BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Dalam deklarasi PBB untuk hak asasi manusia (Declaration of Human Rights) disebutkan bahwa sehat merupakan salah satu hak asasi manusia, sehingga merupakan kewajiban suatu negara untuk menjamin kesehatan masyarakatnya (United Nations, 1949). Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28H ayat 1 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam mewujudkan manusia yang sehat selain tersedia pelayanan kesehatan, tidak kalah penting tersedianya obat sebagai salah satu intervensi dalam pelayanan kesehatan (DPR RI, 2002). Dari laporan WHO (World Health Organization) dalam The World Medicine Situation 2011 disebutkan bahwa setiap tahun diperkirakan US$ 5.3 triliun dikeluarkan negara-negara seluruh dunia untuk pelayanan kesehatan, dengan 25% dari total anggaran kesehatan digunakan untuk obat (Kohler & Baghdadi-Sabeti, 2011). Namun demikian, sepertiga dari penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap kebutuhan obat mereka. Situasi ini lebih buruk lagi terjadi pada negaranegara miskin di Asia dan Afrika dengan lebih dari 50% penduduknya juga tidak memiliki akses obat esensial. Sementara itu sedikitnya 10 juta kelahiran hingga umur satu tahun dapat diselamatkan dengan meningkatkan akses terhadap obat esensial dan vaksin (WHO-HAI, 2008). Sejak tahun 2003 WHO-HAI telah menerbitkan panduan untuk mengukur harga dan ketersediaan obat dalam buku Medicine Price – A New Approach to Measurement. Pada tahun 2008 WHO-HAI telah menerbitkan kembali buku panduan baru Measuring Medicine Prices, Availability, Affordability and Price Component 2nd Edition. Dengan menggunakan pedoman tersebut WHO pada tahun 2011 melaporkan bahwa ketersediaan obat esensial generik pada sektor publik kurang dari
2
60% dan ketersediaan obat originator pada sektor swasta lebih rendah dari obat generik (Cameron et al., 2011). Hasil penelitian Batangan & Juban (2009) di Filipina pada tahun 2008-2009 diketahui ketersediaan parsial obat esensial indikator di fasilitas kesehatan publik sebesar 53.3% dan di fasilitas kesehatan swasta sebesar 100%. Sementara itu dari hasil penelitian Anson et al., (2010) ketersediaan obat esensial anak di Guatemala sangat rendah dengan rerata 23% di fasilitas sektor publik dan 35% di sektor swasta. Sedangkan dari penelitian Anggriani (2011) ketersediaan 50 item obat esensial generik di sektor swasta di empat provinsi di Indonesia diketahui ketersediaan obat tinggi (ketersediaan >80%) sebanyak 11 item (26%), cukup (ketersediaan 50-80%) sebanyak 15 item (36%), rendah (ketersediaan 30-50%) sebanyak 5 item (12%) dan sangat rendah (ketersediaan <30%) sebanyak 11 item (26%). Sementara itu secara nasional pengukuran ketersediaan obat yang dilakukan Kementerian Kesehatan Indonesia dengan menggunakan indikator tersendiri. Obat yang menjadi indikator ketersediaan sebanyak 135 item dan vaksin 9 item dengan menetapkan 18 bulan sebagai tingkat ketersediaan (12 bulan kebutuhan + 3 bulan cadangan + 3 bulan waktu tunggu pengadaan) (Kementerian Kesehatan, 2011a). Indikator ketersediaan ini hanya menggambarkan pada sektor publik saja, khususnya di Puskesmas bahkan sektor publik lainya seperti di rumah sakit tidak diketahui tingkat ketersediaanya apalagi sektor swasta (private sector). Pada sektor publik khususnya Puskesmas, ketersediaan obatnya masih bergantung kepada Instalasi Farmasi Kabupaten (IFK) yang anggaran untuk memenuhi kebutuhan obat tentu sangat terbatas pada setiap kabupaten. Sejak tahun 2010 pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menyediakan anggaran obat dan perbekalan kesehatan untuk setiap kabupaten/kota melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), dengan besaran yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan ketersediaan APBN. Selanjutnya obat yang disediakan oleh dinas kabupaten/kota belum tentu dapat menjamin ketersediaan dan obat yang diadakan sesuai dengan kebutuhan untuk pelayanan.
3
Dari laporan Kementerian Kesehatan tahun 2012 diketahui bahwa persentase ketersediaan obat dan vaksin di tiap provinsi bervariasi antara 65.50%-129.45% dengan total anggaran sebesar Rp1.100.685.000.000 untuk 444 kabupaten/kota (Kementerian Kesehatan, 2011b). Dari 26 provinsi yang melaporkan ketersediaan obat dan vaksin paling rendah adalah Provinsi Maluku (65.50%) dan paling tinggi Provinsi Kalimantan Barat (129.45%), sedangkan untuk Provinsi Bengkulu sebesar 103.40% (Kementerian Kesehatan, 2013a). Perbedaan indikator yang digunakan antara Kementerian Kesehatan dan WHO-HAI dalam mengukur ketersedian obat, menjadikan data ketersediaan obat di Indonesia tidak tersedia pada data WHO. Situasi ini mendorong peneliti untuk menyusun daftar obat esensial indikator untuk mengukur ketersediaan obat di provinsi Bengkulu.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian yaitu belum adanya daftar obat esensial indikator untuk mengukur ketersediaan obat di sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah maupun sarana pelayanan kesehatan milik swasta, dan belum adanya data ketersediaan obat esensial di sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah dan milik swasta di enam kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk
meningkatkan
kualitas
pelayanan
kesehatan
melalui
terjaminnya
ketersediaan obat esensial di semua sarana pelayanan kesehatan. 2. Tujuan Khusus a. Menyusun daftar indikator obat esensial untuk mengukur ketersediaan obat di sarana pelayanan kesehatan.
4
b. Untuk mengetahui ketersediaan obat esensial di sarana pelayanan kesehatan milik publik dan swasta di enam kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu, yaitu rumah sakit umum daerah, Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) dan apotek.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Pengembangan metode pengukuran ketersediaan obat esensial yang dapat diterapkan di semua fasilitas pelayanan kesehatan. 2. Manfaat Praktis a. Dapat mengetahui ketersediaan obat esensial di fasilitas pelayanan kesehatan di Provinsi Bengkulu. b. Dapat mengetahui ketersediaan obat esensial di sektor publik dan swasta. c. Dapat menjadi bahan masukan bagi Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam mengevaluasi ketersediaan obat esensial.
E. Keaslian Penelitian Penelitian yang membahas ketersediaan obat telah banyak dilakukan, adapun persamaan dari penelitian ini adalah menggunakan pedoman WHO-HAI untuk mengukur ketersediaan obat di sektor publik dan swasta, tetapi mempunyai subyek, tempat, waktu, tujuan dan disain yang berbeda. Bertoldi et al. (2009) judul penelitian Medicine Prices and Availability in Southern Brazil, tujuan penelitian untuk evaluasi harga obat di sektor swasta dan ketersediaan di sektor publik dan swasta, perbandingan 3 tipe obat yang tersedia di Brazil (originator brands, generics, and similar). Metode yang digunakan studi deskriptif, Metode WHO-HAI, sampel 50 item obat di 22 fasilitas sektor publik, 30 sektor swasta di 6 provinsi. Hasil yang diperoleh pada sektor publik tidak ditemukan
5
originator brand, similar medicine 2-7 lebih tinggi dari generik, pada sektor swasta originator 65%, generic 74%, similar 48%. Anson et al. (2010) judul penelitian Availability, prices and Affordability of the World Health Organization’s Essential Medicines for Children in Guatemala. Tujuan penelitian mengukur ketersediaan, harga dan keterjangkauan obat anak di Guatemala. Metode yang digunakan Cross sectional, Metode WHO-HAI, sampel 27 item obat di 29 fasilitas sektor swasta dan 21 sektor publik. Hasil penelitian ketersediaan di sektor publik sangat rendah rerata 25% dan di sektor swasta 35%. Cepuch et al. (2010) judul penelitian Monitoring Medicine Prices and Availabilty in Kenya Using WHO-HAI Methodology 2009-2010. Tujuan penelitian mendokumentasi ketersediaan dan harga dari obat esensial di fasilitas sektor publik dan sektor swasta. Metode yang digunakan Metode WHO-HAI, sampel 26 item obat di 32 fasilitas sektor publik, 32 sektor swasta, di 4 provinsi. Hasil yang diperoleh rerata ketersediaan obat esensial di sektor publik 69% dan sektor swasta 80%. Swain et al. (2010) judul penelitian A Study of pricing and availability of Children’s Medicine in Orissa State. Tujuan penelitian menilai ketersediaan dan harga obat esensial anak di sektor publik dan sektor swasta di Orissa State. Metode yang digunakan Cross Sectional, WHO-HAI, sampel 34 item obat esensial anak, 14 fasilitas sektor publik dan 14 fasilitas sektor swasta di 6 kabupaten. Hasil penelitian rerata ketersediaan di sektor publik 17.0±26.1, dan 21.8±30.7, sektor swasta 10.8% dan 38.5%. Anggriani (2011) judul penelitian Generic Medicine Pricing Policies Evaluation In Indonesia and The Impact on Availability and Medicine Price in Private Sectors. Tujuan penelitian evaluasi kebijakan harga obat generik dan dampaknya terhadap harga dan ketersediaan di sektor swasta. Metode yang digunakan Metode WHO-HAI, sampel 50 item obat indikator di sektor swasta di 4 provinsi. Hasil penelitian ketersediaan obat tinggi (>80%) sebanyak 11 item (26%), cukup (50-80%) sebanyak 15 item (36%), rendah (30-50%) sebanyak 5 item (12%) dan sangat rendah (<30%) sebanyak 26%.
6
Penelitian ini Ketersediaan Obat Esensial di Sarana Pelayanan Kesehatan Sektor Publik dan Swasta di Provinsi Bengkulu Dengan Menggunakan Metode WHO-HAI. Tujuan penelitian untuk mengetahui ketersediaan obat esensial di sarana pelayanan kesehatan milik publik dan swasta di enam kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu, yaitu rumah sakit umum daerah, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan apotek. Metode yang digunakan Mix Method Research dengan dua tahap, yaitu tahap I menyusun daftar obat esensial sebagai indikator untuk ketersediaan dengan Metode Delphi dan tahap II mengukur ketersediaan obat dengan metode WHO-HAI, metode penelitian survei deskriptif dengan disain penelitian cross sectional. Survei pada 42 sektor publik (36 Puskesmas dan 6 RSUD) dan 34 apotek. Hasil penelitian daftar obat indikator sebanyak 51 item terdiri 13 item obat global, 8 obat regional dan 30 item obat nasional. Dengan capaian rerata pada sektor publik obat generik sebesar 57,2% (SD 34,1%) dan obat bermerek sebesar 4% (SD 6,1%). RSUD rerata ketersediaan obat generik sebesar 71,7% (SD 32,2%) dan obat bermerek sebesar 21,3% (SD 29,2%). Puskesmas rerata ketersediaan obat generik sebesar 54,8% (SD 36,1%) dan obat bermerek sebesar 1,2% (SD 4,3%). Sektor swasta rerata ketersediaan obat generik sebesar 43,1% (SD 29,4%) dan obat bermerek sebesar 31,4% (SD 32,9%).