BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah Indonesia dari tahun ke tahun berupaya untuk memberikan kemudahan kepada setiap warganya tanpa terkecuali untuk akses ke pelayanan kesehatan dengan memperbaiki sistem pelayanan kesehatan yang ada. Salah satu bukti nyata yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bidang kesehatan yaitu diimplementasikannya kebijakan mengenai sistem jaminan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Komitmen Pemerintah Indonesia tersebut diperkuat dengan diterbitkannya Undang-undang RI Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diberlakukan Indonesia melalui konsep asuransi sosial yang mewajibkan seluruh masyarakat Indonesia menjadi peserta (Pemerintah RI, 2014). Upaya pemerintah Indonesia untuk mempercepat terselenggaranya jaminan kesehatan nasional bagi seluruh masyarakat Indonesia yaitu dengan membentuk suatu badan hukum publik yang bersifat nirlaba yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dengan dasar hukum Undang-undang RI No. 24 Tahun 2011 (Pemerintah RI, 2011). Manfaat yang diterima oleh peserta BPJS Kesehatan sangat komprehensif, meliputi kuratif, rehabilitatif, preventif dan promotif. Kegiatan promotif dan preventif merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan untuk mengendalikan biaya dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Kegiatan promotif dan preventif dilakukan di fasilitas kesehatan diberbagai tingkatan (Pemerintah RI, 2013). Jaminan menggunakan
Kesehatan prinsip-prinsip
Nasional managed
dalam care
penyelenggaraanya yaitu
suatu
teknik
diatur yang
mengintegrasikan pembiayaaan dan pelayanan kesehatan melalui penerapan kendali mutu dan kendali biaya yang bertujuan mengurangi biaya pelayanan kesehatan yang tidak perlu dengan cara meningkatkan kelayakan dan efisiensi
1
2
pelayanan kesehatan (Murti, 2010a). Managed care diharapkan dapat menekan perilaku moral hazard dalam pelayanan kesehatan yang dapat mengakibatkan misalokasi biaya kesehatan masyarakat (social cost) yang terselubung atau inefisiensi (Mukti, 2007b). Mekanisme rujukan berjenjang dan gatekeeper concept merupakan konsep managed care yang diberlakukan BPJS Kesehatan dalam menjalankan program JKN. Pelayanan kesehatan yang diterima oleh peserta dilaksanakan melalui mekanisme rujukan berjenjang. Pelaksanaan mekanisme berjenjang dimulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang meliputi : Puskesmas, Klinik, Dokter Prakter Perorangan dan Rumah Sakit Tipe D. Fasilitas kesehatan tingkat pertama berperan sebagai gatekeeper menentukan sejauh mana peserta membutuhkan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan. Pelayanan kesehatan tingkat lanjut (FKRTL) meliputi Klinik Pratama, Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus dapat di akses peserta dengan membawa surat rujukan dari FKTP. Sistem rujukan berjenjang dan gatekeeper concept yang baik diharapkan mampu menurunkan angka utilisasi sehingga dapat menurunkan biaya pelayanan kesehatan (Kemenkes, 2012). Pada saat ini, Indonesia sedang mengalami pergeseran pola penyakit secara epidemiologi, dimana terdapat kecenderungan penurunan prevalensi penyakit menular dan peningkatan prevalensi penyakit tidak menular. Penyakit tidak menular tersebut diantaranya penyakit hipertensi, stroke, kanker dan Diabetes Millitus. Pergeseran pola penyakit secara epidemiologi dapat dilihat pada Gambar 1 (Kemenkes, 2013).
3
Prevalensi Penyakit Tidak Menular
Prevalensi Penyakit Menular 60 50 40 30
2007 (%)
20
2013 (%)
10 0
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
2013 (%) 2007 (%)
Gambar 1. Prevalensi Penyakit Menular dan Tidak Menular Bedasarkan RISKESDAS Tahun 2007 & 2013
Beban biaya pelayanan kesehatan cenderung mengalami peningkatan tiap tahunnya. Total klaim yang harus dibayar BPJS Kesehatan pada tahun 2014 mencapai 42,6 T dimana rasio klaim mencapai 104%. Pada tahun 2015 sampai dengan bulan Agustus total klaim yang harus dibayar BPJS Kesehatan mencapai 36,4 T dan masih memiliki kemungkinan untuk meningkat sampai dengan akhir tahun. Terdapat peningkatan jumlah kunjungan rawat inap dan rawat jalan di FKTP maupun di FKRTL. Tabel 1. Utilisasi Katastropik bulan Januari-September 2015 KATASTROPIK Jantung Gagal Ginjal Kanker Stroke Thallasemia Chirrosis Hepatic Hemophilia Leukemia
TOTAL KASUS 4.430.768 1.568.732 937.943 593.759 77.426 90.895 19.072 43.961
BIAYA 4.791.207.762.681 1.971.535.366.941 1.638.517.591.981 801.836.467.803 299.884.058.459 180.770.772.528 68.382.404.846 126.635.836.349 Sumber : BPJS Kesehatan 2015
Penyakit katastropik merupakan penyakit yang menimbulkan biaya pelayanan kesehatan yang tinggi. Terdapat 8 penyakit katastropik, diantaranya merupakan penyakit kronis. Penyakit kronis menyumbangkan jumlah klaim yang cukup tinggi dalam jangka waktu Januari hingga September 2015.
4
Tabel 2. Sepuluh Kode INA-CBG’s Terbanyak Pada Layanan Rawat Jalan Tingkat Lanjut Januari – Juli 2015
No 1
GROUP CBG'S Penyakit Kronis Kecil lainlain
2
Prosedur Dialisis
3 4
Prosedur Operasi Katarak Prosedur Rehabilitasi Prosedur Therapi Fisik dan Prosedur Kecil Muskoloskeletal Prosedur Ultrasound Ginekologik Penyakit Akut Kecil lain-lain Prosedur Radioterapi Perawatan Luka Prosedur Ultrasound lain-lain
5 6 7 8 9 10
KASUS
BIAYA (Rp)
12.148.505
2.308.758.482.573
1.307.544
1.294.285.689.329
59.480 717.987
351.039.006.462 205.966.879.568
1.009.487
176.197.850.205
532.420
174.653.456.459
1.099.546 134.659 715.171 300.167
163.031.843.098 157.254.259.900 145.504.447.577 127.257.701.156
Sumber : BPJS Kesehatan 2015
Hasil monitoring dan evaluasi dari BPJS Kesehatan tahun 2015 menyebutkan bahwa terdapat 10 group INA-CBG’S rawat jalan berbiaya terbesar. Salah satu diantaranya merupakan penyakit kronis kecil lain-lain yang menghabiskan biaya hingga Rp. 2.308.758.482.573 dalam jangka waktu Januari hingga September 2015. Upaya BPJS Kesehatan untuk mengoptimalkan peran FKTP sebagai gatekeeper dalam penanganan penyakit kronis dengan mengembangkan Program Pengelolan Penyakit Kronis (PROLANIS). Prolanis merupakan program preventif dan promotif dalam rangka pemeliharaan kesehatan peserta BPJS Kesehatan yang menderita penyakit kronis agar tidak terjadi komplikasi dan mencapai kualitas hidup yang optimal. Prolanis dilaksakan oleh fasilitas tingkat tingkat pertama dengan fokus pada penyakit DM dan hipertensi (BPJS Kesehatan, 2014a). Pasien penyakit kronis yang tidak mampu ditangani di FKTP akan dirujuk ke FKRTL sesuai indikasi medisnya. Salah satu upaya kendali mutu dan kendali biaya yang diberlakukan di tingkat Rumah Sakit untuk pasien penyakit kronis yaitu dengan Program Rujuk Balik. Landasan hukum yang melatarbelakangi Program Rujuk balik meliputi Permenkes No.71 tahun 2013, Peraturan BPJS
5
Kesehatan
No.1
tahun
2014
dan
Surat
Edaran
Menkes
RI
No.HK/Menkes/32/2014. Program Rujuk Balik diberikan kepada pasien penderita penyakit kronis dengan kondisi yang stabil namun masih membutuhkan pengobatan dan perawatan jangka panjang yang dilaksanakan di FKTP atas rekomendasi/ rujukan dari dokter spesialis. Program rujuk balik bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan mempermudah akses pasien penyakit kronis dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Program Rujuk Balik merupakan contoh manajemen kasus yang dilaksanakan BPJS Kesehatan untuk efisiensi dan efektivitas pembiayaan kesehatan mengingat biaya yang cukup tinggi untuk pengobatan penyakit kronis. Pengelolaan penyakit kronis yang baik di FKTP maupun FKTL diharapkan dapat menekan angka klaim sehingga dapat menjaga sustainbilitas program JKN (BPJS Kesehatan, 2014b). Program Rujuk Balik adalah program yang berintegrasi dengan Program Prolanis di FKTP. Program Rujuk Balik merupakan salah satu bagian dari sistem rujukan yang menjamin kesinambungan perawatan pasien di pelayanan primer dan sekunder. Sistem rujukan membutuhkan kerjasama tanpa persaingan antara pelayanan primer dan sekunder dengan informasi dua arah yang diperoleh melalui sistem pencatatan yang terintegrasi (Harris et al.,2007). PRB melibatkan dokter layanan primer sebagai gatekeeper sekaligus manager peserta. Selain itu, PRB melibatkan dokter spesialis di FKRTL yang berperan sebagai koordinator, konsultan manajemen penyakit dan bertugas dalam transfer of knowledge ke dokter umum di FKTP.
6
Jumlah Peserta PRB bulan Januari-September 2015 16.000 Jumlah Peserta
14.000 12.000 10.000 8.000 6.000 4.000 2.000 0 151515151515151515Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep KCU Yogyakarta 3.442 11.601 11.046 11.423 11.446 12.892 13.557 14.395 14.893
Sumber : BPJS Kesehatan, 2015
Gambar 2. Jumlah Peserta PRB Bulan Januari- September 2015
Berdasarkan data Jumlah peserta PRB Bulan Januari-September 2015 dari penanggungjawab MPKP BPJS Kesehatan KCU Yogyakarta menujukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah peserta PRB yang dikelola oleh dokter layanan primer di Daerah Istimewa Yogyakarta. Terdapat peningkatan jumlah peserta yang tajam di bulan Januari ke bulan Februari 2015. Tabel 3. Data Rasio Peserta PRB pada Bulan Januari-September 2015 BPJS Kesehatan
KCU Yogyakarta
Jumlah Peserta BPJS Kesehatan
2.476.575
Jumlah Peserta Penyakit Kronis
37.147
Jumlah Peserta PRB
14.893
Rasio Pasien Kronis
0,01
Rasio Peserta PRB
0,4 Sumber : BPJS Kesehatan 2015
Pada Tabel 3 menunjukkan jumlah peserta BPJS Kesehatan sampai dengan bulan September 2015 di Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 2.476.575 orang, dimana 37.147 orang menderita penyakit kronis. Dari 37.147 penderita penyakit kronis, hanya 40% atau 14.893 orang yang terdaftar menjadi peserta PRB. Terdapat 60% atau 22.254 penderita penyakit kronis yang belum terdaftar
7
menjadi peserta PRB. Hal tersebut menunjukkan bahwa program rujuk balik masih belum berjalan secara optimal dikarenakan 60% dari pasien penderita penyakit kronis belum terdaftar menjadi peserta PRB sehingga memiliki kemungkinan besar masih melakukan kunjungan pelayanan kesehatan di FKRTL. Tabel 4. Frekuensi kunjungan ke RS per peserta PRB bulan Juli-September 2015 BPJS
Jumlah Peserta PRB
Total Kunjungan ke
Rata-rata frekuensi
Kesehatan
yang masih ke RS
RS
kunjungan per peserta
KCU
481
620
1.29
Yogyakarta Sumber : BPJS Kesehatan 2015
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebelum 3 bulan sejumlah 481 peserta PRB masih mencari pelayanan kesehatan di FKRTL. Total kunjungan peserta PRB tersebut mencapai 620 kunjungan. Rata-rata frekuensi kunjungan per peserta PRB yang masih memanfaatkan pelayanan kesehatan tingkat lanjut sebesar 1-2 kali kunjungan. Jika mengikuti alur PRB seharusnya pasien melakukan kunjungan ke rumah sakit dalam waktu 4 bulan. Namun, kunjungan peserta PRB ke rumah sakit dapat dilakukan jika kondisi peserta PRB memburuk. Hal ini dapat menyebabkan frekuensi kunjungan peserta PRB meningkat dari yang seharusnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan rujuk balik dipengaruhi oleh perilaku dokter spesialis dalam menjawab surat rujukan, perilaku dokter umum dalam menulis surat rujukan, komunikasi antara dokter spesialis dan dokter umum dan faktor pasien. Salah satu komponen penting yang digunakan dalam proses komunikasi antara dokter spesialis dan dokter primer yaitu surat rujuk balik. Surat rujuk balik merupakan alat komunikasi yang berfungsi untuk pertukaran informasi antara dokter spesialis dan dokter primer yang berkaitan dengan perawatan pasien. Menjawab surat rujukan dari dokter umum merupakan metode yang efektif untuk keberlanjutan perawatan pasien (Ramanyeke et al., 2014a). Perilaku seseorang dilatar belakangi oleh persepsi, pengetahuan, sikap, keinginan, kehendak, motivasi dan niat terhadap suatu hal. Faktor-faktor tersebut
8
merupakan hasil interaksi beberapa faktor yaitu pengalaman, keyakinan, fasilitas dan sosial budaya (Notoatmojo, 2010). Rujuk balik dari dokter spesialis sulit dilakukan karena anggapan kemampuan dokter primer yang kurang dalam manajemen penyakit (Brez et al., 2009). Hasil penelitian Paramaputri (2009) menyebutkan bahwa faktor terbesar yang menyebabkan program rujuk balik tidak berjalan secara optimal dikarenakan perilaku dokter spesialis yang menahan pasien di rumah sakit dan faktor kompetensi dokter umum yang kurang dalam menangani berbagai penyakit. Hal serupa juga disebutkan oleh Wulandari (2012) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi rujuk balik pasien DM tipe 2 yaitu dokter spesialis menganggap bahwa kemampuan dokter primer dalam mengelola penyakit DM tipe 2 kurang sehingga pasien merupakan wewenang dokter spesialis. Berdasarkan permasalahan diatas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui mengapa program rujuk balik belum berjalan optimal dan faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi program rujuk balik tidak berjalan.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan, dapat dirumuskan masalah penelitian : “Mengapa program rujuk balik pasien kronis belum dapat berjalan ? Faktor-faktor apakah yang menyebabkan?”
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini yaitu mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Program Rujuk Balik pasien penyakit kronis peserta BPJS Kesehatan di Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini yaitu
9
a. Mengidentifikasi pengetahuan dokter spesialis penyakit dalam mengenai program rujuk balik b. Mengidentifikasi persepsi dokter spesialis penyakit dalam mengenai kompetensi dokter layanan primer dalam penanganan penyakit kronis c. Mengidentifikasi persepsi dokter spesialis penyakit dalam mengenai hubungan/komunikasi antara dokter spesialis penyakit dalam dan dokter layanan primer D. Manfaat Penelitian 1. Bagi BPJS Kesehatan Kantor Cabang Yogyakarta a. Sebagai bahan masukan dan informasi dalam pelaksanaan Program Rujuk Balik pasien penderita penyakit kronis peserta BPJS Kesehatan di DIY b. Sebagai
bahan
pertimbangan
pengambilan
kebijakan
dalam
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi Program Rujuk Balik 2. Bagi Dokter Layanan Primer a. Sebagai bahan masukan dan informasi dalam meningkatkan fungsi dokter layanan primer sebagai gatekeeper dari aspek pelayanan yang komprehensif b. Sebagai bahan masukkan dan informasi dalam meningkatkan hubungan dokter layanan primer dan dokter spesialis di rumah sakit khususnya dalam penanganan kasus penyakit kronis. 3. Bagi Rumah Sakit a. Sebagai bahan masukan dan informasi dalam meningkatkan pelayanan spesialistik di rumah sakit b. Sebagai bahan masukan dan informasi dalam meningkatkan fungsi spesialis sebagai koordinator dan konsultan managemen penyakit E. Keaslian Penelitian No. Peneliti 1. Ramanyake, et al (2014)
Judul Why spesialist reluctant to
Perbedaan Hasil - Subjek penelitian Faktor-faktor terdiri dari dokter mempengaruhi
yang dokter
10
reply to referral letters
2.
Wulandari, (2012)
Faktor-faktor yang mempengaruhi Rujuk Balik Pasien Penderita DM Tipe 2 Peserta Askes Sosial Dari Rumah Sakit ke Dokter Keluarga di Kabupaten Kudus
3.
Smith & Khutoane, (2009)
Why doctors do not answer referral letters
spesialis penyakit dalam, dokter layanan primer dan pasien PRB. - Pengumpulan data dengan melakukan FGD dengan dokter spesialis dan dokter primerserta wawancara mendalam dengan peserta PRB. - Pengumpulan data dengan melakukan FGD dengan dokter spesialis dan dokter primer serta wawancara mendalam dengan peserta PRB - Terdapat penambahan variabel dan pertanyaan penelitian pada instrumen penelitian
- Subjek penelitian terdiri dari dokter spesialis penyakit dalam, dokter layanan primer dan pasien PRB. - Pengumpulan data dengan melakukan FGD
spesialis tidak menjawab surat rujukan dari dokter umum yaitu kendala waktu, tidak ada bantuan asisten, kondisi pasien dan kualitas surat rujukan yang buruk
Faktor-faktor yang mempengaruhi Rujuk Balik yaitu : beban kerja yang berlebih dan waktu yng tidak mencukupi, dokter spesialis menganggap rujuk balik penting dan bermanfaat namun belum dilaksanakan secara konsisten, dokter spesialis menganggap kemampuan dokter keluarga kurang dalam menangani pasien DM, hubungan komunikasi dokter spesialis dan dokter keluarga tidak harmonis sehingga menimbulkan konflik, pasien merasakan akses ke dokter spesialis semakin sulit karena dokter keluarga membatasi pemberian rujukan, pasien merasakan pelayanan dan pengelolaan penyakit lebih baik di dokter keluarga dibandingkan di RS terutama di RS Pemerintah Faktor-faktor yang menyebabkan dokter spesialis tidak menulis jawaban surat rujukan yaitu : situasi/ lingkungan kerja, persepsi dokter terhadap peran mereka dalam sistem pelayanan kesehatan, tidak ada
11
dengan dokter spesialis dan dokter primer serta wawancara mendalam dengan peserta PRB. 4.
Harries et.al, (2006)
Reply letter utilization by secondary level specialist in municipality in Brazil : a qualitative study
- Subjek penelitian terdiri dari dokter spesialis penyakit dalam, dokter layanan primer dan pasien PRB. - Pengumpulan data dengan melakukan FGD dengan dokter spesialis dan dokter primer serta wawancara mendalam dengan peserta PRB
keuntungan finansial, faktor yang berkaitan dengan rujukan, persepsi dokter yang menganggap sia-sia untuk membalas surat rujukan dari dokter umum Rendahnya surat jawaban dari dokter spesialis ke dokter umum dipengaruhi oleh : workplace organization (organisasi/lingkungan kerja), communication inhibition(hambatan komunikasi), professional isolation (pemisahan profesi), medical education (pendidikan kedokteran)