan penelitian dengan judul Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah terhadap Tersangka Penderita TBC Paru di Indonesia (Analisis Lanjut Data Susenas 2004). Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Sampel yang digunakan adalah penduduk usia 15 tahun ke atas yang terpilih di daerah perkotaan dan pedesaan dan merupakan penelitian analisis lanjut dari data Susenas 2004. Persamaannya dengan penelitian ini adalah pada jenis dan desain penelitiannya yang menggunakan analisis data sekunder dengan rancangan pontong lintang (cross sectional). Perbedaanya terletak pada sumber data serta penetapan unit sampling yang digunakan. 7
3.
Ruswanto (2010), melaporkan penelitian dengan judul Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru Ditinjau Dari Faktor Lingkungan Dalam dan Luar Rumah DI Kabupaten Pekalongan. Penelitian ini menggunakan metode case control study. Subyek penelitiannya adalah 70 kasus (penderita TB BTA positif) dan kontrol 70 (penderita TB BTA negatif). Persamaan dengan penelitian ini adalah pada variabel bebas dan terikat yang digunakan. Sedangkan perbedaannya terletak pada metode penelitian yang digunakan.
8