BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejadian luar biasa (KLB) suatu penyakit memberikan dampak kerugian yang signifikan terhadap kesehatan, ekonomi maupun sosial. Ketika terjadi KLB, ilmu kesehatan masyarakat berperan utama dalam hal pengawasan penyebaran dari penyakit tersebut, sehingga dapat meminimalisir angka kesakitan baru, angka kematian, dan dampak negatif lain yang ditimbulkan. Elemen kunci dari peran ini adalah aspek komunikasi yang harus dilakukan secepat mungkin menyasar pada level
yang
berbeda-beda
agar
terjadi
kepedulian
bersama.
Biasanyastrategiberfokus pada pengembangan pesan dan diseminasi informasi. Jika KLB dideteksi secara dini, maka pengawasan dan penanganannya dapat dilakukan dengan baik. Seperti yang dinyatakan dalam referensi berikut bahwa promosi kesehatan dan komunikasi kesehatan dapat memfasilitasi terjadinya integrasi antara komponen persiapan dan respon serta mempertinggi kesempatan kolaborasi dan kemitraan di tingkat lokal (WHO, 2012). Dengan demikian, program promosi kesehatan tidak secara sempit dipahami sebatas pada penyuluhan dan penyebaran leaflet. Banyak aspek yang melingkupi dalam hal promosi kesehatan. Beberapa referensi yang mengupas mengenai definisi dan aspek-aspek yang terkandung di dalamnya, antar lain, menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2010), definisi promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumberdaya masyarakat sesuai dengan sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan. Hal ini dipertegas dengan adanya The Ottawa Charter for Health Promotion, bahwa ada 5 strategi dalam promosi kesehatan, yaitu : pembuatan kebijakan publik yang berwawasan sehat, menciptakan lingkungan yang mendukung, memperkuatkan aksi-aksi di tingkat komunitas, mengembangkan
1
1
keterampilan-keterampilan individu dan reorientasi layanan kesehatan (WHO, 2012). Risiko terjadinya KLB akan meningkat terutama karena perilaku manusia. Dengan demikian, strategi komunikasi yang efektif harus menyasar pada aspekaspek perilaku dan sosial untuk pencegahan dan pengawasan penyakit tersebut. Seringkali sejumlah dana yang besar telah dikucurkan untuk melaksanakan upaya kampanye pencegahan dan pengawasan suatu penyakit, namun hasilnya dapat dikatakan belum optimal. Salah satu faktor penyebabnya kemungkinan adalah kurangnya koordinasi dalam hal pembagian peran antara pihak-pihak yang mengembangkan intervensi pengawasan KLB (epidemiolog, dokter hewan, ahli kesehatan masyarakat) dengan pihak yang melakukan komunikasi dan mobilisasi massa. Mungkin tidak ada sinkronisasi antara pihak yang mengembangkan sebuah program intervensi dengan pihak
yang melakukan intervensi tersebut.
Seyogyanya, intervensi-intervensi yang bersifatteknis harus bisa dipahami dan diaplikasikan dalam konteks perilaku budaya mereka sehari-hari, ekonomi, politik dan sosial. Idealnya, dalam merespon KLB perlu melibatkan antropolog agar dapat lebih memahami konteks sosial budaya, baik secara individu, komunitas bahkan kelembagaan selama terjadinya KLB. Pendekatan antropologis ke komunitas dimaksudkan untuk memahami motivasi, nilai-nilai dan model budaya agar dapat dijadikan sebagai landasan pengembangan strategi mobilisasi sosial yang efektif dengan dampak perubahan perilaku yang lestari. Perspektif antropologis akan membantu meletakkan perilaku individu dan pembuat keputusan dalam konteks yang bisa diterima baik dari sisi budaya, teknologi dan lingkungan. Hal ini secara nyata dijelaskan dalam salah satu pustaka, bahwa pendekatan antropologis yang fleksibel mampu memberikan umpan balik secara cepat selama tahapan perencanaan, implementasi, dan monitoring dari intervensi-intervensi komunikasi dan mobilisasi sosial yang dilakukan (WHO, 2012). Terjadinya KLB penyakit hepatitis A di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2010, 2011 dan 2012 secara berturut-turut dengan lonjakan jumlah kasus yang tinggi pada tahun 2012, merupakan suatu permasalahan kesehatan yang perlu
2
mendapatkan perhatian yang cukup serius. Berdasarkan hasil diskusi dengan beberapa staf di Puskesmas Kecamatan Nanggulan dan Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo, berbagai upaya untuk menggugah kesadaran masyarakat mengenai penyakit hepatitis A dan cara penularannya telah dilakukan. Puskesmas yang merupakan kepanjangan tangan dari Dinas Kesehatan, telah melakukan program penyuluhan kepada para kader, tokoh masyarakat dan penjaja makanan. Harapannya, para kader dan tokoh masyarakat yang telah mendapatkan penyuluhan tersebut kemudian meneruskan informasinya ke tingkat masyarakat. Namun, upaya tersebut ternyata belum optimal dengan adanya kenyataan bahwa KLB penyakit hepatitis A terjadi kembali, bahkan dengan lonjakan jumlah kasus yang meningkat dari 23 kasus menjadi 138 kasus (Laporan Puskesmas Nanggulan, 2012). Kejadian luar biasa hepatitis A tersebut melanda 5 kecamatan di Kabupaten Kulon Progo pada bulan Januari 2012. Jumlah kasus terbanyak dilaporkan terjadi di Desa Jatisarono, Kecamatan Nanggulan. Dari data yang diperoleh, hingga September 2012 terjadi 68 kasus dari total kasus 138 (Lihat Tabel 1). Dokter Puskesmas Kecamatan Nanggulan, dr. Hunik Rimawati, menyatakan bahwa penyakit hepatitis A sudah mulai menjangkiti warga sejak awal bulan Januari 2012 dan mengalami puncaknya mulai bulan Februari 2012(Laporan Puskesmas Nanggulan, 2012). Tabel 1. Data penderita hepatitis A tahun 2010 – 2012 per desa di Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo No . 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kasus hepatitis
Desa
2010 Kembang 1 Jatisarono 1 Wijimulyo 1 Tanjungharjo 1 Donomulyo 2 Banyuroto 2 Jumlah 8 (sumber : Laporan Puskesmas Nanggulan, 2012) 3
2011 7 6 6 0 3 1 23
Sept 2012 35 68 21 8 2 4 138
Tabel 2. Distribusi kasus penderita hepatitis A tahun 2012 per desa di Kecamatan Nanggulan berdasarkan umur Kasus hepatitis s.d September 2012 Desa > 15 < 15 thn Jumlah thn 1. Kembang 6 29 35 2. Jatisarono 11 57 68 3. Wijimulyo 1 20 21 4. Tanjungharjo 2 6 8 5. Donomulyo 0 2 2 6. Banyuroto 0 4 4 Jumlah 20 118 138 (sumber : Laporan Puskesmas Nanggulan, 2012) No .
Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa mayoritas penderita hepatitis A di Desa Jatisarono, adalah kelompok usia produktif, berusia lebih dari 15 tahun. Tentu saja hal ini berimplikasi pada kerugian secara ekonomi, karena penderita tidak dapat melakukan aktivitas seperti biasanya untuk sementara waktu. Upaya konkrit yang pernah dilakukan oleh Puskesmas Nanggulan terkait dengan adanya KLB hepatitis A, selain penyuluhan, adalah pembagian kaporit disertai dengan pemberian informasi cara penggunaan dan manfaat dari kaporit tersebut. Namun, sebagian besar masyarakat merasa keberatan bila sumber air bersih mereka diberi kaporit dengan alasan berbau, tidak enak, dan lain-lain. Selain program kaporitisasi, puskesmas juga secara proaktif melakukan program puskesmas keliling untuk memeriksa secara langsung jika ditengarai ada kasus baru, sehingga bila hasilnya positif dapat ditindaklanjuti secara cepat. Adanya permasalahan tersebut di atas, tentu menimbulkan pertanyaan : “Apakah strategi penyampaian KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) kurang efektif atau barangkali ada sesuatu yang perlu digali dan dipahami dari masyarakat di Kabupaten Kulon Progo?” Salah satu kenyataan di masyarakat seperti yang dipaparkan oleh pihak Puskesmas Nanggulan, adalah masih banyak masyarakat di Kabupaten Kulon Progo yang menempatkan kandang ternak mereka di dekat sumur. Upaya untuk mendorong mereka agar membuat kandang
4
kelompok dengan lokasi yang jauh dari tempat tinggal mereka, di satu sisi memberi manfaat dalam aspek status kesehatan keseharian mereka. Namun, di sisi lain, secara psikologis mereka merasa tidak aman dan kerepotan bila ternak jauh dari mereka. Fenomena ini menarik untuk dikaji guna memberikan gambaran yang lebih mendalam mengenai persepsi, sikap dan perilaku sehat dari masyarakat yang akan diintervensi. Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa terdapat banyak dimensi yang perlu untuk dipertimbangkan dalam pengembangan sebuah program intervensi untuk perubahan perilaku di suatu masyarakat agar menjadi lebih baik lagi. Seperti yang dinyatakan dalam pustaka berikut : permasalahan kesehatan yang dialami manusia semakin beragam seiring dengan perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi dan informasi. Cara menyelesaikan masalah kesehatan pun semakin bervariasi, mulai dari yang bersifat medis, non medis hingga terapi alternatif, karena pendekatan medis saja seringkali dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah tersebut. Oleh karenanya diperlukan pendekatan / kajian lain, misalnya sosial budaya (Triratnawati, et al., 2005). Untuk membantu menelaah tiap-tiap dimensi yang ada dalam sebuah permasalahan kesehatan di suatu wilayah, model Precede – Proceed dapat diterapkan sebagai alat bantu. Dalam model Precede – Proceed, jenis-jenis informasi yang digali tidak hanya pada aspek medis saja, namun meliputi aspek sosial, epidemiologis, perilaku dan lingkungan, pendidikan dan ekologi serta kajian administrasi dan kebijakan-kebijakan yang relevan. Penggalian informasi dari berbagai aspek memungkinkan mendapatkan gambaran yang utuh atas kondisi suatu masyarakat yang akan diintervensi. Langkah awal yang perlu dilakukan dalam mengidentifikasi permasalahan-permasalahan kesehatan di suatu wilayah adalah needs assessment. Hal ini penting dilakukan, oleh karena diharapkan dapat merancang sebuah program promosi kesehatan yang sesuai dan tepat sasaran, sesuai dengan kaidah evidence-based program dan mengarah pada strategi-strategi intervensi yang tepat. Berdasarkan penjabaran di atas, diketahui bahwa dari sisi penyedia layanan, dalam hal ini dinas kesehatan dan puskesmas telah berusaha untuk mengatasi permasalahan tersebut di masyarakat. Namun, untuk mensinkronkan antara sisi
5
penyedia layanan dan dari sisi yang dilayani (masyarakat) perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam untuk menelaah kesenjangan-kesenjangan yang mungkin ada di kedua sisi tersebut. Kasus yang terjadi di Desa Jatisarono Kecamatan Nanggulan, dapat dijadikan studi kasus untuk pengembangan program promosi kesehatan yang efektif pada kondisi KLB.
B. Rumusan Masalah Situasi pada kondisi KLB menjadi tidak menentu. Munculnya ketakutan, kepanikan dan kegelisahan dari masyarakat mengharuskan adanya sebuah intervensi yang bisa diandalkan dan kredibel untuk dilakukan secepatnya. Situasi dan kondisi ini perlu untuk diperhatikan dan diyakinkan dengan empati bahwa masalah akan segera diatasi melalui intervensi-intervensi yang akan dilakukan. Dengan demikian, masyarakat bersedia mendengarkan dan memahami pesanpesan yang disampaikan serta akan berperan serta dalam tindakan nyata. Ada perbedaan antara kondisi normal dengan kondisi KLB dalam pengembangan sebuah program promosi kesehatan. Jadi perlu ada program promosi kesehatan yang diperuntukkan khusus pada kondisi KLB.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Menggali informasi-informasi pada sisi penyedia layanan (dinas kesehatan dan puskesmas) dan yang dilayani (masyarakat) mengenai penyakit hepatitis A dan cara penularannya saat KLB untuk : a. Mengetahui kesenjangan yang terjadi dalam hal intervensi yang diberikan oleh dinas layanan kepada masyarakat yang diintervensi, b. Memberikan rekomendasi pengembangan program promosi kesehatan pada kondisi KLB, serta
6
c. Memberikan rekomendasi pengembangan strategi komunikasi dan informasi yang tepat melalui pemilihan media yang sesuai dengan kondisi masyarakat di Kabupaten Kulon Progo. 2. Tujuan khusus a. Melakukan
needs
assessment
pada
masyarakat
Desa
Jatisarono,
Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, mengenai : 1) hal-hal yang dibutuhkan agar masyarakat menjadi paham mengenai penyakit hepatitis A dan cara penularannya; 2) media yang dirasakan sesuai untuk masyarakat mengenai penyakit hepatitis A dan cara penularannya; 3) potensi-potensi di sekitar masyarakat yang dapat dipergunakan untuk mencegah dan menanggulangi penyakit hepatitis A, dan 4) programprogram kesehatan yang pernah diterima dari Puskesmas maupun Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo. b. Melakukan needs assessment pada Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo untuk mengetahui : 1) program-program pencegahan dan penanggulangan penyakit hepatitis A yang sudah pernah dilakukan dan dampaknya; 2) menggali potensi yang dimiliki oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo dalam pengembangan program ke depan; dan 3) menggali harapan-harapan mereka ke depan. c. Melakukan needs assessment pada Puskesmas Kecamatan Nanggulan Kabupaten Kulon Progo untuk mengetahui : 1) program-program pencegahan dan penanggulangan penyakit hepatitis A yang sudah pernah dilakukan dan dampaknya; 2) menggali potensi yang dimiliki Puskesmas Kecamatan Nanggulan Kabupaten Kulon Progo dalam pengembangan program ke depan; dan 3) menggali harapan-harapan mereka ke depan.
7
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi akademisi Dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan program promosi kesehatan pada kondisi kejadian luar biasa. 2. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo dan Puskesmas Kecamatan Nanggulan Kabupaten Kulon Progo Memberikan referensi dalam mengembangkan program promosi kesehatan pada kondisi KLB. 3. Bagi masyarakat Kecamatan Nanggulan Kabupaten Kulon Progo Masyarakat dapat memperoleh intervensi yang sesuai dengan kebutuhan yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat setempat, sehingga persoalan kesehatan yang ada di sekitar mereka bisa tertangani secara tuntas. 4. Bagi peneliti Peneliti dapat mengaplikasikan ilmu-ilmunya yang selama ini diperoleh di perkuliahan pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Peneliti akan mendapatkan manfaat pada saat mengaplikasikan teori-teori yang ada, melalui modifikasi dan inovasi yang mungkin bisa dilakukan. E. Keaslian Penelitian Ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan KLB, penyakit hepatitis A dan upaya pendidikan kesehatan pada saat KLB, namunbelum ada yang mengkaji secara khusus mengenaineeds assessment dalam pengembangan program promosi kesehatan pada kondisi KLB, antara lain : 1. Penelitian tentang wabah hepatitis A dari makanan pernah dilakukan di Austria. Penelitian tersebut dilakukan oleh Schmid et al. (2008). Kasus wabah tersebut menyerang 21 penduduk di wilayah perkotaan di Austria. Hasil investigasi wabah menyimpulkan bahwa sumber wabah terjadi karena adanya seorang petugas penjamah makanan di sebuah supermarket yang telah terinfeksi HAV (hepatitis A virus) dan petugas tersebut tidak melakukan kebersihan diri (cuci tangan dengan sabun). Penelitian dilakukan dengan cara case series investigation. Terdapat perbedaan yang mendasar dari penelitian
8
tersebut dengan penelitian yang dilakukan ini. Penelitian yang dilakukan di Austria tersebut merupakan penelitian kuantitatif dan bertujuan untuk mengetahui sumber wabah HAV yang terjadi pada periode wabah tersebut, sedangkan penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mendapatkan dasar pengembangan program promosi kesehatan pada kondisi KLB. 2. Penelitian mengenai wabah hepatitis A pernah dilakukan di Denmark periode Agustus 2002 hingga Februari 2003 oleh Gervelmeyer et al. (2006). Penelitian tersebut merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan penelitian studi retrospective case-control yang bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor risiko infeksi HAV pada rumah tangga di periode terjadinya wabah. Dengan demikian, penelitian tersebut jelas berbeda dengan penelitian ini, baik dari jenis penelitian, lokasi penelitian hingga pada tujuan penelitiannya. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Oladele, et al. (2012) di Nigeria Utara mengkaji para pekerja kesehatan pada saat tanggap darurat KLB kolera tahun 2010. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pelatihan-pelatihan yang ada kurang memadai, kualitas pekerja kesehatan masih rendah serta pasokan peralatan tanggap darurat terbatas. Temuan-temuan tersebut menunjukkan gap antara penyedia layanan dengan masyarakat. Penelitian yang dilakukan ini juga menggali gap antara penyedia layanan dan yang dilayani. Namun, dari metodologi penelitian, lokasi serta jenis penyakitnya berbeda. 4. Penelitian yang terkait dengan KLB juga dilakukan oleh Wuryanto (2009) dari Universitas Diponegoro, Semarang. Penelitian yang dilakukan mengkaji aspek sosial dan lingkungan pada KLB chikungunya di Kelurahan Bulusan Kecamatan Tembalang, Semarang. Persamaan penelitianadalah pada aspek kajian yang dilakukan, yaitu sosial dan lingkungan. Namun, metode penelitian yang digunakan berbeda. Penelitian tersebut merupakan kajian cross sectional dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa pengetahuan masyarakat mengenai penyakit chikungunya masih kurang, misalnya perilaku masyarakat dalam membersihkan sarang nyamuk masih belum memadai, dan masih ditemui rimbunnya vegetasi di sekitar
9
pemukiman yang sesuai untuk berkembangbiaknya nyamuk sebagai vektor chikungunya. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan ini adalah masih ada beberapa faktor yang akan dikaji, selain faktor sosial dan lingkungan.
10