1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Allah Subahanahu wata’ala menciptakan manusia sebagai sebaik-baik ciptaan, makhluk yang paling sempurna (Q.S At Tin ayat 4). Sebagai makhluk yang paling sempurna manusia dibekali cipta, rasa, dan karsa yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Dalam rangka menumbuh kembangkan potensi manusia agar menjadi makhluk yang dewasa, beradab, dan normal diperlukan pendidikan yang layak. Hal ini telah dijelaskan dalam Undang-Undang dasar 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Hal tersebut diperkuat dengan pasal 31 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap warganegara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Dalam rangka menumbuhkembangkan potensi manusia yang unggul dan beradab,
tentunya
pendidikan
nasional
di
Indonesia
terus
mengalami
perkembangan. Perkembangan nasional di bidang pendidikan merupakan upaya untuk mencerdaskam kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia sesuai yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945 alinea IV sejak dulu. Guna memenuhi kebutuhan akan sumber daya manusia yang tinggi di Indonesia, dengan tujuan agar dapat bersaing di masa depan, maka pendidikan Indonesia harus terus mengalami perbaikan sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman. Kurikulum pendidikan nasional yang sekarang ini digunakan secara luas di Indonesia adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP merupakan penyempurnaan dari kurikulum yang digunakan sebelumnya, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya pada setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan. Panduan pengembangan kurikulum KTSP yang disusun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mempunyai tujuan yang salah satunya adalah memberikan kesempatan bagi siswa agar dapat belajar untuk
1
2
membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (Rusman, 2008: 472). Dengan demikian, KTSP menuntut setiap sekolah agar dapat mengembangkan dan meningkatkan proses pembelajaran secara aktif dan mandiri. Pembelajaran
adalah
suatu
proses
sosialisasi
individu
dengan
lingkungannya sehingga individu tersebut dapat mencapai tingkat kedewasaan yang diharapkan. Selain itu, pembelajaran juga dapat diartikan sebagai proses komunikasi fungsional antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir yang akan menjadi kebiasaan bagi siswa yang bersangkutan (Erman Suherman dkk, 2003: 8). Pada suatu pembelajaran guru berperan sebagai komunikator atau fasilitator bagi siswa sehingga materi yang berupa ilmu pengetahuan dapat dikomunikasikan. Matematika merupakan ilmu dasar yang sekarang ini telah berkembang secara pesat. Perkembangan yang terdapat dalam matematika antara lain perkembangan materi dan kegunaan matematika itu sendiri. Menurut Herman Hujodo (2003: 40) matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir. Perkembangan cara berpikir seseorang tidak akan terlepas dari penalaran pemecahan masalah. Jadi, matematika sangat diperlukan dalam kehidupan seharihari maupun dalam menghadapi kemajuan IPTEK, karena pada dasarnya belajar matematika tidak hanya berhubungan dengan bilangan-bilangan serta operasinya, tetapi juga unsur ruang sebagai sasarannya yang membuat matematika sangat dekat dengan kehidupan. Berdasar pada Republika tertanggal 25 November 2015, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan, menjelaskan akan peneguhan tekad dalam pendidikan. Dalam hal ini, pendidikan memang harus menjadi sebuah proses pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran ini perlu diterapkan meski penuh tantangan pada kenyataannya. Hal ini selaras dengan pemikiran bapak pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, bahwa tempat belajar siswa atau sekolah harus dianggap sebagai taman. “Belajar matematika itu tidak menyenangkan”, hal tersebut menjadi persepsi publik hari ini. Kecenderungan yang muncul,
siswa menganggap
3
matematika itu pelajaran yang sulit, sehingga jangankan menyukai, untuk belajar saja mereka enggan. Berdasar pada Koran Sindo tanggal 11 November 2013, Prof. Ahmad Fauzi, guru besar Program Studi Statistika UII mengatakan “Ada dua persolan mendasar yang terjadi dalam dunia pendidikan matematika Indonesia saat ini. Persoalan pertama, pengaturan kelas yang monoton di mana murid hanya menghadap ke papan tulis, dan pembelajaran kelas kurang dinamis. Selain itu, pembelajaran yang diterapkan hampir semua sekolah cenderung text book oriented. Rutinitas seperti inilah, yang membuat siswa menjadi bosan belajar matematika. Persoalan kedua, pembelajaran matematika yang diajarkan jauh dari konteks dunia nyata dan cenderung abstrak. Seharusnya, sebagai ilmu pasti matematika justru memiliki keterkaitan erat dengan kehidupan manusia, bukan hanya teori”. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan penulis, buku ajar matematika yang digunakan secara umum di Sekolah Menengah Pertama cenderung membuat siswa bosan dalam belajar. Kebosanan ini disebabkan oleh teknik penyampaian materi yang digunakan dalam buku-buku ajar itu yang cenderung bersifat satu arah, sehingga siswa yang merupakan manusia (seolaholah) tidak dimanusiakan. Temuan lain dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di SMP N 2 Manyaran menunjukkan bahwa siswa hanya diajari tentang apa yang dipelajari, bukan kenapa dan bagaimana belajar. Hal ini sungguh menyalahi konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, jangan pernah mencekoki anak. Selain itu, dari hasil wawancara dengan guru matematika di SMP N 2 Manyaran, ditemukan persoalan siswa tidak mampu mengerjakan soal yang tipenya sedikit berbeda dengan yang pernah diajarkan guru di kelas. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Widi Astuti S.Pd, guru matematika di SMP tersebut, siswa cenderung menghafal dalam belajar matematika. Persoalan mendasar inilah yang membuat siswa menganggap matematika itu sulit, sehingga tujuan pembelajaran matematika tidak tercapai. Padahal, pembelajaran matematika seharusnya dapat membentuk kemampuan bernalar
4
siswa yang tercermin melalui kemampuan berpikir kritis, logis, sistematis, dan memiliki sifat obyektif, jujur, dan disiplin dalam memecahkan suatu permasalahan baik dalam bidang matematika maupun bidang lain dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan bahan ajar menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan untuk menyikapi persoalan tersebut. Bahan ajar yang lengkap, mengajarkan apa, kenapa, dan bagaimana belajar, mudah dipahami dan dipelajari siswa sangat diperlukan. Selain itu, diperlukan juga pengembangan kemandirian belajar dan bernalar. Bahan ajar berbentuk modul sangat cocok dijadikan sebagai bagian dari solusi. Andi (2014: 106), mendefinisikan bahwa modul adalah sebuah bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa sesuai tingkat pengetahuan dan usia mereka, agar mereka dapat belajar sendiri (mandiri) dengan bantuan atau bimbingan yang minimal dari pendidik. Modul disusun dan dirancang sedemikian sehingga dapat memberikan ruang dan kesempatan yang cukup bagi siswa untuk mengungkapkan ide atau gagasan mereka dalam menemukan sendiri konsep matematika. Disinilah letak kelebihan modul dibandingkan bahan ajar yang lain. Selain bahan ajar, hal lain yang harus diperhatikan adalah pembelajaran. Pembelajaran harus mampu menciptakan suatu interaksi secara aktif antara siswa dengan siswa maupun siswa dengan objek belajar sehingga dapat membuat siswa secara mandiri menemukan konsep dari materi yang diajarkan. Selain itu, pembelajaran yang digunakan juga harus menggunakan masalah nyata sebagai bagian dari pembelajaran. Salah satu pembelajaran yang dapat dipilih adalah pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) atau PBL. Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) merupakan pembelajaran yang menjadikan masalah sebagai dasar bagi siswa untuk belajar (Djamilah Bondan, 2011). Tan (dalam Djamilah Bondan, 2011) juga menyebutkan bahwa PBL telah diakui sebagai suatu pengembangan dari pembelajaran yang berpusat pada siswa, yang menggunakan masalah-masalah dunia nyata sebagai titik awal dalam proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan
5
penelitian yang dilakukan oleh Khusnul Khotimah, dkk. (2013) yang menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah mendorong siswa untuk terlatih memecahkan suatu masalah sehingga dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. De Graaff (2003;657) menyatakan, PBL education builds on the student’s background, expectations, dan interests. It is common for students to be motivied to work much harder with that PBL model than with traditional teaching metods. Penjelasan tersebut menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah atau PBL mendorong siswa untuk lebih aktif dibandingkan dengan metode pembelajaran tradisional. Hal itu sesuai dengan karakteristik dalam PBL dimana siswa didorong agar bisa menemukan konsep, menganalisis, dan memecahkan permasalahan, serta mengkomunikasikan gagasan yang dimilikinya. Jonassen (2008:16) menyatakan bahwa, PBL is also student’s centered, requiring learners to self-direct their learning in order to determine what they know and do not know about the problem. PBL is an instructional methodology, and like all instructional methodoligies, is not universally applicable to different learning problems.The primary goal of PBL is to enhance student’s application of knowledge, problem solving, and self-directed learning skills by requiring them to actively articulate, understand, and solve problems. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa PBL merupakan pembelajaran yang berpusat pada siswa dimana siswa secara mandiri menganalisis permasalahan yang mereka hadapi. PBL merupakan pembelajaran yang tujuan utamanya meningkatkan aplikasi pengetahuan siswa, pemecahan masalah, dan keterampilan untuk belajar mandiri dengan mengharuskan mereka secara aktif mengartikulasikan, memahami, dan memecahkan masalah. Berdasarkan uraian tersebut, bahan ajar dalam bentuk modul dengan pembelajaran berbasis masalah (PBL) diharapkan dapat memfasilitasi guru dalam menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna, karena menghadirkan masalahmasalah yang dekat dengan kehidupan siswa sehingga siswa memiliki gambaran tentang aplikasi ilmu yang dipelajarinya. Modul juga bisa menjadi bahan belajar bagi siswa untuk mengembangkan kemandirian, keaktifan dalam memecahkan masalah dan dalam menemukan konsep matematika. Hal itu sesuai dengan
6
Depdiknas
dalam
Wayan
Somayasa
(2013)
yang
menyatakan
bahwa
pengembangan modul dapat menjawab atau memecahkan masalah ataupun kesulitan dalam belajar. Hal tersebut karena terdapat sejumlah materi pembelajaran yang sering kali siswa sulit untuk memahami ataupun pendidik sulit untuk menjelaskannya. Kesulitan tersebut dapat saja terjadi karena materi tersebut abstrak, rumit, dan asing. Apabila materi bersifat abstrak, maka modul mampu membantu peseta didik menggambarkan sesuatu yang abstrak tersebut misalnya dengan penggunaan foto, gambar, bagan, dan lainnya. Apabila materi pembelajaran rumit, dapat dijelaskan dengan cara yang sederhana sesuai dengan tingkat berpikir siswa sehingga menjadi lebih mudah dipahami. Menurut Nieveen dalam Nanang ( 2014: 28), suatu modul pembelajaran dikatakan baik jika memenuhi kriteria sebagai berikut: Pertama, valid. Valid terkait dengan dua hal, yaitu (1) sesuatu yang dikembangkan berdasarkan pada rasional teoretis yang kuat; (2) terdapat konsistensi internal. Kedua, praktis. Sesuatu dikatakan praktis jika: (1) para ahli dan praktisi menyatakan bahwa apa yang dikembangkan dapat diimplementasikan, (2) kenyataan menunjukkan bahwa yang dikembangkan dapat diterapkan. Ketiga, efektif. Parameter keefektifan dapat dilihat dari: (1) ahli dan praktisi menyatakan layak pada apa yang dikembangkan, (2) secara operasional memberikan hasil yang sesuai dengan harapan. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti mengembangkan Modul Matematika untuk Pembelajaran Berbasis Masalah yang memenuhi aspek kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pendahuluan di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut. 1. Bagaimana mengembangkan modul matematika untuk pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) pada materi pokok himpunan kelas VII SMP? 2. Bagaimana kelayakan modul matematika untuk pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) pada materi pokok himpunan kelas VII SMP ditinjau dari kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan modul?
7
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui bagaimana mengembangkan modul matematika untuk pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) pada materi pokok himpunan kelas VII SMP. 2. Untuk mengetahui kelayakan modul matematika untuk pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) pada materi pokok himpunan kelas VII SMP ditinjau dari kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan modul. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Bagi siswa Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber belajar yang dapat meningkatkan daya tarik dan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah matematika sekaligus meningkatkan kemandirian siswa dalam belajar matematika. 2. Bagi guru matematika a. Proses pengembangan modul ini diharapkan dapat menjadi referensi pengembangan modul untuk materi matematika yang lain. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan ajar yang dapat meningkatkan peran guru sebagai fasilitator sekaligus membantu guru dalam melakukan penilaian autentik dan memberikan tindak lanjut bagi pencapaian siswa. 3. Bagi sekolah, proses pengembangan modul ini dapat dijadikan sebagai referensi pengembangan modul untuk bidang yang lain baik yang di dalam mata pelajaran matematika maupun di luar mata pelajaran matematika.