BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut catatan sejarah, orang Bugis-Makassar mulai merambah lautan setelah kejatuhan Makassar ke tangan Belanda pada 1669. Belanda ingin menyaingi kekuasaan Portugis di Malaka dengan cara mengontrol dan memonopoli perdagangan lada. Setelah berhasil menundukkan Makassar, Belanda segera memonopoli perdagangan dan membatasi kekuasaan politik dan ekonomi di wilayah ini (Lineton, 1975). Tak kuasa dikekang oleh tirani penjajahan, pada akhir abad ke-17 itu mulailah para pelaut Bugis-Makassar mengembara ke pulau-pulau di kawasan Nusantara, salah satunya adalah pulau Jawa (Tresnati & Tuwo, 2012). Keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika lokal di berbagai daerah di Indonesia dari abad ke-17 hingga abad ke-19, sepanjang dua abad lebih tidak hanya menciptakan dinamika ekonomi politik, tetapi juga akulturasi budaya. Di Indonesia, kota yang terkenal dengan sebutan “kota budaya” adalah kota Yogyakarta, selain itu disebut juga sebagai “kota pendidikan”. Oleh karena itu, Yogyakarta menjadi tujuan dan kota pilihan utama untuk menimba ilmu bagi mahasiswa atau pelajar dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Yogyakarta juga dikenal sebagai ‘Indonesia mini’ karena di tempat inilah mahasiswa dari penjuru Tanah Air dengan berbagai latar budaya yang berbeda dapat kita jumpai, termasuk mahasiswa Bugis asal Sulawesi Selatan. Keberagaman budaya yang ada di Yogyakarta mengharuskan setiap individu melakukan komunikasi antarbudaya. Adapun kelompok budaya yang dimaksud disini adalah etnis Bugis dan etnis Jawa yang ada di kota Yogyakarta. Pemilihan etnis Bugis sebagai fokus penelitian karena orang Bugis mudah beradaptasi dengan orang-orang yang berbeda latar belakang budaya. Hal ini dibuktikan dengan tersebarnya orang-orang Bugis di berbagai daerah di Indonesia. Orang Bugis banyak ditemui di Kalimantan Timur,
1
Sumatera khususnya Jambi, Riau Kepulauan dan Riau Daratan, Indonesia Timur seperti Maluku, Jayapura dan Sorong (Mansyur, 2001). Kemampuan menyesuaikan diri merupakan modal terbesar yang memungkinkan orang Bugis dapat bertahan di mana-mana selama berabad-abad. Menariknya, walau mereka terus menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya, orang Bugis tetap mampu mempertahankan identitas “ke-Bugis-an” mereka. Orang Bugis sebagaimana yang ditulis oleh Cristian Pelras (2006) dikenal sebagai orang yang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu, demi mempertahankan kehormatan1, mereka bersedia melakukan tindak kekerasan. Namun demikian, dibalik sifat keras itu, orang Bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta memiliki rasa kesetiakawanan yang sangat tinggi (Pelras, 2006). Dalam kehidupan masyarakat Bugis sendiri, interaksi sehari-hari pada umumnya berdasarkan sistem patron-klien – sistem kelompok kesetia-kawanan antara seorang pemimpin dengan pengikutnya – yang saling kait mengait dan bersifat menyeluruh. Selain karakter yang telah disebutkan di atas, orang Bugis juga memegang prinsip hidup pangngadereng. Pangngadereng adalah aktualisasi seseorang (individu) memanusiakan diri, dan realisasi perwujudan masyarakat membangun interaksi
manusia
dengan
sesamanya
dan
dengan
lembaga-lembaga
kemasyarakatannya. Pangngadereng itulah wujud kebudayaan orang Sulawesi Selatan. Manusia sebagai individu (orang seorang) sebagai bahagian dari pangngadereng -nya itu, pendukung kebudayaannya, ia terjelma menjadi pribadi siri’,
iapun
bermartabat
dan
berharkat
1
memikul
tanggung
jawab
untuk
Kehormatan lebih dimaksudkan pada harga diri dan martabat seseorang, contoh, dalam film Badik Titipan Ayah (BTA) yang pernah ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta, dalam film tersebut menceritakan satu keluarga yang memiliki kedudukan sosial yang terbilang tinggi dan dihormati oleh masyarakat setempat. Anak perempuan dari keluarga tersebut melakukan kawin lari (dalam bahasa Bugis disebut ‘silariang’). Perilaku tersebut dianggap mencoreng nama baik, kehormatan, dan martabat keluarga, hal ini menyangkut siri’ keluarga. Untuk menjaga nama baik dan mempertahankan kehormatan keluarga, maka persoalan tersebut wajib diselesaikan dengan membunuh laki-laki yang mebawa lari anak gadis dari keluarga tersebut.
2
mempertahankannya, dengan segala apa yang ada padanya. Dengan siri’ itu seseorang membawa diri berinteraksi dengan sesamanya. Dalam interaksi dan kebersamaan itu terjelma pesse atau pacce. Pesse atau pacce adalah suatu sikap yang setara dengan siri dalam memelihara kebersamaan dan solidaritas antar pribadi siri’ dalam kesadaran kolegial (Mattulada, 1998). Siri’ dan pesse, menyatu dalam kesadaran makna atau kualitas dari apa yang disebut manusia (tau; dalam bahasa Bugis) yang hanya mungkin mengaktualisasi dirinya karena adanya manusia lain. Kesadaran itu disebut Sipakatau. Itulah makna sesungguhnya dari apa yang kita pahami dengan istilah peradaban, adab dan manusia yang berperilaku kesopanan, berbudi pekerti dan berakhlak mulia (Mattulada, 1998). Yogyakarta menjadi salah satu daerah yang menjadi tempat perantauan orangorang Bugis-Makassar. Beberapa tahun belakangan, jumlah orang Bugis-Makassar yang merantau ke pulau Jawa khususnya Yogyakarta semakin meningkat2, hal ini disebabkan karena Yogyakarta merupakan kota pendidikan, ini terlihat dari sekian banyak perantau tersebut didominasi oleh kaum pelajar. Berdasarkan data yang diperoleh dari IKAMI Sul-Sel (Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa/Pelajar Indonesia Sulawesi Selatan)3 terdapat 29 IKPM (Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa)4 yang ada di Yogyakarta. Dari 29 IKPM tersebut, ada 18 diantaranya yang memiliki sekretariat atau asrama dan 11 diantaranya berasal dari atau dihuni oleh etnis Bugis. Jumlah mahasiswa Sulawesi Selatan yang ada di Yogyakarta pada tahun 2011-2014 sebanyak 2.500 orang, 900 orang diantaranya berlatar belakang etnis Bugis, dan tersebar di berbagai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang ada di kota Yogyakarta.5 Pada tahun 2011 jumlah mahasiswa asal Sulawesi Selatan di Universitas Gadjah Mada berjumlah 201 orang, dan pada tahun 2012 mengalami 2
Berdasarkan data yang diperoleh dari organisasi daerah yakni IKAMi Yogyakarta (Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa/Pelajar Indonesia Sulawesi Selatan), pada tahun 2014. 3 Organisasi tingkat provinsi dan berfungsi sebagai wadah mahasiswa/pelajar yang berasal dari atau keturunan orang Sulawesi Selatan yang menuntut ilmu di luar Sulawesi selatan. 4 Organisasi tingkat daerah dan berfungsi sebagai wadah mahasiswa/pelajar yang berasal dari atau keturunan daerah yang ada di Sulawesi Selatan. 5 Data base IKAMI Sul-Sel (2014)
3
peningkatan meskipun tidak signifikan yakni 213 orang. 6 Data yang ada pada saat ini masih belum merangkum semuanya, karena keterbatasan pengurus IKAMI dalam mencari dan mendata mahasiswa Sulawesi Selatan yang tinggal di kost-kostan. Hal yang tidak bisa dielakkan dari keberadan 11 asrama mahasiswa Bugis di tengah masyarakat Jawa adalah interaksi. Interaksi yang bersifat individu dengan individu, individu dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok ini terjadi hampir setiap hari. Mahasiswa Bugis yang menempati asrama tersebar di beberapa pergurun tinggi di Yogya, Awaluddin misalnya, mahasiswa Bugis asal Kabupaten Bone Sulsel yang tinggal di asrama merapi empat dan kuliah di UIN Sunan Kalijaga. Dalam kesehariannya baik dalam lingkup kampus maupun luar kampus saling berinteraksi dengan mahasiswa Jawa, apalagi Awaluddin juga memasuki organisasi ekstrakampus yang membuat komunikasinya dengan mahasiswa Jawa semakin intens. Tentunya Awaluddin menyadari bahwa dia adalah strangers diantara mahasiswa Jawa dan harus tau kapan harus menyesuaikan diri dan kapan harus mempertahankan identitas ke’Bugisan’nya. Berdasarkan observasi awal yang dilakukan peneliti, Awaluddin memulai pembicaraanya dengan seorang mahasiswa Jawa dengan cara menyapa dengan sopan sambil tersenyum dan memberikan tatapan persahabatan dengan mahasiswa Jawa tersebut. Hal ini menunjukkan bahawa Awaluddin berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang mayoritas mahasiswa Jawa.7 Kasus yang berbeda terjadi di asrama Arung Palakka (Bone) di jalan kaliurang kilometer 8,5 Ngaglik Sleman, kebiasaan mereka di kampung halamannya dengan teman-temannya dimana mereka sering membuat keributan meskipun dalam hal canda tawa terbawa sampai dikehidupan kesehariannya di asrama tersebut. Suatu waktu mereka ribut entah dalam hal apa, mungkin mereka tidak sadar kalau tingkah
6
Rekapitulasi jumlah mahasiswa baru program Sarjana, Diploma, dan Pascasarjana menurut asal provinsi. http://akademik.ugm.ac.id/2012_lama/?menu=statistik&act=asal 7 Berdasarkan hasil observasi dengan mahasiswa Bugis di UIN SUKA.25 Juni 2015.
4
laku mereka mengganggu warga sekitar asramanya sehingga mereka ditegur oleh warga yang ada di sekitar asrama tersebut.8 Kasus di atas tentunya menjadi pelajaran bagi mahasiswa Bugis agar kedepannya tidak terjadi lagi kesalahpahaman diantara mereka. Dengan bertahannya asrama-asrama Bugis di tengah-tengah pemukiman warga Jawa khususnya Yogya menunjukkan bahwa mahasiswa Bugis mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar mereka. Kemampuan menyesuaikan dan bertahan di tengah-tengah budaya mayoritas ini tentu menarik untuk diteliti dalam ruang lingkup komunikasi antarbudaya khususnya dalam akomodasi komunikasi. Komunikasi antarbudaya sendiri merupakan suatu proses interaksi simbolik yang melibatkan individu-individu atau kelompok-kelompok yang memiliki persepsi dan cara bertingkah laku yang berbeda sedemikian rupa, sehingga akan sangat mempengaruhi cara berlangsungnya dan hasil dari komunikasi tersebut. Ketika orang melakukan kegiatan berkomunikasi dengan orang yang memiliki perbedaan latar belakang budaya yang berbeda tidak dapat secara langsung merubah cara berkomunikasi mereka. Perbedaan bahasa dalam berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman antara komunikan dan komunikator yang pada akhirnya akan dapat berujung pada konflik. Hal ini tentu saja berlaku pada mahasiswa Bugis yang ada di kota Yogyakarta yang memiliki perbedaan latar belakang budaya dengan orang Jawa. Sebagai budaya minoritas di Yogyakarta mahasiswa Bugis harus beradaptasi dengan budaya mayoritas Jawa. Beradaptasi tidak harus menghilangkan budaya asli, namun lebih pada penyesuaian diri dengan lingkungan. Dalam teori akomodasi komunikasi, hal ini disebut sebagai divergensi, yaitu seorang komunikator berusaha mempertahankan identitas budaya yang dimilikinya dan hal ini tidak menjadi hambatan dalam proses interaksi yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Selain divergensi, konvergensi
8
Berdasarkan hasil observasi dengan mahasiswa Bugis di asrama Arung Palakka (Bone). 25 Juni 2015
5
menjadi salah satu bagian dari teori akomodasi komunikasi.Konvergensi adalah sikap adaptasi yang dilakukan oleh komunikator, baik secara verbal maupun nonverbal. Kondisi di atas menarik untuk dikaji guna memahami bagaimana proses konvergensi dan divergensi komunikasi dalam sebuah interaksi yang dilakukan oleh mahasiswa Bugis di kota Yogyakarta. Adanya perbedaan bahasa, sikap dan tingkah laku yang menonjol dari kedua etnis ini menjadi tantangan tersendiri untuk mengetahui proses konvergensi dan divergensi yang dilakukan oleh mahasiswa Bugis. B. Rumusan Masalah Karena memiliki bahasa, sikap dan tingkah laku yang berbeda dengan orang Jawa khususnya warga Yogyakarta maka menarik untuk melakukan suatu penelitian dalam ruang lingkup komunikasi antarbudaya. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaiamana proses konvergensi dan divergensi komunikasi mahasiswa Bugis dengan masyarakat Jawa di kota Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian Berangkat dari rumusan masalah tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan memahami lebih mendalam tentang komunikasi antarbudaya khususnya Teori Akomodasi Komunikasi yang di dalam teori tersebut terdapat pilihan-pilihan mengakomodasi proses interaksi yang terjadi antara dua kebudayaan yang berbeda yaitu konvergensi, divergensi dan akomodasi berlebihan. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses konvergensi dan divergensi komunikasi antarbudaya mahasiswa Bugis di kota Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian Setiap penelitian ilmiah selalu mempunyai manfaat baik secara langsung maupun tidak secara langsung dan baik dalam skala umum maupun dalam skala khusus. Adapun manfaat penelitian ilmiah akademik ini yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat pada tataran praktis sebagaimana berikut ini:
6
1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam ranah kajian komunikasi pada umumnya dan khususnya pada tinjauan komunikasi antarbudaya antara mahasiswa Bugis dengan mahasiswa Jawa. 2. Manfaat Praktis Pada tataran praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru kepada masyarakat khususnya mahasiswa Bugis tentang bagaimana strategi adaptasi komunikasi antarbudaya diterapkan di kota Yogyakarta. Adapun manfaat pribadi yang diharapkan dari penelitian ini diharapkan
menambah
pengetahuan
dan
kompetensi
komunikasi
antarbudaya yang dimiliki oleh peneliti sekaligus sebagai prasyarat memperoleh gelar master dibidang keilmuan komunikasi. E. Kerangka Teori Kerangka teori merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah tulisan ilmiah, karena dalam kerangka teori tersebut akan dimuat teori-teori yang relevan dalam menjelaskan masalah yang sedang diteliti. Kemudian kerangka teori ini digunakan sebagai landasan teori atau dasar pemikiran dalam penelitian yang dilakukan. Karena itu adalah sangat penting bagi seorang peneliti untuk menyusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pemikiran yang akan menggambarkan dari sudut mana suatu masalah akan disoroti (Nawawi, 1995). Adapaun kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Komunikasi Antarbudaya Sitaram dan Cogdell (Liliweri, 2011) mengatakan bahwa ribuan tahun yang lalu para pemimpin agama, para filsuf seperti Aristoteles dan Socrates, atau seniman setaraf Sophocles dan Shakespeare yang menggaris bawahi betapa pentingnya berbicara dengan bahasa orang lain melalui teknik-teknik berkomunikasi yang memperhatikan latar belakang audiens. Dengan memahami pernyataan Sitaram dan Cogdell diatas sebenarnya mereka ingin berkata bahwa komunikasi yang efektif
7
dengan orang lain akan berhasil kalau kita mampu memilih dan menjalankan teknikteknik berkomunikasi dan tentunya dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan latar belakang mereka. Disisi lain, pernyataan diatas juga menunjukkan bahwa praktek komunikasi antarbudaya sudah berlangsung sepanjang kehidupan manusia meskipun sistematisasi komunikasi antarbudaya baru terjadi ketika Edward T. Hall memulai penyelidikan tentang interaksi antarbudaya disekitar tahun 1950-an. Hal ini bisa kita lihat dalam tulisannya dengan judul “The Sillent Language”.Selanjutnya, dengan melihat pernyataan Sitaram dan Cogdell diatas kita bisa berasumsi bahwa ada dua konsep yang terkait dengan komunikasi antarbudaya yakni konsep komunikasi dan konsep kebudayaan. Ting Toomey (Gudykunst: 1997) menjelaskan komunikasi antarbudaya sebagai proses pertukaran simbolik dimana individu-individu dari dua atau lebih komunitas kultural yang berbeda menegosiasikan makna yang dipertukarkan dalam sebuah interaksi yang interaktif. Dengan kata lain, komunikasi antarbudaya seharusnya berfokus pada pertukaran informasi di antara dua atau lebih sistem budaya yang dilekatkan di dalam suatu lingkungan normal yang menghasilkan pengurangan ketidakpastian tentang sikap sistem lain di masa mendatang melalui suatu peningkatan pemahaman atas kelompok sosial lain. Proses adaptasi komunikasi yang dilakukan oleh mahasiswa Bugis berlangsung melalui kontak sosial dan komunikasi di antara orang-orang yang saling berbeda budaya. Ketika seseorang melakukan proses komunikasi dengan orang lain, baik itu secara verbal maupun non verbal selalu menunjukkan identitas budayanya. Identitas disini maksudnya adalah identitas budaya yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Karena pada tataran teoritik, komunikasi merupakan fungsi dari budaya dan perilaku komunikasi seseorang merupakan cerminan dari budaya seseorang tersebut. Beda halnya dengan tataran praksis, dimana komunikasi bersifat simbolik, karena bersifat
simbolik
inilah
kebanyakan
orang
8
menggunakan
simbol
dalam
berkomunikasi dengan orang lain yang belum tentu orang yang menjadi lawan komunikasi paham dengan simbol yang digunakan. Masalahnya bisa menjadi lebih besar ketika dalam proses komunikasi tersebut dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan latar belakang budaya yang berbeda. Hal ini bisa terjadi ditengah-tengah proses interaksi yang disebabkan karena terjadi perbedaan persepsi atas pesan yang disampaikan oleh komunikan, sehingga komunikasi tidak berjalan lancar dan tidak mencapai tujuannya. Salah satu cara untuk keluar dari permasalahan tersebut adalah ketika seseorang memiliki kemampuan atau kompetensi dalam melakukan proses komunikasi, misalnya kemampuan dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan dalam kajian ini disebut dengan akomodasi komunikasi. Perkembangan studi komunikasi antarbudaya menjadi hal yang tak terhindarkan manakala Teori Akomodasi Komunikasi yang digagas oleh Howard Giles memiliki pengaruh kuat dalam ilmu komunikasi (Morissan, 2013). Dalam studi komunikasi antarbudaya, riset yang dilakukan bukan hanya menyangkut budaya, ras, atau etnis melainkan lebih luas lagi cakupannya mulai dari aspek sosial, politik maupun ekonomi yang memungkinkan di dalamnya terjadi kontak antar individu yang berbeda latar belakang budayanya. Dari aspek sosial misalnya, dalam interaksi sosial yang dilakukan mahasiswa Bugis terhadap orang Jawa menjadi suatu hal yang menarik untuk diteliti dan ditelaah dari sudut pandang komunikasi antarbudaya. Dengan mengamati proses akomodasi komunikasi dalam sebuah interaksi yang dilakukan mahasiswa Bugis terhadap orang Jawa ini maka menjadi penting posisi komunikasi antarbudaya dalam penelitian ini, dimana inti dari komunikasi antarbudaya adalah interaksi yang dilakukan oleh dua kelompok budaya yang berbeda. 2. Akomodasi Komunikasi Secara umum akomodasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur perilaku seseorang dalam responnya
9
terhadap orang lain (West & Turner, 2013). Dalam “Intercultural Communication Theories”, Gudykunst (2002) memaparkan bahwa teori adaptasi budaya termasuk ke dalam kelompok teori akomodasi dan adaptasi. Salah satu teori yang dikemukakan dalam paparan tersebut adalah teori adaptasi antar budaya dari Ellingsworth. Menurut Ellingsworth (Gudykunst, 2002), adaptasi merupakan konsep yang menonjol di tahun 1980-an. Adaptasi merupakan perubahan yang dibuat oleh individu-individu di dalam identitas afektif dan kognitif mereka dan di dalam perilaku interaktif mereka yang berkaitan dengan lingkungan budaya baru. Pada tulisan yang berjudul “Adapting to New Cultures” tahun 1997, Gudykunst dan Kim berfokus pada adaptasi yang terjadi di kalangan strangers. Konsep strangers mengacu pada sekelompok orang dari kelompok budaya lain. Mereka memfokuskan aktivitas komunikasi strangers dalam beradaptasi dengan lingkungan budaya baru dan tidak dikenal. Semua orang dapat menjadi strangers dan memerlukan proses adaptasi ketika memasuki lingkungan budaya baru atau tidak dikenal (Gudykunst & Kim, 1997). Adaptasi dalam konteks ini dikaitkan dengan perpindahan tempat baik itu sementara maupun permanen atau menetap serta perubahan lingkungan sosial. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui sekaligus mengkaji strategi adaptasi yang diterapkan oleh mahasiswa Bugis dalam melakukan interaksi dengan orangJawa. Dalam teori akomodasi komunikasi terdapat pilihan-pilihan yang bisa dilakukan oleh seorang komunikan. Pilihan ini bisa termanifestasi dalam bentuk penggunaan bahasa dan gaya nonverbal yang sama, atau justru sebaliknya membedakan bahasa dan sikap nonverbal yang masing-masing dimilikinya. Pilihan lainnya adalah berusaha untuk beradaptasi dengan orang lain. Pilihan-pilihan ini dalam teori akomodasi komunikasi disebut konvergensi, divergensi dan akomodasi berlebihan. Namun dalam penelitian ini yang digunakan hanya konvergensi dan divergensi, penggunaan kedua pilhan dalam akomodasi komunikasi ini karena peneliti menganggap kedua pilihan ini merupakan pilihan yang tepat untuk menggambarkan proses akomodasi komunikasi yang berlangsung oleh mahasiswa
10
Bugis terhadap mahasiswa Jawa dimana keduanya memiliki kelas atau stratifikasi sosial yang sama, sedangkan akomodasi berlebihan tidak digunakan dalam penelitian ini karena peneliti menilai dalam akomodasi berlebihan terdapat perbedaan kelas atau stratifikasi sosial di antara para pembicara sehingga akomodasi berlebihan tidak dapat digunakan dalam penelitian ini, dengan mengetahui para informan memiliki kesamaan dengan lawan bicaranya, baik itu dari segi umur maupun status sosialnya. 1. Konvergensi Konvergensi adalah sikap adaptif yang dilakukan oleh seseorang dalam proses interaksi yang berlangsung di dua budaya yang berbeda. Sikap ini akan dilakukan oleh mereka yang berada pada budaya yang berbeda dengan budaya aslinya, dalam hal ini orang Bugis akan melakukan adaptasi dengan orang Jawa pada saat proses interaksi berlangsung. Namun begitu, tidak selamanya seseorang melakukan konvergensi, hal ini didasarkan pada persepsi seseorang terhadap lawan bicaranya. Persepsi ini muncul pada saat budaya mayoritas (orang Jawa) memulai komunikasi dengan budaya minoritas (orang Bugis) kemudian dipersepsikan oleh orang Bugis. Konvergensi juga dapat didasarkan pada persepsi yang bersifat stereotipe. Dalam (Morissan, 2013) Giles menyatakan bahwa konvergensi seringkali secara kognitif dimediasi oleh stereotipe kita mengenai bagaimana orang lain akan berbicara secara kategori sosial. Artinya adalah bahwa orang akan melakukan konvergensi terhadap stereotipe dibandingkan terhadap bicara dan perilaku yang sebenarnya. Dalam skala komunikasi antarbudaya khususnya dalam interaksi antar etnis sering muncul beberapa persoalan yang seringkali menjadi potensi masalah yaitu stereotip. Stereotip adalah suatu bentuk kompleks pengkategorian yang secara mental mengatur pengalaman-pengalaman kita dan membimbing tingkah laku kita terhadap kelompok orang-orang tertentu (Samovar, Porter, & Stefani, 1998). Berbeda halnya dengan Liliweri yang mendefinisikan stereotip sebagai pemberian sifat tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif, hanya karena dia berasal dari kelompok itu, pemberian sifat itu bisa sifat positif bisa juga negatif.
11
Meskipun ada hal positif melekat di dalamnya akan tetapi yang mendominasi adalah hal yang bersifat negatif. Misalnya stereotip tentang orang Makassar itu mempunyai watak keras, arogan dan selalu bersifat kasar, anggapan ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pelras (2006) tentang manusia Bugis. Orang yang beranggapan seperti itu hanya melihat sisi luarnya saja, berbeda halnya dengan Cristian Pelras (2006) yang melihat lebih dalam lagi bahwa ternyata dibalik sifat kerasnya tersimpan kelembutan dan rasa penghormatan kepada orang lain, terlebih lagi dengan orang yang berbeda budaya. Pernyataan peneliti di atas didukung oleh Kornblum yang mengatakan bahwa stereotip merupakan citra yang kaku mengenai suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran citra tersebut (Sunarto, 2000). Sebagaimana telah dijelaskan di atas, jika seseorang melakukan konvergensi terhadap orang lain maka orang lain dapat memberikan dua kategori tanggapan yaitu positif atau negatif. Banyak orang lain tidak suka jika orang lain berusaha untuk meniru-niru bahasa atau cara berbicara yang dimilikinya tetapi tidak sedikit pula yang senang jika gaya berbicara atau perilakunya diadaptasi atau ditiru orang lain. Kovergensi yang dilakukan dengan tujuan untuk merendahkan, menggoda dan menggurui cenderung tidak disukai dan dipandang sebagai hal yang negatif (Morissan, 2013). Akan lebih baik jika sikap konvergensi dengan tujuan seperti itu tidak dilakukan dan memilih untuk mempertahankan identitasnya sendiri. Dalam teori akomodasi komunikasi sikap ini disebut sebagai divergensi. 2. Divergensi Dalam sebuah interaksi, pembicara terkadang memperlihatkan perbedaan verbal dan non verbal di antara diri mereka sendiri dan orang lain, Howard Giles (West & Turner, 2013). Divergensi dan konvergensi mempunyai perbedaan yang signifikan, divergensi
lebih pada proses
disosiasi
sedangkan
konvergensi
mengutamakan penyatuan atau persamaan di antara kedua belah pihak. Kurangnya perhatian terhadap divergensi dalam hal penelitian menjadikan pembahasana
12
mengenai fungsinya terhadap teori akomodasi komunikasi menjadi terbatas. Peneliti melihat bahwa divergensi adalah sikap untuk menjaga kebiasaan dalam proses berinteraksi atau sikap mempertahankan identitas sosial. Giles (1987) (West & Turner, 2013) mengamati bahwa ada peristiwa di mana orang-yaitu kelompok ras dan etnis-secara sengaja menggunakan bahasa mereka atau gaya bicara sebagai taktik simbolis untuk mempertahankan identitas, kebanggaan budaya, dan keunikan mereka. Dalam penelitian ini misalnya, orang Bugis sebagai pendatang di Jawa tidak dapat mengharapkan orang Jawa untuk berbahasa Bugis, sebaliknya orang Bugis bisa memilih untuk menyesuaikan bahasa dalam poses interaksi ataukah memilih untuk tidak menyesuaikan diri namun proses interaksi tetap berlangsung. Konvergensi dan divergensi dapat terjadi dalam tiga bentuk yaitu, perilaku non verbal, bahasa dan paralinguistik. Ketiga bentuk ini mengindikasikan kecendrungan strategi akomodasi yang dilakukan oleh seseorang apabila berhadapan dengan orang yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. 1. Non Verbal Komunikasi non verbal adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk ekspresi atau tanpa kata-kata. Komunikasi non verbal dapat berbentuk bahasa tubuh, tanda, tindakan/perbuatan atau objek. Bahasa tubuh yang berupa raut wajah dan gerak-gerik tubuh lainnya mengungkapkan berbagai perasaan, isi hati, isi pikiran, kehendak dan sikap orang. Dalam komunikasi non verbal, tanda mengganti kata-kata, misalnya rambu-rambu lalu lintas. Tindakan atau perbuatan sebenarnya tidak khusus dimaksudkan mengganti kata-kata, tetapi dapat mewakili makna dari tindakan yang ingin dilakukan oleh orang. 2. Bahasa Bahasa adalah inti dalam melakukan proses komunikasi, baik itu komunikasi verbal maupun non verbal. Pada dasarnya bahasa adalah suatu
13
sistem lambang yang memungkinkan orang berbagi makna. Dalam komunikasi verbal, lambang bahasa yang dipergunakan adalah lisan, tertulis pada kertas ataupun elektronik. Berbeda dengan komunikasi non verbal, bahasa yang dipakai adalah bahasa tubuh seperti, raut wajah, gerak kepala, gerak tangan, tanda, tindakan, objek. 3. Paralinguistik Trager
(Littlejohn
&
Foss,
2009)
Sebenarnya
paralinguistik
merupakan bagian dari komunikasi non verbal yang menggunakan variasi vokal, dan variasi vokal itulah yang memiliki makna yang berbeda, tergantung pada kebudayaannya. Pengamatan pada paralinguistic dalam konteks akomodasi komunikasi mengacu pada aksen, dialek, idiom, jeda, serta hal-hal lain yang dimodifikasi pembicara saat ia sedang berkomunikasi verbal. Fonologi-fonologi tersebut bisa dimodifikasi untuk menunjukkan strategi akomodasi komunikasi baik konvergensi maupun divergensi. Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, maka digunakan konsep akomodasi komunikasi dalam proses interaksi antara mahasiswa Bugis dengan orang Jawa dalam hal ini konvergensi. Pemilihan konvergensi ini dianggap sesuai dengan kemampuan orang Bugis dalam menyesuaikan diri dengan orang yang berbeda latar belakang budaya. 3. Identitas Dalam Perilaku Komunikasi Perilaku komunikasi seringkali menjadi acuan dalam menilai seseorang. Hal ini terjadi, karena tampilan dari perilaku komunikasi menjadi identitas individu terhadap dunia sosialnya. Bagi Abrams, O’Connor, dan Giles (Nancy, 1983) perilaku komunikasi selalu dipengaruhi oleh identitas yang terbentuk dari latarbelakang nilai, dan pengalaman individu atau kelompoknya. Dengan begitu identitas memiliki kontribusi yang kuat terhadap efektif atau tidaknya komunikasi antar individu.
14
Banyak diantara kita yang ingin memiliki karakteristik sebagai pembeda dengan orang lain. Kecenderungan manusia untuk memiliki karakter didasari dari sebuah nilai, pengalaman dan bisa juga kebiasaan yang kita lakukan. Biasanya karakteristik khas tentang diri kita seringkali disebut dengan istilah identitas. Identitas tidak hanya untuk individu saja, namun dapat dibutuhkan dan dihasilkan oleh kelompok sosial. Baik itu individu atau kelompok tidak hanya memandang identitas dapat dibentuk, tapi bagi mereka identitas bisa sebagai nilai perjuangan. Perbedaan identitas antar individu tampak dalam sifat, fungsi, tindakan, dan peran sosialnya. Sehingga perbedaan identitas membuat individu merasa eksis terhadap nilai dan orientasinya yang berbeda dengan orang lain. Dan untuk menciptakan identitas setiap individu maupun kelompok harus bersifat aktif, dalam arti mereka berusaha mencari identitas dengan cara merepresentasikan lingkungan sosial dan budayanya. Dengan begitu ketika menjelaskan identitas individu atau kelompok, maka sama saja kita mendefinisikan diri subjek tersebut. Untuk mengetahui pengaruh identitas dalam perilaku komunikasi Jessica Abrams, O’Connor, dan Giles (Gudykunst & Mody, 2002) telah menggambarkannya dalam bentuk tabel sebagi berikut:
15
Tabel 1.1 Identitas dalam perilaku komunikasi Implementasi identitas dapat lebih mudah untuk dilihat, karena berwujud dalam perilaku komunikasi individu. Mereka mengidentifikasi pengaruh identitas berdasarkan tiga kategori yaitu perilaku komunikasi non verbal, bahasa, dan paralanguage. Dari hubungan identitas terhadap komunikasi ini memiliki dua jenis konsekuensi, pertama, kemampuan kelompok yang menyikapi identitas secara dinamis (konvergen), memberikan peluang besar untuk terwujudnya kovergensi kelompok. Sebaliknya, kelompok yang dalam proses komunikasi memperlebar jurang perbedaan (divergen), maka semakin memperkuat konflik diantara dua kelompok budaya yang berbeda. Perilaku non verbal memiliki peran penting untuk menampilkan identitas di hadapan kelompok budaya yang berbeda. Apabila perilaku yang dilakukan lebih mengarah kepada negosiasi identitas, maka salah satu atau kedua kelompok yang berbeda bersedia untuk berprasangka baik, menebar senyuman, dan membuka peluang asimilasi. Namun kelompok yang kaku terhadap perbedaan identitas, maka mereka akan menolak dan menonjolkan simbol-simbol identitas sebagai upaya
16
eksistensi yang mengarah pada perilaku negatif. Selain itu, mereka juga akan saling membatasi untuk bertemu, bahkan hal terburuk yang dapat terjadi upaya untuk konflik dengan tujuan menghilangkan identitas kelompok lain dari struktur sosial. Begitupun dengan bahasa verbal memiliki kekuatan untuk mendekatkan atau menjauhkan hubungan antarkelompok. Menurut Nobleza dan Landen, bahasa merupakan bagian terpenting untuk menunjukkan identitas seseorang, lebih dari itu bahasa dapat membangun komunikasi (Gudykunst, 1983). Kelompok yang cenderung untuk konvergensi, maka penggunaan bahasa diarahkan sebagai usaha berbagi pikiran, perasaan dan informasi. Berbeda kemudian dengan kelompok divergen, maka semua akan menonjolkan berbagai perbedaan identitas dan tidak menghargai perbedaan penggunaan identitas bahasa tersebut. Bahkan buruknya, kelompok tersebut menggunakan bahasa untuk saling menyindir dan merendahkan kelompok lainnya. Dalam penelitian ini, konsep perilaku komunikasi divergen akan digunakan untuk melihat proses akomodasi komunikasi mahasiswa Bugis dengan orang Jawa dalam mempertahankan identitas budaya yang dimiliki tanpa adanya pertentangan atau konflik dengan orang Jawa. Berikut gambaran interaksi sosial mahasiswa Bugis dengan orang Jawa di Yogyakarta. Komunikasi Antarbudaya
Konvergensi Divergensi Etnis Bugis
Interaksi Sosial
17
Etnis Jawa
F. Kerangka Konsep Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka konsep berguna untuk menghubungkan atau menjelaskan secara panjang lebar tentang suatu topik yang akan dibahas. Adapun kerangka konsep dalam peelitian ini adalah sebagai berikut:
F.1. Konvergensi Konvergensi adalah adalah sikap adaptif yang dilakukan oleh seseorang dalam proses interaksi yang berlangsung di dua budaya yang berbeda. Sikap ini akan dilakukan oleh mereka yang berada pada budaya yang berbeda dengan budaya aslinya, dalam penelitian ini adalah orang Bugis akan melakukan konvergensi terhadap orang Jawa pada saat proses interaksi berlangsung. Hal tersebut dapat teridentifikasi dengan berbagai cara sebagai berikut: 1. Konvergensi dalam bahasa a. Bahasa outgroup dengan pengucapan/pelafalan seperti orang asli Strategi outgroup dengan menirukan pengucapan bahasa asli untuk dapat melebur dengan ingroup. Outgroup ditujukan kepada mahasiswa Bugis yang masuk ke dalam budaya Jawa dalam hal ini mahasiswa Jawa. Misalnya, pada saat kumpul dengan mahasiswa Jawa, mahasiswa Bugis menirukan pengucapan bahasa asli yang digunakan mahasiswa Jawa. b. Kelancaran Bahasa Konvergensi dalam bahasa dapat diidentifikasi dengan melihat kelancaran bahasa saat proses interaksi berlangsung. Misalnya, mahasiswa Bugis menggunakan bahasa outgroup dengan lancar pada saat berinteraksi dengan mahasiswa Jawa. c. Bahasa outgroup dengan pengucapan /pelafalan ingroup
18
Bahasa Jawa yang diucapkan dengan karakteristik orang Bugis. Misalnya, mahasiswa Bugis berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa namun dengan pengucapan orang Bugis. 2. Konvergensi yang non verbal a. Penolakan ingroup Adanya keinginan untuk membuka diri dan melakukan penyesuaian terhadap kelompok lain. Misalnya, adanya keinginan mahasiswa Bugis untuk melakukan penyesuaian terhadap mahasiswa Jawa dalam interaksi keseharian, hal ini disebabkan karena latarbelakang budaya mahasiswa Bugis berbeda dengan mahasiswa Jawa. b. Senyuman, Tatapan, dan bahasa tubuh Komunikasi konvergensi secara non verbal juga dapat diidentifikasi dengan melihat senyuman, tatapan, dan bahasa tubuh. Misalnya, mahasiswa Bugis senyum sambil menatap mata lawan bicaranya dengan bahasa tubuh yang bersahabat. F. 2. Divergensi 1. Divergensi dalam bahasa a. Interupsi percakapan seorang divergen akan melakukan interupsi percakapan pada saat proses interaksi berlangsung. Misalnya, mahasiswa Bugis melakukan interupsi percakapan pada saat berinteraksi dengan mahasiswa Jawa. b. Giliran percakapan Seorang divergen tidak akan menunggu gilirannya saat melakukan percakapan dengan kelompok lain. Misalnya, mahasiswa Bugis tidak akan menunggu gilirannya saat melakukan percakapan dan akan lebih mendominasi percakapan tersebut. c. Sarkasme, dan pertentangan pendapat
19
Sarkasme adalah kata-kata yang dapat menyakiti hati orang lain atau sindiran yang ditujukan kepada lawan bicara, dan seorang divergen akan selalu menunjukkan sikap pertentangan pendapat ketika berinteraksi. Misalnya, mahasiswa Bugis menggunakan kata-kata yang dapat membuat mahasiswa Jawa merasa tersinggung, dan mahasiswa Bugis
selalu
memperlihatkan
pertentangan
pendapat
dengan
mahasiswa Jawa. F. 3. Proses Interaksi Proses interaksi yang dimaksud adalah komunikasi persona atau intrapersona yang mengacu kepada proses-proses mental yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan dengan lingkungan sosio-budayanya, mengembangkan cara-cara melihat, mendengar, memahami, dan merespons lingkungan. “Komunikasi persona dapat dianggap sebagai merasakan, memahami, dan berperilaku terhadap objek-objek dan orang-orang dalam suatu lingkungan. Ia adalah proses yang dilakukan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya” (Ruben, 1975). Dalam peelitian ini proses interaksi yang dimaksud adalah proses interaksi yang terjadi antara mahasiswa Bugis dengan mahasiswa Jawa, baik itu interaksi yang dilakukan pada saat kerja kelompok, interaksi setelah kuliah berlangsung, dan interaksi yang berlangsung di kantin.
20
G. Model penelitian Berdasarkan kerangka teori yang telah dipaparkan di atas maka peneliti menggambarkan model penelitian yang akan menjadi acuan dalam melakukan penelitian di lapangan. Komunikasi Antarbudaya
Etnis Bugis
Etnis Jawa
Proses interaksi
Konvergensi
Divergensi
Non verbal - Penolakan ingroup - Senyuman, tatapan, bahasa tubuh. Verbal - Bahasa outgroup dengan pengucapan seperti orang asli - Kelancaran bahasa - Bahasa outgroup dengan pengucapan ingroup.
Non verbal - Penolakan outgroup Verbal - Interupsi percakapan - Giliran percakapan Sarkasme, pertentangan pendapat
Gambar 2. Model Penelitian
21
H. Metode Penelitian 1. Jadwal Penelitian Penelitian ini dimulai pada tanggal 26 Agustus – 17 Oktober 2015. Objek penelitian ini adalah mahasiswa Bugis yang ada di kota Yogyakarta. Mahasiswa Bugis yang dimaksud adalah Ahmad Awaluddin (biasanya disapa Awal) yang berasal dari Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Keberadaan Awal ditengah-tengah mahasiswa
Jawa
memaksanya
untuk
melakukan
komunikasi
antarbudaya.
Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan latarbelakang budaya yang berbeda. Sadar dengan keberadaannya di tengah-tengah budaya Jawa membuat Awal untuk melakukan proses akomodasi komunikasi, dan dari sinilah peneliti melihat bagaimana proses akomodasi komunikasi yang dilakukan oleh mahasiswa Bugis. Untuk mengetahui hal tersebut, peneliti melakukan observasi langsung terhadap objek penelitian. Observasi dilakukan pada saat objek penelitian sedang kumpul dan duduk bersama dengan teman-temannya yang mahasiswa Jawa. Aktivitas tersebut sering mereka lakukan pada saat perkuliahan telah selesai. 2. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan studi untuk memahami dan menjelaskan fenomena komunikasi antarbudaya yang dialami mahasiswa Bugis dengan orang Jawa. Penelitian ini secara teori mengacu pada gagasan interaksionisme simbolik, gagasan ini berfokus pada cara manusia membentuk makna dan susunan dalam masyarakat melalui percakapan atau interaksi (Littlejohn & Foss, 2009). Secara operasional, gagasan ini sejalan dengan pendekatan fenomenologi, dimana asumsi pokok dari fenomenologi adalah bahwa orang secara aktif akan menginterpretasi pengalamanpengalamannya dan mencoba memahami dunia dengan pengalaman pribadinya (Littlejohn & Foss, 2009). Penelitian ini menggunakan tipe deskriptif, dalam hal ini, penulis mendeskripsikan fenomena sosial yang berhubungan dengan strategi atau siasat
22
akomodasi komunikasi yang dilakukan oleh mahasiswa Bugis. Kegagalan dalam komunikasi antarbudaya dapat memicu terjadinya konflik antar etnis, maka dari itu penting untuk diteliti dalam konteks komunikasi antarbudaya yang dilakukan oleh orang Bugis yang telah membuktikan kemampuannya dalam hal menyesuaikan diri dan bertahan di tengah masyarakat yang berbeda budaya. Hal ini dibuktikan dengan tersebarnya orang-orang Bugis di berbagai daerah yang ada di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah membuat deskripsi, gambaran dan lukisan secara sistematis, faktual dan aktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki (Husaini & Purnomo, 2009). 3. Informan Penelitian Informan dalam penelitian ini adalah mahasiswa Bugis dengan kategori telah berada di Yogyakarta selama kurang dari 2 tahun. Hal ini berhubungan dengan masih kentalnya identitas budaya Bugis yang dimiliki untuk berinteraksi, sehingga menarik untuk diteliti bagaiamana proses akomodasi komunikasi yang dilakukannya ketika berinteraksi dengan orang yang berbeda latarbelakang budayanya. Adapun informan dalam penelitian ini adalah Ahmad awaluddin (biasa disapa Awal), Nur Rahmat Laba (Rahma), Adhetya Cahyani (Tya), dan Ayyub Muhajad (Ayyub). Para informan ini berasal dari daerah yang berbeda satu sama lain, meskipun begitu mereka tetap sama dalam hal budaya dan kesukuan yakni Bugis. Awal yang berasal dari kabupaten Bone telah menempati kota Yogyakarta sejak pertengahan 2014 lalu. Saat ini Awal tinggal di Asrama Merapi Empat, salah satu asrama Provinsi yang dinaungi oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Sebelum masuk dalam dunia kampus, terlebih dahulu dia belajar di salah satu tempat bimbingan belajar yang ada di kota Yogyakarta. Dari situ dia sudah mulai mempelajari budaya Jawa, bagaimana cara beradaptasi dengan orang yang berbeda latar belakang budayanya, bagaimana cara berinteraksi dengan orang Jawa. Setelah bimbingan belajar tersebut, kemudian melanjutkan pendidikan dengan masuk di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta yakni Universitas Islam Negeri Sunan
23
Kalijaga (UIN SuKa). Dengan berbekal pengalaman yang singkat pada bimbingan belajar yang pernah dilewatinya, Awal tidak perlu lagi memulai dari nol mengenai bagaimana harus beradaptasi dengan budaya Jawa. Dalam dunia kampus, Awal aktif di berbagai organisasi baik internal maupun eksternal kampus. Dari sini kita bisa mengetahui bahwa dalam hal beradaptasi dengan budaya lain, Awal cukup mampu menangani hal tersebut. Begitu pun dengan informan selanjutnya, Rahma yang berasal dari salah satu kabupaten yang ada di Sulawesi selatan yakni Wajo. Daerah Wajo yang berpenduduk suku Bugis memiliki sejarah yang sulit untuk dilupakan. Hal ini disebaban karena, Raja Wajo yang memerintah pada saat itu tidak mau tunduk pada Raja Goa yang berhasil menaklukkan kerajaan Bone pada saat itu. Karena tidak tahan dengan tekanan dari kerajaan Goa, maka Raja Wajo pada saat itu memilih untuk merantau keluar pulau Sulawesi. Salah satu cikal bakal orang Bugis sebagai perantau adalah berasal dari kabupaten Wajo. Sebagai orang Wajo, Rahma tentu tau sejarah para pendahulunya yang sering merantau ke berbagai tempat yang ada di Nusantara ini. Sebelum sampai di Yogyakarta, dari Wajo Rahma merantau ke Makassar untuk melanjutkan pendidikan di salah satu perguruan tinggi yang ada di kota Makassar. Mungkin karena alasan tertentu Rahma tidak puas dengan lingkungan barunya, Rahma memilih untuk meninggalkan kota Makassar menuju kota Yogyakarta. Sikap ini menyiratkan bahwa darah perantau yang diturunkan oleh para pendahulunya mengalir dalam dirinya. Di Wajo, dia bertetangga dengan keluarga Jawa yang memiliki anak seusianya. Berdasarkan pengakuannya, meskipun berbeda budaya mereka tetap saling menghargai satu sama lain, dan dari lingkungan sekitarnya juga Rahma memiliki pengalaman bergaul dengan orang Jawa. Di antara para informan di atas, Rahma memang terlihat lebih mudah bergaul dengan orang Jawa, mungkin karena pengalaman di kampungnya sehingga dia mudah melakukannya. Kemudahan itu juga ternyata membuat Rahma memiliki kemampuan menempatkan atau memposisikan diri, maksudnya adalah Rahma terkadang tidak mampu dikenali sebagai orang Bugis karena sikap adaptif yang dia miliki, dan terkadang juga
24
langsung tau bahwa Rahma adalah orang Bugis. Di Yogyakarta, Rahma tinggal di Asrama Lamaddukelleng, salah satu asrama daerah yang dinaungi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo. Informan selanjutnya adalah Tya yang berasal dari kabupaten Palopo, satusatunya informan yang tidak tinggal dalam asrama, baik asrama Provinsi maupun asrama Daerah, meskipun ada asrama Palopo di Yogyakarta tapi dia memilih untuk kost-kostan. Berbeda dengan Rahma yang memiliki teman orang Jawa sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, Tya malah tidak memiliki itu. Karena alasan itu juga dia memilih untuk tinggal di kost-kostan seperti sekarang. Berdasarkan penuturannya, di tempat tinggalnya sekarang hanya dua orang yang bukan berasal dari tanah Jawa termasuk dirinya, yang lainnya berasal dari tanah Jawa. Itu artinya bahwa selain di kampus, Tya juga harus beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggalnya. Oleh karena itu, dalam hal beradaptasi, Tya juga tidak kalah baik dengan yang lainnya, karena pertemuannya dengan orang-orang Jawa lebih banyak dibandingkan dengan informan yang lainnya. Ayyub yang berdarah Bugis tulen (kedua orang tuanya berasal dari Bugis Sinjai dan Bone) juga memiliki kemampuan beradaptasi yang baik. Sudah hampir dua tahun yang lalu dia menempati Yogyakarta, dan berbagai organisasi mahasiswa juga dia geluti memberinya banyak kesempatan untuk berinteraksi antar budaya. Keseringan ini memberinya banyak pelajaran dalam hal berinteraksi dengan orangorang Jawa. Mahasiswa yang mengambil jurusan filsafat ini terbilang mumpuni dalam hal adaptasi. Berdasarkan pengakuannya, perbedaan budaya tidaklah menjadi halangan untuk berinteraksi dengan siapapun, kunci dari keberhasilan itu adalah saling menghargai budaya orang lain. Dalam kesehariannya di kampus, dia sering berbagi cerita dengan temannya mengenai budaya yang mereka miliki masingmasing. Dia bercerita mengenai budaya Bugis begitu pun dengan temannya yang bercerita dengan budaya Jawanya. Saling berbagai pengetahuan tentang latarbelakang budaya merupakan salah satu strategi adaptasi untuk saling menghargai satu sama
25
lain. Keberagaman pengalaman informan di atas menjadi menarik untuk kemudian diteliti dalam disipilin ilmu komunikasi khususnya komunikasi antarbudaya. 4. Teknik Pengumpulan data Penelitian ini menggunakan tiga carauntuk memperoleh data yang dibutuhkan, adapun studi pustaka, wawancara mendalam dan observasi langsung sebagai teknik pengumpulan data yang digunakan untuk membedah proses akomodasi komunikasi yang dilakukan mahasiswa Bugis. a. Observasi Observasi merupakan metode pengumpulan data dimana peneliti mencatat informasi yang disaksikan selama penelitian, yang diperoleh dengan melihat, dan mendengarkan kemudian mencatatnya secara objektif. Observasi dilakukan terhadap mahasiswa Bugis yang sedang melakukan interaksi dengan mahasiswa Jawa. Observasi dilakukan di tempat-tempat dimana para informan biasanya berkumpul dan melakukan interaksi dengan mahasiswa Jawa, baik itu di depan ruangan kuliah, di kantin maupun di mesjid kampus. Pengamatan ini sangat membantu peneliti dalam mendeskripsikan kondisi ataupun situasi informan dalam proses interaksi yang dilakukan. b. Wawancara Metode wawancara yang digunakan oleh peneliti adalah wawancara tidak terstruktur. Pada wawancara tidak terstruktur, hal-hal yang akan ditanyakan belum ditetapkan secara rinci namun wawancara akan dilakukan secara mendalam yang berfungsi untuk menggali informasi yang berkaitan dengan proses atau strategi adaptasi yang dilakukan selama berada di lingkungan yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Wawancara ini diperlukan saat akan mengkonfirmasi perilaku komunikasi para informan yang sudah berlangsung dengan mahasiswa Jawa.
Metode wawncara ini
penting untuk dilakukan untuk memastikan perilaku komunikasi yang ditunjukkan oleh para informan dalam interaksinya.
26
c. Studi pustaka Studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data sekunder. Data sekunder tersebut berupa bahan-bahan tertulis yang dikumpulkan, misalnya buku dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian.
I. Teknik Analisis Data Sesuai dengan jenis penelitian, yaitu penelitian kualitatif maka teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data model interaktif menurut Miles & Huberman (1986). Teknik analisis data model interaktif menurut Miles & Huberman terdiri atas empat tahapan yaitu: 1. Pengumpulan data Pada penelitian kualitatif proses pengumpulan data dilakukan sebelum penelitian, pada saat penelitian, dan bahkan di akhir penelitian. Jadi proses pengumpulan data pada penelitian kualitatif dapat dilakukan tanpa ada segmen atau waktu tersendiri. Sebelum penelitian, peneliti turun ke lapangan untuk melakukan observasi awal terhadap mahasiswa Bugis, dalam hal ini, peneliti mengamati aktivitas keseharian mahasiswa Bugis yang akan diteliti guna mendapatkan data awal. Kemudian pada saat penelitian, peneliti turun ke lapangan untuk melakukan observasi dan wawancara kepada para informan untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan, hal ini berlangsung sampai akhir penelitian. 2. Reduksi data Reduksi data adalah proses penggabungan dan penyeragaman segala bentuk data yang diperoleh – baik itu dari hasil observasi maupun hasil wawancara - menjadi satu bentuk tulisan (script) yang akan dianalisis. 3. Display data Setelah semua data telah diformat dalam bentuk tulisan (script) langkah selanjutnya adalah melakukan display data. Display data adalah mengolah data setengah jadi yang sudah seragam ke dalam bentuk tulisan dan sudah
27
memiliki alur tema yang jelas (dalam penelitian ini tema yang dimaksud adalah pilihan-pilihan yang diambil oleh seorang komunikan dalam proses interaksi yakni konvergensi dan divergensi), kemudian tema-tema tersebut dipecah atau lebih dikonkretkan lagi kedalam bentuk subtema (dalam penelitian ini subtema yang dimaksud adalah non verbal dan verbal). 4. Kesimpulan/verifikasi Kesimpulan dalam rangkaian analisis data kualitatif menurut model interaktif yang dikemukakan oleh Miles & Huberman (1984) secara esensial berisi tentang uraian dari seluruh rangkaian hasil dari analisis data yang telah dilakukan selama penelitian.
28