BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Angka penderita gangguan ginjal tergolong cukup tinggi dan menjadi masalah kesehatan bukan hanya di Indonesia bahkan di negara maju. Di Amerika Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat tajam pada sepuluh tahun terakhir. Tahun 1990 terjadi 166 ribu kasus, tahun 2000 menjadi 372 ribu kasus. Angka tersebut diperkirakan terus naik. Tahun 2010 diestimasikan lebih dari 650 ribu. Selain data tersebut 6 juta sampai 20 juta individu di AS diperkirakan mengalami gagal ginjal kronis. Gagal Ginjal Kronis (GGK) adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal secara irreversible (tidak dapat pulih kembali) berlangsung lama berharap dan bersifat progresif (Harnawati, 2008). Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi ginjal yang bersifat progresif dan irreversibel. Gangguan fungsi ginjal ini terjadi ketika tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah. Kerusakan ginjal ini mengakibatkan masalah pada kemampuan dan kekuatan tubuh yang menyebabkan aktivitas kerja terganggu, tubuh jadi mudah lelah dan lemas sehingga kualitas hidup pasien menurun (Brunner & Suddarth, 2001). Pada tahun 1999 di Amerika Serikat insiden penyakit gagal ginjal kronik diperkirakan setiap tahun terdapat 100 penderita setiap 1.000.000 pendduduk dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal setiap tahunnya. Di Negara berkembang seperti Indonesia insiden penyakit gagal ginjal kronik diperkirakan sekitar 40 sampai 60 kasus setiap tahunnya. Menurut data dari Persatuan Nefrologi Indonesia (Perneftri), diperkirakan terdapat 70.000 penderita gagal ginjal di Indonesia. Angka ini diperkirakan terus meningkat dengan angka
1
2
pertumbuhan sekitar 10% setiap tahun (Suwitra, 2007). Di Jepang pada akhir tahun 1996 ada 167 ribu penderita yang menerima terapi pengganti. Menurut data tahun 2000 terjadi peningkatan menjadi 200 ribu penderita. Berkat fasilitas yang tersedia dan berkat kepedulian pemerintah yang sangat tinggi, usia harapan hidup pasien GGK di Jepang bisa bertahan hingga bertahun-tahun. Beberapa kasus pasien bisa bertahan hingga umur lebih dari 80 tahun. Angka kematian akibat GGK pun bisa ditekan menjadi 10 per 1000 penderita. Hal tersebut sangat tidak mengejutkan karena para penderita di Jepang mendapatkan pelayanan cuci darah yang baik serta memadai (Santoso, 2008). Bagi pasien gagal ginjal, hemodialisa merupakan hal yang sangat penting karena hemodialisa merupakan salah satu tindakan yang dapat mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisa tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal karena tidak mampu mengimbangi hilangnya aktifitas metabolik penyakit ginjal atau endokrin yang dilaksanakan oleh ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapi terhadap kualitas hidup pasien. Oleh karena itu, pada pasien yang menderita penyakit gagal ginjal harus menjalani dialisa sepanjang hidupnya (Smeltzer dan Suzanne, 2002). Pada pasien gagal ginjal untuk menambah atau memperpanjang usia pasien dapat dilakukan suatu tindakan yang dinamakan hemodialisa. Hemodialisa adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu (Price dan Wilson, 1995). Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Di Indonesia berdasarkan data dari Indonesia Renal Registry, suatu kegiatan registrasi dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia, pada tahun 2008
3
jumlah pasien hemodialisa (cuci darah) mencapai 2.260 orang. Pasien hemodialisa baru tahun 2008 naik menjadi 2.260 orang dari 2.148 orang pada tahun 2007. Kenaikan jumlah penderita gagal ginjal dirasa cukup banyak, karena dalam satu tahun kenaikan jumlah penderita sebanyak 112 pasien. Pasien yang menjalani hemodialisa jangka panjang harus dihadapkan dengan berbagai masalah seperti masalah finansial, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, dorongan seksual yang hilang, depresi dan ketakutan terhadap kematian. Gaya hidup yang terencana berhubungan dengan terapi hemodialisa (misalnya pelaksanaan terapi hemodialisa 2-3 kali seminggu selama 3-4 jam) dan pembatasan asupan cairan sering menghilangkan semangat hidup atau motivasi pasien, ini menyebabkan pasien akan menghentikan proses terapi hemodialisa yang harus pasien lakukan secara rutin. Hemodialisa dilakukan pada saat toksin atau zat racun harus segera dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanen atau menyebabkan kematian agar dapat mempertahankan kelangsungan hidup pasien. Sesuai dengan pernyataan tersebut diatas, maka pasien dan keluarga memerlukan bantuan, penjelasan, dan dukungan selama masa ini. Karena nasihat dan dukungan keluarga pada pasien GGK sangat berpengaruh dalam menjalani terapi hemodialisa (Smeltzer dan Suzanne, 2002). Namun sungguh sulit bagi seseorang untuk menerima kenyataan bahwa dirinya harus menjalani cuci darah seumur hidup dengan proses hemodialisa
yang berjalan selama 4-5 jam (tiap kali
tindakan) dapat menimbulkan kejenuhan sehingga dibutuhkan pendamping untuk memotivasi selama menjalani terapi tersebut, dampak dan proses cuci darah menyebabkan hidup tidak nyaman dan pasien harus memahami apabila tindakan hemodialisa ini terhenti tanpa anjuran dari tenaga medis dapat mengakibatkan keadaan lebih fatal bahkan kematian (Alam, 2007). Menurut Bondan (2006) bahwa dukungan keluarga merupakan suatu bentuk hubungan interpersonal yang diberikan oleh keluarga kepada pasien berupa perhatian (perasaan suka, cinta dan empati), bantuan instrumental (barang, jasa),
4
informasi dan penilaian (informasi yang berhubungan dengan self evaluation). Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai serta dapat juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat diterima mereka. Keluarga juga dapat memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit (Niven, 2002). Dukungan keluarga terhadap pasien gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisa akan menimbulkan pengaruh positif bagi kesejahteraan fisik maupun psikis. Seseorang yang mendapat dukungan akan merasa diperhatikan, disayangi, merasa berharga dapat berbagi beban, percaya diri dan menumbuhkan harapan sehingga mampu menangkal atau mengurangi stres yang pada akhirnya akan mengurangi depresi. Dukungan keluarga terhadap pasien gagal ginjal yang sedang menjalani terapi hemodialisa diharapkan lebih tahan terhadap pengaruh psikologis dari stresor lingkungan daripada individu yang tidak mendapatkan dukungan keluarga (Purwata, 2006). Di Rumah Sakit Umum (RSUD) Kota Semarang pada tahun 2010 pasien yang menjalani hemodialisa dalam satu bulan rata-rata terdapat 80 pasien dengan frekuensi terapi setiap pasien berbeda, ada yang menjalani 1 kali dalam seminggu, ada yang rutin 2 kali seminggu dan ada pula yang 3 kali dalam seminggu sesuai anjuran dokter. Data pasien tersebut yang rutin menjalani terapi hemodialisa rata-rata ada 75% pasien dan yang tidak rutin atau tidak teratur terdapat 25% pasien. Berdasarkan Hasil observasi melalui wawancara dengan pasien dan perawat di RSUD Kota Semarang diperoleh informasi bahwa mereka patuh menjalani hemodialisa yang terus menerus karena mempunyai keinginan dan keyakinan untuk sembuh. Sedangkan menurut pasien, dirinya ingin berubah dan memperoleh kesehatan yang lebih baik sehingga mereka memiliki motivasi dan disiplin dalam melakukan hemodialisa karena tahu manfaatnya dan jika tidak dilakukan akan berdampak pada kesehatan, mereka rutin dalam menjalani hemodialisa agar lebih bebas makan makanan yang diinginkan tanpa harus diet ketat. Ada juga pasien yang mengatakan mereka akan taat menjalani hemodialisa
5
kalau ada keluarga yang mendampingi saat pelaksanaan hemodialisa, mengantar ke rumah sakit atau kontrol ke dokter. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Gambaran Dukungan Keluarga pada Pasien Gagal Ginjal dalam Menjalani Hemodialisa di Rumah Sakit Umum (RSUD) Kota Semarang”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah dipaparkan maka masalah penelitian yang dapat dirumuskan “gambaran dukungan keluarga pada pasien gagal ginjal dalam menjalani terapi hemodialisa di Rumah Sakit Umum (RSUD) Kota Semarang”
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui gambaran dukungan keluarga pada pasien gagal ginjal dalam menjalani hemodialisa di RSUD Kota Semarang. 2. Tujuan khusus a. Mendeskripsikan dukungan informasi pada pasien gagal ginjal dalam menjalani hemodialisa di RSUD Kota Semarang. b. Mendeskripsikan dukungan penilaian pasien gagal ginjal dalam menjalani hemodialisa di RSUD Kota Semarang. c. Mendeskripsikan dukungan instrumental pasien gagal ginjal dalam menjalani hemodialisa di RSUD Kota Semarang d. Mendeskripsikan dukungan emosional pasien gagal ginjal dalam menjalani hemodialisa di RSUD Kota Semarang
6
D. Manfaat Penelitian 1. Profesi keperawatan Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi petugas kesehatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal. 2. RSUD Kota Semarag Hasil penelitian dapat dijadikan masukan tentang gambaran dukungan keluarga pada pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisa sehingga dapat dijadikan rencana melakukan asuhan keperawatan yang baik kepada pasien. 3. Masyarakat Memberikan pendidikan pada masyarakat kususnya keluarga dalam menghadapi pasien gagal ginjal.
E. Ruang lingkup ilmu Penelitian ini termasuk penelitian dalam bidang keperawatan jiwa dan keluarga.