BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Salah satu kebijakan komunikasi yang ditetapkan di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Kebijakan ini disahkan pada 30 April 2008 dan diberlakukan dua tahun setelahnya dengan semangat menciptakan transparansi dan akuntabilitas informasi. Hingga 2015, kebijakan ini sudah berjalan selama lima tahun, waktu yang cukup panjang bagi pelaksana kebijakan di Badan Publik untuk menyesuaikan diri dan mengimplementasikan kebijakan tersebut. Kebijakan komunikasi ini menuntut Badan Publik wajib menyediakan, memberikan, juga menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik. Terdapat dua pandangan atas keberadaan UU KIP, yakni bagi publik dan bagi Badan Publik. Bagi publik, UU ini menjamin hak-haknya untuk memperoleh informasi. Bagi Badan Publik, UU ini menjadi pedoman untuk memenuhi hak publik memperoleh informasi. Tujuan UU ini di antaranya adalah mewujudkan penyelenggaraan negara yang
baik,
yaitu
transparan,
efektif,
efisien,
akuntabel,
dan
dapat
dipertanggungjawabkan, serta meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas dan menjangkau seluruh masyarakat di Indonesia. Kapasitas Badan Publik untuk memahami dan melaksanakan UU itu adalah hal utama, sehingga Badan Publik dapat melakukan berbagai penyesuaian dalam organisasinya menghadapi tuntutan keterbukaan informasi. Selama lima tahun, perlu diketahui capaian dan kendala Badan Publik dalam mengimplementasikan kebijakan ini di dalam organisasinya. Berbagai faktor di Badan Publik menentukan keberhasilan berjalannya UU KIP. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK) adalah salah satu Badan Publik yang wajib menjalankan UU KIP. Dipilihnya BPK dalam penelitian mengenai implementasi UU KIP di Badan Publik ini didasari oleh alasan bahwa 1
persoalan transparansi dan akuntabilitas erat kaitannya dengan peran dan tugas BPK di Indonesia. Sebagai lembaga negara, BPK bertugas melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dan daerah, yang hasilnya berbentuk laporan hasil pemeriksaan keuangan pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, laporan hasil pemeriksaan kinerja, dan laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Dengan kata lain, BPK merupakan satu-satunya lembaga negara pemeriksa keuangan negara/daerah yang hasil kerjanya menggambarkan kondisi bagaimana keuangan negara/daerah untuk kepentingan rakyat itu dikelola oleh para pengelola keuangan. Laporan hasil pemeriksaan tidak hanya penting untuk dibuka pada pihak yang diperiksa (auditee) dan pemerintah, namun juga penting dibuka untuk publik dan kalangan media. Hal ini agar publik atau masyarakat umum dapat memonitor kinerja pemerintah, mencegah penyelewengan dan kecurangan mengarah pada korupsi, bahkan mengawasi kinerja BPK dalam melakukan pemeriksaan. The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 300 sebagai standar pemeriksaan kinerja yang ditetapkan oleh organisasi lembaga pemeriksa sedunia (The International Organization of Supreme Audit Institutions/INTOSAI) menegaskan bahwa menyebarluaskan hasil pemeriksaan dapat mendorong kredibilitas fungsi pemeriksaan itu sendiri. Laporan hasil pemeriksaan harus didistribusikan pada entitas pemeriksaan, eksekutif, legislatif, dan dapat diakses secara langsung oleh publik atau melalui media massa, serta untuk para pemilik kepentingan (stakeholders). Transparansi BPK dalam membuka informasi laporan hasil pemeriksaan ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang menyatakan bahwa laporan hasil pemeriksaan BPK yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan (DPR/DPD/DPRD) dinyatakan terbuka untuk umum. UU No. 15 Tahun 2006 yang menggantikan UU No.5 Tahun 1973 tentang BPK, juga menegaskan hal yang sama di Pasal 7 ayat (5). Setelah adanya penegasan tersebut, sejak 2005, laporan hasil pemeriksaan BPK baik berbentuk Ikhtisar, parsial, maupun keseluruhan yang telah diserahkan 2
ke lembaga perwakilan, langsung dimuat di situs resmi BPK dalam format dokumen pdf secara lengkap dan terbuka. Masyarakat umum dapat mengunduh laporan yang ingin diketahui. Namun, pada 2010, justru pada masa berlakunya UU KIP, publikasi laporan hasil pemeriksaan secara lengkap di situs resmi BPK dihentikan/dikendalikan, berpindah ke penyediaan informasi di ruang Pusat Informasi dan Komunikasi yang berlokasi di kantor BPK. Laporan hasil pemeriksaan bisa diperoleh dengan syarat tertentu dan tidak lagi mudah diunduh melalui situs resmi BPK. Laporan hasil pemeriksaan yang dimuat di situs tersebut hanya ikhtisar hasil pemeriksaan, yaitu intisari dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK. Pada masa itu, hal tersebut mengundang reaksi berbagai pihak, salah satunya dari Febri Hendri, peneliti senior Indonesia Corruption Watch (ICW). Menurutnya, BPK tidak lagi transparan dalam menyampaikan laporan hasil pemeriksaan di situs resmi BPK. Padahal pemuatan laporan itu penting bagi publik untuk ikut mengawasi setiap pemeriksaan dan hasil pemeriksaan tentang pengelolaan keuangan pemerintah. Alasan bahwa laporan hasil pemeriksaan yang terlalu dibuka dapat menjadi serangan balik pada BPK dan disalahgunakan oknum tertentu, adalah tidak tepat, karena hal itu adalah ranah penegak hukum (http://m.detik.com/news/berita/1531855/bpk-harus-terbuka-pada-publik-soallaporan-hasil-pemeriksaan). Faktor-faktor yang membuat BPK merasa harus hatihati dan membatasi akses informasi ini dieksplorasi lebih lanjut dalam hasil penelitian. Selanjutnya, keberadaan UU KIP direspon oleh BPK dengan melakukan penyesuaian dalam mengimplementasikan UU tersebut. Namun, BPK tidak langsung merespons tuntutan yang ditetapkan UU KIP pada 2010. Dari hasil pra penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa BPK baru memiliki turunan kebijakan berupa Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Informasi Publik pada November 2011 yang baru diberlakukan pada November 2012. Selain itu, keberadaan BPK yang terdiri dari Kantor Pusat BPK di Jakarta, dan 34 Kantor Perwakilan yang tersebar di seluruh ibukota provinsi di Indonesia, memunculkan
3
dinamika dalam menjalankan UU KIP, termasuk dalam hal koordinasi di dalam organisasi BPK. Selama menjalankan amanat UU KIP ini, BPK pernah memperoleh peringkat ke-4 sebagai Badan Publik Terbaik dalam KIP untuk tingkat Kementerian dan Lembaga. Penghargaan ini diberikan oleh Komisi Informasi Pusat bertepatan dengan peringatan “Hari Hak Untuk Tahu Internasional (International Right To Know Day)” pada 28 September 2012. Namun, prestasi ini tidak berlanjut untuk tahun 2013 dan 2014, ketika BPK tidak lagi masuk nominasi maupun mendapatkan penghargaan KIP. Pada akhir 2015 barulah BPK mencapai peringkat ke-8. Selain itu, selama menjalankan UU KIP tersebut, ada beberapa pemohon informasi yang merasa keberatan atas pelayanan informasi maupun produk informasi yang diberikan oleh BPK baik Pusat maupun Perwakilan. Hal ini mengakibatkan terjadinya sengketa informasi yang diajukan oleh pemohon informasi.
Kasus-kasus
sengketa informasi
menunjukkan
masih
adanya
ketidakpuasan pengguna informasi atas pelayanan maupun produk informasi yang diberikan oleh BPK. Informasi publik di BPK tidak hanya laporan hasil pemeriksaan, namun juga meliputi informasi lain seperti informasi anggaran BPK, pengadaan barang dan jasa di BPK, juga profil lembaga. Keberadaan BPK di seluruh provinsi juga memberi kontribusi tersendiri terkait dengan keterbukaan informasi laporan hasil pemeriksaan daerah. Beberapa kantor BPK di daerah masih dianggap tertutup dalam memberikan informasi meskipun dasar hukum yang mendasari kewajiban BPK sebagai Badan Publik untuk menjamin hak publik memperoleh informasi sudah jelas. Dari pemberitaan di media diketahui bahwa pada 2012, Kepala Perwakilan BPK Provinsi Bengkulu menolak memberi penjelasan atas laporan hasil pemeriksaan keuangan daerah kabupaten/kota di Bengkulu, dengan alasan bahwa yang berwenang untuk menjelaskan
adalah
DPRD
(http://bengkulu.antaranews.com/berita/868/bpk-
bengkulu-tolak-berikan-keterangan-lhp).
Menurutnya,
seharusnya
DPRD
mempublikasi dan membahas hasil pemeriksaan BPK, dan BPK hanya berwenang melaporkan hasil pemeriksaan pada DPRD. 4
Di tahun 2013, BPK juga dituding tidak terbuka dalam pemeriksaan keuangan pemerintah provinsi Sulawesi Utara. BPK dianggap tidak transparan dalam memberi laporan hasil pemeriksaan secara utuh dan terkesan menutupnutupi. Bahkan ketika publik ingin mengakses laporan tersebut, terkesan dipersulit. Kepala Sub Bagian Hukum dan Humas BPK Sulawesi Utara saat itu, I Made Dharma menjelaskan bahwa untuk mengakses laporan BPK harus menaati prosedur
penyampaian
surat
permohonan
informasi
(http://sulutonline.com/berita/2217-bpk-dituding-tidak-terbuka-dalampemeriksaan-keuangan.html). Demikian juga di Provinsi Lampung, penyerahan laporan hasil pemeriksaan keuangan kepada DPRD berlangsung tertutup, dengan alasan belum adanya koordinasi kehumasan terkait peliputan media dan ruangan yang sempit (http://lampost.co/berita/ki-lampung-sayang-bpk-tertutup-soal-lhp). Pada 2014, LSM Pattiro menilai BPK belum melaksanakan kebijakan KIP secara konsisten (http://www.beritasatu.com/nasional/165165-pattiro-anggap-bpkbelum-terbuka.html). Hal ini dikarenakan, BPK Pusat tidak memberi akses pada publik terkait laporan hasil pemeriksaan Hambalang, padahal laporan tersebut telah diserahkan kepada DPR. Pada Juni 2015, BPK Perwakilan Provinsi Bangka Belitung dianggap terkesan masih tertutup menjelaskan hasil pemeriksaan keuangan pemerintah Kabupaten Bangka Selatan. Seorang staf BPK mengatakan bahwa tidak bisa memberi penjelasan karena bukan wewenang mereka untuk menjelaskan,
melainkan
level
pimpinan
di
BPK
(http://bangka.tribunnews.com/2015/06/05/bpk-tertutup-soal-opini-disclaimerpemkab-basel). Dari hasil wawancara awal dengan petugas layanan informasi di BPK Perwakilan, dinyatakan bahwa dalam beberapa kesempatan, BPK masih berusaha untuk memutus akses permohonan informasi dari publik, dengan alasan bahwa yang berwenang mempublikasikan laporan hasil pemeriksaan adalah DPRD, sehingga lebih tepat apabila pemohon informasi memintanya ke DPRD. Kondisi belum maksimalnya keterbukaan informasi secara umum dibahas dalam Editorial Koran Tempo, 2 Oktober 2015. Dalam editorial tersebut, dituliskan bahwa dalam rangka menyambut Hari Hak Publik untuk Tahu 28 September 2015, terobosan kebijakan baru untuk menjamin hak asasi untuk tahu 5
masih terus diharapkan. Karena yang terjadi saat ini, publik tetap sulit dan melalui prosedur berbelit untuk mengakses data yang penting di situs internet lembagalembaga pemerintah. Hal itu juga terjadi di BPK. Dalam mengimplementasikan kebijakan komunikasi keterbukaan informasi publik, pentingnya keterbukaan informasi laporan hasil pemeriksaan BPK masih terkendala oleh adanya upaya menutupnutupi akses permohonan informasi. Tidak dimuatnya laporan hasil pemeriksaan secara lengkap di situs resmi BPK serta mengharuskan pemohon informasi untuk datang ke kantor BPK juga tidak menggambarkan suatu akses informasi yang mudah untuk publik.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, maka rumusan masalah yang ingin diteliti adalah bagaimana implementasi kebijakan komunikasi UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik di BPK selama 2010 sampai dengan 2015?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi kebijakan komunikasi keterbukaan informasi publik di BPK selama 2010 sampai dengan 2015, dengan menemukan kendala dan faktor-faktor penyebabnya, capaian, koordinasi di organisasi BPK dalam pelaksanaan kebijakan, serta respons aktor kebijakan dan kelompok sasaran atas implementasi kebijakan tersebut di BPK. Penelitian juga ditujukan untuk memberi rekomendasi pada BPK terkait upaya mendorong pemerintahan yang terbuka melalui implementasi kebijakan komunikasi untuk melancarkan proses komunikasi.
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari dilakukannya penelitian ini adalah:
6
1. Teoritis Penelitian ini memberi manfaat bagi pengetahuan ilmu komunikasi yang tidak terbatas pada kajian penyiaran, jurnalistik, kehumasan, media baru, juga periklanan semata. Melainkan pengetahuan tentang kebijakan di bidang komunikasi yang ditujukan untuk memperlancar suatu sistem komunikasi baik di lingkup negara, juga organisasi. Di antara banyaknya penelitian tentang implementasi UU KIP di daerah, penelitian ini dapat memberi pengetahuan tentang implementasi UU tersebut sebagai kebijakan komunikasi di lembaga negara BPK dengan menekankan pada pentingnya pemerintahan yang terbuka.
2. Praktis Memberikan informasi serta rekomendasi tentang implementasi UU KIP sebagai kebijakan komunikasi yang meliputi pembenahan, kendala yang ada selama proses implementasi, serta masukan untuk penyempurnaan pelaksanaan kebijakan tersebut di BPK maupun lembaga negara lainnya.
E. Tinjauan Pustaka Melalui penelitian terdahulu, peneliti berupaya mencari hubungan implementasi UU No. 14 Tahun 2008 sebagai kebijakan komunikasi dengan hasil sejauh mana UU itu bisa melancarkan sistem komunikasi, menuju kondisi pemerintahan yang terbuka pada publik. Penelitian tentang implementasi UU No. 14 Tahun 2008 cukup banyak jumlahnya di UGM, sehingga penelusuran dilakukan pada penelitian terbaru yang dilakukan pada tahun 2014. Mayoritas penelitian adalah tesis tentang implementasi UU tersebut di lingkup pemerintah daerah/lokal. Belum ditemukan tesis tentang implementasi UU KIP di lingkup lembaga negara setingkat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, BPK dalam konteks implementasi KIP sudah menjadi objek penelitian dalam skripsi S1 yang memfokuskan pada peran kehumasan pemerintah dalam implementasi UU KIP di BPK. Hal ini berbeda dengan apa yang diteliti dalam tesis ini, yang tidak dibatasi pada satu unit organisasi humas saja, tapi juga unit-unit organisasi lain di BPK dalam mengimplementasikan UU KIP. 7
Tinjauan pertama adalah penelitian oleh Feri Firdaus (2014) berjudul “Implementasi
Kebijakan
Komunikasi
di
Indonesia
(Studi
Kasus
atas
Implementasi Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik di Provinsi Lampung Tahun 2010-2013)”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan dalam pelaksanaan KIP di lapangan yang tidak sejalan dengan perangkat pendukung keterbukaan yang telah ditentukan. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengkaji implementasi atau pelaksanaan UU KIP di Provinsi Lampung dengan melihat capaian, kendala, keterbatasan, serta peta masalah penyelenggaraan keterbukaan informasi publik, yang pada tujuan akhirnya untuk mengetahui apakah implementasi kebijakan itu berhasil atau tidak dilakukan di Provinsi Lampung. Feri Firdaus menggunakan konsep penelitian berdasarkan kolaborasi model implementasi kebijakan Edward III dengan variabel komunikasi, sumber daya, disposisi, struktur birokrasi, dengan variabel kondisi sosial, ekonomi, dan politik model Meter dan Horn. Feri Firdaus juga menambahkan variabel diseminasi
informasi
untuk
mendiseminasikan
informasi
publik
pada
warganegara. Hasil penelitian menemukan bahwa implementasi UU KIP di Provinsi Lampung pada 2010-2013 belum begitu berhasil dilaksanakan. Model yang digunakan dapat dikatakan cukup lengkap namun masih terbatas sebagai model kebijakan publik, belum dimodifikasi dalam wujud model komunikasi. Sesuai saran yang diberikan Feri Firdaus untuk menambahkan pembedahan UU KIP dari aspek publik pemohon informasi, maka hal tersebut dijadikan variabel tersendiri dalam penelitian yang dilakukan mengenai implementasi UU KIP di BPK sebagai respons publik atas implementasi kebijakan. Penelitian kedua adalah penelitian oleh Nuning Susilowati (2014) yang berjudul “Pelaksanaan Keterbukaan Informasi di Daerah (Studi Deskriptif mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik di Pemerintah Kabupaten Kediri selama Tahun 2008-2013)”. Penelitian ini masih menekankan tentang pelaksanaan kebijakan KIP di lingkup pemerintah daerah, dimana bermula dari persoalan masih lambannya keterbukaan informasi publik berjalan di Kabupaten Kediri. Nuning 8
berupaya mencari faktor-faktor yang menjadi kendala yang dihadapi pemerintah daerah dalam pelaksanaan KIP, dengan menggunakan model implementasi. Nuning memilah indikator yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian, yaitu menggabungkan model implementasi Edward III, Meter, dan Horn. Tidak ada modifikasi model implementasi kebijakan publik dengan model komunikasi. Hasil penelitian menjelaskan, pelaksanaan UU KIP pada Badan Publik daerah masih lamban dan belum optimal. Dari penelitian-penelitian di atas, menyimpulkan bahwa UU KIP di lingkup pemerintah daerah belum berjalan maksimal. Teori dan konsep yang digunakan sudah menggambarkan capaian dan hambatan pelaksanaan kebijakan tersebut di daerah. Namun belum ada penelitian yang meneliti tentang implementasi UU KIP di Badan Publik dilengkapi dengan respons maupun pendapat publik tentang implementasi UU KIP tersebut. Maka penelitian ini berfokus
pada
bagaimana
UU
KIP
sebagai
kebijakan
komunikasi
diimplementasikan di Badan Publik BPK selama 2010-2015, yang dilengkapi dengan pendapat publik sebagai bagian dari penelitian.
F. Kerangka Pemikiran 1. Kebijakan Komunikasi Kebijakan komunikasi ditujukan untuk menguji bagaimana kebijakan di ranah komunikasi dihasilkan dan diimplementasikan, serta timbal balik kebijakan itu
untuk
membahas
persoalan
komunikasi
secara
keseluruhan
(Papathanassopoulos dan Negrine, 2010: 5). Menurut Unesco dalam Abrar (2008: 10), kebijakan komunikasi merupakan kumpulan prinsip-prinsip dan normanorma yang sengaja diciptakan untuk mengatur perilaku sistem komunikasi. Kebijakan komunikasi juga merupakan kebijakan publik, sehingga kebijakan komunikasi harus dirumuskan oleh lembaga pemerintah. Kebijakan komunikasi berupa UU dibuat dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah. Sedangkan kebijakan komunikasi berupa Peraturan, dibuat dan disetujui oleh pimpinan lembaga pemerintah. Kebijakan komunikasi memiliki lima kriteria, yaitu memiliki tujuan tertentu, berisi tindakan pejabat pemerintah, 9
memperlihatkan apa yang dilakukan pemerintah, bisa bersifat positif dan negatif, dan bersifat memaksa. Tujuan
dari
kebijakan
komunikasi
adalah
menempatkan
proses
komunikasi sebagai bagian dari dinamika sosial yang tidak merugikan masyarakat. Kebijakan komunikasi ideal jika pembuat kebijakan mampu mengidentifikasikan kebutuhan masyarakat dan merespons persoalan komunikasi (Abrar, 2008: 17). Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan kebijakan komunikasi adalah UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Tujuan dari UU ini adalah untuk memperlancar proses komunikasi yang berkaitan dengan keterbukaan informasi publik di Badan Publik. Era masyarakat informasi menempatkan kebijakan komunikasi atau kebijakan informasi menjadi satu hal yang penting. Papathanassopoulos dan Negrine (2010: 57) menyebutkan terdapat isu sentral tentang kebijakan tersebut, yaitu kebijakan yang membahas tentang kebebasan informasi, privasi dan pengawasan, perlindungan data dan keamanan, rahasia perusahaan, perpustakaan dan arsip, dokumentasi ilmiah, publikasi ekonomi dan pemerintah, hak cipta dan properti intelektual, serta infrastruktur informasi nasional. Dalam Central Government Communication Policy yang diterbitkan oleh Norwegian
Ministry
of
Government
Administration
and
Reform
(www.regjeringen.no/globalassets/upload/fad/vedlegg/informasjonspolitikk/statko mpol_eng.pdf) disebutkan bahwa kebijakan komunikasi pemerintah memiliki dua tujuan, yaitu menjamin pesan yang dikeluarkan pemerintah diterima oleh warga yang membutuhkan, dan membangun dialog antara pemerintah dan warganya. Kebijakan komunikasi harus dilandaskan pada asas keterbukaan. Kebijakan komunikasi tersebut menekankan bahwa tujuan kebijakan komunikasi pemerintah adalah untuk menjamin warga negara mendapat informasi yang jelas dan tepat tentang hak, tanggung jawab, dan kesempatan. Tujuan lainnya adalah agar warga negara memiliki akses terhadap informasi terkait aktivitas pemerintah, serta berpartisipasi dalam formulasi kebijakan. Kebijakan keterbukaan informasi ini muncul berdasarkan alasan bahwa warganegara harus memiliki akses pada
10
informasi pemerintah, karena warganegara memerlukan informasi itu sebagai jaminan berdemokrasi dan sebagai pembayar pajak di suatu negara. Kebijakan kebebasan memperoleh informasi telah dijamin dan dilindungi oleh instrumen hak asasi manusia baik dalam level nasional maupun internasional. Di Indonesia, Pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen menegaskan adanya jaminan hak setiap orang untuk memperoleh informasi. Pasal 14 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Gagasan tentang kebebasan memperoleh informasi publik di Indonesia dituangkan dalam naskah RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP). Pada program Pembangunan Nasional 2000-2005, Pemerintah dan DPR menyadari pentingnya keterbukaan informasi, sehingga koalisi mulai membahas RUU KMIP secara resmi ke DPR pada Agustus 2000. Pada Maret 2002, DPR menyetujui RUU KMIP sebagai RUU usul inisiatif, sampai pada dikeluarkannya Amanat Presiden pembahasan RUU KMIP pada 19 Oktober 2005. Setelah melalui kompromi, judul RUU berubah dari Kebebasan Memperoleh Informasi Publik menjadi Keterbukaan Informasi Publik (Subagyo, dkk, 2009: 8).
2. Keterbukaan Informasi Publik Komunikasi merupakan elemen yang mendasari sistem sosial, tidak ada masyarakat jika tidak ada komunikasi. Komunikasi dalam masyarakat ini juga memungkinkan terjadinya pertukaran informasi, ide, opini, yang harus ditempatkan dalam suatu ruang publik yang bebas, terjamin, untuk memenuhi haknya. Menurut Niklas Luhmann dalam Seidl (2006: 28), komunikasi mengandung kombinasi dari tiga komponen, yaitu information, utterance, dan understanding. Ketiganya meliputi pilihan apa yang dikomunikasikan, alasan atau dasar bagaimana dan mengapa sesuatu dikatakan, yang semuanya mempengaruhi understanding. Dalam hal pelaksanaan kebijakan komunikasi keterbukaan informasi, tiga komponen itu dapat menunjukkan bagaimana suatu organisasi mengomunikasikan dirinya pada pihak luar bahwa organisasi siap untuk 11
menjalankan tuntutan keterbukaan. Informasi juga adalah elemen penting dalam ruang publik. Ruang publik menurut J. Habermas dirumuskan sebagai suatu wilayah kehidupan sosial dimana opini publik terbentuk. Akses kepada ruang publik terbuka bagi semua warga negara. Sebagian dari ruang publik terbentuk dalam setiap pembicaraan di mana pribadi-pribadi berkumpul untuk membentuk suatu publik. Bila publik menjadi besar, komunikasi menuntut suatu sarana untuk diseminasi dan mempengaruhi (Sastrapratedja dalam Hardiman, 2010: 269). Peter Dahlgren dalam McKee (2005: 4) menyebutkan ruang publik merupakan tempat dimana informasi, ide, dan diskusi opini politik dapat dibahas di masyarakat. Immanuel Kant dalam Hardiman (2010: 8) mendefinisikan bahwa publik mengarah pada kebebasan berpikir serta keberanian untuk mengungkapkan secara publik. Dalam konteks keterbukaan informasi publik, konsep Kant tentang publik dapat diartikan sebagai pihak yang memiliki kebebasan berpikir atas informasi. Hak untuk mengakses informasi merupakan hak asasi manusia yang harus dijamin oleh negara. Pada prinsipnya, jaminan hak atas kebebasan memperoleh informasi publik merupakan sarana dan strategi untuk mendorong pemerintahan yang transparan dan terlaksananya good governance sehingga masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintahan. Transparansi membantu pencegahan korupsi, penegakan hukum, dan mendorong warganegara untuk ikut berpartisipasi politik (Stefanick, 2011: 63). Sasaran dalam masyarakat dapat tercapai dengan kebebasan informasi (Iyer, 2001: 1), pertama, kebebasan informasi membantu pemerintah lebih akuntabel terhadap masyarakat. Kedua, akses pengetahuan atau informasi dapat memberikan pemenuhan diri publik. Ketiga, kebebasan informasi menjadi senjata untuk melawan korupsi. Keempat, kebebasan informasi meningkatkan kualitas pembuatan keputusan. Kelima, kebebasan informasi menambah sifat partisipasi dalam demokrasi. Keenam, kebebasan informasi memperbaiki keseimbangan kekuasaan antara warga negara dengan negara. Transparansi memiliki indikator tersendiri. Buku Indikator Good Public Governance yang diterbitkan oleh Sekteratriat Tim Pengembangan Kebijakan 12
Nasional Bappenas (Setia, 2007: 3) menyebutkan bahwa transparansi dan keterbukaan memiliki indikator minimal: (1) tersedianya informasi yang memadai pada setiap proses penyusunan dan implementasi kebijakan publik, (2) adanya akses informasi yang siap, mudah dijangkau, bebas diperoleh, dan tepat waktu. Sedangkan perangkat pendukung indikator adalah peraturan yang menjamin hak untuk mendapatkan informasi, pusat/balai informasi, situs resmi, iklan layanan masyarakat, media cetak dan elektronik, papan pengumuman, dan pameran pembangunan. Keuntungan dari keterbukaan ini adalah cara berinteraksi dengan publik dengan mekanisme yang baik, yang memungkinkan terwujudnya pemerintahan yang akuntabel. Berikut adalah model yang menggambarkan prasyarat umum aliran informasi yang baik dan menghambat di Badan Publik (Boserup, 2005: 9): Gambar 1.1 Prasyarat Umum Aliran Informasi
Sumber: Boserup (2005: 9)
Dari alur di atas, menunjukkan bahwa tingkat implementasi keterbukaan informasi yang rendah serta ketidaksadaran publik atas haknya memperoleh informasi, menghambat terwujudnya keterbukaan.
13
3. Implementasi Kebijakan Komunikasi dalam Organisasi Seperti telah dijelaskan pada sub bahasan sebelumnya, kebijakan komunikasi adalah juga merupakan kebijakan publik. Maka dalam kebijakan komunikasi ini juga berlaku hubungan tiga aspek untuk mencapai keberhasilan suatu program, yaitu jenis program (kebijakan), penerima program (penerima kebijakan),
dan
organisasi
pelaksana
program
(Subarsono,
2005:
60).
Keberhasilan program ini perlu didukung suatu peran komunikasi. Peran komunikasi
menentukan lancarnya
mekanisme sistem organisasi
dalam
pencapaian tujuannya (Putra dan Setianto, 2014: 1.29). Kebijakan komunikasi UU KIP memiliki tujuan untuk memperlancar sistem komunikasi melalui pengelolaan dan pelayanan informasi yang berkualitas, serta mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik. Pengelolaan dan pelayanan informasi ini dapat diwujudkan dalam suatu praktik implementasi UU KIP dalam organisasi yang wajib untuk dilakukan. Pada prinsipnya, implementasi kebijakan merupakan cara agar kebijakan dapat mencapai tujuannya. Secara luas, implementasi kebijakan memiliki makna pelaksanaan UU dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja sama menjalankan kebijakan dalam rangka mencapai tujuan kebijakan (Winarno, 2008: 144). Implementasi UU KIP ini, berkaitan erat dengan hakikat sistem komunikasi Indonesia, yaitu sebagai pengejawantahan pemenuhan hak warga negara untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi (Putra dan Setianto, 2014: 1.34). Untuk memenuhi hakikat tersebut, maka UU KIP sebagai kebijakan komunikasi diimplementasikan dalam suatu organisasi. Dalam praktik implementasi UU KIP di Badan Publik, diberlakukan standar internasional yang memberi panduan pada Badan Publik bagaimana mereka menjalankan tanggung jawab memenuhi hak publik atas informasi (Erdianto, Aryani, Karanicolas, 2012: 21). Standar tersebut meliputi penentuan kemampuan, bahwa UU KIP berlaku bagi semua Badan Publik dan setiap Badan Publik memahami dan menguasai seluruh informasi publik di lembaganya. Standar berikutnya adalah Badan Publik memiliki dokumen panduan kunci yaitu
14
standar operasional prosedur dan rencana realistis dalam pelaksanaan UU KIP tersebut. Pelaksanaan UU KIP ini juga meliputi penentuan petugas informasi, pelatihan untuk petugas informasi mengenai hak publik untuk mendapatkan informasi, pengelolaan catatan, juga keterbukaan yang proaktif. Keterbukaan dapat menjadi faktor dalam implementasi UU KIP, dengan dilakukannya kegiatan publikasi atas informasi yang dilakukan dengan pengungkapan yang proaktif, serta pengkategorian jenis informasi sesuai UU KIP. Sifat proaktif ini menghemat waktu dan tenaga para pejabat dalam merespons permintaan akses. Informasi yang dipublikasikan harus mudah diakses dan mudah dipahami. Situs resmi lembaga harus digunakan sebagai pintu akses. Standar berikutnya adalah bagaimana Badan Publik menerima dan menjawab permintaan. Badan Publik harus membuat sistem penerimaan, proses, dan respons permintaan informasi sesuai dengan prosedur kerja yang dijelaskan dalam UU KIP. Badan Publik juga perlu mempertimbangkan standar dalam pelaksanaan UU KIP berupa keberatan dan sengketa informasi. Selanjutnya, Badan Publik wajib melaporkan pelaksanaan UU KIP secara berkala khususnya dalam memproses permohonan dan kemungkinan terjadinya sengketa informasi. Praktik implementasi tersebut juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam implementasi kebijakan publik menurut George C Edward III (Subarsono, 2005: 90), Merilee S Grindle (Pratikno, dkk, 2012: 5), serta Howlett dan Ramesh (Rahadian, 2013: 37) yaitu: 1. Faktor isi kebijakan yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, meliputi: (1) Sejauh mana kelompok sasaran termuat dalam isi kebijakan, (2) Jenis manfaat yang diterima oleh kelompok sasaran, (3) Sejauh mana perubahan diinginkan dari sebuah kebijakan, (4) Apakah kebijakan telah menyebut implementornya secara rinci, dan (5) Apakah suatu program didukung sumber daya yang memadai. 2. Faktor
komunikasi,
yaitu
berkaitan
dengan
bagaimana
kebijakan
dikomunikasikan pada organisasi dan publik melalui keputusan-keputusan dan saluran yang tepat. Dalam komunikasi, Edward dalam Winarno (2008: 175), 15
membahas tiga hal yang penting dalam proses komunikasi kebijakan, yaitu transmisi, konsistensi, dan kejelasan. Keputusan adalah komunikasi itu sendiri sehingga keputusan yang dibuat oleh pimpinan merupakan bentuk komunikasi yang dibuat agar tidak menimbulkan ketidakjelasan informasi. Di sini juga berlaku suatu komunikasi organisasi yang tepat, termasuk hubungan antaranggota organisasi pimpinan dan bawahan, dalam suatu lingkup birokrasi atau organisasi formal. Kebijakan yang ditransmisikan kepada kelompok sasaran maupun pelaksana kebijakan diharapkan dapat menciptakan kejelasan sehingga dapat dimengerti. Konsistensi juga diperlukan, yaitu suatu aktivitas penyampaian pesan kebijakan yang dilakukan terus menerus agar kebijakan dipahami. Sumber pengirim pesan, pesan, media atau saluran, serta penerima pesan berkaitan dengan faktor komunikasi dalam implementasi kebijakan, yang pada dasarnya bertujuan untuk menyampaikan pesan kebijakan pada pelaksana dan kelompok sasaran. 3. Sumber Daya. Kekurangan sumber daya dapat berakibat pada tidak efektifnya implementasi kebijakan dalam organisasi. Sumber daya ini dapat berbentuk sumber daya manusia, sumber daya finansial, dan sarana prasarana. Sumber daya manusia merupakan aktor dalam pelaksanaan kebijakan meliputi petugas informasi, pejabat struktural, dan PPID. Menurut Edward dalam Subarsono (2005: 90), sumber daya manusia harus cukup jumlah dan cakap keahliannya. Implementasi kebijakan tidak akan efektif apabila kekurangan sumber daya manusia. Sedangkan sumber daya finansial meliputi pembiayaan operasional implementasi kebijakan yang bisa berpengaruh pada kepatuhan dan kesediaan berbagai pihak menjalankan implementasi kebijakan tersebut. Sumber daya finansial ini berguna untuk pembiayaan operasionalisasi pelaksanaan kebijakan. Sumber daya ini juga meliputi sarana prasarana untuk mendukung kegiatan implementasi. 4. Disposisi. Merupakan kecenderungan para pelaksana kebijakan yang memiliki konsekuensi penting bagi keefektifan implementasi kebijakan. Kecenderungan dapat menghalangi implementasi apabila pelaksana tidak sepakat dengan 16
substansi kebijakan (Winarno, 2008: 199). Kemauan pelaksana kebijakan untuk memiliki kebijakan yang diimplementasikan membawa pengaruh dalam keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Disposisi dipengaruhi oleh suatu teori kognitif, yaitu bagaimana individu memperoleh, menyimpan, dan mengolah informasi yang menghasilkan tindakan (Morissan, 2010: 5). Setiap orang tidak memiliki tingkat kompleksitas kognitif yang sama dan konsisten dalam setiap topik kehidupan. Berdasarkan hal ini maka tingkat kecenderungan pelaksana kebijakan dapat berbeda-beda. Terdapat faktor pemahaman, komitmen, dan penghayatan dalam sikap pelaksana kebijakan. Steers dan Porter dalam Oktorita, F Rosyid, & Lestari (2001) membagi komitmen dalam pendekatan attitudinal commitment (memandang komitmen sebagai sikap) dan behavioral commitment (memandang komitmen sebagai perilaku). Sikap menjadi penilaian subjektif seseorang terhadap suatu objek. Adanya pengalaman tentang keterbukaan informasi dapat berpengaruh dalam konsep disposisi dalam implementasi UU KIP sebagai kebijakan komunikasi. Edward dalam Paramita (2012: 19) juga menyebutkan faktor insentif bagi pelaksana kebijakan, yaitu berupa penghargaan yang dapat berarti penting bagi pelaksana. 5. Struktur Birokrasi. Struktur birokrasi yang panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan prosedur yang berbelit-belit. Struktur birokrasi berkaitan
dengan
kesesuaian
organisasi
formal
(birokrasi)
yang
menyelenggarakan implementasi kebijakan. Struktur ini menjelaskan susunan tugas serta pelaksana kebijakan. Struktur organisasi mengimplementasikan
kebijakan
berpengaruh
yang bertugas
signifikan
terhadap
implementasi kebijakan. Selain struktur organisasi yang disusun dalam suatu organisasi, aspek lain yang penting adalah prosedur operasional standar (POS) yang menjadi pedoman implementor dalam bertindak. 6. Umpan Balik atau Respons Lingkungan Kebijakan Komunikasi. Yaitu meliputi pendapat atau tanggapan mengenai implementasi kebijakan komunikasi yang berjalan di organisasi yang berpengaruh pada tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran. Penerimaan kelompok sasaran 17
tersebut perlu dilihat dan dikaji untuk mengukur keberhasilan organisasi dalam implementasi kebijakan. Aktor kebijakan ini juga meliputi Interest Group, yaitu kelompok kepentingan yang biasanya informasi dari mereka dapat
menyerang
kebijakan
organisasi,
Think-tanks
dan
research
organization, yaitu mereka yang bekerja sebagai konsultan penelitian, akademisi yang dapat mempengaruhi kebijakan, Mass media, sebagai media sosialisasi dan komunikasi yang berhubungan dengan kebijakan yang diimplementasikan. Respons ini memiliki peran penting untuk memberi kontribusi menjelaskan bargaining position masyarakat dalam mendorong Badan Publik melaksanakan UU KIP. Faktor-faktor dan standar pelaksanaan di atas menjelaskan praktik implementasi UU KIP yang menjadi bagian dalam suatu sistem komunikasi. Untuk mengetahui apakah UU KIP memperlancar sistem komunikasi untuk mewujudkan pemerintahan yang terbuka, maka analisis implementasi UU KIP dilakukan dengan memodifikasi standar internasional, serta faktor-faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan publik, dalam model komunikasi. Model komunikasi modifikasi milik Shannon dan Weaver serta Osgood menghasilkan suatu komunikasi yang terdiri dari sumber informasi, yang harus dikomunikasikan oleh pengirim melalui suatu saluran (channel), untuk diteruskan ke penerima, dan sampai pada sasaran. Dalam proses komunikasi tersebut terjadi gangguan sehingga diperlukan upaya untuk menciptakan komunikasi yang efektif. Dalam kombinasi model tersebut ada suatu umpan balik sebagai respons yang diberikan oleh kelompok sasaran yang dapat menjadi masukan untuk pengirim pesan (Severin & Tankard, 2005: 56 & 65). Model komunikasi ini dapat menjelaskan proses pengelolaan dan pelayanan informasi kepada kelompok sasaran dan mengetahui pada aspek mana capaian maupun kendala implementasi terjadi dalam proses tersebut.
4. Komunikasi Organisasi Niklas Luhmann dalam Seidl & Becker (2006: 14) menjelaskan, organisasi harus terkonsep sebagai sistem yang mengenalkan diri mereka berdasar 18
keputusan, dengan kata lain, organisasi adalah jaringan dari berbagai keputusan. Menurut Luhmann dalam Seidl (2006: 35), organisasi menjadi salah satu tipe dari sistem sosial, selain society dan face-to-face interaction. Keputusan yang dibentuk dalam organisasi itu merupakan bentuk spesifik dari komunikasi. Hal ini mendorong organisasi harus memutuskan penyesuaian apa yang perlu dilakukan dalam menghadapi tuntutan baru bagi organisasi. Keterkaitan suatu keputusan sebagai komunikasi yang penting dalam organisasi, menunjukkan bahwa implementasi kebijakan dalam organisasi tidak terlepas dari komunikasi organisasi. Komunikasi organisasi adalah perilaku pengorganisasian yang terjadi dan bagaimana mereka yang terlibat dalam proses itu berinteraksi dan memberi makna atas apa yang terjadi (Pace & Faules, 2015: 33). Salah satu teori yang dibahas dalam komunikasi organisasi adalah tentang aliran informasi dalam organisasi formal. Organisasi modern diorganisasikan berdasar teori Max Weber tentang organisasi formal (birokrasi), dengan ciri-ciri ideal antara lain (Pace & Faules, 2015: 45): (1) organisasi terdiri dari hubungan yang ditetapkan antara jabatan-jabatan, (2) tujuan atau rencana organisasi terbagi dalam tugas-tugas, (3) garis-garis kewenangan dan jabatan diatur menurut tatanan hierarkis, (5) prosedur dalam organisasi sifatnya formal dan impersonal. Organisasi memiliki sekumpulan orang di dalamnya yang memungkinkan terjadinya pertukaran pesan melalui jaringan komunikasi. Dalam penelitian ini, didasari pada teori jaringan komunikasi formal. Pesan dalam jaringan komunikasi formal biasanya mengalir dari atas ke bawah, atau dari bawah ke atas, atau dari tingkat yang sama/horizontal (Muhammad, 2002: 107). Komunikasi ke bawah menunjukkan aliran pesan dari atasan organisasi pada pegawai. Katz dan Kahn dalam Pace & Faules (2006: 185) menyebutkan terdapat lima jenis informasi yang biasa dikomunikasikan dari atasan pada bawahan, yaitu: informasi tentang bagaimana melakukan pekerjaan, informasi tentang dasar pemikiran untuk melakukan pekerjaan, informasi tentang kebijakan dan praktik organisasi, informasi tentang kinerja pegawai, dan informasi untuk mengembangkan rasa memiliki tugas. Komunikasi ke atas dilakukan oleh pegawai 19
atau dari tingkat rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Tujuan komunikasi ini untuk memberi saran, feedback, mengajukan pertanyaan. Sedangkan komunikasi horizontal merupakan aliran pesan antara mereka yang sama tingkat otoritasnya dalam organisasi. Tujuannya untuk koordinasi, pemecahan masalah, pemberian informasi.
5. Kerangka Konsep dan Operasionalisasi Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi UU KIP sebagai kebijakan komunikasi di BPK selama 2010 sampai dengan 2015, dengan menemukan kendala dan faktor-faktor penyebabnya, capaian, serta koordinasinya di organisasi BPK. Faktor implementasi kebijakan terdiri dari isi kebijakan, komunikasi, sumber daya, keterbukaan, disposisi, struktur birokrasi, serta respons kelompok sasaran. Implementasi kebijakan komunikasi UU KIP di BPK diteliti menggunakan faktor-faktor implementasi kebijakan tersebut.
Namun, model
implementasi dapat disintesiskan sesuai kebutuhan penelitian (Wibawa, dkk: 1994: 18). Sehingga untuk hasil dari penelitian ini, konsep-konsep tersebut akan dikelompokkan menjadi konsep besar yaitu, respons atas kebijakan UU KIP, komunikasi dan transfer informasi, praktik pelayanan informasi, dan respons penerima informasi. Rincian dari konsep tersebut dijelaskan dalam operasionalisasi konsep sebagai berikut:
Tabel 1.1 Operasionalisasi Konsep Konsep Isi Kebijakan
Makna Tujuan kebijakan, apa yang diimplementasikan, untuk siapa, siapa yang melakukan.
Ruang Lingkup Tujuan, manfaat Mengkaji isi kebijakan KIP Peraturan BPK Surat Keputusan yang dibuat di BPK Surat Edaran, Nota Dinas/Memo Indikator
Keterangan Buku: Subarsono, AG. (2005). Erdianto, Aryani, 20
Komunikasi
Bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi dan publik melalui keputusankeputusan dan saluran yang tepat. Di sini juga berlaku suatu komunikasi organisasi yang tepat.
Disposisi
Sumber Daya
Kecenderungan sikap para pelaksana kebijakan yang memiliki konsekuensi penting bagi keefektifan implementasi kebijakan.
Sumber daya ini dapat berbentuk sumber daya manusia, sumber daya finansial, dan sarana prasarana untuk memenuhi kebutuhan pelaksanaan UU KIP.
Internal Menyebut kelompok sasaran Menyebut rincian implementor Sumber informasi Transmisi pesan/informasi jelas Disampaikan dengan berbagai saluran komunikasi Kualitas sistem pengelolaan informasi baik Koordinasi antarsatker. Tingkat pemahaman Sikap/komitmen pelaksana Sikap/komitmen pejabat Ada penghargaan/ins entif Ketersediaan petugas informasi/SDM Pengetahuan/pe ndidikan/kompe tensi sesuai Frekuensi pelatihan Pembagian tugas merata Anggaran memenuhi Ketersediaan
Karanicolas. (2012).
Mendata proses komunikasi, jaringan komunikasi di BPK Pusat, antar satuan kerja yang berkepentingan, dan antara BPK Pusat dengan BPK Perwakilan.
Muhammad, Arni. (2002).
Mendata sikap, kesadaran, dan kepatuhan pelaksana UU KIP di BPK.
Buku: Morissan. (2010).
Mendata SDM, pengalaman, keterampilan, pengetahuan sumber daya manusia, serta anggaran dan sarana yang mendukung pelaksanaan UU KIP.
Winarno, Budi. (2008). Severin & Tankard, (2005)
Winarno, Budi. (2008). Oktorita B, et al. (2001). Jurnal Psikologi Buku: Subarsono, AG. (2005).
21
Keterbukaan proaktif
Publikasi secara proaktif dengan menyediakan informasi yang mudah diakses dan mudah dipahami, melalui situs lembaga.
Struktur Birokrasi
Umpan Balik/Respons Kelompok Sasaran
Struktur birokrasi berkaitan dengan kesesuaian organisasi formal (birokrasi) yang mengimplementasi UU KIP, serta menjelaskan susunan tugas serta pelaksana kebijakan. Respons kelompok dalam menerima pesan dan pelaksanaan UU KIP.
fasilitas mudah dan terpelihara Akses Ada daftar informasi publik Kualitas pelayanan informasi memadai Situs resmi lengkap Tersedia ruang partisipasi publik Sengketa informasi Struktur PPID Struktur PIK Tugas dan tanggung jawab tim pelaksana POS
Pendapat/tangga pan positif Pendapat/tangga pan negatif Penerimaan kelompok sasaran
Mendata kelengkapan informasi dan salurannya untuk diakses masyarakat.
Buku: Setia, Budi, dkk. (2007).
Pejabat PPID, pejabat struktural, dan pegawai di BPK
Buku: Subarsono, AG. (2005).
Mendata permintaan informasi selama 20102015 dan tanggapan kelompok sasaran.
Tesis: Rahadian, Adinda Permatasari. (2013).
Erdianto, Aryani, Karanicolas. (2012).
G. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis dan sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, untuk menjelaskan secara keseluruhan, mendalam, dan lengkap tentang gambaran prinsip-prinsip yang berlaku terkait suatu kondisi sosial di objek yang diteliti. Paradigma yang digunakan dalam penelitian adalah paradigma interpretive/konstruktivisme, 22
dimana tujuan dari paradigma ini adalah untuk memahami bagaimana manusia menciptakan makna dan menginterpretasikannya pada dunia sekelilingnya (Wimmer dan Dominick, 2011: 115). Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap tindakan sosial (socially meaningful action) melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial. Keterbatasan penelitian kuantitatif menjadi titik awal munculnya penelitian kualitatif (Flick, 2009: 12). Penelitian kuantitatif digunakan untuk mencari penyebab dan efek suatu fenomena, mengoperasikan hubungan teori dengan benar, mengukur fenomena, namun pernyataan maupun alasan-alasan yang mendasari fenomena dalam ilmu sosial hanya bisa dikaji melalui penelitian kualitatif. Tiga elemen penting dimiliki penelitian kualitatif (Jankowski dan Wester dalam Jensen dan Jankowski, 1991: 44). Pertama, konsep verstehen, yaitu pemahaman atas makna kondisi dan aktivitas sosial di sekelilingnya. Kedua, gagasan mengenai perspektif peran penting sehingga perlu dikembangkan. Ketiga, menekankan pada pentingnya mengidentifikasi topik sebelum menyusun konsep. Jenis dan sifat penelitian tersebut dipandang tepat untuk meneliti implementasi kebijakan komunikasi UU KIP di BPK. Penelitian tentang implementasi UU ini dilakukan untuk menjelaskan secara keseluruhan dan lengkap tentang kondisi dimaksud.
2. Objek Penelitian Objek penelitian dalam penelitian ini adalah BPK Pusat, dengan rincian pejabat struktural dan pegawai di Kantor BPK Pusat di Jakarta yang bidang kerjanya terkait dengan kebijakan komunikasi keterbukaan informasi publik pada tahun 2010-2015, serta kelompok sasaran terkait implementasi UU KIP di BPK yang terdiri dari kelompok kepentingan LSM, media massa, dan masyarakat umum (lihat selengkapnya di halaman 25-27).
23
3. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kantor Pusat BPK di Jl. Jend. Gatot Subroto No. 31 Jakarta Pusat, dan kantor pihak eksternal BPK di Jakarta dan Serang. Waktu dilakukannya penelitian adalah minggu ke-2 Februari sampai dengan Juni 2016.
4. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah studi kasus. Metode ini menggunakan sumber data sebanyak mungkin untuk meneliti secara sistematis semua hal baik individu, kelompok, organisasi, maupun peristiwa. Terdapat empat karakteristik dari studi kasus (Wimmer dan Dominick, 2011: 141): (1) particularistic, artinya studi kasus fokus pada situasi, kegiatan, program, fenomena yang khas, suatu studi yang baik untuk meneliti masalah praktis, (2) descriptive, hasil akhir dari studi kasus adalah penjabaran yang detail tentang topik yang diteliti, (3) heuristic, studi kasus membantu untuk memahami apa yang sedang diteliti. Interpretasi baru, perspektif baru, makna baru, dan pandangan baru adalah tujuan akhir dari studi kasus, (4) inductive, kebanyakan studi kasus bergantung pada alasan induktif, studi kasus mencoba menemukan hubungan baru daripada menguji hipotesis. Alasan dipilihnya metode ini adalah bahwa rentang tahun 2010 sampai dengan 2015 merupakan lima tahun berlakunya kebijakan UU KIP di BPK. Pada rentang waktu tersebut, BPK sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan negara di Indonesia, mengalami berbagai penyesuaian tuntutan kebijakan komunikasi tersebut, dan sengketa informasi. Sehingga perlu diketahui apa yang menjadi kendala dalam menjalankan kebijakan komunikasi UU KIP selama lima tahun tersebut. Kewajiban mengimplementasikan UU KIP di BPK memiliki dinamika tersendiri dalam memaknai arti penting transparansi dan akuntabilitas dalam tugas BPK memeriksa laporan keuangan negara. Dalam penelitian ini, sumber yang beragam untuk meneliti proses implementasi selama 2010 sampai dengan 2015, seluruhnya dimanfaatkan untuk mengetahui bagaimana kebijakan komunikasi tersebut dijalankan di BPK.
24
5. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian tentang implementasi UU KIP di BPK, data yang dikumpulkan dibagi menjadi data primer dan data sekunder. Yang termasuk dalam data primer adalah hasil dari pengamatan langsung proses pelayanan dan pengelolaan informasi di BPK dan wawancara mendalam dengan narasumber yang terkait langsung dengan implementasi UU KIP di BPK. Sedangkan yang termasuk dalam data sekunder adalah dokumen, rekaman arsip, serta perangkat fisik. Dokumen yang dikumpulkan untuk diteliti adalah prosedur operasional standar (POS), pengumuman, surat keputusan Ketua maupun Sekretaris Jenderal BPK, peraturan BPK, daftar monitoring pelayanan informasi, daftar informasi publik, nota dinas pelayanan informasi, laporan pengelolaan informasi dan laporan koordinasi. Rekaman arsip yang diteliti adalah berita media internal BPK terkait kegiatan KIP dalam bentuk cetak maupun elektronik, jumlah permintaan informasi dan responnya dalam periode 2010-2015, data organisasi dan anggaran. Sedangkan perangkat fisik yang diteliti adalah dukungan dan kelengkapan perangkat di Pusat Informasi dan Komunikasi BPK, serta situs resmi BPK Pusat dan Perwakilan. Daftar narasumber yang diwawancara dalam penelitian ini adalah: Tabel 1.2 Daftar Narasumber No.
Nama
Kedudukan
Alasan Pemilihan
1.
R. Yudi Ramdan, S.E., M.M, Ak.
Sebagai PPID Pusat di BPK periode 2014 sampai sekarang.
2.
Bahtiar Arif, S.E., M.Fin., Ak.
3.
Akhmad Anang
Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Internasional Kepala Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi, dan Pengembangan Pemeriksaan Keuangan Negara Kepala Direktorat Legislasi,
Tanggal Pelaksanaan Wawancara 23 Februari 2016
Sebagai PPID Pusat di BPK periode 2011 sampai 2013.
21 April 2016
Sebagai Pejabat Pembantu PPID Pusat Bidang Hukum
23 Februari 2016 25
Hernady, S.H.
4.
periode 2015 sampai sekarang.
Sebagai mantan Kepala Bagian Publikasi dan Layanan Informasi/Sekretaris PPID/Ketua Pusat Informasi dan Komunikasi (PIK) di BPK Pusat periode 2010-2012. Dian Rosdiana, Kasubbag Sebagai Kasubbag Layanan S.H., M.H. Layanan Informasi Informasi/supervisor PIK Pusat periode 2013 sampai sekarang. Dhiena Kasubbag Sebagai mantan Kasubbag Novianita, Ketatausahaan Layanan Informasi periode S.Sos., M.M. Auditorat 2007-2012. Keuangan Negara II Gilang Staf Subbag Sebagai staf pelayanan Gumilar, Layanan Informasi permintaan informasi sejak S.Ikom. 2011 sampai sekarang. Rikha Staf Biro Humas Sebagai staf subbag Layanan Handayani, dan Kerja Sama Informasi periode 2007-2013. S.Sos., M.Si. Internasional Firdaus Ilyas Koordinator Divisi Sebagai kelompok Monitoring dan kepentingan yang pernah Analisa Anggaran memohon informasi ke BPK. Indonesia Corruption Watch (ICW)
12 April 2016
10.
Ari Setiawan
Pegiat Pattiro Banten di Divisi Pelayanan Publik
29 Maret 2016
11.
Apung Widadi
12.
Suhartono
Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Kepala Biro Istana Redaksi Harian KOMPAS
5.
6.
7.
8.
9.
Gunarwanto, S.E., M.M., Ak.
Pengembangan, dan Bantuan Hukum Kepala Direktorat Litbang
Sebagai kelompok kepentingan yang pernah memohon informasi dan bersengketa dengan BPK. Sebagai kelompok kepentingan yang pernah memohon informasi ke BPK.
16 Februari 2016
26 Februari 2016
16 Februari 2016 23 Februari 2016 17 Maret 2016
22 Maret 2016
Sebagai wartawan media yang 22 Maret pernah memohon informasi ke 2016 BPK dan meliput di BPK sejak 2002-sekarang. 26
13.
Akbar Tri Kurniawan
Staf Redaksi Majalah TEMPO
14.
Aditya Nuriya
15.
Rio Prawinoto
Tenaga Ahli Komisi Informasi Pusat Masyarakat Umum
16.
Ronald A Supranto
Masyarakat Umum
17.
Muhammad Arif Ibrahim
Masyarakat Umum
Sebagai wartawan media yang pernah memohon informasi ke BPK dan meliput di BPK sejak 2011-sekarang. Sebagai penilai peringkat keterbukaan informasi publik pada 2012-2015. Sebagai masyarakat umum yang pernah memohon informasi BPK. Sebagai masyarakat umum yang pernah memohon informasi BPK. Sebagai masyarakat umum yang pernah memohon informasi BPK.
21 Maret 2016
14 Maret 2016 8 Juni 2016
9 Juni 2016
9 Juni 2016
6. Teknik Pengolahan Data Data yang telah dikumpulkan selanjutnya melewati proses pengolahan data. Penelitian kualitatif menggunakan metode induktif, yaitu data dikumpulkan sesuai topik, selanjutnya dikelompokkan dalam kategori-kategori yang ditentukan. Miles dan Huberman dalam Wimmer dan Dominick (2011: 119) menyebutkan fase analisis data diawali dengan pengolahan melalui reduksi data yang selanjutnya disajikan untuk dianalisis.
7. Teknik Penyajian Data Hasil pengumpulan data wawancara, pengamatan langsung, dokumen, perangkat fisik, rekaman arsip yang telah dilakukan, selanjutnya diolah dengan direduksi dan dikelompokkan mana yang sesuai dengan variabel-variabel yang telah ditentukan dalam konsep penelitian. Data yang tidak sesuai dengan konsep penelitian tidak disajikan. Penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel maupun bagan.
8. Teknik Analisis Data Data yang telah disajikan adalah data yang dianalisis. Analisis data ini dimaknai dengan menggunakan perspektif kebijakan komunikasi yang bertujuan 27
untuk melancarkan sistem komunikasi di dalam organisasi BPK yang berkaitan dengan keterbukaan informasi publik. Data yang disajikan utamanya adalah hasil transkrip wawancara dengan key person mengenai bagaimana implementasi UU KIP dijalankan di BPK beserta pendapat aktor di luar organisasi yang terkait langsung dengan proses implementasi kebijakan tersebut. Bersama dengan data lain, dicari poin-poin utama dalam transkrip wawancara maupun data lain untuk menentukan kata atau kalimat yang terkoneksi dengan teori-teori yang telah ditentukan sebelumnya. Pendapat dan pandangan aktor implementasi kebijakan menggambarkan implementasi UU KIP di BPK selama lima tahun. Uji validitas dan reliabilitas membantu keyakinan atas kebenaran interpretasi dalam hasil penelitian. Untuk memberi keyakinan atas kredibilitas penelitian ini, faktor berikut diperhatikan untuk menjamin kredibilitas (Wimmer dan Dominick, 2011: 123): (1) Multiple methods of data collection, disebut juga triangulasi dimana dilakukan wawancara dengan narasumber, observasi lapangan, dan analisis dokumen, selanjutnya dianalisis untuk memberi beragam perspektif dalam menentukan temuan penelitian. (2) Audit trail, dibuat salinan atas dokumen asli yang menjadi data penelitian agar bisa diberi komentar oleh pihak lain untuk menilai akurasi kesimpulan yang dibuat peneliti. Peneliti membuat salinan atas semua dokumen yang dikumpulkan. Dokumen dinilai oleh pihak lain, dalam hal ini peneliti memilih satu orang mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi UGM untuk menilai akurasi. (3) Research team, setelah melakukan interpretasi, peneliti meminta pihak lain untuk mengamati proses interpretasi dan mengajukan pertanyaan agar tidak terjadi mis-interpretasi. Pihak lain adalah satu orang mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi UGM.
9. Limitasi Penelitian Penelitian yang dilakukan tentang implementasi UU KIP di BPK memiliki keterbatasan. Analisis mengenai implementasi UU No. 14 Tahun 2008 hanya memotret implementasi di Kantor Pusat BPK di Jakarta dengan makna yang telah 28
ditetapkan dalam konsep penelitian. Namun pembahasan di luar indikator yang ditentukan tetap dimungkinkan apabila ada hal yang penting diungkapkan dalam penelitian. Batasan lainnya adalah analisis data untuk mengetahui respons kelompok sasaran dilakukan dengan melihat hasil wawancara pihak eksternal BPK yang terbatas jumlahnya.
H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah: 1. BAB I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran dilengkapi konsep yang menjadi indikator dalam penelitian, metodologi penelitian yang berisi teknik dilakukannya penelitian ini. 2. BAB II UU Nomor 14 Tahun 2008 sebagai Kebijakan Komunikasi di Organisasi, menjelaskan posisi kebijakan UU KIP dalam konteks organisasi. 3. BAB III Dinamika Unit Kerja dalam Tugas Keterbukaan Informasi Publik di BPK, merupakan karakteristik unit kerja di BPK tempat data-data primer dan sekunder berada untuk mendukung penelitian. 4. BAB IV Hasil Penelitian, merupakan hasil analisis tentang implementasi kebijakan komunikasi UU KIP di BPK selama 2010-2015. 5. BAB V Penutup, yang berisikan kesimpulan tesis dan saran yang diberikan untuk berlangsungnya implementasi UU KIP di BPK.
29