BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, yang diarahkan untuk mengembangkan daerah dan menyerasikan laju pertumbuhan antar kota dan desa sehingga mencapai keseimbangan melalui investasi sumberdaya manusia, sumberdaya alam, modal dan infrastruktur. Pembangunan daerah/wilayah diarahkan untuk pertumbuhan (growth), pemerataan (equity), dan adanya suatu proses yang berkelanjutan (sustainability). Secara garis besar, terdapat tiga konsep utama pengembangan wilayah, yaitu konsep pusat pertumbuhan, konsep integrasi fungsional (functional integration) dan pendekatan desentralisasi (Rondinelli, 1985). Upaya pengembangan wilayah juga harus diarahkan pada pemecahan masalah ketimpangan antar wilayah dalam tingkat kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam pembangunan daerah adalah terciptanya kemandirian dan kemajuan daerah yang merata. Untuk mencapai tujuan tersebut harus disusun kebijaksanaan di daerah, antara lain kebijaksanaan pembangunan kotakota dengan mengembangkan kota-kota yang tersusun secara hirarki dan tersebar di seluruh wilayah. Dalam perspektif sistem, wilayah dapat dipandang sebagai suatu sistem kotakota/perkotaan. Sistem kota-kota merupakan sistem yang menggambarkan sebaran kota, fungsi kota dan hirarki fungsional kota-kota yang terkait dengan pola transportasi dan parasarana wilayah lainnya.
1
Sebagai pusat pertumbuhan, kota mempunyai kemampuan untuk menyerap dan mengumpulkan sumber-sumber pembangkit ekonomi dari wilayah hinterland sekitarnya. Suatu kota memiliki kemampuan pelayanan distribusi atas wilayah sekitarnya, serta kekuatan tumbuh berkembangnya terletak sebagian besar pada kemampuan pelayanannya. Dengan adanya kemampuan saling melayani antara kotakota dalam suatu sistem kota-kota tertentu, maka penjalaran perkembangan yang diharapkan akan terjadi. Persoalan yang menyangkut keadaan perkotaannya adalah penentuan pusat-pusat berikutnya sehingga dapat tercipta suatu hirarki pusat-pusat pelayanan yang diharapkan masing-masing dapat menjadi pusat pertumbuhan serta dapat menjalarkan simpul-simpul pertumbuhan dari pusat-pusat pertumbuhan utamanya (Soegijoko, 1974). Hirarki kota merupakan sistem yang paling efisien dalam menjalarkan perkembangan wilayah dan juga sistem ini dapat dipergunakan sebagai suatu alat untuk mendistribusikan pelayanan barang dan jasa bagi masyarakat luas. Dengan menciptakan hirarki pusat-pusat pengembangan wilayah (kota), maka proses pertumbuhan dan pembangunan wilayah dapat dipercepat. Disamping pengaturan distribusi sistem kota-kota sesuai dengan hirarki jumlah penduduk dan potensi kegiatan ekonominya (strategi makro), juga diperlukan suatu pengelolaan individual kota atau daerah perkotaan yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas kegiatan ekonominya dalam rangka mendukung fungsi kotanya di wilayah yang lebih luas (strategi mikro). Pengertian hirarki kota menurut Berry dan Horton (1970)
identik dengan
tingkat besaran kota (orde size rank), sedangkan menurut Su-Ritohardoyo dan Murtomo (1992) hirarki kota adalah suatu urutan peringkat kota atas dasar ukuran
2
peranan dan fungsi kota, dalam kaitannya dengan kota-kota lainnya. Dalam menentukan hirarki dapat didasarkan pada kriteria jumlah penduduk dan jumlah fasilitas pelayanan yang dimiliki. Selanjutnya hirarki kota dapat ditentukan pula berdasarkan kegiatan jasa distribusi sebagai fungsi primer kota, yang meliputi kegiatan arus barang dari dan ke masing-masing kota. Antara kota (simpul) yang satu dengan kota-kota (simpul-simpul) yang lain terdapat hubungan fungsional (orientasi) yang diwujudkan dengan adanya arus barang dan perjalanan penduduk. Hubungan fungsional antar simpul berdasarkan hirarki kota membentuk susunan simpul-simpul utama dengan simpul-simpul lainnya yang terletak berdekatan yang termasuk dalam wilayah pengaruhnya masing-masing. Perkembangan kota sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan aktivitas penduduknya. Dalam kaitan ini pengertian kota merupakan suatu tempat konsentrasi penduduk dengan segala macam aktivitasnya. Pengertian kota disini mencakup pengertian kota melalui pendekatan geografis-demografis, sekaligus ekonomis, sosiologis dan sosio-psikologis (Daldjoeni, 1986). Berhubungan dengan pendekatan pengertian tersebut, maka faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan suatu kota, antara lain kebijakan pemerintah yang menunjang, potensi fisik, sosial dan ekonomi termasuk potensi penduduk. Hal ini tergantung dari konteks variasi karakteristik wilayah pengembangan
yang kesemuanya ini membentuk adanya
fungsi dan peran kota. Fungsi suatu kota, yang menunjukkan keberadaannya, merupakan unsur dasar utama yang mempengaruhi setiap aspek dari berfungsi dan berkembangnya suatu kota. Besar kecilnya pengaruh disini tergantung pada sifat dan banyaknya fungsi yang diemban (Branch, 1975). Selanjutnya perkembangan wilayah
3
kota juga tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sosial ekonomi daerah lainnya, artinya dalam kebijakan pengembangan suatu kota diperlukan kajian peranan dan fungsi wilayah perkotaan yang terkait, serta fungsi dan kedudukan kota tersebut dalam hirarki kekotaannya. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kaitan dengan fungsi, peran dan kedudukan kota dalam hierarki kekotaannya, meliputi keserasian hubungan antara kota dengan wilayah pendukungnya serta pemanfaatan potensi yang ada di perkotaan tersebut. Kesenjangan wilayah sebagai suatu fenomena antara lain karena timbulnya kegagalan kausasi kumulatif trickling-down effect dan spread effect serta timbulnya fenomena primacy kota besar. Secara alami suatu kota yang memiliki daya tarik besar akan merupakan magnet yang berpengaruh besar bagi daerah-daerah lain yang kekuatannya lebih kecil. Dalam hal ini yang berfungsi sebagai suatu magnet adalah kota-kota besar (kota tumbuh menjadi besar karena faktor-faktor alami maupun karena adanya intervensi melalui kebijakan pembangunan) yang berfungsi sebagai suatu pusat yang menjamin pemenuhan fasilitas bukan hanya untuk penghuninya tetapi juga untuk pemenuhan kebutuhan bagi masyarakat di wilayah-wilayah hinterland yang berada di dalam daerah pengaruhnya (Christaller dalam Glasson, 1974). Sehingga dengan fungsinya tersebut maka kota besar merupakan magnet yang mempunyai kekuatan sangat besar untuk menarik potensi, baik sumber daya maupun investasi dari wilayah-wilayah lain. Hal ini sejalan dengan konsep aglomerasi, dimana aglomerasi aktivitas terjadi pada wilayah-wilayah tertentu yang mempunyai potensi geografis yang menunjang terjadinya proses aglomerasi. Wilayah dengan kecenderungan aglomerasi ini akan lebih mampu menarik aktivitas ekonomi maupun
4
aktivitas penduduk dibanding kota-kota lain yang mengakibatkan wilayah tersebut akan berkembang dengan pesat, sedangkan kota-kota lain yang tidak mengalami kecenderungan aglomerasi akan mengalami pertumbuhan yang lamban, stagnan atau bahkan menurun. Menurut Ebeneser Howard, pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh kota besar adalah dengan pengembangan kota-kota yang dikaitkan dengan peran kota sentral (pusat pertumbuhan) dan hubungan fungsional. Sehingga disini terdapat penekanan terhadap interdependensi dan keterkaitan antar faktor dalam suatu daerah (Patrik Geddes dalam Glasson, 1974), sebagai refleksi dari pengertian daerah fungsional-kota besar, kota menengah dan kota kecil. Hal ini berarti upaya untuk memecahkan permasalahan kota besar secara regional adalah dengan meningkatkan peran fungsional kota-kota kecil dan menengah. Selain itu pengembangan kota kecil dan menengah dirasa tepat sebagai pemecahan permasalahan primacy kota besar, karena kota-kota kecil dan menengah adalah pendukung utama pemenuhan sumber daya bagi kota besar, sehingga kota-kota ini sebenarnya mempunyai potensi yang sangat besar utuk pengembangan. Disamping itu kota kecil dan menengah juga memegang fungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara kota besar dengan daerah belakangnya, dan bertolak dari kedudukannya ini maka kota-kota ini sekaligus akan mempunyai kedudukan sebagai pusat pelayanan tingkat menengah. Hal ini untuk mewujudkan fungsi kota kecil dan menengah sebagai sub pusat arus manusia, barang, dan jasa dalam skala interregional dan lokal (Bourne dan Simmons, 1978),
dengan
memperhatikan
kecenderungan
yang
terjadi
selama
ini
pengembangan wilayah terakumulasi di sub-sub region sehingga membutuhkan sub-
5
sub pusat lain sebagai cara untuk mencapai pemerataan. Untuk itu diperlukan adanya stimulan-stimulan yang diharapkan mampu untuk berperan di dalam menyebarkan perkembangan di suatu wilayah, sehingga keseimbangan wilayah dapat tercapai. Pengembangan kota kecil dan menengah merupakan salah satu strategi untuk mengurangi kesenjangan pertumbuhan wilayah, yaitu dengan pendekatan pusat pertumbuhan. Upaya-upaya pengurangan kesejangan tersebut antara lain melalui penekanan pada pertumbuhan, pemerataan, serta perpaduan antara keduanya. Bentuk nyata dari penguatan ini melalui pengembangan kota kecil dan menengah. Indonesia, seperti kebanyakan negara berkembang lainnya kekurangan kota-kota menengah yang mampu berpotensi untuk dijadikan sebagai pusat pertumbuhan, maka alternatifnya adalah dengan pengembangan kota kecil. Kota kecil merupakan stimulan pertumbuhan yang paling dekat dengan daerah perdesaan (rural), yang selama ini merupakan sumber terbesar pendukung perkembangan kota-kota besar. Kebijakan pengembangan ini memberikan kontribusi dalam pembentukan keseimbangan regional yang lebih baik, mengurangi arus migrasi ke kota-kota besar, pengurangan pengkonsentrasian industri, peningkatan pelayanan kepada masyarakat perdesaan, sehingga pada akhirnya dapat mengurangi beban kota besar. Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu wilayah pengembangan dengan potensi perkembangan yang relatif besar, apabila ditinjau dari demografi, lokasi maupun ekonomi. Dilihat dari segi demografi, jumlah penduduk Jawa Tengah sekitar 15% dari penduduk Indonesia atau 31.317.853 jiwa pada tahun 1999. Pertumbuhan penduduk perkotaannya rata-rata mencapai 4,93% pertahun (tahun 1980–1990) dan 4,22% pertahun (tahun 1990–2000), yang berarti melebihi pertumbuhan penduduk
6
Jawa Tengah secara umum yaitu 1,18% pertahun. Pertumbuhan penduduk perkotaan yang relatif besar ini sangat menguntungkan untuk merespon proses urbanisasi menuju ke arah perkembangan kota-kota yang kemudian dapat diharapkan dapat mempercepat proses pengembangan wilayah. Disamping itu Provinsi Jawa Tengah terletak di antara dua pusat wilayah pertumbuhan nasional, yaitu Jakarta dan Surabaya yang mempunyai peranan besar dalam pertumbuhan dan perkembangan nasional. Letak ini menyebabkan Jawa Tengah berfungsi sebagai penghubung diantara keduanya, sehingga banyak keuntungan yang dapat dimanfaatkan dari kondisi yang dimilikinya, antara lain dengan berkembangnya daerah-daerah di sekitar jalur penghubung utama arus barang, jasa serta komunikasi, maupun dalam hubungannya dengan pendistribusian potensi sumberdaya. Walaupun secara umum perkembangan Provinsi Jawa Tengah, terutama dari sudut pandang perekonomian sudah cukup baik, yaitu dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar sebesar 6,7% pada akhir Pelita V (target 6%) yang pada tahun 1998 menurun menjadi -11,74% dan pada periode 1998-2000 laju pertumbuhan ekonomi rata-rata 3,56% per tahun, namun terdapat fenomena
berupa masih terlihatnya
ketertinggalan pembangunan dan penerusan hasil-hasilnya ke seluruh bagian wilayah Jawa Tengah apabila dibandingkan dengan provinsi-provinsi tetangganya. Keadaan ini diperparah dengan adanya ketimpangan perkembangan wilayah, yang secara historis pola perkembangan wilayah ini terbagi ke dalam tiga koridor tingkat perkembangan wilayah, yaitu koridor wilayah utara, wilayah tengah dan selatan. Wilayah utara, dengan pusat-pusat pertumbuhan berupa Kota Semarang, Kota Kudus, Kota Pekalongan dan Kota Tegal yang mempunyai kecenderungan sebagai
7
wilayah yang cepat berkembang mempunyai tingkat pertumbuhan yang relatif lebih tinggi apabila dibandingkan dengan wilayah tengah maupun wilayah selatan yang ditunjang keberadaan Kota Cilacap sebagai stimulan dan dikembangkan sebagai kawasan industri. Ditinjau dari perkembangan PDRB, menurut RTRW Provinsi Jawa Tengah tingkat pertumbuhan koridor utara mencapai 6,94% dan koridor selatan sebesar 6,37%. Disamping itu di Provinsi Jawa Tengah terdapat daerah-daerah kantong yang dalam teori “tempat pusat” Christaller merupakan daerah yang secara jarak dan pengaruh tidak terjangkau oleh pusat-pusat pertumbuhan yang ada. Untuk mengurangi ketimpangan antar wilayah dan tercapainya pemerataan pertumbuhan, maka perlu strategi pembangunan dengan pembentukan pusat-pusat pertumbuhan pada wilayah yang bersangkutan, yang berfungsi sebagai pusat pelayanan dengan kelengkapan sarana parasarana bagi wilayah pengaruhnya. Apabila dilihat dari konsep penjalaran perkembangan wilayah, maka daerah koridor tengah ini diharapkan menjadi saluran perkembangan Jawa Tengah, hal ini didukung dengan adanya peningkatan jalan negara yang menghubungkan Jawa Tengah bagian utara (jalur Pantura) dengan jalur selatan yang melalui SemarangSecang-Temanggung-Wonosobo-Banjarnegara-Buntu. Kabupaten Wonosobo dengan tiga belas kota kecilnya yang terletak di koridor tengah Jawa Tengah secara konseptual akan banyak mendapat pengaruh dari pusat-pusat pertumbuhan utama yang ada (Kota Semarang dan Kota Cilacap). Sehingga keberadaan kota-kota di Kabupaten Wonosobo yang berada di jalur tengah ini akan menjadi strategis.
8
Kota-kota di Kabupaten Wonosobo menurut NUDS tahun 1985 dikategorikan sebagai kota kecil (jumlah penduduk 25.000-100.000 jiwa) dan kota desa besar (jumlah penduduk 5.000-25.000 jiwa). Kota-kota yang ada, yaitu Kota Wonosobo, Kota Mojotengah, Kota Sapuran, Kota Wadaslintang, Kota Leksono, Kota Kertek, Kota Garung, Kota Kepil, Kota Kaliwiro, Kota Selomerto, Kota Kejajar dan Kota Kalikajar. Karakteristik secara umum kota-kota tersebut masih mengandalkan basis perekonomian di sektor pertanian walaupun sebagian sudah bergeser ke sektor industri, perdagangan dan jasa; mempunyai topografi yang bergelombang, sebagian kota yang ada (kota kecamatan) masih bersifat rural dengan ditandai mata pencaharian penduduknya
dominan petani
dan secara fisik masih belum
menunjukkan ciri kekotaan, Tetapi disisi lain kota-kota tersebut mempunyai banyak potensi yang belum dimanfaatkan secara maksimal, potensi yang bisa dikembangkan antara lain, sektor pariwisata, industri pengolahan hasil pertanian dan perdagangan. Untuk industri skala menengah-besar yang memproduksi komoditas ekspor yang sudah berkembang adalah industri pengolahan kayu (jointing board, wall panel, parquet) terdapat di Kota Wonosobo, Kalikajar dan Sapuran, industri pengolahan jamur, carica, baby corn, bean, wortel dan asparagus di Kota Wonosobo, Kota Garung dan Kota Mojotengah, pabrik Aqua di Kota Wonosobo, Pabrik teh di Kota Kejajar dan Sapuran serta industri perikanan (Aquafarm) di Kota Wadaslintang.
B. Perumusan Masalah Kota sebagai pusat pengembangan wilayah perlu dikembangkan berdasarkan potensi
dan
kebutuhan
masyarakatnya.
Pengembangan
kota
juga
harus
9
memperhatikan fungsi dan kedudukan kota tersebut dalam hirarki kekotaannya. Halhal yang perlu diperhatikan meliputi: keserasian hubungan antara kota dengan wilayah pendukungnya, pengaturan kegiatan di kota sesuai dengan kemampuan daya dukung, serta pemanfaatan potensi yang ada di perkotaan tersebut.
Masalahnya
pada saat ini informasi aktual yang menggambarkan tentang hasil implementasi kebijakan sistem kota-kota dalam pengembangan wilayah di Kabupaten Wonosobo belum ada, karena belum pernah dilakukan evaluasi. Untuk itu diperlukan suatu penelitian untuk melihat seberapa jauh tingkat keberhasilan implementasi kebijakan sistem kota-kota tersebut dalam pengembangan wilayah dan untuk mengetahui faktor-faktor yang diduga sebagai pendorong atau penghambat yang mempengaruhi efektivitas sistem kota-kota dalam pengambangan wilayah di Kabupaten Wonosobo. Studi ini diperlukan untuk menunjang perumusan alokasi kegiatan pembangunan perkotaan dalam konteks pengembangan wilayah Kabupaten Wonosobo dalam rangka menyongsong Otonomi Daerah. Berdasarkan pada uraian di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan penelitian sebagai berikut : 1.
Seperti
apa
hasil
implementasi
kebijakan
sistem
kota-kota
dalam
pengembangan wilayah di Kabupaten Wonosobo ? 2.
Seperti apa efektivitas sistem kota-kota dalam pengembangan wilayah di Kabupaten Wonosobo ?
3.
Mengapa
implementasi kebijkan sistem kota-kota
dalam mendukung
pengembangan wilayah efektif/tidak efektif ?
10
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai, meliputi : 1.
Mengkaji seberapa jauh hasil implementasi kebijakan sistem kota-kota dalam upaya pemerataan pengembangan wilayah ditinjau dari hirarki, fungsi dan peran kota-kota serta keterkaitan fungsional kota-kota di wilayah Kabupaten Wonosobo.
2.
Untuk mengetahui seberapa jauh efektivitas sistem kota-kota dalam pengembangan wilayah di Kabupaten Wonosobo.
3.
Menjelaskan faktor-faktor pokok yang diduga mempengaruhi efektivitas sistem kota-kota dalam mendukung pengembangan wilayah di Kabupaten Wonosobo.
D. Manfaat Penelitian Dilihat dari pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan teori-teori tentang sistem kota-kota, fungsi dan peranan kota dalam pengembangan wilayah. Dilihat dari segi implikasinya penelitian ini bermanfaat sebagai bahan masukan bagi perumusan landasan kebijakan pengembangan perkotaan di wilayah Kabupaten Wonosobo. Landasan kebijakan tersebut meliputi : (1) pembangunan prasarana perhubungan; (2) pengembangan sistem angkutan wilayah; (3) pembangunan prasarana perkotaan, seperti drainase, sanitasi, air bersih dan
persampahan; (4)
pengembangan permukiman; dan pengembangan kawasan-kawasan khusus serta unsur penunjang pengembangan kota lainnya. Masukan yang diperlukan adalah gambaran tentang : (1) besaran dan sebaran kota-kota; (2) perkembangan dan struktur penduduk; (3) perkembangan dan struktur ekonomi; (4) pertumbuhan
11
wilayah; (5) keterkaitan fungsional antara kota-kota dan peranannya; dan (7) jaringan perhubungan.
E. Keaslian Penelitian Ada beberapa penelitian yang sudah disusun sebelumnya, antara lain penelitian dengan judul “Studi Sistem Perkotaan Provinsi D.I. Yogyakarta” sudah dilakukan oleh Bappeda Provinsi D.I. Yogyakarta (DIY) bekerja sama dengan Pusat Penelitian Perencanaan Pembangunan Nasional (P4N) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1991. Penelitian ini menitikberatkan pada sistem perkotaan yang berupa hirarki dan keterkaitan fungsional kota-kota di Provinsi DIY, yang meliputi 58 Ibukota Kecamatan (IKK). Pada tahun 1991/1992 telah dilakukan penyusunan Rencana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) Kabupaten Daerah Tingkat II Wonosobo, yang disusun oleh Pemerintah Kabupaten Wonosobo. Di dalamnya antara lain membahas tentang rencana struktur tata ruang. Penelitian lain adalah penelitian yang berjudul “Kajian Perubahan Hirarki Kota-kota di Provinsi D.I. Yogyakarta Tahun 1990, 1992, dan 1996” oleh Desti Mega Putri pada tahun 1999 yang merupakan Tesis S-2 Program Pasca Sarjana Magister Perencanaan Kota dan Daerah Universitas Gadjah Mada (MPKD UGM) Yogyakarta, penelitian yang dilakukan Desti Mega Putri adalah membandingkan antara penelitian yang dilakukan oleh P4N UGM dan RSTRP dengan basis data tahun 1989 dan 1990 dengan data tahun 1996 untuk mengetahui perubahan yang terjadi.
12
Untuk penelitian yang dilakukan penulis, fokusnya adalah mengkaji implementasi kebijakan sistem kotya-kota dalam pengembangan wilayah
di
Kabupaten Wonosobo dan lokusnya adalah tiga belas kota kecamatan di Kabupeten Wonosobo dengan hinterland-nya.
13