BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Ikan patin adalah ikan air tawar yang banyak ditemukan di perairan umum di Indonesia seperti sungai, waduk, dan rawa. Di Indonesia, ikan patin telah banyak dibudidayakan karena memiliki potensi ekspor cukup tinggi dan memiliki berbagai keunggulan. Berdasarkan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (2013), dikatakan bahwa keunggulan yang dimiliki ikan patin antara lain beraroma ringan, durinya relatif sedikit, tidak bersisik, mampu menghasilkan bibit lebih banyak dan memiliki daya tahan yang lebih baik terhadap kondisi lingkungan perairan. Ikan patin sangat diminati baik di pasar domestik maupun internasional. Pengembangan budidaya ikan patin di Indonesia didasarkan pada produksi dalam negeri yang terus meningkat. Dikutip dari Laporan Tahunan Dirjen Budidaya KKP, produksi ikan patin dari tahun 2010 hingga tahun 2013 menunjukan trend yang positif dengan rata-rata kenaikan per tahun sebesar 95,57%. Pada tahun 2012, produksi ikan patin mencapai 347.000 ton dan pada tahun berikutnya yakni pada tahun 2013 produksi ikan patin meningkat tajam hingga mencapai 972.778 ton. Sebagai komoditas ekspor bagi Indonesia, ikan patin biasanya dipasarkan dalam bentuk ikan patin segar atau dalam bentuk fillet ikan yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Berdasarkan Kementrian Perdagangan Republik Indonesia (2013), di pasar internasional harga jual ikan patin hanya 1 USD sedangkan harga jual dari fillet ikan patin mencapai 3,4 USD. Fillet adalah potongan daging ikan yang didapatkan dengan cara memotong ikan dan menghilangkan bagian kepala, ekor, sirip, isi perut sehingga didapatkan dagingnya saja (Cahyono, 2000). Rendemen fillet yang dihasilkan biasanya antara 30% sampai dengan 40% dari bobot ikan (Liviawaty, 2001). Ikan yang difillet memiliki beberapa keuntungan sebagai bahan baku olahan, antara lain bebas dari duri dan tulang, dapat disimpan
1
2
lebih lama, serta menghemat waktu dan tenaga kerja karena penanganannya mudah serta dapat meningkatkan mutu produk olahannya (Marta, 2006). Fillet ikan lebih mudah mengalami penurunan kesegaran yang disebabkan karena pembuatan fillet telah merusak pertahanan alami ikan (Afrianto, 2014). Kerusakan yang terjadi pada daging ikan dapat disebabkan oleh beberapa hal. Afrianto (1989) menyebutkan bahwa kebusukan atau kerusakan
pada
ikan
dapat
disebabkan
karena
aktivitas
enzim,
mikroorganisme, atau oksidasi oksigen. Peristiwa autolisis terjadi akibat protein terurai menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti asam amino dan amoniak yang menyebabkan bau busuk. Proses oksidasi terjadi karena sebagian besar lemak yang terkandung didalam ikan adalah lemak tidak jenuh yang bersifat tidak stabil dan mudah mengalami proses oksidasi menghasilkan senyawa-senyawa yang dapat menyebakan penurunan kualitas ikan. Sedangkan pembusukan pada ikan terjadi karena adanya mikroba. Pembusukan ikan secara mikrobiologis merupakan proses pembusukan pada ikan yang terjadi karena adanya kontaminasi mikroba, kondisi lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan mikroba dan penurunan kualitas bahan pangan (Liviawaty, 2010) Untuk mengatasi masalah tersebut biasanya fillet ikan yang dipasarkan disimpan pada suhu rendah (15 hingga -10C). Namun fillet ikan yang disimpan dengan suhu dingin tetap tidak dapat terhindar dari kerusakan. Wibowo dan Yunizal (1998) mengatakan bahwa fillet ikan yang disimpan pada suhu 10 hingga 00C memiliki umur simpan selama 2-5 hari saja. Agar fillet ikan dapat bertahan lebih lama maka diperlukan metode pengawetan selain dengan cara penyimpanan pada suhu rendah. Salah satu metode pengawetan yang dilakukan adalah dengan penambahan senyawa antimikroba yang aman untuk digunakan, salah satunya adalah nisin. Nisin
dikenal
sebagai
bakteriosin
yang
merupakan
senyawa
biopreservatif dihasilkan oleh Lactococcus lactis subs. lactis dan secara komersial digunakan pada produk pangan (Fawzya, 2010). Nisin telah dinyatakan aman oleh Badan Pangan Dunia (FAO/ WHO) sebagai pengawet
3
alami sejak 1969 dan nisin telah menjadi salah satu dari antara 25 bahan tambahan makanan yang diijinkan di Indonesia (BPOM No. 36 tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengawet). Nisin dilaporkan dapat menghambat bakteri gram positif dan dapat menghambat
pertumbuhan
bakteri
Listeria
innocua
dan
Listeria
monocytogenes namun kurang aktif dalam menghambat yeast dan kapang (Basch et al (2011) dan Resa et al (2014)). Penggunaan nisin sebagai bahan pengawet pada produk pangan telah banyak diteliti, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Behnam, et al, (2013) yang menguji efek penyemprotan larutan Nisin komersial (Serva-Nurk yang diproduksi dari Lactococcus lactis, Art number: 30413) pada ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) yang disimpan pada suhu 4⁰C dalam kondisi vakum. Hasilnya adalah penggunaan nisin pada konsentrasi 100 µg/g dapat mempertahankan kualitas ikan hingga 16 hari penyimpanan dilihat dari angka peroksida, indeks TBA, pH, dan TVB-N ikan. Pada penelitian ini, digunakan edible coating berbahan dasar pati tapioka sebagai metode untuk mengaplikasikan nisin pada fillet ikan patin. Berdasarkan Winarti (2012), berbagai penelitian menunjukkan bahwa edible coating dapat berfungsi sebagai pembawa (carrier) aditif makanan seperti agens pencoklatan, antimikroba, pewarna, pemberi flavor, nutrisi, dan bumbu. Penggunaan tapioka sebagai bahan dasar edible coating memiliki kelebihan tersendiri. Pada beberapa penelitan yang menggunakan tapioka sebagai bahan dasar edible coating/ film sebagai pembawa nisin ke dalam produk pangan menunjukkan bahwa penggunaan kombinasi edible film tapioka dengan menggunakan nisin dapat mengontrol pertumbuhan L. innocua pada kultur keju Port Salut dan dapat digunakan sebagai kemasan aktif yang dapat menghalangi keberadaan mikroba pada pangan (Resa et al (2014) dan Basch et al (2011)). Akan tetapi, penggunaan nisin sebagai bahan pengawet fillet ikan patin dengan menggunakan metode edible coating berbasis pati tapioka belum pernah ada sebelumnya. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai aplikasi nisin yang diproduksi
4
dari Lactococcus lactis subsp. lactis dengan metode edible coating pati tapioka terhadap mutu fillet ikan patin selama penyimpanan dingin. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pengaruh penggunaan nisin dari Lactococcus lactis subs. lactis dengan metode edible coating berbasis tapioka terhadap kualitas fillet ikan patin (Pangasius hypophthalmus) yang disimpan pada suhu dingin (4±1⁰C) ? 2. Berapa aktivitas optimal penggunaan nisin dari Lactococcus lactis subs. Lactis dengan metode edible coating berbasis tapioka terhadap kualitas fillet ikan patin (Pangasius hypophthalmus) yang disimpan pada suhu dingin (4±1⁰C) ? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui pengaruh penggunaan nisin dari Lactococcus lactis subsp. Lactis dengan metode edible coating berbasis tapioka terhadap kualitas fillet ikan patin (Pangasius hypophthalmus) yang disimpan pada suhu dingin (4±1⁰C). 2. Mengetahui aktivitas optimal penggunaan nisin dari Lactococcus lactis subsp. Lactis dengan metode edible coating berbasis tapioka terhadap kualitas fillet ikan patin (Pangasius hypophthalmus) yang disimpan pada suhu dingin (4±1⁰C). D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperolah dari penelitian ini adalah : 1. Memberikan informasi tentang penggunaan nisin dari Lactococcus lactis subsp. Lactis sebagai pengganti pengawet kimia untuk mengawetkan fillet ikan patin (Pangasius hypophthalmus) yang disimpan pada suhu dingin (4±1⁰C). 2. Memberikan informasi mengenai aktivitas penggunaan nisin dari Lactococcus lactis subsp. Lactis yang optimal dengan metode edible
5
coating berbasis tapioka terhadap kualitas fillet ikan patin (Pangasius hypophthalmus) yang disimpan pada suhu dingin (4±1⁰C). 3. Memberikan
informasi
mengenai
alternatif
penggunaan
senyawa
antimikroba yang aman yakni nisin dari Lactococcus lactis subsp. Lactis terhadap masyarakat luas.