BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Globalisasi merupakan tantangan, masalah, dan sekaligus potensi untuk pembangunan nasional berwawasan kesehatan dimasa mendatang. Adanya perdagangan bebas, tenaga kesehatan dari Negara lain yang menyerbu pasar Indonesia, semuanya perlu diantisipasi secara serius dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Pengaruh globalisasi, liberalisasi perdagangan, dan pelayanan melalui berbagai kesepakatan internasional akan mempengaruhi berbagai aspek penyelenggaraan upaya kesehatan dan memerlukan kesiapan pemerintah beserta masyarakat. Mobilitas penduduk dan arus informasi yang begitu cepat sehingga batas wilayah dan batas Negara menjadi sangat tipis dapat berdampak positif dan sekaligus juga berdampak negatif bagi pembangunan kesehatan (Adisasmito, 2007). Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu; (1) meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat; (2) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah; dan (3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan (mardiasmo, 2002). Dalam konteks desentralisasi, terdapat gejala belum sinkronnya penganggaran pusat dan daerah. Di dalam lingkup proses perencanaan disadari kesulitan untuk merubah minset dari “project oriented” atau “budget oriented” kepada “performnce based-budgeting”. Faktor lain adalah terbatasnya Sumber Daya Sejak April 2014 lalu, Manusia (SDM) yang dapat menunjang upaya perencanaan pembangunan kesehatan. Jumlah alokasi anggaran di daerah berdasarkan kebutuhan merupakan isu kebijakan utama di sebagian besar sistem kesehatan.
2
Anggaran kesehatan di daerah sebagian besar terkait dengan pendapatan daerah dan bukan dari kebutuhan jumlah penduduknya (Ensor et al, 2012). Reformasi di bidang perencanaaan dan penganggaran dimulai pada tahun anggaran 2005 dengan mengacu pada Undang‐Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang‐Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan pembangunan Nasional. Sebagai tindak lanjut terhadap pelaksanaan peraturan perundangan tersebut, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2004 yang menegaskan bahwa rencana kerja dan anggaran yang disusun menggunakan tiga pendekatan, yaitu: (1) anggaran terpadu (unified budget); (2) kerangka pengeluaran jangka menengah biasa disebut KPJM (medium term expenditure framework); dan (3) penganggaran berbasis kinerja biasa disebut PBK (performance based budget) (kemenkeu, 2009). Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan sesudah berakhirnya program kerjasama dengan Internasional Monetary Fund (IMF), Menginstruksikan antara lain kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara untuk melakukan langkah-langkah dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelayanan masyarakat terutama yang menyangkut kepastian prosedur, waktu, dan pembiayaan publik (Ratminto, 2005). Kabupaten Sarolangun adalah kabupaten pemekaran di Propinsi Jambi, resmi terbentuk melalui Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Pada tahun 2012 garis kemiskinan Kabupaten Sarolangun lebih tinggi dari rata-rata Propinsi Jambi dan Nasional, untuk Garis kemiskinan Kabupaten Sarolangun tahun 2012 adalah sebesar Rp.321.806,-/kapita/bulan naik sebesar Rp.12.594,-/kapita/bulan dari tahun 2011. Penyebab utama yang mendasari naiknya garis kemiskinan antara lain adalah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga harga komoditas bahan pokok dan makanan lainnya ikut naik yang pada akhirnya menurunkan daya beli pada masyarakat.
3
Upaya jangka pendek maupun jangka panjang yang telah dan terus dilakukan pemerintah Kabupaten Sarolangun untuk mengurangi beban masyarakat miskin dalam memenuhi hak dasarnya adalah dengan memberikan bantuan sosial seperti jaminan kesehatan, bantuan biaya pendidikan, bantuan tunai bersyarat, beras untuk masyarakat miskin (raskin), bedah rumah (Bedrum) untuk masyarakat miskin, bantuan alsintan, bantuan beasiswa, bantuan modal untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Grafik 1 Perbandingan perkembangan garis kemiskinan Kabupaten Sarolangun, Propinsi Jambi dan Nasional Tahun 2010-2012
Sumber : Lakip Kabupaten Sarolangun 2013 Otonomi daerah yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, bahwa penanganan kesehatan merupakan urusan yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Maka Pemerintah Daerah berkewajiban untuk memenuhi dan menjamin pelayanan kesehatan bagi seluruh warga masyarakatnya. Untuk itu rumah sakit harus mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang menyeluruh (kuratif, rehabilitatif, preventif, dan promotif) yang bermutu dan terjangkau. Sebagai institusi pelayanan kesehatan rujukan, Rumah sakit memiliki misi sosial yang sangat berat sekaligus mempunyai peran yang sangat strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Menyadari hal tersebut, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis
4
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLUD) sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan publik. Dengan adanya Nomor 61 tahun 2007, maka memungkinkan status rumah sakit milik pemerintah termasuk RSUD kini bisa berubah menjadi Badan Layanan Umum (BLUD). Pelaksanaan BLUD dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat didasarkan atas prinsip efektivitas, efisiensi dan prokdutifitas dan tanpa mengutamakan mencari keuntungan tapi mempunyai keleluasaan dalam mengelola keuangan dan mendayagunakan pendapatannya. Perkembangan rumah sakit saat ini mengalami transformasi besar. Pada masa sekarang rumah sakit sedang berada dalam suasana global dan kompetitif, tanpa konsep manajemen yang jelas, perkembamgan rumah sakit di indonesia akan berjalan lambat. Hal ini dapat dilihat pada perkembangan aspek keuangan rumah sakit. Infrastruktur keuangan rumah sakit pemerintah sangat buruk karena belum ada pemahaman bahwa sistem keuangan harus berdasarkan sistem akutansi yang benar (Trisnantoro, 2004). Permasalahan umum yang dialami oleh sebagian besar Rumah Sakit di Indonesia (baik Rumah Sakit Pemerintah maupun Rumah Sakit swasta), yaitu dominanasi faktor weaknesess (kelemahan internal), terutama kurangnya sarana dan lemahnya daya saing organisasi (Low Competitive Advantage) dan diperberat dengan kurang sigap dan tanggapnya kepemimpinan Rumah Sakit mengantisipasi persaingan bebas pasar regional dan global. Sementara itu, Rumah Sakit masih harus siap menghadapi ancaman/tantangan, antara lain: perkembangan pesat IPTEK, perubahan regional dan global yang berjalan cepat dan turbulent, makin kritisnya penilaian masyarakat pelanggan terhadap pelayanan Rumah Sakit, serta lahirnya paradigma baru tentang Organisasi dan kepemimpinan Masa Depan (Widajat, 2009). Masalah pembiayaan yang penting dan harus diatur oleh manajemen rumah sakit adalah keseimbangan antara pendapatan dan biaya, sehingga diketahui apakah rumah sakit itu dalam keadaan untung, kembali modal atau rugi. Hal lain yang berkaitan dengan pembiayaan rumah sakit adalah dilema subsidi. Di satu sisi rumah sakit ingin menyediakan pelayanan yang murah bagi pasien, tetapi disisi
5
lain rumah sakit perlu survive. Dalam menghadapi era globalisasi yang juga merambah ke sektor kesehatan, manajemen rumah sakit harus menyadari adanya persaingan dalam memberikan pelayanan yang baik, efisien, efektif dan tarif yang rasional. Manajemen rumah sakit mengalami proses perubahan yang sangat dipengaruhi oleh pemerintah, investor baik lokal maupun asing, dan masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan sebagai faktor pembiayaan. Jadi pembiayaan rumah sakit berasal dari berbagai sumber seperti dibiayai sendiri oleh pasien, bantuan pemerintah, bantuan asing serta dana-dana masyarakat. Pada hakikatnya, rumah sakit adalah salah satu jenis industri jasa, dalam hal ini industri jasa kesehatan. Oleh karena itu rumah sakit harus patuh pada kaidahkaidah bisnis dengan berbagai peran fungsi manajerialnya. Akan tetapi, harus diakui bahwa pada kenyataannya rumah sakit mempunyai ciri khas yang membedakannya dengan industri lainnya. Karena memerlukan pendekatan yang berbeda pula (Aditama, 2000). Rumah Sakit Umum Daerah Prof. DR. H.M. Chatib Quzwain sebagai rumah sakit pusat rujukan di Kabupaten Sarolangun yang diresmikan pada tahun 2007, saat ini sudah berstatus tipe kelas C sesuai keputusan Menkes No. 432/MENKES/SK/V/2008. Penyelenggaraan pelayananan kesehatan RSUD Prof. DR. H.M. Chatib Quzwain Kabupaten Sarolangun masih jauh dari harapan, salah satunya penyebabnya masih minimnya anggaran yang diberikan pemerintah daerah untuk membiayai kebutuhan dalam menjalankan tugasnya sebagai pusat rujukan pelayanan kesehatan. Perubahan status RSUD Prof. DR. H.M. Chatib Quzwain menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) secara penuh melalalui Keputusan Bupati Sarolangun No. 367/RSUD/2013, memberikan kemudahan berupa fleksibilatas pengelolaan keuangan berupa pendapatan fungsional yang dapat langsung digunakan untuk operasional pelayanan tanpa harus disetor ke kas daerah, namun lebih kepada perubahan pola manajemen dan paradigma seluruh unsur di dalam organisasi BLUD. Dan diharapkan dapat lebih mandiri dan mampu berkembang menjadi lembaga yang bisa meningkatkan kinerja pelayanan, kinerja keuangan dan efisiensi anggaran.
6
Disisi lain ada pendapat yang over estimate dari pemerintah daerah terhadap keberadaan BLUD, Pemerintah daerah beranggapan dengan adanya perubahan menjadi BLUD, rumah sakit akan benar-benar mandiri dan lepas dari beban pembiayaan pemerintah daerah, termasuk belanja operasional dan bahkan belanja modal untuk program pengembangan rumah sakit. Hal ini bisa mempengaruhi RSUD Prof. DR. H.M. Chatib Quzwain sebagai rumah sakit baru terutama dari sisi anggaran. Menurut Trisnantoro (2009) Perubahan menjadi BLUD bersifat public good, bukan private good, Rumah sakit BLU mempunyai pelayanan yang menjadi tanggung jawab negara Sehingga diperlukan subsidi yang berkelanjutan. Tabel 1. Anggaran RSUD Prof. DR. H.M. Chatib Quzwain (Milyar Rupiah) Sebelum Menjadi BLUD Tahun Anggaran 2013 Target Pendapatan Realisasi Pendapatan APBD Belanja a. Belanja Tidak langsung b. Belanja langsung 1. Belanja pegawai 2. Belanja barang/jasa 3. Belanja modal Total
Setelah Menjadi BLUD Tahun Anggaran 2014 6,550 3,413 27,652 8,938 20,539 9,543 8,373 2,572 29,476
Target Pendapatan Realisasi Pendapatan APBD Belanja a. Belanja Tidak langsung b. Belanja langsung 1. Belanja pegawai 2. Belanja barang/jasa 3. Belanja modal Total
18,610 17,584 30,459 9,917 16,808 7,508 6,061 3,239 26,725
Sumber : Keuangan RSUD Prof. DR. H.M. Chatib Quzwain 2014 Tabel 1 menjelaskan bahwa pada tahun 2013 sebelum RSUD Prof. DR. H.M. Chatib Quzwain menjadi BLUD pemerintah daerah memberikan anggaran sebesar 29,4 M, namun pada tahun 2014 setelah berubah menjadi BLUD anggaran dari pemerintah daerah mengalami penurunan menjadi 26,7 M. Penurunan terjadi pada belanja pegawai sebesar 2 M dan belanja barang dan jasa sebesar 2,3 M. Hal ini menyebabkan RSUD Prof. DR. H.M. Chatib Quzwain masih membutuhkan peran Pemerintah Daerah berupa subsidi anggaran untuk menjalankan fungsinya sebagai pelayanan kesehatan rujukan di Kabupaten Sarolangun.
7
B. Perumusan Masalah Dari uraian dan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut; Bagaimana pengaruh kebijakan subsidi di RSUD Prof. DR. H.M. Chatib Quzwain setelah menjadi badan layanan umum daerah (BLUD) Kabupaten Sarolangun tahun 2015?
C. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk Mengetahui pengaruh kebijakan subsidi di RSUD Prof. DR. H.M. Chatib Quzwain setelah menjadi badan layanan umum daerah (BLUD) Kabupaten Sarolangun tahun 2015. Tujuan Khusus 1.
Untuk Mengetahui subsidi apa saja yang diberikan di RSUD Prof. DR. H.M. Chatib Quzwain setelah menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Kabupaten Sarolangun;
2.
Untuk Mengetahui peran Stakeholder yang terlibat dalam menentukan kebijakan subsidi di RSUD Prof. DR. H.M. Chatib Quzwain setelah menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Kabupaten Sarolangun;
3.
Untuk Mengetahui konteks yang mempengaruhi kebijakan subsidi di RSUD Prof. DR. H.M. Chatib Quzwain setelah menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Kabupaten Sarolangun;
4.
Untuk Mengetahui kesesuaian isi dan tujuan yang ingin dicapai terhadap kebijakan subsidi di RSUD Prof. DR. H.M. Chatib Quzwain setelah menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Kabupaten Sarolangun;
5.
Untuk Mengetahui proses kebijakan subsidi di RSUD Prof. DR. H.M. Chatib Quzwain setelah menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Kabupaten Sarolangun;
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pemerintah Daerah
8
Memberikan masukan bagi pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan subsidi di RSUD Prof. DR. H.M. Chatib Quzwain setelah menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Kabupaten Sarolangun. 2.
Bagi Rumah Sakit Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi rumah sakit untuk perbaikan sistem manajemen pelayanan di RSUD Prof. DR. H.M. Chatib Quzwain setelah menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Kabupaten Sarolangun.
3. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menerapkan teori dan pengalaman yang didapat dalam situasi yang sesungguhnya di lapangan.
E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang kebijakan subsidi di RSUD Prof. DR. H.M. Chatib Quzwain setelah menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) belum pernah diteliti sebelumnya. Sesuai dengan apa yang penulis ketahui, penelitian sejenis pernah dilakukan di beberapa tempat, antara lain: 1. Trihandoyo dan Nugraheni (2001) Penelitian ini untuk melihat subsidi silang antar unit produksi di RSUD Wonogiri, unit analisis di dalam penelitian ini adalah laporan dan data keuangan RSUD tahun 2001 dan penelitian ini merupakan studi kasus yang menganalisis kemampuan dalam pemulihan biaya pada masingmasing unit produksi di RSUD Wonogiri. 2. Astawa, Dewa Gede (2008) Dalam penelitiannya melakukan analisis proses penyusunan anggaran berbasis kinerja dilihat dari kemampuan sumber daya manusia perencana, peran Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali dalam menyusun anggaran berbasis kinerja dan dinamika hubungan stakeholder di Dinas Kesehatan Provinsi Bali dalam menyusun anggaran berbasis kinerja. 3. Damat (2011)
9
Pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptifkualitatif dengan rancangan studi kasus. Unit analisa data dalam penelitian ini adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Buru yang difokuskan pada RSUD Namlea dan Bappeda Kabupaten Buru. Penelitian ini untuk mengetahui proses perencanaan dan penyusunan RKA, dimana Tim yang sudah dibentuk direktur apakah sudah
menggunakan pendekatan
penyusunan anggaran berbasis kinerja (performance budgeting) atau menggunakan pendekatan incremental budgeting (anggaran tradisional). 4. Rondonuwu (2013) Dalam penelitiannya melihat pelaksanaan proses transformasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Nusa Tenggara Barat dan implementasi kebijakan pelaksanaan PPK-BLUD rumah sakit jiwa provinsi Nusa Tenggara Barat. Dengan rancangan penelitian kualitatif dengan studi kasus untuk mendeskripsikan dinamika proses perubahan dan implementasi kebijakan pelaksanaan PPK-BLUD Rumah Sakit Jiwa Provinsi Nusa Tenggara Barat.