BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegemukan merupakan masalah serius yang dihadapi di dunia, karena terus meningkat disemua negara. Tahun 2014, sebanyak 39% penduduk dewasa (≥ 18 tahun) menderita kegemukan (38% pada laki-laki dan 40% pada perempuan). Secara umum kejadian kegemukan di dunia meningkat dua kali lipat sejak tahun 1980 - 2014 yaitu 5% - 11% pada laki-laki dan 8% - 15% pada perempuan. Kegemukan dan obesitas (IMT ≥ 25 kg/m2 dan ≥ 30 kg/m2) menyebabkan 3,4 juta penduduk di dunia meninggal dunia setiap tahunnya (WHO, 2014). Tidak terkecuali pada anak-anak, kejadian kegemukan juga terus meningkat. Pada tahun 2013 ditemukan sedikitnya 42 juta (6.3%) anak usia ≤ 5 tahun menderita kegemukan. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan prevalensi kegemukan pada anak usia ≤ 5 tahun terus meningkat dari 5% (tahun 2000), hingga 6% (tahun 2010) dan 6,3% (tahun 2013) (WHO, 2014). Sementara di Indonesia, kegemukan juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sedang dihadapi saat ini, menyebabkan beban ganda penyakit dan beban ganda masalah gizi. Saat pembangunan kesehatan masih menghadapi beban pengendalian penyakit menular dan gizi kurang pada penduduk, beban akibat peningkatan penyakit tidak menular (PTM) dan gizi lebih (kegemukan) meningkat (Kemenkes RI, 2012). Tahun 2013, prevalensi gemuk pada penduduk dewasa (>18 tahun) di Indonesia ditemukan sebesar 13,5% dan obesitas 15,4%. Kecenderungan prevalensi obesitas pada penduduk laki-laki dewasa terus meningkat sejak tahun 2007 (13,9%),
tahun 2010 (17,8%), dan tahun 2013 (19,7%). Sementara untuk
prevalensi obesitas perempuan dewasa juga terus meningkat sejak tahun 2007 (13,9%), tahun 2010 (15,5%), dan 2013 (32,9%) (Kemenkes RI, 2013). Data Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa secara nasional masalah gemuk pada anak usia sekolah masih tinggi, yaitu umur 5-12 tahun sebesar 18,8% (gemuk 10% dan obesitas 8,8%), remaja umur 13-15 tahun sebesar 10,8% (8,3% gemuk dan 2,5% sangat gemuk) dan remaja umur 16-18 tahun sebesar 7,3% (5,7% gemuk dan
1
2
1,6% sangat gemuk). Kecenderungan prevalensi gemuk (IMT/U) pada remaja naik dari 1,4% tahun 2010 menjadi 7,3% tahun 2013 (Kemenkes RI, 2013). Faktor utama penyebab kegemukan adalah faktor lingkungan dan faktor genetik. Dari faktor genetik, meskipun berperan namun tidak dapat menjelaskan terjadinya peningkatan prevalensi kegemukan. Sementara dari faktor lingkungan, penyebab utama masalah kegemukan adalah ketidakseimbangan pola makan yang tidak memenuhi prinsip gizi seimbang dan kurangnya aktivitas fisik. Secara umum ada dua karakteristik yang menyebabkan peningkatan prevalensi kegemukan yaitu diet tinggi lemak, tinggi energi dan pola hidup kurang gerak (Kemenkes RI, 2014). Kurangnya aktivitas fisik merupakan faktor penyebab terjadinya masalah kegemukan dan obesitas. Perkembangan pembangunan yang memudahkan akses transportasi dan penggunaan mesin dalam bekerja baik di rumah maupun di tempat kerja cenderung merubah pola hidup menjadi kurang gerak dan banyak duduk (sedentary lifestyle). Aktivitas fisik mempunyai pengaruh terhadap pengaturan berat badan. Konsumsi energi yang berlebihan namun tidak diimbangi dengan aktivitas yang cukup dapat menyebabkan penimbunan energi dalam tubuh sehingga mengakibatkan kenaikan berat badan (Kemenkes RI, 2014). Perkembangan peradaban manusia menuju ke semakin dominannya pekerjaan mental dari pada pekerjaan fisik mengakibatkan pola hidup kurang gerak sehingga menyebabkan kelebihan berat badan. Kelebihan berat badan dan akumulasi lemak sentral dan ektremital telah menjadi kondisi epidemik kronis diberbagai segmen masyarakat di Indonesia (Indriati, 2010). Faktor sosial demografi, usia, tingkat pendidikan dan area domisili mempengaruhi kejadian obesitas baik pada laki-laki maupun perempuan (Frederiksen, 2012). Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan oleh Thibault et al. (2012) pada dua jenis sampel berbeda yaitu pada 4048 anak berusia 5-7 tahun dari September 2007 - Juni 2008, dan pada 3619 anak usia 7-11 tahun pada September 2008 - Juni 2009 di Barat daya Perancis membuktikan bahwa tingkat aktivitas fisik yang rendah berhubungan bermakna dengan risiko tinggi kejadian kegemukan dan obesitas.
3
Pada anak sekolah, beban belajar yang semakin berat menekan kebebasan anak untuk bergerak. Kebutuhan mereka akan gerak tidak terpenuhi karena keterbatasan waktu dan kesempatan. Saat disekolah anak kurang gerak, demikian pula keadaan dirumah. Kemajuan teknologi saat ini justru membuat anak semakin asik dengan kegemarannya bermain video game, maka tidak mengherankan jika akhirnya menyebabkan kebugaran anak sekolah semakin menurun sehingga meningkatkan gejala penyakit kurang gerak yaitu kegemukan (Paturusi, 2012). Utari (2007) menyatakan bahwa semakin tinggi indeks massa tubuh, semakin rendah tingkat kesegaran jasmani pada anak usia 12-14 tahun. Pada anak sekolah, dimungkinkan karena keterbatasan lapangan untuk bermain dan kurangnya fasilitas untuk beraktivitas fisik menyebabkan anak lebih memilih untuk bermain di dalam rumah. Kemajuan teknologi berupa alat elektronik seperti video games, playstation, televisi dan komputer menyebabkan anak menjadi malas untuk beraktivitas (Kemenkes RI, 2014). Dampak buruk yang dapat ditimbulkan dari masalah gizi pada jangka pendek adalah dapat mengganggu pertumbuhan fisik, dan gangguan pemrograman metabolisme dalam tubuh serta mengganggu perkembangan otak dan menurunnya kemampuan belajar. Sementara pada jangka panjang adalah menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, resiko tinggi terkena PTM, disabilitas pada usia tua, serta menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar (Rajagopalan, 2003 Cit. Damayanthi, 2014). Secara umum hubungan kegemukan terhadap prestasi akademik siswa di Indonesia masih variatif. Sebuah studi yang dilakukan pada remaja usia 14-18 tahun oleh Sutjijoso dan Zarfiel (2009) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara obesitas dengan prestasi belajar. Sejalan dengan hal tersebut Annas (2011) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan prestasi belajar siswa kelas VIII Kecamatan Gunungpati Kota Semarang. Namun disisi lain, studi yang dilakukan di Denpasar pada siswa usia 6-13 tahun yang menderita obesitas membuktikan bahwa derajat obesitas berhubungan bermakna dengan prestasi belajar siswa Sekolah Dasar (Hartini et al. 2011). Deliens et al. (2013) menyatakan bahwa prestasi akademik berhubungan dengan status berat badan dan gaya hidup sehat pada mahasiswa tingkat pertama di Belgia.
4
Ada peningkatan prestasi akademik pada remaja yang memiliki pola makan yang baik serta melakukan aktivitas fisik dengan aktif (Stea dan Torstveit, 2014). Aktivitas fisik yang tinggi, berkorelasi positif terhadap prestasi belajar pada lakilaki, dan aktivitas fisik sedang berkorelasi positif terhadap prestasi belajar keduanya (laki-laki dan perempuan) pada remaja di Korea (So, 2012). Sardinha et al. (2014) memperkuat pernyataan bahwa anak-anak dan remaja harus memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk beraktivitas fisik sehingga akan meningkatkan kebugaran kardiorespirasi dan memperbaiki status berat badan anak selama sekolah, karena adanya efek sinergis dari kebugaran kardiorespirasi dan status berat badan pada prestasi akademik siswa. Pendidikan jasmani dan olahraga di Sekolah bertujuan memberikan kesempatan kepada anak untuk mempelajari berbagai kegiatan yang membina dan mengembangkan potensi anak baik dalam aspek fisik, mental, sosial, emosional dan moral, serta dari segi kognitif, psikomotor dan afektif sebagai satu kesatuan (Paturusi, 2012). Anak-anak hendaknya terus didorong untuk melakukan olahraga dan memelihara kebugaran jasmaninya sejak usia dini, karena remaja yang terlibat secara aktif dalam olahraga akan memperlihatkan hasil akademik yang lebih baik (Giriwijoyo dan Sidik, 2012). Prevalensi
kegemukan
dan
obesitas
diseluruh
dunia
mengalami
kecenderungan terus meningkat dalam ± 30 tahun terakhir, dan salah satu kelompok usia yang berisiko terjadinya gizi lebih adalah kelompok usia remaja (Arisman, 2009). Hal ini menggambarkan bahwa perlu adanya upaya deteksi pada kelompok usia remaja sehingga dapat melakukan tatalaksana lanjut agar prevalensi gemuk dapat ditekan. Mengingat bahwa rata-rata anak dapat mengikuti pendidikan di institusi pendidikan maka pendekatan melalui sekolah merupakan upaya yang strategis untuk menjangkaunya (Kemenkes RI, 2014). Sasaran utama dan pertama dari pendidikan adalah membentuk semua peserta didik menjadi sumber daya manusia yang sehat paripurna termasuk dari aspek jasmani dan rohani (Giriwijoyo & Sidik, 2012). Hal ini menarik keinginan peneliti untuk melihat apakah ada hubungan kegemukan dan kebugaran jasmani dengan prestasi akademik siswa sekolah menengah pertama berbasis gender?.
5
B. Rumusan Masalah Berdasarkan dari latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara kegemukan dan kebugaran jasmani dengan prestasi akademik siswa sekolah menengah pertama berbasis gender. C. Tujuan 1. Tujuan Umum Untuk menganalisis hubungan kegemukan dan kebugaran jasmani dengan prestasi akademik siswa sekolah menengah pertama berbasis gender. 2. Tujuan Khusus a. Menganalisis hubungan antara kegemukan dengan kebugaran jasmani siswa sekolah menengah pertama berbasis gender. b. Menganalisis hubungan antara kegemukan dengan prestasi akademik siswa sekolah menengah pertama berbasis gender. c. Menganalisis hubungan antara kebugaran jasmani dengan prestasi akademik siswa sekolah menengah pertama berbasis gender. D. Manfaat 1. Manfaat Teoritis Diharapkan dapat digunakan sebagai bukti empiris tentang bagaimana hubungan kegemukan dan kebugaran jasmani dengan prestasi akademik siswa sekolah menengah pertama berbasis gender. 2. Manfaat Praktis Diharapkan dapat menjadi masukan dalam tata laksana gizi dan penanganan kejadian kegemukan khususnya pada siswa sekolah menengah pertama.