BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tulisan ini memfokuskan bahasan pada dinamika pergeseran positioning1 model kepartaian (party model)2 partai-partai Islam di Indonesia pasca runtuhnya pemerintahan otoritarian Orde Baru.3 Hal ini merupakan fenomena mutakhir bahwa partai-partai Islam mengalami inkonsistensi, terutama terkait penegasan positioning model atau tipe kepartaiannya. Terlihat bahwa di awal reformasi (pemilu 1999), mereka menegaskan diri sebagai partai ideologis (partai massa). Secara teoritis, partai massa (mass party) bersandar pada karakteristik party models Andre Krouwel4 adalah partai yang mengusung basis eksklusif, seperti massa (konstituen) dan/atau ideologi. Krouwel dalam rumusannya, menyebut bahwa ke-khas-an partai massa salah satunya adalah memiliki karakteristik ideologi yang jelas, sehingga asumsi posisi ideologi dan kebijakan partai sangat tinggi. Namun, hal demikian berbanding terbalik melihat fenomena kepartaian di Indonesia dewasa ini (pasca pemilu 1999 sampai pemilu 2014), yang beberapa merupakan partai massa sedang mencoba melakukan pergeseran menjadi partai catch-all dengan tujuan dapat merangkul pemilih yang lebih luas di luar basis ideologi dan/atau massa pendukung awalnya. Pada titik ini, mengemuka bahwa partai-partai Islam seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berasas ideologikan Islam terlihat melakukan pergeseran positioning-nya dengan harapan meraih perolehan suara yang maksimum. Fenomena di atas, setidaknya menunjukkan terjadinya pragmatisme politik yang ditandai dengan krisis identitas, dan kaburnya ideologi partai-partai Islam di Indonesia. Hal demikian membuat arah perjuangan partai tidak jelas dan sulit membedakan partai 1
Istilah positioning merujuk pada makna “The way that somebody or something is standing.” Lihat Bull, Oxford Learner’s Pocket Dictinory (New York: Oxford University Press, 2008), h. 342; Di dalam bukunya, Firmanzah menyatakan bahwa positioning dalam konteks kepartaian adalah bagaimana dalam hal kompetisi politik, suatu partai memposisikan atau menempatkan laku politik seperti asas/ideologi, program dan kebijakannya. Lihat Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 164-165. Jadi, yang penulis maksud adalah laku politik PPP dan PKS dalam melakukan pergesaran “memposisikan” komitmen politiknya sebagai partai Islam (ideologis/partai massa), kemudian berubah menjadi partai yang cair dan terbuka (catch-all party). 2 Model Kepartaian adalah kajian terkait klasifikasi atau tipologi partai, yang sampai saat ini, model atau tipe-tipe partai, teridentifikasi ada beberapa model atau jenis, seperti: partai elit/kader, partai massa, partai catch-all, partai kartel, dan partai firma bisnis. 3 Namun, tulisan ini tidak membahas partai-partai politik Islam lain seperti PBB, PKB dan PAN karena beberapa pertimbangan yang penulis sampaikan pada sub-bab batasan penelitian. 4 Lihat Andre Krouwel, “Party Models” dalam Richard S. Katz, dan William Crotty, ed. Handbook of Party Politics (London: Sage Publications, 2006), h. 256-258.
satu dengan yang lainnya.5 Menurut Macridis, dalam kondisi yang berkembang seperti itu, partai politik menjadi sangat pragmatis, dikarenakan tidak lagi melibatkan masalah ideologis6 yang ketat sehingga faktor atau perdebatan ideologi semakin mengikis dan kabur. Di samping itu, basis ideologi yang semakin luntur pemaknaannya baik oleh partai maupun elitnya, dikarenakan mereka lebih memfokuskan hanya pada bagaimana memenangi pemilu dan meraih kekuasaan (office seeking)7 yang hanya terpaku pada kepentingan diri dan kelompoknya semata, bukan berlandaskan pada nilai yang tertanam dalam diri suatu partai. Dalam situasi seperti itu, Kirchheimer berpendapat bahwa fenomena tersebut dapat menyebabkan terjadinya pergeseran positioning yang mendasari proses transformasi dari partai ideologis (partai massa) ke bentuk partai catch-all.8 Lahirnya konsep partai catch-all, kemungkinan besar terilhami oleh kajian Anthony Downs tentang perspektif perilaku rasional.9 Downs berpendapat bahwa semakin modern
suatu
masyarakat,
maka
akan
semakin
mengutamakan
prinsip-prinsip
pragmatisme dan rasionalitas. Kehadiran partai catch-all untuk menawarkan suatu program dan kebijakan umum, bukan lagi menawarkan persoalan ideologis. Oleh karena itu, posisi dan fungsi partai politik mengalami perubahan fundamental dan mencairkan ketegangan ideologis antar kubu “kiri” dan “kanan”. Format partai ini juga menerima pluralisme, inklusivitas, dan non-sektarian serta lebih mengedepankan pengembangan secara horizontal, menampung berbagai isu dan agenda dari berbagai kalangan di masyarakat.10 Lalu pertanyaan yang muncul adalah apakah pergeseran positioning partai ideologis (partai massa) ke bentuk partai catch-all merupakan suatu keharusan? Dalam prakteknya, pergeseran positioning partai-partai mendapat kritik tajam. Pertama, konsepsi partai catch-all tentang pragmatisme dan rasionalitas yang bertumpu pada model untung-rugi,11 telah menciptakan inkonsistensi tindakan partai dalam program 5
Lihat Surwando, dkk., “Strategi dan Pendekatan dalam Mengelola Transformasi Partai Politik,” dalam Agung Djojosoekarto dan Utama Sandjaja, ed., Transformasi Demokratis Partai Politik di Indonesia: Model, Strategi dan Praktik (Jakarta: Kemitraan, 2008), h. 129. 6 Roy C. Macridis, “Sejarah, Fungsi dan Tipologi Partai-partai,” dalam Ichlasul Amal, ed., Teoriteori Mutakhir Partai Politik (Yogyakarta, PT Tiara Wacana: 1996), h. 23. 7 Lihat Kata Pengantar dari Ichlasul Amal, ed., Teori-teori Mutakhir Partai Politik, h. xviii. 8 Posisi partai catch-all berada di antara kutub dikotomi ideologi kiri dan kanan. Selengkapnya lihat Otto Kirchheimer, “Transformasi Sistem-sistem Kepartaian Eropa Barat” dalam Ichlasul Amal, ed., Teoriteori Mutakhir Partai Politik (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1996), h. 48. 9 Hal demikian tersirat dari penjabaran Krouwel tentang landasan konseptual partai catch-all yang disodorkan Kirchheimer. Lihat Andre Krouwel, “Otto Kirchheimer and the Catch-all Party,” dalam West European Politics, Vol. 26, No. 2 (April, 2003): h. 29. 10 Riswandha Imawan, “Partai Politik di Indonesia: Pergulatan Setengah Hati Mencari Jati Diri,” Naskah pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Politik FISIPOL UGM yang disampaikan pada 4 September 2004, h. 11 dan 13. 11 Ibid., h. 11 dan 14.
dan kebijakan. Partai bersangkutan lebih mengutamakan tujuannya memenangkan setiap kontestasi politik. Menanggapi hal ini, publik merespons keras sikap partai-partai politik maupun para elitnya yang hanya mementingkan diri dan partai dalam memenangkan pemilu. Berdasarkan survei Lembaga Survei Cirus (Desember, 2013) melaporkan bahwa hanya 9,4% masyarakat yang percaya terhadap partai politik.12 Lembaga survei Indikator Politik Indonesia merilis hasil temuannya tentang “party identification”, yaitu masyarakat (pemilih) yang mengidentifikasikan dirinya dengan partai politik hanya berjumlah 15%.13 Kritik kedua adalah pereduksian ideologi partai. Pada konteks ini, partai dan elitnya diperbolehkan berpolitik tanpa alur, tanpa distorsi ideologis,14 dan tanpa perlu mempedulikan ideologi.15 Padahal ideologi menjadi code of conduct bagi partai, elit, pengurus dan kadernya.16 Tanpa dasar itu, partai tidak dapat membuat patokan interpretasi dan evaluasi. Apabila hal demikian terjadi, maka fungsi memberikan referensi kepada masyarakat yang seharusnya dilakukan oleh partai sebagai institusi, malah dipegang oleh sekelompok elit yang cenderung oligarkis. Pada akhirnya, menurut Riswanda Imawan format partai catch-all justru melahirkan rejim yang tidak demokratis.17 Bagaimanapun, dinamika pergeseran positioning partai-partai Islam seperti PPP dan PKS, berdampak pada redupnya identitas atau jati diri partainya, akibatnya masyarakat pada akhirnya menjadi apatis bahkan antipati terhadap partai. Padahal, kedua partai tersebut di awal pemilu demokratis (1999), berdiri sebagai partai ideologis dan dengan sengaja melakukan formalisasi “Islam” ke dalam partainya baik secara asas/ideologi maupun nilai perjuangannya (program dan kebijakan) dan juga pro terhadap negara Islam.18 Pada pemilu 1999 itu, menjadi titik krusial bagi PPP dan/atau elitnya, karena melakukan perubahan mendasar yaitu reposisi sebagai partai politik Islam dengan
12
Hasil survey tersebut dipublikasikan pada 05 Januari 2014 oleh Direktur Riset Cirus Surveyor Group Kadek Dwita Apriyani di Jakarta Pusat. 13 Laporan riset menarik lainnya, disajikan oleh Tan yang coba melakukan konfirmasi mengenai reaksi anti-partai di Indonesia. Dalam studinya, fenomena reaksi anti-partai yang tak terkendali menimbulkan delegitimasi terhadap partai dan demokrasi. Hal itu disebabkan karena pragmatisme politik yang melanda partai-partai politik di Indonesia. Lihat Paige Johnson Tan, “Anti-Party Reaction in Indonesia: Causes and Implications,” Contemporary Southeast Asia, Vol. 24, No. 3 (Desember, 2002): h. 505. 14 Riswandha Imawan, “Partai Politik di Indonesia: Pergulatan Setengah Hati Mencari Jati Diri,” h. 11 dan 13. 15 Hans-Dieter Klingemann, dkk., Partai, Kebijakan dan Demokrasi. Penerjemah Sigit Jatmika (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2000), h. 41. 16 I Ketut Putra Irawan, dkk., “Membangun Model-model Transformasi Kepartaian di Indonesia,” dalam Agung Djojosoekarto dan Utama Sandjaja, ed., Transformasi Demokratis Partai Politik di Indonesia: Model, Strategi dan Praktik, h. 323. 17 R. Imawan, “Partai Politik di Indonesia: Pergulatan Setengah Hati Mencari Jati Diri,” h. 13. 18 Lihat R. William Liddle, “New Patterns of Islamic Politics in Democratic Indonesia,” dalam Asia Program Special Report, No. 110 (April, 2003): h. 10
melakukan reideologisasi Islam sebagai asas/ideologinya dan resimbolisasi Ka’bah sebagai lambang dan simbol partainya. Demikian juga dengan PKS (berdiri menjelang pemilu 1999, dengan nama PK/Partai Keadilan) menjadi fenomenal karena dilahirkan dari gerakan Tarbiyah yang dinilai hendak menciptakan masyarakat Islami dan melakukan formalisasi Islam di Indonesia.19 Perjalanan politik PPP dan PKS sampai pada pemilu 2014 menarik ditelisik, karena keduanya mengalami pergeseran yang kentara, dari berdiri secara tegas sebagai partai ideologis (partai massa) dengan memperjuangkan kepentingan konstituen Muslim (Islam), lalu bergerak ke arah pragmatisme politik yang hanya mementingkan kekuasaan (jabatan) para elitnya. Salah satu contoh lainnya dapat dilihat dari isu kampanye yang mengakomodasi kepentingan konstituen Muslim tidak lagi terdengar jernih. Kedua partai tersebut lebih fleksibel dan bermain aman dengan menggunakan isu-isu universal antikorupsi, kesejahteraan dan sebagainya. Akhirnya, kedua partai itu kehilangan arah dan melupakan visi misi ideologis (Islam) dalam bertindak dan mengambil keputusan atau kebijakan. Dalam kasus ini, jangan-jangan partai-partai itu, tidak sadar telah mengalami atau melakukan pergeseran positioning-nya. Oleh karena itu, penulis menilai penting untuk menggambarkan secara gamblang dinamika pergeseran positioning partai-partai itu. Berdasarkan pada kajian lainnya20 yang menyebutkan bahwa eksistensi suatu partai politik bertalian erat dengan rakyat atau massa. Oleh karena itu, partai-partai politik sangat tergantung oleh kuasa massa dalam arti butuh dukungan (suara) untuk bertahan dan/atau memenangi kontestasi politik (pemilu). Dengan demikian, partai-partai atau elitnya dituntut memahami gejolak politik yang dikehendaki oleh rakyat atau massa.21 Hal ini dapat menggambarkan bahwa pengaruh pergeseran positioning party model PPP dan PKS berdasarkan atas faktor tersebut. Namun diperlukan bukti-bukti yang kuat untuk mendukung proposisi itu. Obsesi kajian-kajian yang sudah ada, sebagian besar hanya menyajikan ke mana arah perubahan orientasi, sehingga ada pertanyaan yang belum terjelaskan dengan baik selama ini adalah mengapa perubahan orientasi, baik pergeseran positioning ke arah ideologis maupun ke arah pragmatis (catch-all) itu terjadi? Apa motif dan faktor kunci yang memengaruhinya?
19
Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 102. Lihat Kuskrido Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009); lihat juga Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h. 43. 21 Sigit Pamungkas, Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia (Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfare: 2012), h. 114. 20
B. Rumusan dan Pembatasan Masalah Berangkat dari latar belakang di atas, maka penelitian ini akan ditujukan untuk menjawab pertanyaan: 1. Bagaimana gambaran pergeseran positioning model kepartaian partai-partai Islam, yaitu PPP dan PKS dalam pemilu-pemilu pasca Orde Baru? 2. Mengapa kedua partai Islam tersebut melakukan pergeseran positioningnya? Tulisan ini memfokuskan pada dua partai politik Islam yakni PPP dan PKS yang secara tegas mencantumkan asas atau ideologi “Islam” dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) masing-masing.22 Oleh karena itu, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sengaja penulis keluarkan dari pembahasan tesis ini karena kedua partai tersebut tidak secara tegas mencantumkan “Islam” sebagai asas atau ideologinya di AD/ART. Keduanya malah lebih memilih menggunakan Pancasila sebagai landasan asas atau ideologi politiknya. Sebenarnya, Partai Bulan Bintang (PBB) juga termasuk dalam kategori partai Islam, tapi penulis tidak membahasnya karena pertimbangan rendahnya dukungan politik terhadap partai tersebut pada pemilu-pemilu legislatif pasca Orde Baru. Bahkan pada pemilu 2014 lalu, PBB tidak berhasil lolos Parliamentary Threshold (PT) yang artinya tidak berhasil menempatkan kadernya di legislatif. Dengan perolehan suara yang tidak maksimal seperti itu, maka penulis lebih memilih mengeluarkan partai itu dari fokus penelitian ini. Berbeda dengan PPP dan PKS yang berhasil lolos PT sehingga berhak memperoleh dan menempatkan kader-kader terbaiknya di badan legislatif (DPR). Demikian, kedua partai Islam tersebut sangat menarik untuk ditelisik dan diperbincangkan secara lebih mendalam terkait tingkah laku politiknya yang berhasil membuat partai-partai itu tetap survive dan eksis pada lembaga pemerintahan (baca: DPR). Di samping itu, kedua partai Islam tersebut memiliki track record yang khas. PPP misalnya, merupakan partai Islam tertua di Indonesia yang masih bertahan dan berkompetisi sampai pada pemilu 2014. Karena itu partai ka‟bah itu memiliki akar historis dan petualangan politik elektoral yang menarik untuk diteliti secara mendalam. Meskipun PKS adalah pendatang baru di kancah politik nasional, partai dakwah ini mampu
22
Lihat Azyumardi Azra, “Political Islam in Post-Soeharto Indonesia,” dalam Virginia Hooker dan Amin Saikal, Islamic Perspectives on the New Millenium (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2004), h. 140-142; lihat juga Azyumardi Azra, “Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat,” dalam Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan M. Amien Rais (Jakarta: Teraju, 2005), h. 203
mendulang suara yang signifikan dari pemilu 2004-2014, hingga banyak yang menyebutnya sebagai “The Rising Star”.23 Penulis juga memfokuskan atau membatasi riset tesis ini pada arena elektoral (pemilu legislatif), yaitu ketika partai-partai tersebut saling berkompetisi dan berkampanye untuk mendulang suara para pemilih. Arena elektoral dipilih karena momentum pemilu adalah arena pertarungan politik yang riil dan kompleks baik antar partai-partai, antar elit partai satu dengan elit partai lain, antar elit dalam satu partai itu sendiri, dan yang terpenting adalah posisi warga masyarakat yang menjadi sentral dari pertarungan politik tersebut. Arena ini juga merupakan ajang partisipasi aktif warga masyarakat dalam memilih atau menunjuk orang untuk menduduki posisi di legislatif (DPR). Karena itu, arena elektoral ini perlu mendapat perhatian dan kajian mendalam. Di samping itu, pembatasan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi melebarnya pembahasan dan juga terkait relevansi fokus kajian.
C. Tujuan dan Sumbangan Studi Tujuan studi ini adalah hendak menelisik lebih dalam serta menjelaskan mengapa partai-partai politik Islam seperti PPP dan PKS melakukan pergeseran positioning-nya. Fenomena ini setidaknya menunjukkan pada kita bahwa kedua partai tersebut mengalami krisis identitas dan pragmatisme politik. Hal ini perlu menjadi perhatian serius, karena dikhawatirkan berdampak negatif pada citra partai di mata publik serta kemungkinan redupnya antusiasme masyarakat terhadap partai Islam itu. Dengan segenap keterbatasannya, penulisan ini memberikan sumbangan studi, di antaranya sumbangan terhadap perkembangan ilmu, studi ini memperkaya kajian kepartaian terutama tentang pergeseran positioning partai-partai Islam (PPP dan PKS) yang mengalami perubahan dari satu tipe ke tipe lainnya yang dilandasi kalkulasi rasional para elitnya untuk memaksimalisasi perolehan suara pada pemilu. Dari sisi teoritik, studi ini memperkaya penggunaan teori tipologi partai politik (party models) atau model kepartaian dan transformasi kepartaian Krouwel serta rational choice dan model spasial Downs sebagai pisau analisis persoalan di atas. Penggunaan teori ini di Indonesia khususnya, relatif minim dan juga –terkadang– diabaikan. Sejauh ini, kebanyakan teori yang digunakan dalam membincang partai politik adalah politik aliran (abangan, santri dan priyayi), dikotomi partai Islam dengan partai non-Islam, dan teori gerakan sosial. 23
M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen (Yogyakarta, LKiS: 2008), h. 1.
Dari sisi aplikatif, studi ini diharapkan dapat menjadi bahan refleksi para elit atau pengurus partai, ilmuwan dan masyarakat pada umumnya dalam memahami dinamika kepartaian di Indonesia, khususnya terkait pergeseran positioning partai-partai politik Islam (PPP dan PKS) di era demokratisasi ini.
D. Literatur Review Dalam mencari jawaban terhadap pertanyaan di atas, penulis menelaah studi-studi terdahulu yang terkait dengan topik penelitian tesis ini. Studi tentang pergeseran positioning sebenarnya mengacu pada kajian Anthony Downs yang mengungkapkan bahwa setiap partai atau elitnya yang berkontestasi dalam pemilu, memiliki daya mobilitas yang tinggi untuk melakukan pergeseran positioning-nya,24 dan memiliki keluwesan kebijakan untuk bergerak ke kutub Kiri-Kanan (ideological continuum), demi mencapai hasil maksimum tanpa lagi mempertimbangkan atau melandaskan pada ideologi partainya.25 Kerangka Downs seringkali dipakai oleh para sarjana, seperti Pippa Noris, Ian Budge, Paul Webb, dan lainnya yang menelusuri pergeseran positioning Partai Buruh sebagai partai massa menjadi partai catch-all.26 Selain itu, studi Otto Kirchheimer pada 1966 di Eropa Barat mengenai bagaimana partai-partai ideologis (partai massa) melakukan pereduksian ideologi politiknya sehingga mengalami transformasi atau perubahan menjadi partai catch-all. Hal ini disinyalir terjadi karena perkembangan de-ideologisasi yang masif di benua tersebut. Pada akhirnya, partaipartai cenderung menyesuaikan diri terhadap konstelasi sosial-politik agar mampu memperoleh keuntungan yang maksimal baik dalam ranah elektoral maupun lainnya.27 Kemudian, apakah pergeseran positioning partai ideologis (massa) ke bentuk partai catchall merupakan suatu keharusan? Hal ini mengedepan ketika kita mempelajari orientasi partai politik, yang terus bergulir adalah perdebatan mengenai wacana partai ideologis versus partai catch-all. Di sini para ilmuwan berbeda pendapat tentang apakah suatu partai itu harus memiliki landasan ideologis dalam menjalankan fungsinya atau harus lebih mengutamakan program atau kebijakan yang bersifat umum? Namun pada dasarnya diasumsikan bahwa sumber
24
Pippa Noris, “New Politicians? Changes in Party Competition at Westminster” dalam Geoffrey Evans dan Pippa Noris ed., Critical Elections: British Parties and Voters in Long-Term Perspektive (London: Sage Publication Ltd, 1999), h. 32. 25 Hans-Dieter Klingemann, dkk., Partai, Kebijakan dan Demokrasi, h. 41. 26 Pippa Noris, “New Politicians? Changes in Party Competition at Westminster,” h. 32. 27 Otto Kirchheimer, “Transformasi Sistem-sistem Kepartaian Eropa Barat”, h. 48-49.
kekuatan perubahan (pergeseran), sangat ditentukan oleh faktor ideologi dan program. Perdebatan mereka dapat dipetakan seperti ini: Tabel 1. Positioning Ilmuwan dalam Wacana Partai Ideologis dan Partai Catch-all Ilmuwan Pendorong Partai Berideologi
Ilmuwan Pendorong Partai Mengutamakan Program atau Kebijakan Umum
Cohen dan Arato (1994)
Anthony Downs (1957)
Hague, Harrop dan Breslin (1997)
Otto Kirchheimer (1966)
Puhle (2002)
LaPalombara dan Weiner (1966)
Diilustrasikan oleh penulis dari Pidato Pengukuhan Riswandha Imawan sebagai Guru Besar UGM
Cohen dan Arato, menyatakan bahwa hadirnya persoalan besar dalam politik ketika ideologi ditanggalkan dari kehidupan partai politik. Tanpa dasar ideologi terbuka kemungkinan politik mengarah ke pragmatisme dan oportunisme. Selain itu, menurut Hague, Harrop dan Breslin berlandaskan pada fungsional partai politik, tidak mungkin partai dalam menjalankan fungsinya tanpa adanya ideologi sebagai patokan bertindak. Ideologi dibutuhkan agar partai dapat memberikan referensi kepada masyarakat tentang bagaimana menyikapi persoalan. Puhle berpendapat bahwa tanpa ideologi, partai berpotensi melahirkan oligarki dalam tubuhnya sendiri yang hanya mementingkan kalkulasi rasional para elitnya.28 Sebaliknya, menurut Downs suatu partai dan/atau elitnya harus
memiliki
keluwesan
kebijakan
demi
menghasilkan
keuntungan
tanpa
mempertimbangkan atau mendasarkan pada ideologi partainya.29 Kirchheimer juga menyampaikan tentang peminggiran ideologi di tubuh partai agar tidak menjadi tawanan dari ideologi itu. Selain itu, LaPalombara dan Weiner berpendapat bahwa partai harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan sosial-politik yang dinamis dan harus tidak terpaku pada ideologi partainya.30 Studi tentang pergeseran positioning partai politik di Indonesia masih minim. Kebanyakan para sarjana memfokuskan pada kajian pemetaan ideologi partai-partai, seperti yang dilakukan oleh Herbert Feith dan Lance Castle,31 Daniel Dhakidae,32 dan 28
Lihat Riswanda Imawan, “Partai Politik di Indonesia: Pergulatan Setengah Hati…,” h. 12-13. Hans-Dieter Klingemann, dkk., Partai, Kebijakan dan Demokrasi, h. 41. 30 Riswandha Imawan, Partai Politik di Indonesia: Pergulatan Setengah Hati…, h. 11-13. 31 Herbert Feith dan Lance Castle, “Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965: Suatu Pengantar,” dalam Miriam Budiardjo (ed.), Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998). 32 Danial Dhakidae, “Partai-partai Politik Indonesia: Sebuah Pergerakan dan Organisasi dalam Patahan-patahan Sejarah” dalam Tim Litbang Kompas, Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi, Strategi dan Program (Jakarta: Kompas, 1999). 29
Kevin Raymond Evans,33 yang menyajikan gambaran dan skema pemetaan ideologi partai-partai yang memiliki ke-khas-annya masing-masing. Anies R. Baswedan melakukan kajian tentang performa dan kekuatan partai-partai Islam yang coba memprediksi pola perjuangan mereka atas formalisasi syariah (Islam) di Indonesia. Kajiannya juga terkait mapping ideologi partai. Baswedan membuat skema menarik berupa garis linear ideologi partai-partai ke dalam ekstrem kiri (nasionalissekuler) yaitu PDI-P sampai ektrem kanan (Islamis) yaitu PBB. Sedangkan Golkar, PAN, PKB, PKS, PPP berada di antara keduanya. 34 Marcus Mietzner menggunakan konsepsi Sartori tentang jarak ideologi partai, yang kemudian dikombinasikan dengan konsepsi Green-Pedersen tentang „center party‟ yang mampu memobilisasi „wing party‟ ke arah sentripetal dengan membandingkan tindakan partai-partai pada pemilu 1955 dengan pemilu 2004. Sebenarnya Mietzner hendak menyebutkan dalam tulisannya bahwa terjadi pergeseran positioning partai-partai politik dari sentrifugal ke arah sentripetal.35 Kuskrido Ambardi dalam kajiannya menelaah bagaimana sistem kepartaian pasca Orde Baru terlihat kecenderungan partai-partai menunjukkan perilaku yang mengarah pada kartelisasi dan mengalami evolusi menjadi partai kartel.36 Sedangkan Mada Sukmadjati lebih memfokuskan pada fenomena lokal (Tasikmalaya) yang mendapati partai-partai Islam di daerah itu memiliki disparitas model kepartaian dengan memakai kerangka tipologi partai Katz dan Mair.37 Burhanuddin Muhtadi memfokuskan studinya tentang strategi elektoral PKS yang mengalami dilema dalam mengembang-luaskan segmentasi pemilihnya dengan mendeklarasikan diri sebagai partai terbuka (partai catchall), yang menimbulkan resistensi dari kalangan internalnya sendiri.38 33
Kevin Raymond Evans, Sejarah Pemilu dan Partai Politik di Indonesia (Jakarta: PT Arise Concultance, 2003). 34 Lihat Anies R. Baswedan, “Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory,” Journal Asian Survey, Vol. 44, No. 5 (September/October 2005). 35 Lihat Marcus Mietzner, “Comparing Indonesia’s Party Systems of the 1950s and the postSoeharto era: From Centrifugal to Centripetal Inter-Party Competition,” Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 39 No. 3 (Oktober, 2008); Lihat juga Giovanni Sartori, “European Political Parties: The Case of Polarized Pluralisme,” dalam Joseph LaPalombara dan Myron Weiner, Political Parties and Political Development (New Jersey: Princeton University Press, 1972); Giovanni Sartori, “Parties and Party Systems: A Framework for Analysis” (Cambridge: Cambridge University Press, 1976). 36 Lihat Kuskrido Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009) 37 Lihat Mada Sukmajati, “How Islamic Parties Organize at the Local Level in Post-Suharto Indonesia: An Empirical Study of Six Major Islamic Parties in the Tasikmalaya District, West Java Province.” Naskah disertasi pada Universitas Heidelberg Jerman, 2011. 38 Muhtadi mengkaji perubahan PKS menjadi partai catch-all, namun melandaskan pada teori gerakan sosial bukan teori tipologi partai Katz dan Mair atau Krouwel. Lihat Burhanuddin Muhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia atau KPG Press, 2013).
Dari beberapa kajian di atas, penulis berpendapat bahwa kebanyakan studi masih memfokuskan pada pemetaan ideologi partai-partai. Namun sudah cukup mulai berkembang pada studi selanjutnya mengenai pergeseran positioning partai, seperti kajian Ambardi, Sukmajati, Mietzner dan Muhtadi. Namun, kajian Mietzner dan Muhtadi tidak menggunakan kerangka an sich dari transformasi model kepartaian. Di samping itu, aspek pertanyaan mengapa terjadi pergeseran positioning masih belum terjawab secara rinci oleh kebanyakan studi sebelumnya. Oleh karena itu, penulis hendak menyajikan kembali gambaran pergeseran positioning dengan memakai kerangka tipologi partai terbaru dari Krouwel dan menelusuri lebih dalam lagi faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran atau perubahan positioning suatu partai. E. Kerangka Teori Kerangka teori yang coba penulis kembangkan dalam studi ini adalah unit kerangka analisis yang membantu untuk mengidentifikasi berbagai jenis (tipologi) atau model kepartaian (party models), ciri-ciri atau karakteristik khas masing-masing, corak pergeseran atau transformasi dari satu model ke model lainnya, dan faktor-faktor kunci yang memengaruhi pergeseran positioning-nya. Penulis pertama-tama akan membahas penjelasan Andre Krouwel tentang tipologi partai politik (model kepartaian), serta kecocokannya untuk melihat karakteristik partaipartai yang menjadi objek studi ini. Selain itu juga terkait skema transformasi partai dari satu model ke model lainnya. Selanjutnya, akan membahas pilihan rasional dan model spasial Anthony Downs yang bermanfaat untuk mengidentifikasi motif atau faktor yang memengaruhi suatu partai melakukan pergeseran positioning. Perlu ditegaskan di sini bahwa kerangka Krouwel itu, penulis manfaatkan untuk menjawab pertanyaan riset pertama di rumusan masalah di atas. Sedangkan, kerangka Downs dimanfaatkan untuk menjawab rumusan masalah yang kedua.
1. Tipologi Model Kepartaian (Party Models) Pada bagian ini, penulis menjabarkan tentang kerangka teoritik dari tipologi model partai politik. Kajian tentang ini, sebenarnya sudah banyak disampaikan oleh para ilmuwan kepartaian seperti Duverger yang membedakan tipologi kepartaian dengan mempertimbangkan dasar atau asal-usul sosial internal atau eksternal dan mesin
penggerak partai.39 Gunther dan Diamond mengidentifikasi „genus‟ tipe partai dan menggambarkan seluruh tipe-tipe partai yang berkembang di setiap genus.40 Sedangkan Wolinetz menggunakan tiga dimensi orientasi partai yang berdasarkan pada vote-seeking, office-seeking, dan policy-seeking untuk memposisikan enam jenis partai dalam satu ruang segitiga atas dasar tujuan utama mereka.41 Wright, Downs, dan Panebianco mengusulkan untuk membedakan partai atas dasar tingkat profesionalisasi, birokratisasi, pelembagaan, dan efisiensi organisasi partai. Pompey memposisikan delapan jenis partai pada tiga dimensi (luasnya fokus, orientasi tujuan, dan modus fungsional). Ada juga yang mengklasifikasikan model-model partai menurut sifat kelas keanggotaan, kelompok sosial yang paling aktif atau dominan dalam partai, tingkat partisipasi anggota atau jenis kepemimpinan yaitu Weber, Neumann, Kirchheimer, dan Wildaysky. Di samping itu, Katz dan Mair42 yang membedakan empat model partai (partai elit, massa, catch-all, dan kartel) kemudian mendaftar 13 aspek yang membedakan antar jenis-jenisnya.43 Akan tetapi, fokus bahasan tipologi model partai dalam tesis ini bersandarkan pada kerangka model Andre Krouwel. Menurut Krouwel, sangat mustahil mendapat kemutlakan dan konsistensi dalam merumuskan tipologi model partai, oleh karena belum adanya metode khusus yang diterima secara bulat dalam pengelompokkan beragam tipologi itu. Metode-metode sebelumnya dinilai belum mampu menghadirkan indikator yang pasti untuk setiap dimensi yang digunakan. Berdasarkan problematika ini, Krouwel menawarkan metode sederhana dan jelas dalam membedakan partai berdasarkan karakteristik utamanya. Menurutnya, tidak semua tipologi partai yang ditawarkan oleh para sarjana di atas itu memiliki perbedaan yang jauh, malah ada kecenderungan beberapa tipe memiliki kemiripan selain mengalami tumpang tindih antara satu dengan lainnya.44 Berdasarkan fokus pada kemiripan dan karakteristik utamanya, Krouwel mengajukan pengelompokkan tipe-tipe partai –yang telah ditawarkan para sarjana di atas– 39
Maurice Duverger, Partai Politik dan Kelompok-kelompok Penekan. Penerjemah Laila Hasyim (Jakarta, PT Bina Aksara: 1984), h. 5. 40 Richard Gunther dan Larry Diamond, Species of Political Parties: A New Typology (London, Sage Publication: 2003) 41 Steven B. Wolinetz, Beyond the Catch-all Party: Approaches to the Study of Parties and Party Organization in Contemporary Democracies dalam Richard Gunther, Jose R. Montero dan Juan J. Linz (ed), Political Parties: Old Concepts and New Challenges (Oxford: Oxford University Press, 2006), h. 151-152. 42 Lihat Katz dan Mair, “Changing Models of Party Organization and Party Democracy: The Emergence of the Cartel Party,” dalam Party Politics, Vol. 1 No. 1 (1995); Katz dan Mair, “The Evolution of Party Organizations in Europe: The Three Faces of Party Organization,” dalam The American Review of Politics, Vol. 14 (Winter, 1993) 43 Andre Krouwel “Party Models” dalam Richard S. Katz dan William Crotty, ed. Handbook of Party Politics, h. 250-253. 44 Ibid., h. 256-257.
menjadi lima kluster: Pertama, partai elit, kaukus atau kader; Kedua, partai massa; Ketiga, partai catch-all atau elektoralis; Keempat, partai kartel; Kelima, partai firma bisnis. (Lihat selengkapnya di lampiran 1: Kluster Tipologi Partai Politik/Kepartaian) Perlu diperhatikan bahwa dalam tulisan ini, penulis tidak memasukkan tipe atau model partai firma bisnis dalam analisis di bab-bab selanjutnya. Tidak dimasukkannya model partai firma bisnis karena konteks model ini baru berkembang di Eropa, bahkan tidak ada di benua Amerika, seperti yang diungkapkan oleh Krouwel sendiri. Di samping itu, contoh kasusnya hanya berkutat pada Partai Forza Italia milik Berlusconi.45 Selanjutnya, untuk membedakan antara satu tipe atau model dengan lainnya, Krouwel mengajukan cara pemilahan berlandaskan pada empat dimensi, yaitu: Pertama, dimensi genetik (asal-usul); Kedua, dimensi elektoral, yang dapat dibedakan berdasarkan penampilan saat pemilu dan dukungan sosial, basis sosial, dan tipe rekruitmen elit; Ketiga, dimensi ideologi, yang dapat ditelisik dari basis kompetisi partai dan luasnya kompetisi inter-partai; dan Keempat, dimensi organisasional, yang secara umum dapat dibedakan dengan cara menguji tingkat signifikansi anggota partai di akar rumput (party on the ground), kedudukan partai di pusat (party in central office) dan posisi partai di jabatan publik (party in public office), serta struktur sumberdaya dan tipe kampanye politik yang mereka pakai.46 Dengan kerangka Krouwel, penulis memanfaatkannya untuk menjabarkan partai-partai Islam, PPP dan PKS termasuk ke dalam model atau tipe partai apa selama periode pemilu-pemilu pasca Orde Baru. Namun, penulis hanya menggunakan dua dimensi yang ditawarkan oleh Krouwel, yaitu dimensi elektoral dan ideologi. Dimensi genetik (asal-usul) tidak digunakan, karena penjelasan atau pengkategorian Krouwel itu tidak sesuai untuk diterapkan pada konteks kelahiran atau kemunculan partai-partai politik di Indonesia. Dimensi itu cenderung diperuntukkan untuk menelaah kemunculan partai politik di negara-negara Eropa, sehingga cukup sulit mengimplementasikan itu dalam konteks politik kepartaian di Indonesia.47 Karena, konteks kelahiran atau kemunculan partai-partai politik di Indonesia, khususnya di era reformasi didasari oleh kejatuhan rejim Orde Baru yang kemudian
45
Ibid., h. 260. Andre Krouwel “Party Models” dalam Katz dan Crotty. ed. Handbook of Party Politics, h. 262. 47 Krouwel menyebutkan bahwa indikator pembeda model kepartaian berdasarkan asal-usul adalah bagaimana asal-muasal berdirinya suatu partai itu apakah didirikan oleh orang-orang yang ada di dalam parlemen (elit yang sedang berkuasa) ataukah di luar parlemen (sekelompok massa) ataukah berasal dari beragam kelompok kepentingan? 46
menghasilkan liberalisasi politik dalam hal kebebasan mendirikan partai politik.48 Pada momen tersebut, warga masyarakat banyak yang terdorong untuk berpartisipasi aktif dalam politik praktis dengan mencoba mendirikan partai-partai politik baru. Kemunculan partai-partai di Indonesia lebih dikarenakan adanya political juncture atau momentum politik yang memberi ruang bagi kehadiran mereka, jadi bukan karena proses pertentangan antara kelompok elit atau massa dalam lahir atau berdirinya suatu partai, seperti yang dikatakan atau jabarkan oleh Krouwel. Di samping itu, penulis juga mengeluarkan dimensi organisasional dalam penelitian kali ini, karena dimensi tersebut terlalu melebar dan sangat luas cakupannya melebihi fokus atau batasan penelitian yang sebelumnya sudah penulis gariskan. Pembatasan penelitian tesis ini adalah menyoroti sepak terjang atau laku politik kedua partai Islam (PPP dan PKS) dalam ranah elektoral, pileg. Penulis berpendapat bahwa cukup dengan menggunakan dimensi elektoral dan dimensi ideologis sudah dapat menjustifikasi model atau tipikal suatu partai politik. Secara sederhana, berikut penjabaran karakteristik khas dari model atau tipe kepartaian. Partai elit/kader memiliki karakteristik berstruktur longgar, sangat elit sentris dan dipimpin oleh individu terkemuka, diorganisir dalam kaukus-kaukus tertutup. Partai massa memiliki ciri sebagai partai yang memiliki basis komunitas tertentu dan juga berlandaskan dengan ideologi yang kuat dan jelas. Partai catch-all berasal dari partai massa yang memprofesionalisasi organisasi kepartaiannya dan melakukan penyesuian ideologi dengan tujuan dapat merangkul pemilih yang lebih luas di luar basis pendukung inti mereka. Partai kartel pada dasarnya merupakan tipe partai yang bercirikan peleburan partai di tingkat pusat dengan beberapa kelompok kepentingan (bisa jumlah partai lain) yang membentuk kartel politik, dengan tujuan utamanya adalah mempertahankan kekuasaan mereka di wilayah eksekutif. Partai ini berbentuk organisasi profesional yang survivalitasnya sangat tergantung pada negara.49 Berikut di bawah ini tabel dari karakteristik model kepartaian (party models) rumusan Andre Krouwel yang telah sedikit penulis adaptasi atau sesuaikan dengan konteks penelitian tesis dan pergumulan politik kepartaian di negara ini.
48
Di era Orde Lama, kemunculan partai-partai, salah satunya dipicu oleh keluarnya Maklumat X yang ditandatangani oleh Muhammad Hatta (Wakil Presiden RI waktu itu) yang menganjurkan pendirian partai-partai dalam rangka akan diselenggarakannya pemilu pertama pasca kemerdekaan. 49 Sigit Pamungkas, Pemilu, Perilaku Pemilih dan Kepartaian, h. 141-142.
Tabel 2. Karakteristik Model Kepartaian (Party Models) Dimensi/ Karakteristik Dimensi Elektoral 1 Basis Massa atau Pendukung
2
Tipe Rekruitmen Elit
Dimensi Ideologis 3 Basis atau Landasan Kompetisi Partai
4
Perluasan atau Arah Kompetisi Partai
Partai Elit/Kader
Partai Massa
Partai Catch-All
Partai Kartel
Massa atau pendukung terbatas pada strata atas, melalui kontak personal
Muncul dari kelompok sosial khusus, seperti agama, etnis atau kelas
Muncul dari kelas menengah, melampaui kelompok pendukung inti
Self-recruitment, rekruitmen terbatas pada kelas atas, elit agama atau tokoh etnis
Rekruitmen internal berdasarkan agama, etnis, atau kelas atau dengan komitmen berbasis ideologi
Rekruitmen eksternal dari beraneka ragam kelompok kepentingan
„Regular clientele’ yang menyediakan pertukaran dukungan untuk kebijakan yang menguntungkan Rekrutmen terutama berasal dari dalam struktur negara (pejabat publik)
Status tradisional dari kandidat atau individu itu sendiri
Ideologi dan/atau representasi dari kelompok sosial
Sangat terbatas pada basis status personal atau individu dan kekayaan
Terpolarisasi dan kompetisi yang bersifat ideologi (kompetisi sentrifugal)
Pragmatisme: Disesuaikan dengan mood mayoritas pemilih Basis kompetisi bersifat sentripetal
Memelihara kekuasaan yang tumbuh dari pembagian jabatan eksekutif Penyebaran ketidaksesuaian politik, konflik menjadi simbolik; kompetisi artifisial dalam isu
Sumber: Diadaptasi dari Krouwel, Party Models dalam Katz dan Crotty ed. Handbook of Party Politics, h. 262.
Perincian pada tabel di atas bermanfaat karena memiliki daya pemilah yang jelas dan tidak tumpang tindih, serta memungkinkan untuk melihat berbagai perbedaan antara satu model dengan model lainnya. Oleh karena itu, penulis coba mengidentifikasi PPP dan PKS berdasarkan empat karakteristik (dari kedua dimensi) itu, yaitu: pertama, basis pendukung utama; kedua, tipe rekruitmen elit; ketiga, basis kompetisi partai; keempat arah kompetisi partai. Perlu ditekankan bahwa penulis hendak membandingkan kedua partai Islam tersebut antara awal berdirinya bagi PKS dan reposisinya PPP menjelang pemilu 1999 dengan perjalanan politik keduanya sampai pada pemilu 2014.
2. Model Transformasi Partai: Menggambar Pergeseran Positioning Selain memetakan atau mendaftar karakteristik secara dimensional dari masingmasing model partai, Krouwel juga menawarkan kepada kita teori dasar tentang transformasi partai. Ia menyampaikan bahwa secara historis, transformasi pembentukan model partai merupakan proses yang sinambung, terhubung dan tidak terisolasi.
Menghubungkan antara satu model dengan model lainnya secara kronologis dapat memberi gambaran historis tentang karakteristik utama partai yang berpuncak pada teori umum tentang transformasi partai. Partai-partai massa muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sebagai hasil dari politik eksklusi warga negara oleh para elit (partai elit/kader). Selanjutnya, setelah integrasi politik para anggotanya sudah mapan dan berhasil diselesaikan, maka partai-partai massa kemudian berubah menjadi partai catch-all pada akhir 1950-an
dan awal
1960-an.
Partai-partai
massa secara
perlahan
memprofesionalkan organisasi mereka, memoderasi tuntutan transformasi sosial dan politiknya, dan mulai berusaha menjangkau pemilih secara luas di luar pemilih inti/utamanya. Sejalan dengan program partai yang mencair dan kerja sama dengan rival politik menjadi keharusan, sebuah kartel politik yang sangat eksklusif terbentuk. Partai kartel secara perlahan memonopoli resources negara dan menciptakan lingkungan legal yang mendukung partai berkuasa dan mendiskriminasi pesaing baru. Pada dasarnya, jenis partai ini ditandai dengan kolusi partai-partai di “public office” dengan/tanpa kelompok kepentingan untuk membentuk kartel politik. Sebagaimana ditunjukkan dalam kronologi historis singkat ini, party models muncul berurutan dan mengalami transformasi bentuk atau model dari waktu ke waktu.50 Selaras dengan itu, Katz dan Mair membingkai perkembangan transformasi pembentukan model kepartaian sebagai suatu proses dialektika, lahirnya suatu partai baru merupakan hasil reaksi yang memunculkan sebuah tipologi partai yang baru lagi dan selanjutnya akan kembali menimbulkan rantai reaksi lainnya. Menurut mereka, transformasi model kepartaian adalah proses evolusi yang sedang berlangsung di mana partai beradaptasi dengan konteks sosial dan politiknya. Ini juga alasan mengapa modelmodel partai secara berurutan saling berhubungan, dikarenakan para peneliti membangun model berdasarkan model yang telah ada atau merumuskan kembali model sebelumnya ketika mereka melihat bahwa model itu tidak lagi cocok pada konteks jamannya.51 Baik Krouwel maupun Katz dan Mair sama-sama menyatakan pendapatnya bahwa pola transformasi partai itu searah atau linear. Artinya transformasi model partai berjalan dari model partai kader, kemudian partai massa, lalu berubah menjadi partai catch-all dan seterusnya. Konteks tersebut mungkin benar jika membicarakan konstelasi politik kepartaian di negara-negara mapan (old democracy). Namun, bagaimana dengan negaranegara demokrasi baru (berkembang)? 50 51
Lihat Andre Krouwel, Party Models, h. 252 dan 261-264. Ibid., h. 252.
Dalam konteks transformasi model kepartaian, Ingrid van Biezen seperti yang dikutip oleh Mada Sukmajati, menurutnya yang penting untuk ditekankan adalah perkembangan organisasi partai di negara-negara berkembang tidak selalu mengalami proses linear yang sama dengan negara-negara demokrasi mapan (Eropa Barat dan Amerika Serikat) yaitu proses mulai dari munculnya partai kader kemudian timbul partai massa, partai catch-all kemudian partai kartel dan seterusnya. Pada negara-negara berkembang, dapat dimungkinkan kemunculannya bisa langsung menjadi partai massa kemudian mengalami perubahan menjadi partai kartel. Hal demikian ditegaskan van Biezen dengan menyatakan “Because parties in new democracies appeared in a different historical, social and cultural context, we should not expect them to be like in the old democracies.”52 Biezen menyutarakan ada tiga skema transformasi model kepartaian partai-partai, yang secara sederhana dapat dibagi menjadi: Pertama, berjalan linear, artinya transformasi berjalan berurutan dari berdiri sebagai partai elit/kader kemudian menjadi partai massa, selanjutnya berubah menjadi partai catch-all dan seterusnya; Kedua, berjalan jumping, yaitu proses transformasinya meloncat, misal berdiri sebagai partai elit/kader kemudian berubah menjadi partai catch-all atau partai kartel; Ketiga, melahirkan model baru, yaitu proses suatu partai memformulasikan organisasi partainya dengan format atau bentuk baru yang berbeda dengan model atau format yang telah ada.53 Pandangan Biezen merupakan kritik-pelengkap atas pendapat Krouwel maupun Katz dan Mair terkait garis linear transformasi model kepartaian. Penulis setuju dengan Biezen, karena melihat konteks partai-partai politik di Indonesia era reformasi –yang notabene baru keluar dari rejim otolitarian adalah negara demokrasi baru– memunculkan pola transformasi yang tidak melulu berjalan linear, melainkan bisa berjalan jumping atau bahkan melahirkan format atau model baru.54 Oleh karena itu, penulis coba melakukan sedikit modifikasi55 untuk memperbaiki skema transformasi partainya Krouwel. Berikut skema yang penulis modifikasi: 52
Ingrid van Biezen, Political Parties in New Democracies, Party Organization in Southern and East-Central Europe dalam Mada Sukmajati, “How Islamic Parties Organize at the Local Level in PostSuharto Indonesia: An Empirical Study of Six Major Islamic Parties in the Tasikmalaya District, West Java Province”, h. 30. 53 Lihat Ingrid van Biezen, “On the Theory of Party Formation and Adaptation in New Democracies,” dalam European Journal of Political Research, Vol. 44 (2005) 54 Jadi, proses transformasi model partai di Indonesia bersifat acak atau tidak linear, contohnya Partai Demokrat yang berdiri langsung menandaskan diri sebagai partai catch-all yang terindikasikan dari slogannya sebagai partai terbuka, non-sektarian, dan asasnya nasionalis-religius. 55 Alasan modifikasi skema Krouwel, selain kritik Biezen, yaitu terkait pendekatan teoritis Krouwel tentang transformasi partai yang hendak mengurai kompleksitas multi-dimensional dengan menempatkan karakteristik yang dimiliki masing-masing model kepartaian. Ada catatan penting terkait skema yang
Gambar 1. Skema Transformasi Model Kepartaian: Dimensi Elektoral
Sumber: Dimodifikasi oleh Penulis dari Skema Krouwel “Party Models”.
Gambar 2. Skema Transformasi Model Kepartaian: Dimensi Ideologi
Sumber: Dimodifikasi oleh Penulis dari Skema Krouwel “Party Models”.
Dengan dua skema dari dimensi elektoral dan dimensi ideologis yang telah dimodifikasi itu, akan lebih mempermudah melakukan pemilahan antara satu model satu dengan model lainnya. Di samping itu juga terdapat garis yang menandakan bahwa pergeseran model dapat terjadi kemana saja dan tidak melulu berjalan linear. disampaikan oleh Krouwel. Pertama, inkonsistensi dalam penerapan kategori. Lihat bagaimana karakteristik dari model partai massa dengan partai catch-all -lihat selengkapnya di lampiran 2: Skema Asli Transformasi Model Partai Krouwel- sama-sama bersifat “Terbuka dan Inklusif.” Hal ini menimbulkan bias model, padahal di awal Krouwel menekankan akan menghindari hal tersebut dengan melakukan garis pemilahan atau pemisahan yang jelas dan tidak tumpang tindih dan berhasil ketika membuat peng-karakteristik-an party models, namun tidak dengan pembuatan skema transformasinya, karena ada tumpang tindih. Kedua, skema pergeseran yang linear. Hal ini juga tidak dapat diterapkan pada negara-negara berkembang.
3. Pilihan Rasional (Rational Choice) Dalam konteks ini, model pilihan rasional yang ditawarkan Anthony Downs, penulis pakai dan memanfaatkannya dalam melakukan pendalaman atau penelusuran untuk membongkar dan menelisik motif dan faktor-faktor yang mempengaruhi partaipartai atau elitnya melakukan pergeseran positioning model kepartaiannya. Model pilihan rasional Downs ini diharapkan mampu menemukan dan mengemukakan motif dan faktorfaktornya itu. Downs dalam bukunya “An Economic Theory of Democracy” menyebutkan bahwa seseorang/individu atau dalam hal ini elit suatu partai politik yang rasional adalah yang berkelakuan mendasarkan pada lima hal ini di bawah ini, yaitu: “(1) he can always make decision when confronted with a range of alternatives; (2) he ranks all the alternatives facing him in order of his preference in such a way that each is either preferred to, indifferent to, or in ferior to each other; (3) his preference ranking is transitive; (4) he always chooses from among the possible alternatives that which ranks highest in his preference ordering; and (5) he always makes the same decision each time he is confronted with the same alternatives.”56 Inti dari kerangka Downs adalah bahwa “every man’s behavior is always rational because (1) it is aimed at some ends and (2) its returns must have outweighed its cost in his eyes or he would not have undertaken it.”57 Ringkasnya, pilihan rasional menjelaskan terkait tindakan individu atau kelompok dan hasil yang mereka tuju atau dapati, dalam hal arah tindakan (strategi) mereka, pilihan mereka terhadap hasil akhir yang menjadi arah perhitungan atau kalkulasi tindakan yang akhirnya dipilih oleh individu atau aktor itu.58 Secara sederhananya, kerangka pilihan rasional menurut Elster adalah bahwa “ketika dihadapkan pada beberapa jenis tindakan, orang biasanya melakukan apa yang mereka yakini berkemungkinan mempunyai hasil yang terbaik.”59 Dengan demikian, Downs mensyaratkan bahwa setiap partai-partai yang berkontestasi dalam ranah elektoral atau pemilu, memiliki keluwesan kebijakan atau daya mobilitas yang tinggi untuk bergerak ke Kiri-Kanan, sejalan dengan dugaan keuntungan 56
Anthony Downs, An Economic Theory of Democracy (New York: Harper and Row, 1957), h. 6. Ibid., h. 6. 58 Marsh dan Stoker menyarankan bahwa sebaiknya pilihan rasional dianggap sebagai suatu alat daripada suatu pendekatan, dengan mempertimbangkan berbagai macam kritik yang dilontarkan kepadanya, maka penulis memakainya sebagai alat bantu dalam menelaah penelitian ini. Lihat David Marsh dan Gerry Stoker, Teori dan Metode dalam Ilmu Politik. Penerjemah Helmi Mahadi dan Shohifullah (Bandung: Nusa Media, 2010), h. 81. 59 David Marsh dan Gerry Stoker, Teori dan Metode dalam Ilmu Politik., h. 76. 57
yang akan diperolehnya,60 contohnya menyampaikan dan/atau membuat suatu kebijakan yang menabrak atau mengenyampingkan rambu-rambu ideologi partainya. Hal itu dimotivasi pilihan rasional untuk mendapat keuntungan yang besar pada momentum tersebut. Bahkan, partai-partai dapat dengan mudah menempatkan diri di titik manapun dalam kontinum positioning ideologinya, dengan maksud dan tujuan menarik simpati pemilih sebanyak-banyaknya atau vote-maximizing. Partai-partai melakukan hal itu, dikarenakan para elitnya tidak terlalu peduli soal ideologi partai atau bagaimana seharusnya partai yang ideologis itu bertindak. Mereka lebih dimotivasi oleh keinginan untuk memeroleh keuntungan pribadi dan jangka pendek.61 Menurut Mada Sukmajati, Downs memang meyakini bahwa para elit atau pengurus partai berusaha memaksimalkan dukungan elektoralnya dalam rangka mengontrol pemerintah. Downs percaya bahwa mereka mendukung sebuah kebijakan bukan dalam rangka untuk mengadvokasi kebijakan, melainkan dalam rangka untuk memenangkan pemilu.62 Penulis melihat bahwa karakteristik seperti itu sangat melekat dan erat dengan tipe atau model kepartaian catch-all party. Dari titik ini, ada keselarasan yang terlihat antara model kepartaian partai catch-all dengan aksi pilihan rasional. Yang memiliki benang merah atau penekanan yang sama, yaitu terkait memperoleh suara sebanyak-banyaknya untuk partai. Hal ini sangat berkaitan dengan konteks bagaimana partai-partai Islam di Indonesia seperti PPP dan PKS yang pada pemilu 2014 (bahkan pasca pemilu 1999) memiliki kecenderungan kuat melakukan transformasi pola laku politiknya sebagai partai catch-all dan dengan kerangka pilihan rasional Downs dapat menjelaskan motif-motif yang mendasari transformasi atau pergeseran yang dilakukan oleh kedua partai Islam itu. Bersandar pada Downs, kerangka pilihan rasional menawarkan penjelasan yang terukur dengan menyodorkan beberapa asumsi yang mendasari laku politik suatu partai. Asumsi dasar itu adalah terkait vote-maximizing dan self-interest. Dua hal itu yang menjadi alat atau bahan elaborasi dalam melihat motif yang melandasi pergeseran positioning PPP dan PKS. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana membuktikan motif itu? Langkah yang penulis lakukan adalah tetap konsisten menggunakan ukuran yang ditawarkan Downs. Untuk asumsi (motif) vote-maximizing dilihat dengan tiga hal: Pertama, melihat arah kebijakan partai yang cenderung bergerak ke tengah, dengan 60
Lihat Pippa Noris, “New Politicians? Changes in Party Competition at Westminster” dalam Geoffrey Evans dan Pippa Noris ed., Critical Elections: British Parties and Voters in Long-Term Perspective, h. 32; lihat Hans-Dieter Klingemann, dkk., Partai, Kebijakan, dan Demokrasi, h. 40-41. 61 Hans-Dieter Klingemann, dkk., Partai, Kebijakan, dan Demokrasi, h. 41. 62 Mada Sukmajati, “Politisi, Birokrat dan Reformasi Birokrasi,” dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 45, (2014).
berambisi mendekati massa mainstream dan/atau untuk memperebutkan massa mengambang (swing voters). Kedua, menelisik pereduksian ideologi partai yang dilakukan oleh elit-elitnya, yang berani mengambil atau memutuskan kebijakan yang cenderung menabrak rambu-rambu ideologi politik partainya. Dan Ketiga, ini yang penulis coba tambahkan, yaitu langkah politik pragmatis elit-elit partai yang lebih mengutamakan tokoh eksternal populis untuk menjadi kandidat caleg dari partainya. Selanjutnya mengenai perihal asumsi (motif) self-interest, ditelisik atau diukur dengan bagaimana elit partainya berusaha mempertahankan eksistensi politiknya dan demi meraih reward atau keuntungan. Pada konteks ini, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pada kerangka pilihan rasional Downs, partai-partai atau elitnya diiasumsikan semata-mata termotivasi hanya untuk memperebutkan atau memaksimalkan perolehan suara (vote-maximizing) dan keinginan untuk mendapat keuntungan atau reward bagi dirinya (self-interest). Oleh karena itu, pilihan rasional dapat juga menjadi suatu cara untuk menginvestigasi makna tindakan individu, mengajak kita untuk melihat keinginan dan kepercayaannya, memotret itu dengan mengarah pada maksud dan tindakannya.63 Hal ini yang pada bagian selanjutnnya hendak penulis telaah dan elaborasi secara mendalam. Di samping itu yang terpenting adalah mencari dan mendapatkan bukti-bukti atau data yang mendukung dari berbagai sumber sehingga terkuak motivasi atau alasan yang melatarbelakangi mengapa partai-partai Islam seperti PPP dan PKS melakukan pergeseran positioning.
4. Model Spasial: Motif Pergeseran Positioning Partai Setelah mengetahui positioning partai-partai dan skema pergeserannya secara terukur berlandaskan pada kerangka di atas, maka penulis selanjutkan melakukan rekonstruksi motif atau indikator suatu partai itu melakukan pergeseran positioning. Pada bagian ini, penulis bersandar pada model spasial Downs tentang persaingan atau kompetisi partai, namun akan ada beberapa penyesuaian yang penulis tawarkan dalam membaca konteks persaingan antar partai di Indonesia. Kerangka Downs tentang model spasial persaingan atau kompetisi antar partai mengandaikan bahwa seluruh kompetitor mengambil sejumlah posisi atas serangkaian isu atau perumusan kebijakan yang sama dalam menghadapi kontestasi politik seperti pemilu. Partai-partai merumuskan posisi-posisi yang demikian untuk meraih jumlah pendukung (suara) yang maksimum. Salah satu caranya adalah memajang dirinya lewat kebijakan 63
Lihat David Marsh dan Gerry Stoker, Teori dan Metode dalam Ilmu Politik, h. 77 dan 84.
yang mencakup pelbagai alternatif di sepanjang kontinum pertentangan ideologi “Kiri” dan “Kanan”. Partai-partai memanfaatkan kebijakan itu sebagai sarana mendekatkan diri pada konsentrasi-konsentrasi pemilih terbanyak. Para pemilih menunjukkan preferensinya dengan memberikan suara bagi partai yang posisinya dalam kontinum itu paling dekat dengan posisi mereka. Di dalam pemilu, partai yang paling dekat dengan jumlah pemilih yang lebih besar akan dapat meraih suara terbanyak atau memperoleh mayoritas suara, maka partai itu akan mendapat peranan penting pada formasi pemerintahan.64 Untuk memahami konteks persaingan multi-partai berdasarkan model spasial Downs, silahkan lihat gambar di bawah ini. Gambar 3. Model Spasial Downs: Kompetisi Berbasis Multi-partai
Sumber: Ian Budge, Identifying Dimensions and Locating Parties: Methodological and Conceptual Problems, h. 425.
Gambar kurva di atas ini menunjukkan bahwa terdapat tiga positioning suatu partai politik yakni partai Kiri, Tengah, dan Kanan. Tentu saja pola ini ada karena dalam suatu negara itu menerapkan sistem multipartai. Selain itu, terdapat perbedaan dalam memposisikan partainya yang biasanya didasari oleh social cleavage (pembelahan sosial). Dalam kasus Indonesia, partai-partai politik secara ekstrim dapat diletakkan dalam spektrum Kiri yaitu kelompok nasionalis-sekuler, spektrum Kanan adalah kelompok religius atau Islamis dan spektrum Tengah itu kelompok moderat. Hal ini berbeda dari kebanyakan sarjana yang hanya membagi dua kontinum, dengan mengabaikan partaipartai kelompok Tengah. Penjelasan di atas, berguna untuk memahami bagaimana konteks persaingan antar partai-partai di Indonesia. Asumsi dasar yang mengatakan bahwa pemilih cenderung memberikan suaranya kepada partai politik yang dianggap memiliki kesamaan atau 64
Hans-Dieter Klingemann, dkk., Partai, Kebijakan, dan Demokrasi, h. 40-41.
kedekatan sistem nilai dan keyakinan.65 Pamungkas menjelaskan kondisi demikian dengan menggunakan model spasial Downs yang dimodifikasinya. Lihat gambar di bawah ini: Gambar 4. Kurva Spasial: Partai Kiri, Tengah dan Kanan Modifikasi oleh Pamungkas
Sumber: Sigit Pamungkas, Pemilu, Perilaku Pemilih dan Kepartaian, h. 153.
Dalam model spasial yang sudah dimodifikasi ini yakni terkait posisi partai dan pemilih, posisi partai-partai Kiri adalah berada pada A dan B dan posisi partai-partai Kanan berada pada E dan F di mana segmen pasar pemilihnya sangat terbatas. Bandingkan dengan segmen pemilih di tengah yang besar, meskipun itu sudah menjadi target dari partai-partai Tengah yang berposisi pada C dan D. Oleh karena itu, untuk mampu memeroleh suara yang maksimal, partai-partai Kiri dan Kanan memperluas segmen pemilih dengan bergeser ke Tengah.66 Melalui gambaran ini, terlihat data menunjukkan bahwa motif partai-partai melakukan pergeseran ke tengah (menjadi partai catch-all) untuk meraup suara sebanyak-banyaknya. Gambaran ini yang nantinya penulis telisik dan eksplanasi secara lebih mendalam lagi pada bab bahasan selanjutnya dan mencari data atau bukti yang dapat mendukung proposisi itu. F. Metode Penelitian Dari berbagai metode yang ada, penulis dalam penelitian ini menggunakan metode studi kasus eksplanatoris dengan memakai pendekatan kualitatif. Penggunaan metode studi kasus eksplanatoris67 dikarenakan pendekatan ini mampu menjawab pertanyaan mendalam yang hendak diketahui tentang persoalan bagaimana dan mengapa partai-partai 65
Sigit Pamungkas, Pemilu, Perilaku Pemilih dan Kepartaian, h. 72. Ibid., h. 153. 67 Lihat Robert K. Yin, Studi Kasus: Desain dan Metode. Penerjemah M. Djauzi Mudzakir (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 6-11. 66
politik Islam seperti PPP dan PKS melakukan pergeseran positioning-nya. Dalam konteks ini, peneliti bermaksud untuk lebih mengutamakan „penjelasan‟ dibandingkan sekedar konfirmasi terhadap suatu permasalahan. Sedangkan digunakannya pendekatan kualitatif, karena sangat cocok untuk menganalisa dan memahami fenomena tentang suatu kejadian dan tindakan aktor secara holistik.68 Dengan adanya metode serta pendekatan ini, maka pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun, dapat terjawab dengan baik, terarah,69 logis dan argumentatif. Dalam hal ini, tidak terelakkan bahwa dengan bermetode, kita dapat terbantu untuk membaca setiap persoalan yang sederhana dan bahkan yang kompleks sekalipun. 1. Teknik Pengumpulan Data Dalam hal pengumpulan data, studi ini menggunakan metode kombinasi yang bersandar pada dokumentasi tertulis dan wawancara mendalam. Dokumen menjadi sumber untuk memperoleh informasi terkait bahasan suatu penelitian. Menurut Yin, dokumen memainkan peran yang sangat penting dalam pengumpulan data studi kasus. Penelusuran sistematis terhadap dokumen yang relevan menjadi begitu penting. 70 Bentuknya dapat berupa buku, artikel, laporan penelitian, jurnal, surat kabar, majalah dan lain sebagainya. Ada pula dokumen-dokumen resmi seperti AD/ART dari PPP dan PKS, program dan rencana kampanye resmi partai tersebut dalam pemilu. Di samping itu, dapat juga berupa dokumen elektronik yang berasal dari website resmi PPP (www.ppp.or.id) dan PKS (www.pks.or.id) serta media massa online seperti republika.co.id, kompas.com, tempo.co dan sebagainya yang kredibel dan terpercaya. Penulis mengandalkan media online, karena sejauh ini media online menjadi sumber yang sangat mudah dilacak dan diolah. Dengan menggunakan dokumen-dokumen di atas, penulis dapat menyajikan bukti-bukti untuk memperkuat argumentasi dalam tesis ini. Selain itu, penulis memperoleh data melalui wawancara mendalam dengan para tokoh atau elit kunci dari PPP dan PKS yang memiliki keterlibatan dalam mengambil setiap keputusan partai atau kegiatan partai. Hal ini penulis lakukan untuk mendapat pemahaman dan interpretasi yang jernih terhadap pilihan atau tindakan kedua partai tersebut. Terkait itu, penulis hendak memantapkan pendapat mengenai studi ini yang bertujuan menjawab persoalan mengapa partai atau para elitnya sampai pada satu 68
Lisa Harrison, Metode Penelitian Politik. Penerjemah Tri Wibowo (Jakarta: Kencana, 2007), h. 86; Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 6. 69 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), h. 35. 70 Yin, Studi Kasus: Desain dan Metode, h. 105.
keputusan untuk melakukan pergeseran positioning-nya. Dalam proses wawancara, penulis menggunakan format semi-terstruktur, yaitu sejumlah topik inti diajukan dalam wawancara, tapi keluwesan dalam mengajukan pertanyaan tetap ada. Oleh karena itu, penulis menggunakan pertanyaan terbuka kepada para narasumber untuk dapat mengeksplorasi secara mendalam dan komprehensif. Meskipun masing-masing teknik atau cara tersebut dapat menjadi sumber data, namun penulis memilih menggabungkan keduanya dengan alasan untuk saling melengkapi dan melakukan verifikasi baik antar keduanya maupun komponen di dalam keduanya. 2. Teknik Analisa Bukti Dalam konteks ini, bersandarkan pada Yin, analisis data atau bukti-bukti terdiri atas pengujian validitas, pengkategorian, pentabulasian, dan pengombinasian kembali data atau bukti-bukti yang didapati untuk menunjukkan proposisi awal dalam penelitian.71 Secara umum, dalam setiap penelitian studi kasus, semua informasi, data atau bukti yang didapat dari berbagai sumber harus dikelola dengan seksama dan selektif. Analisis bukti dalam setiap studi kasus seperti ini, diperlukan agar kita mendapatkan pemahaman yang baik terkait persoalan yang diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan teknik triangulasi, yakni suatu proses pemanfaatan persepsi yang beragam untuk mengklarifikasi makna, memverifikasi kemungkinan dari suatu pengamatan dan interpretasi. Teknik ini juga dapat digunakan untuk mengklarifikasi makna dengan cara mengidentifikasi sudut pandang yang berbeda terhadap berbagai fenomena untuk memperoleh validitas data yang memadai.72 Dalam strategi seperti itu, penulis menggunakan dua teknik analisis yang berlandaskan pada Yin, yaitu penjodohan pola yang mendasarkan pada proposisi teoritis dan pembuatan penjelasan dalam mengembangkan deskripsi dan interpretasi kasus. Strategi pertama adalah mengikuti proposisi teoritis yang menuntun studi kasus. Secara jelas, proposisi-proposisi membantu memfokuskan perhatian pada data tertentu dan mengabaikan data yang lain.73 Oleh karena itu, analisis data dalam studi ini pertama-tama mengacu pada kerangka teoritis Krouwel tentang tipologi model partai, yang penulis fokuskan hanya pada tiga model partai, yaitu partai elit/kader, partai massa, dan partai catch-all. Setelah itu, coba melacak tipikal dari PPP dan PKS –tentunya berdasarkan 71
Lihat Yin, Studi Kasus: Desain dan Metode, h. 133. Robert E. Stake, “Studi Kasus” dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) h. 307-308 73 Ibid, h. 136. 72
konteks awal lahirnya bagi PKS, dan awal reposisi bagi PPP, yaitu menjelang pemilu demokratis 1999– untuk mendapati kecenderungan tipe kedua partai itu lebih condong kepada suatu model kepartaian. Selanjutnya, meninjau perjalanan politik kedua partai tersebut pasca pemilu 1999 sampai pada pemilu legislatif 2014. Tinjauan ini sebenarnya hendak mengetahui apakah keduanya mengalami pergeserasan atau perubahan positioning dari model satu ke model lainnya? Setelah mendapat gambarannya, kemudian menganalisa faktor yang mempengaruhi terjadinya fenomena itu dengan meminjam kerangka analisa Downs tentang model spasial dan pilihan rasional. Strategi kedua, mengembangkan suatu kerangka kerja deskriptif untuk memahami, menjelaskan dan memberi arti terhadap fenomena kompleks yang terdapat dalam bahasan penelitian ini. Strategi ini bertujuan melacak persoalan yang telah dirumuskan dalam pertanyaan penelitian yang kemudian harus dicari sebab-musabab serta faktor-faktor yang memengaruhinya.74 Setelah mendapat data atau bukti-bukti yang mendukung, langkah selanjutnya mendeskripsikan secara lugas dan kritis sebab-musabab dan faktor-faktor yang ditemukan. Hal ini diterapkan sebagai strategi alternatif apabila strategi pertama yang mengikuti proposisi teoritis tidak mampu menjelaskan atau memiliki kekurangan dalam menjelaskan data atau bukti-bukti yang didapati. Dengan begitu, diharapkan dapat menjadi bagian penunjang yang membuat terciptanya keseimbangan dan keselarasan dalam menelaah bahasan penelitian akademik ini. 3. Definisi Konseptual dan Operasional Dalam hal pengukuran terhadap objek –bisa berbentuk variabel– penelitian, biasanya dirumuskan dengan cara menyajikan rangkaian definisi konseptual dan operasional75 secara tepat dan jelas. Dalam definisi konseptual, peneliti berusaha menggambarkan batasan dari objek yang diteliti agar dalam definisi operasional ditonjolkan bagaimana sifat atau karakteristiknya, dan bagaimana cara pengukurannya sehingga dapat diproses dalam bentuk analisis yang jernih dan proporsional.
3.1. Definisi Konseptual Untuk memperjelas arah penelitian ini, berikut penulis sajikan beberapa definisi konseptual yang terkait dalam fokus penelitian tesis ini:
74 75
Lihat Yin, Studi Kasus: Desain dan Metode, h. 133; Moh. Nazir, Metode Penelitian, h. 37. T. Yeremias Keban, Cara Pengukuran Variabel Penelitian (Yogyakarta: Gama Press, 1998).
a. Positioning dalam konteks ini berarti bagaimana suatu partai politik memposisikan bentuk model kepartaiannya; b. Pergeseran positioning merupakan perubahan atau transformasi dari satu jenis model partai ke model lainnya, seperti dari partai massa ke bentuk partai catch-all; c. Party Model adalah model kepartaian atau tipe-tipe partai politik yang bersandar pada Andre Krouwel, yang membagi menjadi lima model yaitu partai elit/kader, partai massa, partai catch-all, partai kartel, dan partai firma bisnis. d. Partai politik Islam adalah partai yang menggunakan atau memakai “Islam” sebagai asas/ideologinya dan mencantumkannya secara formal dan jelas dalam AD/ART.76 e. Laku politik adalah tindakan suatu partai politik ataupun elitnya dalam ranah kontestasi politik, khususnya di ranah elektoral.
3.2. Definisi Operasional Adapun definisi operasional dalam tesis ini adalah: Pertama, terkait pergeseran positioning PPP dan PKS akan diukur dengan indikator: a. Basis pendukung ditunjukkan dengan ada atau tidaknya kelompok-kelompok baru yang menjadi penopang perolehan suara partai. b. Tipe rekruitmen elit dapat diukur dengan cara melihat pola rekruitmen di PPP dan PKS ketika memilih atau mengajukan caleg dalam pemilu sesuai dengan kelompok pendukung inti ataukah dari eksternal. c. Basis kompetisi ditunjukkan dengan tindakan atau perilaku kampanye politik dalam pemilu berlandaskan pada ideologi atau logika pemilihan (elektoralis). d. Arah kompetisi partai dapat diukur dari pergerakan suatu partai ke titik tengah (sentripetal) atau ke titik ekstrim kanan/kiri (sentrifugal) yang terwujud dapat tindakannya dalam kampanye politik (visi-misi). Kedua, terkait faktor yang memengaruhi terjadinya fenomena itu akan dilihat melalui indikator pertama yaitu vote-maximizing, yang berarti tindakan atau perilaku partai
76
Konteks yang demikian itu yang penulis pegang dalam penelitian tesis ini. Meskipun kalau mengacu pada definisi partai politik Islam menurut Azyumardi Azra adalah partai yang menggunakan Islam sebagai asas/ideologi, simbol formal Islam, dan memiliki konstituen besar dari kalangan Muslim. Namun dalam tesis ini membatasi karakteristik partai politik Islam pada penekanan pencantuman “Islam” sebagai asas/ideologi partai. Lihat Azyumardi Azra, “Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat,” dalam Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan M. Amien Rais (Jakarta: Teraju, 2005), h. 203
sangat dipengaruhi oleh logika elektoralis yang hanya bertujuan untuk meraih suara sebanyak-banyaknya dan memenangi pemilu.77 Hal demikian akan diukur melalui: a. Arah kebijakan partai yang bergerak ke “tengah” dalam rangka mendekati dan memperebutkan basis massa mainstream yang notabene sangat banyak berada di posisi tengah itu sebagai swing voters. b. Pengurangan atau pereduksian muatan ideologi sebagai landasan utama partai untuk lebih menjamin akomodasi terhadap kelompok-kelompok yang lebih luas serta memasang kebijakan yang universal dan lebih fleksibel, kemudian dapat ditandai juga dengan pola rekrutmen atau mengusung non-Muslim sebagai caleg di dalam partai Islam, dan juga melakukan vote-buying atau money politics (jual-beli suara atau penyuapan). c. Pengutamaan tokoh eksternal di luar massa (kader) pendukung utama didasari oleh kepemilikan modal yang lebih memadai, baik berupa modal finansial maupun popularitas; Adapun indikator atau motif yang kedua, yaitu self-interest elit partai, yaitu mendasarkan pada kepentingan individual dari elit partai yang akan dilihat dari sudut (1) kepentingannya dalam mempertahankan eksistensi politik di parlemen dan pada tetap dapat mengikuti pemilu periode selanjutnya; dan (2) kepentingannya untuk memperoleh keuntungan (gain reward).
G. Struktur Pembahasan Untuk menjawab dan memberi penjelasan atas pertanyaan penelitian yang diajukan di atas, penulisan tesis ini disusun berdasarkan runutan sebagai berikut: Pada Bab I diuraikan tentang latar belakang mengapa studi ini menarik untuk dijadikan penelitian akademik. Dalam bab ini terdapat juga pertanyaan penelitian yang diajukan serta pembatasan permasalahan. Selain itu, menyajikan literature review yang didasarkan pada sejumlah tulisan yang relevan dengan topik penelitian. Di samping itu, menguraikan kerangka teori yang penulis kembangkan untuk memahami dan menjelaskan persoalan yang diteliti. Dan juga menyajikan metode penelitian yang dipakai serta struktur pembahasan yang berisi alur penulisan tesis. 77
Lihat Anthony Downs, An Economic Theory of Democracy, h. 34-35; Lihat juga Steven B. Wolinetz, Beyond the Catch-all Party: Approaches to the Study of Parties and Party Organization in Contemporary Democracies, h. 151-152.
Bab II mendeskripsikan secara padat profil PPP dan PKS sebagai objek penelitian tesis. Pada bagian ini, penulis menyajikan tinjauan historis tentang perjalanan politik kedua partai tersebut di pentas nasional, dari mulai berdirinya sampai peran sertanya dalam ranah elektoral dan perolehan suara pada pemilu. Bab ini dimaksud untuk memberikan fondasi bagi analisis berikutnya yang hendak fokus pada penggolongan tipe atau model dua partai Islam di atas. Dalam Bab III penulis melacak positioning PPP dan PK(S)78 pada pemilu legislatif 1999 yang mengacu pada tipologi model partainya Andre Krouwel. Tinjauan berfokus pada empat indikator yaitu: pertama, basis kompetisi partai; kedua, arah kompetisi partai (sentripetal atau sentrifugal); ketiga, basis pendukung utama; keempat, tipe rekruitmen elit. Dengan menelaah beberapa hal itu, diharapkan dapat mengidentifikasikan tipe atau model kedua partai tersebut. Selanjutnya Bab IV menyajikan gambaran pergeseran positioning PPP dan PKS yang terlihat pasca pemilu 1999 yaitu dari pemilu 2004 sampai pemilu 2014. Di sini, penulis akan menyajikan gambaran pergeseran positioning kedua partai tersebut yang mengacu pada kerangka teoritis model kepartaian dan skematik transformasi yang ditawarkan oleh Andre Krouwel. Dalam rangka menunjukkan hal itu, penulis membagi fokus pembahasan menjadi tiga bagian utama. Di bagian pertama, fokus menelisik pergeseran positioning PPP berdasarkan empat indikator di atas. Sedangkan pada bagian kedua memfokuskan pada PKS. Kemudian di bagian ketiga, akan disajikan gambaran atau skema yang menunjukkan terjadinya pergeseran positioning dua partai Islam itu. Bab V menjelaskan mengapa partai-partai ideologis seperti PPP dan PKS melakukan pergeseran positioning. Bab ini menelisik faktor-faktor kunci yang mempengaruhi fenomena itu. Dalam menelisik bagian ini, penulis berlandaskan pada kerangka Anthony Downs tentang model spasial dan pilihan rasional. Diharapkan dengan digunakannya kerangka Downs dapat menjadi kunci pembuka dalam membincang persoalan ini. Akhirnya sebagai penutup, dalam Bab VI akan dikemukakan jawaban atas pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan. Beberapa kesimpulan itu akan disajikan dengan padat pada bagian ini, dan berisikan penegasan terhadap pokok temuan-temuan atau bukti-bukti yang menguatkan tesis ini.
78
Perlu diperhatikan bhawa penulis sengaja menuliskan “PK(S)” dengan disertai tanda kurung pada huruf “S” untuk memberikan penekanan bahwa pada pemilu 1999, PKS muncul dengan nama PK.