BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik diketahui bahwa jumlah kasus pembunuhan pada tahun 2010 mencapai 1058 kasus dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 1467 kasus. Pada tahun 2012 angka ini berubah menjadi 1456 kasus. Meskipun terjadi penurunan jumlah kasus pembunuhan dari tahun 2011 ke tahun 2012, namun angka 1456 bukanlah angka yang kecil. Berikut adalah beberapa contoh kasus pembunuhan yang terjadi. “Kepala Polisi Sektor Cileungsi, Komisaris Irfan Nurmasyah mengatakan AR, 15 tahun, siswa SMP PGRI di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, terancam pasal pembunuhuan berencana. AR diduga membunuh rekan sekelasnya, Vindi Desi, 14 tahun, gara-gara sakit hati”. (www.tempo.co) “Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Tatang Budie Utama Razak mengatakan Satinah binti Jumadi Amad, tenaga kerja Indonesia asal Jawa Tengah, telah mengakui membunuh majikannya di pengadilan Buraidah. Setelah membunuh majikannya, Satinah mengambil uang majikannya sebesar 37.970 riyal atau sekitar Rp 100 juta. "Fakta hukum di pengadilan, dia (Satinah) mengakui mengambil uang setara Rp 119 juta," kata Tatang di Jakarta, 24 Maret 2014.” (www.tempo.co) “Polsek Cibinong, Kabupaten Bogor berhasil meringkus seorang ABG wanita, FB (17) bersama dua temannya, HR (16), dan DN (16) karena diduga telah membunuh dan merampok Ina (55), warga Kelurahan Ciriung, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, Rabu (16/4). Ironisnya, berdasarkan hasil penyidikan kepolisian, FB (pelaku utama) diketahui ternyata menantu korban. Dia melakukan aksi pembunuhan dan perampokan dengan mengajak rekannya karena sakit hati. Kapolsek Cibinong Kompol Eko Prasetyo menjelaskan, berdasarkan pengakuan FB, ia membunuh karena kesal dan sakit hati sering dimarahi korban. "Pelaku inisial FB ini mengaku membunuh karena sakit hati. D dan H rekannya hanya diajak serta diiming-imingi diberikan uang," kata Kompol Eko.”(www.merdeka.com)
1
2 Pembunuhan dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai menghilangkan nyawa; mematikan. Akan tetapi, tidak semua tindakan membunuhan diartikan sebagai tindakan kriminal. Penetapan tindakan membunuh sebagai tindak kriminal berada di tangan pihak yang berwenang, di Indonesia penetapan ini berada di bawah kekuasaan pengadilan negeri berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh oleh pihak penyelidik kepolisian. Dalam Morrall (2006) pembunuhan oleh John Bouvier dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu: 1. Justifiable, yaitu pembunuhan yang dapat dibenarkan karena didasarkan pada tugas atau hak yang benar. 2. Excusable, yaitu pembunuhan di luar hak atau tugas namun tanpa niatan kriminal. 3. Felonious, yaitu pembunuhan yang ditetapkan oleh hukum sebagai tindak kejahatan. Di Indonesia penetapan kasus-kasus pembunuhan didasarkan pada KUHP Bab XIX tentang kejahatan terhadap nyawa pasal 338-350. Salah satu pasalnya, pasal 338, menyebutkan bahwa barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Berkaitan dengan penilaian tindak pembunuhan Morrall (2006) menambahkan beberapa pertimbangan lain dalam penentuan status moral pembunuhan. 1. Hubungan korban-pelaku, apakah korban dan pelaku memiliki hubungan yang dekat atau keduanya adalah orang asing. Semakin dekat hubungan korban dengan pelaku maka semakin berat tindak pembunuhan itu akan dinilai. 2. Motif pembunuhan, apakah pembunuhan tersebut dilakukan secara spontan dan emosional atau telah direncanakan sebelumnya. Pembunuhan berencana dinilai lebih kejam dari pada pembunuhan yang dilakukan sebagai usaha mempertahankan
3 diri atau pembunuhan yang terjadi sebagai akibat emosi pelaku yang terpancing oleh ulah korban. 3. Sifat kekerasan, apakah tindakan tersebut diikuti tindak kekerasan lain seperti pemerkosaan atau tidak. Pembunuhan yang disertai tindak pemerkosaan dan/atau penganiayaan akan dinilai lebih keji dibandingkan dengan pembunuhan yang tidak disertai penganiayaan dan/atau pemerkosaan. 4. Dinamika kekuatan, apakah korban memiliki daya melawan atau tidak. Pelaku yang membunuh korban yang tidak berdaya seperti anak-anak dan orang tua akan mendapat penilaian yang lebih buruk daripada ketika korban adalah seseorang yang memiliki kekuatan yang sama dengan pelaku. 5. Status sosial korban, apakah korban memiliki status sosial yang tinggi atau tidak. Semakin tinggi status sosial korban semakin dinilai buruk tindak pembunuhan yang dilakukan kepadanya. 6. Pelaku, apakah pembunuhan tersebut dilakukan oleh seorang polisi, dokter, ibu, dan sebagainya. Pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu kepada anaknya akan mendapat penilaian yang sangat buruk mengingat dalam peran sosialnya, seorang ibu seharusnya menjadi pelindung bagi anaknya. Tindakan membunuh itu sendiri merupakan bentuk usaha seseorang untuk melindungi dirinya dari kehilangan jiwa (losing soul), kehilangan akal (losing mind), atau kehilangan muka (losing face) yang disebabkan oleh rasa malu (shame), yaitu perasaan inferior terkait dengan perbandingan diri dengan diri sendiri dan orang lain atau kelompok lain (Gilligan, 1997). Ketika seseorang merasa kehormatan mereka dipertaruhkan dan tingkat rasa malu tidak lagi dapat tertahankan ditambah lagi dengan kegagalan dalam usaha mereka untuk mempertahankannya melalui usaha-usaha yang legal maka bukan tidak mungkin mereka melakukan tindakan ilegal, seperti penggunaan kekerasan, penganiayaan,
4 dan pembunuhan. Semua itu dilakukan demi menjaga kehormatan yang dinilai sangat penting dan lebih penting dari nyawa mereka (Gilligan, 1997). Feldman (2002) mengungkapkan bahwa penggunakan kekerasan merupakan pilihan yang diambil jika alternatif-alternatif yang lain pada konflik sebelumnya tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pemilihan alternatif penggunaan kekerasan juga semakin mungkin terjadi jika pelaku pengambilan keputusan telah belajar menggunakan kekerasan baik melalui model maupun melalui pengalamannya sendiri. Ditambah lagi jika melalui alternatif tersebut pelaku pengambil keputusan memperoleh kepuasan. Namun, hal ini juga tergantung pada perkiraan pelaku terhadap kekuatan lawan, niatannya untuk menggunakan kekuatan, dan juga tingkat arousal emosinya. Beberapa penelitian menunjukkan perbedaan mengenai mengapa pelaku melakukan pembunuhan pada pelaku laki-laki dan perempuan. Wilson dan Daly (1992) menemukan bahwa perempuan membunuh pasangannya sebagai bentuk pertahanan diri setelah mengalami kekerasan bertahun-tahun dari orang terdekatnya. Sedangkan laki-laki membunuh pasangannya yang berkhianat dan menjadikan tindakannya sebagai bagian dari tindakan bunuh – bunuh diri. Data dari Badan Pusat Statistik (2013) juga menunjukkan bahwa pelaku perempuan melakukan tindak pembunuhan karena tertekan dan tekanan ini paling banyak muncul dari orang-orang terdekat seperti pasangan hidup, anak, dan saudara atau keluarga. Mungkin hal inilah yang mendasari sebagian besar korban pelaku pembunuhan-perempuan adalah orang terdekat pelaku seperti pasangan hidup, anak, dan keluarga. Sedangkan pada pelaku laki-laki korban sebagian besar adalah orang yang dikenal pelaku namun tidak intim. Sebanyak 56,4% korban dari pelaku laki-laki adalah seseorang yang dikenal namun tidak memiliki hubungan yang akrab, orang asing sebanyak 25,5%, keluarga sebanyak 10,9%, dan pasangan sebanyak 7.1%. Di sisi lain korban pelaku perempuan 41,5% adalah
5 pasangan hidup, 29,9% orang yang dikenal namun tidak memiliki hubungan akrab, keluarga sebanyak 16,7% dan orang asing 11,9% (Cooper dan Smith (2011). Perbedaan selanjutnya terdapat pada cara pembunuhan yang dilakukan. Dalam tindakan pembunuhan yang dilakukannya perempuan cenderung tanpa alat (tangan kosong) dan senjata tajam seperti pisau (BPS, 2013); pencekikan, racun, dan metode lain yang tidak menimbulkan banyak luka (Michels, Netter, Marquez, & Ghebremedhin, 2009). Sedangkan laki-laki cenderung menggunakan senjata api, senjata tajam, benda tumpul, dan tangan kosong (VPC, 2013). Penggunaan benda tumpul oleh pelaku laki-laki menunjukkan cara pembunuhan yang brutal yang membutuhkan kekuatan fisik yang besar. Sedangkan cara yang dilakukan oleh pelaku perempuan menunjukkan bahwa pelaku perempuan cenderung memilih cara-cara yang tidak membutuhkan kekuatan fisik yang besar. Perbedaan-perbedaan dalam cara, motif, dan korban pembunuhan antara laki-laki dan perempuan ini diasumsikan berkaitan dengan cara pengambilan keputusan pada pelaku laki-laki dan perempuan. Combe (2014) mengartikan pengambilan keputusan sebagai posisi atau keputusan yang ditetapkan melalui sebuah pertimbangan dan pilihan atas alternatif-alternatif tindakan yang ada dan Verma (2009) mendefinisikan pengambilan keputusan sebagai hasil dari mental proses yang mengarah pada pemilihan suatu tindakan di antara beberapa alternatif. Lebih rinci lagi Gibson, Ivancevich, Donelly, dan Konopaske (2008) mendefinisikan pengambilan keputusan sebagi sebuah proses pemilihan alternatif terbaik melalui tahap penentuan tujuan, identifikasi masalah, pengembangan alternatif, evaluasi alternatif, pemilihan alternatif, implementasi, serta kontrol dan evaluasi. Proses pengambilan keputusan bukanlah sebuah proses yang berdiri sendiri, melainkan sebuah proses yang dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah jenis kelamin. Faktor jenis kelamin ini berkaitan erat dengan peran sosial yang disematkan
6 padanya. Ketika sesosok bayi lahir, jenis kelamin yang ia miliki akan berpengaruh terhadap bagaimana orang lain akan memperlakukan bayi tersebut. Misalnya, bayi perempuan akan diberikan baju yang berwarna merah jambu, dipakaikan rok, dan aksesoris seperti bando dan anting. Perbedaan perlakuan ini akan berlangsung seumur hidup yang kemudian membentuk peran-peran sosial tertentu pada seseorang sesuai jenis kelaminnya. Dalam pengambilan keputusan peran sosial ini sangat berpengaruh dalam motivasi, sikap terhadap resiko, dan cara pengambilan keputusan (Powell & Johnson, 2008). Dalam proses sosialisasinya, seorang anak perempuan cenderung akan dibentuk menjadi seorang perempuan yang memiliki sifat asih dan pasif mengingat di kemudian hari dia akan menjadi seorang ibu dan istri. Hal ini menyebabkan dalam pengambilan keputusannya, seorang perempuan cenderung fokus pada hubungan interpersonal dan memperhatikan bagaimana lingkungan akan memandangnya (Powell & Johnson, 2008; Lizarraga, Baquedano, & Cardelle-Elawar, 2007). Di sisi lain anak laki-laki dituntut untuk lebih kompetitif, agresif, dan pasif yang berakibat pada kecenderungannya untuk mengambil resiko dan kepercayaan diri yang tinggi (Powell & Johnson, 2008; Soane & Nicholson, 2008; Lizarraga, et.al., 2007). Lizarraga, et al. (2007) menemukan bahwa dalam pengambilan keputusannya, perempuan sangat memperhatikan ketidakpastian, keraguan, dan dinamika-dinamika yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Mereka juga cenderung memilih metode pencapaian yang sesuai dan sangat dipengaruhi oleh emosi. Hal ini dikarenakan tekanan sosial yang mereka peroleh dari peran sosial yang mereka sandang, mengingat peran seorang wanita adalah seseorang yang asih dan pasif. Lain halnya dengan laki-laki. Dalam penelitian yang sama ditemukan bahwa pengambilan keputusan laki-laki lebih menekankan pada pentingnya analisis informasi yang dibutuhkan dan makna tujuan yang ingin mereka capai.
7 Uraian di atas memunculkan pertanyaan apakah ada perbedaan pengambilan keputusan pembunuhan pada pelaku laki-laki dan perempuan, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Perbedaan Pengambilan Keputusan Membunuh antara Pelaku Laki-Laki dan Perempuan”. B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan pada pengambilan keputusan pembunuhan antara pelaku laki-laki dan perempuan. C. Manfaat Penelitian 1.
Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dalam perkembangan ilmu psikologi,
khususnya pada psikologi forensik terkait dengan pengambilan keputusan pada pelaku pembunuhan. 2.
Secara Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai masukan dalam proses profilling
pelaku pembunuhan. Profilling merupakan sebuah bentuk analisis karakteristik psikologis dan perilaku seseorang yang digunakan untuk mempermudah pihak penyelidik untuk secara akurat memprediksi pelaku, mengindentifikasi dan mendukung proses penangkapan, serta memfasilitasi cara berinteraksi dengan pelaku. Selain bermanfaat dalam proses penyidikan, informasi ini juga dapat bermanfaat bagi petugas lapas khususnya bagian divisi bimbingan pemasyarakatan dan perawatan (bimaswat) dalam proses pembinaan narapidana laki-laki dan perempuan yang terjerat kasus pembunuhan.