Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Pengkajian atas studi ini dipicu oleh semakin maraknya minat atas kajiankajian tentang politics of multiculturalism terutama di masa transisi demokrasi Indonesia. Studi ini, dimaksudkan untuk melacak rezim kuasa adat Towani Tolotang yang dipraktikkan secara terus menerus di Amparita. Secara implisit, penelitian ini difokuskan untuk menjelaskan self-governing komunitas adat Towani Tolotang yang dioperasikan melalui reproduksi kekuasaan simboliknya (symbolic power) sebagai respon dari upaya dominasi dan penetrasi otherness - kekuasaan negara dan kelompok penekan lainnya yang menciptakan line of difference.1 Adat pada aras ini menjadi kekuatan politik baru yang terkait erat dengan perjuangan politics of recognition.2 Kekuatan politik ini menjadi simbol atas kebangkitan adat yang telah lama mengalami kungkungan dan penetrasi dalam nalar otoritarianisme dan modernisme yang begitu massif di berbagai ranah sosial. Dengan menguraikan hadirnya kebangkitan adat di tingkat lokal, studi ini hadir untuk memperkaya khasana pemahaman tentang adat dalam fenomena politik lokal dan pemaknaan demokrasi yang berkembang pasca reformasi Indonesia. Komunitas adat Towani Tolotang yang ada di Amparita, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan merupakan salah satu kelompok adat yang terasingkan oleh negara sejak orde lama dan masih berlangsung hingga pada saat ini. Berbeda dengan kelompok minoritas di wilayah lain yang mulai meninggalkan praktik-praktik dan kepercayaan leluhur mereka (animisme) dan mulai mengerjakan ibadah-ibadah yang
1
Line of difference merupakan batas-batas yang diciptaan oleh Negara dan kelompok Islam (radikal) untuk membedakan antara yang modern dan tradisional, terasing dan tidak terasing, yang diakui dan tidak diakui, tatanan lama dan tatanan baru, yang secara tidak langsung telah menciptakan diskriminasi, marjinalisasi, dan ekslusi terhadap kelompok adat. 2 Politics of recognition sedikitnya dipicu oleh menyeruaknya kesadaran atas diri individu-individu modern untuk secara terus-menerus mengelaborasi identitas partikular, baik dalam relasi seksual, maupun identitas-identitas primordial seperti bangsa, etnis, dan bahkan agama. Fenomena mutakhir ini juga menandai titik pergeseran di dalam kajian ilmu-ilmu sosial, termasuk kajian mengenai nasionalisme (Castell dan Miller, 1993; Pfaff, 1993; Kymlicka, 1995) di dalam Hikmawan Budiman (ed.), Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme di Indonesia, (Jakarta: Yayasan TIFA, 2007), h. 31 &75.
Page | 1
merupakan tuntutan agama resmi negara seperti yang terjadi pada masyarakat adat di Loloan, Bayan, dan Sukadana,3 komunitas adat Towani Tolotang meski masih menganut agama yang tergolong anismisme (kepercayaan Towani Tolotang), tetap survive dengan memanfaatkan berbagai sumber daya termasuk kekuatan Orde Baru yang dulunya merupakan rezim yang mengekslusi keberadaan Towani Tolotang. Konsekuensinya, selain kekuatan adat, kekuatan Orde Baru seperti Golkar masih menjadi saluran alternatif untuk membangun survivalitas ditengah dominasi dan penetrasi kekuasaan negara. Sejak runtuhnya Orde Baru, dinamika politik Indonesia memasuki babakan baru. Dalam waktu yang relatif singkat, Indonesia mengalami desentralisasi secara besar-besaran dan politik di tingkat lokal semakin menggejolak. Pada saat bersamaan, arus globalisasi, demokratisasi, dan desentralisasi di Indonesia menunjukkan perkembangan dan pengaruh yang signifikan bagi perkembangan masyarakat. Keruntuhan tersebut telah membuka struktur peluang bagi berbagai lahirnya dinamika politik baru dan bekerjanya demokrasi yang sering dikaitkan dengan interaksi antara masyarakat sipil, negara, dan masyarakat ekonomi, serta varian-varian lain yang mungkin ada (Vedi R Hadiz: 2005). Dengan demikian, struktur ini menandai adanya bentuk-bentuk keterbukaan dan kebebasan yang dapat dipandang sebagai sebuah ruang demokratis, yaitu ruang yang memunculkan beragam tuntutan atas keterlibatan masyarakat dalam konstelasi dan dinamika perubahan sosial khususnya dalam politik lokal. Implikasi lain dari keruntuhan Orde Baru adalah semakin banyaknya persaingan diantara berbagai kelompok kepentingan untuk memperebutkan kontrol atas aparatur dan kekuasaan negara khususnya daerah-daerah otonomi baru sebagai dampak dari terkikisnya otoritas pusat negara yang sentralistik. Dalam skala politik, era ini merupakan saksi atas fenomena yang disebut dengan de-statisation yakni pengurangan otoritas negara untuk liberalisasi pasar serta de-nationalization yaitu
3
Lihat catatan kaki Heru Prasetia tentang Masyarakat Adat Wet Semokan dalam Hikmawan Budiman (ed.), Hak Minoritas; Dilema Multikuluralisme di Indonesia, (Jakarta: Yayasan TIFA, 2007), h. 131.
Page | 2
rekonfigurasi kekuasaan negara melalui regionalisasi dan lokalisasi (Harris, et.al: 2005). Ini berarti bahwa otoritas politik semakin menjadi tersebar di antara pemain negara, pasar, dan masyarakat sipil di skala lokal, nasional, regional, dan global (Jessop: 2002).4 Arus
globalisasi
telah
berkontribusi
mendorong
gerakan
lokal
dan
mendiseminasi gagasan nasionalisme di negara-negara Asia dan Afrika, termasuk Indonesia. Pada fase pertama gelombang nasionalisme terfokus kepada isu-isu perjuangan kemerdekaan negara-negara yang tengah terjajah oleh negara lain, kini fase nasionalisme berkisar pada soal isu-isu pergolakan di dalam negeri. Dengan kata lain, nation state yang menjadi semacam kontainer dari semangat nasionalisme mulai mengalami tuntutan dari bawah (bottom-up). Hal ini muncul karena adanya arus glokalisasi yang merupakan respon terhadap arus globalisasi, yaitu suatu ledakan kolektif lokal yang kian menumpuk menjadi semacam antagonisme bagi upaya hegemonisasi kultural, dan bahkan asimilasi politik oleh kaum nasionalis itu sendiri. Identitas bangsa, etnis, dan sentiment primordial lainnya biasanya lebih memiliki acuan kultural. Adat dalam aras itu kemudian menjadi basis kekuatan politik baru pasca reformasi. Tak hanya itu, adat juga menjadi kejutan bagi para pengamat dan penemuan kembali sumber-sumber tata tertib dan identitas diri masa silam di dalam bentuk kampung-kampung, suku-suku, dan kesultanan-kesultanan. Komunitas-komunitas masyarakat adat5 mulai didefenisikan dan dikontekstualisasikan kembali sejalan dengan perkembangan pengaruh dan perkembangan lokalitas. Gerry van Klinken (2010) dalam karyanya tentang “Kembalinya Para Sultan: Pentas Gerakan
4
Lihat John Harriss, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist, Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru, (Jakarta: DEMOS, 2005), h. 4. 5 Dimasa era Orde Baru, komunitas-komunitas masyarakat adat umumnya dikenal sebagai masyarakat terasing, sebuah istilah yang menunjukkan arti adanya keterpisahan sementara dengan masyarakat luas yang sesungguhnya punya asal-usul dan nasib yang sama dengannya. Istilah masyarakat adat adalah perwujudan dari bentuk paling asli dari warisan budaya Indonesia yang belum ternodai atau terkontaminasi oleh penghadapannya dengan kolonialisme, pembaratan (westernization), dan kehidupan kota. Lihat Tania Murray Li,”Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politics and The Tribal Slot”, Comparative Studies in Society and History, Vol. 42, No. 1, (Jan., 2000), h. 156.
Page | 3
Komunitarian dalam politik Lokal”6 menjelaskan bahwa fenomena kebangkitan adat dapat dilihat dari kemuculan dan menguatnya tuntutan atas kembalinya kesultanankesultanan di beberapa daerah di nusantara pasca reformasi. Dalam hal ini, keruntuhan rezim Orde Baru telah menjadi simbol bagi kebangkitan atas adat.7 Demikian pula bagi para pemikir demokrasi, keruntuhan rezim Orde Baru dan adanya desentralisasi adalah pemicu menguatnya adat. Larry Diamond, Juan Linz, dan Seymour Martin Lipset (1990) sebetulnya sudah menjelaskan bekerjanya kekuatan “budaya” – misalnya kekerasan, patronase termasuk kekerabatan – yang menghasilkan demokrasi semu (pseudo democracy). Dalam logika tersebut, keberadaan lembaga politik demokrasi secara formal mengakibatkan dominasi kekuasaan menjadi tidak kasat mata (Dwipayana, 2004: 6, 154).8 Pada akhirnya, terkait dengan proses demokratisasi di Indonesia, kini para ilmuwan politik menemukan kritik telak terhadap demokrasi Schumpeterian, yang tidak melihat faktor budaya dan segmentasi masyarakat sebagai sumber legitimasi politik pasca reformasi. Di era pasca reformasi, menguatnya komunitas adat ini cukup mengejutkan banyak pihak karena mampu memainkan peran yang sangat penting dalam mendorong beberapa tokoh pemimpin lokal untuk ikut bertarung dalam arena politik. Pada setiap pemilukada, beberapa orang dari kalangan Towani Tolotang maju sebagai calon anggota legislatif di Kabupaten Sidenrang Rappang. Hasilnya, pada pemilihan 2009 lalu, terdapat dua kursi (La Panca dan Rukiyah merupakan dua orang berhasil duduk di kursi legislatif kabupaten Sidenreng Rappang periode 2009-2014) yang diduduki oleh
6
Lihat David Henley dan Jamie Davidson (peny.), Adat Dalam Politik Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta, 2010), h. 165. 7 Negara Indonesia selama rezim Orde Baru (1966-1998) melihat adat sebagai 'seni', sesuatu yang harus dilakukan atau ditampilkan, termasuk referensi untuk agama keyakinan dan norma-norma sosial (Acciaioli 1985:157-8). Lihat Leena Avonius,”Reforming adat”, The Asia Pacific Journal of Anthropology, 2003, h. 4: 1-2, 123-142. 8 Juan Linz, Seymour Martin Lipset, and I (Larry Diamond) term these regimes pseudo-democracies, because the existence of formally democratic political institutions, such as multiparty electoral competition, masks (often in part to legitimate) the reality of authoritarian domination. Lihat Larry Diamond, Defining and Developing Democracy, dalam R. Dahl, I. Shapiro & J. A. Cheibub (eds), The Democracy Sourcebook, (Cambridge: The MIT Press, 2003), h. 37.
Page | 4
Towani Tolotang.9 Perkembangan Towani Tolotang tersebut terkait erat dengan jumlah penganut Towani Tolotang yang semakin signifikan dan solidaritas yang masih terjaga hingga saat ini. Dengan demikian, posisi Towani Tolotang di Sidenreng Rappang dalam politik lokal telah menunjukkan perkembangannya. Berbagai fenomena atas kebangkitan adat dalam politik lokal tersebut, telah digambarkan oleh sejumlah peneliti seperti Franz dan Keebet von Benda-Beckmann (2001) tentang Sumatra Barat, Michel Picard (2005) tentang Bali, Lena Avonius (2004) tentang Lombok, Dik Roth (2002) tentang Sulawesi Selatan, dan Jaap Timmer (2005) tentang Papua, dan di tingkat internasional seperti yang diteliti oleh Greg Acciaioli (2001, 2002) dan Tania Li (2000, 2001) yang mengakaji gerakan masyarakat adat yang terorganisir dalam hubungannya dengan gerakan masyarakat adat internasional.10 Perkembangan tersebut dinamakan “tribal slot” oleh Tania Li (2002), yaitu keragaman gerakan yang ditunjukkan oleh berbagai gerakan yang mengusung isu adat, yang dapat dipandang sebagai sebuah gerakan yang merefleksikan sebuah kecenderungan tunggal yang bersifat nasional,11 yang tersebar melalui identitas kulturalnya. Merunut dari kecenderungan fenomena tersebut, eksistensi komunitas adat Towani Tolotang dalam membangun survivalitasnya tidak lepas dari bagaimana pengaturan diri adat dan pengelolaan ruang batas (status) antara negara yang membawa spirit kemajuan (modenisasi-develompentalisme) dan adat (old order) yang perlu diredefenisi dan dipurifikasi. Pengelolaan ruang batas menjadi sarana untuk meraih dan menciptakan kontrol. Foucault menyatakan bahwa ruang adalah hal mendasar dari berbagai bentuk kehidupan komunal dan praktik kekuasaan (Foucault, 1986a: 252).12 Ruang batas selalu berada dalam persinggungan dengan ruang kuasa dan ruang sosial, dimana ruang sosial merupakan sebuah produk sosial yaitu ruang 9
Hasse J,”Diskriminasi Negara Terhadap Agama di Indonesia (Studi atas Persoalan Posisi Humum Towani Tolotang Pasca Pengakuan Agama Resmi”, Jurnal Kawistara, Vol. 1, No.2, 17 Agustus 2011, h.187. 10 Lihat David Henley dan Jamie Davidson, Adat Dalam Politik Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pusataka Obor Indoneisa dan KITLV-Jakarta, 2010), h. 2. 11 Ibid., 12 Lihat Margo Huxley, Geographies of Govermentality, dalam Crampton JW, Elden Stuart (ed.), Space, Knowledge and Power: Foucault and Geography, (England: Ashgate, 2007), h. 190.
Page | 5
yang diproduksi sebagai sarana pemikiran dan tindakan yang koheren sifatnya dengan upaya kontrol dan dominasi (Henri Lefebvre, 1991:26-27). Dalam konteks ini, ruang batas memainkan peran kunci di dalam proses reproduksi sosial dan reproduksi kekuasaan yang berkolerasi positif dengan upaya dominasi. Praktik diskriminasi dan marjinalisasi negara terhadap komunitas adat pada dasarnya merupakan kenyataan adanya prilaku ekslusi negara terhadap komunitas adat yang membangun ruang batas (status) dengan kelompok minoritas. Namun sebaliknya, kenyataan ekslusi tersebut oleh komunitas adat dipahami sebagai ruang munculnya kesadaran akan belonging.13 Transisi demokrasi pasca reformasi telah menjadi setting yang mempengaruhi dinamika ekslusi dan kebangkitan adat di Nusantara. Dalam konteks ini, kekuasaan negara dilihat sebagai “there is no such thing as the power of the state, there are only, in reality, powers of on individuals, kings, prime ministers, magistrates, policemen, party bosses and voters (Redcliffe Brown dalam Sharma dan Gupta, 2006:103). Terkait dengan hal itu, negara dicermati sebagai “the essence to or shaped by other, but the producing and reproducing of this line of difference (Ibid, 104). Dengan demikian, kenyataan ekslusi terhadap adat menjadi tonggak menguatnya batas-batas line of difference yang diproduksi oleh negara. Sementara dinamika dan fenomena kebangkitan adat dalam kenyataan seperti itu dicermati sebagai kekhawatiran atas ancaman yang mengungkung kebebasan adat.14 Dalam sketsa politik rekognisi (politics of recognition), perjuangan terhadap tindakan diskriminasi, marjinalisasi, dan ekslusi yang dilakukan oleh negara, telah bergerak pada level kultural. Gerakan yang memperjuangan politik rekognisi melihat bahwa persoalan mendasar utama terletak pada pola-pola sosial komunikasi, interpretasi, dan representasi. Artikulasi dari politik rekognisi ini, memanifestasikan beberapa bentuk gerakan sosial baru berbasis politik identitas seperti perjuangan 13
Untuk konsep ini, “the issu of belonging is crucial to the study of identity within social anthropology. Konsep ini menurut Lovell: “yet belonging is also fundamentally defined through a sense of experience, a phenomenology of locality which serves to create, mould and reflect perceived ideals surrounding place. Lihat Lovell, Locality and Belonging, (London: Routhledge, 1998). 14 The anxiety about threats that can penetrate the bodily margins expresses greater dangers to the survival of the minority group as a political and cultural unit. Lihat Kumar Rajaram, Borderscape, Hidden Geographys, and Politics at Territory’s Edge, (Minesota Press, 2004), h. 124.
Page | 6
politik kaum perempuan, kaum transseksual, anti-rasisime, otonomi masyarakat adat (indigenous people),15 gerakan keagamaan sampai pada perjuangan ethnonasionalisme. Dalam gerakannya, politik rekognisi ini bertujuan untuk melawan penistaan kultural dan hilanganya kepedulian/pengakuan terhadap yang lain. Kajian filsafat yang menonjol mengenai rekognisi diajukan oleh Hegel (1977).16 Pentingnya penerapan pengakuan (politics of recognition) merupakan landasan bagi terciptanya kebersamaan di antara berbagai budaya, kelompok etnis, ras, dan agama. Sebab tak adanya pengakuan adalah penindasan (misrecognition is an oppression).17 Dalam perspektif ini, pengakuan bukan hanya sekedar suatu kebaikan yang berlaku dalam diri, tetapi juga kebutuhan vital manusia. Kesalahan pengakuan dapat menunjukkan adanya kesenjangan yang dapat menyebabkan ketimpangan sosial dan konflik.
15
Masyarakat adat (Indigenous populations) berbeda dari "kelompok minoritas" atau "kelompok nasional" karena pendudukan asli mereka atas tanah air tradisional, kontinuitas sejarah, praktikpraktik budaya yang unik, non-dominasi, dan kesadaran kelompok. Dalam mendefinisikan adat, kita mengacu pada yang umum digunakan "definisi kerja" yang didirikan oleh Kelompok Kerja PBB untuk Masyarakat Adat (UNWGIP) pada tahun 1986: “Indigenous populations are composed of the existing descendants of the people who originally inhabited the present territory of a country (or countries), wholly or partially, at the time when persons of a different culture or ethnic origin arrived there from other parts of the world, overcame them, either by direct conquest, settlement, or other means, reduced them to a non-dominant group within their home region or territory”, Lihat Cindy L. Holder and Jeff J. Corntassel, “Indigenous Peoples and Multicultural Citizenship: Bridging Collective and Individual Rights”, Human Rights Quarterly, Vol. 24, No. 1 (Feb., 2002), pp. 126-151. Sedangkan (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) AMAN menegaskan bahwa masyarakat adat adalah kelompok masyarakat setempat yang memiliki asal usul leluhur secara turun temurun di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, dan sosial sendiri (Anggaran Dasar AMAN Pasal 10 ayat 2). 16 Filsafat Hegel mengenai rekognisi merupakan respon atas padangan Kant yang memberikan ekspresi filosofis terhadap obsesi modern melalui pemisahan antara subyek dan obyek, antara diri dan dunia. Pandangan Hegel mengatasi celah tersebut mengklaim ulang kesatuan segala yang ada (the unity of esistence). Jawaban Hegel atas pemisahan tersebut radikal; pembelahan telah terinternalisasi dan terhistorisasi, fragmentasi modernitas telah dipandang tak saja sebagai katastropi namun juga sebagai sebuah tingkatan kebutuhan dalam pengembaraan spirit atau nalar menuju kesadaran diri sendiri. Lihat Cistas Douzinas, Identity, Recognition, Rights or What can Hegel Teach Us About Human Rights?, dalam journal of law and society, Volume 29, No. 3, September 2002, h. 380. 17 Demikian Hegel yang pemikirannya diabstaksi oleh Sybol C.Anderson. Lihat Anderson, Hegel’s theory of recognition: from oppression to ethical liberal modernity, (London and New York: Contimmum Book, 2009), h. 37-45. Lihat juga Terry Lovell (ed.), (Mis)-recognition, Social Inequality and Social Justice: Nancy Fraser and Pierre Bourdieu, (London and New York: Routladge, 2007).
Page | 7
Anderson menyatakan bahwa hakikat politik rekognisi pada perkembangannya adalah politik rekognisi etnik.18 Dalam dimensi praksisnya, berbagai bentuk-bentuk politics of recognition memiliki karakter emansipatoris dengan meradikalkan tradisi pembebasan liberatif yang berakar dari semangat liberalisme dan marxisme, dalam istilah Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau (1985) dalam Hegemony and Socialist Strategy bahwa perjuangan politik identitas (recognition) berusaha menggabungkan momen terbaik dalam tradisi politik sosialis dan liberal sebagai proyek politik emansipasi radical plural democracy. Namun demikian, terdapat ragam ekspresi politik rekognisi yang mendorong pada eksklusivitas, intoleransi bahkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap yang lain. Hal ini terjadi ketika perjuangan sebuah kelompok identitas tidak membuka ruang-ruang komunikasi intersubjektif dan berpretensi memarjinalkan serta mengekslusi identitas partikular lainnya.19 Ekspresi politik seperti ini tampak dalam gerakan-gerakan adat pasca reformasi seperti gerakan adat yang terjadi di Papua, Aceh, dan Kalimantan,20 namun gagal membuka ruang komunikatif dengan kelompok adat yang lain. Amparita merupakan salah satu daerah yang dihuni oleh komunitas adat Towani Tolotang. Komunitas adat ini sebenarnya tersebar pada beberapa daerah, dimana setiap kelompok hidup dari komunitas Towani Tolotang memiliki pemimpinnya masing-masing (para uwa). Amparita merupakan pusat dari pranatapranata adat dan bermukimnya mayoritas komunitas adat Towani Tolotang. Dalam sejarahnya, komunitas adat ini merupakan kelompok yang terusir dari daerah kerajaan Wajo. Komunitas ini selamat dari Islamisasi pada saat Raja Wajo yang menginstruksikan seluruh warganya memeluk Islam. Pada saat itu, Towani Tolotang 18
Lihat Mette Andersson dalam Makalah Azyumardi Azra, Multikulturalisme: Strategi Budaya: Menuju Indonesia yang Lebih Bermartabat: Makalah dalam Konsensi Kampus untuk Masa Depan Indonesia, Universitas Gadjah Mada, 20-22 Mei 2004, h. 2-3. 19 Lihat Airlangga Pribadi, Globalisasi dan Neoliberalisme: Pengaruh dan Dampaknya bagi Demokratisasi Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), h. 8-10. 20 Orang-orang Papua dan Aceh menghidupkan kembali kebanggaan etnis dan bahkan mengarahkannya sampai pada agenda separatis (Kingsbury dan Aveling, 2003; Sakai, 2002). Meskipun begitu, beberapa diantara gerakan ini masih jauh dari progresif. Gerakan-gerakan etnis militan melakukan pembersihan etnis terhadap komunitas-komunitas pendatang yang miskin di Kalimantan Barat (Davidson, 2003) dan Kalimantan Tengah (Klinken, 2002). Lihat Gerry van Klinken, Perang Kota Kecil; Kekerasan Komunal dan demokratisasi di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV, 2007), h. 38.
Page | 8
merespons kebijakan tersebut dengan pembangkangan yang berdampak pada pengusiran mereka dari daerah tempat tinggalnya. Setelah bermukim lama di Sidenreng Rappang, upaya negara untuk merampingkan agama-agama di Indonesia masih dilakukan. Hasilnya, hampir seluruh agama lokal yang tersebar di berbagai tempat terpaksa memilih salah satu agama yang telah ditetapkan oleh Negara, begitupun dengan Towani Tolotang yang harus memilih agama Hindu sebagai agama induknya.21 Tekanan dan diskriminasi tersebut tidak hanya dilakukan oleh negara, tetapi juga oleh kelompok mayoritas terutama kelompok Islam yang berada di Sidenreng Rappang. Dengan demikian, mencermati kebijakan dan tindakan tersebut, telah menunjukkan adanya dominasi negara dalam upaya menaklukan adat, namun berbeda dengan Amparita dimana kekuasaan negara hanya berlangsung pada lapisan permukaan, sedangkan lapisan dalam dari kepercayaan Towani Tolotang masih menjadi kekuatan dominan yang menstrukturisasi praktik-praktik masyarakat adat Amparita. Adat dalam hal ini tetap menjadi point of references yang mampu menundukan masyarakat adat dan menegosiasikan otherness yang mencoba merusak kemapanan otoritas adat melalui reproduksi kekuasaan simboliknya (symbolic power). B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan “bagaimana rezim kekuasaan adat Towani Tolotang berlangsung terus menerus di Amparita? Adapun pertanyaan turunan adalah: 1. Apa nalar dan sumber daya yang membentuk kekuasaan adat? 2. Bagaimana adat mereproduksi kekuasaan simboliknya (symbolic power) di Amparita? Penelitian ini mengemban beberapa misi utama. Pertama, menjelaskan nalar dan sumber kekuasaan yang melegitimiasi adat sebagai satu-satunya point of references (symbolic power) di Amparita. Kedua, menjelaskan strategi adat dalam 21
Hasse J, “Diskriminasi Negara Terhadap Agama di Indonesia (Studi atas Persoalan Posisi Humum Towani Tolotang Pasca Pengakuan Agama Resmi”, Jurnal Kawistara, Vol. 1, No. 2, 17 Agustus 2011, h. 187.
Page | 9
mereproduksi kekuasaannya (symbolic power) sebagai respon dari upaya dominasi dan penetrasi dari otherness (Negara dan kelompok Islam radikal). Pada bagian akhir, bab ini akan menjelaskan trajektori masa depan adat dalam arena demokrasi lokal di Indonesia. C. Literatur Review Diskursus mengenai masyarakat di Indonesia mengundang banyak perhatian. Masyarakat adat termasuk kelompok marginal yang secara sendiri-sendiri tidak mempunyai bargaining position ketika berhadapan dengan kekuatan yang lebih besar, baik Negara, kelompok agama, maupun terhadap perusahaan-perusahaan besar yang mempunyai kepentingan atas adat. Namun, terdapat beberapa fenomena dimana kekuasaan adat tetap survive ditengah kuasa negara. Terkait dengan itu, berikut ini diuraikan pemetaan beberapa studi tentang survavilitas kekuasaan adat. Hal ini dimaksudkan untuk menjelaskan posisi tulisan ini dengan studi-studi sebelumnya. Selain itu, tulisan ini dimaksudkan untuk melihat letak perbedaan perspektif dan pendekatannya. Dari hasil penulusuran, setidaknya ada beberapa karya ilmiah akademis yang menyinggung secara langsung mengenai survavilitas kekuasaan adat di beberapa daerah di Indonesia. a. Adat dalam Arena Pembangunan (developmentalism) Terdapat beberapa studi yang mengkaji adat dalam arena pembangunan, studistudi itu diantaranya; Studi yang dilakukan oleh Tania Murray Li (2007) dalam “The Will To Improve: Governmentality, Development, and The Practice of Politics” yang dilakukan di Sulawesi Tengah, menjelaskan tentang praktik governmentality yang dilakukan oleh lembaga-lembaga nasional
dan internasional
dalam
proyek
pembangunan Lore Lindu National Park di atas tanah adat dan pengembangan masyarakat adat di Sulawesi tengah. Melalui pendekatan etnografi, Li menganalisis strategi yang dijalankan oleh aktor-aktor baik masyarakat, lembaga-lembaga NGO, organisasi pembangunan, organisasi pemerintah, dan organisasi dunia melalui interaksi diantara aktor-aktor berbeda tersebut. Studi itu menyimpulkan bahwa terdapat bukti atas upaya untuk meningkatkan kehidupan masyarakat adat Sulawesi Tengah, namun rekonsiliasi pada perlindungan alam, kapitalisme, dan keadilan sosial tidak terjadi. Hal
Page | 10
ini karena dua alasan, pertama, kurangnya perhatian pada struktur ekonomi politik dan kedua, tidak adanya partisipasi masyarakat adat dalam pembuatan keputusan. Berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Longgina Novadona Bayo (2010) tentang “Kuasa Adat atas Gereja dan Negara di Adonara” menjelaskan tentang relasi kuasa yang terjalin diantara tiga kekuasaan besar yaitu adat, negara, dan gereja, dimana
gereja
dan
negara
merupakan
institusi
yang
memaksakan
nalar
developmentalism terhadap adat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode analisis wacana dalam analisis datanya. Studi ini menyimpulkan bahwa melalui strategi governmentality, adat telah sukses menciptakan dan membangun kekuasaannya sesuai dengan nalar adat. Kesuksesan itu dikarenakan adat mampu memproduksi kekuasaannya melalui berbegai teknologi kekuasaannya, gereja, dan kondisi sosial masyarakatnya. b. Adat dalam Arena Politik Lokal Dalam konteks adat yang terkait dengan politik lokal, studi yang dilakukan Hapri Ika Poigi (2012) yang berjudul “Menggenggam adat meski sekepal tangan (studi Antropologi Politik Masyarakat Adat Kaili)” menjelaskan
tentang hubungan
masyarakat adat To Kalili ketika UU Otonomi Daerah tidak lagi punya pengaruh terhadap kebudayaan mereka. Melalui pendekatan Antropologi politik, studi ini menjelaskan
bagaimana
masyarakat
adat
Kalili
menginternalisasikan
dan
mentrasformasikan aspek-aspek kelembagaan budaya lokal dalam kehidupan seharihari. Dalam studi tersebut, disimpulkan bahwa adat merupakan titah leluhur yang harus dijaga, sehingga eksistensi adat dalam era desentralisasi tergantung kepada penghayatan setiap individu terhadap adat meski di sisi lain negara telah gagal melindungi masyarakat adat. Begitupun studi lainnya yang dilakukan oleh Donny Michael (2012), 22 yang berjudul “Peran Lembaga Adat Dan Kearifan Lokal Dalam Upaya Pencegahan dan Penyelesian Konflik Horizontal Di Provinsi Jambi” menjelaskan bahwa keberadaan lembaga adat dalam masyarakat Jambi memilik peran penting dalam proses 22
Lihat Jurnal HAM, Volume, No.1 tahun 2012, diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Page | 11
penyelesaian konflik baik individu maupun kelompok masyarakat. Melalui pendekatan institusional, studi ini memberikan kesimpulan bahwa dalam penanganan kasus yang lebih besar atau berpotensi menimbulkan konflik komunal, peran lembaga adat di Jambi justru mempunyai posisi strategis. Pemerintah dan masyarakat mengakui peran lembaga adat dari tingkat struktur pemerintahan lokal paling kecil (desa) hingga provinsi sebagai upaya yang justru melampaui kewenangan hukum negara. Peran dalam negosisi dan mediasi dari lembaga adat mampu memutuskan kasus hingga tidak memasuki wilayah hukum positif. c. Adat, Tanah, dan Gerakan Sosial Berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Riza Bahtiar (2007),23 yang berjudul “Problem Tanah dan Identitas Komunitas Adat Dayak Pitap” yang menjelaskan persoalan dan pemanfaatan tanah adat dalam relasinya dengan kehadiran perusahaanperusahaan para pemodal yang dibarengi penguatan identitas etnis. Melalui pendekatan poskolonial, studi ini menyimpulkan bahwa terjadi penguatan identitas yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Pitap dengan lembaga adatnya yang cukup efektif dalam menghadapi perusahaan (para pemodal) dengan mengadakan studi banding swakarsa dan melakukan pemetaan geokultural, dan pada akhirnya menjatuhkan sanksi adat atas perusakan yang terjadi. Senada dengan studi yang dilakukan oleh Gerry van Klinken (2010) dalam karyanya tentang “Kembalinya Para Sultan: Pentas Gerakan Komunitarian dalam politik Lokal, menjelaskan adanya fenomena kebangkitan adat lewat kemuculan dan menguatnya tuntutan atas kembalinya kesultanan-kesultanan di beberapa daerah di nusantara pasca reformasi. Melalui pendekatan gerakan sosial, studi ini memberikan kesimpulan bahwa para sultan dan keturunannya memainkan peranan simbolik dalam timbulnya dinamika politik lokal yang pertaruhannya melibatkan kekuasaan birokrasi dan kontrol atas tanah sebagai bentuk perlawanan atas paham pembangunan modern yang buruk lantas menjadi problematik. Dalam studi ini, Gerry van Klinken mengakui bahwa adat telah mengalami penguatan pasca desentralisasi di era reformasi. 23
Lihat Riza Bahtiar dalam Hikmawan Budiman (ed.), Hak Minoritas: Dilema multicultural di Indonesia, (Jakarta: Yayasan TIFA, 2007), h. 169.
Page | 12
Mencermati beberapa pustaka di atas, ada banyak literatur yang membahas tentang masyarakat adat baik yang terkait dengan negara yang menaklukan adat dalam pembangunan dan penguasaan tanah, peran adat dalam politik lokal, dan yang menekankan pada gerakan perlawanan, namun masih jarang didapati literatur yang membahas tentang self-governing adat dalam politik lokal, yaitu kemampuan adat dalam melakukan pengaturan diri sebagai upaya untuk mempertahankan kekuasaannya ditengah dominasi dan penetrasi otherness – kekuasaan negara dan kelompok penekan lainnya. Dengan menggunakan perspektif tersebut, studi ini meletakkan komunitas adat sebagai space of order dimana kekuasaan adat diproduksi dan direproduksi melalui kekuasaan simboliknya (symbolic power). Self-governing adat diposisikan sebagai upaya pengaturan dan penciptaan kepatuhan individu dan kolektif anggota masyarakat adat. Lokus penelitian dalam studi ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana proses transimisi kekuasaan (hegemoni) adat dari level mikro sampai pada level makro, yaitu produksi dan reproduksi praktik individu dan solidaritas komunitas yang terkait erat dengan politics of recognition. Mungkin sebaiknya studi ini dipandang kurang lebih sebagai studi yang melengkapi fenomena kontemporer tentang demokrasi lokal. Studi ini juga bertujuan untuk memperkaya khasanah politik lokal di Indonesia yang selama ini kurang mempertimbangkan faktor keunikan lokal (adat) dalam merancang desain demokrasi yang baik. D. Kerangka Teoritik Studi ini mengkerangkai beberapa konsep teori dalam upaya untuk menjelaskan bagaimana sumber daya dan strategi komunitas adat Towani Tolotang mereproduksi kekuasaan simboliknya di Amparita. Di dalam penjelasan ini, komunitas adat Towani Tolotang diletakkan sebagai kelompok yang mengalami penguatan dan pengentalan yang bekerja melalui praktik-praktik kuasa adat yaitu praktik-praktik yang mereproduksi kekuasaan simbolik adat. Oleh karena itu, studi ini meminjam beberapa konsep pemikiran dari Pierre Bourdieu untuk menjelaskan praktik-praktik kuasa yang berlangsung di Amparita. Pertama, melalui penyajian pemikiran tersebut dimaksudkan untuk memahami bagaimana nalar dan sumber daya yang melegitimasi praktik-praktik kekuasaan adat. Kedua, pemikiran Bourdieu hadir untuk menjelaskan bagaimana
Page | 13
operasionalisasi praktik-praktik dilakukan oleh adat dalam upaya mereproduksi kekuasaan simbiliknya ditengah penetrasi dan dominasi otherness. Untuk itu, penggunaan kerangka teoritik yang dipakai dalam studi ini meminjam beberapa konsep yang merupakan model analisis khas dari Bourdieu seperti habitus, modal, arena (field), doxa, orthodoxy, dan heterodoxy. A. Konsep Pemikiran Pierre Bourdieu a. Habitus dan Doxa: Sebagai Sumber Legitimasi Konsep habitus dalam pemikiran Pierre Bourdieu sebenarnya merupakan konsep kuno, akarnya dapat dilacak hingga ke gagasan Aristoteles mengenai hexis yang kemudian diterjemahkan Thomas Aquinas ke dalam bahasa Latin menjadi habitus. Istilah ini juga digunakan oleh Hegel, Husserl, Durkheim, Mauss, Weber, Thorstein Veblen, dan Norbert Elias dengan arti yang beragam meski saling berhubungan. Namun pada Bourdieu-lah konsep ini mendapat eksplorasi yang utuh. Habitus dikemukakan Bourdieu sebagai prinsip dan skema yang menghasilkan serta mengatur praktik dan representasi untuk mengatasi dikotomi antara subjektivisme dan objektivisme. Di satu sisi, praktik dan representasi yang dihasilkan habitus bukanlah hasil kepatuhan pada aturan atau struktur objektif seperti diyakini objektivisme. Namun di sisi lain, praktik dan representasi juga bukan keputusan bebas agen layaknya diamini subjektivisme, melainkan diarahkan oleh habitus (Wacquant, 2004:1; bdk. Bourdieu, 1994:12; Swartz, 2002a:651-2). Praktik
yang
dihasilkan
habitus
cenderung
sama
dengan
struktur
pembentuknya, dan dengan demikian cenderung mereproduksi struktur pembentuknya itu. Namun habitus tidak boleh dipahami semata sebagai reproduksi mekanis dari struktur pembentuknya, tetapi lebih merupakan struktur generatif (Bourdieu, 1992:55). Dengan kata lain, habitus adalah sejarah yang menjelma dalam tubuh (Bourdieu, 2002:151), yang berbeda dengan tata bahasa generatif Chomsky yang tidak berakar pada sejarah, melainkan pada struktur pikiran manusia, dan karenanya bersifat kekal dan universal (Wacquant, 2004:2). Singkatnya, habitus adalah produk sejarah, yang menghasilkan praktik individual dan kolektif, artinya menghasilkan sejarah, sesuai dengan skema yang dihasilkan sejarah (Bourdieu, 1995:82).
Page | 14
Habitus dapat dirumuskan sebagai sebuah sistem disposisi-disposisi yaitu skema-skema persepsi, pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama. Agenagen individual mengembangkan disposisi-disposisi ini sebagai tanggapan terhadap kondisi-kondisi obyektif yang dihadapinya. Dengan cara ini, Bourdieu menteorikan penanaman struktur sosial obyektif ke dalam pengalaman mental dan subyektif dari si agen. Habitus dijelaskan sebagai sistem disposisi yaitu kondisi yang terkait dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas menghasilkan habitus, sistem-sistem disposisi yang tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang dibentuk, yang dimaksudkan sebagai struktur-struktur yang membentuk, artinya sebagai prinsip penggerak dan pengatur praktik-praktik hidup dan representasi-representasi, yang disesuaikan dengan tujuan-tujuan tanpa mengandaikan pengarahan tujuan secara sadar dan penguasaan secara sengaja dalam mencapainya. Secara objektif diatur dan teratur tanpa harus menjadi buah dari kepatuhan atas aturan-aturan, dan secara kolektif diselaraskan tanpa harus menjadi hasil dari pengaturan seorang dirigen (pemandu) (Boudieu, 1980:88-89).24 Dalam istilah lain, Bourdieu mendefenisikan habitus sebagai sebuah properti bagi agen (institusi, kelompok, individu) yang terdiri dari sebuah struktur yang distrukturkan (structured structure) dan struktur yang menstruktur (structuring structure). Habitus yang distrukturkan yaitu habitus berada pada kondisi saat ini dan masa lalu, seperti pengalaman pendidikan dan pembawaan keluarga. Sedangkan habitus yang menstuktur yaitu habitus yang membantu membentuk praktik saat ini dan masa datang. Struktur-struktur tersebut terdiri dari sebuah sistem disposisi yang membangun persepsi, apresiasi, dan praktik (Bourdieu, 1990c:53). Disposisi ini bersifat durable dalam lintas waktu dan transposable dalam kemampuannya menjadi aktif ke dalam berbagai ancaman tindakan sosial (1993a:87). Habitus dipahami sebagai struktur subjektif internal yang diperoleh agen melalui pengalamannya dengan menginternalisasi struktur objektif eksternal dunia sosial tempat agen hidup. Kemudian, melalui habitus inilah agen menghasilkan praktik 24
Makalah Haryatmoko yang dipresentasikan di Sekolah Pascasarjana UGM pada tanggal 29 Januari 2014.
Page | 15
yang pada gilirannya membentuk dunia sosial, atau dengan kata lain, menghasilkan struktur objektif eksternal dengan mengeksternalisasikan struktur subjektif internal habitusnya. Habitus adalah struktur yang dibentuk sekaligus membentuk dunia sosial, yang medium dialektika struktur subjektif internal dan struktur objektif eksternal. Habitus terutama tidak bersifat kognitif seperti stok pengetahuan sebagaimana dipahami fenomenologi sosial. Habitus adalah pengetahuan yang menubuh dalam bentuk postur, kecenderungan, dan disposisi. Karena itu, habitus cenderung berada di luar jangkauan kesadaran dan tidak bisa diubah sekehendak hati. Dengan kata lain, pengetahuan yang dipelajari oleh tubuh bukanlah sesuatu yang dimiliki seseorang, melainkan sesuatu yang adalah orang itu sendiri (Bourdieu, 1992:73). Secara umum, habitus dapat dipahami sebagai; (1), jenis sistem disposisi, yang terkait dengan keberadaan suatu kelas (Boudieu, 1980:88-89), (2), hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadarai) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu (Bourdieu, 1994:9, 16-17, 96-126, 138-155, 169173), (3), kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai realitas dan sekaligus penghasil praktik-praktik kehidupan yang sesuai dengan struktur-struktur objektif.25 Habitus yang sudah begitu kuat tertanam serta mengendap menjadi perilaku fisik disebutnya sebagai hexis.26 Berikut ini adalah skema habitus yang jelaskan di atas:
25
Ibid., Liat Reza A.A Wattimena, Berpikir Kritis Bersama Bourdieu, 1 September 2013, http://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-pemikiran-pierre (diakses pada 8 November 2014). 26
Page | 16
Gambar. 1 Habitus
Proses Perolehan
-Hasil Keterampilan -Sumber kreativitas
Dasar Kepribadian
-Etos -Kerangka Penafsiran -Perangkat Sosialisasi -Arah Orientasi Sosial
Logika Sosial
-Berfungsinya masyarakat -Gaya Hidup -Opini
Sumber: Makalah Haryatmoko yang disampaikan di Sekolah Pascasarjana UGM pada tanggal 29 Januari 2014 Selain habitus sebagai sumber legitimasi, Bourdieu secara sosiologis kemudian menguraikan gagasan tentang doxa. Doxa merupakan konsep yang diadopsi dari Husser yang digunakan oleh Bourdieu untuk mendiskripsikan dan menjelaskan praktik dan tindakan alami dalam masyarakat tradisional. Doxa merupakan hubungan kepatuhan langsung yang dibentuk dalam praktik antara habitus dan arena yang berkesesuaian, dan merupakan sesuatu yang diterima begitu saja dari dunia yang mengalir dari pikiran (Bourdieu, 1990a:68). Kesesuaian habitus dengan logika arena (logic of field) dikarenakan oleh kehadiran doxa – the unwritten rule of the game yang mendasari praktik-praktik di dalam arena. Doxa memiliki sejumlah makna terkait dangan jenis pemahaman yang bekerja, tetapi konsep secara luas mengacu pada kesalahpengenalan (misrecognition) dari bentuk kesewenang-wenangan sosial yang menimbulkan ketidakteraturan, nondiscursive, tetapi dihayati dan pengakuan praktis atas kesewenang-wenangan sosial yang sama. Hal ini memberikan kontribusi untuk reproduksinya dalam lembagalembaga sosial, struktur dan hubungan serta pikiran dan tubuh, harapan dan perilaku.27 Doxa mengacu pada pra-refleksif pengetahuan intuitif yang dibentuk oleh pengalaman, 27
Michael Grenfell (ed.), Pierre Bourdieu; Key Concepts, (UK: Acumen, 2008), h. 119-120.
Page | 17
kepada kecenderungan fisik dan relasional yang diwarisi secara tak disadar. Doxa adalah seperangkat keyakinan dasar (a set of fundamental belief) yang bahkan tidak perlu ditegaskan dalam bentuk yang eksplisit, dogma yang di sadari dengan sendirinya (Bourdieu, 2000a:16).28 Doxa terdiri dari seperangkat kepercayaan yang menginformasikan habitus bersama (shared habitus) yang beroperasi ke dalam arena (field). Doxa dalam hal ini merupakan hasil dari penaklukan melalui pernyataan performatif dan normatif yang sering diekspresikan dan direpresentasikan melalui elemen-elemen yang berpengaruh di dalam arena, yang menempatkan arena sebagai dunia dengan aturan dan hukumnya sendiri (nomos), bentuk-bentuk diskursif (logos), kepercayaan normative (illusion), kondisi sosial historis (epoche), tindakan dan prilaku yang diharapkan dan tantangantantangannya.29 Konsep doxa sebagai kepercayaan bersama yang tidak dipertanyaan lagi membentuk sebuah arena, mendasari gagasan yang menghubungkan pada kekuasaan simbolik, secara khusus relevan dengan pemahaman relasi sosial dalam masyarakat modern. Dalam konteks ini, doxa mengambil bentuknya sebagai kekuasaan simbolik yang memediasi berbagai bentuk akumulasi modal (budaya, ekonomi, sosial). Kekuasaan ini dijalankan melalui kebiasaan, mekanisme, perbedaan dan asumsiasumsi,
kekuatan
dan
legitimasinya
berada
di
dalam
kesalah-pengenalan
(misrecognition) atas kareakter kemunculan dan reproduksi sosial historis yang sewenang-wenang.30 Kekuasaan simbolik berasal dari institusi-institusi yang dikenal bersamaan dengan relasi sosial yang terinstitusionalisasi (pendidikan, agama, seni) yang memiliki kekuasaan untuk membangun kategori dan mengalokasikan nilai berbeda di dalam simbol dan yang melegitimasi diri mereka sendiri lebih lanjut dalam proses. Doxa dalam hal ini merupakan bentuk kekuasaan simbolik. Doxa juga dapat dipahami sebagai landasan bidang dalam beberapa arena sejauh itu menentukan stabilitas struktur sosial obyektif yang direproduksi dan
28
Ibid., Ibid. h. 125. 30 Ibid. h. 121. 29
Page | 18
mereproduksi diri dalam persepsi agen sosial dan praktek, dengan kata lain dalam habitus tersebut. Saling penguatan antara arena dan habitus memperkuat kekuatan berlakunya doxa, yang memandu sesuai tabiat untuk pertarungan yang terlibat di dalam arena melalui pengandaian yang terkandung dalam doxa itu sendiri (Bourdieu & Wacquant, 1992a:66,74). Dengan demikian, hubungan saling mengkonstitusi antara arena dan habitus mendorong daya berlaku dari doxa itu sendiri, yaitu orthodoxy. Berikut ini skema tentang relasi konsep doxa, heterodoxy, dan orthodoxy Bourdieu. Gambar. 2 Doxa, Heterodoxy, dan Orthodoxy (Bourdieu)31 Universe of undisputed (undisputed) doxa Opinion Heterodoxy -
Orthodoxy +
Universe of discourse (argument) Dari bagan di atas dapat dijelaskan bahwa kepercayaan kepada doxa hanya bisa diungkapkan ketika dibentuk secara negatif oleh pembentukan arena opini (field of opinion), lokus konfrontasi penetangan wacana, dimana kepercayaan politik terhadap doxa bisa dinyatakan secara jelas atau tetap tersembunyi bahkan di dalam keterkaitannya dalam atau di bawah kedok agama atau oposisi filosofis (Bourdieu, 1995:168). Hal itu didasarkan pada universal of opinion bahwa doxa yang diterima begitu saja harus diselidiki. Sedangkan field of opinion digambarkan dalam perjuangan kelas dimana definisi sosial dipertaruhkan dalam masyarakat kelas baik secara terbuka ataupun laten. Field of opinion yang secara eksplisit dipertanyakan, dan field of doxa yang 31
Pierre Bourdieu, Outline of A Theory of Practice (edisi terj.), (New York: Cambridge University Press, 1995), h. 168.
Page | 19
berada di luar pertanyaan setiap agen secara diam-diam menyetujui dengan fakta bertindak sesuai dengan konvensi sosial (Bourdieu, 1995:169). Hal itu merupakan tujuan mendasar yang dipertaruhkan dalam bentuk perjuangan kelas yang merupakan perjuangan untuk memaksakan sistem klasifikasi dominan. Kelas yang didominasi memiliki kepentingan dalam mendorong kembali batas doxa dan mengungkap kesewenang-wenangan yang diterima begitu saja. Kelas dominan memiliki kepentingan dalam mempertahankan integritas doxa atau dengan kata lain orthodoxy. Di dalam doxa terdapat seperangkat nilai dan wacana, sebagai prinsip-prinsip fundamental bagi arena, dimana kebenaran terkandung di dalamnya. Sikap doxical (doxic attitude) telah membuat tubuh dan ketidaksadaran menerima kondisi-kondisi yang sebenarnya tidak masuk akal dan bersifat mengikat. Doxa beroperasi seolah-olah itu adalah kebenaran obyektif di ruang sosial secara keseluruhan. Praktik dan persepsi individu (pada tingkat habitus) ke praktik dan persepsi dari negara dan kelompok sosial (pada tingkat arena) (Bourdieu, 1995:165-8). Dengan demikian, doxa sesungguhnya merupakan kebenaran obyektif yang diterima dalam lintas ruang sosial, dari praktik dan persepsi individu menjadi praktik dan persepsi yang diterima kelompok atau institusi sosial lainnya (universe of undispute). Artinya, doxa dapat menciptakan legitimasi bagi wacana dominan yang diproduksi dan direproduksi oleh institusi32 yang ada dalam masyarakat. Sebagaimana ruang sosial yang selalu bergerak, di dalam doxa terdapat pertarungan dunia wacana (universe of discourse) antara heterodoxy dan orthodoxy (lihat bagan 2). Heterodoxy adalah opini (wacana) yang berusaha memberikan penilaian negatif terhadap doxa, sedangkan orthodoxy adalah wacana yang terus berusaha mempertahankan (semakin membenarkan) doxa (Bourdieu, 1995:168-169). Dengan demikian, doxa dan habitus dalam studi ini diletakan sebagai sumber legitimasi prakti-praktik sosial. Pada dasarnya, keduanya resisten terhadap perubahan. 32
Istilah institusi yang dipakai Bourdieu bukan berarti sebuah lembaga atau organisasi tertentu, tetapi berlaku bagi keseluruhan relasi sosial yang relatif terus bertahan, yang memberikan berbagai bentuk kekuasaan, status, dan sumber daya hidup kepada individu-individu. Institusi inilah yang memberikan otoritas kepada penutur (agen) untuk melakukan tindakan sebagaimana ujaran yang diucapkan dalam ujaran performatif. Lihat Firman, “Pertarungan Simbolik Dalam Perspektif Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis)”, Tahuri, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2013.
Page | 20
Namun, terdapat proses adaptasi yang selalu terjadi ketika habitus berhadapan dengan situasi-situasi baru, tapi proses tersebut cenderung berjalan lambat, tak disadari, dan cenderung mengelaborasi dari pada merubah secara fundamental kecenderungan mendasar (Swartz, 1997:107). Situasi-situasi baru tersebut hadir karena adanya perubahan sosial (realitas objectif). Perubahan tersebut diikuti oleh munculnya resistensi terhadap doxa yang ada. Resistensi terjadi akibat adanya krisis (hysteresis) yaitu akibat mismatch dan lag time yaitu kondisi yang memicu terjadinya allodoxic.33 Allodoxic adalah perbedaan habitus dalam posisi sosial dengan skema pemahaman yang kadalwarsa akibat perubahan objektif (krisis) atas hidup.34 Hysteresis merupakan pengkondisian arena (a field of condition) yang mempengaruhi individu-individu ke dalam ruang sosial.35 Krisis tersebut ditandai ketika doxa mulai dipertanyakan (field of opinion). Dengan demikian, doxa maupun habitus merupakan sumber legitimasi bagi terjadinya dominasi yang berlangsung melalui kekuasaan simbolik. Kekuasaan tersebut ditopang oleh relasi saling konstitutif diantara arena dan habitus yang membentuk sikap doxical (doxic attitude). b. Arena dan Modal: Sumber Reproduksi Kuasa Arena (field) adalah sebuah metafora spasial dalam sosiologi Bourdieu. Arena mendefenisikan struktur dari setting sosial dimana habitus beroperasi.36 Tiap arena memiliki logika praktiknya (logic of practice) sendiri.37 Bourdieu mendefenisikan arena sebagai: A network, or configuration, of objective relation between positions. These positions are objectively defined, in their existence and in the determinations they impose upon their occupants, agents or institutions, by their present and pontential situation (situs) in the structure of the distribution of species of power (or capital) whose possession commands access to the specific profit that are at stake in the field, as well as by their objective relation to other positions (domination, subordination, homology, etc). (Bourdieu and Wacquant, 1992:97) 33
Michael Grenfell (ed.), Pierre Bourdieu Key Concepts, (London: Acumen, 2008), h. 133. Ibid., h.124 35 Ibid., h.133 36 David Swartz, Culture & Power: The sociology of Pierre Bourdieu, (London: The University of Chicago Press, 1997), h. 117. 37 Michael Grenfell (ed.), h. 70. 34
Page | 21
Arena dibentuk dari jaringan relasi antara posisi yang dihuni oleh agen atau institusi. Arena juga berupa sistem kekuasaan antara posisi-posisi, yang menentukan apakah suatu posisi dominan, subordinat, atau setara terhadap posisi lain, yang ditentukan oleh aksesnya terhadap sumber daya tertentu yang dihargai dan diperebutkan dalam arena tersebut. Arena mengandung arti sebagai arena reproduksi (field of production), sirkulasi (circulation), apropriasi (appropriation of goods), layanan, pengetahuan, status dan posisi kompetitif yang dilakukan oleh aktor-aktor dalam perjuangan mereka untuk mengakumulasi dan memonopoli berbagai modal (capital) yang berbeda (Swartz, 1997:117). Sebuah arena selalu merupakan arena perebutan, pergulatan, dan perjuangan. Batas sebuah arena dan hubungannya dengan arena-arena lain tidak pernah tetap, selalu berubah dan justru menjadi bagian dari pertaruhan yang diperjuangkan. Arena adalah konstrusksi konseptual yang didasarkan atas mode of reasoning - to think in terms of field is to think relationally (Bourdieu dan Wacquant, 1992:96).38 Arena lebih bersifat relasional (dinamis) karena di dalamnya selalu terjadi perubahan, baik karena pertarungan internal antara berbagai posisi di dalamnya maupun karena pergesekannya dengan arena-arena lain (Bourdieu dalam Wacquant, 1989: 39; bdk.Webb dkk. 2002: 28).39 Arena diartikan sebagai sesuatu yang dinamis karena arena merupakan kekuatan yang bersifat otonom dan di dalamnya berlangsung perjuangan posisi-posisi. Perjuangan ini dalam rangka mentransformasikan atau mempertahankan arena kekuasan (field of force). Posisi-posisi ditentukan oleh pembagian modal untuk para aktor yang berlokasi di arena tersebut. Ketika posisi telah dicapai maka mereka dapat melakukan interaksi dengan habitus untuk menghasilkan sikap-sikap yang berbeda dan memiliki efek tersendiri pada ekonomi, pengambilan posisi di dalam arena tersebut.40 Agen tidak hidup di ruang kosong, tetapi selalu terlibat dalam dunia sosial. Jika 38
Ibid. h. 119. Wacquant, Loïc, 1989, “Toward a Reflexive Sociology: A Workshop with Pierre Bourdieu”, dalam Sociological Theory, Vol. 7(1), h. 26-63. 40 Lihat Chapter Rindawati, Habitus dan arena: Proyek Intelektual Pierre Boudieu Membangun Teori Struktural Genetik dalam Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial, (Jogjakarta: Aditya Media Publising, 2010), h. 429-430. 39
Page | 22
habitus adalah sejarah yang menubuh dalam agen, maka dunia sosial (arena) adalah sejarah yang diobjektifikasi dalam benda dan institusi, dalam bentuk struktur dan mekanisme (Bourdieu, 2002:151). Singkatnya, arena adalah ruang beroperasinya habitus dan reproduksi modal. Dalam arena budaya (cultural field) dimana perubahan style dan pengetahuan terjadi secara cepat, field menjadi area perjuangan untuk mendapatkan legitimasi – hak untuk memonopoli praktik-praktik kekerasan simbolik. Arena merupakan ruang dominasi yang distrukturkan dan mensubordinasi posisi-posisi yang didasarkan pada jenis dan jumlah modal (capital). Bourdieu menegaskan posisi-posisi dalam arena ditentukan oleh distribusi kapital yang tidak merata, yang relevan dengan distribusi personal yang menempati arena. Dalam hal ini, arena dipandang sebagai sistem dimana tiap elemen tertentu (institusi, organisasi, kelompok, individu) menjalankan karateristiknya yang berbeda dari hubungannya kepada seluruh elemen lainnya (Swartz, 1997:123). Field pada dasarnya adalah arena kekuasaan, sebuah meta-arena di mana arenaarena yang berbeda dan para agen yang terlibat di dalamnya saling bersaing untuk menentukan prinsip penyusunan hierarki antar arena dan prinsip konversi atau nilai tukar antar jenis modal yang dihargai dalam masing-masing arena. Arena sosial obyektif
menempatkan
persyaratan-persyaratan
bagi
para
pesertanya
untuk
keanggotaan. Karena itu, struktur sosial obyektif diserap ke dalam perangkat personal disposisi-disposisi kognitif dan somatik (somatic). Sedangkan struktur subyektif tindakan agen kemudian disetarakan dengan struktur obyektif dan urgensi yang masih ada dari arena sosial tersebut. Maka muncullah kemudian hubungan yang bersifat doxic (doxa = semacam hymne atau pujian). Terkait dengan arena tersebut, ruang sosial diandaikan sebagai ruang kekuasaan (field of force) yang terdiri dari sub-sub arena (force field). Di dalamnya ada agen dan perubahan. Arena memiliki hirarki dengan agen-agen sosial dominan dan institusi yang memiliki kekuasaan untuk menentukan apa yang terjadi di dalam
Page | 23
arena.41 Field of force terdiri dari force field yang dijalankan melalui hukum yang tak berubah dan imun.42 Force field hadir sebagai entitas mandiri dalam multi arena (field of force) yaitu sebagai sub arena. Antara setiap force field membangun kekuatan oposisinya terhadap force field yang lain yang disebut dengan chiasmatic.43 Dengan kata lain, setiap arena memiliki atonominya masing-masing. Sedangkan hubungan antara habitus dan arena adalah relasi dua-arah. Arena hanya bisa eksis sejauh agen-agen sosial memiliki kecondongan-kecondongan dan seperangkat skema perseptual yang dibutuhkan untuk membentuk arena itu dan mengaruniainya dengan makna. Seiring dengan itu, dengan berpartisipasi dalam arena, agen-agen memasukkan pengetahuan (know-how) yang memadai ke dalam habitus mereka, yang memungkinkan mereka membentuk arena. Singkatnya, habitus mewujudkan struktur-struktur arena, sedangkan arena memperantarai antara habitus dan praktik. Agen terlibat dalam suatu arena untuk mengejar sumber daya yang dihargai dan diperebutkan, oleh Bourdieu disebut dengan modal (capital). Bentuk dan wujud modal bisa beragam, bergantung pada arena tertentu. Sesuatu yang dihargai, artinya menjadi modal, di sebuah arena belum tentu juga dihargai di arena lain (Bourdieu dalam Wacquant, 1989:42). Bourdieu menjelaskan modal sebagai kerja yang terakumulasi (dalam bentuk terbendakan atau menubuh), jika dimiliki secara privat, yakni secara eksklusif, oleh agen atau sekelompok agen, memungkinkan mereka memiliki energi sosial dalam bentuk kerja yang direifikasi maupun yang hidup (Bourdieu, 1986:241), atau dengan kata lain, sekumpulan sumber daya dan kekuasaan yang benar-benar dapat digunakan (Bourdieu, 1996:114). Modal yang dimiliki seseorang akan menentukan posisinya dalam struktur arena dan juga kekuasaan yang dimilikinya. Dengan kata lain, modal adalah prinsip diferensiasi dan prinsip hierarkisasi yang berlaku dalam setiap arena (Bourdieu, 1995a:245).
41
Michael Grenfell (ed.), Pierre Bourdieu Key Concepts, (London: Acumen, 2008), h. 73. Ibid. h. 74 43 Ibid. h. 71. 42
Page | 24
Istilah modal dimasukan ke dalam sistem pertukuran yang lebih luas dimana aset-aset ditransformasikan dan dipertukarkan ke dalam jaringan-jaringan yang kompleks dan arena yang berbeda (Bourdieu dalam Michael Grenfell, 2008:101). Bourdieu membagi modal tersebut ke dalam empat macam, Pertama, modal ekonomi (economic capital), yaitu berupa harta kekayaan, misalnya property, uang dan sejenisnya. Kedua, modal sosial (social capital) yaitu hubungan timbal balik yang menguntungkan. Ketiga, modal budaya (cultural capital), yakni berupa asset-aset informasi berupa pengetahuan dan keterampilan yang dapat dimiliki melalui proses sosialisasi dan edukasi. Keempat, modal simbolik (symbolic capital), yang wujudnya berupa yang menentukan disposisi seseorang dan kemenangannya tergantung pada seberapa besar modal-modal yang dimiliki. Modal-modal tersebut bisa di konversi satu sama lain menjadi modal simbolik. Pada titik ini, kepemilikan modal yang lebih akan menguasai atau mendominasi sebuah arena. Modal budaya dapat mewujud dalam tiga bentuk: bentuk menubuh, terobjektifikasi, dan terlembagakan. Dalam kondisi menubuh, modal budaya berupa disposisi tubuh dan pikiran yang dihargai dalam suatu arena tertentu. Dalam bentuk ini, modal budaya diperoleh melalui proses penubuhan dan internalisasi yang butuh waktu agar berbagai disposisi ini menyatu dalam habitus agen. Modal budaya tidak bisa ditransfer pada orang lain begitu saja layaknya modal ekonomi (Bourdieu 1986:244-6; 1996:53-4). Misalnya, seseorang yang dibesarkan dalam keluarga yang memiliki perpustakaan keluarga dan suka membaca akan menginternalisasi wawasan yang luas dan kecintaan terhadap buku. Disposisi ini pada gilirannya akan dihargai dan menjadi modal di arena akademik (sekolah). Internalisasi disposisi ini membutuhkan investasi dalam bentuk modal ekonomi, misalnya untuk membeli buku dan waktu luang yang terbebas dari tuntutan kerja-kerja ekonomis dan disediakan untuk membaca. Dalam kondisi terobjektifikasi, modal budaya mewujud dalam benda-benda budaya seperti buku, alat musik, karya seni, dsb. Sebagai benda material, modal budaya yang terobjektifikasi dapat dimiliki dengan semata konversi modal ekonomi, juga dapat diwariskan dengan mudah. Namun, untuk memiliki dan memanfaatkannya secara simbolik, modal budaya dalam bentuk ini mensyaratkan kepemilikan modal
Page | 25
budaya menubuh yang sesuai (Bourdieu, 1986:247-8). Misalnya, seseorang yang memajang novel-novel berbahasa Inggris di rak ruang tamunya mengandaikan ia sendiri bisa berbahasa Inggris, suka membaca, dan mampu mengapresiasi sastra. Tak cukup orang sekadar mampu secara ekonomis membeli benda-benda budaya, tapi juga harus mampu menggunakannya secara tepat. Dalam kondisi terlembagakan, modal jenis ini mewujud dalam bentuk khas, yaitu keikutsertaan dan pengakuan dari lembaga pendidikan dalam bentuk gelar akademis dan ijazah (Bourdieu, 1986:247-8). Modal sosial bisa mewujud dalam bentuk praktis atau terlembagakan. Keduanya diproduksi dan direproduksi melalui pertukaran (komunikasi, barang, afeksi, perkawinan, dsb.). Dalam bentuk praktis, modal sosial didasarkan pada hubungan yang relatif tidak terikat seperti pertemanan. Sedang dalam bentuk terlembagakan, modal sosial mewujud dalam keanggotaan dalam suatu kelompok yang relatif terikat seperti keluarga, suku, sekolah, partai, atau organisasi (Bourdieu, 1986: 248-50). Dengan kata lain, modal sosial adalah social networking yang memungkinkan adanya kerjasama dengan pihak lain. Sedangkan modal ekonomi, modal dalam arti sempit adalah modal yang secara langsung bisa dikonversi dalam bentuk uang dan bisa diobjektifkan dalam bentuk hak milik. Modal ekonomi merupakan jenis modal yang relatif paling independen. Jika modal lain lebih terikat pada ranah tertentu, modal ekonomi lebih leluasa ditransfer antar-ranah, juga paling mudah diwariskan pada orang lain (Bourdieu, 1986:243). Jenis modal yang lain adalah modal simbolik. Modal simbolik sebenarnya merupakan modal dari jenis-jenis lain yang disalah-kenali tidak sebagai modal yang semena, melainkan dikenali dan diakui sebagai sesuatu yang absah dan natural (Bourdieu, 1994:134-5; 1986:243 cat. no.3). Misalnya, meneruskan contoh di atas, kecintaan pada buku yang sebenarnya merupakan internalisasi kondisi sosial-ekonomi tertentu yang kontingen, namun tidak dikenali demikian, justru dikenali dan diakui sebagai bakat dan sifat alamiah seseorang. Sifat kontingen dan semenanya disalahkenali sebagai natural. Dengan demikian, modal maupun arena merupakan sumber bagi reproduksi kekuasaan yang ditopang oleh keberadaan habitus dan doxa sebagai sumber legitimasi.
Page | 26
c. Strategi Dominasi Kekuasaan Untuk mereproduksi kekuasaan, sebuah institusi membutuhkan suatu strategi yang tepat untuk membangun dominasinya. Hubungan dominasi tergantung pada situasi (field), sumber daya (capital), dan strategi pelaku. Pemetaan hubungan kekuasaan didasarkan atas kepemilikan kapital-kapital dan komposisi kapital tersebut.44 Bourdieu memandang arena sebagai tempat pertarungan para agen dengan menggunakan berbagai strategi untuk meningkatkan atau mempertahankan posisi objektif mereka. Secara umum, selalu terdapat dua kekuatan kontradiktif yang selalu mewarnai arena politik, yaitu kelompok progressif dan kelompok konservatif, orthodoxy dan heterodoxy. Kontradiksi tersebut didasari oleh perbedaan habitus para aktor. Pertarungan simbolik mencapai klimaks ketika keduanya bertarung untuk mempertahankan atau mengganti doxa menjadi doxa baru (Pierre Bourdieu, 1976:168). Dalam analisis arena, terdapat dua strategi yang saling terhubung, yang satu menghadirkan yang lainnya. Orthodoxy akan menghadirkan keberadaan heterodoxy melalui logika perbedaan (logic of distinction) yang beroperasi dalam arena budaya (Swartz, 1997:124). Dari penjelasan tersebut kita bisa menarik kasimpulan bahwa selalu ada perlawanan (resistance) untuk mengguncang kemapanan doxa, dimana perlawanan tersebut merupakan akibat langsung dari adanya interest (motivasi dan reason) dan perubahan (hysteresis). Terkait dengan upaya mempertahankan atau mengganti doxa menjadi doxa baru, maka ada tiga strategi di dalam upaya perjuangan perebutan kekuasaan di dalam 44
Haryatmoko menjelaskan modal (capital) dalam makalahnya bahwa Konsep Kapital meskipun merupakan khasana ilmu ekonomi dipakai oleh Boudieu karena beberapa cirinya yang mampu menjelaskan hubungan-hubungan kekuasaan; 1), capital terakumulasi melalui investasi, 2), capital bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan, 3), modal dapat member keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya (P.Bonnewitz, 2998:43). Kapital (modal) merupakan hubungan sosial, artinya suatu energi sosial yang hanya ada dan membuahkan hasil-hasil dalam arena perjuangan di mana modal memproduksi dan mereproduksi. Setiap kepemilikan yang terkait dengan kelas menerima nilainya dan efektigitasnya dari hokum-hukum khas setiap arena: dalam praktik, artinya dalam suatu arena khusus, semua disposisi dan kepemilikan objektif (kekayaan ekonomi atau budaya) (Bourdieu, 1979: 127). Lihat Makalah Haryatmoko tentang Habitus dan Kapital dalam Strategi Kekuasaan (teori strukturasi Pierre Bourdieu dengan Orientasi Budaya, yang disampaikan disekolah pascasarjana UGM pada tanggal 29 januari 2014.
Page | 27
suatu arena, oleh Bourdieu, yaitu: pertama conservation, yaitu strategi yang biasa dipakai oleh pemegang posisi dominan dan senior dalam sebuah arena. Kedua, succesion, yaitu strategi yang bertujuan untuk mendapatkan akses terhadap posisiposisi dominan di dalam arena. Posisi dominan tersebut biasanya dikejar oleh para agen pendatang baru. Ketiga, subversion, yaitu strategi yang dipakai oleh mereka yang mengharapkan mendapat bagian kecil saja dari kelompok-kelompok dominan (Swartz, 1996:125). Lebih lanjut menurut Chapra (2003:428), strategi untuk menjalankan tindak dominasi menempuh tiga perjuangan yaitu; pertama, perjuangan untuk memperoleh kepemilikan volume modal dan kepemilikan komposisi modal. Kedua, perjuangan untuk mendefinisikan apa yang berharga dalam sebuah arena (nomos), dan ketiga, perjuangan untuk mengontrol modal yang paling berharga atau paling bermanfaat dalam relasinya satu sama lain (kemudahan dalam memindahkan modal dari satu arena ke arena lainnya). Dengan demikian, terkait dengan strategi, Bourdieu mengusulkan suatu visi pemetaan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat dengan mendasarkan pada logika posisi-posisi dan kepemilikan sumber daya. Pemetaan ini tidak berupa suatu lingkup perbedaan atas dasar kepemilikan kapital dan posisi-posisi kapitalkapital tersebut. Pendekatan ini memperhitungkan bahwa setiap kelas sosial tidak dapat didefenisikan secara terpisah, tetapi selalu dalam hubungan dengan arena-arena lainnya. Strategi tersebut dalam studi ini dimaksudkan untuk menjelaskan cara adat dalam membangun dominasinya di Amparita sehingga menciptakan kepatuhan kepadanya. B. Mendefinisikan Adat Sebagai Rezim Kekuasaan Simbolik (Symbolic Power) Adat adalah istilah dengan beberapa arti dan sejarah. Adat dapat digunakan untuk merujuk kepada adat istiadat setempat, keyakinan, dan praktik. Dalam arti yang lebih luas, adat identik dengan alam semesta simbolik yang memerintahkan dunia (Abdullah, 1966; Benda-Beckmann, 1979). Adat dapat juga dipahami sebagai ideologi hegemonik yang melegitimasi dan struktur kehidupan politik dan seremonial di desa-
Page | 28
desa (Sanday, 1990).45 Mengingat beberapa arti dan tingkat pemahaman, adat lebih dari aturan kekerabatan dan perilaku atau sekedar resep untuk sebuah rangkaian upacara. Merujuk pada Taufik Abdullah (1966), adat didefinisikan sebagai kebiasaan setempat yang mengatur interaksi anggota masyarakat. Tapi di sisi lain, adat juga dipahami sebagai sistem struktur seluruh masyarakat, sedangkan adat setempat hanya menjadi komponen saja. Adat dalam pengertian kedua ini membentuk seluruh sistem nilai, dasar dari semua pertimbangan etika dan hukum, serta sumber harapan sosial. Bagi P.E. De Josselin de Jong, adat dipahami sebagai pola ideal perilaku.46 Istilah adat dalam hal ini, digunakan untuk menunjukkan seluruh kompleksitas adat, aturan, kepercayaan, dan etika yang diturunkan oleh tradisi dari zaman dahulu.47 Sedangkan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) mendefenisikan bahwa adat lebih dari ritual dan tarian, sistem kehidupan, dan cara hidup lokal. Singkatnya, adat pada dasarnya telah sejak duhulu menjadi sistem sosial dan pola ideal prilaku bagi masyarakat adat. Dalam perkembangannya, adat kemudian menjadi wacana dasar bagi identitas suatu etnis yang berkembang secara berbeda di seluruh Indonesia. Apa yang mendasari perbedaan dari satu etnis dengan kelompok etnis yang lain, tergantung pada posisi mereka dalam kaitannya dengan tetangga etnis, administrator kolonial, negara pascakolonial, dan agama-agama dunia (Kipp dan Rodgers, 1987).48 Di Indonesia, wacana adat berkonotasi ketertiban dan konsensus. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, adat selalu terkait dengan aktivisme, mobilisasi, protes, dan konflik 45
Lihat Evelyn Blackwood,”Representing Women: The Politics of Minangkabau Adat Writing”, The Journal of Asian Studies, Vol. 60, No. 1 (Feb., 2001), h. 125-149. 46 Adat adalah segala bentuk kesusilaan dan kebiasaan orang Indonesia yang menjadi dasar prilaku sosial mereka sehari-hari. Adat dapat dibagi dua jenis yang merupakan jaringan erat, tanpa pemisahan tegas antara keduanya, yaitu (1) adat-istiadat yang tidak mempunyai akibat hukum atau reaksi adat, yang mencakup upacara adat dan sopan santun; dan (2) adat istiadat yang mempunyai akibat hukum atau reaksi adat, yang disebut hukum adat. Lihat catatan kaki Arie Sujito, Melepas Jeratan Kolonialisasi (Catatan Pemberdayaan Masyarakat Adat di Musi Rawas Sumatera Selatan), (Jogjakarta: IRE, 2005), h. 1. 47 Lihat Taufik Abdullah, “Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau”, Southeast Asia Program Publications at Cornell University, No. 2 (Oct., 1966), h. 1-24. 48 Ibid.,
Page | 29
kekerasan. Di era pasca-Suharto, masyarakat dan kelompok etnis di seluruh Indonesia secara terbuka, vokal, dan kadang-kadang keras, menuntut hak untuk menerapkan unsur-unsur adat atau hukum adat di wilayah rumah mereka (David Henley dan Jamie S Davidson, 2008).49 Kondisi itu berbeda dengan era Orde Baru, dimana wacana adat telah memaksa kelompok etnis untuk memutuskan apa yang dianggap sebagai adat mereka. Dalam konteks kebangkitan adat kontemporer, istilah adat digunakan hanya untuk merujuk pada praktek tertentu, yang dihormati dan terlembaga, yang diwarisi oleh masyarakat dari pada dipaksakan oleh negara, dan dinilai memiliki relevansi dengan masalah politik saat ini. Dua hal lainnya dalam menggunakan istilah adat dengan cara yang lebih abstrak dalam konteks politik kontemporer yaitu; pertama adalah merujuk pada kompleksitas hak dan kewajiban yang mengikat bersama-sama yang berlangsung dalam tiga hal - sejarah, tanah, dan hukum - yang muncul lebih spesifik di Indonesia. Inti dari hubungan ini adalah bahwa domain yang paling penting dari hukum adalah kontrol tanah, dan bahwa kontrol sejarah itu berasal dari tanah dan pada gilirannya sumber paling penting adalah hak atas tanah. Pada tingkat kedua, adat dipahami sebagai seperangkat ide atau asumsi tentang seperti apa seharusnya sebuah masyarakat yang ideal.50 Dengan demikian, kebangkitan adat tidak sama dengan adat itu sendiri, yang diadvokasi oleh gerakan masyarakat adat atas nama hak-hak adat yang merupakan “invented tradition” atau tradisi-tradisi temuan (Hobsbawm dan Ranger, 1983).51 Di era pasca Orde Baru, adat telah datang tidak hanya sebagai identitas dan ritus simbolik tapi menjadi sistem nilai dan kepercayaan yang mengkonstitusi setiap anggota kelompok masyarakat adat dalam habitusnya. Dalam arena politik, adat kemudian menjadi sumber pemaknaan dan desain dalam politik kontemporer. Adat dalam pengertian ini, tidak hanya diletakan sebagai space of order dimana modal simbolik diproduksi dan dipertahankan oleh para pemimpin adat, tetapi juga sebagai 49
Lihat David Henley and Jamie S. Davids, “In the Name of Adat: Regional Perspectives on Reform, Tradition, and Democracy in Indonesia”, Modern Asian Studies, Vol. 42, No. 4 (Jul., 2008), h. 815-852. 50 Ibid., 51 Ibid.,
Page | 30
instrument yang menjalankan symbolic power. Adat sebagai instrument symbolic power berasal dari modal simbolik yang dimiliknya yang berupa pengakuan, dilembagakan atau tidak, yang diterima dari kelompok (Bourdieu, 1991:72).52 Modal simbolik ini adalah tidak lain dari modal lainnya ketika diketahui dan diakui melalui kategori persepsi yang memaksa, hubungan kekuasaan simbolis cenderung untuk mereproduksi dan memperkuat hubungan kekuasaan yang merupakan struktur dalam ruang sosial (field). (Bourdieu, 1989: 21).53 Modal simbolik sendiri juga bisa merupakan merupakan hasil transformasi dari modal ekonomi, sosial, dan kultural ke dalam bentuk yang baru, dan memiliki kekuatan yang besar. Kekuatan modal simbolik yang sangat besar pada akan menciptakan kuasa simbolik (symbolic power), yaitu kekuatan untuk “mengkuduskan” agar menjadi sakral (legitimasi).54 Kekuasaan simbolik merupakan doxa, dimana doxa mengambil bentuk kekuasaan simbolik yang dimediasi oleh berbagai bentuk modal (capital) yang terakumulasi.55 Doxa sebagai kekuasaan simbolik mensyarakatkan ketundukan, tidak mempertanyakan legitimasinya dan legitimasi yang menggunakan kekuasaan itu. Dengan demikian, posisi adat sebagai sumber pemaknaan, sistem nilai, etika, imajinasi sosial, dan ideologi telah menjadikan adat sebagai points of references yang digunakan untuk melegitimasi semua praktik anggota masyarakat adat sekaligus membentuk kepatuhan. E. Metode Penelitian a. Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di Sidenreng Rappang yang secara administrasi pemerintahan termasuk dalam wilayah Kabupaten Sidrap, Provinsi Sulawesi Selatan. Lokasi penelitian mengambil setting di sebuah daerah yang disebut dengan Amparita. Amparita merupakan daerah kesatuan masyarakat adat Towani Tolotang sehingga memiliki aturan yang berbeda daerah lainnya. Di daerah tersebut, masyarakat adat Towani Tolotang khususnya di daerah Amparita menjadi lokasi perlarian dari 52
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power (edisi terj.), (Cambridge: Polity Press, (1991). Pierre Bourdieu, “Social Space and Symbolic Power”, Sociological Theory, Vol.7. No. 1, 1989, h. 14-25. 54 Lihat David Swartz, Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu, (London & Chicago: The Univerisity of Chicago Pres, 1997), h. 49. 55 Cecile Deer,”Doxa”, di dalam Michael Grenfell, Pierre Bourdieu: Key Concepts, (UK: Acumen Publishing, 2008), h. 121-122. 53
Page | 31
islamisasi yang dilakukan Raja Wajo dahulu pada tahun 1666. Dalam pelarian itu, orang-orang Towani Tolotang ada yang ke Bacukiki yaitu daerah yang sekarang ini berada adalam wilayah Pare-Pare dan ada yang ke Barat yaitu daerah yang dikuasai oleh kerajaan Sidendreng Rappang yaitu Amparita. Hal yang mendasari Amparita dijadikan lokasi penelitan adalah; pertama, karena Amparita menjadi kiblat bagi masyarakat adat Towani Tolotang dalam beribadah. Kedua, Amparita menjadi daerah dimana praktik-praktik adat Towani Tolotang sangat kental diberlakukan. Ketiga, Amparita daerah dihuni oleh mayoritas masyarakat adat Towani Tolotang, hampir 90% penduduknya adalah masyarakat adat Towani Tolotang. Keempat, Amaparita merupakan daerah yang secara geografis merupakan daerah yang dihuni oleh masyarakat bugis sehingga secara kultural memiliki kedekatan yang intim dengan masyarakat adat Towani Tolotang. b. Teknik pengumpulan data Dalam rangka pengumpulan data, peneliti melakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian dengan berpartisipasi dan berbaur langsung dengan masyarakat Adat Towani Tolotang. Dengan demikian peneliti dapat mencermati peran timbal balik antara sejumlah variabel yang berbeda dalam situasi yang wajar dan dalam konteks yang tidak dimanipulasi. Prosedur kerja dalam pengumpulan data dan analisis data, penelitian ini menekankan dimensi eklektik,56 yaitu bersifat memilih yang terbaik dari berbagai sumber data sehingga bisa mendapatkan data yang lebih komprehensif dan mendetail dalam mendekati realitas sosial. Dengan kata lain, penelitian ini juga menghendaki metode pengumpulan data yang bersifat triangulasi, yakni kegandaan dan keragaman sumber data dan cara untuk mengumpulkan data serta mengorganisir informasi.57 Berikut ini merupakan langkah-langkah dalam pencarian data: 1. Riset Pustaka Riset pustaka dilakukan dengan mengumpulkan data-data tertulis dan nontertulis baik buku, pernyataan, dokumen dan laporan kegiatan terkait dengan komunitas adat Towani Tolotang. Termasuk buku-buku profil dan biografi, monograf56 57
Agus Salim (Peny.), Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 157. Ibid.,
Page | 32
monograf advokasi, dan berita-berita media terutama media massa lokal. Semua data yang diperoleh dalam riset pustaka memberikan informasi penting tentang komunitas adat Towani Tolotang. Karena itu juga riset pustaka ini melakukan seleksi terhadap sumber informasi pustaka dalam arti yang dijadikan bahan-bahan kajian adalah material-material tertentu yang membantu penulis membaca konteks sejarah dan dinamika perkembangan wacana dalam masyarakat adat Towani Tolotang. Pernyataan-pernyataan dari berbagai pihak (stakeholders) tentang adat Towani Tolotang yang memiliki arti penting karena selain membentuk imaji tentang dunia dan manusia Towani Tolatang, pernyataan itu diucapkan dan diluncurkan dari sebuah posisi dalam relasi-kuasa. 2. Riset Lapangan Riset lapangan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi penting terkait praktik-praktik yang dilakukan oleh masyarakat adat Towani Tolotang. Hal ini dilakukan melalui wawancara mendalam (in depth interview), wawancara tak terstruktur, dan diskusi terbatas. Wawancara dan diskusi difokuskan untuk mendapatkan pendapat, cerita dan informasi tentang adat, politik, pembangunan, keagamaan, identitas dan keagenan kepada para responden ataupun informan. a. Pengamatan terlibat/observasi partisipatif. Metode ini mengharuskan peneliti untuk melibatkan diri (live in) dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya dengan hidup, tinggal dan berbaur dengan masyarakat adat. Fokus dari metode tersebut adalah pengumpulan data dan informasi dengan mengerahkan segala kekuatan panca indera yang dimiliki peneliti untuk melihat bagaimana reproduksi kuasa adat berlangsung. Oleh sebab itu, peneliti bukan hanya mengamati gejala-gelaja yang ada dalam keseharian masyarakat yang ditelitinya tapi juga melakukan diskusi, mendengarkan, merasakan dan dalam batas-batas tertentu melalui pelibatan diri dalam kehidupan masyarakat Amparita. b. Wawancara mendalam (in depth interview). Wawancara yang dilakukan ditekankan pada wawancara yang bersifat dialogis dan bisa bersifat formal maupun informal. Ketika peneliti melakukan wawancara dengan para elite pemimpin agama dan suku dan aktor-aktor negara, peneliti
Page | 33
melakukan wawancara terstruktur sehingga suasana diskusi yang terbangun bisa kemudian bersifat formil. Namun, ketika peneliti melakukan wawancara tidak terstruktur dengan para pemimpin adat/ketua suku ataupun masyarakat lokal, peneliti membangun suasana dialog yang lebih bersifat informal dan lebih bersifat spontan sesuai dengan suatu masalah atau topik yang kebetulan sedang dihadapi oleh pelaku. Adapun informan atau responden yang menjadi target dari studi ini meliputi: a. Para pemimpin adat di Amparita, terutama para tetua adat dan para kepala suku (uwatta dan uwa) di desa Amparita, dan yang tersebar di Sidenreng Rappang. b. Pemerintah daerah, yakni elit-elit politik di Sidrap dan Amparita secara umum. Peneliti khususnya melakukan wawancara juga dengan kepala desa di Amparita sebagai representasi kekuatan negara di level yang lebih rendah. c. Kelompok mayoritas (kelompok Islam dan suku Bugis) di Kabupaten Sidrap, yaitu elit-elit Islam dan Bugis seperti tokoh agama (ulama) dan tokoh adat. d. Para LSM yang berkecimpung di bidang budaya dalam hal ini LSM Sempugi dan beberapa LSM lain yang terkait. e. Masyarakat lokal di beberapa daerah di Amparita yang merupakan lokasi penelitian tempat peneliti tinggal. f. Para pemimpin Agama Hindu, yaitu tokoh-tokoh agama Hindu dimana kelompok masyarakat adat Towani Tolotang berafiliasi. c. Metode Analisis Data Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif dengan mengkombinasikan metode live-in dalam pelacakan data dan metode analisis wacana dalam analisis data. Analisis wacana sebagai pendekatan teoritis mengharuskan penggunaan metode kualitatif. Analisis wacana dipilih karena dua pertimbangan. Pertama, analisis ini belum pernah digunakan oleh para peneliti-peneliti sebelumnya terkait dengan objek penelitian dalam studi ini. Kedua, analisis wacana berguna untuk menjelaskan terbentuknya rezim kekuasaan adat (kekuasaan simbolik) dalam proses menstrukturnya doxa pada level mikro (habitus) dan pada level makro (field) yang ditopong oleh modal (capital). Dalam penelitian ini data-data yang diperoleh dipahami
Page | 34
sebagai material wacana. Data tak saja bercerita tentang tindakan dan kesadaran melainkan melaluinya problematisasi atas cara kerja wacana dimungkinkan. Karena itu, pengertian metode kualitatif di sini dimengerti sebagai metode mengumpulkan peristiwa, cerita dan berita yang berlangsung dalam wacana tertentu. Lokus yang menjadi pusat perhatian adalah nalar dan cara, logic of practice, dan dengan apa wacana beroperasi. Analisis wacana yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan perspektif post-marxisme Foucault yang melihat penyelenggaraan kekuasaan mereproduksi pengetahuan sebagai basis dari kekuasaannya.58 Wacana kekuasaan (doxa) kemudian memproduksi realitas tertentu (epoche), bentuk-bentuk wacana tertentu (logos), kepercayaan normatif tertentu (illusio) melalui prinsip-prinsip regulatif (nomos) sebagai upaya penciptaan kepatuhan terhadap adat. Kendall dan Wickham (1999:139) mengatakan bahwa analisis budaya dengan menggunakan pemikiran dan metode dari Foucault harus melihat budaya sebagai perangkat praktik pengaturan yang bertujuan untuk membentuk subyek tertentu. Dengan menggunakan model analisis teoritik dari pemikiran Pierre Bourdieu, metode analisis wacana digunakan untuk menjelaskan proses transmisi wacana adat sehingga menjadi wacana dominan di Amparita. Dalam nalar Bourdieu, doxa merupakan struktur terdalam dari wacana adat yang menstrukturisasi pikiran dan praktik masyarakat adat. Doxa tersebut terbentuk dari hasil kombinasi antara habitus pada level mikro bertemu dengan arena (field) pada level makro dan ditopang oleh berbagai jenis modal (capital). Sehingga strategi-strategi untuk merangkai berbagai elemen dalam proses menstrukturnya doxa tersebut menjadi suatu yang niscaya dalam proses analisis ini. Proses dalam analisis ini dimulai dengan menjelaskan bagaimana nalar dan sumber daya yang dibangun oleh adat. Proses ini ditempuh dengan menguraikan simpul-simpul dan element-element dasar adat yang meliputi tinjauan historis, sosialbudaya, politik yang menopang bangunan rasionalitas adat. Penyelidikan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi sumber daya (capital) dalam relasinya dengan 58
Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 65.
Page | 35
berbagai aspek kehidupan masyarakat adat Amparita dimana wacana adat itu beroperasi. Dengan demikian, data tersebut dihimpun untuk menunjukkan basis sumber daya (capital) yang melegitimasi kekuasaan adat. Proses analisis selanjutnya adalah dengan menguraikan bagaimana strategi reproduksi kekuasaan simbolik (symbolic power) adat melalui modal (capital) dan arena (field) sebagai sumber reproduksi kekuasaannya sekaligus sebagai respon adat atas hadirnya wacana pinggiran (heterodoxy) yang mencoba menggugat kekuasaan simbolik adat. Proses analisis ini, pertama-tama dengan mengidentifikasi komposisi modal (capital), kondisi arena (field) dimana terdapat penerimaan (acceptability) dan kemungkinan (probability) terhadap adat, dan strategi penempatan modal. Analisis atas ini ditempuh dengan menjelaskan berbagai data yang menyorot berbagai peluang, modal, dan strategi yang tepat dalam mereproduksi kekuasaan simbolik adat. Dengan demikian, dari analisis tersebut, kita bisa menjelaskan proses reproduksi kekuasaan simbolik (symbolic power) adat yang mengentalkan doxa adat sekaligus bisa menstrukturisasi subyek-subyek adat. F. Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari lima bagian. Adapun sistematika penulisan sebagai berikut: Bab Satu (I) berisi seputar penjelasan kepada pembaca tentang masalah mendasar dari penelitian, termasuk di dalamnya mengapa masalah penelitian ini penting untuk dikaji pada masa sekarang. Secara keseluruhan, uraian dalam bab ini bercerita tentang konteks teoretis dan konteks praktis yang melatar belakangi pengkajian self governing adat. Selain itu, kerangka teori dan konsep-konsep utama Pierre Bourdieu dijelaskan secara singkat dan padat yang nantinya dapat terbaca dalam bab-bab selanjutnya. Dengan konsep-konsep itulah studi ini mendapatkan basis dan cara menganalisis data-data yang dikumpulkan dari studi pustaka dan studi lapangan. Bab Dua (II) memuat penjelasan sejarah perkembangan budaya masyarakat di Sulawesi Selatan. Tujuannya menguraikan karakteristik masyarakat Sulawesi Selatan yang bersifat culture oriented. Alur argumentasinya akan dimulai dengan menjelaskan setting sosial budaya Sulawesi Selatan, kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan
Page | 36
epos adat Towani Tolotang dari waktu ke waktu. Setelah itu penjelasan difokuskan pada pengidentifikasian simpul-simpul habitus yang menjadi orientasi dan penopang kehidupan sosial politik masyarakat Sulawesi selatan, secara khusus masyarakat adat Towani Tolotang. Pengkategorisasian ini meminjam konsep dari Bourdieu mengenai arena, habitus dan doxa. Bab Tiga (III) menelusuri sumber-sumber kekuasaan yang memproduksi dan mereproduksi praktik-praktik kuasa adat Towani Tolotang di Amparita, Kabupaten Sidrap. Tujuan utamanya menjelaskan akar rasionalitas yang menopang kekuasaan adat. Pada bab ini, alur argumentasi akan dimulai dari menjelaskan rangkaian gagasangagasan yang membangun akar rasionalitas dan praktik-praktik adat. Kemudian dilanjutkan dengan mengkategorisasikan beberapa konsep-konsep adat tersebut yang dijadikan sebagai sumber legitimasi (capital) kekuasaan adat Towani Tolotang. Dalam bab ini, konsep modal (capital) Bourdieu menjadi sangat penting. Bab Empat (IV) akan memuat penjelasan tentang strategi reproduksi kekuasaan adat, yaitu reproduksi atas kekuasaan simbolik adat. Tujuan utamanya adalah menguraikan beberapa strategi yang dipraktikan oleh adat dalam mereproduksi kekuasaan simboliknya di Amparita sebagai respon dari hadirnya wacana yang menggugat adat (heterodoxy). Bab ini dimulai dengan penjelasan tentang strategistrategi yang dilakukan oleh adat dalam mereproduksi kekuasaan simboliknya. Kemudian dilanjutkan dengan penjelasakn tentang trajektori masa depan dominasi adat di Amparita. Konsep-konsep doxa, orthodoxy, heterodoxy, symbolic power, modal, dan habitus menjadi penting untuk melihat operasionalisasi kekuataan adat di tingkat lokal. Sedangkan pada Bab Enam (V) adalah bab terakhir yang merupakan rekapitulasi argumen berupa kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah diajukan sebelumnya yang diletakkan sebagai kesimpulan penulis.
Page | 37