BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi demam akut yang disebabkan oleh empat serotipe virus dengue dari genus Flavivirus ditularkan melalui gigitan nyamuk terinfeksi khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia. DBD telah menjadi masalah kesehatan global pada dekade terakhir. World Health Organization (WHO) melaporkan dalam 50 tahun terakhir, insidensi DBD telah meningkat 30 kali lipat dengan peningkatan perluasan geografis ke negara-negara baru, serta dari perkotaan ke pedesaan. Dilaporkan lebih dari 2,5 milyar orang hidup di daerah berisiko tinggi terhadap penularan DBD (WHO, 2009a). Virus dengue telah menjangkit lebih dari 100 negara terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk padat seperti di Brazil dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta kasus DBD dan sebanyak 500.000 diantaranya memerlukan perawatan di rumah sakit (WHO, 2009a). DBD menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat penting di Indonesia dan sering menimbulkan suatu letusan Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan kematian yang besar. Penyakit DBD di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dengan kasus 58 orang anak, 24 diantaranya meninggal dengan Case Fatality Rate (CFR) 41,3%. Sejak itu penyakit DBD menunjukkan kecenderungan peningkatan jumlah kasus dan luas daerah terjangkit. Seluruh wilayah Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit DBD, kecuali daerah yang memiliki ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut (Depkes RI, 2010). Jumlah kasus DBD di Indonesia cenderung semakin meningkat setiap tahunnya serta sebaran wilayah yang terjangkit semakin luas, akan tetapi angka kematiannya semakin menurun. Pada tiga tahun terakhir jumlah kasus DBD di
1
2
Indonesia cenderung meningkat. Pada tahun 2011, jumlah kasus DBD di Indonesia adalah 65.432 kasus (Incidence Rate (IR) 27,56/100.000 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR) 0,91 %) (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Pada tahun 2012, jumlah penderita DBD dilaporkan meningkat menjadi 90.245 kasus (IR 37,11 per 100.000 peduduk dan CFR 0,90 %) (Kementrian Kesehatan RI, 2012). Pada tahun 2013, jumlah penderita DBD dilaporkan juga meningkat menjadi 112.511 kasus (IR 45,85 per 100.000 penduduk dan CFR 0,77%) (Kementrian Kesehatan RI, 2013a), (Gambar 1).
Angka Kejadian DBD di Indonesia 200.000 150.000 100.000
Jumlah Kasus
50.000 0 2009
2010
2011
2012
2013
Gambar 1. Angka kejadian DBD di Indonesia (Kementerian Kesehatan, 2009-2013) Kejadian DBD di Propinsi Sumatera Barat cukup tinggi setiap tahunnya. Jumlah kasus DBD pada tahun 2011 di Sumatera Barat adalah 2.202 kasus. Jumlah kematian akibat penyakit DBD sebanyak 14 kasus (CFR 0,64 % dan IR 44,85/100.000 penduduk) (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Kejadian DBD pada tahun 2012 yaitu 3.158 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 20 kasus (CFR 0,63 % dan IR 66,72/100.000 penduduk) (Kementrian Kesehatan RI, 2012). Jumlah kasus pada tahun 2013 yaitu 2.206 kasus DBD dengan jumlah kematian sebanyak 16 kasus (CFR 0,73 % dan IR 46,63/100.000 penduduk) (Kementrian Kesehatan RI, 2013a). Kabupaten Agam merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Sumatera Barat yang merupakan daerah endemis DBD. Pada tahun 2011, jumlah kasus DBD di Kabupaten Agam adalah 58 kasus dengan IR 12.6/100.000 penduduk,
1
3
sedangkan pada tahun 2012 jumlah kasus DBD di Kabupaten Agam mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2011 menjadi 95 kasus dengan IR 20.49/100.000 penduduk (Dinkes Kab. Agam, 2012). Pada tahun 2013 kasus DBD mengalami peningkatan yang cukup signifikan menjadi 225 kasus. (Dinkes Kab. Agam, 2013). Namun pada tahun 2014 kasus DBD mengalami penurunan menjadi 161 kasus. Kecamatan yang paling banyak mendapat kasus DBD adalah Kecamatan Lubuk Basung sebanyak 91 kasus (Dinkes Kab. Agam, 2014), (Gambar 2).
Angka Kejadian DBD di Kabupaten Agam 250 200 150 Jumlah Kasus
100 50 0 2011
2012
2013
2014
Gambar 2. Angka kejadian DBD di Kabupaten Agam (Dinas Kesehatan Kabupaten Agam, 2011-2014) Banyak faktor yang dapat meningkatkan jumlah kasus DBD. Berdasarkan teori Gordon tentang segitiga epidemiologi dalam Soemirat (2010), penyakit dapat disebabkan oleh faktor host (pejamu), agent (penyebab), dan environment (lingkungan). Faktor host yaitu faktor yang ada pada manusia seperti umur, jenis kelamin, tingkat pengetahuan, keturunan, keadaan imunitas, status gizi, dan lainnya. Faktor agent atau penyebab terjadinya DBD yaitu virus dengue yang dapat ditularkan oleh nyamuk Aedes spp. Faktor lingkungan juga paling berpengaruh dalam menimbulkan penularan penyakit DBD (Soemirat, 2010). Faktor lingkungan terdiri dari lingkungan fisik seperti ketinggian tempat, curah hujan, suhu, kelembaban, lingkungan biologi seperti keberadaan vegetasi di sekitar rumah, dan lingkungan sosial seperti mobilisasi, kebiasaan pemberantasan sarang nyamuk dan penggunaan obat anti nyamuk.
4
Keberadaan tempat penampungan air (TPA) yang cukup banyak baik di dalam maupun di luar rumah dapat menjadi tempat potensial untuk perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti. Maya index merupakan indikator faktor lingkungan
vektor
DBD
yang
diperoleh
dengan
menggabungkan
dan
membandingkan TPA buatan, TPA bekas dan alamiah yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes. Maya index sangat berguna dalam upaya pengendalian DBD di suatu daerah karena bisa diketahui tingkat risiko perkembangbiakan larva dan tempat perkembangbiakan yang paling disukai larva (Danis-lozano & Rodríguez, 2002). Penelitian Purnama dan Baskoro (2012) menunjukkan bahwa status maya index tinggi memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian DBD. Survei jentik yang dilakukan pada tahun 2013, rata-rata Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kecamatan Lubuk Basung adalah sebesar 66 %. Pada bulan Agustus tahun 2014 menunjukkan ABJ sebesar 65 %. Berdasarkan data tersebut, ABJ di Kecamatan Lubuk Basung belum mencapai target nasional yaitu sebesar 95 %. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan lingkungan di Kecamatan Lubuk Basung masih belum baik. Menurut Nolia (2013), kebiasaan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) menjadi salah satu faktor yang berperan dalam meningkatnya kejadian DBD. Faktor risiko lingkungan lainnya terkait kejadian DBD menurut Candra (2010) adalah mobilisasi penduduk karena lancarnya sarana dan prasarana transportasi dan melemahnya pengendalian populasi sehingga memungkinkan terjadinya KLB. Penelitian lain oleh Sanchez et. al. (2006) menyatakan bahwa kepadatan larva merupakan faktor risiko lingkungan yang mempengaruhi kejadian DBD. Salah satu upaya pengendalian penyakit DBD adalah melalui pengendalian vektor penyakit yaitu nyamuk Ae. aegypti dan
Ae. albopictus. Pengendalian
vektor DBD salah satunya dengan penggunaan insektisida temephos dalam pengendalian larva nyamuk yang sudah dilakukan di Indonesia sejak tahun 1980 (Soegijanto, 2006). Berdasarkan hasil intervensi dapat diketahui bahwa penaburan bubuk temephos pada TPA yang potensial dapat menurunkan kepadatan jentik namun pemajanan lama akan menyebabkan adaptasi jentik nyamuk terhadap
5
insektisida tersebut. Penelitian Ridha et al. (2011) menunjukkan bahwa larva nyamuk Ae. aegypti di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan sudah toleran terhadap temephos (95 %). Angka kejadian DBD di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam pada tahun 2014 merupakan kejadian dengan jumlah kasus paling banyak diantara kecamatan lainnya. Kejadian DBD di kecamatan ini dalam tiga tahun terakhir cenderung meningkat tetapi distribusi keberadaan lokasi tempat tinggal penderita dan pola penyebaran DBD belum diketahui secara pasti. Pemetaan sebaran penyakit secara epidemiologi penting dilakukan khususnya pemetaan untuk penyebaran penyakit menular. Pemetaan menggunakan analisis spasial dilakukan untuk mengetahui pola distribusi penyakit, wilayah berisiko tinggi, faktor risiko suatu penyakit secara kewilayahan, penemuan penyebab atau penularan penyakit sehingga upaya pengendalian dan pemutusan rantai penyakit dapat dilakukan dengan tepat. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menganalisis faktor risiko lingkungan yang mempengaruhi kejadian DBD dan status kerentanan larva nyamuk Aedes spp di Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah faktor lingkungan fisik berupa keberadaan TPA berbasis maya index merupakan faktor risiko kejadian DBD di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam? 2. Apakah faktor lingkungan biologi berupa keberadaan vegetasi, kepadatan larva dan pupa merupakan faktor risiko kejadian DBD di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam? 3. Apakah faktor lingkungan sosial berupa mobilisasi penduduk, kebiasaan tidak melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), kebiasaan menggantung pakaian, kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk merupakan faktor risiko kejadian DBD di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam?
6
4. Bagaimana status kerentanan larva nyamuk Aedes spp terhadap insektisida temephos di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam? 5. Apakah pola sebaran kasus membentuk cluster (mengelompok) di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam? 6. Bagaimana distance index kejadian DBD di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis faktor risiko lingkungan yang mempengaruhi kejadian DBD dan gambaran kerentanan larva nyamuk Aedes spp serta sebaran kasus DBD di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam. 2. Tujuan Khusus a) Menganalisis hubungan faktor lingkungan fisik berupa keberadaan TPA berbasis maya index dengan kejadian DBD di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam. b) Menganalisis hubungan faktor lingkungan biologi berupa keberadaan vegetasi, kepadatan larva dan pupa nyamuk dengan kejadian DBD di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam. c) Menganalisis hubungan faktor lingkungan sosial berupa mobilisasi penduduk, kebiasaan tidak melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN),
kebiasaan
menggantung
pakaian,
dan
kebiasaan
tidak
menggunakan obat anti nyamuk dengan kejadian DBD di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam. d) Menganalisis faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian DBD di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam. e) Mengetahui status kerentanan larva nyamuk Aedes spp terhadap insektisida temephos di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam. f) Mengetahui cluster (pola pengelompokan) kasus DBD di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam.
7
g) Mengetahui distance index kejadian DBD di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi Dinas Kesehatan Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi pelaksana program dan penyusun kebijakan dalam pengendalian penyakit DBD. 2. Bagi Masyarakat Sebagai informasi dalam upaya peningkatan kewaspadaan dini, pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang analisis faktor risiko lingkungan yang mempengaruhi kejadian DBD dan status kerentanan larva nyamuk Aedes spp di Kecamatan Lubuk Basung sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan oleh peneliti lain, akan tetapi ada penelitian serupa dengan penelitian ini, antara lain: 1.
Chiaravalloti-Neto et al., (2014) dengan judul “Assessment of The Relationship between Entomologic Indicators of Aedes aegypti and The Epidemic Occurrence of Dengue Virus 3 in a Susceptible Population, São José do Rio Preto, São Paulo, Brazil”. Persamaan penelitiannya yaitu topik penelitian DBD, jenis penelitian case control, variabel dependen kejadian DBD, variabel kepadatan larva dan pupa, analisis spasial sebaran kasus DBD. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah terdapat variabel independen keberadaan TPA berbasis maya index, mobilisasi penduduk, kebiasaan PSN, penggunaan obat anti nyamuk, dan kerentanan larva nyamuk Aedes spp. Hasil penelitiannya yaitu kepadatan larva dan pupa (indeks entomologi) merupakan faktor risiko kejadian DBD (OR>1). Indeks entomologi yang dihitung per hektar memiliki nilai OR yang lebih tinggi dan menjadi prediktor kejadian DBD yang lebih baik dibandingkan dengan indeks entomologi yang dihitung per properti.
8
2.
Dom et al. (2013) dengan judul Assessing the Risk of Dengue Fever Based On the Epidemiological, Environmental and Entomological Variables. Persamaan penelitiannya yaitu variabel dependen kejadian DBD, keberadaan vegetasi, dan kepadatan larva. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu variabel TPA berbasis maya index, mobilisasi penduduk, kebiasaan
PSN,
kebiasaan
menggantung
pakaian,
dan
kebiasaan
menggunakan obat anti nyamuk, jenis penelitian, lokasi penelitian, kerentanan larva nyamuk Aedes spp dan cluster kasus DBD. Hasil penelitiannya yaitu keberadaan rumah yang tidak dihuni memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian DBD di Subang Jaya, Malaysia. TPA jenis plastik dan botol air merupakan TPA yang paling banyak terdapat jentik nyamuk. 3.
Purnama & Baskoro (2012) dengan judul Maya Index dan Kepadatan Larva Aedes aegypti terhadap Infeksi Dengue. Persamaan penelitiannya yaitu variabel dependen kejadian DBD, variabel independen TPA berbasis maya index, kepadatan larva dan pupa, jenis penelitian, topik penelitian. Perbedaan penelitiannya
yaitu
variabel
independen
keberadaan
vegetasi,
dan
penggunaan obat anti nyamuk, jenis penelitian, lokasi penelitian, kerentanan larva nyamuk Aedes spp dan cluster kasus DBD. Hasil penelitiannya yaitu terdapat hubungan bermakna antara keberadaan TPA berbasis maya index (OR=3,088) dengan kejadian DBD. Angka house index = 23,33 dan container index =10,69 memiliki density figure 4, berarti memiliki risiko penularan sedang terhadap penyebaran penyakit DBD. Berdasarkan breteau index pada posisi density figure 6, ini berarti memiliki risiko penularan tinggi terhadap penyebaran penyakit DBD. Nilai house index (OR=2,73) dan container index (OR=1,4) menunjukkan hubungan bermakna dengan kejadian DBD. 4.
Fathi et al., (2005) dengan judul Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram. Persamaan penelitiannya yaitu variabel mobilitas penduduk, kepadatan vektor, kegiatan PSN, dan kejadian DBD. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu jenis penelitian, variabel independen keberadaan vegetasi, dan
9
penggunaan obat anti nyamuk, jenis penelitian, lokasi penelitian, kerentanan larva nyamuk Aedes spp dan cluster kasus DBD. Hasil penelitian yaitu hanya variabel keberadaan kontainer air di dalam maupun di luar rumah yang berpengaruh (p<0,05; RR = 2,96) terhadap KLB penyakit DBD.